Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

ANEMIA HEMOLITIK AUTO IMUN

Disusun Oleh:
dr. Inandra Prayogi
Dokter Pembimbing:
dr. M. Reza Mahdi, Sp.PD

Dokter Pendamping:
dr. Hj. Titin Ning Prihatini, MH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


KABUPATEN INDRAMAYU
2019

0
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerahNya sehingga

penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Anemia Hemolitik Auto Imun”

dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. M. Reza

Mahdi, Sp. PD selaku pembimbing dan dr. Hj Titin Ning Prihatini, MH selaku pendamping,

yang telah memberi pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Tak

lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat yang telah memberi

saran dan kritik dalam pembuatan laporan kasus ini. Penulis mohon maaf apabila terdapat

kesalahan penulisan dalam laporan kasus ini serta penulis mengharapkan agar laporan kasus

ini bermanfaat di kemudian hari.

Penulis

dr. Inandra Prayogi

1
PORTOFOLIO KASUS

Nama Peserta: dr Inandra Prayogi


Nama Wahana: RSUD Indramayu
Topik: Anemia Hemolitik Auto Imun
Tanggal (kasus) : 15 April 2019
Tanggal Presentasi : 22 Mei 2019 Pembimbing : dr. M. Reza Mahdi, Sp.PD
Pendamping: dr. Hj. Titin Ning Prihatini, MH
Tempat Presentasi : RSUD Indramayu
Obyek presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa  Lansia Bumil
Lainnya
Tujuan:
1. Pendekatan diagnosis anemia hemolitik
2. Penatalaksanaan dan Edukasi pasien anemia hemolitik
Bahan Bahasan: Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas: Diskusi Presentasi dan diskusi E-mail Pos
Data Pasien: Nama: Ny. R No.Registrasi: 063789
Nama klinik Instalasi Gawat Darurat RSUD
Indramayu
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Keterangan Umum
 Nama : Ny R
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Umur : 47 tahun
 Agama : Islam
 Alamat : Kedokanbunder
 Pekerjaan : Ibu rumah tangga
 Status marital : Menikah
 Tanggal masuk RS : 15 - April - 2019
 Tanggal pemeriksaan : 16 - April – 2019

2. Gambaran Klinis di IGD

2
Pasien datang ke IGD RSUD Indramayu Pada tanggal 15 april 2019 dengan keluhan pusing yang

dirasakan 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pusing dirasakan pasien berdenyut. Pasien mengeluhkan

lemah dan seperti akan jatuh ketika berjalan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga

mengalami mual dan muntah seperti air. Dengan frekuensi 5 kali kurang lebih sebanyak 1 gelas

minum(250cc) pada 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh BAB hitam seperti aspal

sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien jarang untuk memeriksa kondisi kesehatannya.

3. Riwayat pengobatan
Pasien jarang berobat ketika sakit
4. Riwayat kesehatan/penyakit/alergi
- pasien bilang tidak memiliki riwayat penyakit Hipertensi, DM, jantung, atau ginjal sebelumnya
- pasien bilang tidak memiliki riwayat alergi makanan atau obat-obatan sebelumnya
- pasien bilang belum pernah mengalami kondisi seperti ini sebelumnya.
5. Riwayat pekerjaan:
Pasien adalah ibu rumah tangga
6. Riwayat Psikososial
- Pasien merupakan ibu rumah tangga dengan kegiatan aktif di pengajian dan perkumpulan Pkk.
- Pasien jarang ke puskesmas untuk memeriksakan kesehatannya.

7. 7. Lain – Lain
Pemeriksaan fisik dan anamnesis ulang dilakukan di Ruangan Kijang Kencana 1 RSUD Indramayu
pada tanggal 16 – April – 2019 pukul 10.50 WIB
Keluhan Utama :
pusing
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluhkan pusing yang dirasakan 3 hari SMRS. Pusing dirasakan pasien berdenyut. Pasien
juga mengeluhkan lemas seperti akan jatuh ketika berjalan sejak 3 hari SMRS. Selain lemas, pasien
juga mengeluhkan mual dan muntah seperti air. Dengan frekuensi 5 kali kurang lebih sebanyak 1 gelas
minum(250cc) pada 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh BAB kecoklatan saat 1
hari SMRS.
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien belum pernah seperti ini sebelumnya
Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi maupun diabetes mellitus.

3
Pasien 10 hari sebelum masuk rumah sakit sempat berobat ke klinik dengan keluhan batuk pilek namun
pasien lupa sudah meminum obat apa saja.
Riwayat penyakit keluarga :
Keluarga pasien belum pernah ada yang seperti ini sebelumnya
Riwayat lingkungan sosial :
Pasien merupakan ibu rumah tangga dengan kegiatan aktif di pengajian dan perkumpulan Pkk

8. PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang, Tampak Lemas

Kesadaran : Compos Mentis GCS : E4V5M6

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 106x/menit, Reguler, Ekual,Isi Cukup

Respirasi : 22x/menit

Suhu : 36.10C

SpO2 : 99%

STATUS GENERALIS

 Kepala : Bentuk dan ukuran normal.

 Wajah : Nyeri tekan sinus -

 Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)

 Telinga : tenang

 Hidung : Pernafasan cuping hidung (-), sekret (-/-)

 Mulut : Sianosis (-)

 Leher : JVP 5+2 cmH2O, Pembesaran Kelenjar getah bening (-), Retraksi suprasternal (-)

 Thorax : Bentuk dan gerak simetris

 Paru : BPH ICS VI, peranjakan 1 ICS, Vesikular Breath Sound kanan = kiri, sonor di kedua

4
lapang paru, rhonki (-/-) , wheezing (-/-)

 Jantung :Ictus cordis tidak terlihat, teraba ICS V LMCS. BJ S1,S2 reguler, S3 (-), S4 (-),

murmur (-)
 Abdomen:
- Inspeksi :Datar, scar (-), spider nevi (-), ikterik (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpanik, ruang traube tidak terisi
- Palpasi : Nyeri epigastrium (-), defans muskular (-), hepatomegali (-), splenomegali (+)
- Ekstremitas atas: akral hangat, Capillary Refill Time < 2 detik, edema (-/-)
- Ekstremitas bawah: akral hangat, Capillary Refill Time < 2 detik, edema (-/-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan
- Darah Rutin

- Pemeriksaan Fungsi Hati (SGOT/SGPT)

- Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum/kreatinin)

- Gula darah sewaktu

- Pemeriksaan immunologi (ferritin)

- Pemeriksaan crossmatch

- Pemeriksaan morfologi darah tepi

5
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hematologi Rutin (15 April 2019)

Pemeriksaan Hasil NilaiRujukan


Darah Rutin
Eritrosit 1.1 (turun) 4.4-5.9
Hemoglobin 4.6 g/dl (turun) 13.2-17.3 g/dl
Leukosit 6.500/mm3 4400-11.300/mm3
Trombosit 427.000/mm3 (meningkat) 150.000 - 400.000/mm3
Hematokrit 13.5% (meningkat) 40% - 52%
MCV 116 (meningkat) 80-100
MCH 39.8 (meningkat) 28-33
MCHC 34.3 33-36
RDW-CV 10.7 (turun) 11.3 - 14.7
Fungsi Hati
AST (GOT) 24 U/L < 31
ALT (GPT) 31 U/L < 31
Fungsi Ginjal
Ureum 35 mg/dl 13 - 43
Creatinin 0.54 mg/dl 0.6 - 1.2

6
Pemeriksaan Cross match (16 april 2019)

No. Mayor Minor Auto Kontrol


kantong
F0852536 C o Crossmatch tidak cocok (4+)
A smatch tidak cocok
(4+)
Crossmatch tidak
cocok (4+)
F0854418 Crossmatch tidak cocok Crossmatch tidak
A (4+) cocok ( )
Crossmatch tidak cocok (4+)
F1121770 Crossmatch tidak cocok Crossmatch tidak Crossmatch tidak cocok (4+)
A (4+) cocok (4+)

Hasil pemeriksaan Direct coombtest : 4+


Sehingga permintaan darah atas nama Ny R tidak dapat diberikan darahnya oleh PMI

Pemeriksaan Morfologi Darah Tepi & immunologi (16 april 2019)


Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Immunologi
Ferritin 1633.3ng/mL(meningkat) 300-400ng/mL

Morfologi Darah Tepi

7
Eritrosit Mikrosit
Hipokrom,anisopoikilositosis
(ovalocyte, mikrosit)
Normoblast (+)
Leukosit Jumlah cukup, limfosit atipik (+)
Trombosit Jumlah meningkat, large platelet (+)
Kesan Anemia gravis, tanda adanya anemia
defisiensi Fe (+)
Tanda adanya inflamasi kronis (+)
Trombositosis

Pemeriksaan Hematologi rutin (19 april 2019)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Darah Rutin
Eritrosit 1.0 (turun) 4.4-5.9
Hemoglobin 4.4 g/dl (turun) 13.2-17.3 g/dl
Leukosit 40.600/mm3 (meningkat) 4400-11.300/mm3
Trombosit 582.000/mm3 (meningkat) 150.000 - 400.000/mm3
Hematokrit 13.5% (turun) 40% - 52%
MCV 125 (meningkat) 80-100
MCH 43.2 (meningkat) 28-33
MCHC 34.6 33-36
RDW-CV 10.6 (turun) 11.3 - 14.7

DIAGNOSIS KERJA :

Anemia Hemolitik Autoimun

TERAPI :
Non farmakologis:
- Tirah baring

8
Farmakologis :

- IVFD RL 20 tpm makro

- Inj metil prednisolon 500mg  dalam 100cc NaCl drip dalam 1 jam (selama 3 hari)

Menilai perkembangan apakah Hb naik atau tidak setelah pemberian 3 hari

- Inj Pumpitor 1x1 sebelum metil prednisolone dimasukkan

- Tranfusi WRC (Washed Redblood Cell) jika setelah pemberian metilprednisolon selama 3 hari

tidak meningkatkan Hemoglobin

9.
FOLLOW UP (16/4/2019)
S : pasien lemas, hanya buang air kecil (-)
O: Tekanan darah : 120/90 , Nadi : 90x/menit, Respirasi: 23x/menit, Suhu: 36.10C
A : anemia hemolitik autoimun
P:
- If RL 20 tpm
- pemberian metilprednisolon 500mg 1x1 dan
- inj pumpitor sebelum pemberian metilprednisolon.

FOLLOW UP (17/4/2019)
S : pasien sudah mulai bisa jalan. Tidak lemas. bak(+) tidak berwarna seperti teh
O : Kesadaran : Compos Mentis , Keadaan Umum : baik
TD : 110/80 ,Nadi: 90x/m ,Respirasi: 20x/m ,Suhu: 36.3 C
Kepala : mata : konjungtiva anemis (+/+) sklera ikterik (-/-)
Abdomen : bising usus (+) nyeri epigastric (-) hepatomegali (-) splenomegali (+)
A : anemia hemolitik autoimun
P:
- If RL 20 tpm
- pemberian metilprednisolon 500mg 1x1
- inj pumpitor sebelum pemberian metilprednisolon.

FOLLOW UP (18/4/2019)
S : pasien bisa beraktivitas normal, tidak ada keluhan

9
O : Kesadaran : Compos Mentis , Keadaan Umum : baik
TD : 12/80 , Nadi: 94x/m , Respirasi: 22x/m , Suhu: 36.6 C
Kepala : mata : konjungtiva anemis (+/+) sklera ikterik (-/-)
Abdomen : bising usus (+) nyeri epigastric (-) hepatomegali (-) splenomegali (+)
A : anemia hemolitik autoimun
P:
- If RL 20 tpm
- pemberian metilprednisolon 500mg 1x1 dan
- inj pumpitor sebelum pemberian metilprednisolon.

FOLLOW UP (19/4/2019)
S : pasien tidak ada keluhan
O : Kesadaran : Compos Mentis , Keadaan Umum : baik
TD : 110/80 , Nadi: 89x/m , Respirasi: 21x/m , Suhu: 36.5 C
Kepala : mata : konjungtiva anemis (+/+) sklera ikterik (-/-)
Abdomen : bising usus (+) nyeri epigastric (-) hepatomegali (-) splenomegali (+)
A : anemia hemolitik autoimun
P:
- If RL 20 tpm
- pemberian metilprednisolon 500mg 1x1 dan
- inj pumpitor sebelum pemberian metilprednisolon.

10
Pemeriksaan darah rutin (22/4/2019)

Setelah kontrol di poli penyakit dalam RSUD Indramayu

Jenis Pemeriksaan Hasil


Hemoglobin 5, 90 g/dL

Leukosit 18.400/uL

Eritrosit 1,90 Juta/uL

Trombosit 303.000/uL

Hematokrit 21, 20%

MCV 110 fl

MCH 30.000 pg

MCHC 27.00 g/dl

Prognosis
 Quo ad Vitam : Dubia Ad Bonam
 Quo ad Functionam : Dubia Ad Bonam
 Quo ad Sanationam : Dubia Ad Bonam

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia=AIHA) ialah suatu

anemia yg timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap self antigen pada membran eritrosit

sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit (hemolisis). Reaksi autoantibodi ini akan

menimbulkan anemia, akibat masa edar eritrosit dalam sirkulasi menjadi lebih pendek. 4,5 Anemia

disebabkan karena kerusakan eritrosit melebihi kapasitas sumsum tulang untuk menghasilkan sel

eritrosit, sehingga terjadi peningkatan persentase retikulosit dalam darah. 6,7,8

2.2 Etiologi

AIHA terjadi akibat hilangnya toleransi tubuh terhadap self antigen sehingga

menimbulkan respon imun terhadap self antigen. Antibodi yang bereaksi terhadap self antigen

menyebabkan kerusakan pada jaringan dan bermanifestasi sebagai penyakit autoimun. Antibodi

yang terbentuk mengakibatkan peningkatan klirens dengan fagositosis melalui reseptor

(hemolisis ekstravaskuler) atau destruksi eritrosit yang diperantarai oleh komplemen (hemolisis

intravaskuler).

Etiologi AIHA terbagi 2 yaitu:


1. Idiopatik
a. Anemia autoimun tipe hangat
b. Anemia autoimun tipe dingin
2. Sekunder
a. Infeksi
virus: Virus Epstein–Barr (EBV), sitomegalovirus (CMV), hepatitis, herpes simplex,

measles, varisela, influenza A, coxsackie virus B, human immunodeficiency virus

(HIV)
bakteri : streptokokus, salmonella typhi, septikemia Esceria coli, Mycoplasma

pneumonia (pneumonia atipikal)

12
b. Obat-obatan dan bahan kimia : kuinine, kuinidin, fenacetin, p-asam aminosalisilat,

sodium cefalotin (Keflin), ceftriakson, penisilin, tetrasiklin, rifampisin, sulfonamid,

khlorpromazin, pyradon, dipyron, insulin


c. Kelainan darah: leukemia, limfoma, sindrom limfoproliferatif, hemoglobinuria

paroksismal cold, hemoglobinuria paroksismal nokturnal


d. Gangguan Immunologi: sistemik lupus eritematosus, periarteritis nodosa,

skleroderma, dermatomiositis, artritis reumatik, kolitis ulseratif,

disgammaglobulinemia, defisiensi IgA, kelainan tiroid, hepatitis giant cell, sindrom

limfoproliferatif autoimun, dan variasi defisiensi imun lainnya.


e. Tumor: timoma, karsinoma, limfoma

2.3 Klasifikasi

AIHA dibedakan menjadi 2 kelompok menurut karakteristik klinis dan serologis, seperti

yang tercantum pada tabel 2.1.


Tabel 2.1 Karakteristik AIHA

Karakteristik Warm AIHA Cold AIHA

Isotipe antibody Ig G, jarang Ig A, Ig M Ig M

Antigen spesifitas Multiple, Rh primer i/L, P

Hemolisis Terutama ekstravaskuler Terutama intravaskular

Direct antiglobulin test Ig G C3

2.4 Gejala Klinis

Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya anemia,

juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia yang terjadi

perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik untuk menyesuaikan

dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen. Gejala anemia disebabkan oleh

13
2 faktor, yaitu berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan dan adanya hipovolemia (pada

penderita dengan perdarahan akut dan masif). Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada

keadaan istirahat dengan mekanisme kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut

jantung dan curah jantung pada kadar Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar

Hb turun di bawah 5 g% atau ketika terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung karena

penyakit jantung yang mendasarinya.

Pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat, pasien mempunyai gejala khas anemia

yang berkembang secara tersembunyi, meliputi lemah, pusing, lelah, dan dispnea saat

beraktifitas atau gejala lainnya yang kurang khas yaitu demam, perdarahan, batuk, nyeri

perut dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan hemolisis hebat, dapat terjadi ikterik,

pucat, edema, urin berwarna gelap (hemoglobinuria), splenomegali, hepatomegali dan

limfadenopati yang mengiringi anemia.

Anemia hemolitik autoimun tipe dingin, pasien biasanya mempunyai gejala anemia

hemolitik kronis berupa pucat dan lemah. Keadaan lingkungan yang dingin dapat

mencetuskan serangan, oleh karena itu episode hemolisis akut dengan hemoglobinemia dan

hemoglobinuria lebih sering terjadi di musim dingin. Darah lebih mudah terpengaruh suhu

pada ekstremitas, sehingga pasien lebih sering mengalami akrosianosis (warna kebiru-biruan

tanpa rasa sakit pada kedua tangan dan kaki) saat serangan terjadi.

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis AIHA meliputi pemeriksaan

hitung darah lengkap, morfologi darah tepi, pemeriksaan bilirubin, laktat dehidrogenase

(LDH), haptoglobin, urobilinogen urin, dan pemeriksaan serologi.

A. pemeriksaan darah lengkap

14
Kadar hemoglobin yang didapatkan pada AIHA tipe hangat bervariasi dari normal

sampai sangat rendah. Kadar hemoglobin pada AIHA tipe dingin jarang ditemukan

<7gr/dl. Jumlah retikulosit dapat meningkat sedangkan jumlah leukosit bervariasi dan

jumlah trombosit umumnya normal.


B. Morfologi darah tepi

Hasil pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anisositosis, polikromasi,

sferositosis, fragmentosit, dan eritrosit berinti. Polikromasi menunjukkan peningkatan

retikulosit yang diproduksi sumsum tulang. Sferositosis dapat terjadi pada proses

hemolitik pada anemia hemolitik sedang sampai berat.

C. Pemeriksaan bilirubin, haptoglobin, urobilinogen, dan Laktat dehidrogenase (LDH)


Hemolisis ekstravaskuler terjadi pada AIHA tipe hangat dan didapatkan

peningkatan bilirubin indirek dan urobilinogen. Hemolisis ekstravaskuler terjadi melalui

proses fagositosis eritrosit oleh sistem retikuloendotelial yang menyebabkan eritrosit lisis

dan hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin oleh lisosom. Globin dihidrolisis

menjadi asam amino. Heme kemudian menjadi besi dan protoporfirin yang terdiri dari

biliverdin dan karbonmonoksida. Biliverdin yang terikat dengan albumin merupakan

bilirubin yang tidak terkonjugasi di dalam darah. Bilirubin yang tidak

terkonjugasi/indirek masuk ke hepar dan menjadi bilirubin terkonjugasi/direk. Bilirubin

direk dirubah menjadi urobilinogen yang diekskresikan melalui tinja. Bilirubin yang

direasorpsi di ginjal dirubah urobilinogen urin.8


Hemolisis intravaskuler terjadi pada AIHA tipe dingin yang menyebabkan

penurunan kadar haptoglobin. Hemolisis intravaskuler menimbulkan destruksi pada

eritrosit sehingga hemoglobin berikatan dengan haptoglobin menjadi haptoglobin

hemoglobin sehingga kadar haptoglobin menurun. Kompleks haptoglobin hemoglobin

dimetabolisme menjadi bilirubin.8

15
D. Pemeriksaan serologi

Pemeriksaan yang diperlukan adalah direct antiglobulin test (DAT) yang

menggunakan Ig G dan C3d. Sel eritrosit pasien AIHA dengan reagen anti globulin yang

dicampurkan akan menyebabkan terjadinya reaksi aglutinasi. Hal ini menandakan adanya

Ig G dan C3d pada permukaan eritrosit pasien.

Gambar : pemeriksaan Direct Antiglobulin (Coombs) test

2.6 Diagnosa Banding


Anemia hemolitik merupakan kelainan dekstruksi sel darah merah, yang terbagi

atas 2 tipe yaitu didapat dan herediter. Tipe didapat terbagi menjadi immune-mediated,

mikroangiopati dan infeksi. Immune-mediated diperantarai adanya reaksi antigen-

antibodi pada permukaan sel darah merah. Dari pemeriksaan akan didapatkan sferosit dan

DAT positif. Pengobatan penyakit ini dapat dengan cara obati penyakit yang

mendasarinya, hentikan penggunakan obat-obatan penyebab, dan pemberian steroid,

splenektomi, gamma globulin IV, plasmaferesis, agen sitotoksik, atau danazol

(danocrine). Mikroangiopati diperantarai adanya mekaninsme gangguan eritrosit di

sirkulasi. Dari pemeriksaan akan didapatkan schistocytes. Pengobatan penyakit ini

dengan cara obati penyakit dasarnya. Sementara itu, infeksi diperantarai oleh penyakit

16
malaria dan infeksi clostridium. Pemeriksaan yang dibutuhkan antara lain kultur darah,

apusan darah tepi dan serologi. Pengobatan penyakit ini dengan cara pemberian

antibiotik.
Sementara itu, tipe herediter terbagi menjadi enzimopati, membranopati dan

hemoglobinopati. Enzimopati terjadi pada penyakit defisiensi G6PD. Hal ini dapat dipicu

oleh adanya infeksi dan pengaruh obat-obatan. Pada pemeriksan akan didapatkan

rendahnya aktivitas enzim G6PD. Penyakit ini dapat diobati dengan hentikan obat-obatan

dan obati penyakit pemicunya. Membranopati terjadi pada sferositosis herediter. Pada

pemeriksaan akan didapatkan adanya sferosit, adanya riwayat keluarga dan DAT negatif.

Pengobatan penyakit ini dapat berupa splenektomi pada kasus yang sedang sampai berat.

Hemoglobinopati terjadi pada talasemia dan penyakit sickle cell. Pemeriksaan yang dapat

dilakukan antara lain dengan elektroforesis hemoglobin dan pemeriksaan genetik.

Penyakit ini dapat dobati dengan pemberian asam folat dan tranfusi
2.7 Tatalaksana

Autoimmune Hemolytic Anemia dibagi dua golongan yaitu AIHA yang

diperantarai oleh antibodi IgG disebut sebagai AIHA tipe hangat yang berikatan pada

temperatur 37oC sedangkan AIHA tipe dingin di perantarai oleh antibodi IgM yang

berikatan maksimal pada temperatur dibawah 320C.4 Alur pengobatan terhadap AIHA

berbeda tergantung pada tipe AIHA nya. Secara umum tujuan pengobatan pada AIHA

adalah untuk mengembalikan hematologis normal, mengurangi proses hemolitik, dan

menghilangkan gejala dengan efek samping minimal.5 Transfusi darah biasanya hanya

digunakan untuk kepentingan sementara tapi mungkin diperlukan diawal sebagai upaya

untuk mengatasi anemia berat sampai terlihat efek dari pengobatan yang lain.6 Pasien

biasanya ditransfusi dengan menggunakan packed red cell jika Hb < 7 g/dL.2

17
2.7.1 Pengobatan pada AIHA tipe panas

Kortikosteroid dosis tinggi merupakan obat pilihan utama untuk AIHA tipe panas.

Steroid bekerja memblok fungsi makrofag dan menurunkan sintesis antibodi. 4 Prednison

diberikan secara oral 2-4mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis selama 2-4 minggu kemudian

dilakukan tappering off dalam 2-6 minggu berikutnya. Jika respon pengobatan tidak baik,

dosis prednison ditingkatkan menjadi 30 mg/kgBB/hari secara intravena selama 3 hari. 2

Pada beberapa pasien dengan hemolisis yang berat maka dosis prednison dapat

ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB/hari dengan tujuan untuk mengurangi tingkat

hemolisisnya. Pengobatan tetap dilanjutkan sampai didapatkan penurunan hemolisis,

kemudian dosis obat diturunkan secara bertahap. Jika relaps terjadi, maka diberikan dosis

awal kembali.6 Pasien dikatakan respon terhadap pengobatan dengan steroid akan

memperlihatkan peningkatan hemoglobin atau hemoglobin yang stabil serta penurunan

kadar retikulosit setelah dua minggu pengobatan.2

Anemia hemolitik yang tetap berat meskipun telah diobati dengan kortikosteroid

atau anemia hemolitik yang memerlukan dosis obat yang tinggi untuk mencapai

hemoglobin yang normal, maka dapat dipertimbangkan pemberian immunoglobulin

intravena dan danazol.2 Obat immunosuppresif termasuk pengobatan baru seperti

rituximab dengan dosis 375mg/m2 dapat diberikan sebagai pengobatan lini kedua pada

pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan dengan steroid, pasien dengan

steroid-dependent, pasien relaps, ataupun pasien AIHA kronik.2,5


Pasien yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid dianjurkan untuk

dilakukan splenektomi.5 Splenektomi juga dapat dilakukan pada pasien AIHA kronik.

AIHA dikatakan kronik jika gejala dan hasil laboratorium yang abnormal tetap ditemukan

selama > 6 bulan, akan tetapi splenektomi dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi

18
(sepsis), terutama pada anak yang berumur < 2 tahun. 2 Persiapan yang dilakukan sebelum

splenektomi adalah pemberian profilaksis dianjurkan dengan vaksin yang sesuai

(pneumococcal, meningococcal, dan Haemophilus influenza type b) dan pemberian

penisilin secara oral setelah splenektomi dilakukan.6


2.7.2 AIHA tipe dingin
AIHA tipe dingin lebih jarang ditemukan pada anak-anak dibanding dewasa.

Penggunaan kortikosteroid pada AIHA tipe dingin kurang efektif dibandingkan pada

AIHA tipe panas. Penderita dianjurkan untuk menghindari paparan terhadap udara dingin

yang dapat memicu terjadinya hemolisis dan jika penyebab mendasari dapat

diidentifikasi, maka penyebab tersebut harus diatasi. Pada beberapa pasien dengan

hemolisis berat, pengobatan termasuk immunosupresan dan plasmaferesis. Beberapa

penelitian sebelumnya menyatakan keberhasilan pengobatan AIHA tipe dingin dengan

menggunakan monoclonal antibodi yaitu rituximab dengan dosis 375mg/m2.

Splenektomi tidak banyak membantu pada AIHA tipe ini. 6


2.8 Komplikasi

2.8.1 Tromboemboli

Menurut Allgood dkk, pada pasien AIHA penyebab kematian yang paling sering

adalah emboli paru (4 dari 47 pasien). Semua pasien ini mendapatkan terapi

kortikosteroid dan splenektomi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pullarkat dkk, 8

dari 30 pasien (27%) mengalami episode tromboemboli vena. Faktor yang berperan

dalam trombosis pada AIHA adalah cytokine-induced expression of monocyte atau

faktor endothelial tissue. Hoffman (2009) berpendapat bahwa antikoagulan lupus yang

terdeteksi pada pasien AIHA berisiko tinggi untuk terjadinya tromboemboli vena dan

pasien sebaiknya diberikan antikoagulan untuk profilaksis. Penelitian yang dilakukan

19
Kokori dkk pada pasien AIHA dengan sistemik lupus erythematosus ditemukan risiko

trombosis meningkat lebih dari 4 kali lipat.


Pada penelitian yang dilakukan oleh Hendrick, disimpulkan bahwa pasien AIHA

memiliki risiko tromboemboli yang cukup tinggi. Dia meneliti pada 23 pasien dengan

AIHA tipe hangat, didapatkan 6 pasien mengalami tromboemboli vena, dan 5

diantaranya cukup fatal.


2.8.2 Kelainan limfoproliferatif

Pasien dengan kelainan limfoproliferatif dapat berkembang menjadi AIHA.

Begitu juga sebaliknya, pada pasien AIHA terjadi peningkatan risiko kelainan

limfoproliferatif. Sallah, dkk. melaporkan 18% pasien AIHA berkembang menjadi

kelainan limfoproliferatif maligna. Faktor risiko perkembangan AIHA menjadi

keganasan limfoproliferatif adalah usia, adanya penyebab penyakit autoimun, dan

serum gammophaty. Perkembangan menjadi keganasan lymphoid membutuhkan proses

yang bertahap, pada fase awal proliferasi termasuk stimulasi antigen kronik hingga

terjadinya mutasi yang menyebabkan perubahan menjadi keganasan. Analisis terakhir

ditemukan peningkatan sel T limfoma dan zona marginal limfoma, serta ditemukan

juga peningkatan sel B limfoma non Hodgkin 2-3 kali lipat, khususnya tipe diffuse

large cell limfoma.2

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia=AIHA) ialah anemia yang

timbul akibat terbentuknya autoantibodi terhadap self antigen pada membran eritrosit sehingga

20
menimbulkan dekstruksi eritrosit (hemolisis). Anemia disebabkan karena kerusakan eritrosit

melebihi kapasitas sumsum untuk menghasilkan sel eritrosit. Anemia hemolitik autoimun

biasanya merupakan proses autoimun akut yang berkembang setelah infeksi (Mycoplasma,

Epstein-Barr, atau infeksi virus lainnya), akibat suatu penyakit autoimun kronis (lupus

eritematosus sistemik, gangguan limfoproliferatif, atau immunodefisiensi) dan neoplasma.

Anemia hemolitik autoimun terdiri dari dua tipe yaitu anemia hemolitik autoimun tipe

hangat ( warm antibody AIHA) yang lebih aktif pada suhu 370C dan ditemukan peningkatan

kadar IgG dan anemia hemolitik autoimun tipe dingin ( cold antibody AIHA) yang lebih aktif

pada suhu dingin (320 C).

Anemia hemolitik autoimun (AIHA) ini terjadi akibat destruksi eritrosit yang melalui

hemolisis ekstravaskuler dan intravaskuler. Pada AIHA tipe hangat melibatkan proses hemolisis

ekstravaskuler dan pada AIHA tipe dingin melibatkan hemolisis intravaskuler. Derajat penurunan

hemoglobin dapat bervariasi dari ringan sampai sedang. Penurunan hemoblobin dapat terjadi

perlahan-lahan, tetapi seringkali sangat cepat (lebih dari 2g/dl dalam 1minggu).

Pada AIHA tipe hangat, eritrosit yang diselimuti IgG atau komplemen difagosit oleh

makrofag dalam lien dan hati sehingga terjadi hemolisis ekstravaskuler. Adapun hemolisis

ekstravaskuler terjadi pada sel makrofag dari sistem retikuloendothelial (RES) terutama pada

lien,hepar dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis ini

terjadi karena kerusakan membran (akibat reaksi antigen antibodi). Eritrosit yang pecah akan

menghasilkan globulin dan besi.

Pada AIHA tipe dingin autoantibodi IgM mengikat antigen membran eritrosit dan

membawa C1q ketika melewati bagian yang dingin,kemudian terbentuk kompleks penyerang

membran,yaitu suatu kompleks komplemen yang terdiri dari C56789.Kompleks penyerang ini

21
menimbulkan kerusakan membran eritrosit,apabila terjadi kerusakan membran yang hebat akan

terjadi hemolisis intravaskuler. Jika kerusakan minimal terjadi pagositosis oleh makrofag dalam

RES sehingga terjadi hemolisis ekstravaskuler.

Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya anemia, juga

kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia yang terjadi perlahan-lahan,

karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik untuk menyesuaikan dengan berkurangnya

kemampuan darah membawa oksigen.

Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis AIHA meliputi pemeriksaan

hitung darah lengkap, morfologi darah tepi, pemeriksaan bilirubin, laktat dehidrogenase (LDH),

haptoglobin, urobilinogen urin, dan pemeriksaan serologi.

Pengobatan terhadap AIHA berbeda tergantung pada tipe AIHA nya. Secara umum tujuan

pengobatan pada AIHA adalah untuk mengembalikan hematologis normal, mengurangi proses

hemolitik, dan menghilangkan gejala dengan efek samping minimal. Transfusi darah biasanya

hanya digunakan untuk kepentingan sementara tapi mungkin diperlukan diawal sebagai upaya

untuk mengatasi anemia berat sampai terlihat efek dari pengobatan yang lain. Pasien biasanya

ditransfusi dengan menggunakan packed red cell jika Hb < 7 g/dL. Kortikosteroid dosis tinggi

merupakan obat pilihan utama untuk AIHA tipe panas. Penggunaan kortikosteroid pada AIHA

tipe dingin kurang efektif dibandingkan pada AIHA tipe panas. Penderita dianjurkan untuk

menghindari paparan terhadap udara dingin yang dapat memicu terjadinya hemolisis dan jika

penyebab mendasari dapat diidentifikai, maka penyebab tersebut harus diatasi. Pada beberapa

pasien dengan hemolisis berat, pengobatan termasuk immunosupresan dan plasmaferesis.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Zanella Alberto dan Wilma Barcellini. 2014. Treatment of Autoimmune Hemolytic

Anemias. Hematologica. 99(10): 1547-1554.


2. Made IB., 2006. Hematologi Klinik Dasar. Jakarta: Buku kedokteran EGC.
3. Noel R. Rose, Ian R. Mackay. 2000. The Autoimmune Diseases Third Edition in 1998. Hal

943-944
4. Parjono elias, Kartika widyanti. 2006. Anemia Hemolitik Autoimun; dalam Ilmu Penyakit

Dalam Ed.IV, Jakarta, FKUI. Hal: 660-662.

23
5. Marc, M. 2014. Warm Autoimmune hemolytic anemia: Advances in pathophysiology and

treatment. Elsevier Masson SAS.


6. Oehadian, Amaylia. 2012. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Continuing Medical

Education 39 (6): 407- 412.


7. Zeerleder. 2011. Autoimmune haemolytic anemia ( a practical guide to cope with a

diagnostic and therapeutic challenge). Netherlands the journal of medicine.


8. Friedberg RC and Johari VP, 2009. Autoimmune Hemolytic Anemia , in Wintrobe’s

Clinical Hematology, 12th edition, Wolter Kluwer, pp 956-962.


9. Hilman RS, ZAult KA, Rinder HHM, 2005, Hemolytic Anemias in Hematology Clinical

Practise, Fourth edition, Mc Graw Hill, pp 134-150.


10. Kelton JG, Chan H, Heddle N, Whittaker S, 2011, Acquired hemolytic anemia in Blood

and Bone Marrow Pathology, second edition, Elsevier, pp 185-197


11. Hoffman,PC. 2009. Immune Hemolytic Anemia-Selected Topics. University of Chicago.

American Society of Hematology

24

Anda mungkin juga menyukai