PENDAHULUAN
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita
HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi
disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit
keganasan. Hampir semua penyakit dapat menjadi infeksi oportunistik pada penderita HIV
jika system imun mulai lemah. Infeksi oportunistik pada HIV yang paling sering adalah
kandidiasis, cytomegalovirus, HSV, toksoplasmosis, tuberculosis, dan pneymocytis carinii
pneumonia.2
Hal. 1
Penyakit ini bisa diobati dan bisa sembuh secara total, namun jika tidak dirawat, akan
berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang
merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia.Penyakit ini cukup
sulit didiagnosis dan diterapi, terutama di negara-negara berkembang di mana jumlah pasien
HIV sangat tinggi. Faktor resiko untuk terkena infeksi toksoplasma gondii pada pasien HIV
termasuklah umur, ras dan faktor demografik lainnya. Berdasarkan gejala klinis dan
terlibatnya struktur otak, menyebabkan kasus ini menjadi lebih serius dari toksoplasmosis
ekstraserebral.4
Hal. 2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi
Toxoplasmosis ialah penyakit infeksi yang dapat meyerang binatang dan manusia
yang disebabkan oleh sporozoa Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit intraselluler.
Toxoplasma adalah parasit protozoa dengan sifat alami dengan perjalanannya dapat akut atau
menahun, simtomatik maupun asimtomatik.3,5
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
Hal. 3
Konsumsi daging mentah atau setengah matang yang mengandung kista, air yang
terkontaminasi dengan ookista dari feses kucing, dan sayuran yang tidak dicuci adalah
rute primer penularan melalui oral; penanganan yang tidak tepat pada daging atau
tanah yang tercemar juga dapat menyebabkan infeksi hand-to-mouth.5,8
2.4 Patogenesis
Manusia adalah hospes perantara T.gondii, sedangkan hospes definitive adalah
kucing. Kucing yang terinfeksi menyebarkan penyakit ketika ookista keluar bersama
feses. Ketika tertelan manusia, ookista menjadi tachyzoit yang cepat mengalami
replikasi. Tachyzoit ini menembus inti sel dan membentuk vakuola. Ketika sel mati,
tachyzoit terus menyebar di seluruh tubuh dan menginfeksi jaringan lain yang
menyebabkan respon inflamasi. Pada hospes yang imunokompeten, imunitas selular
mengontrol infeksi akut toxoplasma serta mencegah reaktivasi penyakit. Adanya
tachyzoit dalam darah mengaktifkan CD4+ T-cell untuk mengekpresikan CD154
(juga disebut CD40 ligand). Selanjutnya, CD154 memicu sel dendritic dan makrofag
untuk mensekresi interleukin (IL)-12, yang mengatifkan produksi interferon gamma
12 dan IFN-γ sebagai respon T.gondii pada pasien terinfeksi HIV. Aktivitas T-
Hal. 4
2.5 Manifestasi Klinis
Pada pasien yang terinfeksi HIV, T.gondii merupakan infeksi oportunistik
yang paling umum yang menyebabkan lesi fokal di otak. Pasien datang dengan
perubahan (62%), sakit kepala (59%), dan demam (41%) yang berhubungan dengan
deficit focal neurologis. Perkembangan infeksi dapat menyebabkan kebingungan,
mengantuk, hemiparesis, hemianopsia, afasia, ataxia, dan kelumpuhan saraf kranial.
Kelemahan motorik dan gangguan bicara terlihat sebagai perkembangan penyakit.
Jika tidak segera diobati, pasien dapat menjadi koma dalam beberapa hari atau
minggu.11
2.6 Diagnosis
1. Serologi
Infeksi T.gondii terdeteksi dengan melakukan pemeriksaan serologi untuk
antibody antitoxoplasma. Puncak titer serum IgG antitoxoplasma antara 1 dan 2 bulan
setelah infeksi primer dan tetap terdeteksi selama hidupnya. Pada umumnya, serum
assay tidak digunakan sebagai dasar diagnosis untuk toxoplasmosis akut, karena tidak
dapat membedakan infeksi laten aktif atau laten. Namun, pada pasien yang diketahui
tingkat baseline IgG antitoxoplasma, yang mengalami peningkatan IgG dengan ada
gejala klinis dapat menunjukkan reaktivasi infeksi toxoplasma. Hasil pemeriksaan
serologi IgG yang negative kurang menunjukkan diagnosis toxoplasmosis akut, dan
deficit neurologi fokal karena sebab lainnya perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding. Namun, hasil serologi IgG yang negative tidak menyingkirkan diagnosis
toxoplasmosis akut, pasien dengan infeksi HIV yang lama dapat menjadi
seronegative. False-negative dapat terjadi pada pasien yang baru terinfeksi atau uji
yang kurang sensitive.12
Hal. 5
2. CT Scan12
Transaxial contrast-enhanced
computed tomography scan in a
24-year-old man with human
immunodeficiency virus infection
and central nervous system
toxoplasmosis
Hal. 6
4. Analisis cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan elevasi
protein.Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang dilakukan pada diagnosis cerebral
toxoplasmosis dan tidak dianjurkan karena dapat beresiko pada TTIK. Dapat
ditemukan peningkatan protein, glukosa, peningkatan sel darah putih dengan dominan
sel mononuclear.
5. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)13
Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis
yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti
terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah
infeksi akut.
Hal. 7
Limfoma primer SSP, Single/multiple lesions pada Biopsi otak/LCS sitologi (+),
CD4<100 CT/MRI, ring enhancement LCS PCR EBV (+)
pada CT
2.7 Terapi12,15,16
Terapi lini pertama untuk toksoplasmosis serebri adalah kombinasi pirimetamin
dan sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak dengan baik walaupun
tidak ditemui inflamasi. Toxoplasma gondii,membutuhkan vitamin B untuk hidup.
Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh T. gondii sedangkan sulfadiazin
akan menghambat penggunaannya. Pirimetamin 50-100 mg perhari diberikan dengan
dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam. Kombinasi pirimetamin dan
sulfadiazin dapat memberikan efek yang tidak diharapkan berupa penghambatan
sekuensial terhadap enzim yang membantu pembentukan asam folat. Oleh karena itu,
pemberian asam folat 5-10 mg perhari diindikasikan untuk mencegah depresi sumsum
tulang.
Pasien yang alergi terhadap golongan sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin
50-100 mg perhari dengan klindamisin 450-600 mg tiap 6 jam. Pasien alergi terhadap
sulfa dan klindamisin dapat diganti dengan azitromycin 1200 mg/hr, atau klaritromisin 1
gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa pada 95% pasien, perbaikan dapat terlihat melalui neuroimaging setelah 2 minggu
terapi. Bila setelah 14 hari terapi pasien tidak menunjukkan perbaikan, atau setelah 3 hari
terapi pasien mengalami perburukan klinis pasien perlu menjalani biopsi lesi untuk
menyingkirkan limfoma yang juga sering ditemukan pada pasien HIV/AIDS.
Terapi toksoplasmosis serebri selama 2 minggu awal disebut sebagai fase induksi
awal (loading), dan walaupun perbaikan klinis sudah dapat terjadi selama fase tersebut
pasien tetap memerlukan terapi induksi lanjutan dan terapi rumatan/maintenance sebagai
profilaksis sekunder terjadinya toksoplasmosis serebri. Penelitian menyebutkan bahwa
50-80% pasien HIV yang tidak menerima terapi rumatan akan mengalami kekambuhan.
Terapi induksi lanjutan yang dimaksudkan adalah dengan menggunakan regimen yang
sama dengan terapi lini pertama, yaitu pirimetamin dan sulfadiazin namun dengan dosis
Hal. 8
lebih rendah (pirimetamin 25-50 mg per hari dan sulfadiazin 500-1000mg) yang
dikonsumsi selama minimal 6 minggu. Kembalinya sistem imunitas pada pasien HIV
dapat menjadi penanda dapat dihentikannya terapi rumatan untuk kasus toksoplasmosis.
Berdasarkan panduan tatalaksana untuk infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS,
profilaksis sekunder toksoplasmosis dapat dihentikan apabila kadar CD4 mencapai lebih
dari 200 sel/μL selama 6 bulan. Melihat panjangnya durasi terapi pada kasus
toksoplasmosis serebri, kepatuhan pasien dalam terapi toksoplasmosis serebri sangat
diperlukan, 60% pasien yang menghentikan pengobatan sebelum waktunya akan
mengalami relaps.
Studi meta-analysis dan sistemik review yang dilakukan oleh hernandes
membuktikan bahwa pemberian cotrimoxazole sendiri efektif pada kasus cerebral
toxoplasmosis jika tidak tersedia obat pilihan utama pirimetamin dan sulfadiazin. Namun
regimen dosis sendiri belum bisa dipastikan. Untuk analisa bebrapa literatur yang ada
cotrimoxazole sendiri berperan dengan terapi awal pasien cerebral toxoplasmosis dengan
HIV.17
Terapi clindamycin sendiri perna diteliti oleh Madi dan kawan-kawan yang
dilakukan di india. Dari laporan kasus pada jurnal tersebut pasien dengan cerebral
toxoplasmosis hanya diberi terapi regimen clindamycin 600 mg/hari selama 3 minggu.
Setelah diterapi selama tiga minggu dievaluasi dengan menggunakan CT scan. Terapi
clindamycin sendiri diberikan selama 10 bulan. Pada laporan kasus ini terbukti
clindamysin dengan dosis 600 mg/hari yang diberikan selama 10 bulan dapat mengobati
pasien dengan cerebral toxoplasmosis.4
Pemberian kortikosteroid bukan merupakan terapi yang rutin digunakan. Namun
penggunaannya perlu dipikirkan pada pasien yang terus mengalami perburukan klinis
dalam 48 jam atau pasien yang secara radiologis diketahui mengalami midline shift dan
menunjukkan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Kortikosteroid yang umum
digunakan pda keadaan tersebut adalah dexamethasone dengan dosis 4mg diberikan tiap
6 jam kemudian diturunkan dosisnya secara cepat selama beberapa hari selanjutnya.
Pemberian steroid perlu dilakukan secara hati-hati pada pasien dengan infeksi HIV
karena akan memperbesar kemungkinan terjadinya infeksi oportunistik sekaligus
memberikan masking-effect dari infeksi tersebut.
Hal. 9
Gambar 2 : tatalaksana toxoplasmosis16
2.8 Profilaksis12
Jika tidak didiagnosis dan diterapi dengan tepat, toksoplasmosis serebral bisa
menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Terapi profilaksis adalah kunci mencegah
terjadinya onset penyakit.
Hal. 10
BAB III
Laporan Kasus
No. DM : 46 65 46
Nama : Tn, OT
Umur : 34 tahun
Alamat : Jayapura
Pekerjaan : Swasta
Hal. 11
3.1 ANAMNESIS
Autoa anamnesa
Keluhan Utama :
Hal. 12
3.2 PEMERIKSAAN FISIK
Suhu : 36,50C
SpO2 : 98 %
Kepala :
Leher :
Thorax :
- Paru
Inspeksi : Simetris, ikut gerak napas
Palpasi : Vokal fremitus dextra sama dengan sinistra
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki -/-
STATUS - Jantung
INTERNA Inspeksi : Ictus cordis (-)
Palpasi : Thrill (-)
Perkusi : Pekak (+)
Auskultasi :BJ I – II reguler
Abdomen :
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), Hepar/Lien : tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Ekstremitas :
Hal. 13
- Ekstremitas Superior : Akral hangat, edema (-)
- Ekstremitas Inferior : Akral hangat, edema (-)
Genitalia : dalam batas normal
Rangsang Meningeal :
5555 3333 N
Sensorik :
Hal. 14
Nervus Cranialis :
N. I (Olfaktorius)
N. II (Optikus)
N. V (Trigeminus)
- Cabang 1 (Ophtalmicus)
- Cabang II (Maxillaris)
- Cabang III (Mandibularis)
N. parese VII (Fascialis) (S)
N. VIII (Vestibulocochlearis)
N. IX (Glossopharingeus)
N. X (Vagus)
N. XI (Accesorius)
Hal. 15
3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Tanggal : 14 – 05 – 2018
Parameter Hasil Nilai Rujukan
WBC 3,6 3,5 – 10
NEUT 67,6 46 – 73
LYMPH 0,4 1.5 – 4.0
RBC 3,8 M : 4.50 – 5.50
F : 4.0 – 5.0
HGB 10.5 M : 14.0 – 17.4
F : 12.0 – 16.0
HCT 31.8 M : 42 – 52
F : 36 – 48
MCV 87.4 84.0 – 96.0
MCH 30.4 28.0 – 34.0
MCHC 34.8 32.0 – 36.0
RDW - SD 45.7
RDW - CV 13.5 11.5 – 14.5
PLT 177.0 150 – 400
MPV 10.8 7.4 – 10.4
GDS 108 <150 mg/dL
CREATININ 1.0 M: 0.9-1.5 mg/dL
F: 0.8-1,2 mg/dL
UREUM 22 10-50 mg/dL
NATRIUM 138,2 135-145 mmol/L
(Na)
KALIUM (K) 4,06 3.5-5.5 mmol/L
CLORIDA (Cl) 106,6 98-108 mmol/L
PITC Reaktif
Hal. 16
RADIOLOGI (CT-SCAN KEPALA)
3.4 ASSESSMENT
Toxoplasma Cerebri B20, Anemia ec chronic disease
3.5 PLANNING
Medikamentosa
IVFD NaCl 0,9 % 500 cc tiap 24 jam
Inj. Mecobalamin 500/ mg (iv) / 12 jam
Inj. Ranitidin 1 amp (iv) / 12 jam
Inj. Dexamethazone 1 amp (iv) / 8 jam
Inj. Diazepam 1 amp (iv) (bila kejang)
Fenitoinn tab 100mg/ 12 jam
Hal. 17
Asam folat tablet/12 jam
Pirimetamin 200mg loading dose (P.O) lanjut setelah 24 jam dgn dosis 75mg/24 jam
Clindamisn 600mg/6jam
Pro pemeriksaan CD4
Pro Brain CT-Scan + kontras
3.6 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam
15 Mei 2018
s Rasa nyut-nyut pada tangan kiri dan kaki kiri. Tangan kiri masih belum bisa digerakan
o KU : Tampak sakit Sedang
Kesadaran: Composmentis (GCS E4M6V5)
TD 120/70 mmHg, N 87x/menit, RR 21x/menit, Suhu 36,70C, SpO2 98%
Status Neurologis :
Rangsang Meningeal (-),
status motorik
KO 5555 1111
Refleks Fisiologi Refleks Patologi
5555 3333
Bisep +/+ Babinski -/-
Trisep +/+ Chadok -/-
TO N Brachioradialis +/+ Oppenheim -/-
Patela +/+ Gordon -/-
N
Archiles +/+ Gonda -/-
Scchaeffer -/-
Status sensoris
Ekteroseptif
Rasa raba +/+
Rasa nyeri +/+
Rasa Suhu +/+
Propioseptif
Rasa Gerak +/+
Hal. 18
Rasa posisi +/+
Status otonom
BAK mandiri
BAB mandiri
A Susp. Toxoplasma cerebri, B20, anemia ec chronic desease
P IUFD NaCl 0,9 % 500 cc 20 tpm
Injeksi Dexamethazone ampul/ 8 jam (iv)
Injeksi ranitidin ampul/12jam (iv)
Injeksi citicolin 500mg/12 jam (iv)
Injeksi mecobalamin/12 jam (iv)
Paracetamol tablet 500mg/8 jam
Pro brain CT-Scan + kontras
16 Mei 2018
s Rasa nyut-nyut pada tangan kiri dan kaki kiri. Tangan kiri masih belum bisa digerakan
o KU : Tampak sakit Sedang
Kesadaran: Composmentis (GCS E4M6V5)
TD 110/70 mmHg, N 89x/menit, RR 22x/menit, Suhu 36,50C, SpO2 98%
Status Neurologis :
Rangsang Meningeal (-),
status motorik
KO 5555 1111
Refleks Fisiologi Refleks Patologi
5555 3333
Bisep +/+ Babinski -/-
Trisep +/+ Chadok -/-
TO N Brachioradialis +/+ Oppenheim -/-
Patela +/+ Gordon -/-
N
Archiles +/+ Gonda -/-
Scchaeffer -/-
Status sensoris
Ekteroseptif
Rasa raba +/+
Rasa nyeri +/+
Rasa Suhu +/+
Hal. 19
Propioseptif
Rasa Gerak +/+
Rasa posisi +/+
Status otonom
BAK mandiri
BAB mandiri
A Susp. Toxoplasma cerebri, B20, anemia ec chronic desease
P IUFD NaCl 0,9 % 500 cc 20 tpm
Injeksi Dexamethazone ampul/ 8 jam (iv)
Injeksi ranitidin ampul/12jam (iv)
Injeksi citicolin 500mg/12 jam (iv)
Injeksi mecobalamin/12 jam (iv)
Paracetamol tablet 500mg/8 jam
Pro brain CT-Scan + kontras
17 Mei 2018
s Pasien kejang 1 kali, diawali dengan teriakan yang besar, dan kejang terjadi pada
seluruh tubuh. Rasa nyut-nyut pada tangan kiri dan kaki kiri. Tangan kiri masih belum
bisa digerakan
o KU : Tampak sakit Sedang
Kesadaran: Composmentis (GCS E4M6V5)
TD 120/70 mmHg, N 87x/menit, RR 21x/menit, Suhu 36,70C, SpO2 98%
Status Neurologis :
Rangsang Meningeal (-),
status motorik
KO 5555 1111
Refleks Fisiologi Refleks Patologi
5555 3333
Bisep +/+ Babinski -/-
Trisep +/+ Chadok -/-
TO N Brachioradialis +/+ Oppenheim -/-
Patela +/+ Gordon -/-
N
Archiles +/+ Gonda -/-
Scchaeffer -/-
Hal. 20
Status sensoris
Ekteroseptif
Rasa raba +/+
Rasa nyeri +/+
Rasa Suhu +/+
Propioseptif
Rasa Gerak +/+
Rasa posisi +/+
Status otonom
BAK mandiri
BAB mandiri
A Toxoplasma cerebri, B20, anemia ec chronic desease, Genereal seizure
P IVFD NaCl 0,9 % 500 cc tiap 24 jam
Inj. Mecobalamin 500/ mg (iv) / 12 jam
Inj. Ranitidin 1 amp (iv) / 12 jam
Inj. Dexamethazone 1 amp (iv) / 8 jam
Inj. Diazepam 1 amp (iv) (bila kejang)
Fenitoinn tab 100mg/ 12 jam
Asam folat tablet/12 jam
Pirimetamin 200mg loading dose (P.O) lanjut setelah 24 jam dgn dosis
75mg/24jam
Clindamisn 600mg/6jam
18 Mei 2018
s Rasa nyut-nyut pada tangan kiri dan kaki kiri. Tangan kiri masih belum bisa digerakan.
Kejang (-)
o KU : Tampak sakit Sedang
Kesadaran: Composmentis (GCS E4M6V5)
TD 120/70 mmHg, N 87x/menit, RR 21x/menit, Suhu 36,70C, SpO2 98%
Status Neurologis :
Rangsang Meningeal (-),
Hal. 21
status motorik
KO 5555 1111
Refleks Fisiologi Refleks Patologi
5555 3333
Bisep +/+ Babinski -/-
Trisep +/+ Chadok -/-
TO N Brachioradialis +/+ Oppenheim -/-
Patela +/+ Gordon -/-
N
Archiles +/+ Gonda -/-
Scchaeffer -/-
Status sensoris
Ekteroseptif
Rasa raba +/+
Rasa nyeri +/+
Rasa Suhu +/+
Propioseptif
Rasa Gerak +/+
Rasa posisi +/+
Status otonom
BAK mandiri
BAB mandiri
A Susp. Toxoplasma cerebri, B20, anemia ec chronic desease, general seizure
P P IVFD NaCl 0,9 % 500 cc tiap 24 jam
Inj. Mecobalamin 500/ mg (iv) / 12 jam
Inj. Ranitidin 1 amp (iv) / 12 jam
Inj. Dexamethazone 1 amp (iv) / 12 jam
Inj. Diazepam 1 amp (iv) (bila kejang)
Fenitoinn tab 100mg/ 12 jam
Asam folat tablet/12 jam
Pirimetamin 200mg loading dose (P.O) lanjut setelah 24 jam dgn dosis
75mg/24jam
Clindamisn 600mg/6jam
Hal. 22
19 Mei 2018
s Rasa nyut-nyut pada tangan kiri dan kaki kiri. Tangan kiri masih belum bisa
digerakan. Kejang (-)
o KU : Tampak sakit Sedang
Kesadaran: Composmentis (GCS E4M6V5)
TD 120/70 mmHg, N 87x/menit, RR 21x/menit, Suhu 36,70C, SpO2 98%
Status Neurologis :
Rangsang Meningeal (-),
status motorik
KO 5555 1111
Refleks Fisiologi Refleks Patologi
5555 3333
Bisep +/+ Babinski -/-
Trisep +/+ Chadok -/-
TO N Brachioradialis +/+ Oppenheim -/-
Patela +/+ Gordon -/-
N
Archiles +/+ Gonda -/-
Scchaeffer -/-
Status sensoris
Ekteroseptif
Rasa raba +/+
Rasa nyeri +/+
Rasa Suhu +/+
Propioseptif
Rasa Gerak +/+
Rasa posisi +/+
Status otonom
BAK mandiri
BAB mandiri
A Susp. Toxoplasma cerebri, B20, anemia ec chronic desease
P P Aff infuse ganti oral
Pirimetamin 75 mg/8 jam
Clindamisin 600mg / 6 jam
Dexamethazone tablet / 8 jam
Ranitidine tablet/12 jam
Tramadol caps/ 8jam bila nyeri kepala
Fenitoinn tab 100mg/ 8jam
Asam folat tablet/12 jam
Hal. 23
Pirimetamin 200mg loading dose (P.O) lanjut setelah 24 jam dgn
dosis 75mg/24jam
Clindamisn 600mg/6jam
Rawat jalan
Hal. 24
BAB IV
PEMBAHASAN
Toxoplasmosis ialah penyakit infeksi yang dapat meyerang binatang dan manusia
yang disebabkan oleh sporozoa Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit intraselluler.
Toxoplasma adalah parasit protozoa dengan sifat alami dengan perjalanannya dapat akut atau
menahun, simtomatik maupun asimtomatik. Infeksi akut pada manusia yang memiliki imun
yang baik (immunocompetent) biasanya tidak memiliki gejala (asymptommatic). Sedangkan
individu yang terinfeksi dalam jangka waktu yang lama dan memiliki gangguan imunitas
(AIDS) berisiko untuk mengalami infeksi laten, yang manifestasi utamanya ialah toxoplasma
ensefalitis atau dikenal juga dengan toxoplasmosis serebri.
Pada pasien infeksi HIV, T.gondii merupakan infeksi oportunistik yang paling umum
yang menyebabkan lesi fokal di otak. Pasien datang dengan perubahan status mental (62%),
sakit kepala (59%), dan demam (41%) yang berhubungan dengan deficit focal neurologis.
Perkembangan infeksi dapat menyebabkan kebingungan, mengantuk, hemiparesis,
hemianopsia, afasia, ataxia, dan kelumpuhan saraf kranial. Kelemahan motoric dan gangguan
bicara terlihat sebagai perkembangan penyakit. Biasanya terdapat pembengkakan kelenjar
getah bening (sering di leher). Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis
fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung kerna adanya pembentukan abses akibat dari
terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan sistem imunnya menurun, gejala-gejala
fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan
penurunan kesadaran
Pada kasus ini pasien mengeluh lemah pada tubuh sisi kiri sejak 2 minggu SMRS,
awalnya pasien sedang mencuci pakaian, lalu tiba-tiba merasa lemah pada tangan kiri,
disertai dengan rasa pusing berputar dan nyeri kepala, 3 hari setalah itu kaki kiri pasien juga
terasa lemah dan sulit untuk digerakan, pasien juga mengalami kejang 2 kali di rumah.
Hal. 25
kepala terjadi karena adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial.Keadaan-keadaan ini umumnya
muncul pada pasien-pasien dengan kelainan non fokal yang biasanya berkembang dari tanda
neurologik fokal sebagai akibat proses infeksi yang progresif.
Pemeriksaan patologi dari spesimen biopsi otak merupakan diagnosa definitif pada
pederita toxoplasma serebri. Namun hal ini tidak rutin dilakukan karena pemeriksaan lain
seperti serologi dan imaging dirasa cukup untuk membuat diagnosa presumptive. Biopsi otak
sangat sensitif tetapi berisiko perdarahan, merusak jaringan sekitar, dan menyebarkan infeksi.
Sehingga biopsi hanya direkomendasikan bila diagnosis meragukan atau pasien tidak
berespon atau memburuk terhadap pengobatan empirik.
Pada kasus ini pemeriksaan penunjang yang dipakai untuk menegakkan diagnosa
yaitu dengan pemeriksaan CT scan dengan kontras. Pada hari perawatan kedua pasien
disarankan untuk dilakukan pemeriksaan CT scan. Setelah hari perawatan ketiga diagnosa
toxoplasmosis cerebri ditegakakkan berdasarkan hasil baca CT scan ditemukan lesi solid
multiple pada subcortical parenkim serebri dan serebellum.
Pada kasus ini juga dilakukan pemeriksaan HIV tanggal 14 Mey 2018. Dari hasil
pemeriksaan tersebut didapatkan HIV positif pada tiga kali pemeriksaan. Sehingga
berdasarkan hasil tersebut diagnosa HIV ditegakkan. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang ada maka dapat ditegakkan diagnosa toxoplasmosi Cerebri
dengan HIV/
Hal. 26
Bagaimana tatalaksanan yang diberikan pada pasien ini ?
Terapi lini pertama untuk toksoplasmosis serebri adalah kombinasi pirimetamin dan
sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak dengan baik walaupun tidak
ditemui inflamasi. Toxoplasma gondii,membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh T. gondii sedangkan sulfadiazin akan menghambat
penggunaannya. Pirimetamin 50-100 mg perhari diberikan dengan dikombinasikan dengan
sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam. Kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin dapat memberikan efek
yang tidak diharapkan berupa penghambatan sekuensial terhadap enzim yang membantu
pembentukan asam folat. Oleh karena itu, pemberian asam folat 5-10 mg perhari
diindikasikan untuk mencegah depresi sumsum tulang.
Pasien yang alergi terhadap golongan sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin
50-100 mg perhari dengan klindamisin 450-600 mg tiap 6 jam. Pasien alergi terhadap sulfa
dan klindamisin dapat diganti dengan azitromycin 1200 mg/hr, atau klaritromisin 1 gram tiap
12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam.
Terapi profilaksis untuk pencegahan Primary : untuk pasien dengan CD4+ <100
cells/mm3 atau CD4+ <200 cells/mm3 dengan infeksi oportunistik / keganasan : TMP –
SMX (480 mg TMP/ 960 mg SMX) tablet/hari Secondary : tidak mendapatkan maintenance
risiko relaps 50-80%. Sulfadiazine (500-1000 mg oral 4 kali/hari), pyrimetamine 25-50
mg/hari oral, leucovorin (10-25 mg/hari oral).
Pada kasus ini pasien diberikan terapi Pirimetamin 200 mg dalam 24 jam pertama,
dilanjutkan dengan pirimetamin dosis 75 mg/24 jam, dan Clindamycin 600mg/6jam.
Pemberian dexametahzone, diazepam, fenitoin, asam folat, dan ranitidin pada kasus ini
dinilai efektif karena dengan perbaikan klinis yang ditampilkan pasien.
Terapi clindamycin sendiri perna diteliti oleh Madi dan kawan-kawan yang dilakukan
di india. Dari laporan kasus pada jurnal tersebut pasien dengan cerebral toxoplasmosis hanya
diberi terapi regimen clindamycin 4x600 mg selama 3 minggu. Setelah diterapi selama tiga
minggu dievaluasi dengan menggunakan CT scan. Terapi clindamycin sendiri diberikan
selama 10 bulan. Pada laporan kasus ini terbukti clindamysin dengan dosis 4x600 mg yang
diberikan selama 10 bulan dapat mengobati pasien dengan cerebral toxoplasmosis.
Pada pasien ini pasien hanya diterapi dengan regimen clindamcyin dengan dosis 600
mg/6 jam. Pemberian single terapi clindamycin pada pasien ini diberikan pada hari perawatan
ke tiga. Pemberian clindamysin dipasangakan dengan pirimetamin sebagai alternatif terapi
cerebral toxoplasmosis. Dari beberapa jurnal yang ditulis oleh Deepak dan kawan kawan
Hal. 27
ternyata clindamycin dapat mengobati cerebral toxoplasmosis dengan dosis 4x600 mg selama
10 bulan memberikan hasil yang bermakna.
Infeksi akut diterapi minimal selama 3 minggu dan ditoleransi dalam 6 minggu. Pada
pasien yang tidak respon terhadap pengobatan dalam 10 – 14 hari, atau menunjukkan
penurunan klinis dalam 3 hari pengobatan, dianjurkan untuk melakukan biopsi untuk
menyingkirkan kemungknan limfoma.
Oleh karena kejadian toksoplasmosis serebri berkaitan erat dengan kadar CD4, maka
terapi antiretroviral tentu diperlukan pada pasien HIV/AIDS. Namun pemberiannya pada
pasien yang telah didiagnosis dengan toksoplasmosis serebri memerlukan perhatian khusus.
Terapi antiretroviral baru dapat diberikan 2-3 minggu setelah terapi toksoplasma, bergantung
dari penilaian klinisi.
Fakta bahwa angka mortalitas pasien HIV/AIDS dengan toksoplasmosis serebri
meningkat secara signifikan memberikan dasar yang kuat bagi para klinisi untuk memberikan
terapi empirik pada pasien dengan HIV/AIDS yang memiliki gambaran lesi multipel terutama
bersifat ring-enhancement pada CT Scan walaupun hasil serologi belum diketahui.
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian
korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada
tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan
inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah
laku.Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek antiinflamasi. Efek
antiinflamasi ini terjadi melalui mekanisme penekanan aktifitas fosfolipase sehingga
mencegah pembentukan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien. Penekanan
sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi peradangan, namun dapat
memudahkan pasien terkena infeksi. Oleh karena itu pada pemberian kortikosteroid sebagai
antiinflamatik sebaiknya disertakan dengan pemberian antibiotik/antifungal untuk mencegah
infeksi.
Pada kasus ini pasien diterapi dengan pemberian dexametason. Pasien datang
sebelumnya dengan keluhan lumpuh tubuh sisi kiri dan nyeri kepala. Kelumpuhan tubuh sisi
kiri dan nyeri kepala yang dirasakan sendiri merupakan efek dari penekanan intra kranial.
Indikasi pemberian dexametason pada pasien ini dengan menekan adanya edema vasogenik
yang terjadi sebagi akibat dari lesi yang disebebkan oleh infeksi toxoplasmosis. Pemberian
dexametason diberikan dengan dosis 3x5 mg yang diturunkan dosisnya per tiga hari. Pada
Hal. 28
pasien ini terbukti keluhan nyeri kepala yang dikeluhkan berkurang setelah pemberian
dexamethazone.
Hal. 29
BAB V
KESIMPULAN
SARAN
Dengan meningkatnya cerebral toxoplasmosis dengan HV sehingga disarankan
agar Rumah sakit kita harus memiliki pemeriksaan penunjang dan obat-obatan
yang memadai,
Hal. 30
Berdasarkan literature yang ada disarankan apabila ada pasien masuk dengan
keluhan nyeri kepala yang kita curigai dengan klinis HIV maka yang dipikirkan
terlebih dahulu adalah toxoplasmosis.
Hal. 31