Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi dengan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency


Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di semua negara di dunia, pada kedua
gender, semua umur, budaya, dan tingkat sosioekonomi. Penyakit neurologi pada pasien
HIV/AIDS sangat luas, dan frekuensi komplikasi neorologi meningkat selama perjalanan
penyakit.1

Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita
HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi
disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit
keganasan. Hampir semua penyakit dapat menjadi infeksi oportunistik pada penderita HIV
jika system imun mulai lemah. Infeksi oportunistik pada HIV yang paling sering adalah
kandidiasis, cytomegalovirus, HSV, toksoplasmosis, tuberculosis, dan pneymocytis carinii
pneumonia.2

Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik yang biasanya


menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling sering terhadap
abses serebral pada pasien-pasien ini. Toxoplasma gondii juga dapat menimbulkan radang
pada kulit, kelenjar getah bening, jantung, paru, mata, dan selaput otak. Infeksi paling umum
dapat didapat dari kontak dengan kucing-kucing dan feces mereka atau daging mentah atau
yang kurang masak.2,3

Toksoplasma serebri merupakan infeksi opportunistik yang berkaitan dengan sistem


saraf pusat yang paling sering ditemukan pada individu dengan Acquired
Immunodefficiency Syndrome (AIDS). Angka kejadian toksoplasma serebri pada pasien
AIDS mencapai 3-40% di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, angka kejadian berkisar
antara 10-20%. Toksoplasmosis serebri pada pasien imunodefisiensi hampir selalu
berkaitan dengan prognosis yang lebih buruk. Studi yang sama menyebutkan 23%
kematian pada pasien AIDS disebabkan oleh toksoplasmosis serebri. Prevalensi cerebral
toxoplasmosis di Brazil cukup tinggi, insiden terjadinya antara 30-40% pada penderita
AIDS yang tidak terkontrol, di Amerika mencapai 30-50%, dan di Eropa mencapai 50-
70%. Cerebral toxoplasmosis mempunyai prognosis buruk pada pasien AIDS, dapat
mengancam kehidupan bila tidak segera didiagnosis dan ditangani secepatnya.3

Hal. 1
Penyakit ini bisa diobati dan bisa sembuh secara total, namun jika tidak dirawat, akan
berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang
merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia.Penyakit ini cukup
sulit didiagnosis dan diterapi, terutama di negara-negara berkembang di mana jumlah pasien
HIV sangat tinggi. Faktor resiko untuk terkena infeksi toksoplasma gondii pada pasien HIV
termasuklah umur, ras dan faktor demografik lainnya. Berdasarkan gejala klinis dan
terlibatnya struktur otak, menyebabkan kasus ini menjadi lebih serius dari toksoplasmosis
ekstraserebral.4

Hal. 2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi

Toxoplasmosis ialah penyakit infeksi yang dapat meyerang binatang dan manusia
yang disebabkan oleh sporozoa Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit intraselluler.
Toxoplasma adalah parasit protozoa dengan sifat alami dengan perjalanannya dapat akut atau
menahun, simtomatik maupun asimtomatik.3,5

2.2 Epidemiologi

Distribusi infeksi T.gondii menyebar di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, 15%-


29,2% populasi seropositive terhadap infeksi T.gondii, sementara tingkat prevalensi di Eropa
dan negara-negara tropis dapat mencapai 90%. Di Amerika Serikat, prevalensi infeksi
T.gondii pada pasien terinfeksi HIV tidak berbeda dengan yang tidak teinfeksi. Dengan
meluasnya penggunaan terapi antiretroviral, insiden cerebral toxoplasmosis telah menurun.
Kejadian toxoplasma ensefalitis menurun dari 3.9 kasus per 100 orang sebelum adanya terapi
antiretroviral menjadi 1 kasus per 100 orang setelah adanya terapi antiretroviral.6

Gambar 1 : Epidemologi toxoplasmosis pada HIV7

2.3 Etiologi

Toxoplasmosis adalah penyakit zoonotic yang disebabkan oleh protozoa intrasel


T. gondii. Infeksi pada manusia biasanya terjadi melalui oral atau transplasenta.

Hal. 3
Konsumsi daging mentah atau setengah matang yang mengandung kista, air yang
terkontaminasi dengan ookista dari feses kucing, dan sayuran yang tidak dicuci adalah
rute primer penularan melalui oral; penanganan yang tidak tepat pada daging atau
tanah yang tercemar juga dapat menyebabkan infeksi hand-to-mouth.5,8
2.4 Patogenesis
Manusia adalah hospes perantara T.gondii, sedangkan hospes definitive adalah
kucing. Kucing yang terinfeksi menyebarkan penyakit ketika ookista keluar bersama
feses. Ketika tertelan manusia, ookista menjadi tachyzoit yang cepat mengalami
replikasi. Tachyzoit ini menembus inti sel dan membentuk vakuola. Ketika sel mati,
tachyzoit terus menyebar di seluruh tubuh dan menginfeksi jaringan lain yang
menyebabkan respon inflamasi. Pada hospes yang imunokompeten, imunitas selular
mengontrol infeksi akut toxoplasma serta mencegah reaktivasi penyakit. Adanya
tachyzoit dalam darah mengaktifkan CD4+ T-cell untuk mengekpresikan CD154
(juga disebut CD40 ligand). Selanjutnya, CD154 memicu sel dendritic dan makrofag
untuk mensekresi interleukin (IL)-12, yang mengatifkan produksi interferon gamma

(IFN-γ).IFN-γ menstimulasi makrofag dan sel nonfagosit lainnya sebagai respon

antitoxoplasmic. Tumor necrosis factor-α (TNF-α) juga berperan dalam


mengendalikan T.goondi dengan mengembangkan respon T-cell yang kuat terhadap
infeksi ini. Selanjutnya, tachyzoit berubah menjadi bradyzoit, yang secara morfologis
mirip dengan tachyzoite tetapi bereplikasi lebih lambat. Kista bradyzoit yang bertahan
di otak, jantung, dan otot skeletal adalah tempat sisa hidupnya. Jika hopses menjadi
immunocompromised, kista ini dapat berubah kembali menjadi tachyzoit untuk
menginfeksi jaringan lain pada hospes.9
Pada pasien yang terinfeksi HIV, ekspresi CD154 sebagai respon toxoplasma
terganggu pada sel CD4+. Gangguan ini berhubungan dengan penurunan produksi IL-

12 dan IFN-γ sebagai respon T.gondii pada pasien terinfeksi HIV. Aktivitas T-

limfosit juga terganggu, sehingga pertahanan hospes melawan T.gondii menurun.


Penurunan pertahanan hospes menyebabkan reaktivasi infeksi kronik toxoplasma
pada pasien terinfeksi HIV, terutama ketika jumlah CD4+ kurang dari 100
sel/uL.9.10,14

Hal. 4
2.5 Manifestasi Klinis
Pada pasien yang terinfeksi HIV, T.gondii merupakan infeksi oportunistik
yang paling umum yang menyebabkan lesi fokal di otak. Pasien datang dengan
perubahan (62%), sakit kepala (59%), dan demam (41%) yang berhubungan dengan
deficit focal neurologis. Perkembangan infeksi dapat menyebabkan kebingungan,
mengantuk, hemiparesis, hemianopsia, afasia, ataxia, dan kelumpuhan saraf kranial.
Kelemahan motorik dan gangguan bicara terlihat sebagai perkembangan penyakit.
Jika tidak segera diobati, pasien dapat menjadi koma dalam beberapa hari atau
minggu.11

2.6 Diagnosis
1. Serologi
Infeksi T.gondii terdeteksi dengan melakukan pemeriksaan serologi untuk
antibody antitoxoplasma. Puncak titer serum IgG antitoxoplasma antara 1 dan 2 bulan
setelah infeksi primer dan tetap terdeteksi selama hidupnya. Pada umumnya, serum
assay tidak digunakan sebagai dasar diagnosis untuk toxoplasmosis akut, karena tidak
dapat membedakan infeksi laten aktif atau laten. Namun, pada pasien yang diketahui
tingkat baseline IgG antitoxoplasma, yang mengalami peningkatan IgG dengan ada
gejala klinis dapat menunjukkan reaktivasi infeksi toxoplasma. Hasil pemeriksaan
serologi IgG yang negative kurang menunjukkan diagnosis toxoplasmosis akut, dan
deficit neurologi fokal karena sebab lainnya perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding. Namun, hasil serologi IgG yang negative tidak menyingkirkan diagnosis
toxoplasmosis akut, pasien dengan infeksi HIV yang lama dapat menjadi
seronegative. False-negative dapat terjadi pada pasien yang baru terinfeksi atau uji
yang kurang sensitive.12

Antibody IgM antitoxoplasma biasanya menghilang dalam minggu sampai


bulan setelah infeksi primer tetapi dapat tetap meningkat selama lebih dari 1 tahun.
Karena itu, peningkatan IgM tidak selalu menunjukkan baru terkena infeksi. Karena
antibody IgM antitoxoplasma biasanya tidak ada pada pasien dengan penyakit yang
reaktif dan ensefalitis toxoplasmik pada pasien terinfeksi HIV adalah penyakit reaktif
yang tersering, maka antibody IgM tidak berguna dalam pemeriksaan toxoplasmosis
serebral.10,11,12

Hal. 5
2. CT Scan12

Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple dan


biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai
edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul
dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.

Transaxial contrast-enhanced
computed tomography scan in a
24-year-old man with human
immunodeficiency virus infection
and central nervous system
toxoplasmosis

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)12


MRI lebih sensitive daripada CT scan sehingga lebih dipilih sebagai teknik
pencitraan, terutama pasien tanpa tanda neurologi fokal yang abnormal dan pasien
yang pada CT scan memperlihatkan 1 lesi atau tanpa lesi.

Hal. 6
4. Analisis cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan elevasi
protein.Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang dilakukan pada diagnosis cerebral
toxoplasmosis dan tidak dianjurkan karena dapat beresiko pada TTIK. Dapat
ditemukan peningkatan protein, glukosa, peningkatan sel darah putih dengan dominan
sel mononuclear.
5. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)13
Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis
yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti
terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah
infeksi akut.

PATOGEN IMAGING PEM.PENUNJANG LAIN

Ensefalitis toksoplasmosis, Lesi massa multipel/kadang- IgG serum terhadap


CD4<100 kadang single pada CT/MRI, toksoplasmosis (+)
biasanya pada basal ganglia,
ring enhancement pada CT

Meningitis criptokokus, Nonspesifik LCS : tekanan tinggi, kadar


CD4<100 glucosa rendah, protein,
antigen kriptokokus (+)
kultur (+)

Lainnya : antigen serum


biasanya juga (+)

Ensefalopati HIV, Normal pada awalnya, atrofi LCS: Nonspesifik


CD4<200 difus, patchy/diffuse white
Lainnya: beta-2
matter changes on T2-
mikroglobulin LCS, HIV
weighted MRI pd stadium
RNA tinggi pada semua
lanjut
kasus

Hal. 7
Limfoma primer SSP, Single/multiple lesions pada Biopsi otak/LCS sitologi (+),
CD4<100 CT/MRI, ring enhancement LCS PCR EBV (+)
pada CT

2.7 Terapi12,15,16
Terapi lini pertama untuk toksoplasmosis serebri adalah kombinasi pirimetamin
dan sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak dengan baik walaupun
tidak ditemui inflamasi. Toxoplasma gondii,membutuhkan vitamin B untuk hidup.
Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh T. gondii sedangkan sulfadiazin
akan menghambat penggunaannya. Pirimetamin 50-100 mg perhari diberikan dengan
dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam. Kombinasi pirimetamin dan
sulfadiazin dapat memberikan efek yang tidak diharapkan berupa penghambatan
sekuensial terhadap enzim yang membantu pembentukan asam folat. Oleh karena itu,
pemberian asam folat 5-10 mg perhari diindikasikan untuk mencegah depresi sumsum
tulang.
Pasien yang alergi terhadap golongan sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin
50-100 mg perhari dengan klindamisin 450-600 mg tiap 6 jam. Pasien alergi terhadap
sulfa dan klindamisin dapat diganti dengan azitromycin 1200 mg/hr, atau klaritromisin 1
gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa pada 95% pasien, perbaikan dapat terlihat melalui neuroimaging setelah 2 minggu
terapi. Bila setelah 14 hari terapi pasien tidak menunjukkan perbaikan, atau setelah 3 hari
terapi pasien mengalami perburukan klinis pasien perlu menjalani biopsi lesi untuk
menyingkirkan limfoma yang juga sering ditemukan pada pasien HIV/AIDS.
Terapi toksoplasmosis serebri selama 2 minggu awal disebut sebagai fase induksi
awal (loading), dan walaupun perbaikan klinis sudah dapat terjadi selama fase tersebut
pasien tetap memerlukan terapi induksi lanjutan dan terapi rumatan/maintenance sebagai
profilaksis sekunder terjadinya toksoplasmosis serebri. Penelitian menyebutkan bahwa
50-80% pasien HIV yang tidak menerima terapi rumatan akan mengalami kekambuhan.
Terapi induksi lanjutan yang dimaksudkan adalah dengan menggunakan regimen yang
sama dengan terapi lini pertama, yaitu pirimetamin dan sulfadiazin namun dengan dosis

Hal. 8
lebih rendah (pirimetamin 25-50 mg per hari dan sulfadiazin 500-1000mg) yang
dikonsumsi selama minimal 6 minggu. Kembalinya sistem imunitas pada pasien HIV
dapat menjadi penanda dapat dihentikannya terapi rumatan untuk kasus toksoplasmosis.
Berdasarkan panduan tatalaksana untuk infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS,
profilaksis sekunder toksoplasmosis dapat dihentikan apabila kadar CD4 mencapai lebih
dari 200 sel/μL selama 6 bulan. Melihat panjangnya durasi terapi pada kasus
toksoplasmosis serebri, kepatuhan pasien dalam terapi toksoplasmosis serebri sangat
diperlukan, 60% pasien yang menghentikan pengobatan sebelum waktunya akan
mengalami relaps.
Studi meta-analysis dan sistemik review yang dilakukan oleh hernandes
membuktikan bahwa pemberian cotrimoxazole sendiri efektif pada kasus cerebral
toxoplasmosis jika tidak tersedia obat pilihan utama pirimetamin dan sulfadiazin. Namun
regimen dosis sendiri belum bisa dipastikan. Untuk analisa bebrapa literatur yang ada
cotrimoxazole sendiri berperan dengan terapi awal pasien cerebral toxoplasmosis dengan
HIV.17
Terapi clindamycin sendiri perna diteliti oleh Madi dan kawan-kawan yang
dilakukan di india. Dari laporan kasus pada jurnal tersebut pasien dengan cerebral
toxoplasmosis hanya diberi terapi regimen clindamycin 600 mg/hari selama 3 minggu.
Setelah diterapi selama tiga minggu dievaluasi dengan menggunakan CT scan. Terapi
clindamycin sendiri diberikan selama 10 bulan. Pada laporan kasus ini terbukti
clindamysin dengan dosis 600 mg/hari yang diberikan selama 10 bulan dapat mengobati
pasien dengan cerebral toxoplasmosis.4
Pemberian kortikosteroid bukan merupakan terapi yang rutin digunakan. Namun
penggunaannya perlu dipikirkan pada pasien yang terus mengalami perburukan klinis
dalam 48 jam atau pasien yang secara radiologis diketahui mengalami midline shift dan
menunjukkan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Kortikosteroid yang umum
digunakan pda keadaan tersebut adalah dexamethasone dengan dosis 4mg diberikan tiap
6 jam kemudian diturunkan dosisnya secara cepat selama beberapa hari selanjutnya.
Pemberian steroid perlu dilakukan secara hati-hati pada pasien dengan infeksi HIV
karena akan memperbesar kemungkinan terjadinya infeksi oportunistik sekaligus
memberikan masking-effect dari infeksi tersebut.

Hal. 9
Gambar 2 : tatalaksana toxoplasmosis16

2.8 Profilaksis12
Jika tidak didiagnosis dan diterapi dengan tepat, toksoplasmosis serebral bisa
menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Terapi profilaksis adalah kunci mencegah
terjadinya onset penyakit.

Hal. 10
BAB III

Laporan Kasus

3.1 IDENTITAS PASIEN

No. DM : 46 65 46

Nama : Tn, OT

Umur : 34 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jayapura

Status Pernikahan : menikah (pisah)

Pekerjaan : Swasta

Agama : Kristen Protestan

Suku atau Bangsa : Papua

Tanggal MRS : 14-05-2018

Tanggal Pemeriksaan : 17-05-2018

Hal. 11
3.1 ANAMNESIS
Autoa anamnesa

Keluhan Utama :

Kelemahan anggota gerak sisi kiri

Pasien dating diantar oleh saudaranya dengan keluhan


lemah pada tubuh sisi kiri sejak 2 minggu SMRS,
awalnya pasien sedang mencuci pakaian, lalu tiba-tiba
merasa lemah pada tangan kiri, disertai dengan rasa
RIWAYAT PENYAKIT pusing berputar, 3 hari setalah itu kaki kiri pasien juga
SEKARANG terasa lemah dan sulit unntu digerakan, pasien juga
mengalami kejang 2 kali di rumah, diawali dengan
teriakan yang sangat keras kemuadian pasien keajang
seluruh badan, seperti merontak-merontak (klonik),
selama kuang lebih 1 menit, setalah kejang pasien
BAK ditampat tidur, masih masih belum sadar penuh,
setelah kurang lebih 5 menit pasien sadar penuh. Mual
(-), muntah (-), BAK dan BAK masih baik seperti
biasa.
Pasien belum pernah mengalami keadaan seperti ini
RIWAYAT PENYAKIT
sebelumnya, riwayat hipertensi (-),riwayat DM (-), riwayat
DAHULU
hiperlipidemia (-) riwayat kejang (-)

Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami kelemahan pada


RIWAYAT PENYAKIT
anggota gerak tubuh, riwayat hipertensi (+), riwayat DM (-),
KELUARGA
riwayat sakit jantung (-), riwayat hiperlipidemia (-)

RIWAYAT Riwayat merokok (+), riwayat minum alkohol (+),


KEBIASAAN mengontaganti pasangan (+)

Hal. 12
3.2 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang

Tekanan Darah : 120/70 mmHg

TANDA-TANDA Nadi : 98x/menit


VITAL Respirasi : 21x/menit

Suhu : 36,50C

SpO2 : 98 %

Kepala :

Konjungtiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-, Oral Candidiasis (-)

Leher :

Pembesaran KGB (-), Kaku kuduk (-)

Thorax :

- Paru
Inspeksi : Simetris, ikut gerak napas
Palpasi : Vokal fremitus dextra sama dengan sinistra
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki -/-
STATUS - Jantung
INTERNA Inspeksi : Ictus cordis (-)
Palpasi : Thrill (-)
Perkusi : Pekak (+)
Auskultasi :BJ I – II reguler

Abdomen :

Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), Hepar/Lien : tidak teraba membesar

Perkusi : Timpani

Ekstremitas :

Hal. 13
- Ekstremitas Superior : Akral hangat, edema (-)
- Ekstremitas Inferior : Akral hangat, edema (-)
Genitalia : dalam batas normal

Kesadaran : Composmentis, GCS : E4M6V5

Rangsang Meningeal :

- Kaku Kuduk (-)


- Lasegue (-/-)
- Kernig (-/-)
- Brudzinsky I, II, III(-/-/-/-)
Status motorik :
Refleks Fisiologis :

- Refleks Bisep (+/+)


- Refleks Trisep (+/+)
- Knee Pess Reflex (+/+)
- Achilles Pess Reflex (+/+)

STATUS Refleks Patologis :

NEUROLOGIS - Hoffman atau Tromner (-/-)


- Babinsky (-/-)
- Chaddock (-/-)
- Schaeffer (-/-)
- Oppenheim (-/-)
- Gordon (-/-)
- Gonda (-/-)
Kekuatan otot 5555 111 Tonus otot N

5555 3333 N

Sensorik :

- Eksteroseptif : Suhu, Nyeri (Ujung Jarum)


- Proprioseptif : Tekan
Otonom : BAK dan BAK baik dalam batas normal

Hal. 14
Nervus Cranialis :

N. I (Olfaktorius)

N. II (Optikus)

N. III (Occulomotorius) + N. IV (Trochlearis) + N. VI (Abdusen)

N. V (Trigeminus)

- Cabang 1 (Ophtalmicus)
- Cabang II (Maxillaris)
- Cabang III (Mandibularis)
N. parese VII (Fascialis) (S)

N. VIII (Vestibulocochlearis)

N. IX (Glossopharingeus)

N. X (Vagus)

N. XI (Accesorius)

N. Parese XII (Hypoglossus) (S)

Hal. 15
3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM

Tanggal : 14 – 05 – 2018
Parameter Hasil Nilai Rujukan
WBC 3,6 3,5 – 10
NEUT 67,6 46 – 73
LYMPH 0,4 1.5 – 4.0
RBC 3,8 M : 4.50 – 5.50
F : 4.0 – 5.0
HGB 10.5 M : 14.0 – 17.4
F : 12.0 – 16.0
HCT 31.8 M : 42 – 52
F : 36 – 48
MCV 87.4 84.0 – 96.0
MCH 30.4 28.0 – 34.0
MCHC 34.8 32.0 – 36.0
RDW - SD 45.7
RDW - CV 13.5 11.5 – 14.5
PLT 177.0 150 – 400
MPV 10.8 7.4 – 10.4
GDS 108 <150 mg/dL
CREATININ 1.0 M: 0.9-1.5 mg/dL
F: 0.8-1,2 mg/dL
UREUM 22 10-50 mg/dL
NATRIUM 138,2 135-145 mmol/L
(Na)
KALIUM (K) 4,06 3.5-5.5 mmol/L
CLORIDA (Cl) 106,6 98-108 mmol/L
PITC Reaktif

Hal. 16
RADIOLOGI (CT-SCAN KEPALA)

MSCT Scan kepala dengan kontras Toxoplasma dengan


udem cerebri

3.4 ASSESSMENT
Toxoplasma Cerebri B20, Anemia ec chronic disease
3.5 PLANNING

Medikamentosa
 IVFD NaCl 0,9 % 500 cc tiap 24 jam
 Inj. Mecobalamin 500/ mg (iv) / 12 jam
 Inj. Ranitidin 1 amp (iv) / 12 jam
 Inj. Dexamethazone 1 amp (iv) / 8 jam
 Inj. Diazepam 1 amp (iv) (bila kejang)
 Fenitoinn tab 100mg/ 12 jam

Hal. 17
 Asam folat tablet/12 jam
 Pirimetamin 200mg loading dose (P.O) lanjut setelah 24 jam dgn dosis 75mg/24 jam
 Clindamisn 600mg/6jam
 Pro pemeriksaan CD4
 Pro Brain CT-Scan + kontras

3.6 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

3.7 FOLLOW UP RUANGAN

15 Mei 2018
s Rasa nyut-nyut pada tangan kiri dan kaki kiri. Tangan kiri masih belum bisa digerakan
o KU : Tampak sakit Sedang
Kesadaran: Composmentis (GCS E4M6V5)
TD 120/70 mmHg, N 87x/menit, RR 21x/menit, Suhu 36,70C, SpO2 98%
Status Neurologis :
Rangsang Meningeal (-),
status motorik
KO 5555 1111
Refleks Fisiologi Refleks Patologi
5555 3333
 Bisep +/+  Babinski -/-
 Trisep +/+  Chadok -/-
TO N  Brachioradialis +/+  Oppenheim -/-
 Patela +/+  Gordon -/-
N
 Archiles +/+  Gonda -/-
 Scchaeffer -/-
Status sensoris
 Ekteroseptif
Rasa raba +/+
Rasa nyeri +/+
Rasa Suhu +/+
 Propioseptif
Rasa Gerak +/+

Hal. 18
Rasa posisi +/+
Status otonom
 BAK mandiri
 BAB mandiri
A Susp. Toxoplasma cerebri, B20, anemia ec chronic desease
P  IUFD NaCl 0,9 % 500 cc 20 tpm
 Injeksi Dexamethazone ampul/ 8 jam (iv)
 Injeksi ranitidin ampul/12jam (iv)
 Injeksi citicolin 500mg/12 jam (iv)
 Injeksi mecobalamin/12 jam (iv)
 Paracetamol tablet 500mg/8 jam
 Pro brain CT-Scan + kontras

16 Mei 2018
s Rasa nyut-nyut pada tangan kiri dan kaki kiri. Tangan kiri masih belum bisa digerakan
o KU : Tampak sakit Sedang
Kesadaran: Composmentis (GCS E4M6V5)
TD 110/70 mmHg, N 89x/menit, RR 22x/menit, Suhu 36,50C, SpO2 98%
Status Neurologis :
Rangsang Meningeal (-),
status motorik
KO 5555 1111
Refleks Fisiologi Refleks Patologi
5555 3333
 Bisep +/+  Babinski -/-
 Trisep +/+  Chadok -/-
TO N  Brachioradialis +/+  Oppenheim -/-
 Patela +/+  Gordon -/-
N
 Archiles +/+  Gonda -/-
 Scchaeffer -/-
Status sensoris
 Ekteroseptif
Rasa raba +/+
Rasa nyeri +/+
Rasa Suhu +/+

Hal. 19
 Propioseptif
Rasa Gerak +/+
Rasa posisi +/+
Status otonom
 BAK mandiri
 BAB mandiri
A Susp. Toxoplasma cerebri, B20, anemia ec chronic desease
P  IUFD NaCl 0,9 % 500 cc 20 tpm
 Injeksi Dexamethazone ampul/ 8 jam (iv)
 Injeksi ranitidin ampul/12jam (iv)
 Injeksi citicolin 500mg/12 jam (iv)
 Injeksi mecobalamin/12 jam (iv)
 Paracetamol tablet 500mg/8 jam
 Pro brain CT-Scan + kontras

17 Mei 2018
s Pasien kejang 1 kali, diawali dengan teriakan yang besar, dan kejang terjadi pada
seluruh tubuh. Rasa nyut-nyut pada tangan kiri dan kaki kiri. Tangan kiri masih belum
bisa digerakan
o KU : Tampak sakit Sedang
Kesadaran: Composmentis (GCS E4M6V5)
TD 120/70 mmHg, N 87x/menit, RR 21x/menit, Suhu 36,70C, SpO2 98%
Status Neurologis :
Rangsang Meningeal (-),
status motorik
KO 5555 1111
Refleks Fisiologi Refleks Patologi
5555 3333
 Bisep +/+  Babinski -/-
 Trisep +/+  Chadok -/-
TO N  Brachioradialis +/+  Oppenheim -/-
 Patela +/+  Gordon -/-
N
 Archiles +/+  Gonda -/-
 Scchaeffer -/-

Hal. 20
Status sensoris
 Ekteroseptif
Rasa raba +/+
Rasa nyeri +/+
Rasa Suhu +/+
 Propioseptif
Rasa Gerak +/+
Rasa posisi +/+
Status otonom
 BAK mandiri
 BAB mandiri
A Toxoplasma cerebri, B20, anemia ec chronic desease, Genereal seizure
P  IVFD NaCl 0,9 % 500 cc tiap 24 jam
 Inj. Mecobalamin 500/ mg (iv) / 12 jam
 Inj. Ranitidin 1 amp (iv) / 12 jam
 Inj. Dexamethazone 1 amp (iv) / 8 jam
 Inj. Diazepam 1 amp (iv) (bila kejang)
 Fenitoinn tab 100mg/ 12 jam
 Asam folat tablet/12 jam
 Pirimetamin 200mg loading dose (P.O) lanjut setelah 24 jam dgn dosis
75mg/24jam
 Clindamisn 600mg/6jam

18 Mei 2018
s Rasa nyut-nyut pada tangan kiri dan kaki kiri. Tangan kiri masih belum bisa digerakan.
Kejang (-)
o KU : Tampak sakit Sedang
Kesadaran: Composmentis (GCS E4M6V5)
TD 120/70 mmHg, N 87x/menit, RR 21x/menit, Suhu 36,70C, SpO2 98%

Status Neurologis :
Rangsang Meningeal (-),

Hal. 21
status motorik
KO 5555 1111
Refleks Fisiologi Refleks Patologi
5555 3333
 Bisep +/+  Babinski -/-
 Trisep +/+  Chadok -/-
TO N  Brachioradialis +/+  Oppenheim -/-
 Patela +/+  Gordon -/-
N
 Archiles +/+  Gonda -/-
 Scchaeffer -/-
Status sensoris
 Ekteroseptif
Rasa raba +/+
Rasa nyeri +/+
Rasa Suhu +/+
 Propioseptif
Rasa Gerak +/+
Rasa posisi +/+
Status otonom
 BAK mandiri
 BAB mandiri
A Susp. Toxoplasma cerebri, B20, anemia ec chronic desease, general seizure
P P  IVFD NaCl 0,9 % 500 cc tiap 24 jam
 Inj. Mecobalamin 500/ mg (iv) / 12 jam
 Inj. Ranitidin 1 amp (iv) / 12 jam
 Inj. Dexamethazone 1 amp (iv) / 12 jam
 Inj. Diazepam 1 amp (iv) (bila kejang)
 Fenitoinn tab 100mg/ 12 jam
 Asam folat tablet/12 jam
 Pirimetamin 200mg loading dose (P.O) lanjut setelah 24 jam dgn dosis
75mg/24jam
 Clindamisn 600mg/6jam

Hal. 22
19 Mei 2018
s Rasa nyut-nyut pada tangan kiri dan kaki kiri. Tangan kiri masih belum bisa
digerakan. Kejang (-)
o KU : Tampak sakit Sedang
Kesadaran: Composmentis (GCS E4M6V5)
TD 120/70 mmHg, N 87x/menit, RR 21x/menit, Suhu 36,70C, SpO2 98%
Status Neurologis :
Rangsang Meningeal (-),
status motorik
KO 5555 1111
Refleks Fisiologi Refleks Patologi
5555 3333
 Bisep +/+  Babinski -/-
 Trisep +/+  Chadok -/-
TO N  Brachioradialis +/+  Oppenheim -/-
 Patela +/+  Gordon -/-
N
 Archiles +/+  Gonda -/-
 Scchaeffer -/-
Status sensoris
 Ekteroseptif
Rasa raba +/+
Rasa nyeri +/+
Rasa Suhu +/+
 Propioseptif
Rasa Gerak +/+
Rasa posisi +/+
Status otonom
 BAK mandiri
 BAB mandiri
A Susp. Toxoplasma cerebri, B20, anemia ec chronic desease
P P  Aff infuse ganti oral
 Pirimetamin 75 mg/8 jam
 Clindamisin 600mg / 6 jam
 Dexamethazone tablet / 8 jam
 Ranitidine tablet/12 jam
 Tramadol caps/ 8jam bila nyeri kepala
 Fenitoinn tab 100mg/ 8jam
 Asam folat tablet/12 jam

Hal. 23
 Pirimetamin 200mg loading dose (P.O) lanjut setelah 24 jam dgn
dosis 75mg/24jam
 Clindamisn 600mg/6jam
 Rawat jalan

Hal. 24
BAB IV
PEMBAHASAN

Bagaimana mendiagnosa toxoplasmosis cerebri dan HIV ?

Toxoplasmosis ialah penyakit infeksi yang dapat meyerang binatang dan manusia
yang disebabkan oleh sporozoa Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit intraselluler.
Toxoplasma adalah parasit protozoa dengan sifat alami dengan perjalanannya dapat akut atau
menahun, simtomatik maupun asimtomatik. Infeksi akut pada manusia yang memiliki imun
yang baik (immunocompetent) biasanya tidak memiliki gejala (asymptommatic). Sedangkan
individu yang terinfeksi dalam jangka waktu yang lama dan memiliki gangguan imunitas
(AIDS) berisiko untuk mengalami infeksi laten, yang manifestasi utamanya ialah toxoplasma
ensefalitis atau dikenal juga dengan toxoplasmosis serebri.

Pada pasien infeksi HIV, T.gondii merupakan infeksi oportunistik yang paling umum
yang menyebabkan lesi fokal di otak. Pasien datang dengan perubahan status mental (62%),
sakit kepala (59%), dan demam (41%) yang berhubungan dengan deficit focal neurologis.
Perkembangan infeksi dapat menyebabkan kebingungan, mengantuk, hemiparesis,
hemianopsia, afasia, ataxia, dan kelumpuhan saraf kranial. Kelemahan motoric dan gangguan
bicara terlihat sebagai perkembangan penyakit. Biasanya terdapat pembengkakan kelenjar
getah bening (sering di leher). Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis
fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung kerna adanya pembentukan abses akibat dari
terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan sistem imunnya menurun, gejala-gejala
fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan
penurunan kesadaran
Pada kasus ini pasien mengeluh lemah pada tubuh sisi kiri sejak 2 minggu SMRS,
awalnya pasien sedang mencuci pakaian, lalu tiba-tiba merasa lemah pada tangan kiri,
disertai dengan rasa pusing berputar dan nyeri kepala, 3 hari setalah itu kaki kiri pasien juga
terasa lemah dan sulit untuk digerakan, pasien juga mengalami kejang 2 kali di rumah.

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik sementara maka pasien didiagnosa


dengan Susp. Toxoplasama cerebri. Kecurigaan toxoplasmosis dicurigai dari hasil
pemeriksaan laboraatorium HIV positif pada satu pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan klinis
dan laboratorium yang ada maka dicurigai penyebab kelumpuhan tubuh siiskiri dan nyeri
kepala yang ada berasal dari infeksi toxoplasmosis. Kelumpuhan tubuh sisi kiri dan nyeri

Hal. 25
kepala terjadi karena adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial.Keadaan-keadaan ini umumnya
muncul pada pasien-pasien dengan kelainan non fokal yang biasanya berkembang dari tanda
neurologik fokal sebagai akibat proses infeksi yang progresif.

Untuk mendiagnosa toxoplasmosis, pemeriksaan serologi dan imaging (CT, MRI)


merupakan pilihan terbanyak yang digunakan. Pada pemeriksaan serologi, infeksi toxoplasma
dideteksi dengan antitoxoplasma antibodi yakni serum IgG dan IgM. Serum IgG akan
meningkat terutama 1 – 2 bulan dari infeksi pertama dan akan terdeteksi seumur hidup
penderita. Namun antibodi ini sendiri tidak dapat digunakan sebagai diagnostik tunggal
karena dapat terjadi false negative. Sedangkan pada pemeriksaan imaging, baik CT maupun
MRI menghasilkan gambaran tanda target asimetrik dengan sebuah cincin. Namun MRI lebih
dipilh untuk mendiagnosa dan memonitor respon terapi karena lebih sensitif untuk
mendeteksi multiple lesi.

Pemeriksaan patologi dari spesimen biopsi otak merupakan diagnosa definitif pada
pederita toxoplasma serebri. Namun hal ini tidak rutin dilakukan karena pemeriksaan lain
seperti serologi dan imaging dirasa cukup untuk membuat diagnosa presumptive. Biopsi otak
sangat sensitif tetapi berisiko perdarahan, merusak jaringan sekitar, dan menyebarkan infeksi.
Sehingga biopsi hanya direkomendasikan bila diagnosis meragukan atau pasien tidak
berespon atau memburuk terhadap pengobatan empirik.

Pada kasus ini pemeriksaan penunjang yang dipakai untuk menegakkan diagnosa
yaitu dengan pemeriksaan CT scan dengan kontras. Pada hari perawatan kedua pasien
disarankan untuk dilakukan pemeriksaan CT scan. Setelah hari perawatan ketiga diagnosa
toxoplasmosis cerebri ditegakakkan berdasarkan hasil baca CT scan ditemukan lesi solid
multiple pada subcortical parenkim serebri dan serebellum.

Pada kasus ini juga dilakukan pemeriksaan HIV tanggal 14 Mey 2018. Dari hasil
pemeriksaan tersebut didapatkan HIV positif pada tiga kali pemeriksaan. Sehingga
berdasarkan hasil tersebut diagnosa HIV ditegakkan. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang ada maka dapat ditegakkan diagnosa toxoplasmosi Cerebri
dengan HIV/

Hal. 26
Bagaimana tatalaksanan yang diberikan pada pasien ini ?

Terapi lini pertama untuk toksoplasmosis serebri adalah kombinasi pirimetamin dan
sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak dengan baik walaupun tidak
ditemui inflamasi. Toxoplasma gondii,membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh T. gondii sedangkan sulfadiazin akan menghambat
penggunaannya. Pirimetamin 50-100 mg perhari diberikan dengan dikombinasikan dengan
sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam. Kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin dapat memberikan efek
yang tidak diharapkan berupa penghambatan sekuensial terhadap enzim yang membantu
pembentukan asam folat. Oleh karena itu, pemberian asam folat 5-10 mg perhari
diindikasikan untuk mencegah depresi sumsum tulang.
Pasien yang alergi terhadap golongan sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin
50-100 mg perhari dengan klindamisin 450-600 mg tiap 6 jam. Pasien alergi terhadap sulfa
dan klindamisin dapat diganti dengan azitromycin 1200 mg/hr, atau klaritromisin 1 gram tiap
12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam.
Terapi profilaksis untuk pencegahan Primary : untuk pasien dengan CD4+ <100
cells/mm3 atau CD4+ <200 cells/mm3 dengan infeksi oportunistik / keganasan : TMP –
SMX (480 mg TMP/ 960 mg SMX) tablet/hari Secondary : tidak mendapatkan maintenance
risiko relaps 50-80%. Sulfadiazine (500-1000 mg oral 4 kali/hari), pyrimetamine 25-50
mg/hari oral, leucovorin (10-25 mg/hari oral).
Pada kasus ini pasien diberikan terapi Pirimetamin 200 mg dalam 24 jam pertama,
dilanjutkan dengan pirimetamin dosis 75 mg/24 jam, dan Clindamycin 600mg/6jam.
Pemberian dexametahzone, diazepam, fenitoin, asam folat, dan ranitidin pada kasus ini
dinilai efektif karena dengan perbaikan klinis yang ditampilkan pasien.
Terapi clindamycin sendiri perna diteliti oleh Madi dan kawan-kawan yang dilakukan
di india. Dari laporan kasus pada jurnal tersebut pasien dengan cerebral toxoplasmosis hanya
diberi terapi regimen clindamycin 4x600 mg selama 3 minggu. Setelah diterapi selama tiga
minggu dievaluasi dengan menggunakan CT scan. Terapi clindamycin sendiri diberikan
selama 10 bulan. Pada laporan kasus ini terbukti clindamysin dengan dosis 4x600 mg yang
diberikan selama 10 bulan dapat mengobati pasien dengan cerebral toxoplasmosis.
Pada pasien ini pasien hanya diterapi dengan regimen clindamcyin dengan dosis 600
mg/6 jam. Pemberian single terapi clindamycin pada pasien ini diberikan pada hari perawatan
ke tiga. Pemberian clindamysin dipasangakan dengan pirimetamin sebagai alternatif terapi
cerebral toxoplasmosis. Dari beberapa jurnal yang ditulis oleh Deepak dan kawan kawan

Hal. 27
ternyata clindamycin dapat mengobati cerebral toxoplasmosis dengan dosis 4x600 mg selama
10 bulan memberikan hasil yang bermakna.
Infeksi akut diterapi minimal selama 3 minggu dan ditoleransi dalam 6 minggu. Pada
pasien yang tidak respon terhadap pengobatan dalam 10 – 14 hari, atau menunjukkan
penurunan klinis dalam 3 hari pengobatan, dianjurkan untuk melakukan biopsi untuk
menyingkirkan kemungknan limfoma.

Oleh karena kejadian toksoplasmosis serebri berkaitan erat dengan kadar CD4, maka
terapi antiretroviral tentu diperlukan pada pasien HIV/AIDS. Namun pemberiannya pada
pasien yang telah didiagnosis dengan toksoplasmosis serebri memerlukan perhatian khusus.
Terapi antiretroviral baru dapat diberikan 2-3 minggu setelah terapi toksoplasma, bergantung
dari penilaian klinisi.
Fakta bahwa angka mortalitas pasien HIV/AIDS dengan toksoplasmosis serebri
meningkat secara signifikan memberikan dasar yang kuat bagi para klinisi untuk memberikan
terapi empirik pada pasien dengan HIV/AIDS yang memiliki gambaran lesi multipel terutama
bersifat ring-enhancement pada CT Scan walaupun hasil serologi belum diketahui.
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian
korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada
tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan
inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah
laku.Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek antiinflamasi. Efek
antiinflamasi ini terjadi melalui mekanisme penekanan aktifitas fosfolipase sehingga
mencegah pembentukan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien. Penekanan
sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi peradangan, namun dapat
memudahkan pasien terkena infeksi. Oleh karena itu pada pemberian kortikosteroid sebagai
antiinflamatik sebaiknya disertakan dengan pemberian antibiotik/antifungal untuk mencegah
infeksi.
Pada kasus ini pasien diterapi dengan pemberian dexametason. Pasien datang
sebelumnya dengan keluhan lumpuh tubuh sisi kiri dan nyeri kepala. Kelumpuhan tubuh sisi
kiri dan nyeri kepala yang dirasakan sendiri merupakan efek dari penekanan intra kranial.
Indikasi pemberian dexametason pada pasien ini dengan menekan adanya edema vasogenik
yang terjadi sebagi akibat dari lesi yang disebebkan oleh infeksi toxoplasmosis. Pemberian
dexametason diberikan dengan dosis 3x5 mg yang diturunkan dosisnya per tiga hari. Pada

Hal. 28
pasien ini terbukti keluhan nyeri kepala yang dikeluhkan berkurang setelah pemberian
dexamethazone.

Hal. 29
BAB V
KESIMPULAN

Cerebral toxoplasmosis merupakan penyebab teranyak gangguan neurology fokal


pada pasien AIDS. Jika tidak di deteksi dan ditangani secara tepat, dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Toksoplasma serebri disebabkan oleh parasit
Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing,burung dan hewan lain yang dapat
ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging
mentah atau kurang matang.
Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak termasuk
ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap pengobatan, lemah
pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat, masalah penglihatan,
vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien
menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung
kerna adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien
dengan sistem immunonya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan
penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
Terapi lini pertama untuk toksoplasmosis serebri adalah kombinasi pirimetamin dan
sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak dengan baik walaupun tidak
ditemui inflamasi.Pasien yang alergi terhadap golongan sulfa dapat diberikan kombinasi
pirimetamin 50-100 mg perhari dengan klindamisin 450-600 mg tiap 6 jam.
Profilaksis merupakan kunci untuk mencegah outcomes yang buruk. Semua pasien
HIV harus di edukasi tentang non-farmakologi dan profilaksis untuk infeksi T.gondii.

SARAN
 Dengan meningkatnya cerebral toxoplasmosis dengan HV sehingga disarankan
agar Rumah sakit kita harus memiliki pemeriksaan penunjang dan obat-obatan
yang memadai,

Hal. 30
 Berdasarkan literature yang ada disarankan apabila ada pasien masuk dengan
keluhan nyeri kepala yang kita curigai dengan klinis HIV maka yang dipikirkan
terlebih dahulu adalah toxoplasmosis.

Hal. 31

Anda mungkin juga menyukai