Anda di halaman 1dari 9

FAKTOR-FAKTOR RESIKO DAN PREVALENSI HELICOBACTER

PYLORI DI LIMA PULAU TERBESAR DI INDONESIA: STUDI


PENDAHULUAN

Ari Fahriyal Syam, Muhammad Miftahassurur, Dadang Makmun, Iswan Abbas Nusiii, Lukman Hakim
Zain, Zulkhairi, Fardah Akil, Willi Brodus Uswan, David Simanjuntak, Tomohisa Uchida, Pangestu Adi,
Amanda Pitarini Utari, Yudith Anisa Ayu Rezkitha, Phawinee Subsomwong, Nasronudian, Rumiko
Suzuki, Yoshio Yamaoka

ABSTRAK

Prevalensi infeksi Helicobacter pylori di Indonesia masih menjadi kontroversi dan terutama pada suku/
etnis besar, yaitu suku Jawa. Kami menguj prevalensi infeksi Helicobacter pylori menggunakan empat tes
berbeda, termasuk kultur, histologi yang terkonfirmasi melalui imunohisto kimia dan rapid urease test
(RUT). Kami juga menganalisis factor-faktor resiko yang berkaitan dengan infeksi Helicobacter pylori di
lima pulau besar di indonesia. Dari januari 2014 - Februari 2015 kami menyaring secara berurutan 267
pasien dengan symptom-simptom dispeptik di pulau Jawa, Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.
Secara keseluruhan, prevalensi infeksi Helicobacter pylori adalah 22, 1% (59/267) .Suku Papua, Batak,
dan Bugis memiliki resiko tinggi terinfeksi Helicobacter pylori dari pada suku Jawa, Dayak, dan China
(OR= 30.57, 6.31, 4.95, OR= 28.39, 5.81, 4.61, OR= 23.23, 4.76., 3.77, masing-masing, P <0.05).
Kepekaan dan kekhususan RUT dan kultur masing-masing adalah 90.2%, 92.9%, dan 80.5 %, 98.2%.
Kelompok pasien berusia 50-59 tahun secara signifikan memiliki infeksi Helicobacter pylori yang lebih
tinggi dibandingkan kelompok usia 30-39 tahun (OR=2.98, P= 0,05). Agama Protestan secara signifikan
memiliki infeksi Helicobacter pylori lebih tinggi dibandingkan rata-rata yang beragama katolik
(OR=4.42, P= 0.008). Ini juga lebih rendah antara orang-orang yang menggunakan air keran sebagai
sumber air minum dari pada mereka yang menggunakan air sumur/ air sungai (OR=9.67, P= 0.03). Akan
tetapi hanya etnis (suku) yang menjadi factor independen pada infeksi Helicobacter pylori. Walaupun
kami mengkonfirmasi prevalensi infeksi Helicobacter pylori yang rendah pada suku Jawa; suku paling
dominan di Indonesia, beberapa kelompok etnis memiliki resiko tinggi terinfeksi Helicobacter pylori.
Usia, agama, dan sumber air mungkin terkait sebagai faktor resiko terjadinya infeksi Helicobacter pylori
di Indonesia.

Pendahuluan
Infeksi Helicobacter pylori dikenal sebagai salah satu infeksi bakterikronik yang paling umum pada
manusia dan berhubungan dengan penyakit ulkus peptikum, adenokarsinoma lambung, dan limfoma sel B
lambung primer.Secara keseluruhan, umumnya prevalensinya bervariasi dari satu wilayah geografis
kewilayah lainnya dan terutama terjadi pada Negara-negara berkembang. Indonesia adalah Negara
berkembang yang terletak antara Laut cina Selatan (Samudera pacific, di Utra) dan Samudera Hindia (di
Selatan). Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki lebih dari 13.600 pulau dengan lima
pulau utama yaitu, Sumatera, Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. Terdapat sekamir 300 etnis/ suku
asli di Indonesia dan 742 bahasa berbeda yang mana kebanyakan secara geografis tersebar dari rumpun
bahasa Austronesia. Suku Jawa adalah suku terbesar yang terdiridari 40.2% dari total populasi, diikuti
sunda, Batak, Madura, dan Betawi.
Tabel 1 merupakan ringkasan penelitian sebelumnya yang mengukur prevalensi Helicobacter pylori di
Indonesia. Walaupun banyak peneliti telah melakukan penelitian prevalensi di Indonesia, hasilnya
kontroversi dan kontradiksi, barang kali dikarenakan perbedaan populasi penelitian untuk mendiagnosis
Helicobacter pylori. Selain itu, penelitian ini lebih berfokus pada kelompok-kelompok etnis Jawa yang
lebih besar. Pada penelitian kami sebelumnya, kami mengkonfirmasi bahwa prevalensi infeksi
Helicobacter pylori di Surabaya rendah, hanya 11,5% dengan menggunakan lima metode berbeda untuk
mendiagnosis infeksi Helicobacter pylori, datanya dicocokkan dengan rata-rata insiden terendah kanker
lambung di Indonesia antara Negara-negara Asia (2.8/ 100,000). Kami juga menemukan bahwa
prevalensi Helicobacter pylori tertinggi didapati pada pengamatan terhadap populasi Cina Indonesia dari
pada pasien dari populasi suku Jawa. Penelitian kami lainnya juga menemukan hasil yang tidak
diharapkan tentang prevalensi Helicobacter pylori pada kelompok minoritas di Sulawesi utara. Secara
keseluruhan, prevalensi infeksi Helicobacter pylori hanya 14.3% untuk orang dewasa dan 3.8 % untuk
anak-anak. Tetapi hasil penelitian kami ini tidak dapat digeneralisasikan karena perbedaan factor host dan
kondisi lingkungan. Penelitian lebih lanjut dari seluruh Indonesia sangat diperlukan untuk menguraikan
alasan-alasan rendahnya angka kankerlambung di Indonesia.
Keberadaan Helicobacter pylori di saliva, plakgigi, dan feses mengindikasikan bahwa penyebaran dari
orang ke-orang kemungkinan adalah suatu mekanisme penularan mayor dari Helicobacter pylori.
Sejumlah studi menemukan standar kebersihan yang kurang, rumah tangga yang penuh sesak, dan
kurangnya sanitasi penting untuk mengetahui infeksi dan penyebaran penyakit ini. Status social ekonomi
yang rendah, air yang tidak disaring, dan merokok menjadi factor-faktor resiko infeksi Helicobacter
pylori. Selain itu, peningkatan kondisi higienitas secara signifikan menurunkan prevalensi infeksi ini di
beberapa bagian Amerika Utara dan Eropa. Di Jepang, prevalensi infeksi Helicobacter pylori tinggi
antara individu yang lahir sebelum 1950 dan menurun pada kelahiran setelah tahun tersebut. Data
menunjukkan perubahan yang cepat pada kondisi sanitasi dan standar kehidupan di Jepang setelah perang
dunia ke II dan setelah diperkenalkan sitem perairan public yang bersih di jepang pada tahun 1950. Oleh
karena itu, kondisi kebersihan, seperti peralatan yang penuh air dan kotoran betul-betul dipertimbangkan
sebagai factor-faktor penting infeksi Helicobacter pylori.
Sebagai pengetahuan kami, sangat sedikit laporan tentang Helicobacter pylori di etnis non-jawa dan
tidak ada laporan yang menguji prevalensi infeksi Helicobacter pylori dari beberapa pulau di Indonesia
dengan menggunakan metode yang sama. Pada penelitian ini, kami menguji prevalensi infeksi
Helicobacter pylori di lima pulau besar di Indonesia menggunakan empat tes yang berbeda. Kami juga
mengidentifikasi dan menganalisis factor-faktor lingkungan pada etnik/suku-suku berbeda di Indonesia.

Bahan Dan Metode


Populasi
Kami menampilkan studi prospektif dari januari 2014 hingga Februari 2015. Survei ini mengambil
tempat di Jakarta (n=31) dan Surabaya (n=50) di pulau Jawa, Jayapura (n=21) di pulau Papua, MAkasar
(n=30) di pulau Sulawesi, Pontianak (n=64) di pulau Kalimantan, dan Medan (n=71) di Pulau Sumatera.
Berdasarkan riwayat endoskopi dikumpulkan empat specimen biopsy lambung selama setiap sesi
endoskopi: tiga sampel dari kurva terendah antrum kira-kira 3 cm dari cincin pilorik dan satu sampel dari
kurva tertinggi korpus. Untuk meminimalisir potensi bias, kami menggunakan penglaman patologis yang
sama (TU) yang ditampilkan percobaan tersebut, yang juga menampilkan percobaan untuk Myanmar,
Vietnam, Bhutan, Republik Dominika, dan Indonesia. Spesimen biopsy untuk kultur segera ditampilkan di
media transport pada suhu 20o C dan disimpan pada suhu 80o C dalam satu hari koleksi selama
penggunaan untuk menguji kultur. Tiga specimen antral digunakan kultur Helicobacter pylori. Spesimen
antral digunakan untuk kultur Helicobacter pylori, Rapid urese tes (RUT) dan uji histology. Satu
specimen tubuh digunakan untuk uji histology, ulkus peptikum dan erosi lambung diketahui melalui
endoskopi, inform konsen diperoleh dari seluruh partisipan dan protocol penelitian telah disetujui komite
etik RS pendidian Dr.Cipto Mangunkusumo (Jakarta, Indonesia), RS Pendiidkan dr.Soetomo (Surabaya,
Indonesia), Rs Pendidikan Dr.Wahidin Sudiro Husodo (Makasar, Indonesia), dan Fakultas Kedokteran
Universitas Oita (Yufu, Jepang).

Status Infeksi Helicobacter pyloria


Untuk memaksimalkan ketepatan diagnosis, infeksi Helicobacter pylori didiagnosis berdasarakan hasil
kombinasi tiga metode dari empat tes yang berbeda; kultur, histology confirmed by immunohistochemistry
(IHC) Rapid Urease Tes (RUT). Untuk kultur Helicobacter pylori, satu specimen biopsy antral
dihomogenkan dan diinokulasi ke dalam Mueller Hinton II Agar Medium, ditambahkan 7% darah kuda
tanpa antibiotic. Piringan tersebut diinkubasi selama 10 hari berikutnya pada suhu 37oC dibawah kondisi
mikroaephilik (10% O2, 5% CO2, dan 85% N2). Helicobacter pylori diketahui dari morfologi koloni mula-
mula, hasil-hasil pewarnaan Gram, dan reaksi-reaksi positif terhadap oksidasi, katalase, dan urease.
Isolasi tekanan penyimpanan pada suhu 80oC di Brucella Broth yang mengandung 10% dimetil-sufoksid
dan 10% serum kuda.
Semua material/bahan biopsy untuk uji histology telah ditetapkan dalam 10% formalin penyangga dan
tertanam dalam paraffin. Bagian-bagian serial yang dinodai hematoxilin dan eosin sama seperti noda
May-Giemsa. Sampel dengan bobot bakteri lebih besar dari atau meningkat ke kelas 1 dengan system
sidnei yang diperbaharui dianggap positive Helicobacter pylori. IHC juga menampilkan hasil seperti yang
digambarkan sebelumnya. Secara singkat, setelah medapatkkan kembali antigen dan inaktivasi
peroksidasi endogen, bagian jaringan telah diinkubasi dengan antibody α- Helicobacter pylori semalaman
pada suhu 4oC. setelah bersih bagian-bagian tersebut diinkubasi dengan biotinlate goat antirabbit IgG,
diikuti oleh inkubasi dengan avidin cinjugated horseradish peroxidase. Aktivitas peroxidase dideteksi
menggunakan H2O2/ diaminobenzidine.

Analisis Statitik
Variabel-variabel diskrit diuji menggunakan uji chi-square; variable continu diuji menggunakan
Mann- Whitney U dan Uji-T. untuk menghitung odds ratio (OR) dari hasil klinis termasuk informasi usia,
jenis kelamin, status infeksi Helicobacter pylori, demografis dan lingkungan digunakan model
multifariat logistic regresi. Nilai P yang ditentukan dalam model regresi < 0,10 sedangkan variabel-
variabel yang nilai > 0,10 akan dikeluarkan. Untuk memperkirakan Resiko digunakan odds ratio dan taraf
kepercayaan 95%. Taraf signifikansi yang diterima adalah nilai P < 0,05. Analisis statistic dalam
penelitian ini menggunakan program SPSS 18.0.

Hasil
Prevalensi infeksi Helicobacter pylori dan dan akurasi (ketepatan) beberapa tes/uji
Dari total 267 paien dengan symptom dispeptik (143 perempuan dan 24 laki-laki; rata-rata usia dari
47,5 ± 14,6 tahun; jaraknya 17-80 tahun) direkrut termasuk 39 pasien berusia ≤ 29 tahun, 40 pasien
berusia 30-39 tahun, 67 pasien berusi 40-49 tahun, 57 pasien berusia 50-59 tahun dan 64 pasien berusia ≥
60 tahun. Berdasarkan suku/ etnis, mereka terdiri dari 70 orang suku batak, 54 orang Cina Indonesia, 42
orang Jawa, 30 orang bugis, 40 orang Dayak, dan 21 orang Papua, 3 orang Madura, dua orang Aceh, dua
orang Sunda, satu orang Banjar, satu orang Bali, dan satu orang Ambon. Dari ketiga tes, Hasil RUT lebih
tinggi dibandingkan tes-tes lainnya (keduanya, P < 0,001).
Tabel 2. menunjukan nilai positif Helicobacter pylori yang tinggi untuk setiap tes. Tiga puluh dua
orang diketahui positif pada tiga tes. 14 pasien dinyatakan positif dari hasil RUTtiga dan dua pasien
dinyatakan positif oleh histology dan kultur, secara berurutan. Menggunakan IHC sebagai standar
pencapaian, kepekaan dan kekhususan RUT dan kultur secara berurutan adalah 90.2%, 92.9%, dan 80.5
%, 98,2%. NPV dan PPV secara berurutan adalah 98.1%, 69.8% dan 96.5, 89.2%. Secara keseluruhan,
nilai akurasi/ ketepatan secara berurutan adalah 92.5%, dan 95.5 %. Menggunakan IHCprevalensi infeksi
Helicobacter pylori adalah 15.4% (41/267), sedangkan menggunakan kultur adalah 13.9 % (37/267).
Akan tetapi, ketika pasien dianggap positive Helicobacter pylori, sedikitnya satu tes menunjukkan
positif, prevalensinya 22.1% (59/267). Pada analisis selanjutnya, pasien yang dianggap negative infeksi
Helicobacter pylori ketika seluruh hasil tesnya menunjukan negatif, sedangkan pasien dengan satu hasil
tes positif dianggap positf terinfeksi Helicobacter pylori.

Simptom-simptom, temuan endoskopi, dan angka infeksi Helicobacter pylori


Nyeri epigastrik dan kembung adalah symptom-simptom yang paling tinggi. Tidak ada perbedaan
yang signifikan antara positif terinfeksi Helicobacter pylori dengan variabel-variabel yang berkaitan
dengan symptom-simptom gastrointenstinal dan riwayat sakit terdahulu (P=0,36 dan P= 0,74 secara
berurutan) (table 3). Pada diagnosis endoskopi, ulkus gastric dan duodenal ditemukan antara 4 kasus
(1,5%), dan 29 kasus (10,9%), secara berurutan. Sembilan pasien memiliki keduanya, ulkus gastrik dan
duodenal (2,6%). Kanker lambung ditemukan satu kasus (0,4%), sedangkan infeksi Helicobacter pylori
negative. Antara 19 orang dengan endoskopi normal, lima terinfeksi Helicobacter pylori (26,3%). Tidak
ada perbedaan proporsi pasien terinfeksi Helicobacter pylori di lambung (44,18.2%) dan kelompok ulkus
peptic (10, 25.0%) (P=0.66).

Kelompok etnis dan infeksi Helicobacter pyloriberdasarkan demografi, sanitasi dan faktor-faktor sial-
budaya
Terdapat perbedaan yang signifikan pada prevalensi infeksi Helicobacter pylori yang dihubungkan
dengan kelompok etnis (P < 0.001). Prevalensi tertinggi infeksi Helicobacter pylori adalah pasien etnis
Papua, Sembilan dari 21 orang (42.9%) positive terinfeksi Helicobacter pylori. Diantara 70 pasien etnis
Batak, 28 (40.0%) positif terinfeksi Helicobacter pylori. Infeksi Helicobacter pylori ditemukan pada 11
dari 30 orang pasien suku Bugis (36.7%). Selain itu, tujuh dari 54 (13%) etnis China –Surabaya (15.4%,
4/26) tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara infeksi Helicobacter pylori dibandingkan Cina-
Pontianak (12,5, (3/24), P=0.93). Tiga orang suku Dayak, positif terinfeksi Helicobacter pylori. Suku
Madura, Aceh, Sunda, Banjar, Bali dan ambon negative infeksi Helicobacter pylori.
Tabel 4 menunjukkan prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada enam suku besar berdasarkan variasi
jarak usia kelompok. Menariknya, ketika kami baru menganalisis suku Papua, Batak dan Bugis, diketahui
kelompok usia ≤ 29 tahun memililiki prevalensi infeksi Helicobacter pylori yang tinggi, berbanding
terbalik dengan prevalensi kelompok suku Jawa, Dayak, dan China yang lebih rendah. Kelompok ini juga
memiliki perbedaan yang signifikan dengan agama, pendapatan bulanan, sumber air, jenis jamban,
riwayat narkoba, kebiasaan merokok, dan mengkonsumsi alcohol (table 5). Etnik Papua secara signifikan
yang memiliki prevalensi tinggi Protestan, pasien yang keadaan sosil-ekonomi rendah (pendapatan
bulanan IDR=2.500.000), pecandu rokok, dan alcohol dan sumber air mineralnya kurang. Sementara itu,
etnis Cina memiliki yang memiliki prevalensi tinggi beragama protestan dan memiliki sumber air mineral,
tetapi yang sosial ekonominya rendah, pecandu rokok, dan alcohol prevalensinya rendah.
Perhitungan OR untuk angka infeksi Helicobacter pylori disesuaikan dengan analisis multivariate.
Kami memasukkan nilai P < 0.10 dengan analisis bivariat (umur, jenis kelamin, agama, suku, dan sumber
air minum) dalam model uji regresi. Suku Papua, Batak, dan Bugis memiliki resiko infeksi Helicobacter
pylori yang lebih tinggi, dari pada etnis Jawa, Dayak, dan China (OR= 30.7, 6.31, 4.95, OR=28.39, 5.81,
4.61, dan OR= 23.23, 4,76, 3.77 secara berurutan, P < 0.05) setelah disesuaikan usia dan jenis kelamin.
Kelompok pasien Usia 50-59 tahun angka infeksi Helicobacter pylori secara signifikan lebih tinggi dari
pada kelompok usia 30-39 tahun. Prevalensi infeksi Helicobacter pylori lebih tinggi pada Protestan dari
pada katholik (OR=4.42, P=0.008). Ini juga signifikan lebih rendah pada orang-orang yang
mengkonsumsi air keran dibandingkan yang mengkonsumsi air sumur atau sungai meskipun sudah
disesuikan usia dan jenis kelamin. Akan tetapi, analisis akhir hanya etnis saja yang signifikan sebagai
faktor resiko infeksi Helicobacter pylori (OR=11.48[CI 1.12-118.24], OR=13.32 [CI 1.54-114.96] dan
OR= 23.47 [2.76-199.51], p< 0.05 untuk etnis Papua, Batak, Bugis, secara berurutan dari pada Jawa).
Secara statistic tidak terdapat hubungan yang signifikan antara infeksi Helicobacter pylori dan jenis
kelamin, status ekonomi social, tipe pekerjaan, status pernikahan, IMB, tipe symptom-simptom, tipe
jamban, riwayat mengkonsumsi narkoba, kebiasaan merokok, dan konsumsi alcohol.

Pembahasan
Walaupun kultur tetap menjadi referensi metode karena kemampuannya mendeteksi organism
Helicobacter pylori, tetapi kultur memiliki keterbatasan sensitivitas atau kepekaan. Bahkan panduannya
mnyebutkan bahwa tidak ada tes tunggal yang dianggap sebagai standar diagnosis infeksi Helicobacter
pylori. Pada penelitian ini kami menggunakan empat tes berbeda untuk meningkatkan ketepatan (akurasi)
diagnosis Helicobacter pylori maupun membandingkan hasil antara tes. Kami mengkonfirmasi bahwa
prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada lima pulau besar di Indonesia menggunakan kombinasi tes
diagnosis 22,1%, berbanding terbalik dengan beberapa penelitian Negara-nega Asia tenggara dengan
prevalensi infeksi Helicobacter pylori yang tinggi seperti Thailand dan Philipines (54.1 hingga 76.1% dan
60% secara berurutan), tetapi hampir sama dengan Malaysa yang mana juga memiliki insiden kanker
lambung reendah. Prevalensi infeksi Helicobacter pylori di orang asli, dan komunitas aborigin, yang
tinggal di Kelantan, Malaysia dilaporkan 19%.
Akan tetapi, dengan luas bentang wilayah yang hampir mencapai 2 juta km2 antara Asia dan Australia
dan terdiri dari 300 kelompok etnis asli, prevalensi infeksi Helicobacter pylori harus diamati melalui
kelompok etno-geografi. Bahkan beberapa etnis/suku memiliki prevalensi infeksi Helicobacter pylori
yang tinggi dari pada etnis China-Indonesia, etnis dengan prevalensi tertinggi telah dibahas pada
penelitian sebelumnya. Etnis Papua merupakan variasi asli orang Papua dan pulau-pulau yang berdekatan.
Mereka berbicara bahasa Papua dan sering dibedakan secara etnis dan bahasa dari rumpun austronesian.
Kebanyakan dari mereka cukup mempertahankan tradisi mereka khususnya di daerah pegunungan tengah
atau dataran tinggi. Prevalensi tertinggi Helicobacter pylori di Papua cocok dengan penelitian
sebelumnya yang melaporkaan prevalensi di Papua Nuigenea adalah 58% bagian timur pulau Papua. Ini
akan sangat menarik untuk mengetahui genotip Helicobacter pylori dari orang-orang Papua yang
mungkin memiliki kesamaan dengan Papua New-Guinea dan Aborigin Australia. Bagian Indonesia
Timur, khususnya Papua secara geografis terhubung dengan Australia menjadi satu benua 60.000 tahun
yang lalu.
Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa pada keturunan Cina prevalensinya lebih rendah
dibandingkan non-imigran Cina. Chow dan kawan-kawan melaporkan bahwa seroprevalensi etnis Cina
yang lahir di Malysia/Singapura lebih rendah dari pada yang lahir di Cina/Hongkong. Dengan analisis
multivariate mereka juga menemukan bahwa resiko tinggi infeksi Helicobacter pylori pada pengguna
coptiks yang mana menyarankan penularan Helicobacter pylori orang ke orang melalui oral dengan
makanan khusus. Faktor lingkungan kemungkinan juga berkontribusi pada rendahnya infeksi
Helicobacter pylori pada etnis Cina Indonesia. Selain menggunakan resep warisan masakan China, etnis
China Indonesia juga memodifikasi beberapa tambahan komposisi local yang dapat dihubungkan dengan
rendahnya prevalensi Helicobacter pylori seperti “budu” atau saus ikan teri local dan “pegaga” atau
centenella asiatica yang dilaporkan berkaitan dengan rendahnya prevalensi Helicobacter pylori di
Malaysia.
Hasil menarik lainnya adalah bahwa suku Bugis, suku mayoritas di Sulawesi tenggara memiliki
prevalensi Helicobacter pylori yang tinggi (36.7%), meskipun masih lebih rendah dari Filipina. Sulawesi
dan Filipina, kecuali Palawan dianggap terpisah dari Sundaland yang didukung pola penyebarannya.
Alfred Russel Wallace merancang suatu batasan transisi organisme antara orang Asia dan Melanesia
(Lombok, Sulawesi, Maluku, dan Filipina). Kebanyakan bahasa di wilayah Wallace mempunyai rumpun
bahasa austronesian yang luas, tetapi tidak seluas bahasa Papua di Propinsi paling timur, khususnya di
wilayah yang didominasi keturunan Melanesia. Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, penelitian
kami sebelumnya menemukan prevalensi infeksi Helicobacter pylori yang rendah di Sulawesi Utara
(14,3%) melalui tes urin dengan serologi. Baru-baru ini kami juga mengkonfirmasi data ini dengan lima
tes diagnosis berbeda (data tidak dipublikasikan). Hal ini tetap tidak jelas, mengapa terdapat perbedaan
prevalensi Helicobacter pylori di pulau Sulawesi. Kami harus garisbawahi bahwa Pulau Sulawesi terdiri
dari bermacam-macam suku yang mana memiliki fenotip yang berbeda-beda. Meskipun kami mengamati
tipe Maori di Sulawesi Utara, sub populasi tipe asia timur terkadang tersisolasi dari suku Maori dan
Taiwan sama seperti orang-orang Filipina.
Prevalensi infeksi Helicobacter pylori yang rendah pada orang Jawa juga terkonfirmasi pada
penelitian kami sebelumnya di Surabaya, di Pulau Jawa. Suku Jawa prevalensi infeksi Helicobacter pylori
rendah, sama seperti kelompok etnis di Melayu, Malaysia yang mana memiliki faktor genetic host yang
mengurangi kerentanan terhadap infeksi Helicobacter pylori. Di akhir jaman es,wilayah tengah dan barat
kepulauan Indonesia terhubung oleh daratan kering hingga ke Sundaland, termasuk Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan. Karena itu tidak mengejutkan bahwa etnis Dayak juga memiliki prevalensi infeksi
Helicobacter pylori.
Bagaimanapun juga masih tetap menjadi pertanyan mengapa etnis batak di Sumatera Utara memiliki
prevalensi infeksi Helicobacter pylori yang tinggi. Genotipe Helicobacter pylori dan analisis faktor host
dari etnis Batak mungkin menjelaskan perbedaan ini. Jalur penularan Helicobacter pylori sepenuhnya
tetap tidak dipahami, tetapi penyebaran dari manusia- ke manusia melalui oral-oral, feses-oral atau
penyebaran intra-masyarakat seperti penularan (transmisi) dari ibu ke anak mungkin berkontribusi pada
perbedaan ras pada tingkat infeksi Helicobacter pylori.
Data kami menunjukkan terdapat perbedaan beberapa faktor demografis dan lingkungan antara
kelompok etnis: usia, agama, dan sumber air minum berhubungan dengan peningkatan resiko tingkat
infeksi Helicobacter pylori. Beberapa etnis menunjukkan usia terkait prevalensi infeksi Helicobacter
pylori di Negara-negara berkembang terjadi lebih dini dan dengan frekuensi yang tinggi. Kami juga
menemukan prevalensi infeksi Helicobacter pylori yang tinggi pada agama Protestan dari Katholik.
Kepercayaan dan praktek keagamaan mereka mungkin menjadi faktor penting penyebaran Helicobacter
pylori di Indonesia. Akan tetapi, kemungkinan hal ini disebabkan karena dalam penelitian ini kebanyakan
orang Papua dan Batak beragama protestan yang mana memiliki tingkat prevalensi infeksi Helicobacter
pylori yang tinggi. Penggunaan air sumur atau air sungai juga berhubungan dengan peningkatan resiko
infeksi. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut pada setiap kelompok untuk mengklarifikasi pengaruh
variabel-variabel demografis dan sanitasi terkait pola-pola infeksi Helicobacter pylori di Indonesia,
khususnya di wilayah-wilayah dengan prevalensi yang tinggi.
Sama dengan penelitian kami sebelumnya, hasil rapid urease test (RUT) menunjukkan tingkat positif
yang lebih tinggi dibandingkan tes-tes lainnya. Dibandingkan histology dan kultur, RUT lebih cepat,
lebih murah, dan memiliki perbandingan kepekaan (sensitivitas) dan kekhususan walaupun di Indonesia.
Jumlah sampel dalam penelitian ini termasuk kurang dan tentunya menjadi keterbataan dalam penelitian
ini. Sebagai tambahan, kami hanya memasukkan pasien-pasien dengan dyspepsia pada populasi penelitian
kami. Umumnya, prevalensi infeksi Helicobacter pylori lebih tinggi pada pasien dyspepsia dari pada
populasi umumnya. Saat ini kami masih terus melanjutkan survey kami untuk menambah jumlah sampel
dan meluas ke pulau-pulau lainnya, termasuk mengumpulkan serum. Ukuran sampel yang besar
dibutuhkan untuk menjelaskan prevalensi infeksi Helicobacter pylori di Indonesia. Kami hanya
menampilkan hasil survey di satu sampai dua kota di setiap pulau. Kebanyakan kota tersebut merupakan
ibukota provinsi yang mana telah memiliki sanitasi dan kondisi social-ekonomi yang lebih baik dari pada
bagian pedesaan. Oleh karena itu, hasil penelitian kami tidak dapat digeneralisasikan antarIndonesia.
Sebuah studi tentang genotip Helicobacter pylori di Indonesia saat ini sedang berjalan. Informasi genotip
mungkin dapat menjelaskan perbedaan infeksi Helicobacter pylori antar kelompok etnis/suku di
Indonesia.

Kesimpulan
Beberapa kelompok etnis/suku di Indonesia memiliki resiko yang tinggi dari pada kelompok etnis
Jawa, kelompok etnis yang cukup besar yang dilaporkan memeiliki prevalensi yang rendah pada
penelitian sebelumnya. Usia, agama, dan sumber air terlibat sebagai faktor-faktor resikoinfeksi
Helicobacter pylori di Indonesia. Penting untuk memperbaiki kondisi-kondisi sanitasi di Indonesia untuk
menurunkan prevalensi Helicobacter pylori di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai