Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Gizi buruk (malnutrisi) adalah masalah kesehatan utama di berbagai negara berkembang (WHO,
2009). Pada tahun 2008, UNICEF menyatakan defisiensi nutrisi sebagai penyebab lebih dari ⅓
dari 9,2 juta kematian anak-anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia. Defisiensi nutrisi yang
terjadi dalam berbagai bentuk dapat meningkatkan resiko kematian anak. Gizi buruk tidak hanya
meningkatkan jumlah kematian dan resiko anak terjangkit penyakit, namun juga menyebabkan
gangguan pertumbuhan fisik, mental, dan kemampuan berpikir yang pada gilirannya menurunkan
produktivitas kerja (Lama dan Lopez, 2013).

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2015 menemukan sebanyak 26.518 balita di seluruh
Indonesia menderita gizi buruk, berdasarkan perhitungan berat badan dibandingkan tinggi badan
dengan z score <-3 SD (standar deviasi) yang artinya kondisi balita sangat kurus. Sementara itu
data Riskesdas pada 2013 mencatat prevalensi balita sangat kurus yang menderita gizi buruk
mencapai 5,3% dari total jumlah balita secara nasional.

Gizi buruk dapat disebabkan oleh faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung di
antaranya adalah kualitas makanan yang dikonsumsi, serta pengetahuan dan pendidikan ibu.
Sementara penyebab langsung meliputi kondisi sosial ekonomi keluarga, daya beli, dan penyakit
bawaan. Gizi buruk perlu dideteksi secara dini untuk melakukan pencegahan dan penatalaksanaan
yang segera (Depkes RI, 2002).

1
BAB II

PEMBAHASAN

Kurang Energi Protein (KEP) adalah gangguan gizi yang banyak terjadi di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi kasus KEP sangat tinggi di kalangan balita, ibu
hamil, dan ibu menyusui dengan berbagai macam kondisi patologis. Penyebab utama KEP antara
lain adalah kekurangan energi dan kekurangan protein dalam proporsi yang berbeda. Kekurangan
protein tersebut menyebabkan kondisi KEP ringan hingga berat (Adriani dan Wijatmadi, 2012).

Sebutan internasional untuk KEP adalah Calorie Protein Malnutrition (CPM) yang kemudian
diubah menjadi Protein Energy Malnutrition (PEM). dalam Adriani dan Wijatmadi (2012)
disebutkan bahwa studi awal penyakit ini dilakukan di Afrika, dimana KEP kemudian disebut
dengan nama kwashiorkor, mengadopsi bahasa lokal yang artinya adalah penyakit rambut merah.
Menurut masyarakat setempat, kwashiorkor merupakan kondisi yang dialami setiap anak ketika
mereka memiliki adik.

Arisman (2004) menyebutkan bahwa KEP dapat terjadi karena kebutuhan akan kalori, protein,
atau keduanya tidak tercukupi oleh asupan makanan. Kedua defisit ini dapat terjadi secara
beriringan, meskipun biasanya salah satu lebih dominan dibandingkan yang lain.

Supariasa (2012) menyebutkan bahwa KEP adalah seseorang yang kekurangan gizi akibat
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam asupan makanan sehari-hari dan atau gangguan
penyakit tertentu.

Penentuan status gizi anak yang paling sederhana bisa menggunakan kurva BB/TB yang biasa
digunakan di Posyandu. Ini sesuai dengan grafik yang dikembangkan oleh WHO dan Ccenter for
Disease Control Prevention (CDC). Dalam grafik tersebut, indikator z-score digunakan sebagai
standar deviasi rata-rata dan persentil median (Lenes, 2019).

Indikator pertumbuhan digunakan untuk menilai pertumbuhan anak dengan mempertimbangkan


faktor lain seperti umur, pengukuran tinggi badan dan berat badan, lingkar kepala dan lingkar

2
lengan atas. Berikut adalah indeksm umum yang digunakan untuk menentukan status gizi bayi dan
balita (Lenes, 2019):

1. Berat badan menurut umur (BB/U)

Membandingkan BB relatif dengan umur anak yang dihitung dalam bulan penuh. Indeks BB/U
memberikan gambaran status gizi kurang (underweight), gizi buruk (severely underweight), gizi
baik, dan gizi lebih.

2. Panjang atau tinggi bada menurut umur (PB/U atau TB/U)

Pengukuran panjang badan anak dilakukan dalam posisi terlentang di usia 0-24 bulan, sedangkan
anak usia 2 tahun ke atas tinggi badan diukur secara tegak. Jika anak usia 0-24 bulan diukur
tingginya dengan tegak, maka harus dikoreksi dengan penambahan 0,7 cm. sebaliknya jika anak
usia 2 tahun ke atas dikur tingginya secara terlentang, maka dikoreksi dengan dikurangi 0,7 cm.
hasil pengukuran ini menunjukkan status gizi pendek (severely stunted) pada anak.

3. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

Membandingkan berat badan anak dengan pertumbuhan linear (PB atau TB), digunakan untuk
mengklasifikan status gizi kurus (wasted) dan sangat kurus (severely wasted).

4. Indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U)

Indikator untuk menilai massa tubuh yang dapat menentukan status gizi seorang anak. Indeks ini
juga dapat digunakan untuk skrining overweight dan obesitas.

Kemenkes RI mengelompokkan KEP berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U),
tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan indeks massa
tubuh berdasarkan umur (IMT/U)

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas


(z score)

Berat badan menurut umur (BB/U) Gizi Buruk < -3 SD


Anak Umur 0-60 bulan

Gizi Kurang -3 SD s/d < -2 SD

3
Gizi Baik -2 SD s/d 2 SD

Gizi Lebih > 2 SD

Panjang Badan menurut Sangat pendek < -3 SD


Umur (PB/U) atau
Tinggi Badan menurut
Umur (TB/U) Pendek -3 SD s/d < -2 SD
Anak Umur 0 – 60 Bulan

Normal -2 SD s/d 2 SD

Tinggi > 2 SD

Berat Badan menurut Sangat kurus < -3 SD


Panjang Badan (BB/PB)
atau
Berat Badan menurut Kurus -3 SD s/d < -2 SD
Tinggi Badan (BB/TB)
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Normal -2 SD s/d 2 SD

Gemuk > 2 SD

Indeks Massa Tubuh Sangat kurus < -3 SD


menurut Umur (IMT/U)
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Kurus -3 SD s/d < -2 SD

Normal -2 SD s/d 2 SD

Gemuk > 2 SD

Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar


Antropometri Penilaian Status Gizi Anak

2.1 Etiologi

Kurang Energi Protein (KEP) secara umum disebabkan oleh kekurangan makanan yang
merupakan sumber energi dan sumber protein (Almatsier, 2009). Ada dua penyebab KEP, yaitu
primer dan sekunder. Penyebab primer adalah kebutuhan individu akan energi, protein, dan atau
keduanya yang tidak terpenuhi. Sedangkan penyebab sekunder meliputi asupan yang kurang

4
optimal, gangguan penyerapan nutrisi, dan meningkatkan kebutuhan karena kehilangan zat gizi
atau stres (Alpers, 2006).

2.2 Patofisiologi

Kurangnya asupan makanan dengan kadar protein yang tinggi dari kebutuhan tubuh yang
seharusnya menyebabkan kekurangan asam amino esensial yang sangat penting untuk menunjang
pertumbuhan dan dibutuhkan untuk perbaikan sel. Jika kebutuhan protein tidak tercapai, maka
tubuh mulai menggunakan cadangan makanan yang ada, yaitu dengan membakar cadangan
karbohidrat menjadi energi dan pembakaran cadangan lemak dan protein melalui proses katabolik
(Liansyah, 2015).

Apabila kondisi ini terjadi dalam waktu lama, maka cadangan makanan yang ada dalam tubuh
akan habis dan mengakibatkan terjadinya kelainan jaringan. Selanjutnya tubuh akan menunjukkan
manifestasi KEP berat yang disebut dengan kwashiorkor (kekurangan protein), marasmus
(kekurangan energi), dan marasmik-kwashiorkor (Liansyah, 2015).

2.3 Manifestasi Klinis

Klasifikasi malnutrisi KEP berat terdiri dari tiga tipe berbeda:

1. Kwashiorkor

Kwashiorkor merupakan sebuah kondisi yang disebabkan oleh kekurangan protein akibat asupan
makanan yang kurang memadai (Budiyanto, 2002). Kondisi ini banyak ditemukan pada anak usia
1-3 tahun.

Gejala klinis kwashiorkor (Budiyanto, 2002; Par’i 2016):

● Badan bengkak
● Tangan, kaki, dan wajah membulat, terlihat sembab
● Atrofi otot yang membuat penderita terlihat lemah
● Wajah bengong, pandangan kosong dan sayu
● Perubahan status mental: rewel dan sering menangis, pada stadium lanjut anak
terlihat sangat apatis
● Warna rambut menjadi terang sewarna coklat tembaga

5
● Perut buncit
● Kaki kurus dan bengkok
● Menolak segala jenis makanan (anoreksia)
● Gangguan pertumbuhan yang ditunjukkan oleh z-score indeks BB/U di bawah -2
SD
● Lingkar kepala mengalami penurunan
● Serum albumin rendah, turun sampai 2.5 ml atau lebih rendah
● Muncul edema yang kadang menjadi asites di seluruh tubuh, terutama kaki

Komplikasi akibat kwashiorkor yang mungkin terjadi pada penderita antara lain adalah (Par’i,
2016):

● Gangguan sistem gastrointestinal, seperti menorah semua makanan sehingga harus


dimasukkan melalui sonde lambung.
● Kelainan kulit khas yang disebut crazy pavement dermatosis, dimulai dari bintik
merah bercampur bercak, lama kelamaan menghitam dan mengelupas. Biasanya
muncul di punggung, pantat, dan sekitar vulva yang selalu basah akibat keringat
atau urin.
● Pembesaran hati yang terkadang sampai ke pusar akibat sel-sel hati terisi oleh
lemak.
● Penurunan albumin dan globulin serum di bawah 2 dan terkadang sampai 0.
● Kadar kolesterol serum rendah, mungkin disebabkan oleh rendahnya asupan gizi
atau pembentukan kolesterol tubuh yang terganggu.
● Anemia.
2. Marasmus

Marasmus adalah salah satu bentuk defisiensi nutrisi yang paling sering terjadi pada balita
(Liansyah, 2015). Kondisi ini terjadi ketika energi yang diperoleh melalui makanan sangat tidak
memadai, insulin rendah, dan kadar kortisol plasma tinggi, hal tersebut mengakibatkan pelepasan
asam amino dari otot dan ketersediaan untuk sintesis protein hepatik, terutama albumin (Shetty,
2003). Pelepasan asam amino oleh tubuh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi anak yang
tidak diperoleh dari asupan makanan (Liansyah, 2015).

6
Gejala klinis marasmus adalah sebagai berikut (Budiyanto, 2002; Liansyah, 2015):

● Berat badan sangat rendah.


● Atrofi otot
● Wajah anak terlihat seperti orang tua.
● Ukuran kepala tidak sebanding dengan ukuran tubuh.
● Cengeng dan rewel meski setelah makan.
● Kesadaran menurun (apatis).
● Mudah terkena penyakit infeksi.
● Kulit menjadi kering dan berlipat karena tidak adanya jaringan lemak di bawah kulit.
● Sering mengalami diare.
● Rambut tipis dan mudah rontok.
● Pantat kendur dan keriput (baggy pant).
● Perut cekung.

Kasus marasmus juga sering ditemukan pada bayi di tahun pertama kehidupan. Penyebab
utamanya biasanya adalah produksi ASI ibu yang sangat rendah atau ibu memutuskan untuk tidak
menyusui bayi. Pada kondisi yang sangat parah, anak akan terlihat sangat kurus seperti tulang yang
dibalut kulit (Budiyanto, 2002).

3. Marasmus-kwashiorkor

Meskipun jarang, namun bayi atau anak-anak bisa menunjukkan gejala marasmus dan kwashiorkor
sekaligus. Tanda-tanda yang sangat jelas terlihat adalah edema yang menjadi ciri khas dari
marasmus dan pelemasan otot yang menjadi karakteristik utama kwashiorkor (Shetty, 2003).
Marasmus-kwashiorkor dapat terjadi karena kurangnya asupan protein dan energi dari makanan
sehari-hari. Z-score berat badan anak yang menderita marasmus-kwashiorkor hingga di bawah -3
SD (Par’i, 2016).

2.4 Faktor Resiko KEP

Faktor resiko Kurang Energi Protein (KEP) pada anak antara lain adalah (YPHA, 2009):

1. Asupan makanan

7
Kekurangan asupan makanan menjadi penyebab utama defisiensi nutrisi pada anak, yang
menyebabkan tubuh harus mengambil cadangan protein untuk diubah menjadi energi. Kurangnya
asupan makanan dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya ketersediaan makanan yang tidak cukup,
dan anak tidak cukup atau salah mendapat asupan gizi seimbang. Kebutuhan nutrisi balita meliputi
air, protein, energi, lemak, karbohidrat, serta vitamin dan mineral. Protein, lemak, dan karbohidrat
adalah sumber kalori yang akan diubah menjadi energi oleh tubuh (Kumar, 2007).

Balita yang mengalami gizi buruk atau malnutrisi umumnya memiliki pola makan yang kurang
beragam, yaitu komposisi makanan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi seimbang. Pola makan
anak dikatakan memiliki gizi yang seimbang apabila mengandung unsur zat tenaga dari makanan
pokok, zat pembangun dan pemelihara jaringan dari lauk pauk, dan zat pengatur dari buah (18).

2. ASI

Menurut WHO (2009), hanya 14% ibu di Indonesia yang memberikan ASI eksklusif kepada
bayinya hingga usia 6 bulan. Sementara itu, sebanyak 86% bayi mendapatkan asupan nutrisi dari
susu formula, makanan padat, dan campuran ASI dengan susu formula (9).

Riset yang dilakukan di seluruh dunia membuktikan bahwa ASI adalah makanan terbaik untuk
bayi hingga usianya 6 bulan, kemudian disempurnakan hingga bayi berusia 2 tahun (18).
Memberikan ASI kepada bayi memberikan banyak manfaat, antara lain membangun kedekatan
psikologis yang erat antara ibu dan bayi, yang nantinya sangat penting bagi pertumbuhan anak
(11). ASI juga memiliki peranan yang penting dalam status gizi balita. Selain itu, ASI juga
disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga gizinya lebih cepat diserap (18).

3. Status sosial ekonomi keluarga

Pola makan anak yang tidak memenuhi kebutuhan gizi seimbang dapat disebabkan oleh rendahnya
status sosial dan ekonomi keluarga, yang berakibat pada rendahnya daya beli keluarga untuk
mencukupi makanan yang bergizi. Status sosial ekonomi yang menyebabkan munculnya masalah
kesehatan seperti malnutrisi pada anak biasanya disertai dengan ketidaktahuan dan
ketidakmampuan untuk mengatasi masalah tersebut (Soekirman, 2000).

Penyebab lainnya adalah kurangnya waktu yang dimiliki ibu untuk memperhatikan asupan
makanan anak. Hal ini dapat terjadi pada ibu yang bekerja, baik pada sektor formal maupun

8
informal. Pekerjaan yang mengharuskan ibu meninggalkan rumah sepanjang hari dapat
menyebabkan ibu tidak punya waktu untuk memberikan ASI pada anaknya (Pudjiadi, 2000).

4. Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu

Tingkat pendidikan orang tua, terutama ibu, sangat berpengaruh terhadap derajat kesehatan anak
karena pendidikan mempengaruhi kualitas pengasuhan anak itu sendiri. Jika seorang ibu memiliki
tingkat pendidikan tinggi, maka ia akan lebih mudah menyerap informasi dan menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000).

Hal lain yang tidak kalah penting adalah pengetahuan yang dimiliki ibu. Jika seorang ibu tidak
memiliki pengetahuan yang cukup tentang gizi, maka keanekaragaman makanan yang diberikan
kepada anak juga berkurang. Tidak jarang ditemukan kasus dimana defisiensi nutrisi dan gangguan
gizi pada anak disebabkan oleh rendahnya kemampuan ibu dalam menerapkan informasi tentang
gizi (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000).

5. Penyakit penyerta

Ada hubungan timbal balik antara penyakit dan kekurangan gizi. Bayi dan anak yang menderita
penyakit tertentu dapat memperburuk status gizinya, dan begitu pula sebaliknya. Misalnya bayi
gizi buruk sangat rentan terhadap penyakit tuberkulosis (TBC), diare persisten (diare berkelanjutan
selama 14 hari atau lebih, dimulai dari diare cair hingga berdasar/disentri), dan HIV/AIDS.
Serangan berbagai penyakit juga dapat membuat status gizi anak semakin buruk karena
terganggunya asupan makanan disertai dengan kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh (Kumar,
2007).

6. Berat badan saat lahir rendah

Bayi berat lahir rendah (BBLR) ketika berat badan bayi ketika lahir kurang dari 2500 gram tanpa
memperhitungkan masa gestasi (Supartini, 2002). Di antara penyebab utama BBLR adalah
kelahiran prematur kurang dari 37 minggu, dapat disebabkan karena ibu tidak memiliki uterus
yang bisa menahan janin, adanya gangguan selama kehamilan, dan plasenta lepas sebelum
waktunya. Pada bayi yang lahir secara prematur, organ-organ dalam tubuhnya belum bisa
berfungsi secara normal untuk mendukungnya bertahan hidup di luar rahim ibu. Semakin muda
umur kehamilan, maka semakin rendah pula fungsi organ bayi dan membuat prognosanya semakin

9
kurang baik. Bayi BBLR juga sering mengalami komplikasi karena rendahnya fungsi organ vital
mereka (Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar, 2008).

Selain kelahiran prematur, penyebab lain BBLR adalah hambatan pertumbuhan ketika bayi masih
berada di dalam kandungan. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh buruknya gizi ibu dan bayi (Buku
Acuan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar, 2008). Kelompok BBLR juga memiliki
kekebalan tubuh yang kurang sempurna, sehingga membuat mereka lebih rentan terserang
penyakit, terutama infeksi. Akibatnya nafsu makan menurun drastis, menyebabkan asupan
makanan ke dalam tubuh berkurang dan mengakibatkan gizi buruk (25).

7. Kelengkapan imunisasi

Kelengkapan imunisasi sangat penting untuk bayi dan anak, karena dapat mencegah infeksi.
Imunisasi untuk satu penyakit hanya bisa memberi kekebalan terhadap penyakit tersebut, sehingga
untuk mencegah penyakit yang lain, mereka harus mendapatkan imunisasi yang lengkap. Bayi dan
balita adalah dua kelompok yang paling penting mendapatkan imunisasi, karena golongan itulah
yang paling peka terhadap penyakit akibat kekebalan tubuhnya yang belum sebaik orang dewasa
(Tropical Medicine Central Resource, 2008).

Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan sekali saja, namun harus secara bertahap dan lengkap untuk
meningkatkan kekebalan tubuh anak agar terlindungi dari berbagai macam penyakit (Walker,
2004).

2.5 Diagnosis

Diagnosis defisiensi nutrisi dapat dilakukan melalui pemeriksaan gejala klinis, antropometri, dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala yang muncul beragam, tergantung dari derajat gizi buruk yang
diderita. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, biasanya hanya ditemukan
pertumbuhan yang kurang seperti berat badan kurang dibandingkan anak lain yang lebih sehat.
Gizi buruk ringan sering terjadi pada anak usia 9 bulan hingga 2 tahun, namun juga bisa terjadi
pada anak yang usianya lebih besar (Departemen Kesehatan RI, 2002).

Pengukuran antropometri biasanya digunakan untuk menemukan gizi buruk ringan dan sedang
pada anak dengan menggunakan tiga parameter yaitu perbandingan berat dan umur anak,

10
perbandingan tinggi dan umur anak, serta perbandingan berat dan tinggi anak (Dewi dan
Budiantara, 2012).

Sementara pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan kadar protein (albumin/globulin)


dalam darah. Pemeriksaan laboratorium yang rinci dapat menjelaskan penyebab malnutrisi dan
komplikasi yang terjadi pada anak. Terlihat perubahan yang nyata pada hasil pemeriksaan
laboratorium anak yang mengalami gizi buruk, dalam hal komposisi tubuh seperti jumlah dan
distribusi cairan, mineral, lemak, dan protein terutama protein otot. Di dalamnya tubuhnya terdapat
lebih banyak cairan yang menyebabkan hilangnya otot, lemak, dan jaringan yang lain. Pada anak
yang menunjukkan gejala edema, cairan ekstra sel lebih banyak jumlahnya dibandingkan anak
tanpa edema. Jumlah kalium dalam tubuh (terutama dalam sel) menurun sehingga menyebabkan
gangguan metabolik pada organ seperti otot, ginjal, dan pankreas.

2.6 Penatalaksanaan

Berikut ini adalah penatalaksanaan defisiensi nutrisi pada anak (Liansyah, 2015):

1. Mencegah dan mengatasi hipoglikemia

Hipoglikemia adalah kondisi yang terjadi ketika kadar gula darah < 54 mg/dl yang dapat ditandai
dengan kejang, lemah suhu tubuh sangat rendah, kesadaran menurun, pucat, dan keringat dingin.
Terapi hipoglikemia dapat dilakukan dengan pemberian cairan gula 50 ml dekstrosa 10% atau 1
sendok teh gula yang dicampur dengan 3 ½ sendok makan air. Penderita juga harus diberi makan
tiap 2 jam sekali dan diberikan antibiotik. Jika penderita tidak sadarkan diri, maka makanan dan
antibiotik dapat diberikan melalui sonde.

Lalu dilakukan evaluasi setelah 30 menit, apabila tanda-tanda hipoglikemia masih terlihat, maka
pemberian cairan gula dapat diulang.

2. Mencegah dan hipotermia

Hipotermia adalah kondisi ketika suhu tubuh anak di bawah 35 derajat celcius. Keadaan ini dapat
ditangani dengan cara menghangatkan ruangan anak, menutup lubang angin, sering-sering diberi
makan, diberi pakaian hangat, penutup kepala, sarung tangan, dan kaos kaki. Anak juga
dihangatkan dalam dekapan ibu dengan metode kanguru, dan cepat-cepat mengganti popoknya

11
yang basah. Pengukuran suhu rektal dilakukan setiap dua jam hingga suhu mencapai >36,5 derajat
celcius.

3. Mencegah dan mengatasi dehidrasi

Penatalaksanaan dehidrasi dapat dilakukan dengan pemberian cairan Resomal (Rehydration


Solution for Malnutrition) 70-100 ml/kgBB dalam 12 jam, dimulai dengan 5 ml/kgBB setiap 30
menit secara oral dalam 2 jam pertama. Dilanjutkan dengan 5-10 ml/kgBB selama 4-10 jam
berikutnya.

Jumlahnya dapat disesuaikan dengan seberapa banyak anak mau minum dan feses yang keluar,
atau muntah. Jika rehidrasi masih dilanjutkan pada jam ke-4, 6, 8, 10, maka jumlah cairan resomal
diganti dengan F75. Selama pemberian cairan dilakukan monitorisasi tanda vital, frekuensi berak
dan muntah, serta diuresis. Jika terjadi percepatan pernapasan, denyut nadi semakin cepat, tekanan
vena jugularis meningkat, atau pada anak yang edema terjadi pertambahan edema, maka
pemberian cairan harus dievaluasi.

4. Koreksi gangguan elektrolit

Pemberian ekstra kalium 150-300 mg/kgBB/hari, ekstra magnesium 0,4-0,6 mmol/kgBB/hari, dan
rehidrasi cairan rendah garam (resomal)

5. Mencegah dan mengatasi infeksi

Apabila tidak terjadi komplikasi dapat diberi kotrimoksazol selama 5 hari, tapi jika ditemukan
komplikasi maka diberi amoksisilin 15 mg/kgBB setiap 8 jam sekali selama 5 hari. Sebaiknya
dilakukan monitoring komplikasi infeksi seperti hipotermia atau hipoglikemia.

6. Pemberian makan

Setelah anak mendapatkan perawatan untuk mencegah hipoglikemia dan hipotermia, maka dimulai
pemberian makanan untuk kecukupan kebutuhan protein dan energi. Pemberian makanan dimulai
dengan porsi kecil dan sering secara oral atau sonde dengan takaran:

● Energi 100 kkal/kgBB/hari


● Protein 1-1,5 g/kgBB/hari

12
● Cairan 130 ml/kgBB/ hari untuk penderita marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-
kwashiorkor dengan edema derajat 1 dan; untuk derajat 3 cairan diberikan sebanyak
100 ml/kgBB/hari
7. Koreksi kekurangan zat gizi mikro

Pemberian suplemen multivitamin dengan dosis:

● Asam folat (5 mg di hari pertama, 1 mg untuk hari selanjutnya)


● Zinc (2 mg/kgBB/hari)
● Copper (0,3 mg/kgBB/hari)
● Zat besi (1-3 Fe elemental/kgBB/hari) setelah 2 minggu perawatan
● Vitamin A di hari pertama (usia <6 bulan 50.000 ribu IU; 6-12 bulan 100.000 IU; >1 tahun
200.000 IU)

8. Pemberian makanan untuk tumbuh kejar

Selama satu minggu perawatan fase rehabilitasi, diberi F100 dengan kandungan 100 kkal dan 2,9
g protein/100ml, modifikasi asupan makanan keluarga dengan protein dan energi yang sebanding,
pemberian makanan porsi kecil namun sering dan padat gizi, cukup protein dan minyak.

9. Pemberian stimulasi untuk tumbuh kembang

Menggunakan mainan sebagai stimulus, jenis dan macamnya disesuaikan dengan kondisi, umur,
dan tahap perkembangan anak. Mainan diharapkan memberikan stimulasi secara psikologis,
meliputi mental, motorik, dan kognitif.

10. Persiapan tindak lanjut di rumah

Anak dikatakan sembuh jika BB/PB-nya mencapai -1 SD dan orang tua harus diberi edukasi
tentang frekuensi dan jumlah makanan, pemberian terapi bermain pada anak, memastikan
pemberian imunisasi booster dan vitamin A setiap 6 bulan sekali.

13
BAB III

PENUTUP

Defisiensi nutrisi adalah masalah kesehatan yang masih banyak dijumpai di negara miskin dan
berkembang. Kondisi ini tidak hanya meningkatkan angka kematian anak, namun juga
mengganggu pertumbuhan fisik, mental, dan kemampuan berpikir mereka. Gizi buruk harus
dideteksi dini melalui monitoring pertumbuhan, identifikasi faktor resiko, dan penanganan yang
cepat dan tepat. Penatalaksanaan gizi buruk atau malnutrisi dapat dilakukan dengan terapi
pemberian asupan gizi seimbang sesuai dengan tahapan defisiensi dan usianya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Adriani, Merryana & Bambang Wijatmadi. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.

Bahmat, D. O., Bahar, H., & Jus’at, I. (2010). Hubungan Asupan Seng, Vitamin A, Zat Besi Dan
Kejadian Pada Balita (24-59 Bulan) Dan Kejadian Stunting Di Kepulauan Nusa Tenggara
(Riskesdas 2010). Jakarta Univ. Esa Unggul.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Analisis Situasi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. 2002. Program Gizi Makro.Jakarta:Depkes RI.

Dewi R.K. & I.N. Budiantara. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Angka Gizi Buruk Di
Jawa Timur dengan Pendekatan Regresi Nonparametrik Spline. Jurnal Gizi dan Pangan 2012,
10(18), 39.

Dini, L. 2002. Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama Krisis Ekonomi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Kumar S. Global Database on Child Growth and Malnutrition [Internet]. 2007. Available from:
http://who.int//nutgrowthdb

Kuntari, T., Jamil, N. A., & Kurniati, O. (2013). Faktor risiko malnutrisi pada balita. Kesmas:
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (National Public Health Journal), 7(12), 572-576.

Lama, R.A. & A.M. López. 2013. Early detection of malnutrition and risk of malnutrition in child.
Nutricion Hospitalaria. 6. 24-29.

Liansyah, T. M. 2015. Malnutrisi pada anak balita. Jurnal Buah Hati, 2(1), 1-12.

Pratiwi, Y. S. (2013). Kekurangan vitamin A (KVA) dan infeksi. Dalam Jurnal The Indonesian
Journal of Health Science, 3(2), 207-210.

Pudjiadi, Solihin. 2000. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak, Edisi keempat. FKUI: Jakarta.

Shetty, P. 2003. Malnutrition and undernutrition. Medicine, 31(4), 18-22.

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: EGC.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan

Anak. Jakarta: Infomedika.

Supartini, Y. 2002. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.

15
Tim Paket Pelatihan Klinik PONED. 2008. Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan Neonatal
Emergensi Dasar (PONED). Jakarta: EGC.

Triana, V. (2006). Macam-macam vitamin dan fungsinya Dalam tubuh manusia. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Andalas, 1(1), 40-47.

Tropical Medicine Central Resource. 2008. Kwashiorkor (Protein-Calorie Malnutrition) [Internet].


Available from: http://tmcr.Usuhs.mil/tmcr/chapter16/Kwashiorkor.htm

Walker, Allan. 2004. Pediatric Gastrointertinal Disease. USA: DC Decker.

World Health Organisation. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO
Indonesia.

Yani, F. F. (2019). Peran Vitamin D pada Penyakit Respiratori Anak. Jurnal Kesehatan Andalas,
8(1), 167-171.

Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA). 2009. Lingkaran Setan Gizi Buruk: Ketika Negara
Kembali Gagal Menjamin Hak Hidup Anak-anak. Available from: www.ypha.go.id

16
Defisiensi Vitamin Pada Anak

• Vitamin A

Vitamin A adalah vitamin larut lemak pertama yang ditermukan secara luas. Ini adalah zat gizi
esensial untuk penglihatan, reproduksi, pertumbuhan, diferensiasi epitelium, dan sekresi
lendir/getah. Kekurangan vitamin A meningkatkan resiko penyakit infeksi saluran pernapasan dan
diare, meningkatkan angka kematian karena campak, dan menyebabkan keterlambatan
pertumbuhan (Pratiwi, 2013).

Manifestasi klinis defisiensi vitamin A ditandai dengan gejala paling dini berupa buta senja, diikuri
oleh xerosis konjungtiva dan kornea. Apabila tidak diobati, xeroftalmia dapat menyebabkan
ulserasi, nekrosis, keratomalasia, dan parut kornea permanen (Pratiwi, 2013).

• Vitamin D

Menurut Yani (2019), diperkirakan 1 juta orang di dunia menderita kekurangan vitamin D,
termawsuk anak-anak. Beberapa penyebab defisiensi vitamin D antara lain adalah kekurangan
sinar matahari selama musim dingin di negara 4 musim, diet vegetarian, pigmentasi kulit gelap,
peningkatan polusi, dan anak-anak yang terlalu lama berada di dalam rumah. Defisiensi vitamin
D meningkatkan resiko penyakit infeksi seperti sepsis, TBC, dam pneumonia.

Indikator defisiensi vitamin D yang paling banyak digunakan adalah (Yani, 2019):

o Defisiensi jika konsentrasi: < 50 nmol/L, atau < 20 ng/mL


o Insufisiensi jika konsentrasi: 51 – 74 nmol/L atau 21-29 ng/mL
o Normal jika konsentrasi: > 75 nmol/L atau > 30 ng/mL

Pada bayi dan anak, defisiensi vitamin D sering muncul melalui gejala sebagai berikut (Yani,
2019):

• Otot kejang dan kram


• Pertumbuhan lambat
• Terlambat berjalan dan tumbuh gigi
• Sesak napas dan gangguan pernapasan lainnya
• Nyeri pada tulang
17
• Vitamin B6

Bentuk aktif dari vitamin B6 adalah piridoksal fosfat, di mana semua bentuk vitamin B6 diabsorbsi
dari dalam intestinum. Defisiensi atau kekurangan vitamin B6 jarang terjadi karena biasanya
merupakan bagian dari defisiensi vitamin B kompleks. Namun kekurangan vitamin B6 dapat
terjadi selama masa laktasi (Triana, 2006).

• Vitamin B12

Vitamin B12 disimpan dalam hati terikat dengan transkobalamin I. Defisiensi vitamin B12
menyebabkan anemia megaloblastik karena dapat menyebabkan terganggunya reaksi metionin
sintase. Kelainan neurologik yang berhubungan dengan defisiensi vitamin B12 dapat terjadi
sekunder akibat defisiensi relatif metionin.

• Vitamin E

Kandungan terbesar yang ada di dalam vitamin E adalah tokoferol, yang bertindak sebagai
antioksidan dengan memutuskan berbagai rantai radikal bebas. Defisiensi vitamin E bisa
menyebabkan anemia pada bayi baru lahir. Kebutuhan vitamin E semakin meningkat dengan
semakin banyaknya lemak tak jenuh ganda dalam tubuh. Berbagai gangguan dan penyakit yang
menyebabkan penyerapan vitamin E tidak efisien dapat menimbulkan gejala neurologi pada anak.
Vitamin E dapat rusak akibat pengolahan makanan komesial, termasuk pembekuan (Triana,2006).

• Vitamin K

Vitamin yang tergolong ke dalam kelompok vitamin K adalah naftokuinon tersubsitusi


poliisoprenoid. Penyerapan vitamin K membutuhkan penyerapan lemak yang normal, sehingga
malabsoribsi lemak menjadi penyebab utama defisiensi vitamin K. kekurangan vitamin K bisa
menyebabkan penyakit hemoragik pada bayi yang baru lahir, karena plasenta tidak dapat
meneruskan vitamin K secara efisien. Malabsorbsi lemak yang menjadi penyebab kekurangan
vitamin K mungkijn disertai oleh disfungsi pankreas, penyakit biliaris, atrofi mukosa intestinal,
sterilisasi usus besar oleh antibiotik, dan penyebab steatore lainnya (Triana, 2006).

• Asam Folat

18
Asam folat ini terdiri dari basa pteridin yang terikat dengan satu molekul masing-masing asam P-
aminobenzoat acid (PABA) dan asam glutamat. Kekurangan asam folat bisa menyebabkan anemia
megaloblastik akibat terganggunya sintesis DNA dan pembentukan eritrosit.

• Besi

Defisiensi besi berhubungan dengan penurunan fungsi kekebalan yang dapat diukur melalui
perubahan komponen sistem kekebalan tubuh. Kekurangan besi meningkatkan resiko penyakit
infeksi. Pada anak-anak, defisiensi besi ditandai dengan gejala daya tangkap rendah, lesu, cepat
marah, dan penurunan kemampuan belajar (Bahmat et al, 2010).

Contoh Kasus

Studi malnutrisi atau gizi buruk pada balita pernah dilakukan oleh Titik Kuntari dkk dari
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia pada
2013. Dalam artikel berjudul Faktor Resiko Malnutrisi Pada Balita, penelitian ini mengambil
lokasi di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus kontrol dengan 54 balita malnutrisi sebagai
kelompok kasus dan 54 balita gizi baik sebagai kelompok kontrol. Status gizi ditentukan dengan
z-score yang membandingkan berat badan dengan umur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan ibu, berat lahir normal, dan riwayat penyakit kronis merupakan faktor yang
menyebabkan defisiensi nutrisi pada anak.

19

Anda mungkin juga menyukai