Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KADAR GULA DARAH


PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2
Oleh:
HERNA WAHYUNI
NIM: 110100327

Pembimbing:
dr. Rina Amelia, MARS
NIP: 197604202003012002
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU
KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KADAR GULA DARAH


PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2
Oleh:
HERNA WAHYUNI
NIM: 110100327

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KADAR GULA DARAH
PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2
Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan
dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di departemen Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Oleh:
HERNA WAHYUNI
NIM: 110100327

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN
2016

LEMBAR PENGESAHAN
Judul : HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KADAR GULA
DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2
Nama : HERNA WAHYUNI
NIM : 110100327

Medan, 05 September 2016


Pembimbing

dr. Rina Amelia, MARS


NIP: 197604202003012002

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis menyajikan makalah dengan judul Hubungan
Indeks Massa Tubuh Dengan Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes
Melitus Tipe 2. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi

tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehataan Masyarakat Fakultas


Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih
kepada dr. Rina Amelia, MARS atas kesediaan beliau menjadi pembimbing dalam
penulisan makalah ini. Semoga melalui makalah ini, pengetahuan dan pemahaman
mengenai program kesehatan bagi usia lanjut di Indonesia, semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan,
baik dalam teorinya maupun penyusunannya. Oleh karena itu, penulis
membutuhkan kritik dan saran mengenai makalah ini.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, 05 September 2016


Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................i
KATA PENGANTAR .....................................................................................ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................1
1.1. Latar Belakang .....................................................................................1
1.2. Tujuan ...................................................................................................2
1.3. Manfaat ................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................3
2.1. Indeks Massa Tubuh (IMT)...................................................................3
2.2. Kadar Gula Darah (KGD).....................................................................4
2.3.Diabetes Melitus (DM)..........................................................................4
2.4. Hubungan IMT dengan KGD ..............................................................7
BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................10
3.1. Kesimpulan...........................................................................................10
3.2. Saran......................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................12

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar belakang
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,


kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2006). World Health Organization
(WHO) mengklasifikasikan penderita DM dalam lima golongan klinis, yaitu DM
tergantung insulin (DM tipe 1), DM tidak tergantung insulin (DM tipe 2), DM
berkaitan dengan malnutrisi (MRDM), DM karena toleransi glukosa terganggu
(IGT), dan DM karena kehamilan (GDM) (Fathmi, 2012). WHO memprediksi
adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahuntahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien
dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030
(PERKENI, 2006). Laporan kesehatan WHO tahun 2014 melaporkan bahwa 9,2%
penduduk dunia yang berusia lebih dari sama dengan 25 tahun mengalami
peningkatan kadar gula darah puasa (Agustinah, 2015).
Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya DM.
Hubungannya dengan DM tipe 2 sangat kompleks. Obesitas dapat membuat sel
tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin). Insulin berperan meningkatkan
ambilan glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga mengatur metabolisme
karbohidrat, sehingga jika terjadi resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di
dalam darah juga dapat mengalami gangguan (Fathmi, 2012). Salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk menurunkan kadar gula darah penderita DM adalah
dengan pencapaian status gizi yang baik (Adnan, 2013).
Antropometri merupakan salah satu cara penentuan status gizi. Penentuan
status gizi yang digunakan adalah pembagian berat badan dalam kg dengan tinggi
badan dalam meter kuadrat dinyatakan dalam indeks massa tubuh (IMT) (Adnan,
2013). Prevalensi penduduk lebih dari 18 tahun di Indonesia yang kurus (IMT
kurang dari 18,5) sebesar 11,09%, normal (IMT antara 18,5-22,9) sebesar 62,68%,

berat badan lebih (IMT antara 23-24,9) sebesar 11,48%, dan obesitas (IMT kurang
dari sama dengan 25) sebesar 14,76% (Agustinah, 2015).
IMT memiliki kaitan dengan kadar gula darah penderita DM. Hasil
penelitian Purnawati tahun 1998 dari Universitas Indonesia, menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara IMT dengan terjadinya DM tipe 2. IMT tinggi
mempunyai resiko 2 kali lebih besar untuk terkena DM tipe 2 dibandingkan
dengan IMT rendah (Adnan, 2013). Namun pada penelian lain menyatakan tidak
ada hubungan antara antropometri dengan kadar glukosa darah (Lipoeto et al,
2007). Namun banyak pula penelitian lain yang menemukan hubungan yang
signifikan antara IMT dengan kadar gula darah pada penderita DM tipe 2 (Fathmi,
2012; Agustinah, 2015; Nggilu, 2015).
Dengan demikian maka penulis tertarik untuk membahas hubungan IMT
dengan KGD pada penderita DM tipe 2 berdasarkan penelitian-penelitian
sebelumnya, sehingga penatalaksaan dan pencegahan DM tipe 2 lebih optimal lagi
untuk kedepannya.
1.2.

Tujuan Makalah
Untuk lebih mengerti dan memahami mengenai hubungan indeks massa

tubuh dengan kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus tipe 2 serta
untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sumatera Utara.
1.3.

Manfaat Makalah
a. Untuk meningkatkan informasi di dunia ilmu pengetahuan terutama
dalam hal studi literatur, baik bagi penulis maupun pembaca dan

masyarakat luas.
b. Sebagai tolok ukur bagi penelitian berikutnya.
c. Pengembangan ilmu pengetahuan antara lain mengetahui hubungan
indeks massa tubuh dengan kadar gula darah pada penderita diabetes
melitus tipe 2.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Indeks Massa Tubuh (IMT)


Indeks massa tubuh dihitung sebagai berat badan dalam kilogram (kg)

dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan (m2 ) dan tidak terkait dengan jenis
kelamin. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa yang berusia 18
tahun ke atas. IMT tidak diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan
olahragawan, serta tidak dapat diterapkan dalam keadaan khusus (penyakit
lainnya), seperti edema, asites, dan hepatomegaly (Fathmi, 2012).
IMT=

Berat Badan( Kg)


Tinggi Badan(m2 )

Indeks massa tubuh banyak digunakan di rumah sakit untuk mengukur


status gizi pasien karena IMT dapat memperkirakan ukuran lemak tubuh yang
sekalipun hanya estimasi, tetapi lebih akurat daripada pengukuran berat badan
saja. Di samping itu, pengukuran IMT lebih banyak dilakukan saat ini karena
orang yang kelebihan berat badan atau yang gemuk lebih berisiko untuk menderita
penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke, hipertensi, osteoarthritis, dan
beberapa bentuk penyakit kanker (Fathmi, 2012).
Klasifikasi IMT Berdasarkan PERKENI (2006), maka pembagian IMT
dapat dibagi sebagai berikut:
Tabel 1. Definisi kategori indeks massa tubuh (IMT)
2

IMT (kg/m )
Berat badan kurang (underweight)
<18,5
Berat normal
18,5-22,9
Berat berlebih (overweight)
23,0
Dengan risiko
23,0-24,9
Obes derajat I
25,0-29,9
Obes derajat II
>30
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia,

PERKENI (2006).
2.2.

Kadar Gula Darah

Kadar gula darah adalah jumlah kandungan glukosa dalam plasma darah.
Glukosa darah puasa merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi diabetes
melitus pada seseorang. Pada penyakit ini, gula tidak siap untuk ditransfer ke
dalam sel, sehingga terjadi hiperglikemi sebagai hasil bahwa glukosa tetap berada
di dalam pembuluh darah (Fathmi, 2012).
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM (mg/dl)
Kadar glukosa
darah sewaktu
(mg/dl)
Kadar glukosa
darah puasa
(mg/dl)

Plasma vena
Darah kapiler

Bukan DM
<100
<90

Belum pasti
100-199
90-199

DM
200
200

Plasma vena
Darah kapiler

<100
<90

100-125
90-99

126
100

Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia,


PERKENI (2006).
2.3.

Diabetes Mellitus (DM)


Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus

merupakan

suatu

kelompok

penyakit

metabolik

dengan

karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus
merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas
dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema
anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana
didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin
(PERKENI, 2006).
Kementrian Kesehatan RI (2013) gejala diabetes antara lain: rasa haus
yang berlebihan (polidipsi), sering kencing (poliuri) terutama malam hari, sering
merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun dengan cepat, keluhan lemah,
kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, impotensi,
luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit,
dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar dengan berat badan >4 kg.

DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis


tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Pemeriksaan glukosa darah
yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glucometer (Eliana,
2015).
Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil (Eliana, 2015):
1.

Pemeriksaan glukosa plasma puasa >126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak

ada asupan kalori minimal 8 jam.


2. Atau pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi
3.
4.

Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75 gram.


Atau pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau Pemeriksaan HbA1c >6,5% dengan menggunakan metode High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
Langkah-langkah penatalaksanaan khusus DM dimulai dengan pola hidup

sehat,

dan bila

perlu

dilakukan

intervensi

farmakologis

dengan

obat

antihiperglikemia secara oral dan/atau suntikan (PERKENI, 2006; Eliana, 2015).


a. Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik.
b. Terapi nutrisi medis (TNM) penyandang DM perlu diberikan penekanan
mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin.
c. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari
seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150 menit perminggu,
dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani
yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan
intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung
dengan cara = 220-usia pasien.

d. Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan


jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan (Insulin). Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral
dibagi menjadi 4 golongan:
1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
2. Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
3. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun.
Adapun penyulit akut adalah ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik, dan
hipoglikemia. Sedangkan pada penyulit menahun adalah makroangipati
(pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak),
mikroangiopati (retinopati diabetic, nefropati diabetic), dan neuropati (PERKENI,
2015).
Algoritma pencegahan DM tipe 2 berdasarkan Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia (PERKENI, 2015):

2.4. Hubungan IMT dengan KGD


Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana
untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan yang kurang dapat

meningkatkan risiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan berlebih


akan

meningkatkan

resiko

terkena

penyakit

degeneratif,

sehingga

mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai


usia harapan hidup yang lebih panjang. Sesuai dengan teori diatas, bahwa
penderita diabetes melitus banyak yang mengalami kelebihan berat badan baik
tingkat ringan maupun sedang, karena kelebihan berat badan meningkatkan resiko
penyakit degeneratif, dimana diabetes melitus merupakan salah satu penyakit
degenerative (Agustinah, 2015).
Hasil penelitian Nggilu (2015) terhadap 50 responden didapati bahwa
indeks massa tubuh penderita diabetes mellitus tipe 2 sebagian besar dalam
kategorik obesitas (25 kg/m2) dan terdapat hubungan korelasi lemah dengan arah
hubungan positif antara indeks massa tubuh dengan kadar gula darah sewaktu
penderita diabetes mellitus tipe 2 (p= 0,014, r= 0,383). Hubungan yang lemah
antara variabel indeks massa tubuh dengan variabel kadar gula darah sewaktu
penderita DM tipe 2 di sebabkan sebagian besar responden dengan obesitas dan
overweight memiliki kadar glukosa darah sewaktutidak terkendali tetapi, ada juga
beberapa responden yang obesitas dan overweight memiliki kadar gula darah
sewaktu terkendali dengan baik dan terkendali dengan sedang. Begitu pula pada
penderita DM dengan indeks massa tubuh normal sebagian besar memiliki kadar
gula darah sewaktu terkendali dengan baik tetapi, ada juga penderita DM dengan
indeks massa tubuh normal memiliki gula darah sewaktu terkendali sedang dan
kadar gula darah sewaktu tidak terkendali.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Fathmi (2012) terhadap 52 pasien
DM tipe 2 di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar didapatkan hasil uji
korelasi Spearman didapatkan nilai p = 0.001, nilai signifikan p < 0.05, adanya
hubungan signifikan indeks massa tubuh dengan KGD puasa pada penderita DM
tipe 2. Hal ini dikarenakan semakin besar nilai indeks massa tubuh, semakin besar
pula nilai gula darah puasanya. Semakin besar nilai indeks massa tubuh berarti
penderita mengarah ke obesitas. Pada Penelitian Justitia (2012) juga menunjukkan
adanya hubungan antara obesitas dengan peningkatan kadar gula darah.

Hasil penelitian yang berbeda dijumpai pada penelitian yang dilakukan


oleh Agustina (2015) terhadap 60 orang penderita DM di Desa Barengkrajan
Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo mengatakan bahwa tidak ada hubungan
IMT dengan KGD pada penderita DM, dimana Uji Pearson p value 0,895. Hal ini
disebabkan karena dalam teorinya bahwa orang yang gemuk tidak selalu
mempunyai DM, faktor internal juga dapat mempengeruhi seseorang terjangkit
DM.
Pada penelitian Adnan (2013) terhadap 37 terhadap penderita DM tipe 2
rawat jalan di Rumah Sakit Tugurejo Semarang dengan menggunakan uji Rank
Spearman didapatkan hasil r= 0,201 dengan p-value 0,000 ( p < 0,05) adanya
hubungan antara IMT dengan KGD penderita DM tipe 2. Hal ini dikarenakan
bahwa orang yang mengalami kelebihan berat badan, memiliki kadar leptin dalam
tubuh akan meningkat. Kadar leptin dalam plasma meningkat dengan
meningkatnya berat badan. leptin bekerja pada sistem saraf perifer dan pusat.
Peran leptin terhadap terjadinya resistensi yaitu leptin menghambat fosforilasi
insulin receptor substrate-1 (IRS) yang akibatnya dapat menghambat ambilan
glukosa, sehingga mengalami peningkatan kadar gula dalam darah.
Lipoeto et al (2007) juga mengatakan tidak ada hubungannya antara IMT
dengan KGD. Hal ini dapat dijelaskan dengan patofisiologi timbulnya DM tipe 2.
Pada fase awal dimana resistensi insulin telah terjadi, pankreas meningkatkan
sekresi insulin sehingga KGD masih dapat dipertahankan dalam kadar normal.
Pada fase lanjut dimana sel-sel pankreas mengalami kelelahan maka sekresi
insulin akan menurun secara bertahap sehingga barulah timbul hiperglikemia
puasa ringan sampai berat. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui pula
sebab tingginya angka obesitas namun rendahnya angka kelainan metabolisme
glukosa, yang kemungkinan disebabkan belum lamanya penderita menderita
obesitas.
Penelitian yang dilakukan Arif et al (2014) terhadap 43 orang pegawai
sekretariat daerah provinsi Riau mendapatkan hasil bahwa tidak ditemukannya
hubungan yang bermakna antara IMT dengan KGD puasa. Dari penelitian tersebut
juga dilakukan pemeriksaan lingkar pinggang, hasilnya bahwa lingkar pinggang

merupakan prediktor resistensi insulin yang lebih baik pada DM tipe 2


dibandingkan dengan IMT. Hal ini kemungkinan karena IMT dipengaruhi juga
oleh tingkat kepadatan tulang dan otot selain dari kadar lemak tubuh, sedangkan
lingkar pinggang lebih dipengaruhi oleh kadar lemak viseralnya. Lemak viseral
secara metabolik lebih aktif berpengaruh dibandingkan lemak non-viseral dan
menyekresikan lebih banyak hormon serta sitokin, yang mana berpengaruh
terhadap peningkatan kadar gula darah. Jaringan lemak viseral ini berperan dalam
lipogenesis dan lipolisis. Akumulasinya akan meningkatkan pelepasan asam
lemak bebas dalam darah. Peningkatan asam lemak bebas ini dapat menyebabkan
glukoneogenesis dan resistensi insulin, sehingga glukosa tidak dapat masuk ke sel
tubuh dan kadarnya mengalami peningkatan dalam darah sehingga menyebabkan
hiperglikemia.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya DM.
Hubungannya dengan DM tipe 2 sangat kompleks. Obesitas dapat membuat sel
tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin). Insulin berperan meningkatkan
ambilan glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga mengatur metabolisme
karbohidrat, sehingga jika terjadi resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di
dalam darah juga dapat mengalami gangguan. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk menurunkan kadar gula darah penderita DM adalah dengan
pencapaian status gizi yang baik.
Antropometri merupakan salah satu cara penentuan status gizi. Penentuan
status gizi yang digunakan adalah pembagian berat badan dalam kg dengan tinggi
badan dalam meter kuadrat dinyatakan dalam indeks massa tubuh atau IMT.
Hubungan signifikan indeks massa tubuh dengan kadar gula darah puasa
pada penderita diabetes melitus tipe 2. Hal ini dikarenakan semakin besar nilai
indeks massa tubuh, semakin besar pula nilai gula darah puasanya. Semakin besar
nilai indeks massa tubuh berarti penderita mengarah ke obesitas.
Orang yang mengalami kelebihan berat badan berdasarkan hasil
pemeriksaan IMT, kadar leptin dalam tubuh akan meningkat. Kadar leptin dalam
plasma meningkat dengan meningkatnya berat badan. leptin bekerja pada sistem
saraf perifer dan pusat. Peran leptin terhadap terjadinya resistensi yaitu leptin
menghambat fosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS) yang akibatnya dapat
menghambat ambilan glukosa. Sehingga mengalami peningkatan kadar gula
dalam darah.
Orang-orang dengan obesitas cenderung akan mengalami resistensi
insulin. Apabila resistensi insulin telah terjadi, pankreas meningkatkan sekresi
insulin sehingga kadar glukosa darah masih dapat dipertahankan dalam kadar
normal. Pada fase lanjut dimana sel-sel pankreas mengalami kelelahan maka
sekresi insulin akan menurun secara bertahap sehingga barulah timbul
hiperglikemia puasa ringan sampai berat.

3.2. Saran
Pencegahan DM tipe 2 dengan memantau status gizi seseorang agar tidak
mengalami obesitas yang mana nantinya dapat menyebabkan resistensi insulin
terhadap tubuh. Pemantauan status gizi dapat dilakukan dengan antropometri yaitu
dengan pemeriksaan IMT. Namun perlu juga menghindari faktor-faktor resiko lain
yang menyebabkan DM tipe 2 selain obesitas.

DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M., et al 2013. Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) Dengan Kadar
Gula Darah Penderita Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 Rawat Jalan Di RS
Tugurejo Semarang. Semarang: Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah April
2013, Volume 2, Nomor 1.
Agustinah, N., 2015. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar Gula Darah
Penderita Diabetes Melitus di Desa Barengkrajan Kecamatan Krian Kabupaten
Sidoarjo. Jawa Timur: Politeknik Kesehatan Majapahit.
Arif, Muhamad.2014. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar Gula Darah
Puasa Pada Pegawai Sekertariat Provinsi Riau. JOM, Vol.1, No.2 Oktober 2014.
Eliana, F., 2015. Penatalaksanaan Dm Sesuai Konsesnsus Perkeni 2015. Jakarta:
Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas YARSI.
Fathmi, A., 2012. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar Gula Darah
pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Daerah Karanganyar.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Justia, N. I., 2012. Hubungan Obesitas dengan Peningkatan Kadar Gula Darah
pada Guru-Guru SMP Negeri 3 Medan. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Lipoeto, N. I., et al 2007. Hubungan Nilai Antropometri dengan Kadar Glukosa
Darah. Medika, Januari 2007, hal 23 28.
Nggilu, R. I., 2015. Hubungan IMT Dengan Kadar Gula Darah Sewaktu
Penderita DM Tipe 2 Di Wilayah Kerja Puskesmas Global Kecamatan Limboto
Kabupaten Gorontalo. Skripsi: Fakultas Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan,
Universitas Negeri Gorontalo.
PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
2 di Indonesia. Jakarta: PERKENI.

Anda mungkin juga menyukai