1. DEFINISI
Gizi kurang merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama
(Sodikin, 2013).
2. Epidemiologi
Secara epidemiologi, malnutrisi ditemukan hampir di seluruh belahan dunia dengan populasi
paling berisiko adalah bayi, anak-anak dan wanita.
Global
Sekitar 462 juta dewasa tergolong berat badan kurang (underweight). Selain itu, diperkirakan
lebih dari 150 juta balita mengalami stunting dan 50 juta anak mengalami gizi buruk. Data
UNICEF menyatakan bahwa secara global, 1 dari 4 balita menderita stunting. India
merupakan negara dengan jumlah balita pendek tertinggi, sementara Indonesia menempati
peringkat kelima. Populasi yang paling berisiko mengalami malnutrisi adalah wanita, bayi,
dan anak-anak. Untuk itu, penting untuk memastikan asupan nutrisi adekuat bagi ibu dan
anak, sejak saat konsepsi hingga usia 2 tahun. Populasi lanjut usia juga berisiko untuk
mengalami malnutrisi, khususnya yang dirawat inap di rumah sakit.
Indonesia
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, persentase balita pendek (stunting) di
Indonesia termasuk tinggi, yaitu mencapai 37,2%, dengan Nusa Tenggara Timur sebagai
provinsi dengan angka persentase tertinggi menderita stunting.
3. Penyebab/Faktor Predisposisi
Penyebab gizi buruk atau kwashiorkor adalah karena anak tidak memeroleh makanan dengan
kandungan energi dan protein yang cukup. Umumnya hal ini sering dikaitkan dengan tingkat
perekonomian yang rendah. Itulah sebabnya kasus gizi buruk atau kwashiorkor banyak terjadi
di negara berkembang. Selain dikarenakan rendahnya tingkat perekonomian, kurangnya
pengetahuan orangtua akan nutrisi yang diperlukan tubuh anak juga turut memengaruhi.
Pada dasarnya gizi buruk atau kwashiorkor bukanlah gangguan yang terjadi secara mendadak.
Kondisi ini berlangsung secara perlahan. Karena itu penting untuk mencegah agar anak tidak
mengalami kondisi ini dengan cara memberikan asupan makanan cukup gizi.
4. Patofisiologi
Gizi kurang pada balita terjadi sebagai dampak kumulatif dari berbagai faktor baik yang
berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Faktor yang berpengaruh langsung
terhadap status gizi balita diantaranya asupan nutrisi yang tidak tercukupi dan adanya infeksi.
Asupan nutrisi sangat memengaruhi status gizi, apabila tubuh memperoleh asupan nutrisi
yang dibutuhkan secara optimal maka pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan
kerja dan kesehatan akan berlangsung maksimal sehingga status gizi pun akan optimal
(Almatsier, 2016). Infeksi penyakit berkaitan erat dengan perawatan dan pelayanan
kesehatan,. Infeksi penyakit seperti diare dan infeksi saluran pernapasan atau (ISPA) akan
mengakibatkan proses penyerapan nutrisi terganggudan tidak optimal sehingga akan
berpengaruh terhadap status gizi (Supariasa, 2016).
Faktor yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap status gizi balita diantaranya faktor
tingkat pengetahuan orangtua mengenai pemenuhan kebutuhan nutrisi, faktor ekonomi dan
sanitasi lingkungan yang kurang baik. Tingkat pengetahuan yang kurang serta tingkat
ekonomi yang rendah akan mengakibatkan keluarga baik menyediakan makanan yang
beragam setiap harinya sehingga terjadilah ketidakseimbangan antara asupan nutrisi dengan
kebutuhan metabolic tubuh. Sanitasi lingkungan yang kurang baik menjadi faktor pencetus
terjadinya berbagai masalah kesehatan misalnya diare, kecacingan dan infeksi saluran cerna
(Marimbi, 2017).
Asupan nutrisi yang tidak adekuat dan tidak mampu memenuhi kebutuhan matebolik tubuh
serta adanya penyakit infeksi akan mengakibatkan absorpsi nutrien tidak berlangsung seperti
seharusnya sehingga akan berdampak terhadap keberlangsungan sistem tubuh. Apabila hal ini
dibiarkan berlangsung dalam jangka waktu tertentu maka terjadilah penurunan berat badan,
pucat pada kulit, membrane mukos dan konjungtiva, kehilangan rambut berlebihan, hingga
kelemahan otot yang merupakan tanda dan gejala deficit nutrisi.
5. Klasifikasi
Klasifikasi Status Gizi
Status Gizi Berdasarkan Antropometri WHO 2005
Klasifikasi status gizi dengan pengukuran antropometri dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel Klasisfikasi dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
6. Gejala Klinis
b. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang berat disebabkan oleh
asupan karbohidrat yang normal atau tinggi namun asupan protein yang inadekuat
(Liansyah TM, 2015). Beberapa tanda khusus dari kwashiorkor adalah: rambut berubah
menjadi warna kemerahan atau abu-abu, menipis dan mudah rontok, apabila rambut
keriting menjadi lurus, kulit tampak pucat dan biasanya disertai anemia, terjadi
dispigmentasi dikarenakan habisnya cadangan energi atau protein. Pada kulit yang terdapat
dispigmentasi akan tampak pucat, Sering terjadi dermatitis (radang pada kulit), terjadi
pembengkakan, terutama pada kaki dan tungkai bawah sehingga balita terlihat gemuk.
Pembengkakan yang terjadi disebabkan oleh akumulasi cairan yang berlebihan. Balita
memiliki selera yang berubah-ubah dan mudah terkena gangguan pencernaan (Arvin Ann
M, 2016).
c. Marasmus-Kwashiorkor
Memperlihatkan gejala campuran antara marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-hari
tidak cukup mengandung protein dan energi untuk pertumbuhan normal. Pada penderita
berat badan dibawah 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor seperti
edema, kelainan rambut, kelainan kulit serta kelainan biokimia (Pudjiadi S, 2017).
6. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada malnutrisi meliputi pemeriksaan menyeluruh.
Status Gizi
Mulai dengan pemeriksaan status gizi dengan mengukur berat dan tinggi badan pasien
(panjang badan pada anak di bawah 2 tahun). Pada orang dewasa, status gizi ini digunakan
untuk menghitung indeks massa tubuh pasien, yaitu dengan membagi berat badan (kg) dengan
tinggi badan (cm) kuadrat.
Kategori status gizi berdasarkan indeks massa tubuh pasien adalah sebagai berikut:
<18.5 : Gizi kurang
18.5-24.9 : normal
>25 : Gizi lebih
25-29.9: Praobesitas
30-34.9 : Obesitas I
35-39.9 : Obesitas II
>40 : Obesitas III
Walau demikian, kategori tersebut didasarkan pada penelitian menggunakan populasi
Kaukasian sehingga WHO mengajukan klasifikasi baru untuk populasi Asia sebagai berikut:
<18.5: Gizi kurang
18.5-22.9: normal
>23: gizi lebih
23-24.9: berisiko
25-29.9: Obesitas I
>30: Obesitas II[9]
Pada dewasa, obesitas sentral juga penting untuk dinilai dengan menilai lingkar perut.
Populasi Asia dikatakan obesitas sentral jika lingkar perut > 90 cm pada laki-laki dan >80 cm
pada perempuan. Rasio lingkar perut dan tinggi badan juga dapat digunakan untuk
menentukan obesitas sentral dengan cut off point >0.5.
Pada anak, hasil pengukuran tinggi/panjang dan berat badan akan diplot pada kurva
pertumbuhan WHO (untuk usia hingga 2 tahun) atau CDC (untuk usia di atas 2
tahun). Pertumbuhan pada anak prematur berbeda sehingga kurva pertumbuhan yang harus
digunakan juga berbeda.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium: kadar gula darah, darah tepi lengkap, feses lengkap, elektrolit
serum, protein serum (albumin, globulin), feritin. Pada pemeriksaan laboratorium, anemia
selalu ditemukan terutama jenis normositik normokrom karena adanya gangguan sistem
eritropoesis akibat hipoplasia kronis sumsum tulang di samping karena asupan zat besi
yang kurang dalam makanan, kerusakan hati dan gangguan absorbsi. Selain itu dapat
ditemukan kadar albumin serum yang menurun.
b. Pemeriksaan radiologi (dada, AP dan lateral) juga perlu dilakukan untuk menemukan
adanya kelainan pada paru.
c. Tes mantoux
d. EKG
9. Diagnosis
1. Fase stabilisasi
Fase stabilisasi adalah keadaan ketika kondisi klinis dan metabolisme anak belum
sepenuhnya stabil. Dibutuhkan waktu sekitar 1-2 hari untuk memulihkannya, atau
bahkan bisa lebih tergantung dari kondisi kesehatan anak.
Tujuan dari fase stabilisasi yakni untuk memulihkan fungsi organ-organ yang terganggu
serta pencernaan anak agar kembali normal. Dalam fase ini, anak akan diberikan
formula khusus berupa F 75 atau modifikasinya, dengan rincian:
Lebih baik gunakan cangkir dan sendok daripada botol susu, meskipun anak masih
bayi.
Gunakan alat bantu pipet tetes untuk anak dengan kondisi sangat lemah.
2. Fase transisi
Fase transisi adalah masa ketika perubahan pemberian makanan tidak menimbulkan
masalah bagi kondisi anak. Fase transisi biasanya berlangsung selama 3-7 hari dengan
pemberian susu formula khusus berupa F 100 atau modifikasinya. Kandungan di dalam
susu formula F 100 meliputi:
Pemberian formula khusus dengan frekuensi sering dan porsi kecil. Paling tidak
setiap 4 jam sekali.
Jumlah volume yang diberikan pada 2 hari pertama (48 jam) tetap menggunakan F
75.
ASI tetap diberikan setelah anak menghabiskan porsi formulanya.
Jika volume pemberian formula khusus tersebut telah tercapai, tandanya anak sudah
siap untuk masuk ke fase rehabilitasi.
3. Fase rehabilitasi
Fase rehabilitasi adalah masa ketika nafsu makan anak sudah kembali normal dan sudah
bisa diberikan makanan agak padat melalui mulut atau oral. Akan tetapi, bila anak belum
sepenuhnya bisa makan secara oral, pemberiannya bisa dilakukan melalui selang
makanan (NGT). Fase ini umumnya berlangsung selama 2-4 minggu sampai indiktor
status gizin BB/TB-nya mencapai -2 SD dengan memberikan F 100. Dalam fase transisi,
pemberian F 100 bisa dilakukan dengan menambah volumenya setiap hari. Hal ini
dilakukan sampai saat anak tidak mampu lagi menghabiskan porsinya. F 100 merupakan
energi total yang dibutuhkan anak untuk tumbuh serta berguna dalam pemberian
makanan di tahap selanjutnya. Secara bertahap, nantinya porsi menu makanan anak yang
teksturnya padat bisa mulai ditambah dengan mengurangi pemberian F 100.
11. Komplikasi
Menurut Suariadi dan Rita (2010), komplikasi gizi kurang diantaranya :
1. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,agama, suku
bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor registrasi, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya anak masuk rumah sakit dengan keluhan
gangguan pertumbuhan (berat badan semakin lama semakin turun), bengkak pada tungkai,
sering diare dan keluhan lain yang menunjukkan terjadinya gangguan kekurangan gizi.
5. Pengkajian Fisik
Fokus pengkajian pada anak dengan Marasmik-Kwashiorkor adalah pengukuran
antropometri (berat badan, tinggi badan, lingkaran lengan atasdan tebal lipatan kulit).
Tanda dan gejala yang mungkin didapatkan adalah :
c. Edema tungkai
Kulit kering, hiperpigmentasi, bersisik dan adanya crazy pavement dermatosis terutama
pada bagian tubuh yang sering tertekan (bokong,fosa popliteal, lulut, ruas jari kaki,
paha dan lipat paha)
d. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan
terutama jenis normositik normokrom karena adanya gangguan sistemeritropoesis
akibat hipoplasia kronis sum-sum tulang di samping karena asupan zat besi yang
kurang dalam makanan, kerusakan hati dan gangguan absorbsi. Selain itu dapat
ditemukan kadar albumin serum yang menurun. Pemeriksaan radiologis juga perlu
dilakukan untuk menemukan adanya kelainan pada paru.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tak adekuat masukan makanan dan cairan.
3. INTERVENSI
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tak adekuatnya masukan makanan dan
cairan.
Tujuan: setelah diberikan perawatan dalam waktu 1x24 jam masukan cairan pasien
adekuat dan tidak dehidrasi.
Kriteria Hasil:
a. Mempertahankan keseimbangan cairan.
b. Membrane mukosa lembab, turgor kulit baik.
Berikan pilihan menu makanan sesuai selera Makanan yang sesuai selera diharapkan bisa
klien, kecuali kontraindikasi. meningkatkan nafsu makan klien
Hancurkan dan beri makan melalui selang Mungkin digunakan sebagai bagian program
apapun yang tertinggal pada nampan setelah perubahan perilaku untuk memberikan
periode waktu pemberian sesuai indikasi masukan total, kalori yang dibutuhkan
Menimbang berat badan pasien min 3 hari Memantau perkembangan nutrisi pasien
sekali
3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d asupan kalori dan protein yang tidak
adekuat dan proses penyakit kwashiokor dan marasmus.
Tujuan : setelah dilakukan perawatan 2x24 jam pasien dapat mengikuti kurva
pertumbuhan berat badan dan tinggi badan.
Kriteria Hasil:
a. Anak mencapai pertumbuhan yang adekuat
DAFTAR PUSTAKA
Sibuea, Herdin. Dkk. 2005. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Wong, Donna L. 2003.
Jakarta:Fajar Interpratama.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi gizi di Indonesia. 2016. URL:
http://www.kemkes.go.id/development/resources/download/tabloid/infodatin/infodatin-gizi-
2016.pdf
Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS. Buku ajar nutrisi pediatrik dan metabolik. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 2011.