Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Sebagian besar tubuh manusia terdiri atas air. Sekitar 60% dari tubuh orang dewasa terdiri atas air,

sementara komposisi air yang ada dalam tubuh bayi dan anak-anak adalah 70%-80%. Sel-sel otot

dan organ-organ yang ada pada rongga tubuh seperti paru-paru dan jantung adalah bagian tubuh

yang memiliki konsentrasi air paling tinggi, sementara organ seperti tulang dan gigi memiliki

konsentrasi air yang paling rendah (Butterworth, 2013).

Menjaga keseimbangan volume cairan tubuh sangat penting untuk menjaga organ-organ tubuh

agar tetap bisa bekerja secara optimal. Adanya abnormalitas terhadap kadar cairan di dalam tubuh

dapat menyebabkan munculnya berbagai masalah klinis. Agar tubuh bisa berfungsi dengan baik,

volume dan komposisi cairan tubuh harus dijaga agar tetap berada dalam batas normal. Gangguan

cairan dan elektrolit bisa menyebabkan kegawatan pada penderita jika tidak ditangani dengan baik,

hingga bisa berujung pada kematian.

Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air (pelarut) dan zat tertentu (zat terlarut). Sementara

elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan ion (partikel bermuatan listrik) apabila berada di

dalam larutan. Tubuh bisa mendapatkan cairan dan elektrolit melalui makanan, minuman, dan

cairan intravena (IV), kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh. Kecukupan kebutuhan cairan di

dalam tubuh merupakan indikasi bahwa distribusi total cairan dan elektrolit dalam tubuh terjadi

secara merata. Keseimbangan cairan ini sudah diatur sedemikian rupa untuk bisa mempertahakan

fungsi organ vital (Waterhouse, 2012).


Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu sama lain. Terjadinya gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh bisa mengakibatkan berbagai macam gangguan

seperti dehidrasi, overhidrasi, hiperanatremia, hipoanatremia, hiperkalemia, hipokalemia, dan

hipokalsemia. Artinya, keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh manusia merupakan unsur

vital untuk memastikan kesehatan tubuh.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Fisiologi Cairan Tubuh

2.1.1 Distribusi dan Komposisi Cairan Tubuh

Kadar cairan tubuh pada masing-masing manusia tidak sama, tergantung pada jenis kelamin, usia,

dan derajat status gizinya. Seiring dengan pertumbuhan, persentase jumlah cairan terhadap berat

badan semakin menurun (Hall, 2006).

Tabel 1. Distribusi Cairan Tubuh


Distribusi cairan Laki-Laki Perempuan Bayi
Dewasa Dewasa
Total cairan tubuh (%) 60 50 75
Intraseluler 40 30 40
Ekstraseluler 20 20 35
Plasma 5 5 5
Intersisial 15 15 30

Secara umum, cairan di dalam tubuh dibagi menjadi 2 kompartemen, yaitu:

a. Cairan intraselular

Sekitar 2/3 dari cairan tubuh orang dewasa terdapat pada intraselular. Cairan ini berjumlah sekitar

40% dari keseluruhan berat badan. Komposisi dari cairan intraseluler adalah ion kalium dan fosfat

dengan jumlah besar, ion magnesium dan sulfat dengan jumlah sedang, ion klorida dan natrium

dengan jumlah kecil, serta hampir tidak ditemukan ion kalsium.

b. Cairan ekstraselular
Jumlah relatif dari cairan ekstraseluler akan menurun seiring dengan pertambahan usia, yaitu

menjadi sekitar 1/3 bagian dari seluruh cairan yang ada pada orang dewasa. Cairan ekstraseluler

terbagi menjadi dua jenis, yaitu cairan interstitial dan cairan intravaskular.

Cairan interstitial adalah cairan yang mengelilingi sel dan termasuk cairan yang terkadung di

antara rongga tubuh. Misalnya seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial,

intraokular, dan sekresi saluran pencernaan. Sementara itu, cairan intravaskular adalah cairan yang

terkandung dalam pembuluh darah, yaitu plasma darah.

Komposisi Cairan Tubuh

Cairan yang ada di dalam tubuh mengandung 2 jenis bahan yang berbeda, yaitu elektrolit dan non-

elektrolit.

• Elektrolit

Elektrolit adalah zat yang terdisosiasi dalam cairan, dapat dibedakan menjadi dua yaitu ion

positif (kation) dan ion negatif (anion).

• Non-elektrolit

Zat yang tergolong non-elektrolit antara lain urea, glukosa, bilirubin, dan kreatinin dan

terdisosiasi dalam cairan.

2.1.2 Sistem yang Berperan Dalam Kebutuhan Cairan dan Elektrolit

Beberapa organ yang ada di dalam tubuh memiliki peranan penting dalam mengatur kebutuhan

cairan dan elektrolit. Organ-organ tersebut adalah ginjal, kulit, paru, dan gastrointestinal (Agro,

2013).
• Ginjal

Ginjal adalah organ yang peranannya cukup besar dalam mengatur kebutuhan cairan dan

elektrolit tubuh. Salah satu fungsi utama dari ginjal adalah sebagai pengatur air, pengatur

konsentrasi garam dalam darah, pengatur keseimbangan asam-basa darah, dan ekskresi

bahan buangan atau kelebihan garam. Proses pengaturan kebutuhan air diawali oleh

glomerulus yang bertugas untuk menyaring cairan. Di setiap satu liter darah mengandung

rata-rata 500cc plasma yang mengalir melalui glomerulus, sementara 10 persennya

disaring keluar. Cairan yang sudah tersaring ini kemudian mengalir melalui tubuli renalis

yang memiliki sel-sel khusus untuk menyerap semua bahan yang dibutuhkan oleh tubuh.

Jumlah urin yang diproduksi ginjal juga dapat dipengaruhi oleh hormon antidiuretik dan

aldosterone dengan rata-rata 1 ml/kg/bb/jam.

• Kulit

Kulit menjadi bagian penting dalam mengatur cairan yang terkait dengan proses

pengayuran panas. Proses ini diatur oleh pusat pengatur panas yang didukung oleh saraf

vasodilatasi dan vasokontriksi. Proses pelepasan panas juga bisa dilakukan melalui proses

penguapan. Jumlah keringat yang dikeluarkan oleh tubuh tergantung pada banyaknya

darah yang mengalir melalui pembuluh darah kulit. Proses pelepasan panas lain juga bisa

dilakukan melalui pemancaran panas ke udara sekitar, yaitu konduksi (pengalihan panas

ke benda melalui sentuhan) dan konveksi (pengaliran udara panas pada permukaan yang

lebih dingin). Keringat adalah adalah sekresi aktif dari kelenjar keringat di bawah kendali

saraf simpatis. Melalui kelenjar keringat ini, suhu tubuh bisa diturunkan dengan

melepaskan air melalui permukaan kulit dalam jumlah kurang lebih 500ml sehari. Keringat

dihasilkan oleh kelenjar keringat melalui perangsangan akibat aktivitas otot, suhu
lingkungan, hingga suhu tubuh yang panas. Proses ini disebut dengan insensible water loss

(IWL) sekitar 15-20 ml/24 jam.

• Paru

Organ ini memiliki peran mengeluarkan cairan melaluin IWL sejumlah kurang lebih 400

ml/hari. Proses ini terkait dengan resposn akibat perubahan upaya kemampuan tubuh untuk

bernapas. Peningkatan cairan yang hiulang sebagai respons terhadap perubahan kecepatan

dan kedalaman napas akibat pergerakan atau demam.

• Gastrointestinal

Organ saluran pencernaan dalam tubuh berperan mengeluarkan cairan melalui proses

penyerapan dan pengeluaran air. Dalam kondisi normal, cairan yang hilang dalam saluran

pencernaan sekitar 100-200 ml/hari. Perhitungan IWL secara keseluruhan adalah 10-15

cc/kgBB/24jam dengan kenaikan 10% dari IWL pada setiap kenaikan temperatur 1 derajat

celcius.

Selain organ-organ yang ada di dalam tubuh, pengaturan keseimbangan cairan juga dipengaruhi

oleh sistem endokrin seperti sistem hormonal, aldosterone, prostaglandin, glukokortikoid, dan dan

mekanisme rasa haus.

• Hormon antidiuretik (ADH)

ADH dibentuk di hipotalamus dan disimpan dalam neurophispofisis pada hipofisis

posterior. Stimulan utama untuk sekresi ADH adalah peningkatan osmolartias dan

penurunan cairan ekstrasel. Hormon ini dapat meningkatkan penyerapan air pada duktus

pengumpul sehingga mampu menahan air dan mempertahankan volume cairan ekstrasel

serta dapat mengendalikan keseimbangan air dalam tubuh. ADH juga disebut vasopresin
karena mempunyai efek vasokontriksi minor pada arteriol yang dapat meningkatkan

tekanan darah.

• Aldosteron

Hormone ini disekresi kelenjar adrenal yang bekerja pada tubulus ginjal untuk

meningkatkan penyerapan natrium. Retensi natrium mengakibatkan retensi air. Pelepasan

aldosteron dirangsang oleh perubahan konsentrasi kaliun, natrium serum, dan sistem renin

angiostensin. Ini sangat efektif untuk mengendalikan hiperkalemia.

• Prostaglandin

Prostaglandin merupakan asam lemak alami yang terdapat dalam banyak jaringan dan

berfungsi merespons radang, mengendalikan tekanan darah, mobilitas gastrointestinal, dan

kontraksi uterus. Dalam organ ginjal, peranan prostaglandin adalah mengatur sirkulasi

ginjal, respon natrium, dan efek ginjal pada ADH.

• Glukokortikoid

Ini adalah hormon yang berfungsi mengatur peningkatan penyerapan natrium dan air yang

menyebabkan volume darah meningkat sehingga terjadi retensi natrium. Perubahan kadar

glukokortikoid menyebabkan perubahan keseimbangan volume darah.

• Mekanisme rasa haus

Rasa haus adalah keinginan yang disadari terhadap kebutuhan cairan. Rasa haus akan

muncul apabila osmolaritas plasma mencapai 295 mOsm/kg. Apabila terjadi peningkatan

osmolaritas, maka sel akan mengerut dan sensasi rasa haus akan muncul sebagai respon

dari kondisi dehidrasi.


2.1.3 Pengaturan Volume Cairan Dalam Tubuh

Keseimbangan cairan dalam tubuh dapat dihitung melalui keseimbangan antara jumlah cairan yang

masuk dengan jumlah cairan yang keluar (Stoelting, 2015).

• Asupan cairan yang masuk ke dalam tubuh

Asupan cairan bisa berupa cairan langsung atau tambahan cairan yang didapatkan dari

makanan. Pengaturan mekanisme keseimbangan cairan ini menggunakan mekanisme rasa

haus. Fungsi pusat pengaturan rasa haus ini dilakukan oleh hipotalamus dalam rangka

mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh. Jika di dalam tubuh terjadi

ketidakseimbangan volume cairan akibat terjadinya perdarahan yang menyebabkan

kurangnya asupan cairan, maka curah jantung akan menurun yang menyebabkan turunnya

tekanan darah.

• Cairan yang dikeluarkan oleh tubuh

Jika seseorang mengalami pengeluaran cairan yang kurang memadai, maka diperlukan

penagwasan terhadap asupan dan pengeluaran cairan secara khusus. Peningkatan jumlah

dan kecepatan napas, demam, keringat, dan diare bisa menyebabkan tubuh kehilangan

cairan secara berlebihan. Muntah secara terus menerus juga bisa menjadi salah satu

penyebab tubuh kehilangan cairan. Kehilangan cairan bisa terwujud dalam:

a. Urine

Pembentukan urine terjadi di dalam organ ginjal, dikeluarkan melalui vesika urinaria

(kandung kemih). Ini adalah proses pengeluaran cairan tubuh yang paling utama.

Cairan dalam ginjal disaring di dalam glomerulus dan dalam tubulus ginjal, kemudian
diserap kembali ke dalam aliran darah. Hasil eksresi terakhir dari keseluruhan proses

ini adalah urine. Dalam kondisi normal, output urine adalah sekitar 1400-1500 ml per

jam atau sekitar 30-50 ml per jam.

b. Keringat

Keringat terbentuk akibat naiknya suhu tubuh yang dipengaruhi oleh panas. Keringat

memiliki kandungan garam, urea, asam laktak, dan ion kalium. Banyaknya jumlah

keringat yang keluar akan mempengaruhi jumlah natrium dalam plasma.

c. Feses

Feses yang dikeluarkan oleh tubuh mengandung air dan sisanya berbentuk padat.

Pengeluaran cairan melalui feses adalah yang paling sedikit jumlahnya. Jika cairan

yang dikeluarkan melalui feses berlebihan, maka dampaknya tubuh akan menjadi

lemas. Rata-rata cairan yang dikeluarkan melalui feses adalah sekitar 100-200 ml per

hari, yang diatur melalui mekanisme reabsorbsi dalam mukosa usus besar (kolon).

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Cairan Dalam Tubuh

Berikut ini beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan cairan tubuh:

a. Usia

Kebutuhan cairan pada manusia akan semakin bertambah seiring dengan pertambahan usia.

Kebutuhan cairan pada bayi, anak, dan dewasa tidak sama.

b. Suhu

Suhu panas di sekitar lingkungan menstimulus sistem saraf simpatis dan menyebabkan

seseorang menjadi berkeringat. Ketika cuaca sangat panas, seseorang akan kehilangan
sekitar 700-2000 ml air per jam dan 15-30 gram per hari. Suhu tubuh akan meningkat dan

individu mengalami kelelahan akibat panas atau yang disebut dengan heartstroke.

c. Diet

Asupan nutrisi yang tidak memadai bisa berpengaruh terhadap kadar albumin serum. Jika

albumin serum menurun, maka cairan interstisial tidak bisa masuk ke dalam pembuluh

darah dan menjadi edema.

d. Stress

Stress bisa mempengaruhi peningkatan metabolisme sel, konsentrasi darah, dan glikolisis

otot. Mekanisme ini bisa menimbulkan retensi sodium dan air. Proses ini juga bisa

meningkatkan produksi ADH dan menurunkan produksi urine.

e. Penyakit

Keadaan sakit menyebabkan kerusakan pada banyak sel dalam tubuh, sehingga dibutuhkan

adanya proses pemenuhan kebutuhan cairan yang cukup. Keadaan sakit juga menyebabkan

ketidakseimbangan hormon yang kemudian mengganggu keseimbangan kebutuhan cairan.

2.4 Mekanisme Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Berikut adalah beberapa mekasnisme pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit antar

kompartemen dalam tubuh (Waterhouse, 2012).

1. Keseimbangan Donnan

Keseimbangan Donnan adalah keseimbangan antara cairan intraseluler dengan cairan

ekstraseluler yang timbul akibat adanya peran dari sel membran. Protein tidak hanya
memiliki ukuran molekul yang besar dengan muatan negatif, namun juga merupakan suatu

partikel aktif yang berperan mempertahankan tekanan osmotik. Protein ini tidak dapat

berpindah, tetapi mempengaruhi ion untuk mempertahankan netralitas elektron

(keseimbangan muatan positif dan negatif), sebandiung dengan keseimbangan tekanan

osmotik di kedua sisi membran.

2. Osmolalitas dan Osmolaritas

Osmolalitas digunakan untuk menampilkan konsentrasi larutan osmotik berdasarkan

jumlah partikel, sehubungan dengan berat pelarut. Lebih spesifik lagi, itu adalah jumlah

osmol di setiap kilogram pelarut.

Osmolaritas adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan konsentrasi larutan

osmotik. Hal ini didefinisikan sebagai jumlah osmol zat terlarut dalam satu liter larutan.

Osmolaritas merupakan properti koligatif, yang berarti bahwa tergantung pada jumlah

partikel terlarut dalam larutan.

3. Tekanan Koloid Osmotik

Tekanan koloid osmotik adalah tekanan yang dihasilkan oleh molekul koloid yang tidak

dapat berdifusi seperti protein, yang bersifat menarik air ke dalam kapiler dan melawan

tekanan filtrasi. Koloid adalah molekul protein dengan berat molekul lebih dari 20.000-

30.000. Meskipun jumlahnya hanya 0,5% dari osmolalitas plasma total, namun

keberadaannya sangat penting. Bila terjadi penurunan tekanan koloid osmotik, maka dapat

menyebabkan edema paru.

4. Kekuatan Starling

Tekanan koloid osmotik plasma kira-kira 25 mmHg, sedangkan tekanan darah 36 mmHg

pada ujung arteri dan kapiler darah dan 15 mmHg pada ujung vena. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya difusi air dan ion-ion yang dapat berdifusi keluar dari kapiler

masuk ke cairan interstisial pada akhir arteri dan reabsorsi berkisar 90% dari cairan ini

pada akhir arteri dan reabsosrsi berkisar 90% dari cairan ini pada ujung vena.

2.5 Terapi Cairan Pada Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

• Gangguan Keseimbangan Cairan Tubuh

Terdapat dua kondisi yang menyebabkan ganguuan keseimbangan cairan dalam tubuh sehingga

memicu perubahan volume cairan dalam tubuh (Mangku, 2010).

1. Overhidrasi

Kelebihan cairan dalam tubuh sering terjadi akibat adanya kekeliruan dalam tindakan terapi cairan.

Penyebab overhidrasi meliputi gangguan ekskresi awal lewat ginjal (gagal ginjal akut), masukan

air yang berlebihan pada terapi cairan, masuknya cairan irrigator pada tindakan reseksi prostat

transuretra, dan korban tenggelam.

Gejala yang muncul meliputi edema, sesak napas, peningkatan tekanan vena jugular, edema paru

akut, dan gagal jantung. Terapi untuk kondisi ini antara lain adalah pemberian diuretik (apabila

ginkal berfungsi dengan baik), ultrafiltrasi atau dialysis (fungsi ginjal menurun), dan flebotomi

pada kondisi darurat.

2. Dehidrasi

Defisit volume cairan atau fluid volume defisit (FVD) merupakan sebuah kondisi

ketidakseimbangan yang ditandai dengan defisiensi cairan dan elektrolit di ruang ekstrasel, namun

proporsi antara cairan dan elektrolit mendekati normal. Kondisi ini juga dikenal dengan nama

hipovolemia. Dalam kondisi ini, tekanan osmotik mengalami perubahan sehingga cairan
interstisial menjadi kosong dan cairan intrasel masuk ke dalam ruang interstisial, yang

menyebabkan terganggunya kehidupan sel. Kadar defisit volume cairan ini dibagi menjadi tiga,

yaitu:

1) Dehidrasi isotonik. Terjadi ketika jumlah cairan yang hilang sebanding dengan jumlah

elektrolit yang hilang. Kadar Na+ dalam plasma adalah 130-145 mEq/l.

2) Dehidrasi hipertonik. Terjadi ketika jumlah cairan yang hilang lebih besar daripada

jumlah elektrolit yang hilang. Kadar Na+ dalam plasma adalah 130-150 mEq/l.

3) Dehidrasi hipotonik. Terjadi ketika jumlah cairan yang hilang lebih sedikit daripada

jumlah elektrolit yang hilang. Kadar Na+ dalam plasma adalah 130 mEq/l.

Sementara itu, keparahan kondisi dehidrasi dapat dibedakan menjadi tiga derajat:

1) Dehidrasi ringan. Pada kondisi ini, kehilangan cairan mencapai 5% dari total berat tubuh

atau sekitar 1,5-2 liter. Kehilangan cairan dapat melalui kulit, saluran pencernaan,

perkemihan, paru-paru, atau pembuluh darah.

2) Dehidrasi sedang. Terjadi apabila kehilangan cairan mencapai 5-10% dari total berat

tubuh atau sekitar 2-4 liter. Mata cekung adalah salah satu gejala kondisi ini.

3) Dehidrasi berat. Kondisi ini terjadi apabila kehilangan cairan tubuh mencapai 10-15%

dari berat tubuh atau sekitar 4-6 liter. Penderita bisa mengalami hipotensi.

Derajat dehidrasi bisa dibedakan menjadi ringan, sedang, dan berat.

Tabel 6. Derajat Dehidrasi

Derajat % Kehilangan Air Gejala


Ringan 2-4% dari BB Rasa haus, mukosa kulit kering,
mata cekung
Sedang 4-8% dari BB Delirium, oligo uri, peningkatan
suhu tubuh
Berat 8-14% dari BB Hipernatremi, viskositas plasma
meningkat

Terapi dehidrasi yang diberikan bertujuan untuk mengembalikan kondisi air dan garam yang

hilang. Jumlah dan jenis cairan yang diberikan tergantung pada derajat dan jenis dehidrasi dan

elektrolit yang hilang. Pilihan cairan untuk koreksi dehidrasi adalah cairan jenis kristaloid RL atau

NaCl

• Gangguan Keseimbangan Elektrolit

1. Hiponatremia

Kondisi ini terjadi ketika kadar natrium plasma di bawah 130 mEq/L. Jika kadanya <118

mg/L, maka akan muncul gejala kejang dan koma. Hiponatremia juga dapat disebabkan

oleh euvolemia (polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuh ginjal, diare, muntah

diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung

lama dilakukan secara perlahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif.

Dosis NaCl yang harus diberikan, dihitung melalui rumus berikut:

NaCl = 0,6( N-n) x BB

N = Kadar Na yang diinginkan


n = Kadar Na sekarang
BB = Berat badan dalam kg

Tabel 6. Gradasi Hiponatremia


Gradasi Gejala Tanda
Ringan (Na 105-118) Haus Mukosa kering
Sedang (Na 90-104) Sakit kepala, mual, vertigo Takikardi, hipotensi
Berat (Na <90) Apatis, koma Hipotemi

2. Hipernatremia
Apabila kadar natrium >150 mg/L, maka gejala yang akan timbul adalah perubahan mental,

tubuh menjadi lemas, kejang, koma, dan lemah. Hipernatremia dapat disebabkan oleh

kehilangan cairan (akibat diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebih),

kurangnya asupan air, dan kelebihan asupan natrium. Terapi untuk kondisi ini adalah

penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air.

3. Hipokalemia

Nilai normal Kalium plasma adalah 3,5-4,5 mEq/L. Disebut hipokalemia apabila kadar

kalium <3,5mEq/L. Kondisi ini bisa terjadi sebagai akibat dari redistribusi akut kalium dari

cairan ekstraselular dan intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh.

Gejala kondisi ini adalah tubuh terasa lemah, otot lemas, dan gangguan irama jantung.

Terapi yang diberikan dapat berupa koreksi secara oral dengan masukan makanan kaya

kalium seperti buah-buahan, sayur-sayuran, ikan, dan kaldu. Sedangkan terapi yang bisa

diberikan untuk kondisi gawat darurat adalah koreksi secara parenteral tetes kontinyu.

Tidak boleh diberi preparat K langsung secara intravena karena bisa mengakibatkan henti

jantung. Preparat bisa diberikan dalam bentuk K-Bikarbonat atau Kcl.Kadar K plasma

harus dipantau setiap jam.

Rumus yang digunakan untuk koreksi ini adalah:

Defisit K = K (normal) – K (hasil pemeriksaan) x 0,4 x BB

4. Hiperkalemia

Hiperkalemia terjadi jika kadar kalium >5 mEq/L. Kondisi ini sering terjadi karena

ketidakcukupan renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor,
siklosporin, diuretik). Tanda dan gejala utamanya melibatkan susunan saraf pusat

(paresthesia, kelemahan otot) dan sistem kadiovaskular (disritmik, perubahan EKG).

Tabel 7. Gambaran EKG berdasarkan Kadar K Plasma


Kadar K Plasma Gambaran EKG
5,5-6 mEq/L Gelombang T tinggi
6-7 mEq/L P-R memanjang dan QRS melebar
7-8 mEq/L P mengecil dan takikardi ventrikel
>8 mEq/L Fibrilasi ventrikel

Bila kadar K plasma <6,5mEq/L diberikan: Diuretik, Natrium bikarbonat, Ca glukonas,

glukonas-insulin, Kayekselate. Bila dalam 6 jam belum tampak perbaikan, dilakukan

hemodialisis. Bila fungsi ginjal jelek, pertimbangkan hemodialisis lebih dini. Pada kadar

K plasma >6,5 mEq/L, segera lakukan dialysis.

5. Hipokalsemia

Kondisi hipokalsemia biasanya terjadi pada pasien dengan hipoalbuminemia.

Hipokalsemia disebabkan karena hipoparatiroidism, kongenital, idiopatik, defisiensi

vitamin D, defisiensi 125(OH)2D3 pada gagal ginjal kronik, dan hiperfosfatemia. Gejala-

gejala hipokalsemia meliputi tetani dengan spasme karpopedal, adanya tanda Chovsteks,

kulit kering, gelisah, gangguan girama jantung.

Hipokalsemia adalah suatu kondisi yang gawat darurat karena menyebabkan kejang umum

dan henti jantung. Dapat diberikan 20-30 ml preparat kalsium glukonas 10% atau CaCl

10% dapat diulang 30-60 menit kemudian sampai tercapai kadar kalsium plasma yang

optimal. Pada kasus kronik, dapat dilanjutkan dengan terapi per oral.
BAB III

KESIMPULAN

Air adalah komponen terbesar pada tubuh manusia. Persentasenya tergantung pada usia, jenis

kelamin, dan derajat status gizinya. Komposisi cairan tubuh terdiri dari zat elektrolit dan non-

elektrolit yang memiliki peranan masing-masing.

Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat menyebabkan berbagai macam

gangguan. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi dalam beberapa bentuk,

seperti overhidrasi, dehidrasi, hiponatremia, hipernatremia, dan sebagainya. Masing-masing

gangguan keseimbangan tersebut menimbulkan berbagai gejala dan bahkan kegawatdaruratan

medis. Perlu dilakukan terapi pada masing-masing kondisi gangguan untuk memastikan organ-

organ vital dalam tubuh berfungsi dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Agro FE, Fries D, Vennari M. 2013. Body Fluid Management From Physiology to Therapy. Verlag
Italia: Springer.
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. 2013. Management of Patients with Fluid
and Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 5th ed. New York: Mc-Graw Hill.
Hall, J. E., 2006. Guyton's Textbook of Medical Physiology. 11 ed. Philadelpia: Elsevier. Chow
JL, B. K. a. B. L., 2004. Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital.
3rd ed. US: Lippincott Williams & Wilkins.
Mangku G, Senapathi TGA. 2010. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam Buku Ajar Ilmu
Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks.
Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. 2015. Intravenous Fluids and
Electrolytes. Dalam Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic
Practice 3rd ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health.
Waterhouse BR, Famery AD. 2012. The Organization and Composition of Body Fluids.
Anaesthesia & Intensive Care Medicine.

Anda mungkin juga menyukai