PENDAHULUAN
Jantung merupakan organ yang memiliki peran vital dan tidak tergantikan. Namun, jantung juga
sangat rawan terserang berbagai macam penyakit seperti penyakit arteri perifer (PAP), trombosis
vena dalam, penyakit jantung koroner, aritmia, limfadema, dan masih banyak lagi.
Faktor risiko penyakit jantung adalah umur, jenis kelamin, keturunan atau genetik, kebiasaan
merokok, aktivitas fisik yang kurang, obesitas, diabetes melitus, stres dan diet (kebiasaan atau
pola makan). Faktor diet seperti asupan asam lemak tidak jenuh tunggal, serat larut air,
karbohidrat komplek dan diet vegetarian akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kadar
kolesterol HDL. Faktor-faktor tersebut diduga dapat memberikan pengaruh terhadap kolesterol
dalam darah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Penyakit arteri perifer (PAP) atau peripheral artery disease (PAD) adalah gangguan suplai darah
ke ekstremitas atas atau bawah karena obstruksi. Mayoritas obstruksi disebabkan oleh
aterosklerosis, namun dapat juga disebabkan oleh trombosis emboli, vaskulitis, atau displasia
fibromuskuler. Penyakit arteri perifer meliputi arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika dan
semua percabangan setelah melewati aorta iliaka, termasuk ekstremitas bawah dan ekstremitas
atas. PAP yang paling banyak adalah penyakit arteri pada ekstremitas bawah.
Pada PAP terdapat juga penyakit-penyakit kardiovaskular yang mengiringi. Data dari Reduction
of Atherothrombosis for Continued Health (REACH) tahun 2010 menunjukan saling tumpang
tindih antara penyakit-penyakit kardiovaskuler seperti penyakit arteri perifer, penyakit
kardiovaskuler, dan penyakit jantung koroner.
2.1.2 Etiologi
Etiologi PAP bisa berasal dari non aterosklerotik dan aterosklerotik. Penyebab non aterosklerotik
seperti trauma, vasculitis, dan emboli, namun aterosklerotik lebih banyak menunjukkan PAP dan
menyebabkan dampak epidemiologi yang besar.
PAP khususnya penyakit arteri ekstremitas bawah memiliki berbagai gambaran klinis
berdasarkan kriteria Fontaine dan Rutherford, meskipun sebagian besar pasien tidak mengalami
gejala apapun.
2.1.3 Patofisiologi
Patofisiologi yang terjadi pada pasien PAP meliputi keseimbangan suplai dan kebutuhan nutrisi
otot skeletal. Klaudikasio intermiten terjadi ketika kebutuhan oksigen selama latihan atau
aktivitas melebihi suplainya dan merupakan hasil dari aktivasi reseptor sensorik lokal oleh
akumulasi laktat dan metabolit lain. Pasien dengan klaudikasio dapat mempunyai single atau
multiple lesi oklusif pada arteri yang mendarahi tungkai. Pasien dengan clinical limb ischemic
biasanya memiliki multiple lesi oklusif yang mengenai proksimal dan distal arteri tungkai
sehingga pada saat istirahat pun kebutuhan oksigen dan nutrisi tidak terpenuhi.
Patofisiologi PAP terjadi karena tidak normalnya regulasi suplai darah dan penggantian struktur
dan fungsi otot skelet. Regulasi suplai darah ke tungkai dipengaruhi oleh lesi yang membatasi
aliran (keparahan stenosis, tidak tercukupinya pembuluh darah kolateral), vasodilatasi yang
lemah (penurunan nitrit oksida dan penurunan responsivitas terhadap vasodilator), vasokonstriksi
yang lebih utama (tromboksan, serotonin, angiotensin II, endotelin, norepinefrin), abnormalitas
reologi (penurunan deformabilitas eritrosit, peningkatan daya adesif leukosit, agregasi platelet,
mikrotrombosis, peningkatan fibrinogen).
Adanya stenosis pada pembuluh darah maka resistensi meningkat, selain itu pada saat latihan
tekanan intramuskuler meningkat sehingga diperlukan tekanan darah yang lebih tinggi namun
setelah melewati daerah stenosis tekanan darah menjadi rendah. Tercukupinya kebutuhan
oksigen dan nutrisi pada pasien dengan stenosis bergantung pada diameter lumen dan adanya
kolateral yang dapat menyuplai darah secara cukup pada saat istirahat namun tetap tidak
mencukupi kebutuhan saat latihan.
Abnormalitas dari reaktifitas vasomotor mengganggu aliran darah. Normalnya arteri dilatasi
terhadap respon farmakologi dan stimulus biokimia seperti asetilkolin, serotonin, trombin, dan
bradikinin. Respon vasodilatasi ini merupakan hasil dari pelepasan zat aktif biologi dari
endotelium terutama nitrit oksida. Pada arteri yang aterosklerosis mengalami respon vasodilatasi
yang buruk terhadap stimulus arus atau farmakologi. NO (nitric oxide) tidak hanya terlibat dalam
vasodilatasi dengan relaksasi otot polos, tetapi juga memediasi penghambatan aktivasi trombosit,
adhesi, dan agregasi; mencegah proliferasi otot polos pembuluh darah; dan mencegah adhesi
leukosit pada endotel.
Penggantian struktur dan fungsi otot skelet dipengaruhi oleh denervasi axon dari otot skelet,
kehilangan serabut otot tipe IIA yang berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, dan
aktivitas enzimatik mitokondria yang lemah.
2.1.4 Gejala
Keluhan PAP yang paling umum adalah sensasi sakit pada kaki saat sedang berolahraga/aktivitas
fisik, ini dikenal sebagai klaudikasio intermiten. Sensasi sakit, sensasi terbakar, sensasi berat,
atau sesak pada otot-otot kaki ini biasanya dimulai setelah berjalan pada jarak tertentu, berjalan
menaiki bukit, atau menaiki tangga, dan akan hilang setelah beristirahat selama beberapa menit.
Pasien dengan klaudikasio intermiten memiliki aliran darah yang normal pada saat istirahat, oleh
karena itu, tidak ada gejala nyeri/sakit pada kaki saat istirahat. Dengan berolahraga, aliran darah
pada arteri otot-otot kaki dapat dibatasi oleh sumbatan aterosklerosis. Ini mengakibatkan
terjadinya ketidaksesuaian antara suplai oksigen dan otot permintaan metabolik, sehingga
memunculkan gejala klaudikasio.
Pasien dengan PAP yang parah dapat mengalami klaudikasio setelah berjalan walaupun hanya
dalam jarak yang pendek, atau mengalami sensasi sakit di kaki ketika istirahat atau ketika
berbaring di tempat tidur di malam hari. Pada kasus yang parah, pasien juga dapat mengalami
ulkus yang tidak dapat sembuh dengan sendirinya atau kulit yang menghitam (gangren) pada
kaki atau jari kaki.
Merokok menjadi faktor risiko yang sangat berpotensi terhadap terbentuknya PAP. Merokok
lebih berpotensi menyebabkan PAP daripada PJK. Perokok memiliki insidensi yang lebih tinggi
pada CLI, amputasi tungkai, dan outcome yang buruk pasca revaskularisasi. Selain itu, risiko
juga melekat pada perokok pasif.
DM adalah faktor risiko penting lainnya pada terjadinya PAP, lama dan keparahan diabetes yang
dialami juga dapat berpengaruh. PAP memberikan prognosis yang lebih buruk pada pasien
DMT2 dibandingkan dengan pasien non-diabetes. Klaudikasio intermiten terjadi dua kali lebih
banyak pada pasien dengan diabetes daripada pasien non diabetes.13 DM dua kali lebih banyak
dalam prevalensi PAP, hal ini berhubungan dengan kontrol glikemik pada pasien DM tipe 2.
Pada pasien dengan diabetes, setiap kenaikan 1% dalam hemoglobin A1c terjadi peningkatan
30% risiko PAP.
Resistensi insulin merupakan faktor risiko PAP bahkan pada pasien tanpa diabetes,
meningkatkan risiko sekitar 40% sampai 50%. PAP pada pasien dengan diabetes lebih agresif
dibandingkan dengan pasien non diabetes dengan keterlibatan pembuluh darah besar ditambah
dengan neuropati simetris distal. Kebutuhan untuk amputasi mayor lima sampai sepuluh kali
lebih tinggi pada penderita diabetes daripada non-penderita diabetes. Hal ini karena neuropati
sensorik dan penurunan resistensi terhadap infeksi. Berdasarkan pengamatan ini, American
Diabetes Association merekomendasikan skrining PAP dengan ABI setiap 5 tahun pada pasien
dengan diabetes.
2.1.5.3 Dislipidemia
Beberapa studi epidemiologi juga menemukan bahwa tingginya kadar kolesterol total dan
rendahnya HDL secara independen berkaitan dengan meningkatnya risiko PAP.35
Hiperlipidemia mengubah dinding endotel arteri
penyebab utama dari disfungsi endotel dan cedera otot polos. Perubahan-perubahan pada endotel
oleh karena hiperlipidemia ini merupakan lesi awal aterosklerosis yang selanjutnya akan menjadi
lesi yang lebih kompleks menyebabkan stenosis arteri atau oklusi. Peningkatan kadar Kolesterol
LDL menimbulkan peningkatan risiko terkena penyakit kardiovaskular. Di Framingham Heart
Study, individu dengan kadar kolesterol total 270 mg / dL memiliki dua kali kejadian klaudikasio
intermiten. Selain itu, orang dengan klaudikasio intermiten memiliki tingkat rata-rata kolesterol
tinggi.
2.1.5.4 Hipertensi
Beberapa studi epidemiologi menunjukkan hubungan antara hipertensi dan terjadinya PAP.
Hipertensi dikaitkan dengan segala bentuk penyakit kardiovaskular, termasuk PAP. Namun,
risiko relatif untuk terjadinya PAP lebih kecil dari diabetes atau merokok. Hipertensi
menyebabkan aterosklerosis yang lebih agresif pada semua sirkulasi darah, dan merupakan
faktor risiko terjadinya serebrovaskuler dan penyakit koroner. Hipertensi juga merupakan faktor
risiko mayor terjadinya PAP. Tidak ada hubungan yang ditemukan antara peningkatan tekanan
darah dan terjadinya klaudikasio.
2.1.5.5 Usia
Pembentukan dan perkembangan aterosklerosis diduga disebabkan oleh interaksi kompleks dari
faktor risiko klasik, yang berhubungan dengan proses inflamasi intravaskuler. Fatty streak, lesi
awal aterosklerosis adalah murni lesi inflamasi yang terdiri dari monosit dan limfosit T.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa CRP meningkat pada subjek asimtomatik yang telah 5
tahun menderita PAP.
Kondisi kadar hematokrit yang meningkat dan hiperviskositas dilaporkan terdapat pada pasien
dengan PAP, kemungkinan sebagai konsekuensi dari merokok. Peningkatan kadar fibrinogen
plasma, yang juga merupakan faktor risiko trombosis, dikaitkan dengan kejadian PAP pada
beberapa penelitian. Hiperviskositas dan hiperkoagulabilitas, keduanya juga telah terbukti
sebagai marker atau faktor risiko terkait dengan prognosis yang buruk.
Terdapat hubungan antara renal insufficiency dengan PAP, yang menurut beberapa studi
menyatakan hubungan sebab akibat. Pada studi HERS (Heart and Estrogen/ Progestin
Replacement Study), renal insufficiency secara independen dihubungkan dengan kejadian PAP
kedepannya pada wanita post menopause.
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis klinis PAP tergantung pada anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan pembuluh
darah secara non-invasif dan invasif, serta identifikasi faktor risiko.
2.1.6.1 Anamnesis
Diperlukan untuk mengevaluasi tanda dan gejala gejala aterosklerosis arteri lain yaitu koroner,
cerebrovascular dan renal. Keluhan yang selalu dialami adalah bagian paling distal dari tungkai
seperti sensasi mati rasa (kebas) atau sensasi terbakar.
Pasien dengan risiko PAP sebaiknya mendapatkan inspeksi terhadap ekstremitas bawah.
Dilakukan pemeriksaan palpasi denyut ekstremitas bawah seperti femoral, popliteal, dorsalis
pedis dan tibialis posterior.
Pemeriksaan meliputi perubahan warna, perabaan dingin, ulserasi, nekrosis, atau gangren.
Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk diagnosis pasien yang dicurigai PAP. Indeks ini bisa
dihitung dengan rumus:
Duplex ultrasound
Menghindari merokok sangat disarankan pada pasien PAP. Pada studi observasional
membuktikan bahwa risiko kematian, infark miokard, dan amputasi lebih banyak pada pasien
PAP yang tetap merokok daripada yang berhenti merokok, sehingga angioplasti ekstremitas
bawah dan operasi revaskularisasi terbuka juga menurun dengan berhenti merokok. Selain itu,
pasien juga dianjurkan untuk mengontrol gula darah, lipid, serta menurunkan tekanan darah.
Program latihan claudication exercise 45-60 menit sebanyak 3 kali dalam seminggu, selama 12
sampai 24 minggu. Kemudian dilanjutkan selama 6 bulan berikutnya dan ditambah dengan jalan
selama 6 menit.
2.1.7.3 Farmakologi
Obat Dosis
Klopidogrel 75 mg/hari
Terapi pendukung dilakukan dengan perawatan kaki, yaitu menjaga kaki tetap bersih dan
lembap. Pasien disarankan menggunakan sandal dan sepatu yang ukurannya pas, serta terbuat
dari bahan sintetis. Hindari penggunaan bebat elastis pada luka dan sebaiknya patuh melakukan
latihan fisik.
2.2.1 Definisi
Trombosis Vena Dalam (DVT) merupakan penggumpalan darah yang terjadi di pembuluh balik
(vena) sebelah dalam. Terhambatnya aliran pembuluh balik merupakan penyebab yang sering
mengawali TVD. Penyebabnya dapat berupa penyakit pada jantung, infeksi, atau imobilisasi
lama dari anggota gerak.
2.2.2 Etiologi
Penyebab thrombosis dibagi menjadi dua yaitu yang terkait dengan imobilisasi dan yang
berhubungan dengan hiperkoagulasi baik yang berhubungan dengan faktor genetik atau didapat.
Trombosis vena adalah penyakit dengan penyebab yang multiple dengan beberapa faktor risiko
sering terjadi bersama-sama pada suatu waktu. Seringkali faktor risiko thrombosis bersifat
herediter dan sudah berlangsung lama, kemudian diperberat oleh adanya faktor risiko yang
didapat.
Defisiensi protein C dan S yang homozigot berpotensi untuk menyebabkan terjadinya purpura
fulminan yang fatal setelah lahir. Defisiensi antitrombin dan faktor V Leiden merupakan faktor
risiko genetik yang terkuat dengan risiko trombosis vena sebanyak 20 – 50 kali lipat. Defisiensi
protein C dan S yang heterozigot merupakan faktor risiko sedang yang meningkatkan risiko
trombosis 10 kali lipat.
2.2.3 Patofisiologi
Penyebab utama trombosis vena belum jelas, tetapi ada tiga kelompok faktor pendukung yang
dianggap berperan penting dalam pembentukannya yang dikenal sebagai TRIAS VIRCHOW
yaitu abnormalitas aliran darah, dinding pembuluh darah dan komponen faktor koagulasi.
Stasis vena
Stasis aliran darah vena, terjadi bila aliran darah melambat, seperti pada gagal jantung atau syok;
ketika vena berdilatasi, sebagai akibat terapi obat, dan bila kontraksi otot skeletal berkurang,
seperti pada istirahat lama, paralisis ekstremitas atau anastesi. Hal-hal tersebut menghilangkan
pengaruh dari pompa vena perifer, meningkatkan stagnasi dan pengumpulan darah di ekstremitas
bawah. TVD pada penderita stroke terjadi pada tungkai yang mengalami paralisis.
Hiperkoagubilitas
TVD kadang terjadi pada vena yang normal, namun demikian faktor risiko yang dapat
menyebabkan TVD adalah:
Imobilitas akan menyebabkan melambatnya aliran darah pada vena dan meningkatkan terjadinya
bekuan darah.
Contohnya :
1. Pasca operasi lebih dari 30 menit, karena pada saat anestesinya aliran darah vena
menurun. Oleh karena itu pasca operasi, biasanya diberikan suntikan heparin untuk
mencegah terjadinya TVD.
2. Sakit dan perawatan dapat menyebabkan imobilisasi seperti stroke
3. Kehamilan, termasuk 6-8 minggu post partum
4. Obesitas
5. Perjalanan jauh dengan kereta atau pesawat dapat meningkatkan risiko terjadinya TVD
Jika sisi dalam vena rusak, kemungkinan menjadi TVD meningkat, seperti pada:
1. Vaskulitis (inflamasi pada dinding vena) dan keadaan seperti kemoterapi dapat merusak
vena dan meningkatkan risiko TVD.
2. Fraktur tungkai
3. Komplikasi dari tindakan invasif pada vena
2.2.4.3 Hiperkoagulabilitas
Pada kondisi ini pembekuan darah lebih cepat dari normal seperti pada:
Pada beberapa kondisi kanker dan terapi kanker menghasilkan substansi dalam darah yang dapat
menyebabkan bekuan. Gagal jantung dimana kerusakan pada jantung menyebabkan pompa
jantung tidak normal dan efektif sehingga bisa terjadi pooling dan bekuan. Penyakit genetik
seperti Faktor V Leiden trombofilia yang dapat menyebabkan bekuan abnormal.
Gejala dan tanda pada TVD berhubungan dengan terjadinya obstruksi aliran darah balik ke
jantung yang menyebabkan darah terkumpul di lengan atau tungkai. Gejala dan tanda klasik:
1. Nyeri tekan pada tungkai atau betis bila terjadi di tungkai dan di lengan atau leher jika
mengenai ekstremitas atas.
2. Pembengkakan terlokalisir pada daerah yang terkena disertai pitting oedema. Untuk TVD
distal pembengkakan sampai di bawah lutut dan TVD proksimal sampai daerah pantat.
3. Perabaan kulit hangat dan kemerahan di sekitar daerah TVD terutama di bagian belakang
dan lutut, terdapat pelebaran vena superfisial dan pada obstruksi berat kulit tampak
sianosis.
4. Kadang TVD tidak memberikan gejala yang nyata, gejala timbul setelah terjadi
komplikasi misalnya terjadi emboli ke paru.
2.2.6 Diagnosis
Standar baku emas untuk diagnosis TVD adalah venografi intravena, di mana bahan kontras
diinjeksikan pada vena kemudian difoto rontgen untuk melihat di mana terdapat obstruksi vena.
Pemeriksaan ini invasif sehingga jarang dilakukan.
Diagnosis yang didasarkan pada temuan fisik saja tidak dapat diandalkan, sedangkan untuk
penatalaksanaan TVD secara optimal, perlu diagnosis yang obyektif. Guna mempermudah
pendekatan diagnosis, digunakan sistem skoring untuk menentukan besarnya kemungkinan
diagnosis klinik serta pemeriksaan laboratorium, Compression ultrasonography, dan venografi,
yang dijadikan bukti diagnosis objektif. Scarvelis dan Wells mengenalkan keadaan klinis yang
dapat memprediksi adanya TVD seperti pada tabel.
Skor Wells untuk kecurigaan klinis trombosis vena dalam
1. Compression Ultrasonography
CU merupakan pemeriksaan non invasive pilihan untuk membantu menegakkan diagnosis pada
kecurigaan TVD secara klinik. Prosedur ini cukup teliti untuk mendeteksi TVD proksimal
simtomatik (femoral, popliteal, calf bifurcation) dengan sensitivitas 97% dan spesifitas 94%.12
Bila hasil abnormal, diagnosis trombosis vena dapat ditegakkan, bila hasil normal maka diulang
pada minggu berikutnya. Konversi dari normal ke abnormal pada pemeriksaan CU ulang
terdapat pada 2% pasien. CU kurang sensitif untuk TVD distal, TVD asimtomatik dan TVD
berulang.
2. D-dimer
Pemeriksaan kadar d-dimer (hasil pemecahan fibrin ikat silang yang dipecah oleh plasmin),
merupakan pemeriksaan tambahan CU guna meningkatkan ketepatan diagnosis TVD. Kadar d-
dimer biasanya meningkat pada TVD dan / atau EP (Emboli Paru). Peningkatan kadar d-dimer
menunjukkan adanya produk degradasi fibrin dalam kadar yang abnormal tinggi. Peningkatan
kadar ini mempunyai arti bahwa telah terjadi trombus yang bermakna dan pemecahannya dalam
tubuh, namun belum dapat menunjukkan lokasi. Kadar normal dapat membantu untuk
menyingkirkan TVD, namun kadar yang meningkat tidak spesifik dan mempunyai nilai ramal
positif yang rendah. Peningkatan kadar d-dimer bisa sebagai respon non spesifik dari penyakit
yang terjadi bersamaan.
3. Venografi
Venografi merupakan pemeriksaan baku emas dari TVD. Keunggulan venografi adalah mampu
mendeteksi trombosis proksimal dan vena betis yang terisolasi. Kelemahan pemeriksaan ini
adalah :
a. Bersifat invasif
b. Menimbulkan rasa nyeri
c. Mahal dan memerlukan keahlian khusus dalam tekniknya
d. Membutuhkan waktu yang lama
e. Kemungkinan komplikasi trombosis
f. Alergi dan gangguan faal ginjal akibat cairan kontras
Karena alasan tersebut, pemeriksaan non invasif seperti CU dan d-dimer, dikombinasi dengan
pemeriksaan fisik, banyak digunakan sebagai pengganti venografi.
MRI sangat akurat untuk diagnosis TVD, termasuk TVD distal (betis), pelvis dan trombosis
asimptomatik pada wanita hamil. Teknik ini sangat potensial untuk membedakan thrombus lama
dan baru, serta tidak memerlukan kontras. Namun harganya masih relatif mahal.
2.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan TVD adalah untuk mencegah bertambah besarnya bekuan, mencegah emboli
paru, sindrom post trombosis dan terjadinya TVD berulang. Terapi farmakologi yang digunakan
biasanya adalah antikoagulan dan trombolitik.
2.2.7.1 Antikoagulan
Antikoagulan digunakan untuk mencegah terjadi bekuan yang semakin besar, dan mencegah
pembentukan bekuan darah. Jika terapi antikoagulan diberikan segera setelah TVD terbentuk,
maka akan menurunkan risiko terjadinya emboli paru. Antikoagulan yang biasa dipakai adalah
heparin dan warfarin.
2.2.7.2 Trombolitik
Selain terapi farmakologi, juga dilakukan terapi non farmakologi untuk pencegahan secara
mekanik yaitu:
1. Penggunaan kaos kaki yang dapat memberi penekanan (Compression Elastic stockings).
Digunakan pada pagi hari dan seharian saat aktivitas, dilepas pada saat akan tidur, dapat
digunakan pula saat istirahat dengan posisi menaikkan tungkai pada saat tiduran.
2. Menaikkan tungkai, yaitu posisi kaki dan betis lebih tinggi dari pinggul, posisi ini
diharapkan dapat memperlancar aliran darah vena.
3. Intermittent pneumatic compression, alat ini dapat memberikan penekanan dari luar
secara teratur pada tungkai bawah atau tungkai bawah dan paha; besarnya tekanan 35-40
mmHg selama 10 detik / menit.
4. Mobilisasi awal untuk meningkatkan aliran darah vena pada kondisi stasis.
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan
darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Etiologi penyakit jantung koroner
adalah adanya penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh arteri koroner. Penyempitan
atau penyumbatan pembuluh darah tersebut dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung
yang sering ditandai dengan nyeri. Dalam kondisi yang parah, kemampuan jantung memompa
darah dapat hilang. Hal ini dapat merusak sistem pengontrol irama jantung dan berakhir dan
berakhir dengan kematian.
Penyumbatan pada pembuluh darah juga dapat disebabkan oleh penumpukan lemak disertai klot
trombosit yang diakibatkan kerusakan dalam pembuluh darah. Kerusakan pada awalnya berupa
plak fibrosa pembuluh darah, namun selanjutnya dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di
bagian dalam pembuluh darah yang menyebabkan klot darah. Pada akhirnya, dampak akut
sekaligus fatal dari PJK berupa serangan jantung.
2.4 Aritmia
Aritmia atau gangguan irama jantung disebabkan oleh gangguan elektrik jantung. Penderita
aritmia bisa merasakan irama jantungnya terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur. Aritmia
bisa terjadi tanpa menimbulkan gejala, sehingga kadang tidak disadari oleh penderitanya. Gejala
aritmia yang dapat muncul antara lain:
Untuk menentukan apakah pasien menderita aritmia, dokter akan menanyakan gejala yang
muncul dan mendengarkan detak jantung pasien. Setelah itu, dokter akan melakukan beberapa
pemeriksaan berikut:
Dokter juga dapat menjalankan pemeriksaan lain, guna melihat kemungkinan adanya penyakit
yang mendasari aritmia, yaitu:
2.5 Limfedema
Lymphedema merupakan kondisi yang terjadi akibat gangguan transportasi aliran limfa yang
menyebabkan terjadinya akumulasi cairan limfatik di ruang interstitial. Kondisi ini menyebabkan
pembengkakan pada satu atau beberapa area tubuh. Lymphedema dapat terjadi pada ekstremitas,
batang tubuh, perut, kepala dan leher, genitalia eksterna serta pada organ dalam.
Lymphedema terjadi akibat dari akumulasi cairan kaya protein pada rongga interstitial. Pada
individu yang normal, pembuluh darah kapiler mendorong cairan ke ruang interstitial, yang
kemudian sebagian besar cairan di ruang interstitial akan kembali ke pembuluh darah kapiler.
Sistem limfa bertugas untuk menghilangkan cairan yang tersisa dari ruang interstitial. Namun
jika terjadi gangguan transportasi pada pembuluh limfa, maka dapat terjadi akumulasi cairan
kaya protein di ruang interstitial.
Terapi untuk lymphedema dimulai dengan terapi non-operatif yang dilakukan dan didampingi
oleh terapis kemudian terapi berkelanjutan yang dilakukan oleh pasien sendiri untuk mencegah
progresivitas penyakit. Terapi pembedahan diindikasikan bagi pasien dengan kondisi berat dan
mengalami gangguan fungsional yang tidak membaik dengan terapi non-operatif. Metode yang
digunakan pada terapi pembedahan dimulai dari metode fisiologis yang bertujuan untuk
mengembalikan transportasi aliran limfa secara fisiologis dengan cara menghubungkan saluran
limfa dengan pembuluh darah vena atau saluran limfa, serta dengan metode pemindahan kelenjar
limfa donor ke area yang mengalami gangguan transportasi limfa. Namun jika jumlah jaringan
fibroadiposa pada area lymphedema tinggi, maka metode yang digunakan adalah dengan
liposuction atau dengan eksisi langsung pada area yang mengalami pembengkakan.
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Setiap
tahun diperkirakan 17,3 juta orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular. Berbagai macam
penyakit kardiovaskular misalnya adalah penyakit arteri perifer (PAP), trombosis vena dalam,
penyakit jantung koroner, aritmia, limfadema, dan masih banyak lagi
Penyakit arteri perifer (PAP) atau peripheral artery disease (PAD) adalah gangguan suplai darah
ke ekstremitas atas atau bawah karena obstruksi. PAP terjadi karena tidak normalnya regulasi
suplai darah dan penggantian struktur dan fungsi otot skelet.Keluhan PAP yang paling umum
adalah sensasi sakit pada kaki saat sedang berolahraga/aktivitas fisik. Merokok menjadi faktor
risiko yang sangat berpotensi terhadap terbentuknya PAP.Diagnosis klinis PAP tergantung pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan pembuluh darah secara non-invasif dan invasif, serta
identifikasi faktor risiko.
Trombosis Vena Dalam (DVT) merupakan penggumpalan darah yang terjadi di pembuluh balik
(vena) sebelah dalam. Terhambatnya aliran pembuluh balik merupakan penyebab yang sering
mengawali TVD.Penyebab utama trombosis vena belum jelas, tetapi ada tiga kelompok faktor
pendukung yang dianggap berperan penting dalam pembentukannya yang dikenal sebagai
TRIAS VIRCHOW yaitu abnormalitas aliran darah, dinding pembuluh darah dan komponen
faktor koagulasi.Gejala dan tanda pada TVD berhubungan dengan terjadinya obstruksi aliran
darah balik ke jantung yang menyebabkan darah terkumpul di lengan atau tungkai.
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan
darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Pemeriksaan EKG adalah modalitas
dalam mendiagnosis PJK yang seyogyanya dikuasai oleh para dokter dan tersedia di semua
pelayanan kesehatan primer.
DAFTAR PUSTAKA
Ageno W. Treatment of pulmonary embolism ; same as deep vein thrombosis treatment? DVT
forum. 2002; 5:7-8
Criqui MH. The epidemiology of peripheral artery disease. In: Creager MA., Beckman JA., and
Loscalzo J. Vascular Medicine: A companion to Braunwald’s heart disease, 2nd ed.
Philadelphia: Elsevier Inc. 2013; 211-222.
Scarvelis D, Wells P. Diagnosis and treatment of deep-vein thrombosis. CMAJ 2006;175 (9):
1087–92.
Suharti C. Pathogenesis and clinical feature of thrombosis in special organ. Dalam : Kumpulan
makalah symposium. Thrombosis in special organ. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Semarang. 2006: 1-3
Tendera M., Aboyans V., Bartelink ML., Baumgartner I., Clement D., Collet JP., et al. ESC
Guidelines on the diagnosis and treatment of peripheral artery diseases. Eur Hear J. 2011; 32:
2851-2906.