Anda di halaman 1dari 235

Askan Penyakit darah

dr. M. Dwi Satriyanto, SpAn-TI, Subsp N.An(K), FIP, M.Kes.


1
2 Pendahuluan

Keadaan penyakit yang terkait dengan eritrosit termasuk anemia dan


polycythemia.
• Anemia ditandai dengan penurunan massa sel darah merah, dengan efek
samping utama adalah penurunan daya dukung oksigen darah.
• Polycythemia (eritrositosis) merupakan peningkatan hematokrit (Hct).
Konsekuensinya terutama terkait dengan massa sel darah merah yang
bertambah dan peningkatan viskositas darah yang dihasilkannya

Hemofilia, Trombositopenia
3 PHYSIOLOGY OF ANEMIA

Anemia adalah tanda penyakit yang bermanifestasi secara klinis, dimana terjadi
berkurangnya jumlah absolut sel darah merah yang bersirkulasi (RBC).
Meskipun penurunan Hct paling sering digunakan sebagai indikator, anemia telah
didefinisikan sebagai pengurangan satu atau lebih indeks RBC utama: konsentrasi
hemoglobin (Hb), Hct, dan jumlah RBC.
Pada orang dewasa, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan anemia
sebagai konsentrasi Hb < 12 g/dL untuk wanita dan < 13 g/dL untuk pria.
Pada kehamilan, penurunan Hct mencerminkan peningkatan volume plasma
dalam hubungannya dengan massa RBC (anemia fisiologis). Namun, Hb < 11 g/dL
pada pasien hamil dianggap benar-benar anemia.
Dalam kehilangan darah akut, Hct pada awalnya mungkin tidak berubah.
Penurunan Hct yang melebihi 1% setiap 24 jam hanya dapat dijelaskan dengan
kehilangan darah akut atau hemolisis intravaskular.
4 PHYSIOLOGY OF ANEMIA

Efek samping yang paling penting dari anemia adalah penurunan konsentrasi
oksigen arteri dan potensi penurunan pengiriman oksigen jaringan. Misalnya,
penurunan konsentrasi Hb dari 15 g/dL menjadi 10 g/dL, yang mengakibatkan
penurunan kandungan oksigen arteri sebesar 33%.
Kompensasi awal untuk penurunan kandungan oksigen ini adalah dengan
peningkatan curah jantung.  Ini terjadi melalui peningkatan aktivitas sistem
saraf simpatik dan penurunan viskositas darah yang menyertai anemia.
Ada juga pergeseran ke kanan dari kurva disosiasi oksihemoglobin, yang
memfasilitasi pelepasan oksigen dari Hb ke jaringan. Ini diikuti oleh redistribusi
aliran darah ke miokardium, paru-paru, dan otak. Aliran darah otot dan kulit
menurun (yang mengakibatkan pucat), seperti halnya aliran darah ke ginjal (yang
merangsang prekursor eritroid di sumsum tulang untuk menghasilkan RBC
tambahan).
5 PHYSIOLOGY OF ANEMIA

Symtom : Fatique/Kelelahan dan toleransi olahraga yang rendah menunjukkan


ketidakmampuan curah jantung untuk meningkat lebih lanjut untuk
mempertahankan oksigenasi jaringan.
Ada banyak penyebab dan bentuk anemia, Penyebab anemia kronis yang paling
umum adalah kekurangan zat besi, anemia penyakit kronis (ACD), thalassemia, dan
kehilangan darah yang berkelanjutan.
6 The Transfusion Trigger

Transfusi pra operasi untuk tujuan tunggal memfasilitasi operasi elektif jarang
dibenarkan pada pasien anemia tanpa gejala.
Selama periode perioperatif, transfusi harus dipertimbangkan berdasarkan volume
darah yang hilang dari sirkulasi, tingkat Hb, perdarahan yang sedang berlangsung,
dan risiko disfungsi organ akhir karena oksigenasi yang tidak memadai.
Level Hb yang paling tepat untuk berfungsi sebagai pemicu transfusi darah
perioperatif tidak pasti.  Aturan 10/30 (ditransfusikan jika tingkat Hb adalah < 10
g/dL atau Hct adalah < 30%) pernah menjadi titik referensi yang umum dikutip.
Namun, tidak ada bukti bahwa nilai Hb di bawah tingkat ini mengamanatkan
perlunya transfusi RBC perioperatif, tetapi ada bukti yang jelas bahwa pasien
dengan kadar Hb 6 g/dL mendapat manfaat dari transfusi sel merah.
Pasien dengan anemia kronis kompensasi dengan nilai Hb antara 6 dan 10 g / dL
dapat mentolerir kadar ini tanpa bukti iskemia organ akhir.
7 Management of Anesthesia:
General Concepts for Anemia
Operasi elektif dilakukan dengan anemia kronis, adalah bijaksana untuk
meminimalkan kemungkinan perubahan signifikan yang terjadi selanjutnya, yang
dapat mengganggu pengiriman oksigen ke jaringan. Misalnya, penurunan curah
jantung yang diinduksi obat atau pergeseran ke kiri kurva disosiasi oksihemoglobin
karena alkalosis pernapasan dari hiperventilasi iatrogenik dapat mengganggu
pengiriman oksigen jaringan.
Penurunan suhu tubuh juga menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri
(yaitu, ada lebih sedikit pelepasan oksigen ke jaringan).
Penurunan kebutuhan oksigen jaringan dapat menyertai efek depresan miokard
dari obat bius dan hipotermia.
Ini mengimbangi penurunan pengiriman oksigen jaringan yang terkait dengan
anemia tetapi pada tingkat yang tidak terduga.
8 Management of Anesthesia:
General Concepts for Anemia

Tanda dan gejala pengiriman oksigen ke jaringan yang tidak memadai karena
anemia mungkin sulit untuk ditemukan selama anestesi umum.
Efek anestesi pada sistem saraf simpatik dan respons kardiovaskular dapat
menumpulkan peningkatan curah jantung yang biasa terkait dengan anemia
normovolemik akut.
Upaya untuk mengimbangi dampak kehilangan darah bedah dengan langkah-
langkah seperti hemodilution normovolemic dan penyelamatan darah
intraoperatif dapat dipertimbangkan pada pasien tertentu.
9 Management of Anesthesia:
General Concepts for Anemia
anestesi Volatil mungkin kurang larut dalam plasma pasien anemia karena
penurunan konsentrasi RBC lipid rich. Akibatnya, penyerapan anestesi dengan
volatile dapat cepat terjadi. Namun, efek dari penurunan kelarutan ini
kemungkinan diimbangi oleh peningkatan curah jantung.
Oleh karena itu tampaknya tidak mungkin bahwa perbedaan yang dapat dideteksi
secara klinis dalam tingkat induksi anestesi inhalasi atau kerentanan terhadap
overdosis anestesi akan hadir pada pasien anemia dibandingkan dengan pasien
tanpa anemia.
10 Thalassemia

Rantai globin dirangkai dalam molekul globin akhir, yang merupakan tetramer dari
dua rantai a-globin dan dua rantai non-a-globin.
Pada orang dewasa, hampir semua Hb terdiri dari dua rantai a-globin dan dua b-
globin (HbA), dengan komponen kecil HbF dan HbA2.
Cacat bawaan dalam sintesis rantai globin yang dikenal sebagai thalassemia adalah
salah satu penyebab utama anemia mikrositik pada anak-anak dan orang dewasa.
Gangguan ini menunjukkan pengaruh geografis yang kuat, dengan b thalassemia
mendominasi di Afrika dan daerah Mediterania, dan thalassemia dan HbE di Asia
Tenggara.
Thalassemia : adanya riwayat keluarga thalassemia, simpanan besi dan feritin
normal atau meningkat, dan produksi RBC dipertahankan atau bahkan tinggi
secara tidak proporsional.  Diagnosis dikonfirmasi oleh elektroforesis Hb, yang
menentukan jenis rantai globin yang ada.
11

Thalassemia minor.
Sebagian besar individu dengan thalassemia memiliki thalassemia minor dan
heterozigot untuk mutasi gen a-globin (sifat a-thalassemia) atau b-globin (sifat b-
thalassemia).
Meskipun mutasi dapat menurunkan sintesis rantai globin yang terkena hingga
50%, menghasilkan RBC hipokromik dan mikrositik, anemia biasanya sederhana
dengan akumulasi globin yang tidak terpengaruh relatif sedikit. Oleh karena itu
morbiditas yang terkait dengan hemolisis kronis dan eritropoiesis yang tidak
efektif jarang ditemui.
12

Thalassemia intermedia.
Pasien dengan thalassemia intermedia menunjukkan anemia yang lebih parah dan
mikrositosis dan hipokromia yang menonjol.
Orang-orang ini mungkin memiliki bentuk ringan thalassemia b homozigot, defek
thalassemia a- dan b-b, atau thalassemia b dengan kadar HbF yang tinggi.
Mereka dapat hadir dengan gejala yang disebabkan oleh anemia dan kelebihan zat
besi dari transfusi berulang, seperti hepatosplenomegali, kardiomegali, hipertensi
paru, dan perubahan kerangka.
13

Thalassemia major.
Pasien dengan thalassemia mayor berkembang untuk terjadinya anemia yang
parah, yang mengancam jiwa selama beberapa tahun pertama kehidupan.
Untuk bertahan hidup di masa kanak-kanak, mereka memerlukan terapi transfusi
berulang untuk memperbaiki anemia dan menekan tingginya tingkat eritropoiesis
yang tidak efektif.
Tingkat keparahan bentuk thalassemia ini sangat bervariasi, bahkan di antara
pasien dengan mutasi genetik yang tampaknya identik.
Dalam bentuk yang paling parah, pasien menunjukkan tiga cacat yang secara nyata
menekan kapasitas gerak oksigen mereka: (1) eritropoiesis yang tidak efektif, (2)
anemia hemolitik, dan (3) hipokromia dengan mikrositosis.
14 Management of anesthesia.

Tingkat keparahan thalassemia adalah penentu kritis dari jumlah kerusakan organ
akhir dan risiko anestesi.
Dalam bentuknya yang paling ringan, anemia kompensasi kronis menjadi
perhatian.
Dengan bentuk yang lebih parah, anemia jauh lebih signifikan, seperti halnya fitur
terkait splenomegali dan hepatomegali, malformasi kerangka, gagal jantung
kongestif, hipertensi paru, cacat intelektual, dan komplikasi kelebihan zat besi
seperti sirosis, gagal jantung kanan, dan endokrinopati.
Malformasi kerangka dapat membuat intubasi trakea dan anestesi regional
menjadi sulit; Namun, semua teknik anestesi (umum dan regional) dapat
digunakan dengan aman pada pasien ini.
15

Pada pasien thalassemic yang menjalani splenektomi, respons hipertensi dapat


dilihat karena autotransfusi, membutuhkan perawatan agresif untuk mencegah
komplikasi neurologis.
Tingkat hemoglobin 10 g / dL diinginkan dan diterima sebagai ambang batas yang
aman untuk melanjutkan dengan prosedur bedah.
Seperti disebutkan, pasien dengan intermedia thalassemia dan postplenectomy
memiliki risiko tromboemboli yang meningkat, membutuhkan tindakan profilaksis
bedah perioperatif yang sesuai
16 POLYCYTHEMIA

Hipoksia berkelanjutan biasanya menghasilkan peningkatan kompensasi dalam


massa RBC dan Hct. Meskipun ini meningkatkan daya dukung oksigen darah, ini
juga meningkatkan viskositas darah.
Pengiriman oksigen jaringan maksimal pada Hct 33% hingga 36% (konsentrasi Hb,
11-12 g / dL), dengan asumsi tidak ada perubahan yang terjadi pada curah jantung
atau aliran darah regional.
Dengan Hcts yang lebih tinggi terjadi peningkatan viskositas darah yang akan
cenderung memperlambat aliran darah dan menurunkan pengiriman oksigen.
Efek ini relatif kecil sampai Hct melebihi 55% hingga 60%, di mana saat itu aliran
darah ke organ vital dapat dikurangi secara signifikan.
17 Physiology of Polycythemia

Polycythemia dan eritrositosis adalah istilah yang menggambarkan Hct tinggi yang
tidak normal.
Bahkan peningkatan sederhana dalam Hct dapat memiliki dampak besar pada
viskositas darah utuh.
Peningkatan Hct dapat dihasilkan dari pengurangan volume plasma (polycythemia
relatif) tanpa peningkatan massa sel darah merah yang sebenarnya.
Penurunan akut dalam volume plasma, seperti yang dapat dilihat dengan puasa
pra operasi, dapat mengubah polycythemia asimptomatik menjadi satu di mana
hiperviskositas mengancam perfusi jaringan.
Ketika Hct naik ke tingkat di atas 55% hingga 60%, viskositas darah utuh meningkat
secara eksponensial, mempengaruhi aliran darah terutama di pembuluh darah
kecil seperti kapiler dengan laju aliran/geser rendah.
18

Sirkulasi otak sangat rentan terhadap penurunan aliran darah yang dihasilkan dari
peningkatan viskositas
Tanda dan gejala Hct tinggi bervariasi tergantung pada proses penyakit yang
mendasarinya dan tingkat perkembangan eritrositosis.
Pasien dengan polycythemia kronis sederhana memiliki beberapa keluhan sampai
Hct melebihi 55% hingga 60%. Sakit kepala dan mudah gemuk kemudian terjadi.
Kadar hct di atas 60% dapat mengancam jiwa karena peningkatan viskositas
mengancam perfusi organ vital. Pasien dengan Hcts tinggi seperti itu juga berisiko
signifikan terhadap tromboses vena dan arteri.
19 Polycythemia Vera

Polisitemia primer, juga dikenal sebagai polycythemia vera (PV), adalah gangguan
sel induk yang ditandai dengan proliferasi klon prekursor hematopoietik, hampir
semuanya muncul dari mutasi pada gen JAK2 (Janus kinase 2).
Ekspansi klonal ini paling sering menghasilkan kelebihan eritrosit, tetapi jumlah
trombosit dan leukosit juga dapat meningkat.
Kriteria untuk diagnosis PV termasuk peningkatan kadar Hb ( >16.5 g/dL pada pria,
> 16 g/dL pada wanita) atau Hct ( > 49 pada pria, > 48 pada wanita),
hiperseluleritas trilinease sumsum tulang, dan adanya mutasi JAK2. Atau, dua
kriteria pertama di hadapan tingkat eritropoietin serum subnormal sudah cukup
untuk diagnosis.
20 Polycythemia Vera

PV dapat muncul pada usia berapa pun, tetapi sebagian besar pasien
mengembangkan penyakit ini pada dekade keenam atau ketujuh mereka.
Pasien dapat memiliki sejumlah gejala. Sindrom Budd-Chiari (oklusi vena hati)
adalah presentasi umum, seperti pruritus umum, gangguan penglihatan
sementara, dan eritromelalgia. Trombosis koroner atau serebral juga merupakan
tanda presentasi yang umum. Hipertensi paru terjadi dengan peningkatan
frekuensi pada populasi ini.
Pasien dengan PV tingkat rendah (usia < 60 dan tanpa thombos) umumnya
memerlukan flebotomi reguler untuk mempertahankan Hct di bawah 45 dan
aspirin dosis rendah.
Pasien yang lebih parah mungkin memerlukan pengobatan dengan obat
myelosuppressive seperti hydroxyurea, interferon, atau busulfan, untuk
mengontrol Hct.
21 Polycythemia Vera

Ruxolitinib, inhibitor JAK1/JAK2, digunakan untuk mengobati PV tahan api. Sekitar


30% pasien dengan PV akan meninggal karena komplikasi trombotik dan 30%
lainnya akan menyerah pada kanker, paling sering myelofibrosis dan leukemia akut
22 Management of Anesthesia

Pasien polycythemia vera berisiko mengalami tromboses perioperatif dan


perdarahan.
Mengurangi Hct sebelum operasi hingga 45% melalui flebotomi dan hidrasi dapat
mengurangi risiko komplikasi trombohemoragik.
Trombositosis, jika ada, harus dikurangi menjadi di bawah 400.000 trombosit/mm3 .
Sitoreduksi dengan hidroksiurea direkomendasikan pada pasien yang lebih tua dari
60 tahun atau dengan riwayat trombosis sebelumnya.
Hydroxyurea sering dapat menyelesaikan sindrom vWF yang didapat.
Terapi aspirin harus ditahan selama 7 hari sebelum operasi.
Konsentrat faktor VIII/vWF dapat bermanfaat dalam meningkatkan kadar vWF dan
dengan demikian dalam mengurangi perdarahan.
Desmopresin juga bisa digunakan, meskipun ada risiko takifilaksis dengan
penggunaan berulang.
23 Disorders Affecting Platelet Number

Jumlah trombosit yang bersirkulasi normal dipertahankan dalam batas yang relatif
sempit.
Sekitar sepertiga trombosit diasingkan di limpa pada waktu tertentu.
Karena trombosit memiliki masa hidup sekitar 9 hingga 10 hari, sekitar 15.000-
45.000 trombosit/mm3 harus diproduksi setiap hari untuk mempertahankan
kondisi stabil.
24 General Concepts for Treating
Thrombocytopenia

Terlepas dari penyebab trombositopenia,  transfusi trombosit harus disesuaikan,


jika pasien mengalami perdarahan yang mengancam jiwa, berdarah pada ruang
tertutup seperti di tengkorak kepala, atau memerlukan operasi darurat.
Manajemen jangka panjang trombositopenia mungkin memerlukan manuver
terapeutik lain untuk meningkatkan produksi trombosit atau mengurangi
kerusakan trombosit.
Terapi transfusi trombosit harus disesuaikan dengan tingkat keparahan
trombositopenia, adanya komplikasi perdarahan, dan penyakit yang mendasari
pasien.
25

Untuk operasi kecil, jumlah trombosit serendah 20.000 hingga 30.000/mm3


mungkin memadai.
Untuk operasi besar jumlah trombosit harus ditingkatkan menjadi 50.000/mm3 .
Namun, untuk prosedur bedah saraf, mata, dan neuraksial, trombosit harus sekitar
100.000/mm3 .
Setiap unit trombosit apheresis single donor atau 6 unit trombosit donor acak
meningkatkan jumlah trombosit pada orang dewasa berukuran normal sekitar
50.000/mm3 .
Jika ada alloimmunization atau peningkatan konsumsi trombosit, pengukuran
jumlah trombosit 1 jam setelah transfusi dan pada interval yang sering setelahnya
penting dalam merencanakan kebutuhan transfusi trombosit lebih lanjut
26

Satu unit trombosit apheresis donor tunggal setara dengan kumpulan donor acak
4 hingga 8 unit trombosit.
Untuk pasien yang menjadi alloimmunized ke trombosit donor acak, bank darah
dapat menyediakan trombosit donor tunggal yang cocok dengan HLA.
Trombosit donor tunggal acak dan tidak perlu kompatibel dengan ABO
Namun, RBC yang cukup ditransfusikan dalam kolam trombosit untuk
meningkatkan risiko kepekaan pada pasien Rh-negatif.
Oleh karena itu pasien tersebut, terutama wanita usia subur, harus menerima
trombosit dari donor Rh-negatif atau diobati dengan imunoglobulin RhO (D)
(RhoGAM) setelah transfusi produk Rh-positif
27

Pasien dengan jumlah trombosit yang sangat rendah (< 15.000/mm3) dapat
mengalami perdarahan yang signifikan dari beberapa tempat, termasuk hidung,
selaput lendir, saluran cerna, kulit, dan tempat tusukan pembuluh darah.
Salah satu tanda yang sangat menyatankan trombositopenia adalah munculnya
ruam petechial yang melibatkan kulit atau selaput lendir. Kondisi ini paling
menonjol di ekstremitas bawah karena peningkatan tekanan hidrostatik di kaki.
Diagnosis banding trombositopenia paling baik diatur menurut fisiologi (1)
produksi trombosit, (2) distribusi dalam sirkulasi, dan (3) penghancuran trombosit
28 Management of Anesthesia

Transfusi trombosit menjadi andalan dalam penatalaksanaan pasien dengan


gangguan produksi trombosit.
Pasien dengan trombopoiesis yang tidak efektif karena kelainan intrinsik
megakariosit diperlakukan seperti mereka yang memiliki gangguan produksi ketika
ada kebutuhan untuk operasi segera
29
Terimakasih
Clinical Anaesthesia EIGHTH EDITION EDITED BY Paul G. Barash, MD
30 Key Points

1. Anemia sering terjadi pada pasien perioperatif.


2. Konsentrasi hemoglobin (Hb) atau level hematokrit (HCT) dapat digunakan untuk
menilai tingkat keparahan anemia dengan cepat.
3. Pengobatan anemia harus didasarkan pada fisiologi dan etiologi anemia.
Pemeliharaan dan pemulihan normovolemia dan curah jantung (CO) diperlukan
tetapi tujuan yang tidak memadai dalam mengobati anemia.
4. Takikardia dan hipotensi adalah tanda-tanda klinis penting hipovolemia dan
anemia, tetapi peningkatan kompensasi dalam denyut jantung dan CO dapat
terhambat oleh cadangan jantung yang tidak mencukupi atau anestesi yang
diinduksi simpatiktomi.
5. Pertimbangan tanda-tanda fisiologis dan bukti laboratorium untuk pengiriman
oksigen jaringan yang tidak memadai adalah wajib sebelum membuat keputusan
untuk mentransfusikan sel darah merah (RBC).
31 Key Points

6. Hasil berbasis bukti yang mendukung tingkat pemicu transfusi spesifik Hb atau
HCT belum ada untuk pasien perioperatif; Namun, informasi yang ada terbatas
menunjukkan bahwa kadar Hb serendah 7 hingga 8 g/dL mungkin sama amannya
dengan tingkat Hb yang lebih tinggi pada pasien bedah jantung dan sakit kritis
tanpa bukti klinis iskemia. Investigasi klinis lebih lanjut diperlukan untuk memandu
keputusan transfusi pada pasien yang sakit kritis.
Askan
Tuberkulosa Paru
dr. M. Dwi Satriyanto, SpAn-TI, Subsp N.An(K), FIP, M.Kes.
1
2 Introduction

Tuberkulosis masih tetap sebagai salah satu penyakit menular yang paling umum
di dunia.
Sesuai laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2013, 9 juta kasus
baru seharusnya menderita TB; di antara ini 2-3% kasus ditemukan multi drug
resistant (MDR). India memiliki insiden dan prevalensi penyakit yang tinggi dengan
tingkat penularan yang tinggi. Prevalensi semua bentuk TB di India diperkirakan
5,05 per seribu orang.
Peningkatan prevalensi TB di masyarakat pasti memiliki dampak signifikan
terhadap manajemen anestesi.
Dokter anestesi menghadapi sejumlah tantangan saat memberikan anestesi
kepada pasien TB.
Pasien dapat hadir dengan gejala paru atau konstitusional yang dapat
mempengaruhi kebugaran untuk operasi dan manajemen anestesi.
3 Introduction

MDR membutuhkan pengobatan jangka panjang dengan 4 sampai 5 obat yang


mengakibatkan peningkatan biaya dengan risiko tambahan efek samping.
Telah terjadi peningkatan yang nyata dalam jumlah kasus tuberkulosis, yang sejajar
dengan munculnya HIV.
Ahli anestesi umumnya terlibat dalam memberikan anestesi untuk pasien TB
dengan penyakit aktif atau masalah yang tidak terkait dengan TB seperti trauma
dan berbagai prosedur lainnya.
Risiko infeksi nosokomial pada ahli anestesi dan penyedia layanan kesehatan
lainnya di lingkungan ruang operasi tampak sangat tinggi ketika ada peningkatan
paparan dikombinasikan dengan tindakan pengendalian infeksi yang tidak
memadai.
Evaluasi dan investigasi pra operasi yang menyeluruh sangat penting bersama
dengan pertimbangan untuk berbagai interaksi obat dan efek samping obat anti
TB saat merencanakan teknik anestesi
4 Introduction

Peningkatan risiko yang ditimbulkan oleh penyakit paru yang sudah ada/diketahui
sebelumnya, selama anestesi dan pada periode pasca operasi :  Tingkat
gangguan paru pra operasi yang lebih besar dikaitkan dengan terjadinya
peningkatan perubahan intraoperatif dalam fungsi pernapasan dan tingkat
komplikasi paru pasca operasi yang lebih tinggi.
Kegagalan untuk mengenali pasien yang berisiko tinggi dapat mengakibatkan
pasien tidak menerima perawatan perioperatif yang optimal.
Bagian ini membahas risiko paru dan meninjau pendekatan anestesi untuk pasien
dengan jenis penyakit pernapasan yang lebih umum yaitu TBC.
5 TBC (Tuberculosis )

Mycobacterium tuberculosis adalah aerob obligat yang bertanggung jawab untuk


TB, yang bertahan paling berhasil dalam jaringan dengan konsentrasi oksigen
tinggi.
Saat ini, sebagian besar kasus TB di Amerika Serikat terjadi pada ras dan etnis
minoritas, individu kelahiran asing dari daerah di mana TB endemik (Asia dan
Afrika), penyalahguna narkoba IV, dan mereka yang terinfeksi HIV atau AIDS. Setiap
pasien dengan TB harus diuji untuk HIV.
Munculnya MDR strain M. tuberculosis telah berkontribusi pada kebangkitan TB di
seluruh dunia.
Selain itu, TB XDR resisten terhadap agen terapi lini kedua, termasuk
fluoroquinolones dan setidaknya satu dari tiga obat lini kedua suntik yang
digunakan untuk mengobati TB (amikacin, kanamycin, atau capreomycin)

STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE ed 4 (2013) HandsBook.pdf


6 Patho Physiology

Tuberkulosis adalah penyakit menular oleh Mycobacterium tuberculosis melalui


tetesan kecil di udara (0,5-5μm).
Biasanya, infeksi terjadi antara kontak serumah dengan kontak yang lama. Namun,
paparan hanya beberapa bakteri diperlukan untuk membangun infeksi. Karena
ketegangan oksigen yang tinggi, situs utama infeksi adalah lobus atas paru-paru,
membentuk fokus Ghon.
Bakteri menyerang dan bereplikasi dalam makrofag. Ini diikuti oleh respons sel T,
yang menutup sel yang terinfeksi untuk membentuk granuloma.
Bakteri dalam granuloma dapat menjadi tidak aktif, mengakibatkan infeksi laten.
Pada tahap ini, pasien akan asimtomatik, tetapi mungkin menunjukkan respons
positif terhadap tes kulit tuberkulin
7 Patho Physiology

Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan perkembangan penyakit aktif


termasuk waktu paparan (paling umum pada tahun pertama), usia pasien (lebih
muda dari lima tahun), dan kompetensi sistem kekebalan tubuh.
Pasien yang terinfeksi dapat aerosol sejumlah besar bakteri dan efisien
menularkannya ke mesin anestesi ketika diintubasi.
Patogen berada di dalam mesin untuk jangka waktu yang lama; terutama Y-piece,
masker, selang sirkuit pernapasan akan mudah terkontaminasi dengan sekresi
pasien.
8 PERJALANAN TUBERKULOSIS

Perkembangan TB melibatkan tiga fase. Ini adalah


1) penularan dan perolehan infeksi
2) latensi, dan
3) perkembangan infeksi laten menjadi penyakit aktif6 .
Penularan TB terjadi terutama melalui rute udara tetapi juga dapat terjadi melalui
penyerapan melalui saluran pencernaan.
Biasanya penularan terjadi ketika satu orang batuk atau bersin, tetesan aerosol
yang mengandung organisme menular yang dapat tetap melayang di udara selama
beberapa jam dan kemudian terhirup oleh orang lain.  Kontak dengan orang
yang terinfeksi, oleh karena itu tidak diperlukan.

INDIAN JOURNAL OF APPLIED RESEARCH , Volume : 4 | Issue : 2 | Feb 2014 | ISSN - 2249-555X
9 PERJALANAN TUBERKULOSIS

FAKTOR RISIKO :
Faktor risiko yang paling signifikan untuk perkembangan dari infeksi TB laten ke TB
aktif adalah HIV.
Orang lain yang berisiko lebih tinggi terkena activeTB adalah mereka yang pernah
atau pernah mengalami • gastrektomi, • kanker, • limfoma Hodgkin, • diabetes
mellitus, • silikosis

INDIAN JOURNAL OF APPLIED RESEARCH , Volume : 4 | Issue : 2 | Feb 2014 | ISSN - 2249-555X
10 Diagnosis.

Diagnosis TB didasarkan pada adanya tanda dan gejala klinis (batuk nonproduktif
persisten, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri dada, hemoptisis, keringat
malam), kemungkinan epidemiologi infeksi, dan hasil tes diagnostik.
Tes yang paling umum untuk TB adalah tes kulit tuberkulin (Mantoux). Hasil tes ini
mungkin positif jika orang telah menerima vaksin bacille Calmette-Guérin (BCG)
atau jika mereka telah terkena TB, bahkan jika tidak ada mikobakteri yang layak
hadir pada saat tes kulit.
Dua tes pelepasan interferon (QuantiFERON-TB Gold In-Tube test dan T-SPOT. Tes
TB) dianggap setara dengan, dan mungkin lebih baik daripada, tes kulit TB dalam
sensitivitas dan spesifisitas. Keduanya adalah tes darah, dan tidak terpengaruh
oleh vaksinasi BCG sebelumnya.

STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE ed 4 (2013) HandsBook.pdf


11 Diagnosis

Secara tradisional, diagnosis dibuat dengan memvisualisasikan basil asam-cepat


dalam dahak.
Teknologi yang lebih baru, seperti Xpert M. tuberculosis / resistensi terhadap
rifampisin atau GeneXpert®, memanfaatkan reaksi berantai polimerase real-time
untuk mendeteksi urutan DNA tertentu. Mereka dapat memberikan hasil yang
jauh lebih cepat (dalam waktu dua jam), serta informasi tentang resistensi
rifampisin.
12 Diagnosis

Mendapatkan sampel dahak bisa sulit pada anak-anak, dan diagnosis biasanya
dibuat berdasarkan tanda dan gejala tuberkulosis, kontak positif dan tes kulit
tuberkulin positif (Monteux).
Aspirates lambung dapat digunakan, tetapi memiliki tingkat pick-up kurang dari
40%.
Tes pelepasan T cell interferon-g (IFN-g), yang mengukur jumlah sel T yang
mensekresi IFN-g, telah dikembangkan sebagai pendekatan berbasis kekebalan
alternatif untuk tes kulit tuberkulin untuk mendeteksi infeksi
13 Diagnosis.

Radiografi thorax menunjukkan infiltrat apikal atau subapikal, atau infiltrasi lobus
atas bilateral dengan adanya kavitasi.
Pasien dengan AIDS dapat menunjukkan gambaran yang kurang klasik pada
radiografi dada.
Tuberculous vertebral osteomyelitis (penyakit Pott) adalah manifestasi umum dari
TB ekstrapulmoner. Apusan dahak dapat menunjukkan basil tahan asam.

STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE ed 4 (2013) HandsBook.pdf


14 Treatment

Landasan pengobatan adalah pengobatan yang diamati secara langsung (DOT)


setidaknya selama enam bulan.
Pengobatan lini pertama termasuk rifampisin, isoniazid (INH), etambutol dan
pirazinamid, diberikan sesuai dengan pedoman untuk kasus baru, perawatan
ulang, dan anak-anak di bawah usia delapan tahun
Pengobatan tuberkulosis memiliki potensi efek samping yang serius, beberapa di
antaranya dapat berdampak pada ahli anestesi.
Rifampisin dapat menyebabkan trombositopenia bila diberikan dalam dosis
tinggi.
INH dapat menyebabkan neuropati sensorik, yang harus dipastikan secara
klinis sebelum melakukan blok saraf regional.  Komplikasi ini dapat dicegah
dengan menambahkan piridoksin (vitamin B6) dalam kasus berisiko tinggi.
Etambutol berpotensi menyebabkan neuritis optik. Oleh karena itu, tidak
secara rutin diberikan kepada anak-anak.
15 Treatment

pengobatan untuk TB paru dianjurkan selama 6 bulan.


TB ekstrapulmoner biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama
Hepatitis yang diinduksi obat adalah komplikasi yang mengkhawatirkan.
Ketika pengobatan tuberkulosis dikombinasikan dengan bersamaan terapi
antiretroviral,  peningkatan ringan enzim hati sering terjadi.
Namun, hepatitis simtomatik memiliki angka kematian hampir 5%, dan
membutuhkan penghentian segera obat tuberkulosis, dengan pengenalan kembali
yang hati-hati di bawah perawatan spesialis.
Sedapat mungkin, operasi harus dihindari selama periode ini.
16 Increased Risk of Anesthesiologists.

Ahli anestesi berada pada risiko tinggi terhadap TB nosokomial


Maka harus berpartisipasi dalam skrining tuberkulin tahunan  bila hasil tes kulit
positif dapat ditawarkan terapi.
17 Pre Operative Assessment of Patient

Perawatan pra operasi pasien ini melibatkan penilaian menyeluruh yang


melibatkan riwayat medis yang akurat, pemeriksaan fisik dan evaluasi penyelidikan
yang diperlukan.
Tergantung pada evaluasi klinis, penyelidikan seperti kultur dahak, rontgen dada,
PFT, LFT, ABG dapat dipertimbangkan.
Pasien-pasien ini sebaiknya menjalani evaluasi di ruangan berventilasi tekanan
negatif atau ruang terisolasi untuk mencegah penyebaran infeksi aerosol.
Dalam kasus TB yang diketahui, pemeriksaan dahak smear untuk AFB negatif
memiliki kepentingannya sendiri.
Untuk pasien yang sedang dirawat, apusan dahak untuk AFB yang diambil pada
tiga hari yang berbeda harus negatif.
18 Pre Operative Assessment of Patient

Lebih baik menunda prosedur elektif sampai pasien tidak lagi menular.
Status gizi pasien, aneamia, suhu perlu dievaluasi dan didokumentasikan.
Riwayat pengobatan meliputi rincian obat anti-tuberkulosis dan efeknya pada
berbagai organ seperti hati (rifampisin), sistem saraf (INH dan streptomisin),
hematologi (trombositopenia) dan ginjal (etambutol).
Obat yang diinduksi hepatitis adalah komplikasi serius pada pasien dengan TB yang
terkait dengan HIV.
Gejala hepatitis umumnya bertanggung jawab atas kematian 5% sehingga terapi
obat TB perlu segera dihentikan;  Jika memungkinkan, operasi harus dihindari
selama periode ini.
19 Pre Operative Assessment of Patient

Selanjutnya di bawah pengawasan ketat oleh spesialis, obat-obatan dapat dimulai


kembali.
Namun, selama manajemen anestesi rutin, pasien yang menggunakan obat harus
melanjutkan obat bahkan pada hari operasi dengan sedikit air
20 Anaesthetic Management

Pasien TB mungkin memerlukan anestesi untuk prosedur diagnostik (biopsi


kelenjar getah bening, Brokoskopi), komplikasi tuberkulosis (hidrosefalus, obstruksi
usus) dan operasi darurat lainnya.
Tiga kekhawatiran utama bagi ahli anestesi meliputi:
keadaan umum kesehatan pasien (nutrisi dan aneamia),
dampak penyakit pada fungsi organ, dan
interaksi obat potensial antara agen antituberkuler dan agen anestesi.
Selanjutnya, penularan infeksi nosokomal ke staf, ahli anestesi dan pasien lain
adalah ancaman penyakit aktif.
21 Anaesthetic Technique

Pilihan teknik anestesi tergantung pada pasien, prosedur dan tingkat keparahan
penyakit.
Anestesi regional sering lebih disukai pada pasien dengan penyakit paru-paru
kronis untuk menghindari masalah akibat penyakit seperti itu dan interaksi obat
potensial.
Agen anestesi lokal mengerahkan tindakan mereka terutama di tempat suntikan,
dan membantu menghindari banyak interaksi obat.
Peningkatan metabolisme dapat mengakibatkan penurunan risiko toksisitas
anestesi lokal.
Namun, ini mungkin tidak dapat dilakukan dalam beberapa prosedur dan pasien
mungkin memerlukan anestesi umum.
22 Anaesthetic Technique

Ketika anestesi umum direncanakan, obat harus disesuaikan dan direncanakan


untuk membatasi interaksi obat yang diharapkan.
Obat hepatotoksik harus dihindari
Pemulihan dari efek agen induksi intravena terutama disebabkan oleh redistribusi.
Agen antiTB menyebabkan induksi enzim (P-450) yang dapat menyebabkan
peningkatan metabolisme obat anestesi di sana dengan akumulasi produk
metabolisme beracun.
Peningkatan metabolisme ini mungkin memiliki potensi untuk kesadaran selama
anestesi intravena total.
23 Anaesthetic Technique

Agen inhalasi, halotan yang memiliki potensi hepatotoksisitas harus dihindari.


Pemberian relaksan otot depolarisasi (MR) tidak akan terpengaruh sampai kadar
esterase pseudokolin berkurang secara nyata karena disfungsi hati yang parah.
Atracurium MR non-depolarisasi, cis-atracurium (metabolisme alternatif) dan
pancuronium (ekskresi ginjal) minimal dipengaruhi oleh terapi TB.
Streptomisin dapat mempotensiasi efek MR non depolarisasi karenanya, NMR
harus dititrasi sesuai respons dengan evaluasi yang sering oleh stimulator saraf.
24 Anaesthetic Technique

Obat anti TB, Rifampisin dikenal untuk meningkatkan efek UDP glukoronil
transferase yang terlibat dalam metabolisme morfin, sehingga mengurangi
kemanjuran morfin oral1.
Fentanil dan alfentanil keduanya dimetabolisme secara ekstensif oleh CYP450 3A4,
oleh karena itu, juga menunjukkan potensi durasi aksi yang dipersingkat.
Tramadol dan brufen dapat digunakan dengan aman karena efeknya tidak berubah
25 Fig 1: Effects of Tuberculosis Treatment on Various
Anaesthetic Agents
26 Spread of Tuberculosis

Penyebaran tuberkulosis ke pasien lain terutama immunocompromised, ahli


anestesi dan staf teater adalah bidang yang menjadi perhatian.
Karena kedekatan jalan napas pasien selama intubasi, ventilasi mekanis,
penyedotan dan prosedur brokoskopi, ahli anestesi berada pada risiko tertentu.
Pada tahun 2005, American Society of Anesthesiologists (ASA) telah membuat
pedoman yang berkaitan dengan manajemen perioperatif pasien dengan
tuberkulosis aktif.  Operasi elektif harus ditunda sampai pasien tidak lagi
menular.
ASA mendefinisikan ini sebagai telah menjalani pengobatan selama 2-3 minggu,
secara klinis menjadi lebih baik, dan memiliki tiga dahak apusan negatif pada hari
yang berbeda.
27 Spread of Tuberculosis

Kasus-kasus elektif harus diambil sebagai kasus terakhir hari itu diikuti oleh
fumigasi untuk memungkinkan dekontaminasi teater setelah operasi.
Pasien harus selalu dipindahkan ke ruang operasi dengan mengenakan masker
bedah yang pas atau masker N95®. dibawa langsung ke teater, daripada
menunggu di area penahanan untuk menghindari paparan pasien lain.
Pembedahan harus dilakukan dengan personel sesedikit mungkin untuk
mengurangi jumlah kontak potensial dengan pasien indeks.
Untuk mencegah kontaminasi mesin anestesi dan sirkuit, filter udara partikulat
efisiensi tinggi (HEPA) harus ditempatkan di antara konektor Y dan masker, LMA,
atau tabung endotrakeal.
28 Spread of Tuberculosis

Filter bakteri yang ditempatkan pada corrugate ekspirasi ventilator atau mesin
anestesi, hal ini dapat membantu mengurangi pembuangan basil TB ke udara
sekitar.
Sterilisasi instrumen harus mengikuti protokol standar
Staf OT juga harus memakai masker N95®, terutama berlaku untuk prosedur
berisiko tinggi, seperti intubasi dan bronkoskopi.
Ahli anestesi harus memastikan anestesi dan relaksasi otot yang memadai. Kecuali
aliran gas dihentikan selama lebih dari satu jam di antara kasus, M. tuberculosis
telah terbukti melewati mesin anestesi18.
29 Post Anesthesia / operative

Perawatan pasca operasi harus, jika mungkin, dilakukan di ruangan dengan


tekanan negatif atau ruang ante yang menyediakan isolasi dari lorong luar.
Namun, karena sebagian besar unit perawatan pasca anestesi tidak dirancang
demikian, perawatan pasca operasi segera harus dipertahankan di Ruang Operasi
sampai pasien dapat dipindahkan dengan aman ke ruang isolasi yang sesuai.
Pasien yang membutuhkan perawatan intensif harus ditempatkan di ruang pribadi
dengan teknik ventilasi yang membutuhkan tindakan pencegahan isolasi AFB.
Masker N95® harus dipasang kembali segera setelah manajemen jalan napas aktif
tidak lagi diperlukan.
Namun, masker ini meningkatkan resistensi aliran jalan napas sekitar 120%.
30 Post Anesthesia / operative

Masker wajah tipe usaha besar dapat ditempatkan di atas masker N95® untuk
memberikan oksigenasi tambahan.
N95® tidak boleh dipakai oleh pasien jika dia hipoksia atau gangguan pernapasan;
Jika hipoksia atau gangguan pernapasan terjadi, masker harus dilepas.
31 Perawatan pasca operasi

Perawatan pasca operasi harus, jika mungkin, dilakukan di ruangan dengan


tekanan negatif yang menyediakan isolasi dari lorong luar.
Namun, karena sebagian besar unit perawatan pasca anestesi tidak dirancang
demikian, perawatan pasca operasi segera harus dipertahankan di Ruang Operasi
sampai pasien dapat dipindahkan dengan aman ke ruang isolasi yang sesuai.
Pasien yang membutuhkan perawatan intensif harus ditempatkan di ruang pribadi
dengan ventilasi yang memenuhi tindakan pencegahan isolasi AFB.
32
33 Conclusion

Mengingat peningkatan prevalensi HIV dan resistensi multi obat, tuberkulosis akan
terus menjadi risiko pekerjaan yang penting bagi ahli anestesi dan staf ruang
operasi.
Berdasarkan keterlibatan mereka dalam prosedur yang akan menginduksi
aerosolisasi basil tuberkular, ahli anestesi berpotensi berisiko. Oleh karena itu,
sangat penting bahwa personel anestesi harus memiliki pelatihan dan pendidikan
yang tepat mengenai penerapan praktik perlindungan diri serta pengujian
tuberkulin.
Risiko penularan pasien ke pasien melalui sirkuit anestesi rendah jika filter bakteri
dan virus yang efisien digunakan.

Ann. SBV, July-Dec 2015;4(2); Page 33-37


34 Management of Anesthesia

Penilaian Pra Operasi.


Riwayat terperinci diambil, termasuk adanya batuk terus-menerus dan status
tuberkulin.
Prosedur bedah elektif harus ditunda sampai pasien tidak lagi menular (yaitu,
mereka telah menerima terapi anti-uberculous, membaik secara klinis, dan telah
memiliki tiga apusan dahak negatif berturut-turut).
Jika operasi tidak dapat ditunda, batasi jumlah personel yang terlibat.
Prosedur berisiko tinggi (bronkoskopi, intubasi trakea, penyedotan trakea) harus
dilakukan di lingkungan bertekanan negatif.
Pasien harus diantar dengan mengenakan masker wajah N95 yang ketat, dan staf
juga harus mengenakan masker N95.

STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE ed 4 (2013) HandsBook.pdf


35 Management of Anesthesia

Intraoperatif.
Tindakan pencegahan khusus harus diambil untuk tidak melukai tulang belakang
selama manipulasi jalan napas pada pasien dengan TB tulang belakang.
Filter HEPA harus ditempatkan di antara konektor Y dan masker, saluran napas
masker laring (LMA), atau tabung trakea (ETT).
Filter bakteri harus ditempatkan pada ekshalasi pernafasan dari sirkuit anestesi
untuk mengurangi pembuangan basil tuberkel ke udara sekitar. Penggunaan mesin
anestesi dan ventilator khusus dianjurkan.

Pasca operasi.
Perawatan harus dilakukan di ruang isolasi, sebaiknya dengan tekanan negatif

STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE ed 4 (2013) HandsBook.pdf


36
Terimakasih

STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE ed 4 (2013) HandsBook.pdf


ASUHAN KEPERAWATAN
ANESTESI PADA PENYAKIT
PENYERTA

WAHYU WAHDANA SKEP NS SH MM MKEP


Pendahuluan

 Pelayanan anestesiologi merupakan salah satu


bagian dari pelayanan kesehatan yang
berkembang dengan cepat seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Next..Pendahuluan

 Pelayanan perawatan anestesi diberikan dalam


berbagai tempat pelayanan kesehatan, adanya
sistem reformasi dalam pelayanan kesehatan di
rumah sakit, unit-unit atau lembaga pelayanan
kesehatan yang dilakukan tindakan anestesi
 Penyakit dan obat-obatan yang digunakan
dapat mempengaruhi anestesi
Tujuan

1. Mengidentifikasikan penyakit-penyakit penyerta


serta faktor-faktor risiko operasi sebelumnya
tidak terdeteksi.
2. Mengoptimalkan keadaan pasien sebelum
menjalani operasi dan anestesi
3. Memahami,mengenali dan mengobati
keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan
terjadinya penyulit pascaanestesi.
4. Berperan sebagai anggota tim bersama ahli
anestesi dan bedah.
Metode Asuhan

I. PENGAKAJIAN
Next..Pengakajian

Tujuan :
1) menilai kondisi pasien.
2) menentukan status fisis dan risiko.
3) menentukan status teknik anestesia yang akan
dilakukan.
4) memperoleh persetujuan tindakan anestesia (
informed consent).
5) persiapan tindakan anestesia.
Next..Pengakajian
PengakajianPertimbangan Anestesi
1. Penyakit neuromuskuler
2. Penyakit kvs
3. Penyakit respirasi
4. Penyakit abdomen
5. Gangguan termoregulasi
6. Kegagalan hati
7. Penyakit renal
8. Penyakit endokrin
9. Penyakit hematologi
Pengkajian
1. Anamnesis :
- Identitas
- Riwayat penyakit
- obat maternal selama kehamilan
2. Pengkajian fisik
3. Evaluasi malampati
4. Evaluasi pemeriksaan diagnostik
5. Penilaian status fisik
Next..Pengkajian

6. Reaksi fisiologis
 Sering terjadi sebelum operasi adalah reaksi
terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas bagian
yaitu reaksi somatic (voluntary) dan reaksi
simpatetik (involuntary).
 Efek somatic tersebut dan menerima keadaan
yaitu dengan nampak tenang.
Next..Pengkajian

8. Pertimbangan anestesi
Kelainan yg mempengaruhi
1) Keadaan yang Memepengaruhi SSP.
 Obat anti konvulsan → meningkatkan
pemecahan obat lebih singkat shg →
mengurangi efek kerja anestesi
Next. Keadaan yang
Memepengaruhi SSP

 Penderita ketergantungan obat → sering


konsumsi obat adiktif → mengurangi efek kerja
anestes
 Peningkatan TIK : hindari obat penekan SSP yg
lama kerja panjang
hindari refleks batuk, gerakan mendadak dan
ketegangan → mempengaruhi TIK
2). Keadaan yg mempengaruhi Medulla spinalis dan saraf
perifer;
 Pemberian Obat muscule relaxant depolarisasi →
peningkatan vasilulasi → menimbulkan masalah
muskuloskeletal
 Pertimbangan regional anestesi pada multiple sklerosis
3). Penyakit KVS
 Pertimbangan usia > 50 tahun
 Penyakit KVS antara lain hipotensi, hipertensi,
aritmia jantung, dan payah jantung
 Dilakukan rekaman EKG
4). Penyakit Pernapasan

 Penyakit yang sering terjadi bronkospeme,


sperti : ISPA, Asma
 Hati – hati terjadi alerigiGangguan airway,
breathing
 Obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh
relaksasi otot-otot termasuk otot Iidah dan
sphincter cardia akibatnya bila posisi pasien
terlentang maka pangkal lidah akan jatuh
ke posterior menutup orofaring, sehingga
menimbulkan sumbatan jalan nafas.
 Aspirasi yang disebabkan oleh Sphincter cardia
yang relaks, menyebabkan isi lambung mengalir
kembali ke orofaring (regurgitasi).
 Hipoksemia karena kelemahan otot setelah
pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat,
depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi,
hambatan batuk dan ventilasi alveolus yang tak
adekuat → gagal pernapasan restriktif dengan
retensi CO2 serta narkosis CO2
5). Termoregulasi
 Hipertermi maligna : terjadi pada pasien yang
dioperasi akibat gangguan otot yang
disebabkan oleh agen anastetik
 Hipotermi : Mengigil dapat terjadi akibat obat
anestesi tiopental, halotan atau enfluran atau
anestesi spinal karena efek obat anestesi
6). Gangguan Abdomen
 Penyakit : hiatus hernia, refluks esofagus,
hematomesis, invaginasi ( sumbatan usus).
 Peningkatan asam lambung
 Meteorismus → terganggu compliance thoraks
dan diafragma → hambatan ventilasi → hipoksia
7). Gangguan hepar
 Metaboisme obat terganggu → dosis obat lebih
kecil
 Kegagalan sintesis protein → pertimbangkan
terikat dgn protein → pelepasan lebih banyak
dlm bentuk bebas
 Detoksifikasi menurun
 Hepatotoksis → hindari anestesi yang halogen
dimetabolisme di hati ( halothan, dll)
8). Gangguan ginjal
 Sekresi obat melalui ginjal terutam obat relaksan
 Terganggunya hematopoesis
 Dapat terjadi hiperkalemia
9). Penyakit Endokrin
 Hipertiroid : dapat terjadi gangguan kvs (
vasodilati), respirasi ( apnu)
 Gangguan fungsi hormon adrenal : dapat terjadi
gangguan elektrolit
II. Penetapan
Masalah
Masalah yang sering
muncul
 Cemas preoperatif
 Tidak efektif bersihan jalan napas
 Pola napas tidak efektif
 Gangguan pertukaran gas
 Hipotensi
 Dehidrasi
 Assidosis metabolik
 Mual
 Muntah
 Nyeri pasca operasi
I

III. RENCANA INTERVENSI/IMPLEMENTASI


Praanestesi

 Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


penunjang sesuai indikasi
 Status fisik ; klasifikasi ASA
 Evaluasi jalan napas
 Menjelaskan tindakan anestesia, risiko anestesia
dan advokasi untuk informed consent
 Ukur skala nyeri
 Evaluasi pemeriksaan diagnostik yg berhubungan
dgn penyakit penyerta , danberkaitan dgn
anestesi
Next..Praanestesi

• Puasa
Umur Padat Clear Liquids Susu Formula ASI
(Jam) (Jam) (Jam) (Jam)

Neonatus 4 2 4 4

< 6 bln 4 2 6 4

6-36 bln 6 3 6 4

. 36 bln 6 2 6

Dewasa 6-8 2
Next..Praanestesi

 Premedikasi

Premedikasi diberikan sesuai


kebutuhan : obat golongan
sedative-tranquilizer,
analgetic, opioid, anti
emetik, H-2 antagonis.
Jalur pemberian IV, IM,
Next..Praanestesi

 Persiapan Latihan untuk post anestesi : batuk


terkontrol, pernafasan diafragma, latihan kaki,
berbalik posisi
 Persiapan obat anestesi dan emergency
 Persiapan alat anestesi : STATICS
 Persiapan mesin anestesi dan gas anestesi
 Persiapan alat pemantauan fungsi vital
 Persiapan dokumen pemantauan selama operasi
Next..Praanestesi

 Kolaborasi Persiapan Tindakan General Anestesi :

General intubasi
General LMA
General Masker
General Intra vena
General intubasi kombinasi
dengan regional
Next..Praanestesi

 Kolaborasi Persiapan Tindakan Regional Anestesi

Regional Epidural
Regional SAB ( Sub
Arachnoid Blok )
Persiapan anestesi tindakan
elektif
Persiapan anestesi tindakan
emergensi
Intraanestesi

 Melakukan proses sign in


 Kolaborasi dan asistensi tindakan anestesi
 Membebaskan jalan nafas
 Mengatur posisi pasien
Next..Intraanestesi
 Preoksigenasi
- Preoksigenasi (disebut juga “denitrogenasi”).
- Preoksigenasi dengan 100% O2 dan ventilasi spontan
dengan face mask selama 5 menit dapat memberikan
persediaan O2 untuk 10 menit setelah terjadi apneu
- Penyebab yang sering terjadi karena tidak tercapainya
maximum alveolar Fi02 selama preoksigenasi adalah
karena sungkup yang kurang menutup, yang
menyebabkan udara ruangan masuk.
Next..intraanestesi

 Induksi Anestesi
 Diprebolehkan dengan obat anestesi induksi tetapi
diberikan dengan hati-hati.
 Intubasi harus minimal (kurang dari 15 detik) untuk
mengurangi stimulasi simpatis
Next..intraanestesi

Rumatan Anestesi
 Teknik dan agen anestesi harus sesuai kebutuhan masing-
masing pasien, dengan pertimbangan riwayat medis dan
prosedur bedah.
 Ventilasi tekanan positif :
- utk mengurangi kongesti paru dan meningkatkan
oksigenasi arteri
- utk mengurangi aliran balik vena dan menurunkan
tekanan darah.
 N2O : O2 : 50 : 50 % ( 2 : 2 )
 Volatile agent dosis rendah
Next..intraanestesi

 Monitoring :
Dgn pertimbangan anestesi → lakukan
monitoring terhadap respirasi, kvs , persarafan,
renal, cairan dan eletrolit, fungsi hati dan
termoregulasi, setiap 5 – 10 menit
Next..intraanestesi
Next.. Monitoring
 Menilai level anestesi
 Memantau keseimbangan O2 dan CO2
 Memantau kebutuhan dan
keseimbangan cairan
 Memantau haemodinamik
 Memantau irama jantung
 Menilai respon efek obat Anestesi
Memantau tingkat kesadaran dan
refleks pasien
Next..intraanestesi

 Hitung perdarahan :
 Mengukur darah dalam botol
suction, menimbang kain kasa
yang kena darah 10 ml/kain kasa.
Jumlahkan keduanya kemudian
tambahkan 25% untuk darah yang
sulit dihitung menempel di tangan
tim pembedah, di kain penutup
dan lain-lain.
 Evaluasi hematokrit secara serial.
 Perdarahan melebihi 20% pada
harus diganti dengan darah.
Pascaanestesi

 Setelah pembedahan selesai, obat anestesi


dihentikan pemberiannya.
 Berikan oksigen murni 5-15 menit.
 Suctioning pada rongga hidung dan mulut dari
lendir kalau perlu.
 Reversal
 Monitoring : airway, breathing dan circulation
Next..Pascaanestesi

 Ekstubasi jika sudah sadar : tandanya anggota


badan. bergerak, mata terbuka, nafas spontan
adekuat.
 Ekstubasi dalam. Dikerjakan kalau nafas spontan
adekuat, KU baik dan diperkirakan tidak akan
menimbulkan kesulitan pasca intubasi
Next..Pascaanestesi

 Pertahankan cairan dan eletrolit


 Monitoring : terhadap respirasi, kardiovaskuler,
persarafan, renal, cairan dan eletrolit, dan
termoregulasi, setiap 5 – 10 menit

• Ukur skala nyeri


• Penilaian skoring pasca anestesi “ Aldrete scoring” :
Jika jumlah nilai > 8, → pindahkan ke ruangan
IV. EVALUASI
Evaluasi
 Cemas teratasi
 Penurunan CO teratasi
 Gangguan sirkulasi perifer teratsi
 Pola nafas efektif
 Bersihan jalan nafas yg efektif
 Normotermoregulasi
 Keseimbangan cairan
 Mual dn muntah ( - )
 Nyeri dapat ditoleransi
 TD normal dalam batas normal
>

Terima Kasih
Anestesi pada penyakit
jantung
• Cardiovascular complications account for 25% to 50% of deaths
following noncardiac surgery.
• Perioperative myocardial infarction (MI), pulmonary edema,
congestive heart failure, arrhythmias, and thromboembolism are
most commonly seen in patients with preexisting cardiovascular
disease.
Anatomi
Fungsi elektrikal
Cardiac risk index
Pertimbangan pra anestesi
• Penjelasan risiko operasi dan anestesi
• Melanjutkan obat-obatan – beta blocker, CCB, digitalis (hipokalemia!!)
• Sudden withdrawal of antianginal medication perioperatively—particularly β-
blockers—can precipitate a sudden, rebound increase in ischemic episodes.
• Antikoagulan
• Premedikasi – kecemasan – o2 supply demand – gol benzodiazepine
• Manajemen pra operasi
• Optimalisasi penggunaan obat
• Revaskularisasi dengan pci
• Revaskularisasi dengan cabg
• Pemeriksaan penunjang EKG, Darah rutin, Ekokardiografi, Stress test ekg,
holter, elektrolit
Pemantauan intraoperasi
• EKG
• Tekanan darah invasive atau non invasif
• Pulse oksimetri
• Kapnografi
• Suhu
• Urin
• CVP
• Tekanan arteri pulmonalis dan cardiac output dengan PAC
Prinsip anestesi
• Anestesi umum atau regional , local. Combined?
• Goal ?
• Teknik apa yang terbaik
• Laringoskopi ?
• Rumatan, trias anestesi
GENERAL anesthesia
General anesteshesia
• Premedication
• Benzodiazepin – anxiety, stability, hypoxia, durasi
• IV opioid – resp depression, prolong ventilation, catecholamines release
• Opioid – excellent analgesia, stability, blunt reflexes
• Amnesia?, rigidity, resp depression,
• Induction – avoid ketamin
• Etomidate – pain
• Barbiturat – direct depressant, small dose
• Propofol
• Benzodiazepines
Laringoskopi intubasi
• Depth anaesthesia
• Fentanyl 5-8 mcg/ kg ??
• Lidocaine 1,5-2 mg/kg
• Esmolol iv – 0.5-1 mg/kg
Relaxant
• Suksinilkolin – aritmia
• Pancuronium – tachycardia, ST depression
• Vecuronium – choices
• Doxacurium – choices
• Rocuronium – choices
• Histamin release drug – curare, atracurium, mivacurium
n2o
• PVR meningkat
• Kontraktilitas turun
• Svr meningkat sedikit
• Air expansion
• Arteri coroner menyempit
• Low dose
Agen inhalasi
+ -
Oxygen balans – contractility dan afterload turun Hemodinamik instability
Mudah di titrasi Takikardia / merubah sinus node function
Cepat di eliminasi Coronary steal syndrome
CAD
• Goal – balance supply and demand
• Pre load – keep heart small
• Afterload – maintain, hypertension better than hypotension
• Contractility – depression is beneficial jika LV baik
• Heart rate – low
• Rhytm – sinus
Heart failure
• Pump
• Ejection fraction < 30% severe
• Preload – reduced diuretic, nitrat
• Contractility – inotropic
• Afterload – vasodilator – regional ?
Anestesi pada pasien dengan
i
penyakit -A
ginjal
=


--
-lenin

L
- Aldisteron.
Xagirtnin Aureumnini
meI ④
creat 202pH
Para-O2PH
1
~

7
HC03
6injal

:
PHI

HC034 PHT

- Na.
mea
a n ns
Na-ce.
~102

·
73
-
pN

Fisiologi ginjal ·
Saluran crat

=Ginger-st

• The combined blood flow through both kidneys normally accounts for
-
20–25% of total cardiac output.
-

• Autoregulation of renal blood flow normally occurs between mean


arterial blood pressures of =
80 and 180 mm Hg and is principally due to
-

intrinsic myogenic responses of the afferent glomerular arterioles to


e

blood pressure changes


• Reversible decreases in renal blood flow, glomerular filtration rate,
- &

urinary flow, and sodium excretion occur during both regional and
- -
-

general anesthesia. Acute kidney injury is less likely if an adequate


-

intravascular volume and a normal blood pressure are maintained.


Severity of kidney injury

2as v

Hemodialisa
-> >3mo


- Cl !
① -I

- -

-
0.0
a
D

-- O

E? ⑧ ⑧
gr

Decaerdis
-

-
- - - n
-


-
-

. -

haveene
⑪i
W
~vo
Evaluasi fungsi renal
40 55w cr 55
=
=

• Ureum – protein katabolisme ↑Th


-

-
• Creatinin – massa otot
• Rasio ureum – creatinine >15:1 = volume , tubular flow problem
08
=

(CHF, sirosis, sindroma nefrotik)


e n

• Klirens kreatinin : ((140-usia)x berat badan) : (72x plasma kreatinin)


OD
-

• Urinalisa : pH, berat jenis, glukosa, bilirubin, sedimen urin


en -

↑ zumo -
Kristal
-


-

ba
Effects of Anesthesia and Surgery

Q-
• Reversible decreases in RBF, GFR, urinary flow, and sodium excretion

-
occur during both regional and general anesthesia. Such changes are
less pronounced during regional anesthesia
• Most intravenous and inhalational agents cause some degree of cardiac
- -

depression or vasodilation and therefore are capable of decreased


-

- -

systemic blood pressure. Neuraxial anesthesia can produce similar


-

-
-

drops in systemic blood pressure.


-
-

a
-

• Heightened Esympathetic activity -


increases renal vascularin
resistance
and reduces↑RBF,
-
GFR, and urine output.
-

• Catecholamines, ADH, and angiotensin II all reduce RBF by inducing


- -

-
renal arterial-constriction.
-
3) -> selama-blood pressure.

* ane
• Volatile agents: Decrease renal vascular resistance. Compound A
- -
• NSAIDs: Prevent >
prostaglandin synthesis
behoiat
and may result in AKI
Amlinngtamani
-

Dexhutoprofen
as megrant
I began ta

0
E
Paracetat ->

opidid=
to
Diuretics
-
Gedahsarat
•!Mannitol: Most commonly used osmotic diuretic. There is no evidence
e n

to-suggest that mannitol provides renal protection or lessens the


severity of AKI.Furoseid. Lasix.
u

•-Loop diuretics: Inhibit sodium and chloride reabsorption in thick


ascending limb. Commonly used in hypervolemic states of sodium
-

overload (e.g., heart failure, cirrhosis) and hypertension. There is no


-

evidence that loop diuretics provide renal- protection or lessen the

--
severity of AKI. Hichocardinzich,
• Thiazide diuretics: Act at the distal tubule, inhibiting sodium
reabsorption. Synergistic when used with a loop diuretic. Indications
include hypertension, edematous disorders, hypercalciuria, and
- e

nephrogenic diabetes insipidus.


• Potassium-sparing diuretics: Overall weak diuretic agents. Typically

INTRAVENOUS AGENTS
stabil
#the
• Propofol & Etomidate
minimally affected by impaired renal function. Decreased protein
binding of etomidate in patients withI- hypoalbuminemia may enhance its
pharmacological effects.
-

E
• Barbiturates tippental.
-
Ab- e
increased E
sensitivity to barbiturates during induction- increase in free
circulating barbiturate as a result of =
decreased protein binding.
pre
Acidosis may also favor a more rapid entry of these agents into the
brain by increasing the- nonionized fraction of the drug
Ketamine -> Sedari (MAC.

• minimally altered by kidney disease. Some active hepatic metabolites


m e a n

are dependent on renal excretion and can potentially5


accumulate in
kidneyCfailure.
Rangan milit
Benzodiazepines -.

adaschen
estazdan
• Benzodiazepines undergo hepatic metabolism and conjugation prior to
-elimination in urine. Because most are -highly protein bound, increased
sensitivity may be seen in patients with hypoalbuminemia. Diazepam
and midazolam should be administered cautiously in the presence of
-
renal impairment because of a potential for the accumulation of active
Emetabolites.
-Fentangl Steel
Opioids ·
Pelidin martin.

- -

• inactivated by the
e n itliver; some of these -
metabolites are then excreted in
I urine. I
-

•E Remifentanil pharmacokinetics are unaffected by renal function due to


·
rapid ester hydrolysis in blood.
-

• morphine and meperidine, significant accumulation of1 active


Emetabolites Pelidin
-

I
• accumulation of morphine (morphine-6-glucuronide) and meperidine
(normeperidine) metabolites has been reported to - prolong respiratory
E
depression in patients with kidney failure, and increased levels of
normeperidine has been associated with seizures.
-

• The pharmacokinetics of the most commonly used opioid agonist–


Anticholinergic Agents

• In doses used for premedication, atropine and glycopyrrolate can
generally be used safely in patients with renal impairment.
en
Other drug -
(bronbokossmili
I
Rainindi -
M

->

X• All H2 -receptor blockers are dependent on renal excretion, and their


-

dose must be reduced for patients with renal insufficiency.


-

-• Proton pump inhibitor dosage does not need to be reduced for patients
e

meie
- >

with renal insufficiency.


• Metoclopramide is partly excreted unchanged in urine and will
X- accumulate in kidney
-
failure. Exhapraidal sale effect.
W• Although up to 50% of dolasetron is excreted in urine, no dosage
-

adjustments are recommended for any of the 5-HT 3 blockers in


-

patients with renal insufficiency. Ondashe


-

Gemischen.
INHALATION AGENTS
• Volatile Agents Volatile anesthetic agents are ideal for patients with
=

kidney disease because of lack of dependence on the kidneys for


elimination, ability to control blood pressure, and minimal direct
-

effects on renal blood flow


>
• accelerated induction and emergence may be seen in severely anemic
patients (hemoglobin<5 gr/dL)
-

• avoid sevoflurane (with <2L gas flow)


-
->
Compound A.
Nitrous Oxide
0
• limit the use of nitrous oxide to 50% concentration in severely anemic
patients with end-stage renal disease in an attempt to increase arterial
-

oxygen content.

e. s
NO 02.
40? 603

it mis liter liter.

i
Om

&ulb
O

3
MUSCLE RELAXANTS
e • Succinylcholine can be safely used in patients with kidney failure, in
El
the absence of hyperkalemia at the time of induction.
~ Dand atracurium
• Cisatracurium -are degraded by plasma ester hydrolysis
and nonenzymatic Hofmann elimination. plasma.
- >

Iis primarily hepatic, but up to 20% of the


• Elimination of vecuronium -

drug is eliminated in urine. The effects of large doses of vecuronium


-

(>0.1 mg/kg) are only modestly prolonged in patients with renal


E.primarily undergoes hepatic elimination,
insufficiency. Rocuronium
but prolongation in patients with severe kidney disease has been
reported.
• Curare (d-Tubocurarine) Elimination of d-tubocurarine is dependent on
both renal and biliary excretion; 40–60% of a dose of curare is
-

normally excreted in urine. Increasingly prolonged effects are


-

observed following repeated doses in patients with renal insufficiency


•1Pancuronium
-is primarily dependent on renal excretion (60–90%).
-

Although pancuronium is metabolized by the liver into less active


intermediates, its elimination half-life is still primarily dependent on
renal excretion (60–80%).
• Reversal Agents Renal excretion is the principal route of elimination
-

for edrophonium, ! neostigmine, and pyridostigmine. Th e half-lives of


these agents in patients with renal impairment are thereforeI prolongedI
-

at least as much as any of the above relaxants, and problems with


-

inadequate reversal of neuromuscular blockade are usually related to


other factors
Management Priorities in Patients with Acute
Kidney Failure
renal
Is

• Search for and correct prerenal and postrenal causes.


• Review medications and patient-administered substances and stop any
potential -
nephrotoxins.
&
• Administer medications in doses appropriate for their clearance.
=

PrelodA farce, yells
↑volu
wohne
nonmetal email
• Optimize cardiac outputMR and renalvouenkeheiling
blood flow. -

- - > xstoms aftertoddSu- abhipulis


=
• Monitor fluid intake and output; measure body weight daily.
• Search for and treat =
acute complications (hyperkalemia,
hyponatremia, acidosis, hyperphosphatemia, pulmonary edema).
-

- - -
-

• Search for and aggressively treat infections and sepsis.


-
-

• Provide early nutritional support.


-
we
HIPERTENSI PADA
BEDAH SARAF
KELOMPOK 3
MUHAMAD PATHU ROHMAN (201FI03001)
MUHAMMAD ICHSAN ARDHANA (201FI03008)
VIRA YUNIAR IRAWAN PUTRI (201FI03013)
APRILLYAN HARSY PUTRA (201FI03017)
MUHAMAD RAZAD (201FI03019)
ALYA SHILVANI (201FI03025)
SAlSABILA FITRA NURIL ZAKIA (201FI03031)
WINDY DWI WIRANTI (201FI03041)
ALDIVA RAMADHANI SAPARI (201FI03044)
Cedera sistem
saraf pusat (SSP)
berupa stroke iskemik akut, perdarahan intraserebral, perdarahan
subaraknoid, cedera otak traumatik dan bentuk cedera lainnya
dapat menjadi faktor presipitasi terhadap terjadinya kondisi
hipertensi krisis dan berperan pada terjadinya gagal organ akhir.
Peningkatan tekanan darah yang terlalu ekstrem perioperatif
akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasien-pasien
cedera SSP.Hipertensi yang tidak terkontrol sering dijumpai
setelah cedera otak. Mekanisme mengenai respon fisiologis dan
patologis ini berhubungan dengan respons autoregulasi yang
bertujuan untuk mempertahankan aliran darah otak di area yang
terkena cedera.
. Pembedahan saraf pusat
memerlukan tehnik penanganan
anestesi yang khusus yang bertujuan
Prosedur bedah untuk memproteksi otak
darikerusakan yang lebih jauh. Tujuan
saraf merupakan anestesi pada bedah saraf adalah
pembedahan untuk memudahkan pemeriksaan
neurologi dini. Pemulihan yang segera
elektif dan dari neuroanestesi dan ekstubasi dini
sangat diinginkan pada semua kasus
emergensi pada karena memungkinkan pemantauan
sistem saraf klinis yang merupakan hal pentimg
untuk mendeteksi kompliksai pasca
pusat bedah
Pertimbangan
Anestesi Pada
Penderita Hipertensi

-Premedikasi dapat menurunkan kecemasan


Pemeliharaan Anestesi
preoperatif penderita hipertensi.
-Kraniotomi frontal, temporal, dan Anestesi dapat dipertahankan dengan
parietooccipital dilakukan dalam posisi anestesi inhalasi, (TIVA), atau
terlentang. Kepala ditinggikan 15 ° sampai 30° kombinasi hipnotis opioid dan
untuk memfasilitasi drainase vena dan CSF. intravena (paling sering propofol)
-Induksi anestesia dan intubasi endotrakea dengan agen inhalasi dosis rendah.
sering menimbulkan goncangan hemodinamik Tujuan pencapaian hemodinamik yang
pada pasien hipertensi. sering terjadi hipotensi diinginkan selama pemeliharaan
namun saat intubasi sering menimbulkan
anestesia adalah meminimalkan
hipertensi
terjadinya fluktuasi TD yang terlalu
lebar
PERSIAPAN
1.dilakukan pemasangan (OPA), Breathing
dengan oksigenasi 4 L/menit menggunakan
nasal canul.
2.pemeriksaan nervus kranialis dan
pemeriksaan laboratorium.
3. Lalu diberikan injeksi Anti Tetanus Serum
(ATS) 1500 IU, dan dengan rencana akan
dilakukan tindakan operatif kraniotomi dari
bagian bedah saraf
4.Diberikan terapi dari bagian saraf dengan
pemberian mannitol bertahap 200ml-150ml-
150ml, dexamethasone 5mg/6jam, ranitidine
50mg/8jam, ceftriaxone 1g/12jam.
5. asam tranexamat 500mg/8jam. Dilakukan
monitoring serta evaluasi tanda-tanda vital
dan progresifitas dari keberhasilan terapi.

ilustrasi kasus
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 40 Tahun
Diagnosis : Otitis Media
Eksudatif Dextra dengan riwayat
Hipertensi

mengalami kecelakaan tunggal, dibawa oleh keluarga


dengan kondisi tidak sadar dan riwayat muntah sebanyak
4 kali setelah kecelakaan umum tampak sakit berat,
kesadaran delirium dengan GCS E3V1M3, tekanan darah
90/60 mmHg, frekuensi nadi 64 x/menit, frekuensi
pernafasan 22 x/menit, berat badan 60 kg dan tinggi
badan 172 cm. Pada kepala didapatkan luka lecet dan
memar pada regio frontalis, pemeriksaan lainnya;
konjungtiva anemis (+/+), refleks cahaya (+/+) dan
pemeriksaan secara umum lainnya dalam batas normal.
lanjutan kasus

Pemeriksaan laboratorium didapatkan


hasil hemoglobin 10,4 g/dL, leukosit
8.700/mm3 , trombosit 188.000/mm3 ,
waktu pembekuan 11 menit, waktu
perdarahan 2 menit, SGOT 35, SGPT 26,
ureum 22 mg/dl, kreatinin 0,97 mg/dl,
natrium 134 mMol/l, kalium 4,1 mMol/L,
gula darah sewaktu 124 mg/dl.
Pemeriksaan CTScan didapatkan
perdarahan intracerebral disertai
perdarahan subdural pada regio parietal
dan edema cerebri yang ditandai
dengan midline shift ke kiri.
anestesi
Pra Anestesia : dilakukan pemasangan (OPA), Breathing dengan
oksigenasi 4 L/mnt. menggunakan nasal canul.diberikan injeksi Anti
Tetanus Serum (ATS) 1500 IU, pemberian mannitol bertahap 200ml-150ml-
150ml, dexamethasone 5mg/6jam, ranitidine 50mg/8jam, ceftriaxone
1g/12jam, dan asam tranexamat 500mg/8jam.
Anestesia Preoperatif : Pasien dengan derajat III menurut the American
(ASA) dan skor malampati tidak dapat dinilai. Perhitungan Estimate Blood
Volume (EBV)= 70ml x 70 kg= 4.900 ml
Anestesia Intraoperatif :dilakukan intubasi dengan pemilihan endotrakeal
non-kingking ukuran 7,5 mm. menggunakan anestesi dengan: fentanyl 100
mcg, propofol 70 mg, fasilitas intubasi atracurium 25 mg. pemeliharaan
anestesi menggunakan O2, N2O dan sevoflurane.
Anestesi Postoperatif :pemberian cairan ringer lactat, ceftriaxone
2x1000mg, ranitidine 50mg/12jam, asam tranexamat 500mg/8jam,
ketorolac 300mg/12jam, citicoline 250mg/12jam, dan mannitol 125cc/8jam

Kes
imp
ulan
Tatalaksana perioperatif, termasuk dalam
pemilihan agen anastesi yang digunakan sangat
berpengaruh pada tindakan operatif bedah saraf,
termasuk dalam mengontrol tekanan intracranial
selama tindakan evakuasi perdarahan dilakukan.
Pemilihan fentanyl, propofol, atracurium,
sevoflurane dan penggunaan N2O sudah tepat
pada pasien dengan cedera kepala terkait dengan
pertimbangan efek masing-masing obat.

Anestesi Dengan Pasien Hipertensi Pada Kasus Obgyn

Oleh :
Arya Aditiya (201FI03002)
Dona Ayu Lestari (201FI03003)
Vina Alifia Yunita (201FI03006)
M. Taufiqurrohman .S. (201FI03010
Hasby Riesandy (201FI03011)
Fenisa Julia Putri Rambulangi (201FI03012)
M. Rafsya Julwandika (201FI03014)
M. Fatwa Ramadhan (201FI03032)
Aldhi Rahmat Wijaya (201FI03042)

BHAKTI KENCANA UNIVERSITY


Tahun ajaran 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Anestesi Dengan Pasien Hipertensi Pada
Kasus Obgyn" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Asuhan Keperawatan Anestesi
Dengan Penyakit Penyerta. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang
Anestesi Dengan Pasien Hipertensi Pada Kasus Obgyn.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Wahyu selaku guru Mata Pelajaran
Asuhan Keperawatan Pembedahan Khusus. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 10 April 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. 2


DAFTAR ISI................................................................................................................................................ 3
BAB I ............................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 4
1. Latar Belakang ................................................................................................................................ 4
2. TUJUAN .......................................................................................................................................... 5
BAB II .......................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN .......................................................................................................................................... 6
1. Anestesi Dengan Pasien Hipertensi Pada Kasus Obgyn .............................................................. 6
a) Pengertian .................................................................................................................................... 6
b) Etiologi ......................................................................................................................................... 6
c) Patologi......................................................................................................................................... 7
d) Perubahan Anatomi Patologik................................................................................................... 7
BAB III......................................................................................................................................................... 9
MANEJEMEN ANESTESI PADA PASIEN OBGYN DENGAN HIPERTENSI ................................ 9
a) Manajemen Perioperatif Anestesia PreOperatif .......................................................................... 9
b) Manajemen Intra Operatif ........................................................................................................... 10
c) Manajemen Post Operatif ............................................................................................................ 11
BAB IIII ..................................................................................................................................................... 12
PENUTUP .................................................................................................................................................. 12
1. Kesimpulan .................................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSAKA .................................................................................................................................. 13
BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Anestesi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang
bagaimana tatalaksana mematikan rasa baik itu rasa nyeri, maupun rasa
ketidaknyamanan. Anestesi dapat diberikan dalam berbagai bentuk, seperti salep,
semprotan, suntikan, atau gas yang harus dihirup oleh pasien. Tindakan anestesi meliputi
komponen-komponen yang sering disebut dengan “trias anesthesia” yaitu hipnotik,
analgesia, dan relaksasi (Mangku & Senapathi, 2010).
Anestesi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu anestesi umum atau general, anestesi
epidural, dan anestesi lokal. Teknik tersebut dibagi berdasarkan pada pertimbangan jenis,
lamanya waktu operasi, sifat urgensi operasi, lokasi operasi, dan idikasi dilaksanakannya
operasi. Pada pasien dengan operasi besar dan memerlukaan waktu yang lebih lama,
biasanya mengunakan jenis operasi general (umum) yang dapat menghilangkan rasa nyeri
bersifat sementara. (Bulton & Colin 2012).

Perubahan anatomi maupun fisiologi yang signifikan terjadi selama proses


kehamilan. Perubahan-perubahan ini penting diperhatikan terutama pada pasien hamil
dengan kegawatan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi yang memerlukan resusitasi
segera. Selain itu, berbagai komplikasi terkait kehamilan seringkali memerlukan
intervensi bedah untuk terminasi kehamilan, salah satu komplikasi kehamilan berupa
eklampsia.

Eklampsia merupakan kegawatdaruratan obstetri yang mengancam jiwa.


Terminasi kehamilan merupakan terapi definitif pada pasien eklampsia. Pada pasien
hamil, terjadi perubahan anatomi maupun fisiologi yang signifikan, sehingga dalam
tindakan resusitasi perlu menyesuaikan dengan perubahan ini, karena akan menyebabkan
berbagai penyulit tindakan resusitasi. Penyulit dapat terjadi pada jalan napas, pernapasan,
maupun sirkulasi. Dikatakan eklamsia apabila sudah mengenai sistem saraf pusat yang
menyebabkan kejang pada wanita dengan preeklamsia. Preeklampsia dan eklampsia
merupakan gangguan hipertensi dalam kehamilan pada usia kehamilan ≥20 minggu,
termasuk salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada ibu dan janin.
Preeklampsia dan eklampsia merupakan gangguan hipertensi dalam kehamilan, termasuk
salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada ibu dan janin. Satu-satunya
terapi definitif berupa terminasi kehamilan, dapat berupa persalinan normal maupun
dengan sectio cesaria

2. TUJUAN
1. Bagaimana manajemen Anestesi Dengan Pasien Hipertensi Pada Kasus Obgyn
2. Mempelajari pengertian, etiologi maupun macam-macam tentang Anestesi Dengan
Pasien Hipertensi Pada Kasus Obgyn
BAB II

PEMBAHASAN
1. Anestesi Dengan Pasien Hipertensi Pada Kasus Obgyn
a) Pengertian
Preeklamsia adalah sindrom yang dijelaskan dengan adanya hipertensi dan
proteinuria pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu, yang disertai dengan beberapa
tanda dan gejala seperti edema, gangguan visus, nyeri kepala dan nyeri di daerah
epigastrium. Dikatakan eklamsia apabila sudah mengenai sistem saraf pusat yang
menyebabkan kejang pada wanita dengan preeklamsia, dimana tidak ada penyebab lain
dari kejang itu sendiri.
b) Etiologi
Penyebab terjadinya preeklamsia dan eklamsia sampai sekarang belum diketahui
dengan pasti. Terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan penyebab penyakit
tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Teori
yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal- hal sebagai berikut :
1) sebab bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda,
hidramnion dan mola hidatidosa;
2) sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan;
3) sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin
dalam uterus;
4) sebab jarangnya terjadi eklamsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya; dan
5) sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang serta koma.
c) Patologi
Preeklamsia ringan jarang sekali menyebabkan kematian ibu. Oleh karena itu,
sebagian besar pemeriksaan anatomi patologik berasal dari penderita eklampsia yang
meninggal. Pada penyelidikan akhir-akhir ini dengan biopsy hati dan ginjal ternyata
bahwa perubahan anatomi patologik pada alat-alat itu pada preeklamsia tidak banyak
berbeda daripada yang ditemukan pada eklamsia. Perlu dikemukakan disini bahwa tidak
ada perubahan histopatologik yang khas pada preeklamsia dan eklamsia. Perdarahan,
infark, nekrosis dan thrombosis pembuluh darah kecil pada penyakit ini dapat ditemukan
dalam berbagai alat tubuh. Perubahan tersebut mungkin sekali disebabkan oleh
vasospasmus arteriola. Penimbunan fibrin dalam pembuluh darah merupakan faktor
penting juga dalam pathogenesis kelainan-kelainan tersebut.
d) Perubahan Anatomi Patologik
1. Plasenta.
Pada preeklamsia terdapat spasmus arteriola spiralis desidua dengan akibat
menurunnya aliran darah ke plasenta. Perubahan plasenta normal sebagai akibat
tuanya kehamilan, seperti menipisnya sinsitium, menebalnya dinding pembuluh
darah dalam villi karena vibrosis, dan konversi mesoderm menjadi jaringan fibrotic,
dipercepat prosesnya pada preeklamsia dan hipertensi. Pada preeklamsia yang jelas
adalah atrofi sinsitium, sedangkan pada hipertensi menahun terdapat terutama
perubahan pada pembuluh darah dan stroma. Arteria spiralis mengalami konstriksi
dan penyempitan, akibat aterosis akut disertai necrotizing arteriopathy.
2. Ginjal.
Alat ini besarnya normal atau dapat membengkak. Pada simpai ginjal dan pada
pemotonngan mungkin ditemukan pendarahan-pendarahan kecil.
Glomerulus tampak sedikit membengkak dengan perubahan-perubahan sebagai
berikut :
• sel-sel di antara kapiler bertambah; tampak dengan mikroskop biasa bahwa
membrana basalis dinding kapiler glomerulus seolah-olah terbelah, tetapi
ternyata keadaan tersebut dengan mikroskop electron disebabkan oleh
bertambahnya matriks mesangial; sel-sel kapiler membengkak dan lumen
menyempit atau tidak ada;
• penimbunan zat protein berupa serabut ditemukan dalam kapsel Bowman.
Perubahan-perubahan tersebutlah tampaknya yang menyebabkan proteinuria
dan mungkin sekali ada hubungannya dengan retensi garam dan air. Sesudah
persalinan berakhir sebagian besar perubahan yang digambarkan menghilang.
3. Hati
Alat ini besarnya normal, pada permukaan dan pembelahan tampak tempat-tempat
pendarahan yang tidak teratur. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat ditemukan
pendarahan dan nekrosis pada tepi lobulus, disertai thrombosis pada pembuluh darah
kecil, terutama di sekitar vena porta. Walaupun lokasi umumnya adalah periportal,
namun perubahan tersebut dapat ditemukan di tempat-tempat lain. Dalam pada itu,
rupanya tidak ada hubungan langsung antara berat penyakit dan luas perubahan pada
hati.
4. Otak
Pada penyakit yang belum lanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada
korteks serebri; pada keadaan lanjut dapat ditemukan pendarahan.
5. Retina
Kelainan yang sering ditemukan pada retina ialah spasmus pada arteriola-arteriola
terutama yang dekat pada diskus optikus. Vena tampak lekuk pada persimpangan
dengan arteriola. Dapat terlihat edema pada diskus optikus dan retina.
Ablasio retina juga dapat terjadi, tetapi komplikasi ini prognosisnya baik, karena
retina akan melekat lagi beberapa minggu postpartum. Perdarahan dan eksudat jarang
ditemukan pada preeklamsia biasanya kelainan tersebut menunjukkan adanya
hipertensi menahun.
6. Paru-Paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena
bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses paru-
paru.
7. Jantung
Pada sebagian besar penderita yang mati karena eklampsia jantung biasanya
mengalami perubahan degenerative pada miokardium. Sering ditemukan degenerasi
lemak dan cloudy swelling serta nekrosis dan perdarahan.
8. Kelenjar Adrenal
Kelenjar adrenal dapat menunjukkan kelainan berupa perdarahan dan nekrosis
dalam berbagai tingkat.
BAB III

MANEJEMEN ANESTESI PADA PASIEN OBGYN DENGAN HIPERTENSI


a) Manajemen Perioperatif Anestesia PreOperatif
Selain pemeriksaan rutin berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang maka secara khusus pada pre operatif pasien dengan preeklamsia harus
dilakukan penilaian yang cermat dan seksama terhadap keseimbangan cairan tubuh,
status hemodinamik, koagulasi, fungsi ginjal, fungsi respirasi, fungsi hepar, status fetus,
dan pemberian obat sebelumnya. Keseimbangan cairan diukur melalui menghitung balans
cairan, pemasangan kateter urin dan berat badan pasien. Maksud dari hal ini adalah
menyediakan volume darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh serta untuk
menyediakan kompensasi terhadap kehilangan yang terjadi, menjaga output urin yang
cukup, sebagai pengangkut dan penyalur obat-obat yang dimasukkan ke dalam tubuh,
serta mengkompensasi reduksi preload dan afterload yang terjadi saat pelaksanaan
metode anestesia regional yang mungkin dipilih. Namun harus dipahami bahwa
sebaiknya hati- hati untuk memberikan cairan, harus dikontrol secara cermat kebutuhan
cairan yang diperlukan karena cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru
ataupun serebral.
Status hemodinamik pasien dipantau melalui tekanan darah yang dilakukan pemeriksaan
secara manual dan melalui pemasangan monitor. Jika monitor sulit dipasang dan hasilnya
meragukan, maka kateter arteri radialis dapat dipasang untuk mengukur tekanan darah
pasien.
1) Sistem koagulasi harus dipantau melalui pemeriksaan Bleeding Time
(BT), Platelet Count, Partial Prothrombin Time (PPT), dan Activated Partial
Thromboplastin Time (APTT). BT tidak secara spesifik mengukur fungsi platelet
dan dapat menjadi abnormal apabila terdapat sejumlah penyakit pembekuan darah
seperti defisiensi faktor pembekuan. Platelet Count paling sering diperiksa pada
pasien dengan hipertensi pada kehamilan. PPT dan APTT jarang diperiksa karena
Disseminated Coagulation Disorder (DIC) cukup jarang terjadi dan terjadi hanya bila
terjadi abrupsi plasenta, emboli cairan amnion, atau sepsis. PPT dan APTT akan
memanjang pada clinical coagulopathy atau disfungsi hepar yang signifikan dimana
terdapat resiko perdarahan pada daerah yang luka sehingga lebih bijak untuk
menghindari tindakan anestesia regional baik spinal maupun epidural.
2) Fungsi ginjal dipantau melalui pemeriksaan fungsi ginjal berupa Blood
Urea Nitrogen (BUN) dan Serum Creatinine (SC) serta melalui monitoring dari
serial urine output. Kadar SC > 1 mg/dL mengindikasikan substantial renal
involvment. Kadar asam urat sebesar lebih dari atau sama dengan 7,5 mg/dL
mengindikasikan severe renal compromise.
3) Fungsi hepar dipantau melalui pemeriksaan klinis adanya nyeri
epigastrium dan subcostal, serta tes fungsi hepar.
4) Fungsi respirasi harus diingat bahwa kemungkinan terjadinya edema
saluran napas dapat terjadi yang ditandai dengan gejala berupa stridor atau dyspnea
yang akan menyulitkan intubasi sehingga pemilihan anestesi dengan intubasi adalah
hal yang dihindari. Adanya edema pulmonum dapat pula dilihat melalui rendahnya
tekanan O2 (PO2) atau saturasi O2. Penggunaan obat anestesi sebelumnya yang
harus dipantau adalah penggunaan magnesium sulfat (MgSO4).
b) Manajemen Intra Operatif
Pelaksanaan sectio caesaria pada pasien dengan preeklamsia dapat dilakukan
dengan anestesi umum maupun anestesi regional epidural ataupun spinal. Operasi dapat
bersifat urgent atau non urgent. Terdapat beberapa pertimbangan dalam pemilihan teknik
anestesia yang dilakukan. Pemilihan anestesia regional daripada anestesia umum dengan
mempertimbangkan mortalitas maternal yang lebih tinggi pada anestesia umum yang
disebabkan antara lain kesulitan intubasi, kesulitan ventilasi, atau resiko aspirasi
pneumonia, terjadi juga peningkatan tekanan darah sistemik yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah intrakranial. Hal ini akan meningkatkan risiko terjadinya
kejadian serebrovaskuler. Risiko lainnya adalah peningkatan konsumsi oksigen dari
miokard, aritmia jantung, dan edema pulmonum. Keuntungan dari anestesia regional
adalah paparan yang rendah terhadap fetus oleh obat-obatan yang potensial bersifat
toksik, kecilnya resiko aspirasi pneumonia pada pasien, ibu yang sadar pada saat bayi
lahir. Pemilihan blok subarachnoid atau epidural sepenuhnya merupakan pilihan dan
keahlian dari dokter. Blok subarachnoid mudah untuk dilakukan, onset lebih cepat dan
dapat diprediksi, menghasilkan blok yang lebih komplit, tidak terdapat resiko terjadinya
dan tidak memiliki potensi untuk terjadinya toksisitas obat yang serius.
• Pada operasi dengan anestesi epidural, mean arterial pressure (MAP) akan sedikit
menurun saat induksi. Gangguan hemodinamik dan stres neuroendocrine dapat
stabil atau bahkan menurun. Pemilihan teknik epidural adalah bila tidak terdapat
kondisi berupa koagulopati, abrupsi plasenta, fetal distress yang berat, atau
kesulitan untuk melakukan anestesi umum melalui intubasi yang tidak
terantisipasi sebelumnya. Selalu monitor tekanan darah saat melakukan blok,
penurunan tekanan darah sebesar 20-30 mmHg pada sistolik atau 10-15 mmHg
pada diastolik merupakan hal yang cukup sering terjadi dan cukup dilakukan
observasi. Namun bila terjadi penurunan lebih dari nilai tersebut dan bersifat
persisten, dapat diberikan ephedrine intravena sebesar 5-10 mg.
• Penggunaan spinal anestesia cukup aman untuk dilakukan pada pasien dengan
preeklamsia ringan. Untuk mengatasi hipotensi maka dapat dilakukan pemberian
10-15 mL/kgBB kristaloid, koloid, atau 500 cc albumin 5%. Untuk blok dapat
digunakan Bupivacaine 0,5% 9-12 mg. Pada pasien dengan koagulopati lebih
dipilih untuk digunakan teknik spinal anestesia karena tidak perlu memakai
kateter yang memiliki risiko melukai vena epidural dan jarum yang digunakan
juga lebih kecil. Sedangkan pada pasien dengan preeklamsia berat terdapat
keuntungan dan kerugian dari penggunaan anestesia spinal. Keuntungannya
adalah penghindaran penggunaan anestesi umum akan menurunkan risiko
peningkatan tekanan darah, onsetnya yang cepat, resiko yang kecil dari trauma
epidural. Sedangkan kerugiannya adalah dapat menyebabkan hipotensi yang yang
cepat terjadi dan berat yang disebabkan karena dilakukannya blok simpatis dan
ditambah lagi pada pasien dengan preeklamsia berat terjadi constricted
intravascular volume, hipotensi yang terjadi tidak mampu ditoleransi oleh fetus,
serta hipotensi ini tidak dapat dicegah, apakah dengan ekspansi volume atau
pemberian ephedrine secara propilaksi. Pada keadaan operasi harus dilakukan
secara urgent, maka anestesia spinal merupakan pilihan karena keuntungan yang
lebih besar daripada kerugiannya. Dapat diberikan ephedrine 5 mg segera setelah
injeksi Bupivacaine intratekal. Operasi juga lebih baik untuk dilakukan secara
cepat dan sebelumnya pasien lebih baik diberikan MgSO4.
• Penggunaan anestesi umum memiliki risiko yang cukup besar berupa peningkatan
tekanan darah sistemik yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah
intrakranial. Hal ini akan meningkatkan risiko terjadinya kejadian
serebrovaskuler. Risiko lainnya adalah peningkatan konsumsi oksigen dari
miokard, aritmia jantung, dan edema pulmonum. Selain itu juga dapat terjadi
penurunan uterine blood flow. Banyak usaha yang digunakan untuk mengatasi hal
ini. Antara lain adalah dengan pemberian nitrogliserin dengan titrasi yang
bermaksud untuk menurunkan MAP sebelum induksi dengan anestesi umum.
Pilihan lain yang dapat digunakan adalah dengan memberikan sodium
nitroprusside, trimetophan, labetolol, fentanyl dan dropeidol. Tetapi pada
penderita dengan kelainan koagulopati maka teknik anestesi umum harus mutlak
dilakukan.
c) Manajemen Post Operatif
Setelah operasi pasien dirawat di Post Anestesia Care Unit (PACU) atau Recovery Room
(RR) selama 1-2 jam dan selanjutnya dilakukan monitoring selama 24 jam dengan prinsip
penanganan post partum di HCU berupa :
• Pemberian analgesia dengan teknik pemberian opioid secara epidural atau
intratekal. Dapat juga diberikan teknik drip analgetika dengan kombinasi opioid
dan NSAIDs.
• Monitoring balans cairan selama 24 jam atau sampai diuresis meningkat. Intake
cairan sebanyak 75 mL/jam diberikan sampai pasien sudah dapat melakukan
mobilisasi.
• Pemberian MgSO4 dilanjutkan sampai 24 jam post operasi untuk mencegah kejang
post partum
• Kontrol hemodinamik dengan pemberian agen hipertensi.
BAB IIII

PENUTUP
1. Kesimpulan
Preeklamsia adalah sindrom yang dijelaskan dengan adanya hipertensi dan
proteinuria pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu, yang disertai dengan beberapa
tanda dan gejala seperti edema, gangguan visus, nyeri kepala dan nyeri di daerah
epigastrium
Pada manajemen anestesi juga ada banyak hal yang harus di perhatikan oleh
dokter bedah maupun oleh dokter anestesi pada pasien obgyn yang memiliki komplikasi
hipertensi dari mulai peri operatif, intra operatif, dan pasca operatif.
DAFTAR PUSAKA
Binici, Orhan, and Evren B. Anesthesia for Cesarean Section in Parturients with Abnormal
Placentation: A Retrospective Study. Cureus:2019;11(6)
Jayakusuma, AAN. Manajemen risiko pada preeklampsia. Denpasar: Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan, Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS. Sanglah. 2004. pp.15-26

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. (2002), Peripheral Nerve Blocks. Dalam : Clinical
Anesthesiology-third edition, Lange Medical Books/ McGraw-Hill Companies,Inc : Amerika
Serikat.
MAKALAH
ANESTESI DENGAN PASIEN HIPERTENSI PADA KASUS OBGYN

Kelompok 1

191FI03037 Muhammad Robi Abiyyu


201FI03046 Farah Aulia Ghufran
201FI03047 Cici Amelia
201FI03048 Anisa Ramadani
201FI03049 Widia Pangestika
201FI03050 Aznan Khair
201FI03051 Asmarini
201FI03052 Rivansah Maulana Hambali

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
2023
PENDAHULUAN

Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab utama dari kematian ibu
hamil, yang diperkirakan sekitar 5.000 wanita hamil meninggal oleh karena preeklamsia setiap
tahunnnya di dunia. Penyakit hipertensi dalam kehamilan menduduki peringkat ketiga tertinggi
yang menyebabkan kematian ibu hamil di United States, setelah tromboembolisme yang
menduduki peringkat pertama dan perdarahan pada peringkat kedua. Sedangkan di United
Kingdom, penyakit hipertensi dalam kehamilan menduduki peringkat kedua yang menyebabkan
kematian ibu hamil setelah tromboembolisme.

Preeklamsia adalam sindrom yang dijelaskan dengan adanya hipertensi dan proteinuria
pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu, yang disertai dengan beberapa tanda dan gejala
seperti edema, gangguan visus, nyeri kepala dan nyeri di daerah epigastrium. Dikatakan eklamsia
apabila sudah mengenai sistem saraf pusat yang menyebabkan kejang pada wanita dengan
preeklamsia. Sedangkan dikatan HELLP syndrome apabila wanita dengan preeklamsia disertai
dengan hemolysis, tingginya enzim hati dan jumlah platelet yang rendah walaupun hubungan
antara preeklamsia dengan HELLP syndrome tidak begitu jelas. Proteinuria mungkin tidak selalu
tampak pada pasien dengan HELLP syndrome.

Hipertensi kronik terjadi pada 5% wanita hamil yang didefenisikan dengan hipertensi
yang muncul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau tampak sebelum kehamilan. Apabila
berkembang setelah masa kehamilan, hipertensi kronik mungkin sulit untuk dibedakan dengan
gestasional hipertensi dan preeklamsia. Tetapi jika hiperyensi terus menetap setelah 12 minggu
postpartum, dapat diklasifikasin sebagai hipertensi kronik. Wanita hamil dengan preeklamsia
perlu mendapatkan perhatian khusus baik selama kehamilan maupun pada saat persalinan. Pada
dasarnya penanganan preeklamsia terdiri atas pengobatan medic dan penanganan obsteri.
Manajemen perioperative perlu dipikirkan dan direncanakan oleh seorang anestesiologi dalam
menangani penderita dengan preeklamsia yang disertai dengan eklamsia dan HELLP syndrome.
Manajemen perioperative pada pasien preeklamsia dengan eklamsia dan HELLP syndrome harus
dilakukan dengan seksama dan berhati-hati baik pada saat preanastesi, anestesi monitoring
intraoperative dan pada saat pasca anestesi dan pasca operatif
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFENISI
Preeklamsia adalah sindrom yang dijelaskan dengan adanya hipertensi dan
proteinuria pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu, yang disertai dengan beberapa
tanda dan gejala seperti edema, gangguan visus, nyeri kepala dan nyeri di daerah
epigastrium. Dikatakan eklamsia apabila sudah mengenai sistem saraf pusat yang
menyebabkan kejang pada wanita dengan preeklamsia, dimana tidak ada penyebab lain
dari kejang itu sendiri.
Sedangkan dikatakan HELLP syndrome apabila wanita dengan preeklamsia
disertai dengan hemolisis, enzim hati yang meningkat dan jumlah platelet yang rendah
walaupun hubungan antara preeklamsia dengan HELLP syndrome tidak begitu jelas.
Proteinuria mungkin tidak selalu tampak pada pasien dengan HELLP syndrome

2. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya preeklamsia dan eklamsia sampai sekarang belum diketahui
dengan pasti. Terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan penyebab penyakit
tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan, teori
yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal sebagai berikut :
1) sebab bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda, hidramnion
dan molahidatidosa
2) sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan
3) sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam
uterus
4) sebab jarangnya terjadi eklamsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya ; dan
5) sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang serta koma

3. MANAJEMEN PERIOPERATIF ANESTESIA


a. Evalauasi Pra Operatif
Selain pemeriksaan rutin berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang maka secara khusus pada pre operatif pasien dengan
preeklamsia harus dilakukan penilaian yang cermat dan seksama terhadap
keseimbangan cairan tubuh, status hemodinamik, koagulasi, fungsi ginjal, fungsi
respirasi, fungsi hepar, status fetus, dan pemberian obat sebelumnya.
Keseimbangan cairan diukur melalui menghitung balance cairan,
pemasangan kateter uring dan berat badan pasien. maksut dari hal ini adalah
menyediakan volume darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh serta
untuk menyediakan kompensiasi terhadap kehilangan yang terjadi, menjaga
output urin yang cukup, sebagai pengangkut dan penyalur obat-obat yang
dimasukkan kedalam tubuh, serta mengkompensasi reduksi preload dan afterload
yang terjadi saat pelaksanaan metode anestesi regional yang mungkin dipilih.
Namun harus dipahami bahwa sebaiknya hati-hati untuk memberikan cairan,
harus dikontrol secara cermat kebutuhan cairan yang diperlukan karena cairan
yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru ataupun serebral.
Status hemodinamik pasien dipantau melalui tekanan darahyang dilakukan
pemeriksaan secara manual dan melalui pemasangan monitor. Jika monitor sulit
dipasang dan hasilnya meragukan, maka kateter arteri radialis dapat dipasangan
untuk mengukur tekanan darah pasien.
Sistem koagulasi harus dipantau melalui pemeriksaan Bleeding Time
(BT), Platelet Count, Partial Prothrombin Time (PPT), dan activated partial
Thromboplastin Time (APTT). BT tidak secara spesifik mengukur fungsi platelet
dan dapat menjadi abnormal apabila terdapat sejumlah penyakit pembekuan darah
seperti defesiensi faktor pembekuan. Platelet count paling sering diperiksa pada
pasien dengan hipertensi pada kehamilan. Tidak terdapat berapa jumlah platelet
yang memerlukan transfuse platelet, jika tidak terdapat clinical bleeding, banyak
ahli tidak akan memberikan transfusi platelet kecuali jika platelet count menjadi
kurang dari 30-40.000.
PPT dan APTT jarang diperiksa karena Disseminated coagulation disorder
(DIC) cukup jarang terjadi dan terjadi hanya bila terjadi abrupsi plasenta, emboli
cairan amnion, atau sepsis. DIC dapat dimonitor dengan platelet count dan fibrin
degredation product. PPT dan APTT akan memanjang pada clinical coagulopathy
atau disfungsi hepar yang signifikan dimana terdapat resiko perdarahan pada
daerah yang luka sehingga lebih bijak untuk menghindari tindakan anesthesia
regional baik spinal maupun epidural.
Fungsi ginjal dipantau melalui pemeriksaan fungsi ginjal berupa Blood
Urea Nitrogen (BUN) dan Serum Creatinin (SC) serta melalui monitoring dari
serial urine output. Kadar SC > 1 mg/dL mengindikasikan substantial renal
involvement. Kadar asam urat sebesar lebih dari atau sama dengan 7,5 mg/dL
mengindikasikan severe renal compromise.
Fungsi hepar dipantau melalui pemeriksaan klinis adanya nyeri
epigastrium dan subcostal, serta tes fungsi hepar. Pada fungsi respirasi harus
diingat bahwa kemungkinan terjadinya edema saluran napas dapat terjadi yang
ditandai dengan gejala berupa stridor atau dyspnea yang akan menyulitkan
intubasu sehingga pemilihan anestesi dengan intubasi adalah hal yang dihindari.
Adanya edema pulmonom dapat pula dilihat melalui rendahnya tekanan O2 (PO2)
atau saturasi O2.
Penggunaan obat anestesi sebelumnya yang harus dipantau adalah
penggunaan magnesium sulfat (MgSO4). Pemberian magnesium sulfat pada
bagian obsteri dapat diberikan dengan cara :
1) Dosis awal MgSO4 20%, 4 gram i.m , dilanjutkan dengan MgSO4
50% 5 gram i.m
2) Dosis pemeliharaan : MgSO4 50% 5 gram setiap 4 jam sampai 24 jam
3) Harus selalu tersedia kalsium glukonas 10% sebagai antidotum

b. Manajemen Intra Operatif


Pelaksanaan sectio caesaria pada pasien dengan preeklamsia dapat
dilakukan dengan anestesi umum maupun anestesi regional epidural ataupun
spinal. Operasi dapat bersifat urgent atau non urgent.
Terdapat beberapa pertimbangan dalam pemilihan teknik anestesia yang
dilakukan. Pemilihan anestesia regional daripada anestesia umum dengan
mempertimbangkan mortalitas maternal yang lebih tinggi pada anestesia umum
yang disebabkan antara lain kesulitan intubasi, kesulitan ventilasi, atau resiko
aspirasi pneumonia, terjadi juga peningkatan tekanan darah sistemik yang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah intrakranial. Hal ini akan meningkatkan
risiko terjadinya kejadian serebrovaskuler. Risiko lainnya adalah peningkatan
konsumsi oksigen dari miokard, aritmia jantung, dan edema pulmonum.
Keuntungan dari anestesia regional adalah paparan yang rendah terhadap
fetus oleh obat-obatan yang potensial bersifat toksik, kecilnya resiko aspirasi
pneumonia pada pasien, ibu yang sadar pada saat bayi lahir. Pemilihan blok
subarachnoid atau epidural sepenuhnya merupakan pilihan dan keahlian dari
dokter. Blok subarachnoid mudah untuk dilakukan, onset lebih cepat dan dapat
diprediksi, menghasilkan blok yang lebih komplit, tidak terdapat resiko terjadinya
dan tidak memiliki potensi untuk terjadinya toksisitas obat yang serius.
Penggunaan RA-BSA akan menurunkan tekanan darah pasien. Tekanan
darah dari pasien dijaga agar tetap di atas 100 mmHg, bila jatuh di bawah level
tersebut maka dapat diberikan ephedrine 10 miligram secara intravena, atau
phenylephrine 25-100 mikrogram juga dapat diberikan dengan aman.
Pada operasi dengan anestesi epidural, mean arterial pressure (MAP) akan
sedikit menurun saat induksi. Gangguan hemodinamik dan stres neuroendocrine
dapat stabil atau bahkan menurun. Pemilihan teknik epidural adalah bila tidak
terdapat kondisi berupa koagulopati, abrupsi plasenta, fetal distress yang berat,
atau kesulitan untuk melakukan anestesi umum melalui intubasi yang tidak
terantisipasi sebelumnya.
Pada operasi yang non urgent perlu diperhatikan untuk melakukan hidrasi
intravena terlebih dahulu dan induksi dilakukan dengan Bupivacaine 0,5%. Selalu
monitor tekanan darah saat melakukan blok. Penurunan tekanan darah sebesar 20-
30 mmHg pada sistolik atau 10-15 mmHg pada diastolik merupakan hal yang
cukup sering terjadi dan cukup dilakukan observasi. Namun bila terjadi
penurunan lebih dari nilai tersebut dan bersifat persisten, dapat diberikan
ephedrine intravena sebesar 5-10 mg.
Pemilihan tokolitik lebih baik digunakan oxytocin karena
methylergometrin akan menurunkan tekanan darah karena efek vasodilatasi yang
dimilikinya. Namun jika terjadi atonia uteri maka regimen tersebut harus
diberikan.
Penggunaan spinal anestesia cukup aman untuk dilakukan pada pasien
dengan preeklamsia ringan. Untuk mengatasi hipotensi maka dapat dilakukan
pemberian 10-15 mL/kgBB kristaloid, koloid, atau 500 cc albumin 5%. Untuk
blok dapat digunakan Bupivacaine 0,5% 9-12 mg.
Pada pasien dengan koagulopati lebih dipilih untuk digunakan teknik
spinal anestesia karena tidak perlu memakai kateter yang memiliki risiko melukai
vena epidural dan jarum yang digunakan juga lebih kecil. Sedangkan pada pasien
dengan preeklamsia berat terdapat keuntungan dan kerugian dari penggunaan
anestesia spinal. Keuntungannya adalah penghindaran penggunaan anestesi umum
akan menurunkan risiko peningkatan tekanan darah, onsetnya yang cepat, resiko
yang kecil dari trauma epidural. Sedangkan kerugiannya adalah dapat
menyebabkan hipotensi yang yang cepat terjadi dan berat yang disebabkan karena
dilakukannya blok simpatis dan ditambah lagi pada pasien dengan preeklamsia
berat terjadi constricted intravascular volume, hipotensi yang terjadi tidak mampu
ditoleransi oleh fetus, serta hipotensi ini tidak dapat dicegah, apakah dengan
ekspansi volume atau pemberian ephedrine secara propilaksis.
Penggunaan anestesi umum memiliki risiko yang cukup besar berupa
peningkatan tekanan darah sistemik yang dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah intrakranial. Hal ini akan meningkatkan risiko terjadinya kejadian
serebrovaskuler. Risiko lainnya adalah peningkatan konsumsi oksigen dari
miokard, aritmia jantung, dan edema pulmonum. Selain itu juga dapat terjadi
penurunan uterine blood flow.
Banyak usaha yang digunakan untuk mengatasi hal ini. Antara lain adalah
dengan pemberian nitrogliserin dengan titrasi yang bermaksud untuk menurunkan
MAP sebelum induksi dengan anestesi umum. Pilihan lain yang dapat digunakan
adalah dengan memberikan sodium nitroprusside, trimetophan, labetolol, fentanyl
dan dropeidol. Tetapi pada penderita dengan kelainan koagulopati maka teknik
anestesi umum harus mutlak dilakukan.
Pada keadaan operasi harus dilakukan secara urgent, maka anestesia spinal
merupakan pilihan karena keuntungan yang lebih besar daripada kerugiannya.
Dapat diberikan ephedrine 5 mg segera setelah injeksi Bupivacaine intratekal.
Operasi juga lebih baik untuk dilakukan secara cepat dan sebelumnya pasien lebih
baik diberikan MgSO4.
c. Manajemen Post Operasi
Setelah operasi pasieb dirawat di Post Anestesia Care Unit (PACU) atau
Recovery Room (RR) selama 1-2 jam dan selanjutnya dilakukan monitoring
selama 24 jam dengan prinsip penanganan psot partum di HCU berupa :
1) Pemberian analgesia dengan teknik pemberian opioid secara epidural atau
intratekal. Dapat juga diberikan teknik drip analgetika dengan kombinasi
opioid dan NSAIDs.
2) Monitoring balance cairan 24 jam atau sampai diuresis meningkat. Intake
cairan sebanyak 75 ml/jam diberikan sampai pasien sudah dapat
melakukan mobilisasai
3) Pemberian MgSO4 dilanjutkan sampai 24 jam post operasi untuk
mencegah kejang post partum
4) Kontrol hemodinamik dengan pemberian agen hipertensi untuk
menghindari rebund hypertension
KASUS

Pasien hamil mengeluh nyeri kepala sejak pukul 09.00 (18-3-2012), mata terasa kabur (+), dan pasien sempat
mengalami kejang sebelum tiba di rumah sakit selama + 1 menit, nyeri uluati (+), sakit perut hilang timbul (-),
keluar air (-), gerak anak (+) baik. Pasien diketahui TD tinggi sejak tgl 18/03/2012 yaitu 180/120 mm/Hg.
Pasien melahirkan anak pertama dan keduanya dengan operasi sectio caesaria di RSUP Sanglah. Anestesi yang
digunakan adalah anestesia umum.
Riwayat penyakit sistemik : Pasien mengatakan mengetahui tekanan darahnya tinggi sejak 18 Maret 2012.
Riwayat Diabetes mellitus disangkal, asma disangkal, penyakit jantung disangkal.

Status Present :

Berat Badan : 60 kg ; Tinggi : 157 cm ; BMI 24,3 kg/m2 ; Suhu : 36,70C

Kesadaran : komposmentis

Respirasi : Frekuensi napas : 20x/menit, Pola napas : teratur,Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-

Kardiovaskuler : Tekanan Darah : 180/120 mmHg , Nadi : 92 x/menit S1S2 Tunggal, reguler,
murmur (-)

Abdomen : sesuai status Obstetri, DJJ (+), terdapat jaringan parut bekas SC Urogenital :
Terpasang Urin Kateter

Muskuloskeletal : Fleksi/defleksi leher normal, Mallampati II, gigi utuh, celah interspinosum
teraba, edem (+) ekstremitas inferior.

Pasien Status Fisik ASA 3 E (gravida Eklamsi + HELLP syndrome)

PEMBAHASAN

A. Jenis Anestesia : Anestesia Umum.


B. Teknik Anestesia : Anestesi umum inhalasi dengan pemasangan pipa endotrakea napas
kendali (RSI)
1. Preoksigenasi dengan oksigen 100% 8 liter permenit melalui sungkup muka, disertai
dengan dressing dan steryl lapangan operasi oleh operator.
2. Induksi
a. Co-induksi dengan Fentanyl 100 mcg
b. Induksi dengan Propofol 150 mg intravena
c. Fasilitas intubasi relaksasi dengan Rocuronium 30 mg
d. Laringoskopi intubasi dengan pipa endotrakea no 7,0 cuff (+) kinking e. Pipa
endotrakea difiksasi kemudian dihubungkan dengan mesin anestesi
3. Pemeliharaan
Pemeliharaan anestesi dengan N2O : O2 , Sevofluran

4. Pemulihan
a. Setelah pasien bernafas spontan, aliran gas N2O dan Sevofluran dihentikan.
b. Diberikan aliran O2 100% 6-8 lpm selama pasien bernapas spontan adekuat.
c. Membersihkan jalan napas pasien dengan suction sampai kering diikuti dengan
ekstubasi sadar.
d. Kemudian diberikan aliran O2 100% 8 lpm melalui sungkup muka.
e. Menilai aldrette score

Pada manajemen pre operatif anestesia pasien, monitor terhadap balance cairan, status
hemodinamik, koagulasi fungsi renal, fungsi respirasi, fungsi hepar, status fetal, dan pemberian
obat sebelumnya sudah dilakukan. anestesia umum. Ini mungkin juga pertimbangan atas riwayat
jenis operasi pada persalinan pertama dan kedua yaitu anestesi umum.

Manajemen intra operatif yang dilakukan adalah pemilihan anestesia umum. Pemilihan anestesia
ini berdasarkan keadaan penderita itu sendiri. Dimana penderita dengan eklamsia dan HELLP
Syndrome pemilihan jenis operasi yang tepat adalah anestesia umum. Ini mungkin juga
pertimbangan atas riwayat jenis operasi pada persalinan pertama dan kedua yaitu anestesi umum.

Manajemen post operasi dilaksanakan dengan prinsip pemberian analgesia yang adekuat dengan
pemberian opioid, monitoring balance cairan selama 24 jam atau sampai diuresis meningkat,
intake cairan sebanyak 75 mL/jam diberikan sampai pasien sudah dapat melalukan mobilisasi,
kontrol hemodinamik dengan pemberian agen hipertensi untuk menghindari rebound
hypertension. Pada pasien ini pemberian analgesia diberikan secara drip analgetika Fentanyl
(opioid) 300 mcg dalam 50 cc NaCl 0,9% via syringe pump ditambah Paracetamol 3x1 gram
intravena yang dilakukan dengan tujuan melakukan analgesia pada konduksi dan modulasi nyeri
sehingga bekerja pada dua tempat kerja yang berbeda dan dapat mengatasi nyeri yang terjadi
dengan khasiat hampir sama dengan pemberian analgesia dengan teknik epidural atau intratekal.
Terapi dari Obgyn yaitu antibiotika Amoksisilin 3x1 gram, MgSO4 20% 4 gram IV, Nifedipine 3
x 20 mg, Dexamethason 2 x 10 mg.
Asuhan Keperawatan Anestesi
Dengan Kasus Hipertensi Pada
Bedah Urologi
Kelompok 2
Dosen Pengampun : Wahyu Wahdana, MM.Kep
Nama kelompok
Nazlia Berlian : 201FI03020
Windy Melza Putri : 201FI03021
Togi Riki Rikardo : 201FI03024
Indah Setia Pebriani : 201FI03026
Riskia Devianti : 201FI03027
Febri Nazah : 201FI03028
Luthfiyah Nurazizah : 201FI03033
Teguh Mahara : 201FI03036
Tiara Puspita Rosa : 201FI03045
Latar Belakang
Latar belakang anestesi pada pasien dengan hipertensi yang menjalani operasi urologi sangat
penting untuk meminimalkan risiko komplikasi selama dan setelah operasi. Hipertensi adalah kondisi
medis di mana tekanan darah di dalam arteri meningkat secara konsisten. Pasien dengan hipertensi
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami komplikasi selama prosedur bedah, seperti perdarahan,
stroke, gagal jantung, dan masalah pernapasan.

Untuk mengatasi masalah ini, dokter anestesi akan mengevaluasi kondisi pasien sebelum
operasi dan memilih anestesi yang paling cocok untuk pasien tersebut. Ada beberapa pilihan anestesi yang
tersedia, termasuk anestesi umum, regional, atau lokal. Anestesi umum melibatkan penggunaan obat-
obatan yang membuat pasien tertidur selama operasi. Anestesi regional melibatkan suntikan anestesi lokal
ke daerah tertentu pada tubuh untuk memblokir rasa sakit, dan pasien tetap sadar selama operasi. Anestesi
lokal hanya menghilangkan rasa sakit pada area yang akan dioperasi dan pasien tetap sadar selama
operasi.
Latar Belakang
Dalam beberapa kasus, dokter anestesi juga dapat meresepkan obat hipertensi
untuk pasien sebelum operasi setelah dilakukan pemeriksaan pada pasien untuk membantu
mengontrol tekanan darah selama dan setelah operasi . Selain itu, pasien mungkin juga
diminta untuk tidak mengonsumsi obat-obatan tertentu sebelum operasi, seperti obat anti-
inflamasi nonsteroid atau obat pengencer darah.

Secara umum, anestesi pada pasien dengan hipertensi yang menjalani operasi
urologi dapat berisiko tinggi, tetapi dengan perencanaan yang tepat dan penggunaan teknik
yang sesuai, risiko ini dapat diminimalkan. Pasien harus diawasi secara ketat selama dan
setelah operasi untuk memastikan bahwa mereka pulih dengan cepat dan tanpa komplikasi.
Tujuan

Untuk mengetahui apa itu hipertensi? Untuk mengetahui keterkaitan anestesi pada
kasus hipertensi dan bedah urologi?
Definisi
Anestesi adalah suatu prosedur yang dilakukan pada pasien sebelum dilakukan operasi
atau tindakan medis lainnya. Tujuan dari anestesi adalah untuk mematikan rasa sakit dan
menenangkan pasien selama prosedur medis.

Hipertensi adalah kondisi ketika tekanan darah pasien terlalu tinggi. Hipertensi dapat
menyebabkan berbagai macam komplikasi, seperti penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal. Oleh
karena itu, pasien dengan hipertensi harus mendapatkan perawatan yang tepat sebelum, selama, dan
setelah prosedur anestesi.

Bedah urologi adalah suatu prosedur bedah yang dilakukan pada sistem urogenital,
yaitu saluran kemih dan sistem reproduksi. Bedah urologi dapat meliputi prosedur seperti operasi
kandung kemih, operasi ginjal, dan operasi prostat.

Hipertensi dianggap terjadi ketika tekanan darah sistolik (tekanan saat jantung
berdetak) mencapai 130 mmHg atau lebih, dan tekanan darah diastolik (tekanan saat jantung
beristirahat antara denyut nadi) mencapai 80 mmHg atau lebih.
Tanda dan Gejala
Hipertensi
Sakit kepala Pusing Nyeri Dada

Pandangan
Berkeringat palpitasi
kabur
Penanganan Hipertensi

Pengobatan dengan
01 Perubahan gaya hidup 02 obat - obatan

Menghindari penggunaan Pemeriksaan tekanan


03 obat-obatan tertentu 04 darah secara teratur
Keterkaitan Hipertensi Pada Bedah Urologi

Nefrektomi Kristal Ginjal

Prostatitis Batu Ginjal


Penanganan Anestesi Terkait Hipertensi Pada
Bedah Urologi

Jenis anestesi Pemantauan Perawatan pasca


tekanan darah operasi
Jenis anestesi yang diberikan memastikan bahwa perawatan yang hati-hati
perlu dipilih dengan hati-hati tekanan darah pasien tetap untuk mengontrol tekanan
dan sesuai dengan kondisi berada dalam kisaran darah dan mengurangi risiko
kesehatan pasien yang aman. komplikasi
kesimpulan
pasien dengan hipertensi yang akan menjalani bedah urologi
memerlukan evaluasi medis dan pemeriksaan tekanan darah
yang ketat sebelum, selama, dan setelah operasi. Anestesi
yang tepat dan pengontrolan tekanan darah yang hati-hati
selama operasi sangat penting untuk mengurangi risiko
komplikasi. Pasien juga perlu mematuhi perawatan dan
pengobatan yang direkomendasikan oleh dokter untuk
mengontrol hipertensi mereka dan mengurangi risiko
komplikasi selama dan setelah operasi.
Kasus
Tn. S adalah seorang pria usia 55 tahun yang mengeluhkan nyeri di perut dan
punggung bagian bawah selama beberapa hari. Setelah dilakukan pemeriksaan, Tn. S
didiagnosis mengalami batu ginjal. Selama pemeriksaan, juga ditemukan bahwa Tn. S
mengidap hipertensi dan memerlukan pengobatan untuk menjaga tekanan darahnya
agar tetap dalam kisaran normal.

Setelah melakukan beberapa tes dan konsultasi dengan dokter, diputuskan


bahwa Tn. S membutuhkan operasi untuk mengangkat batu ginjalnya. Namun, karena
Tn. S mengidap hipertensi, perlu dilakukan pengobatan untuk menurunkan tekanan
darahnya sebelum operasi. Tn. S diberikan obat-obatan untuk mengontrol tekanan
darahnya, dan tekanan darahnya dipantau secara ketat selama periode pra-operasi.
Pembahasan
Selama operasi, Tn. S diberikan anestesi dengan hati-hati dan tekanan darahnya
dipantau secara teratur selama operasi. Setelah operasi, Tn. S dirawat di
rumah sakit dan diberikan perawatan yang hati-hati untuk mengontrol
tekanan darahnya dan mencegah terjadinya komplikasi.

Setelah beberapa hari, Tn. S pulih dari operasi dan diminta untuk melakukan
kontrol berkala dengan dokter untuk memantau tekanan darahnya dan
kondisi kesehatannya secara keseluruhan.

Dalam kasus ini, pengobatan hipertensi dan kontrol tekanan darah yang ketat
sangat penting selama periode pra-operasi, operasi, dan pasca operasi
untuk mengurangi risiko komplikasi dan memastikan kesuksesan operasi
pada pasien dengan batu ginjal dan
THANK YOU
ASUHAN KEPERAWATAN
ANESTESI PADA PENYAKIT
PENYERTA RESPIRASI: PPOK
Penyakit Paru
Obstruktif Kronis
(PPOK)
PPOK

Emphysema is a condition in which


Chronic bronchitis is inflammation
the alveoli at the end of the
of the lining of the bronchial tubes,
smallest air passages (bronchioles)
which carry air to and from the air
of the lungs are destroyed as a
sacs (alveoli) of the lungs. It's
result of damaging exposure to
characterized by daily cough and
cigarette smoke and other irritating
mucus (sputum) production.
gases and particulate matter.
Tanda dan Gejala PPOK
Shortness of breath, especially
during physical activities
Wheezing
Chest tightness
A chronic cough that may
produce mucus (sputum) that
may be clear, white, yellow or
greenish
Frequent respiratory infections
Lack of energy
Unintended weight loss (in later
stages)
Swelling in ankles, feet or legs
MAKALAH
ANESTESI DENGAN KASUS HIPERTENSI PADA KASUS BEDAH MULUT
Dosen Pengampu : Wahyu Wahdana, MM.Kep

KELOMPOK 5
ANGGOTA :
Muhammad Fatih Al Abiyyu 201FI03005
Frisda Nurwidyaningrum 201FI03007
Sandra Agustina 201FI03009
Vegi Maura Amalia 201FI03015
Rismawati 201FI03022
Susi Fatmawati 201FI03023
Gina Hanifah 201FI03030
Fera Nurhayati 201FI03039
Siti Nurholipah 201FI03040
PROGRAM STUDI PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
BANDUNG, 2023/2024
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi atau tekanan darah tinggi hingga saat ini masih merupakan salah satu
penyakit sistemik dengan prevalensi tertinggi di dunia, dengan prevalensi di Indonesia
pada masyarakat dengan usia ≥18 tahun berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2013 sebesar 25,8 % dan khusus
di Provinsi Lampung sebesar 26%.Menurut World Health Organization(WHO),
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg. Salah satu masalah utama yang dihadapi para penderita
hipertensi adalah saat perlu dilakukan tindakan pencabutan gigi dengan menggunakan
anestesi lokal yang mengandung agen vasokonstriktor yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba dan dapat menimbulkan komplikasi
mengancam nyawa (Wijaya, 2018).
Pencabutan gigi merupakan salah satu pemilihan perawatan di bidang bedah
mulut. Tindakan pencabutan gigi melibatkan jaringan tulang dan jaringan lunak pada
rongga mulut. Pencabutan gigi dilakukan pada gigi yang mengalami karies, gigi impaksi,
dan gigi yang sudah tidak dapat dilakukan perawatan. Tindakan pencabutan gigi
merupakan suatu tindakan sehari hari dilakukan oleh dokter gigi yang tidak jarang
ditemukan komplikasi dari tindakan pencabutan gigi. Oleh karna itu, perlu waspada dan
mampu mengatasi kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi. (Rahman, dkk.2017).
Dalam melakukan tindakan pencabutan gigi dapat di pengaruhi oleh faktor- faktor
salah satunya adalah tekanan darah. Tekanan darah adalah daya dorong ke semua arah
pada seluruh permukaan yang tertutup pada dinding bagian dalam jantung dan pembuluh
darah. Selain tekanan darah, tanda-tanda vital meliputi denyut jantung, frekuensi
pernafasan, dan suhu badan. Peningkatan tekanan darah disebabkan oleh peningkatan
volume darah atau elastisitas pembuluh darah. Sebaliknya, penurunan volume darah akan
menurunkan tekanan darah (Karamoy, dkk.2015)
Banyak faktor yang dapat menyebabkan perubahan peningkatan tekanan darah
setelah tindakan pencabutan gigi. Perubahan tekanan darah ini mungkin dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti stres fisiologis, rasa sakit karena pencabutan gigi, lama
pencabutan gigi, kesulitan dalam pencabutan gigi, dan penggunaan epineprin dalam
anestesi lokal. Pencabutan gigi yang akan dilakukan memberikan respon stres fisiologis
pada pasien yang terwujud dalam perubahan tekanan darah, hemodinamik, dan respon
kardiovaskular (Yuwono, 2012).

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pencabutan gigi pada pasien hipertesi
2. Untuk mengetahui klasifikasi ASA pada pasien bedah mulut dengan hipertensi
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pencabutan Gigi
Pencabutan gigi yaitu salah satu pilihan perawatan di bidang bedah mulut. Tindakan
pencabutan gigi melibatkan jaringan tulang dan jaringan lunak pada rongga mulut.
Pencabutan gigi bisa dilakukan apabila gigi mengalami karies, impaksi, dan gigi yang
sudah tidak dapat dilakukan perawatan endodontik (Arini, 2017).Pencabutan gigi
merupakan suatu tindakan yang sehari hari yang dilakukan oleh dokter gigi maupun
perawat gigi yang tidak jarang ditemukan komplikasi tindakan pencabutan gigi. Oleh
karena itu perlu waspada mampu mengatasi kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
(Rahman,dkk,2017).
1. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pencabutan Gigi Menurut Rini
Irmayanti Sitanaya (2016 ) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pencabutan gigi
yaitu sebagai berikut:
a. Anatomi gigi menentukan jenis alat pencabutan, gerakan pencabutan dan
posisi pencabutan.
b. Anestesi dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi rasa sakit.
c. Jumlah gigi yang dicabut dalam satu kunjungan.
d. Tidak menggunakan tenaga yang besar.
e. Pemeriksaan kembali gigi yang baru di cabut
2. Indikasi pencabutan gigi
a. Gigi dengan karies besar sehingga tidak dapat ditambal lagi daan tidak
dapat dilakukan perawatan endodontik.
b. Gigi sangat goyah
c. Gigi impaksi
d. Gigi untuk perawatan ortodonti
e. Gigi yang merupakan fokus infeksi
f. Gigi dengan fraktur/patah
g. Gigi dengan sisa akar
h. Keinginan pasien sendiri untuk dicabut
3. Kontra Indikasi Pencabutan Gigi
Untuk mendukung diagnosa yang benar dan tepat serta menyusun rencana
perawatan yang tidak menimbulkan akibat yang tidak diinginkan, maka sebelum
dilakukan tindakan eksodonsis atau tindakan bedah lainnya harus dipersiapkan
dahulu suatu pemeriksaan yang teliti dan lengkap yaitu dengan pertanyaan adakah
kontra indikasi atau tindakan bedah lainnya yang disebabkan oleh faktor lokal
atau sistemik
4. Kontra Indikasi Lokal
a. Pada infeksi gingiva akut.
b. Pericoronitis
c. Kelainan pada periapikal seperti abses periapikal
d. Sinusitis maksilaris 7
e. Gigi yang berada dalam jaringan tumor
5. Kontra Indikasi Sistemik Pasien dengan kontra indikasi yang bersifat sistemik
memerlukan pertimbangan khusus untuk dilakukan eksodonsi.
a. Diabetes melittus :Malfungsi utama diabetes melittus adalah penurunan
absolut atau relatif kadar insulin dalam darah yang mengakibatkan
kegagalan metabolisme glukosa.
b. Kehamilan :Pregnancy bukan kontra indikasi terhadap pembersihan
kalkulus ataupun ekstraksi gigi, karena tidak ada hubungan antara
pregnancy dengan pembekuan darah pendarahan pada gusi mungkin
merupakan manifestasi dari pregnancy gingivitis yang disebabkan
pergolakan hormon selama pregnancy, yang perlu diwaspadai adalah
sering terjadinya kondisi hipertensi dan diabetes mellitus yang meskipun
sifatnya hanya temporer, akan lenyap setelah melahirkan, namun cukup
dapat menimbulkan masalah saat dilakukan tindakan perawatan gigi yang
melibatkan perusakan jaringan dan pembuluh darah.
c. Penyakit Kardiovaskuler :Sebelum menangani pasien perlu mengetahui
riwayat kesehatan pasien baik melalui rekam medis nya atau wawancara
langsung dengan pasien, pada penyakit kardiovaskuler, denyut nadi pasien
8 meningkat, tekanan darah pasien naik menyebabkan pembekuan darah
yang sudah terbentuk terdorong sehingga terjadinya pendarahan
d. Hipertensi :Bila anestesi lokal yang kita gunakan mengandung
vaskonstriktor, pembuluh darah akan menyempit menyebabkan tekanan
darah meningkat pembuluh darah kecil akan pecah, sehingga terjadi
pendarahan.
6. Komplikasi dalam pencabutan Gigi
Komplikasi akibat pencabutan gigi dapat terjadi oleh berbagai sebab dan
bervariasi pula dalam akibat yang ditimbulkannya. komplikasi tersebut kadang
tidak dapat dihindarkan tanpa memandang operator, kesempurnaan persiapan dan
keterampilan operator. Beberapa jenis komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
a. Kegagalan dari pemberian anastetikum.
b. Fraktur mahkota gigi, akar gigi, dan tulang alveolar.
c. Pendarahan berlebih selama pencabutan gigi dan setelah pencabutan gigi.
Rasa sakit pasca pencabutan gigi yang disebabkan karena kerusakan dari
jaringan keras dan jaringan lunak dan dry soket.
d. Pembengkakan pasca pencabutan disebabkan oleh infeksi, terhentinya
respirasi, terhentinya jantung, dan keadaan darurat akibat anestesi.
B. Tekanan darah
1. Pengertian Tekanan Darah
Tekanan darah adalah kekuatan yang mendorong darah terhadap dinding arteri,
tekanan ditentukan oleh kekuatan jumlah darah yang di pompa, dan ukuran serta
fleksibilitas dari arteri, yang diukur dengan alat pengukur tekanan darah dan
stetoskop. Tekanan darah terus menerus berubah tergantung pda aktivitas, suhu,
makanan, keadaan fisik, dan obatobatan. Dua angka yang harus dicatat ketik
mengukur tekanan darah, angka yang lebih tinggi adalah tekanan sistolik,
mengacu pada tekanan di dalam arteri ketika jantung berkontraksi dan memompa
darah ke seluruh tubuh. Sedangkan Angka yang lebih rendah, adalah diastolik,
mengacu pada tekanan arteri ketika jantung beristirahat dan pengisian darah.
Asfuah, dkk, ( 2012).
2. Perbedaan tekanan darah sebelum dan sesudah pencabutan gigi
Tekanan darah dan denyut nadi dapat digunakan sebagai parameter untuk
mendeteksi adanya peningkatan aktivitas saraf simpatis tersebut. Hal tersebut
pada akhirnya akan menghasilkan perubahan tekanan darah dan denyut nadi
sebelum dan sesudah dilakukan tindakan pencabutan gigi.
Obat bius (anestesi) yang digunakan pada proses pencabutan gigi berefek
pada penyempitan pembuluh darah. Apabila laju tekanan darah sangat cepat
(tinggi), pembuluh darah bisa saja pecah dan mengakibatkan perdarahan hebat.
Sebelum melakukan pencabutan atau perawatan gigi, 14 penderita hipertensi perlu
mendapatkan evaluasi terlebih dahulu. Evaluasi yang dimaksud mencakup ada –
tidaknya – riwayat keluarga terhadap penyakit kardiovaskular, obat-obatan yang
dikonsumsi rutin, tingkat keparahan penyakit, serta komplikasi yang sudah terjadi
3. Resiko yang terjadi pada pencabutan gigi bila tekanan darah tinggi
a. Resiko akibat anestesi lokal
Larutan anestesi lokal yang biasa digunakan adalah lodakin dengan
adrenalin. Larutan adrenalin yang di injeksikan ke pembuluh darah bisa
menimbulkan takikardi (berdebar-debar), stroke volum meningkat
sehingga tekanan darah menjadi tingg. Resiko yang lain adalah terjadinya
ischemia otot jantung (kekurangan oksigen pada otot jantung) yang
menyebabkan nyeri dada jika berat akan berakibat fatal, yaitu akan
mengalami matinya otot jantung.
b. Resiko pendarahan
Pendarahan bisa terjadi dalam pendarahan yang sulit dihentikan saat
dilakukan tindakan pencabutan, pendarahan yang terlalu banyak bisa
mengakibatkan menurunnya hemoglobin atau sel darah merah sehingga
menderita kekurangan darah.
c. Resiko pengobatan
pada penderita hipertensi Penting juga ditanyakan kepada pasien apakah
mengkonsumsi obatobatan pengencer darah, dan obat obatan lain karena
juga dapat menyebabkan pendarahan. Penting dilakukan pemeriksaan
tekanan darah sebelum tindakan pencabutan gigi. jika pasien ada riwayat
hipertensi gigi sebaiknya ditunda dan pasien dirujuk ke dokter ahli
penyakit dalam untuk mengontrol tekanan darah (Liliany, 2017).
C. mengklasifikasikan status risiko pasien menjadi: ASA I, ASA II, ASA III, dan ASA IV.
− Untuk pasien ASA I, dengan tekanan darah normal 120/80 – 130/89 mmHg, tidak
ada penyakit sistemik), perawatan gigi rutin dapat diberikan.
− Pasien ASA II, dengan hipertensi tahap 1, dengan tekanan darah 140/90- 159/99,
stabil secara medis, tidak ada pembatasan aktivitas fisik, perlu pemantauan
tekanan darah setelah anestesi lokal yang mengandung adrenalin, perawatan gigi
rutin bisa dilakukan. Pasien hipertensi tahap 2, dengan tekanan darah 160/100-
179/109 mmHg, tidak stabil secara medis dan toleransi aktivitas fisik terbatas
− (ASA III), perlu pembatasan vasokonstriktor dalam anestesi lokal yang
digunakan. Pasien hipertensi tahap 2, dengan tekanan darah 180/110-209/119
mmHg, tidak stabil secara medis dan aktivitas fisik sangat terbatas
− (ASA IV), berisiko untuk perawatan dengan anestesi lokal yang mengandung
vasokonstriktor hanya perawatan gigi darurat nonstressful yang dapat diberikan.
Pasien hipertensi tahap 2, dengan tekanan darah 210/120 mmHg atau lebih tidak
dapat menerima stress fisik maupun emosional, biasanya pasien hipertensi yang
langsung mengancam kehidupan (ASA IV), semua tindakan dental darurat harus
dipertimbangkan bahwa terapi gigi memang benar-benar menguntungkan
dibanding komplikasi yang timbul akibat hipertensinya
D. Pembahasan
Dengan semakin tingginya prevalensi pasien yang menderita hipertensi dan adanya
peningkatan terjadinya hipertensi seiring dengan bertambahbya umur, maka akan sering
kemungkinan dokter gigi merwat pasien dengan hipertensi di klinik. Penggunaan bahan
vasokonstriktor sebagai tambahan dalam anestesi lokal pada pasien hipertensi masih
merupakan perdebatan, meskipun sudah ada bukti-bukti penelitian bahwa penggunaan
bahan anestesi lokal yang mengandung vasokonstriktor khususnya adrenalin dalam dosis
yang dianjurkan (dosis maksimal 0,2 mg untuk pasien sehat tiap kali kunjungan dan 0.04
mg direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit kardiovaskuler tidak mengakibatkan
peningkatan tekanan darah yang signifikan dan bila ada perubahan hanya bersifat sesaat.
Pengelolaan pasien dengan hipertensi memerlukan suatu strategi tertentu yang
menguntungkan untuk menjaga kestabilan tekanan darah selam periode perawatan,
khususnya apabila saat perawatan memerlukan intervensi anestesi lokal yang
mengandung vasokonstriktor. Oleh karena itu seleksi vasokonstriktor berdasarkan durasi
yang dibutuhkan, keprluan hemostasis dan kondisi sistemik penyerta pada pasien.
Penggunaan vasokonstriktor merupakan kontra indikasi pada kondisi : angina yang tidak
stabil, infark jantung dan stroke (< 6 bulan), operasi by pass arteri koroner (<3 bulan),
hipertensi yang tidak terkontrol, gagal jantung parah, sensitif sulfitem dan
phaechromocytoma. Ada beberapa pasien tertentu meskipun dalam kondisi tekanan darah
normal namun sensitif terhadap vasokonstriktor dan akan memberikan respon yang
berkepanjangan terhadap vasokonstriktor khususnya epineprin, dan hal ini tidak bisa
diprediksi sebelumnya.
Ada dua strategi dalam perawatan gigi pada pasien hipertensi yaitu strategi
preventif dan kuratif dan perhatian yang sangat besar harus diberikan khususnya ada
kemungkinan komplikasi terjadinya hipertensi akut/crisisis hypertension/emergent
hipertensi yang terjadi selama perawatan gigi. Pada strategi preventif meliputi semua
tindakan untuk mengontrol tekanan darah pasien selama periode perawatan dan semua
tindakan preventif dalam bidang kedokteran gigi sendiri (yang meliputi kontrol plak,
flouridasi dll). Tindakan preventif yang efektif untuk mengontrol tensi pasien meliputi
kontrol kecemasan dan stress, pemilihan anestesi , bahan anestesi, dan kontrol sakit
setelah tindakan selesai.
E. Anestesi
1. Pre anestesi
evaluasi preoperatif pada pasien dengan hipertensi sangat diperlukan.
Pemeriksaan perlu dilengkapi dengan riwayat kualitas kontrol tekanan darah dan
agen anti hipertensi yang digunakan selama ini Semua pasien dengan riwayat
hipertensi perioperatif harus menjalakan beberapa pemeriksaan Pemeriksaan
meliputi elektrokardiogram (EKG), analisis gula darah, pemeriksaan elektrolit dan
kreatinin [melalui pengukuran laju filtrasi glomerulus (LFG)), disertai dengan
dipstick urin/pemeriksaan protein urin.
2. Intra Anestesi
Pasien dengan hipertensi ringan hingga sedang tanpa disfungsi organ subklinis,
ataupun faktor risiko tambahan, dapat dilanjutkan menerima tindakan anestesi dan
operasi tanpa penundaan. Pada pasien dengan hipertensi berat (stadium. 3) dan
tidak terkontrol yang dijadwalkan operasi elektif, akan tetapi belum dievaluasi
mengenai kerusakan target organnya, sebaiknya dilakukan penundaan operasi
terlebih dahulu. Khususnya, akan sulit mempertahankan anestesi pada pasien-
pasien ini tanpa EKG ataupun setidaknya pemeriksaan fungsi ginjal. Hipertensi
secara langsung meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Dengan adanya
penyakit arteri coroner, kebutuhan ini tidak akan dapat tercukupi.
3. Pasca Anestesi
Hipertensi pasca operasidapat menyebabkan disfungsi sistolik pada ventrikel
dimana hipertensi kronis adalah faktor risikonya yang menyebabkan kegagalan
ventrikel dan berlanjut menjadi edema paru. Untungnya, kontrol tekanan darah
pasca operasi selalu tersedia. Inti dari tujuan ini adalah pengawasan yang hati-hati
dan sering terhadap pengukuran ini selama hari- hari pertama setelah operasi,
seringkali menggunakan kateter intra arteri untuk pengawasan langsung dan
berlanjut serta mengevaluasi pasien untuk kemungkinan adanya penyebab lain
yang menyebabkan hipertensi. Penyebab lainnya tersebut dapat berupa nyeri dan
rasa tidak nyaman lainnya, cemas dan takut, hiperkarbia, dan kelebihan cairan.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
Seorang wanita usia 53 tahun datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto dengan keluhan ingin dibuatkan gigi palsu rahang atas dan
rahang bawah. Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit hipertensi akan tetapi sudah terkontrol
dan riwayat penyakit diabetes mellitus. Pasien mengkonsumsi obat rutin per oral yaitu
Metformin. Pemeriksaan umum menunjukkan tekanan darah 130/80 mmHg, berat badan 45 kg
dan tinggi badan 142 cm. pasien mengikuti kegiatan PROLANIS (Program pengelolaan penyakit
kronis) di Puskesmas. Hasil pemeriksaan gula darah beberapa bulan lalu.Pasien tidak memiliki
riwayat alergi obat maupun alergi makanan, namun memiliki riwayat penyakit sistemik asma,
hipertensi dan diabetes. Untuk penyakit asma, pasien tidak mengkonsumsi obat oral rutin namun
menggunakan obat hirup (Inhaler) kalau terjadi sesak nafas. Penyakit hipertensi pada pasien ini
pernah tinggi hingga mencapai 190/80 mmHg akan tetapi kondisi sekarang sudah normal yaitu
130/80 mmHg. Pada pemeriksaan gula darah sewaktu terlihat hasil sebesar 177mg/dl dari angka
normal <140mg/dl. Pasien telah mengikuti program PROLANIS untuk mengobati penyakit
diabetes yang juga diberikan terapi obat minum oral Metformin 500mg sejak tahun 2016.
Pemeriksaan ekstra oral secara inspeksi menunjukkan tidak adanya kelainan. Pemeriksaan
intraoral terdapat resesi gingiva pada area gigi anterior rahang bawah dan mobilitas gigi derajat 2
pada gigi 14, 45. Terdapat kalkulus supragingiva pada area lingual anterior rahang bawah dengan
oral hygiene pasien yang cukup baik. Pasien dilakukan pemeriksaan penunjang berupa radiografi
ekstra oral (panoramik) untuk melihat kondisi tulang alveolar secara keseluruhan Pada gambaran
radiografi terdapat gambaran radiolusen pada ketinggian puncak tulang alveolar. Terlihat adanya
penurunan tulang secara horizontal pada rahang bawah di area gigi 44, 43, 42, 41, 31, 32, 33, 34
kemudian pada rahang atas di area gigi 13, 12, 11, 21, 22. Terlihat adanya penurunan tulang
secara vertikal pada area gigi 45. Diagnosis pada kasus ini adalah periodontitis kronis. Rencana
perawatan yang akan dilakukan yaitu ekstraksi seluruh sisa akar gigi rahang atas dan bawah
dilanjutkan pembuatan gigi tiruan penuh. Pada kunjungan pertama pasien diberikan Dental
Health Education (DHE) diresepkan obat kumur povidone iodine 1% untuk membantu menjaga
kebersihan rongga mulut (kontrol plak) dan edukasi tahapan perawatan. Setelah itu pasien
dilakukan perawatan periodontal awal yaitu scaling supragingiva. Kemudian setelah
mengkontrol plaknya, pasien dilakukan rujukan kepada dokter spesialis penyakit dalam untuk
konsultasi terkait kondisi sistemik pasien terhadap rencana perawatan berikutnya yang akan
dilakukan. 2 hari sebelum tindakan pencabutan, pasien akan diresepkan obat antibiotik per oral
untuk mencegah komplikasi saat tindakan pencabutan berlangsung dan dilakukan pengecekkan
gula darah sewaktu kembali sesaat sebelum tindakan untuk memantau angka gula darah dalam
tubuh. Setelah dilakukan pencabutan semua sisa akar gigi, pasien dievaluasi untuk dibuatkan gigi
tiruan sebagian lepasan.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa
1. Tekanan darah dapat berpengaruh terhadap tindakan pencabutan gigi
2. Kontra Indikasi Sistemik Pasien dengan kontra indikasi yang bersifat sistemik
memerlukan pertimbangan khusus untuk dilakukan eksodonsi.
3. Resiko yang terjadi pada pencabutan gigi bila tekanan darah tinggi seperti resiko
akibat anestesi local,pendarahan pengobatan
4. Ada dua strategi dalam perawatan gigi pada pasien hipertensi yaitu strategi
preventif dan kuratif
5. Tindakan preventif yang efektif untuk mengontrol tensi pasien meliputi kontrol
kecemasan dan stress, pemilihan anestesi , bahan anestesi, dan kontrol sakit
setelah tindakan selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Arini, Nuri Farrahdina, dkk. 2017. Perubahan tanda vital sebagai gejala rasa cemas sebelum
melakukan tindakan pencabutan gigi pada mahasiswa
profesi klinik bedah mulut RSGM universitas Jember. Fakultas kedokteran gigi universitas
Jember.
Asfuah, Siti, 2012. Buku saku klinik keperawatan dan kebidanan. Yogyakarta: Nuha
Medika.Karamoy, Stefani M, dkk. 2015.Gambaran tekanan darah pasien
pencabutan gigi di RSGM program studi pendidikan dokter gigi FK Unsrat tahun
2014-2015.Jurnal e-Gigi (eG).
Kementerian Kesehatan RI Tahun 2015, Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut.Lande, Randy,
dkk. 2015. Gambaran faktor resiko dan komplikasi pencabutangigi di RSGM
PSPD-FK UNSRAT. Jurnal e-Gigi (eG).
Pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI 2019.Putri, Megananda H, Dkk, 2018.
Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras Gigi Dan Jaringan Pendukung Gigi.
Jakarta: EGC.
Rahman, kartika mega, dkk. 2017. Efek pencabutan gigi terhadap peningkatan tekanan
darah ada pasien hipertensi. Jurnal Kesehatan universitas Andalas.
Sitanaya, Rini Irmayanti, 2016. Exodontia dasar-dasar ilmu pencabutan gigi.Yogyakarta:
Deepublish.
Soekidjo, Notoatmodjo. 2014. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.Yaniawati, R.
Poppy. 2020. Penelitian Studi Kepustakaan (Library Research).Universitas
Pasundan.

Anda mungkin juga menyukai