Hemofilia, Trombositopenia
3 PHYSIOLOGY OF ANEMIA
Anemia adalah tanda penyakit yang bermanifestasi secara klinis, dimana terjadi
berkurangnya jumlah absolut sel darah merah yang bersirkulasi (RBC).
Meskipun penurunan Hct paling sering digunakan sebagai indikator, anemia telah
didefinisikan sebagai pengurangan satu atau lebih indeks RBC utama: konsentrasi
hemoglobin (Hb), Hct, dan jumlah RBC.
Pada orang dewasa, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan anemia
sebagai konsentrasi Hb < 12 g/dL untuk wanita dan < 13 g/dL untuk pria.
Pada kehamilan, penurunan Hct mencerminkan peningkatan volume plasma
dalam hubungannya dengan massa RBC (anemia fisiologis). Namun, Hb < 11 g/dL
pada pasien hamil dianggap benar-benar anemia.
Dalam kehilangan darah akut, Hct pada awalnya mungkin tidak berubah.
Penurunan Hct yang melebihi 1% setiap 24 jam hanya dapat dijelaskan dengan
kehilangan darah akut atau hemolisis intravaskular.
4 PHYSIOLOGY OF ANEMIA
Efek samping yang paling penting dari anemia adalah penurunan konsentrasi
oksigen arteri dan potensi penurunan pengiriman oksigen jaringan. Misalnya,
penurunan konsentrasi Hb dari 15 g/dL menjadi 10 g/dL, yang mengakibatkan
penurunan kandungan oksigen arteri sebesar 33%.
Kompensasi awal untuk penurunan kandungan oksigen ini adalah dengan
peningkatan curah jantung. Ini terjadi melalui peningkatan aktivitas sistem
saraf simpatik dan penurunan viskositas darah yang menyertai anemia.
Ada juga pergeseran ke kanan dari kurva disosiasi oksihemoglobin, yang
memfasilitasi pelepasan oksigen dari Hb ke jaringan. Ini diikuti oleh redistribusi
aliran darah ke miokardium, paru-paru, dan otak. Aliran darah otot dan kulit
menurun (yang mengakibatkan pucat), seperti halnya aliran darah ke ginjal (yang
merangsang prekursor eritroid di sumsum tulang untuk menghasilkan RBC
tambahan).
5 PHYSIOLOGY OF ANEMIA
Transfusi pra operasi untuk tujuan tunggal memfasilitasi operasi elektif jarang
dibenarkan pada pasien anemia tanpa gejala.
Selama periode perioperatif, transfusi harus dipertimbangkan berdasarkan volume
darah yang hilang dari sirkulasi, tingkat Hb, perdarahan yang sedang berlangsung,
dan risiko disfungsi organ akhir karena oksigenasi yang tidak memadai.
Level Hb yang paling tepat untuk berfungsi sebagai pemicu transfusi darah
perioperatif tidak pasti. Aturan 10/30 (ditransfusikan jika tingkat Hb adalah < 10
g/dL atau Hct adalah < 30%) pernah menjadi titik referensi yang umum dikutip.
Namun, tidak ada bukti bahwa nilai Hb di bawah tingkat ini mengamanatkan
perlunya transfusi RBC perioperatif, tetapi ada bukti yang jelas bahwa pasien
dengan kadar Hb 6 g/dL mendapat manfaat dari transfusi sel merah.
Pasien dengan anemia kronis kompensasi dengan nilai Hb antara 6 dan 10 g / dL
dapat mentolerir kadar ini tanpa bukti iskemia organ akhir.
7 Management of Anesthesia:
General Concepts for Anemia
Operasi elektif dilakukan dengan anemia kronis, adalah bijaksana untuk
meminimalkan kemungkinan perubahan signifikan yang terjadi selanjutnya, yang
dapat mengganggu pengiriman oksigen ke jaringan. Misalnya, penurunan curah
jantung yang diinduksi obat atau pergeseran ke kiri kurva disosiasi oksihemoglobin
karena alkalosis pernapasan dari hiperventilasi iatrogenik dapat mengganggu
pengiriman oksigen jaringan.
Penurunan suhu tubuh juga menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri
(yaitu, ada lebih sedikit pelepasan oksigen ke jaringan).
Penurunan kebutuhan oksigen jaringan dapat menyertai efek depresan miokard
dari obat bius dan hipotermia.
Ini mengimbangi penurunan pengiriman oksigen jaringan yang terkait dengan
anemia tetapi pada tingkat yang tidak terduga.
8 Management of Anesthesia:
General Concepts for Anemia
Tanda dan gejala pengiriman oksigen ke jaringan yang tidak memadai karena
anemia mungkin sulit untuk ditemukan selama anestesi umum.
Efek anestesi pada sistem saraf simpatik dan respons kardiovaskular dapat
menumpulkan peningkatan curah jantung yang biasa terkait dengan anemia
normovolemik akut.
Upaya untuk mengimbangi dampak kehilangan darah bedah dengan langkah-
langkah seperti hemodilution normovolemic dan penyelamatan darah
intraoperatif dapat dipertimbangkan pada pasien tertentu.
9 Management of Anesthesia:
General Concepts for Anemia
anestesi Volatil mungkin kurang larut dalam plasma pasien anemia karena
penurunan konsentrasi RBC lipid rich. Akibatnya, penyerapan anestesi dengan
volatile dapat cepat terjadi. Namun, efek dari penurunan kelarutan ini
kemungkinan diimbangi oleh peningkatan curah jantung.
Oleh karena itu tampaknya tidak mungkin bahwa perbedaan yang dapat dideteksi
secara klinis dalam tingkat induksi anestesi inhalasi atau kerentanan terhadap
overdosis anestesi akan hadir pada pasien anemia dibandingkan dengan pasien
tanpa anemia.
10 Thalassemia
Rantai globin dirangkai dalam molekul globin akhir, yang merupakan tetramer dari
dua rantai a-globin dan dua rantai non-a-globin.
Pada orang dewasa, hampir semua Hb terdiri dari dua rantai a-globin dan dua b-
globin (HbA), dengan komponen kecil HbF dan HbA2.
Cacat bawaan dalam sintesis rantai globin yang dikenal sebagai thalassemia adalah
salah satu penyebab utama anemia mikrositik pada anak-anak dan orang dewasa.
Gangguan ini menunjukkan pengaruh geografis yang kuat, dengan b thalassemia
mendominasi di Afrika dan daerah Mediterania, dan thalassemia dan HbE di Asia
Tenggara.
Thalassemia : adanya riwayat keluarga thalassemia, simpanan besi dan feritin
normal atau meningkat, dan produksi RBC dipertahankan atau bahkan tinggi
secara tidak proporsional. Diagnosis dikonfirmasi oleh elektroforesis Hb, yang
menentukan jenis rantai globin yang ada.
11
Thalassemia minor.
Sebagian besar individu dengan thalassemia memiliki thalassemia minor dan
heterozigot untuk mutasi gen a-globin (sifat a-thalassemia) atau b-globin (sifat b-
thalassemia).
Meskipun mutasi dapat menurunkan sintesis rantai globin yang terkena hingga
50%, menghasilkan RBC hipokromik dan mikrositik, anemia biasanya sederhana
dengan akumulasi globin yang tidak terpengaruh relatif sedikit. Oleh karena itu
morbiditas yang terkait dengan hemolisis kronis dan eritropoiesis yang tidak
efektif jarang ditemui.
12
Thalassemia intermedia.
Pasien dengan thalassemia intermedia menunjukkan anemia yang lebih parah dan
mikrositosis dan hipokromia yang menonjol.
Orang-orang ini mungkin memiliki bentuk ringan thalassemia b homozigot, defek
thalassemia a- dan b-b, atau thalassemia b dengan kadar HbF yang tinggi.
Mereka dapat hadir dengan gejala yang disebabkan oleh anemia dan kelebihan zat
besi dari transfusi berulang, seperti hepatosplenomegali, kardiomegali, hipertensi
paru, dan perubahan kerangka.
13
Thalassemia major.
Pasien dengan thalassemia mayor berkembang untuk terjadinya anemia yang
parah, yang mengancam jiwa selama beberapa tahun pertama kehidupan.
Untuk bertahan hidup di masa kanak-kanak, mereka memerlukan terapi transfusi
berulang untuk memperbaiki anemia dan menekan tingginya tingkat eritropoiesis
yang tidak efektif.
Tingkat keparahan bentuk thalassemia ini sangat bervariasi, bahkan di antara
pasien dengan mutasi genetik yang tampaknya identik.
Dalam bentuk yang paling parah, pasien menunjukkan tiga cacat yang secara nyata
menekan kapasitas gerak oksigen mereka: (1) eritropoiesis yang tidak efektif, (2)
anemia hemolitik, dan (3) hipokromia dengan mikrositosis.
14 Management of anesthesia.
Tingkat keparahan thalassemia adalah penentu kritis dari jumlah kerusakan organ
akhir dan risiko anestesi.
Dalam bentuknya yang paling ringan, anemia kompensasi kronis menjadi
perhatian.
Dengan bentuk yang lebih parah, anemia jauh lebih signifikan, seperti halnya fitur
terkait splenomegali dan hepatomegali, malformasi kerangka, gagal jantung
kongestif, hipertensi paru, cacat intelektual, dan komplikasi kelebihan zat besi
seperti sirosis, gagal jantung kanan, dan endokrinopati.
Malformasi kerangka dapat membuat intubasi trakea dan anestesi regional
menjadi sulit; Namun, semua teknik anestesi (umum dan regional) dapat
digunakan dengan aman pada pasien ini.
15
Polycythemia dan eritrositosis adalah istilah yang menggambarkan Hct tinggi yang
tidak normal.
Bahkan peningkatan sederhana dalam Hct dapat memiliki dampak besar pada
viskositas darah utuh.
Peningkatan Hct dapat dihasilkan dari pengurangan volume plasma (polycythemia
relatif) tanpa peningkatan massa sel darah merah yang sebenarnya.
Penurunan akut dalam volume plasma, seperti yang dapat dilihat dengan puasa
pra operasi, dapat mengubah polycythemia asimptomatik menjadi satu di mana
hiperviskositas mengancam perfusi jaringan.
Ketika Hct naik ke tingkat di atas 55% hingga 60%, viskositas darah utuh meningkat
secara eksponensial, mempengaruhi aliran darah terutama di pembuluh darah
kecil seperti kapiler dengan laju aliran/geser rendah.
18
Sirkulasi otak sangat rentan terhadap penurunan aliran darah yang dihasilkan dari
peningkatan viskositas
Tanda dan gejala Hct tinggi bervariasi tergantung pada proses penyakit yang
mendasarinya dan tingkat perkembangan eritrositosis.
Pasien dengan polycythemia kronis sederhana memiliki beberapa keluhan sampai
Hct melebihi 55% hingga 60%. Sakit kepala dan mudah gemuk kemudian terjadi.
Kadar hct di atas 60% dapat mengancam jiwa karena peningkatan viskositas
mengancam perfusi organ vital. Pasien dengan Hcts tinggi seperti itu juga berisiko
signifikan terhadap tromboses vena dan arteri.
19 Polycythemia Vera
Polisitemia primer, juga dikenal sebagai polycythemia vera (PV), adalah gangguan
sel induk yang ditandai dengan proliferasi klon prekursor hematopoietik, hampir
semuanya muncul dari mutasi pada gen JAK2 (Janus kinase 2).
Ekspansi klonal ini paling sering menghasilkan kelebihan eritrosit, tetapi jumlah
trombosit dan leukosit juga dapat meningkat.
Kriteria untuk diagnosis PV termasuk peningkatan kadar Hb ( >16.5 g/dL pada pria,
> 16 g/dL pada wanita) atau Hct ( > 49 pada pria, > 48 pada wanita),
hiperseluleritas trilinease sumsum tulang, dan adanya mutasi JAK2. Atau, dua
kriteria pertama di hadapan tingkat eritropoietin serum subnormal sudah cukup
untuk diagnosis.
20 Polycythemia Vera
PV dapat muncul pada usia berapa pun, tetapi sebagian besar pasien
mengembangkan penyakit ini pada dekade keenam atau ketujuh mereka.
Pasien dapat memiliki sejumlah gejala. Sindrom Budd-Chiari (oklusi vena hati)
adalah presentasi umum, seperti pruritus umum, gangguan penglihatan
sementara, dan eritromelalgia. Trombosis koroner atau serebral juga merupakan
tanda presentasi yang umum. Hipertensi paru terjadi dengan peningkatan
frekuensi pada populasi ini.
Pasien dengan PV tingkat rendah (usia < 60 dan tanpa thombos) umumnya
memerlukan flebotomi reguler untuk mempertahankan Hct di bawah 45 dan
aspirin dosis rendah.
Pasien yang lebih parah mungkin memerlukan pengobatan dengan obat
myelosuppressive seperti hydroxyurea, interferon, atau busulfan, untuk
mengontrol Hct.
21 Polycythemia Vera
Jumlah trombosit yang bersirkulasi normal dipertahankan dalam batas yang relatif
sempit.
Sekitar sepertiga trombosit diasingkan di limpa pada waktu tertentu.
Karena trombosit memiliki masa hidup sekitar 9 hingga 10 hari, sekitar 15.000-
45.000 trombosit/mm3 harus diproduksi setiap hari untuk mempertahankan
kondisi stabil.
24 General Concepts for Treating
Thrombocytopenia
Satu unit trombosit apheresis donor tunggal setara dengan kumpulan donor acak
4 hingga 8 unit trombosit.
Untuk pasien yang menjadi alloimmunized ke trombosit donor acak, bank darah
dapat menyediakan trombosit donor tunggal yang cocok dengan HLA.
Trombosit donor tunggal acak dan tidak perlu kompatibel dengan ABO
Namun, RBC yang cukup ditransfusikan dalam kolam trombosit untuk
meningkatkan risiko kepekaan pada pasien Rh-negatif.
Oleh karena itu pasien tersebut, terutama wanita usia subur, harus menerima
trombosit dari donor Rh-negatif atau diobati dengan imunoglobulin RhO (D)
(RhoGAM) setelah transfusi produk Rh-positif
27
Pasien dengan jumlah trombosit yang sangat rendah (< 15.000/mm3) dapat
mengalami perdarahan yang signifikan dari beberapa tempat, termasuk hidung,
selaput lendir, saluran cerna, kulit, dan tempat tusukan pembuluh darah.
Salah satu tanda yang sangat menyatankan trombositopenia adalah munculnya
ruam petechial yang melibatkan kulit atau selaput lendir. Kondisi ini paling
menonjol di ekstremitas bawah karena peningkatan tekanan hidrostatik di kaki.
Diagnosis banding trombositopenia paling baik diatur menurut fisiologi (1)
produksi trombosit, (2) distribusi dalam sirkulasi, dan (3) penghancuran trombosit
28 Management of Anesthesia
6. Hasil berbasis bukti yang mendukung tingkat pemicu transfusi spesifik Hb atau
HCT belum ada untuk pasien perioperatif; Namun, informasi yang ada terbatas
menunjukkan bahwa kadar Hb serendah 7 hingga 8 g/dL mungkin sama amannya
dengan tingkat Hb yang lebih tinggi pada pasien bedah jantung dan sakit kritis
tanpa bukti klinis iskemia. Investigasi klinis lebih lanjut diperlukan untuk memandu
keputusan transfusi pada pasien yang sakit kritis.
Askan
Tuberkulosa Paru
dr. M. Dwi Satriyanto, SpAn-TI, Subsp N.An(K), FIP, M.Kes.
1
2 Introduction
Tuberkulosis masih tetap sebagai salah satu penyakit menular yang paling umum
di dunia.
Sesuai laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2013, 9 juta kasus
baru seharusnya menderita TB; di antara ini 2-3% kasus ditemukan multi drug
resistant (MDR). India memiliki insiden dan prevalensi penyakit yang tinggi dengan
tingkat penularan yang tinggi. Prevalensi semua bentuk TB di India diperkirakan
5,05 per seribu orang.
Peningkatan prevalensi TB di masyarakat pasti memiliki dampak signifikan
terhadap manajemen anestesi.
Dokter anestesi menghadapi sejumlah tantangan saat memberikan anestesi
kepada pasien TB.
Pasien dapat hadir dengan gejala paru atau konstitusional yang dapat
mempengaruhi kebugaran untuk operasi dan manajemen anestesi.
3 Introduction
Peningkatan risiko yang ditimbulkan oleh penyakit paru yang sudah ada/diketahui
sebelumnya, selama anestesi dan pada periode pasca operasi : Tingkat
gangguan paru pra operasi yang lebih besar dikaitkan dengan terjadinya
peningkatan perubahan intraoperatif dalam fungsi pernapasan dan tingkat
komplikasi paru pasca operasi yang lebih tinggi.
Kegagalan untuk mengenali pasien yang berisiko tinggi dapat mengakibatkan
pasien tidak menerima perawatan perioperatif yang optimal.
Bagian ini membahas risiko paru dan meninjau pendekatan anestesi untuk pasien
dengan jenis penyakit pernapasan yang lebih umum yaitu TBC.
5 TBC (Tuberculosis )
INDIAN JOURNAL OF APPLIED RESEARCH , Volume : 4 | Issue : 2 | Feb 2014 | ISSN - 2249-555X
9 PERJALANAN TUBERKULOSIS
FAKTOR RISIKO :
Faktor risiko yang paling signifikan untuk perkembangan dari infeksi TB laten ke TB
aktif adalah HIV.
Orang lain yang berisiko lebih tinggi terkena activeTB adalah mereka yang pernah
atau pernah mengalami • gastrektomi, • kanker, • limfoma Hodgkin, • diabetes
mellitus, • silikosis
INDIAN JOURNAL OF APPLIED RESEARCH , Volume : 4 | Issue : 2 | Feb 2014 | ISSN - 2249-555X
10 Diagnosis.
Diagnosis TB didasarkan pada adanya tanda dan gejala klinis (batuk nonproduktif
persisten, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri dada, hemoptisis, keringat
malam), kemungkinan epidemiologi infeksi, dan hasil tes diagnostik.
Tes yang paling umum untuk TB adalah tes kulit tuberkulin (Mantoux). Hasil tes ini
mungkin positif jika orang telah menerima vaksin bacille Calmette-Guérin (BCG)
atau jika mereka telah terkena TB, bahkan jika tidak ada mikobakteri yang layak
hadir pada saat tes kulit.
Dua tes pelepasan interferon (QuantiFERON-TB Gold In-Tube test dan T-SPOT. Tes
TB) dianggap setara dengan, dan mungkin lebih baik daripada, tes kulit TB dalam
sensitivitas dan spesifisitas. Keduanya adalah tes darah, dan tidak terpengaruh
oleh vaksinasi BCG sebelumnya.
Mendapatkan sampel dahak bisa sulit pada anak-anak, dan diagnosis biasanya
dibuat berdasarkan tanda dan gejala tuberkulosis, kontak positif dan tes kulit
tuberkulin positif (Monteux).
Aspirates lambung dapat digunakan, tetapi memiliki tingkat pick-up kurang dari
40%.
Tes pelepasan T cell interferon-g (IFN-g), yang mengukur jumlah sel T yang
mensekresi IFN-g, telah dikembangkan sebagai pendekatan berbasis kekebalan
alternatif untuk tes kulit tuberkulin untuk mendeteksi infeksi
13 Diagnosis.
Radiografi thorax menunjukkan infiltrat apikal atau subapikal, atau infiltrasi lobus
atas bilateral dengan adanya kavitasi.
Pasien dengan AIDS dapat menunjukkan gambaran yang kurang klasik pada
radiografi dada.
Tuberculous vertebral osteomyelitis (penyakit Pott) adalah manifestasi umum dari
TB ekstrapulmoner. Apusan dahak dapat menunjukkan basil tahan asam.
Lebih baik menunda prosedur elektif sampai pasien tidak lagi menular.
Status gizi pasien, aneamia, suhu perlu dievaluasi dan didokumentasikan.
Riwayat pengobatan meliputi rincian obat anti-tuberkulosis dan efeknya pada
berbagai organ seperti hati (rifampisin), sistem saraf (INH dan streptomisin),
hematologi (trombositopenia) dan ginjal (etambutol).
Obat yang diinduksi hepatitis adalah komplikasi serius pada pasien dengan TB yang
terkait dengan HIV.
Gejala hepatitis umumnya bertanggung jawab atas kematian 5% sehingga terapi
obat TB perlu segera dihentikan; Jika memungkinkan, operasi harus dihindari
selama periode ini.
19 Pre Operative Assessment of Patient
Pilihan teknik anestesi tergantung pada pasien, prosedur dan tingkat keparahan
penyakit.
Anestesi regional sering lebih disukai pada pasien dengan penyakit paru-paru
kronis untuk menghindari masalah akibat penyakit seperti itu dan interaksi obat
potensial.
Agen anestesi lokal mengerahkan tindakan mereka terutama di tempat suntikan,
dan membantu menghindari banyak interaksi obat.
Peningkatan metabolisme dapat mengakibatkan penurunan risiko toksisitas
anestesi lokal.
Namun, ini mungkin tidak dapat dilakukan dalam beberapa prosedur dan pasien
mungkin memerlukan anestesi umum.
22 Anaesthetic Technique
Obat anti TB, Rifampisin dikenal untuk meningkatkan efek UDP glukoronil
transferase yang terlibat dalam metabolisme morfin, sehingga mengurangi
kemanjuran morfin oral1.
Fentanil dan alfentanil keduanya dimetabolisme secara ekstensif oleh CYP450 3A4,
oleh karena itu, juga menunjukkan potensi durasi aksi yang dipersingkat.
Tramadol dan brufen dapat digunakan dengan aman karena efeknya tidak berubah
25 Fig 1: Effects of Tuberculosis Treatment on Various
Anaesthetic Agents
26 Spread of Tuberculosis
Kasus-kasus elektif harus diambil sebagai kasus terakhir hari itu diikuti oleh
fumigasi untuk memungkinkan dekontaminasi teater setelah operasi.
Pasien harus selalu dipindahkan ke ruang operasi dengan mengenakan masker
bedah yang pas atau masker N95®. dibawa langsung ke teater, daripada
menunggu di area penahanan untuk menghindari paparan pasien lain.
Pembedahan harus dilakukan dengan personel sesedikit mungkin untuk
mengurangi jumlah kontak potensial dengan pasien indeks.
Untuk mencegah kontaminasi mesin anestesi dan sirkuit, filter udara partikulat
efisiensi tinggi (HEPA) harus ditempatkan di antara konektor Y dan masker, LMA,
atau tabung endotrakeal.
28 Spread of Tuberculosis
Filter bakteri yang ditempatkan pada corrugate ekspirasi ventilator atau mesin
anestesi, hal ini dapat membantu mengurangi pembuangan basil TB ke udara
sekitar.
Sterilisasi instrumen harus mengikuti protokol standar
Staf OT juga harus memakai masker N95®, terutama berlaku untuk prosedur
berisiko tinggi, seperti intubasi dan bronkoskopi.
Ahli anestesi harus memastikan anestesi dan relaksasi otot yang memadai. Kecuali
aliran gas dihentikan selama lebih dari satu jam di antara kasus, M. tuberculosis
telah terbukti melewati mesin anestesi18.
29 Post Anesthesia / operative
Masker wajah tipe usaha besar dapat ditempatkan di atas masker N95® untuk
memberikan oksigenasi tambahan.
N95® tidak boleh dipakai oleh pasien jika dia hipoksia atau gangguan pernapasan;
Jika hipoksia atau gangguan pernapasan terjadi, masker harus dilepas.
31 Perawatan pasca operasi
Mengingat peningkatan prevalensi HIV dan resistensi multi obat, tuberkulosis akan
terus menjadi risiko pekerjaan yang penting bagi ahli anestesi dan staf ruang
operasi.
Berdasarkan keterlibatan mereka dalam prosedur yang akan menginduksi
aerosolisasi basil tuberkular, ahli anestesi berpotensi berisiko. Oleh karena itu,
sangat penting bahwa personel anestesi harus memiliki pelatihan dan pendidikan
yang tepat mengenai penerapan praktik perlindungan diri serta pengujian
tuberkulin.
Risiko penularan pasien ke pasien melalui sirkuit anestesi rendah jika filter bakteri
dan virus yang efisien digunakan.
Intraoperatif.
Tindakan pencegahan khusus harus diambil untuk tidak melukai tulang belakang
selama manipulasi jalan napas pada pasien dengan TB tulang belakang.
Filter HEPA harus ditempatkan di antara konektor Y dan masker, saluran napas
masker laring (LMA), atau tabung trakea (ETT).
Filter bakteri harus ditempatkan pada ekshalasi pernafasan dari sirkuit anestesi
untuk mengurangi pembuangan basil tuberkel ke udara sekitar. Penggunaan mesin
anestesi dan ventilator khusus dianjurkan.
Pasca operasi.
Perawatan harus dilakukan di ruang isolasi, sebaiknya dengan tekanan negatif
I. PENGAKAJIAN
Next..Pengakajian
Tujuan :
1) menilai kondisi pasien.
2) menentukan status fisis dan risiko.
3) menentukan status teknik anestesia yang akan
dilakukan.
4) memperoleh persetujuan tindakan anestesia (
informed consent).
5) persiapan tindakan anestesia.
Next..Pengakajian
PengakajianPertimbangan Anestesi
1. Penyakit neuromuskuler
2. Penyakit kvs
3. Penyakit respirasi
4. Penyakit abdomen
5. Gangguan termoregulasi
6. Kegagalan hati
7. Penyakit renal
8. Penyakit endokrin
9. Penyakit hematologi
Pengkajian
1. Anamnesis :
- Identitas
- Riwayat penyakit
- obat maternal selama kehamilan
2. Pengkajian fisik
3. Evaluasi malampati
4. Evaluasi pemeriksaan diagnostik
5. Penilaian status fisik
Next..Pengkajian
6. Reaksi fisiologis
Sering terjadi sebelum operasi adalah reaksi
terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas bagian
yaitu reaksi somatic (voluntary) dan reaksi
simpatetik (involuntary).
Efek somatic tersebut dan menerima keadaan
yaitu dengan nampak tenang.
Next..Pengkajian
8. Pertimbangan anestesi
Kelainan yg mempengaruhi
1) Keadaan yang Memepengaruhi SSP.
Obat anti konvulsan → meningkatkan
pemecahan obat lebih singkat shg →
mengurangi efek kerja anestesi
Next. Keadaan yang
Memepengaruhi SSP
• Puasa
Umur Padat Clear Liquids Susu Formula ASI
(Jam) (Jam) (Jam) (Jam)
Neonatus 4 2 4 4
< 6 bln 4 2 6 4
6-36 bln 6 3 6 4
. 36 bln 6 2 6
Dewasa 6-8 2
Next..Praanestesi
Premedikasi
General intubasi
General LMA
General Masker
General Intra vena
General intubasi kombinasi
dengan regional
Next..Praanestesi
Regional Epidural
Regional SAB ( Sub
Arachnoid Blok )
Persiapan anestesi tindakan
elektif
Persiapan anestesi tindakan
emergensi
Intraanestesi
Induksi Anestesi
Diprebolehkan dengan obat anestesi induksi tetapi
diberikan dengan hati-hati.
Intubasi harus minimal (kurang dari 15 detik) untuk
mengurangi stimulasi simpatis
Next..intraanestesi
Rumatan Anestesi
Teknik dan agen anestesi harus sesuai kebutuhan masing-
masing pasien, dengan pertimbangan riwayat medis dan
prosedur bedah.
Ventilasi tekanan positif :
- utk mengurangi kongesti paru dan meningkatkan
oksigenasi arteri
- utk mengurangi aliran balik vena dan menurunkan
tekanan darah.
N2O : O2 : 50 : 50 % ( 2 : 2 )
Volatile agent dosis rendah
Next..intraanestesi
Monitoring :
Dgn pertimbangan anestesi → lakukan
monitoring terhadap respirasi, kvs , persarafan,
renal, cairan dan eletrolit, fungsi hati dan
termoregulasi, setiap 5 – 10 menit
Next..intraanestesi
Next.. Monitoring
Menilai level anestesi
Memantau keseimbangan O2 dan CO2
Memantau kebutuhan dan
keseimbangan cairan
Memantau haemodinamik
Memantau irama jantung
Menilai respon efek obat Anestesi
Memantau tingkat kesadaran dan
refleks pasien
Next..intraanestesi
Hitung perdarahan :
Mengukur darah dalam botol
suction, menimbang kain kasa
yang kena darah 10 ml/kain kasa.
Jumlahkan keduanya kemudian
tambahkan 25% untuk darah yang
sulit dihitung menempel di tangan
tim pembedah, di kain penutup
dan lain-lain.
Evaluasi hematokrit secara serial.
Perdarahan melebihi 20% pada
harus diganti dengan darah.
Pascaanestesi
Terima Kasih
Anestesi pada penyakit
jantung
• Cardiovascular complications account for 25% to 50% of deaths
following noncardiac surgery.
• Perioperative myocardial infarction (MI), pulmonary edema,
congestive heart failure, arrhythmias, and thromboembolism are
most commonly seen in patients with preexisting cardiovascular
disease.
Anatomi
Fungsi elektrikal
Cardiac risk index
Pertimbangan pra anestesi
• Penjelasan risiko operasi dan anestesi
• Melanjutkan obat-obatan – beta blocker, CCB, digitalis (hipokalemia!!)
• Sudden withdrawal of antianginal medication perioperatively—particularly β-
blockers—can precipitate a sudden, rebound increase in ischemic episodes.
• Antikoagulan
• Premedikasi – kecemasan – o2 supply demand – gol benzodiazepine
• Manajemen pra operasi
• Optimalisasi penggunaan obat
• Revaskularisasi dengan pci
• Revaskularisasi dengan cabg
• Pemeriksaan penunjang EKG, Darah rutin, Ekokardiografi, Stress test ekg,
holter, elektrolit
Pemantauan intraoperasi
• EKG
• Tekanan darah invasive atau non invasif
• Pulse oksimetri
• Kapnografi
• Suhu
• Urin
• CVP
• Tekanan arteri pulmonalis dan cardiac output dengan PAC
Prinsip anestesi
• Anestesi umum atau regional , local. Combined?
• Goal ?
• Teknik apa yang terbaik
• Laringoskopi ?
• Rumatan, trias anestesi
GENERAL anesthesia
General anesteshesia
• Premedication
• Benzodiazepin – anxiety, stability, hypoxia, durasi
• IV opioid – resp depression, prolong ventilation, catecholamines release
• Opioid – excellent analgesia, stability, blunt reflexes
• Amnesia?, rigidity, resp depression,
• Induction – avoid ketamin
• Etomidate – pain
• Barbiturat – direct depressant, small dose
• Propofol
• Benzodiazepines
Laringoskopi intubasi
• Depth anaesthesia
• Fentanyl 5-8 mcg/ kg ??
• Lidocaine 1,5-2 mg/kg
• Esmolol iv – 0.5-1 mg/kg
Relaxant
• Suksinilkolin – aritmia
• Pancuronium – tachycardia, ST depression
• Vecuronium – choices
• Doxacurium – choices
• Rocuronium – choices
• Histamin release drug – curare, atracurium, mivacurium
n2o
• PVR meningkat
• Kontraktilitas turun
• Svr meningkat sedikit
• Air expansion
• Arteri coroner menyempit
• Low dose
Agen inhalasi
+ -
Oxygen balans – contractility dan afterload turun Hemodinamik instability
Mudah di titrasi Takikardia / merubah sinus node function
Cepat di eliminasi Coronary steal syndrome
CAD
• Goal – balance supply and demand
• Pre load – keep heart small
• Afterload – maintain, hypertension better than hypotension
• Contractility – depression is beneficial jika LV baik
• Heart rate – low
• Rhytm – sinus
Heart failure
• Pump
• Ejection fraction < 30% severe
• Preload – reduced diuretic, nitrat
• Contractility – inotropic
• Afterload – vasodilator – regional ?
Anestesi pada pasien dengan
i
penyakit -A
ginjal
=
↑
--
-lenin
↳
L
- Aldisteron.
Xagirtnin Aureumnini
meI ④
creat 202pH
Para-O2PH
1
~
7
HC03
6injal
:
PHI
HC034 PHT
- Na.
mea
a n ns
Na-ce.
~102
·
73
-
pN
↓
Fisiologi ginjal ·
Saluran crat
=Ginger-st
• The combined blood flow through both kidneys normally accounts for
-
20–25% of total cardiac output.
-
urinary flow, and sodium excretion occur during both regional and
- -
-
2as v
Hemodialisa
-> >3mo
↳
⑳
- Cl !
① -I
- -
-
0.0
a
D
-- O
E? ⑧ ⑧
gr
Decaerdis
-
-
- - - n
-
⑳
-
-
. -
haveene
⑪i
W
~vo
Evaluasi fungsi renal
40 55w cr 55
=
=
-
• Creatinin – massa otot
• Rasio ureum – creatinine >15:1 = volume , tubular flow problem
08
=
↑ zumo -
Kristal
-
↓
-
ba
Effects of Anesthesia and Surgery
Q-
• Reversible decreases in RBF, GFR, urinary flow, and sodium excretion
-
occur during both regional and general anesthesia. Such changes are
less pronounced during regional anesthesia
• Most intravenous and inhalational agents cause some degree of cardiac
- -
- -
-
-
a
-
-
renal arterial-constriction.
-
3) -> selama-blood pressure.
* ane
• Volatile agents: Decrease renal vascular resistance. Compound A
- -
• NSAIDs: Prevent >
prostaglandin synthesis
behoiat
and may result in AKI
Amlinngtamani
-
Dexhutoprofen
as megrant
I began ta
0
E
Paracetat ->
opidid=
to
Diuretics
-
Gedahsarat
•!Mannitol: Most commonly used osmotic diuretic. There is no evidence
e n
--
severity of AKI. Hichocardinzich,
• Thiazide diuretics: Act at the distal tubule, inhibiting sodium
reabsorption. Synergistic when used with a loop diuretic. Indications
include hypertension, edematous disorders, hypercalciuria, and
- e
INTRAVENOUS AGENTS
stabil
#the
• Propofol & Etomidate
minimally affected by impaired renal function. Decreased protein
binding of etomidate in patients withI- hypoalbuminemia may enhance its
pharmacological effects.
-
E
• Barbiturates tippental.
-
Ab- e
increased E
sensitivity to barbiturates during induction- increase in free
circulating barbiturate as a result of =
decreased protein binding.
pre
Acidosis may also favor a more rapid entry of these agents into the
brain by increasing the- nonionized fraction of the drug
Ketamine -> Sedari (MAC.
adaschen
estazdan
• Benzodiazepines undergo hepatic metabolism and conjugation prior to
-elimination in urine. Because most are -highly protein bound, increased
sensitivity may be seen in patients with hypoalbuminemia. Diazepam
and midazolam should be administered cautiously in the presence of
-
renal impairment because of a potential for the accumulation of active
Emetabolites.
-Fentangl Steel
Opioids ·
Pelidin martin.
- -
• inactivated by the
e n itliver; some of these -
metabolites are then excreted in
I urine. I
-
I
• accumulation of morphine (morphine-6-glucuronide) and meperidine
(normeperidine) metabolites has been reported to - prolong respiratory
E
depression in patients with kidney failure, and increased levels of
normeperidine has been associated with seizures.
-
->
-• Proton pump inhibitor dosage does not need to be reduced for patients
e
meie
- >
Gemischen.
INHALATION AGENTS
• Volatile Agents Volatile anesthetic agents are ideal for patients with
=
oxygen content.
e. s
NO 02.
40? 603
i
Om
&ulb
O
3
MUSCLE RELAXANTS
e • Succinylcholine can be safely used in patients with kidney failure, in
El
the absence of hyperkalemia at the time of induction.
~ Dand atracurium
• Cisatracurium -are degraded by plasma ester hydrolysis
and nonenzymatic Hofmann elimination. plasma.
- >
- - -
-
ilustrasi kasus
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 40 Tahun
Diagnosis : Otitis Media
Eksudatif Dextra dengan riwayat
Hipertensi
Kes
imp
ulan
Tatalaksana perioperatif, termasuk dalam
pemilihan agen anastesi yang digunakan sangat
berpengaruh pada tindakan operatif bedah saraf,
termasuk dalam mengontrol tekanan intracranial
selama tindakan evakuasi perdarahan dilakukan.
Pemilihan fentanyl, propofol, atracurium,
sevoflurane dan penggunaan N2O sudah tepat
pada pasien dengan cedera kepala terkait dengan
pertimbangan efek masing-masing obat.
Oleh :
Arya Aditiya (201FI03002)
Dona Ayu Lestari (201FI03003)
Vina Alifia Yunita (201FI03006)
M. Taufiqurrohman .S. (201FI03010
Hasby Riesandy (201FI03011)
Fenisa Julia Putri Rambulangi (201FI03012)
M. Rafsya Julwandika (201FI03014)
M. Fatwa Ramadhan (201FI03032)
Aldhi Rahmat Wijaya (201FI03042)
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Anestesi Dengan Pasien Hipertensi Pada
Kasus Obgyn" dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Asuhan Keperawatan Anestesi
Dengan Penyakit Penyerta. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang
Anestesi Dengan Pasien Hipertensi Pada Kasus Obgyn.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Wahyu selaku guru Mata Pelajaran
Asuhan Keperawatan Pembedahan Khusus. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Anestesi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang
bagaimana tatalaksana mematikan rasa baik itu rasa nyeri, maupun rasa
ketidaknyamanan. Anestesi dapat diberikan dalam berbagai bentuk, seperti salep,
semprotan, suntikan, atau gas yang harus dihirup oleh pasien. Tindakan anestesi meliputi
komponen-komponen yang sering disebut dengan “trias anesthesia” yaitu hipnotik,
analgesia, dan relaksasi (Mangku & Senapathi, 2010).
Anestesi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu anestesi umum atau general, anestesi
epidural, dan anestesi lokal. Teknik tersebut dibagi berdasarkan pada pertimbangan jenis,
lamanya waktu operasi, sifat urgensi operasi, lokasi operasi, dan idikasi dilaksanakannya
operasi. Pada pasien dengan operasi besar dan memerlukaan waktu yang lebih lama,
biasanya mengunakan jenis operasi general (umum) yang dapat menghilangkan rasa nyeri
bersifat sementara. (Bulton & Colin 2012).
2. TUJUAN
1. Bagaimana manajemen Anestesi Dengan Pasien Hipertensi Pada Kasus Obgyn
2. Mempelajari pengertian, etiologi maupun macam-macam tentang Anestesi Dengan
Pasien Hipertensi Pada Kasus Obgyn
BAB II
PEMBAHASAN
1. Anestesi Dengan Pasien Hipertensi Pada Kasus Obgyn
a) Pengertian
Preeklamsia adalah sindrom yang dijelaskan dengan adanya hipertensi dan
proteinuria pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu, yang disertai dengan beberapa
tanda dan gejala seperti edema, gangguan visus, nyeri kepala dan nyeri di daerah
epigastrium. Dikatakan eklamsia apabila sudah mengenai sistem saraf pusat yang
menyebabkan kejang pada wanita dengan preeklamsia, dimana tidak ada penyebab lain
dari kejang itu sendiri.
b) Etiologi
Penyebab terjadinya preeklamsia dan eklamsia sampai sekarang belum diketahui
dengan pasti. Terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan penyebab penyakit
tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Teori
yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal- hal sebagai berikut :
1) sebab bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda,
hidramnion dan mola hidatidosa;
2) sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan;
3) sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin
dalam uterus;
4) sebab jarangnya terjadi eklamsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya; dan
5) sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang serta koma.
c) Patologi
Preeklamsia ringan jarang sekali menyebabkan kematian ibu. Oleh karena itu,
sebagian besar pemeriksaan anatomi patologik berasal dari penderita eklampsia yang
meninggal. Pada penyelidikan akhir-akhir ini dengan biopsy hati dan ginjal ternyata
bahwa perubahan anatomi patologik pada alat-alat itu pada preeklamsia tidak banyak
berbeda daripada yang ditemukan pada eklamsia. Perlu dikemukakan disini bahwa tidak
ada perubahan histopatologik yang khas pada preeklamsia dan eklamsia. Perdarahan,
infark, nekrosis dan thrombosis pembuluh darah kecil pada penyakit ini dapat ditemukan
dalam berbagai alat tubuh. Perubahan tersebut mungkin sekali disebabkan oleh
vasospasmus arteriola. Penimbunan fibrin dalam pembuluh darah merupakan faktor
penting juga dalam pathogenesis kelainan-kelainan tersebut.
d) Perubahan Anatomi Patologik
1. Plasenta.
Pada preeklamsia terdapat spasmus arteriola spiralis desidua dengan akibat
menurunnya aliran darah ke plasenta. Perubahan plasenta normal sebagai akibat
tuanya kehamilan, seperti menipisnya sinsitium, menebalnya dinding pembuluh
darah dalam villi karena vibrosis, dan konversi mesoderm menjadi jaringan fibrotic,
dipercepat prosesnya pada preeklamsia dan hipertensi. Pada preeklamsia yang jelas
adalah atrofi sinsitium, sedangkan pada hipertensi menahun terdapat terutama
perubahan pada pembuluh darah dan stroma. Arteria spiralis mengalami konstriksi
dan penyempitan, akibat aterosis akut disertai necrotizing arteriopathy.
2. Ginjal.
Alat ini besarnya normal atau dapat membengkak. Pada simpai ginjal dan pada
pemotonngan mungkin ditemukan pendarahan-pendarahan kecil.
Glomerulus tampak sedikit membengkak dengan perubahan-perubahan sebagai
berikut :
• sel-sel di antara kapiler bertambah; tampak dengan mikroskop biasa bahwa
membrana basalis dinding kapiler glomerulus seolah-olah terbelah, tetapi
ternyata keadaan tersebut dengan mikroskop electron disebabkan oleh
bertambahnya matriks mesangial; sel-sel kapiler membengkak dan lumen
menyempit atau tidak ada;
• penimbunan zat protein berupa serabut ditemukan dalam kapsel Bowman.
Perubahan-perubahan tersebutlah tampaknya yang menyebabkan proteinuria
dan mungkin sekali ada hubungannya dengan retensi garam dan air. Sesudah
persalinan berakhir sebagian besar perubahan yang digambarkan menghilang.
3. Hati
Alat ini besarnya normal, pada permukaan dan pembelahan tampak tempat-tempat
pendarahan yang tidak teratur. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat ditemukan
pendarahan dan nekrosis pada tepi lobulus, disertai thrombosis pada pembuluh darah
kecil, terutama di sekitar vena porta. Walaupun lokasi umumnya adalah periportal,
namun perubahan tersebut dapat ditemukan di tempat-tempat lain. Dalam pada itu,
rupanya tidak ada hubungan langsung antara berat penyakit dan luas perubahan pada
hati.
4. Otak
Pada penyakit yang belum lanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada
korteks serebri; pada keadaan lanjut dapat ditemukan pendarahan.
5. Retina
Kelainan yang sering ditemukan pada retina ialah spasmus pada arteriola-arteriola
terutama yang dekat pada diskus optikus. Vena tampak lekuk pada persimpangan
dengan arteriola. Dapat terlihat edema pada diskus optikus dan retina.
Ablasio retina juga dapat terjadi, tetapi komplikasi ini prognosisnya baik, karena
retina akan melekat lagi beberapa minggu postpartum. Perdarahan dan eksudat jarang
ditemukan pada preeklamsia biasanya kelainan tersebut menunjukkan adanya
hipertensi menahun.
6. Paru-Paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena
bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses paru-
paru.
7. Jantung
Pada sebagian besar penderita yang mati karena eklampsia jantung biasanya
mengalami perubahan degenerative pada miokardium. Sering ditemukan degenerasi
lemak dan cloudy swelling serta nekrosis dan perdarahan.
8. Kelenjar Adrenal
Kelenjar adrenal dapat menunjukkan kelainan berupa perdarahan dan nekrosis
dalam berbagai tingkat.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Preeklamsia adalah sindrom yang dijelaskan dengan adanya hipertensi dan
proteinuria pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu, yang disertai dengan beberapa
tanda dan gejala seperti edema, gangguan visus, nyeri kepala dan nyeri di daerah
epigastrium
Pada manajemen anestesi juga ada banyak hal yang harus di perhatikan oleh
dokter bedah maupun oleh dokter anestesi pada pasien obgyn yang memiliki komplikasi
hipertensi dari mulai peri operatif, intra operatif, dan pasca operatif.
DAFTAR PUSAKA
Binici, Orhan, and Evren B. Anesthesia for Cesarean Section in Parturients with Abnormal
Placentation: A Retrospective Study. Cureus:2019;11(6)
Jayakusuma, AAN. Manajemen risiko pada preeklampsia. Denpasar: Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan, Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS. Sanglah. 2004. pp.15-26
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. (2002), Peripheral Nerve Blocks. Dalam : Clinical
Anesthesiology-third edition, Lange Medical Books/ McGraw-Hill Companies,Inc : Amerika
Serikat.
MAKALAH
ANESTESI DENGAN PASIEN HIPERTENSI PADA KASUS OBGYN
Kelompok 1
Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab utama dari kematian ibu
hamil, yang diperkirakan sekitar 5.000 wanita hamil meninggal oleh karena preeklamsia setiap
tahunnnya di dunia. Penyakit hipertensi dalam kehamilan menduduki peringkat ketiga tertinggi
yang menyebabkan kematian ibu hamil di United States, setelah tromboembolisme yang
menduduki peringkat pertama dan perdarahan pada peringkat kedua. Sedangkan di United
Kingdom, penyakit hipertensi dalam kehamilan menduduki peringkat kedua yang menyebabkan
kematian ibu hamil setelah tromboembolisme.
Preeklamsia adalam sindrom yang dijelaskan dengan adanya hipertensi dan proteinuria
pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu, yang disertai dengan beberapa tanda dan gejala
seperti edema, gangguan visus, nyeri kepala dan nyeri di daerah epigastrium. Dikatakan eklamsia
apabila sudah mengenai sistem saraf pusat yang menyebabkan kejang pada wanita dengan
preeklamsia. Sedangkan dikatan HELLP syndrome apabila wanita dengan preeklamsia disertai
dengan hemolysis, tingginya enzim hati dan jumlah platelet yang rendah walaupun hubungan
antara preeklamsia dengan HELLP syndrome tidak begitu jelas. Proteinuria mungkin tidak selalu
tampak pada pasien dengan HELLP syndrome.
Hipertensi kronik terjadi pada 5% wanita hamil yang didefenisikan dengan hipertensi
yang muncul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau tampak sebelum kehamilan. Apabila
berkembang setelah masa kehamilan, hipertensi kronik mungkin sulit untuk dibedakan dengan
gestasional hipertensi dan preeklamsia. Tetapi jika hiperyensi terus menetap setelah 12 minggu
postpartum, dapat diklasifikasin sebagai hipertensi kronik. Wanita hamil dengan preeklamsia
perlu mendapatkan perhatian khusus baik selama kehamilan maupun pada saat persalinan. Pada
dasarnya penanganan preeklamsia terdiri atas pengobatan medic dan penanganan obsteri.
Manajemen perioperative perlu dipikirkan dan direncanakan oleh seorang anestesiologi dalam
menangani penderita dengan preeklamsia yang disertai dengan eklamsia dan HELLP syndrome.
Manajemen perioperative pada pasien preeklamsia dengan eklamsia dan HELLP syndrome harus
dilakukan dengan seksama dan berhati-hati baik pada saat preanastesi, anestesi monitoring
intraoperative dan pada saat pasca anestesi dan pasca operatif
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFENISI
Preeklamsia adalah sindrom yang dijelaskan dengan adanya hipertensi dan
proteinuria pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu, yang disertai dengan beberapa
tanda dan gejala seperti edema, gangguan visus, nyeri kepala dan nyeri di daerah
epigastrium. Dikatakan eklamsia apabila sudah mengenai sistem saraf pusat yang
menyebabkan kejang pada wanita dengan preeklamsia, dimana tidak ada penyebab lain
dari kejang itu sendiri.
Sedangkan dikatakan HELLP syndrome apabila wanita dengan preeklamsia
disertai dengan hemolisis, enzim hati yang meningkat dan jumlah platelet yang rendah
walaupun hubungan antara preeklamsia dengan HELLP syndrome tidak begitu jelas.
Proteinuria mungkin tidak selalu tampak pada pasien dengan HELLP syndrome
2. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya preeklamsia dan eklamsia sampai sekarang belum diketahui
dengan pasti. Terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan penyebab penyakit
tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan, teori
yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal sebagai berikut :
1) sebab bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda, hidramnion
dan molahidatidosa
2) sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan
3) sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam
uterus
4) sebab jarangnya terjadi eklamsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya ; dan
5) sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang serta koma
Pasien hamil mengeluh nyeri kepala sejak pukul 09.00 (18-3-2012), mata terasa kabur (+), dan pasien sempat
mengalami kejang sebelum tiba di rumah sakit selama + 1 menit, nyeri uluati (+), sakit perut hilang timbul (-),
keluar air (-), gerak anak (+) baik. Pasien diketahui TD tinggi sejak tgl 18/03/2012 yaitu 180/120 mm/Hg.
Pasien melahirkan anak pertama dan keduanya dengan operasi sectio caesaria di RSUP Sanglah. Anestesi yang
digunakan adalah anestesia umum.
Riwayat penyakit sistemik : Pasien mengatakan mengetahui tekanan darahnya tinggi sejak 18 Maret 2012.
Riwayat Diabetes mellitus disangkal, asma disangkal, penyakit jantung disangkal.
Status Present :
Kesadaran : komposmentis
Respirasi : Frekuensi napas : 20x/menit, Pola napas : teratur,Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Kardiovaskuler : Tekanan Darah : 180/120 mmHg , Nadi : 92 x/menit S1S2 Tunggal, reguler,
murmur (-)
Abdomen : sesuai status Obstetri, DJJ (+), terdapat jaringan parut bekas SC Urogenital :
Terpasang Urin Kateter
Muskuloskeletal : Fleksi/defleksi leher normal, Mallampati II, gigi utuh, celah interspinosum
teraba, edem (+) ekstremitas inferior.
PEMBAHASAN
4. Pemulihan
a. Setelah pasien bernafas spontan, aliran gas N2O dan Sevofluran dihentikan.
b. Diberikan aliran O2 100% 6-8 lpm selama pasien bernapas spontan adekuat.
c. Membersihkan jalan napas pasien dengan suction sampai kering diikuti dengan
ekstubasi sadar.
d. Kemudian diberikan aliran O2 100% 8 lpm melalui sungkup muka.
e. Menilai aldrette score
Pada manajemen pre operatif anestesia pasien, monitor terhadap balance cairan, status
hemodinamik, koagulasi fungsi renal, fungsi respirasi, fungsi hepar, status fetal, dan pemberian
obat sebelumnya sudah dilakukan. anestesia umum. Ini mungkin juga pertimbangan atas riwayat
jenis operasi pada persalinan pertama dan kedua yaitu anestesi umum.
Manajemen intra operatif yang dilakukan adalah pemilihan anestesia umum. Pemilihan anestesia
ini berdasarkan keadaan penderita itu sendiri. Dimana penderita dengan eklamsia dan HELLP
Syndrome pemilihan jenis operasi yang tepat adalah anestesia umum. Ini mungkin juga
pertimbangan atas riwayat jenis operasi pada persalinan pertama dan kedua yaitu anestesi umum.
Manajemen post operasi dilaksanakan dengan prinsip pemberian analgesia yang adekuat dengan
pemberian opioid, monitoring balance cairan selama 24 jam atau sampai diuresis meningkat,
intake cairan sebanyak 75 mL/jam diberikan sampai pasien sudah dapat melalukan mobilisasi,
kontrol hemodinamik dengan pemberian agen hipertensi untuk menghindari rebound
hypertension. Pada pasien ini pemberian analgesia diberikan secara drip analgetika Fentanyl
(opioid) 300 mcg dalam 50 cc NaCl 0,9% via syringe pump ditambah Paracetamol 3x1 gram
intravena yang dilakukan dengan tujuan melakukan analgesia pada konduksi dan modulasi nyeri
sehingga bekerja pada dua tempat kerja yang berbeda dan dapat mengatasi nyeri yang terjadi
dengan khasiat hampir sama dengan pemberian analgesia dengan teknik epidural atau intratekal.
Terapi dari Obgyn yaitu antibiotika Amoksisilin 3x1 gram, MgSO4 20% 4 gram IV, Nifedipine 3
x 20 mg, Dexamethason 2 x 10 mg.
Asuhan Keperawatan Anestesi
Dengan Kasus Hipertensi Pada
Bedah Urologi
Kelompok 2
Dosen Pengampun : Wahyu Wahdana, MM.Kep
Nama kelompok
Nazlia Berlian : 201FI03020
Windy Melza Putri : 201FI03021
Togi Riki Rikardo : 201FI03024
Indah Setia Pebriani : 201FI03026
Riskia Devianti : 201FI03027
Febri Nazah : 201FI03028
Luthfiyah Nurazizah : 201FI03033
Teguh Mahara : 201FI03036
Tiara Puspita Rosa : 201FI03045
Latar Belakang
Latar belakang anestesi pada pasien dengan hipertensi yang menjalani operasi urologi sangat
penting untuk meminimalkan risiko komplikasi selama dan setelah operasi. Hipertensi adalah kondisi
medis di mana tekanan darah di dalam arteri meningkat secara konsisten. Pasien dengan hipertensi
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami komplikasi selama prosedur bedah, seperti perdarahan,
stroke, gagal jantung, dan masalah pernapasan.
Untuk mengatasi masalah ini, dokter anestesi akan mengevaluasi kondisi pasien sebelum
operasi dan memilih anestesi yang paling cocok untuk pasien tersebut. Ada beberapa pilihan anestesi yang
tersedia, termasuk anestesi umum, regional, atau lokal. Anestesi umum melibatkan penggunaan obat-
obatan yang membuat pasien tertidur selama operasi. Anestesi regional melibatkan suntikan anestesi lokal
ke daerah tertentu pada tubuh untuk memblokir rasa sakit, dan pasien tetap sadar selama operasi. Anestesi
lokal hanya menghilangkan rasa sakit pada area yang akan dioperasi dan pasien tetap sadar selama
operasi.
Latar Belakang
Dalam beberapa kasus, dokter anestesi juga dapat meresepkan obat hipertensi
untuk pasien sebelum operasi setelah dilakukan pemeriksaan pada pasien untuk membantu
mengontrol tekanan darah selama dan setelah operasi . Selain itu, pasien mungkin juga
diminta untuk tidak mengonsumsi obat-obatan tertentu sebelum operasi, seperti obat anti-
inflamasi nonsteroid atau obat pengencer darah.
Secara umum, anestesi pada pasien dengan hipertensi yang menjalani operasi
urologi dapat berisiko tinggi, tetapi dengan perencanaan yang tepat dan penggunaan teknik
yang sesuai, risiko ini dapat diminimalkan. Pasien harus diawasi secara ketat selama dan
setelah operasi untuk memastikan bahwa mereka pulih dengan cepat dan tanpa komplikasi.
Tujuan
Untuk mengetahui apa itu hipertensi? Untuk mengetahui keterkaitan anestesi pada
kasus hipertensi dan bedah urologi?
Definisi
Anestesi adalah suatu prosedur yang dilakukan pada pasien sebelum dilakukan operasi
atau tindakan medis lainnya. Tujuan dari anestesi adalah untuk mematikan rasa sakit dan
menenangkan pasien selama prosedur medis.
Hipertensi adalah kondisi ketika tekanan darah pasien terlalu tinggi. Hipertensi dapat
menyebabkan berbagai macam komplikasi, seperti penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal. Oleh
karena itu, pasien dengan hipertensi harus mendapatkan perawatan yang tepat sebelum, selama, dan
setelah prosedur anestesi.
Bedah urologi adalah suatu prosedur bedah yang dilakukan pada sistem urogenital,
yaitu saluran kemih dan sistem reproduksi. Bedah urologi dapat meliputi prosedur seperti operasi
kandung kemih, operasi ginjal, dan operasi prostat.
Hipertensi dianggap terjadi ketika tekanan darah sistolik (tekanan saat jantung
berdetak) mencapai 130 mmHg atau lebih, dan tekanan darah diastolik (tekanan saat jantung
beristirahat antara denyut nadi) mencapai 80 mmHg atau lebih.
Tanda dan Gejala
Hipertensi
Sakit kepala Pusing Nyeri Dada
Pandangan
Berkeringat palpitasi
kabur
Penanganan Hipertensi
Pengobatan dengan
01 Perubahan gaya hidup 02 obat - obatan
Setelah beberapa hari, Tn. S pulih dari operasi dan diminta untuk melakukan
kontrol berkala dengan dokter untuk memantau tekanan darahnya dan
kondisi kesehatannya secara keseluruhan.
Dalam kasus ini, pengobatan hipertensi dan kontrol tekanan darah yang ketat
sangat penting selama periode pra-operasi, operasi, dan pasca operasi
untuk mengurangi risiko komplikasi dan memastikan kesuksesan operasi
pada pasien dengan batu ginjal dan
THANK YOU
ASUHAN KEPERAWATAN
ANESTESI PADA PENYAKIT
PENYERTA RESPIRASI: PPOK
Penyakit Paru
Obstruktif Kronis
(PPOK)
PPOK
KELOMPOK 5
ANGGOTA :
Muhammad Fatih Al Abiyyu 201FI03005
Frisda Nurwidyaningrum 201FI03007
Sandra Agustina 201FI03009
Vegi Maura Amalia 201FI03015
Rismawati 201FI03022
Susi Fatmawati 201FI03023
Gina Hanifah 201FI03030
Fera Nurhayati 201FI03039
Siti Nurholipah 201FI03040
PROGRAM STUDI PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
BANDUNG, 2023/2024
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi atau tekanan darah tinggi hingga saat ini masih merupakan salah satu
penyakit sistemik dengan prevalensi tertinggi di dunia, dengan prevalensi di Indonesia
pada masyarakat dengan usia ≥18 tahun berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2013 sebesar 25,8 % dan khusus
di Provinsi Lampung sebesar 26%.Menurut World Health Organization(WHO),
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg. Salah satu masalah utama yang dihadapi para penderita
hipertensi adalah saat perlu dilakukan tindakan pencabutan gigi dengan menggunakan
anestesi lokal yang mengandung agen vasokonstriktor yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba dan dapat menimbulkan komplikasi
mengancam nyawa (Wijaya, 2018).
Pencabutan gigi merupakan salah satu pemilihan perawatan di bidang bedah
mulut. Tindakan pencabutan gigi melibatkan jaringan tulang dan jaringan lunak pada
rongga mulut. Pencabutan gigi dilakukan pada gigi yang mengalami karies, gigi impaksi,
dan gigi yang sudah tidak dapat dilakukan perawatan. Tindakan pencabutan gigi
merupakan suatu tindakan sehari hari dilakukan oleh dokter gigi yang tidak jarang
ditemukan komplikasi dari tindakan pencabutan gigi. Oleh karna itu, perlu waspada dan
mampu mengatasi kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi. (Rahman, dkk.2017).
Dalam melakukan tindakan pencabutan gigi dapat di pengaruhi oleh faktor- faktor
salah satunya adalah tekanan darah. Tekanan darah adalah daya dorong ke semua arah
pada seluruh permukaan yang tertutup pada dinding bagian dalam jantung dan pembuluh
darah. Selain tekanan darah, tanda-tanda vital meliputi denyut jantung, frekuensi
pernafasan, dan suhu badan. Peningkatan tekanan darah disebabkan oleh peningkatan
volume darah atau elastisitas pembuluh darah. Sebaliknya, penurunan volume darah akan
menurunkan tekanan darah (Karamoy, dkk.2015)
Banyak faktor yang dapat menyebabkan perubahan peningkatan tekanan darah
setelah tindakan pencabutan gigi. Perubahan tekanan darah ini mungkin dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti stres fisiologis, rasa sakit karena pencabutan gigi, lama
pencabutan gigi, kesulitan dalam pencabutan gigi, dan penggunaan epineprin dalam
anestesi lokal. Pencabutan gigi yang akan dilakukan memberikan respon stres fisiologis
pada pasien yang terwujud dalam perubahan tekanan darah, hemodinamik, dan respon
kardiovaskular (Yuwono, 2012).
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pencabutan gigi pada pasien hipertesi
2. Untuk mengetahui klasifikasi ASA pada pasien bedah mulut dengan hipertensi
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pencabutan Gigi
Pencabutan gigi yaitu salah satu pilihan perawatan di bidang bedah mulut. Tindakan
pencabutan gigi melibatkan jaringan tulang dan jaringan lunak pada rongga mulut.
Pencabutan gigi bisa dilakukan apabila gigi mengalami karies, impaksi, dan gigi yang
sudah tidak dapat dilakukan perawatan endodontik (Arini, 2017).Pencabutan gigi
merupakan suatu tindakan yang sehari hari yang dilakukan oleh dokter gigi maupun
perawat gigi yang tidak jarang ditemukan komplikasi tindakan pencabutan gigi. Oleh
karena itu perlu waspada mampu mengatasi kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
(Rahman,dkk,2017).
1. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pencabutan Gigi Menurut Rini
Irmayanti Sitanaya (2016 ) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pencabutan gigi
yaitu sebagai berikut:
a. Anatomi gigi menentukan jenis alat pencabutan, gerakan pencabutan dan
posisi pencabutan.
b. Anestesi dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi rasa sakit.
c. Jumlah gigi yang dicabut dalam satu kunjungan.
d. Tidak menggunakan tenaga yang besar.
e. Pemeriksaan kembali gigi yang baru di cabut
2. Indikasi pencabutan gigi
a. Gigi dengan karies besar sehingga tidak dapat ditambal lagi daan tidak
dapat dilakukan perawatan endodontik.
b. Gigi sangat goyah
c. Gigi impaksi
d. Gigi untuk perawatan ortodonti
e. Gigi yang merupakan fokus infeksi
f. Gigi dengan fraktur/patah
g. Gigi dengan sisa akar
h. Keinginan pasien sendiri untuk dicabut
3. Kontra Indikasi Pencabutan Gigi
Untuk mendukung diagnosa yang benar dan tepat serta menyusun rencana
perawatan yang tidak menimbulkan akibat yang tidak diinginkan, maka sebelum
dilakukan tindakan eksodonsis atau tindakan bedah lainnya harus dipersiapkan
dahulu suatu pemeriksaan yang teliti dan lengkap yaitu dengan pertanyaan adakah
kontra indikasi atau tindakan bedah lainnya yang disebabkan oleh faktor lokal
atau sistemik
4. Kontra Indikasi Lokal
a. Pada infeksi gingiva akut.
b. Pericoronitis
c. Kelainan pada periapikal seperti abses periapikal
d. Sinusitis maksilaris 7
e. Gigi yang berada dalam jaringan tumor
5. Kontra Indikasi Sistemik Pasien dengan kontra indikasi yang bersifat sistemik
memerlukan pertimbangan khusus untuk dilakukan eksodonsi.
a. Diabetes melittus :Malfungsi utama diabetes melittus adalah penurunan
absolut atau relatif kadar insulin dalam darah yang mengakibatkan
kegagalan metabolisme glukosa.
b. Kehamilan :Pregnancy bukan kontra indikasi terhadap pembersihan
kalkulus ataupun ekstraksi gigi, karena tidak ada hubungan antara
pregnancy dengan pembekuan darah pendarahan pada gusi mungkin
merupakan manifestasi dari pregnancy gingivitis yang disebabkan
pergolakan hormon selama pregnancy, yang perlu diwaspadai adalah
sering terjadinya kondisi hipertensi dan diabetes mellitus yang meskipun
sifatnya hanya temporer, akan lenyap setelah melahirkan, namun cukup
dapat menimbulkan masalah saat dilakukan tindakan perawatan gigi yang
melibatkan perusakan jaringan dan pembuluh darah.
c. Penyakit Kardiovaskuler :Sebelum menangani pasien perlu mengetahui
riwayat kesehatan pasien baik melalui rekam medis nya atau wawancara
langsung dengan pasien, pada penyakit kardiovaskuler, denyut nadi pasien
8 meningkat, tekanan darah pasien naik menyebabkan pembekuan darah
yang sudah terbentuk terdorong sehingga terjadinya pendarahan
d. Hipertensi :Bila anestesi lokal yang kita gunakan mengandung
vaskonstriktor, pembuluh darah akan menyempit menyebabkan tekanan
darah meningkat pembuluh darah kecil akan pecah, sehingga terjadi
pendarahan.
6. Komplikasi dalam pencabutan Gigi
Komplikasi akibat pencabutan gigi dapat terjadi oleh berbagai sebab dan
bervariasi pula dalam akibat yang ditimbulkannya. komplikasi tersebut kadang
tidak dapat dihindarkan tanpa memandang operator, kesempurnaan persiapan dan
keterampilan operator. Beberapa jenis komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
a. Kegagalan dari pemberian anastetikum.
b. Fraktur mahkota gigi, akar gigi, dan tulang alveolar.
c. Pendarahan berlebih selama pencabutan gigi dan setelah pencabutan gigi.
Rasa sakit pasca pencabutan gigi yang disebabkan karena kerusakan dari
jaringan keras dan jaringan lunak dan dry soket.
d. Pembengkakan pasca pencabutan disebabkan oleh infeksi, terhentinya
respirasi, terhentinya jantung, dan keadaan darurat akibat anestesi.
B. Tekanan darah
1. Pengertian Tekanan Darah
Tekanan darah adalah kekuatan yang mendorong darah terhadap dinding arteri,
tekanan ditentukan oleh kekuatan jumlah darah yang di pompa, dan ukuran serta
fleksibilitas dari arteri, yang diukur dengan alat pengukur tekanan darah dan
stetoskop. Tekanan darah terus menerus berubah tergantung pda aktivitas, suhu,
makanan, keadaan fisik, dan obatobatan. Dua angka yang harus dicatat ketik
mengukur tekanan darah, angka yang lebih tinggi adalah tekanan sistolik,
mengacu pada tekanan di dalam arteri ketika jantung berkontraksi dan memompa
darah ke seluruh tubuh. Sedangkan Angka yang lebih rendah, adalah diastolik,
mengacu pada tekanan arteri ketika jantung beristirahat dan pengisian darah.
Asfuah, dkk, ( 2012).
2. Perbedaan tekanan darah sebelum dan sesudah pencabutan gigi
Tekanan darah dan denyut nadi dapat digunakan sebagai parameter untuk
mendeteksi adanya peningkatan aktivitas saraf simpatis tersebut. Hal tersebut
pada akhirnya akan menghasilkan perubahan tekanan darah dan denyut nadi
sebelum dan sesudah dilakukan tindakan pencabutan gigi.
Obat bius (anestesi) yang digunakan pada proses pencabutan gigi berefek
pada penyempitan pembuluh darah. Apabila laju tekanan darah sangat cepat
(tinggi), pembuluh darah bisa saja pecah dan mengakibatkan perdarahan hebat.
Sebelum melakukan pencabutan atau perawatan gigi, 14 penderita hipertensi perlu
mendapatkan evaluasi terlebih dahulu. Evaluasi yang dimaksud mencakup ada –
tidaknya – riwayat keluarga terhadap penyakit kardiovaskular, obat-obatan yang
dikonsumsi rutin, tingkat keparahan penyakit, serta komplikasi yang sudah terjadi
3. Resiko yang terjadi pada pencabutan gigi bila tekanan darah tinggi
a. Resiko akibat anestesi lokal
Larutan anestesi lokal yang biasa digunakan adalah lodakin dengan
adrenalin. Larutan adrenalin yang di injeksikan ke pembuluh darah bisa
menimbulkan takikardi (berdebar-debar), stroke volum meningkat
sehingga tekanan darah menjadi tingg. Resiko yang lain adalah terjadinya
ischemia otot jantung (kekurangan oksigen pada otot jantung) yang
menyebabkan nyeri dada jika berat akan berakibat fatal, yaitu akan
mengalami matinya otot jantung.
b. Resiko pendarahan
Pendarahan bisa terjadi dalam pendarahan yang sulit dihentikan saat
dilakukan tindakan pencabutan, pendarahan yang terlalu banyak bisa
mengakibatkan menurunnya hemoglobin atau sel darah merah sehingga
menderita kekurangan darah.
c. Resiko pengobatan
pada penderita hipertensi Penting juga ditanyakan kepada pasien apakah
mengkonsumsi obatobatan pengencer darah, dan obat obatan lain karena
juga dapat menyebabkan pendarahan. Penting dilakukan pemeriksaan
tekanan darah sebelum tindakan pencabutan gigi. jika pasien ada riwayat
hipertensi gigi sebaiknya ditunda dan pasien dirujuk ke dokter ahli
penyakit dalam untuk mengontrol tekanan darah (Liliany, 2017).
C. mengklasifikasikan status risiko pasien menjadi: ASA I, ASA II, ASA III, dan ASA IV.
− Untuk pasien ASA I, dengan tekanan darah normal 120/80 – 130/89 mmHg, tidak
ada penyakit sistemik), perawatan gigi rutin dapat diberikan.
− Pasien ASA II, dengan hipertensi tahap 1, dengan tekanan darah 140/90- 159/99,
stabil secara medis, tidak ada pembatasan aktivitas fisik, perlu pemantauan
tekanan darah setelah anestesi lokal yang mengandung adrenalin, perawatan gigi
rutin bisa dilakukan. Pasien hipertensi tahap 2, dengan tekanan darah 160/100-
179/109 mmHg, tidak stabil secara medis dan toleransi aktivitas fisik terbatas
− (ASA III), perlu pembatasan vasokonstriktor dalam anestesi lokal yang
digunakan. Pasien hipertensi tahap 2, dengan tekanan darah 180/110-209/119
mmHg, tidak stabil secara medis dan aktivitas fisik sangat terbatas
− (ASA IV), berisiko untuk perawatan dengan anestesi lokal yang mengandung
vasokonstriktor hanya perawatan gigi darurat nonstressful yang dapat diberikan.
Pasien hipertensi tahap 2, dengan tekanan darah 210/120 mmHg atau lebih tidak
dapat menerima stress fisik maupun emosional, biasanya pasien hipertensi yang
langsung mengancam kehidupan (ASA IV), semua tindakan dental darurat harus
dipertimbangkan bahwa terapi gigi memang benar-benar menguntungkan
dibanding komplikasi yang timbul akibat hipertensinya
D. Pembahasan
Dengan semakin tingginya prevalensi pasien yang menderita hipertensi dan adanya
peningkatan terjadinya hipertensi seiring dengan bertambahbya umur, maka akan sering
kemungkinan dokter gigi merwat pasien dengan hipertensi di klinik. Penggunaan bahan
vasokonstriktor sebagai tambahan dalam anestesi lokal pada pasien hipertensi masih
merupakan perdebatan, meskipun sudah ada bukti-bukti penelitian bahwa penggunaan
bahan anestesi lokal yang mengandung vasokonstriktor khususnya adrenalin dalam dosis
yang dianjurkan (dosis maksimal 0,2 mg untuk pasien sehat tiap kali kunjungan dan 0.04
mg direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit kardiovaskuler tidak mengakibatkan
peningkatan tekanan darah yang signifikan dan bila ada perubahan hanya bersifat sesaat.
Pengelolaan pasien dengan hipertensi memerlukan suatu strategi tertentu yang
menguntungkan untuk menjaga kestabilan tekanan darah selam periode perawatan,
khususnya apabila saat perawatan memerlukan intervensi anestesi lokal yang
mengandung vasokonstriktor. Oleh karena itu seleksi vasokonstriktor berdasarkan durasi
yang dibutuhkan, keprluan hemostasis dan kondisi sistemik penyerta pada pasien.
Penggunaan vasokonstriktor merupakan kontra indikasi pada kondisi : angina yang tidak
stabil, infark jantung dan stroke (< 6 bulan), operasi by pass arteri koroner (<3 bulan),
hipertensi yang tidak terkontrol, gagal jantung parah, sensitif sulfitem dan
phaechromocytoma. Ada beberapa pasien tertentu meskipun dalam kondisi tekanan darah
normal namun sensitif terhadap vasokonstriktor dan akan memberikan respon yang
berkepanjangan terhadap vasokonstriktor khususnya epineprin, dan hal ini tidak bisa
diprediksi sebelumnya.
Ada dua strategi dalam perawatan gigi pada pasien hipertensi yaitu strategi
preventif dan kuratif dan perhatian yang sangat besar harus diberikan khususnya ada
kemungkinan komplikasi terjadinya hipertensi akut/crisisis hypertension/emergent
hipertensi yang terjadi selama perawatan gigi. Pada strategi preventif meliputi semua
tindakan untuk mengontrol tekanan darah pasien selama periode perawatan dan semua
tindakan preventif dalam bidang kedokteran gigi sendiri (yang meliputi kontrol plak,
flouridasi dll). Tindakan preventif yang efektif untuk mengontrol tensi pasien meliputi
kontrol kecemasan dan stress, pemilihan anestesi , bahan anestesi, dan kontrol sakit
setelah tindakan selesai.
E. Anestesi
1. Pre anestesi
evaluasi preoperatif pada pasien dengan hipertensi sangat diperlukan.
Pemeriksaan perlu dilengkapi dengan riwayat kualitas kontrol tekanan darah dan
agen anti hipertensi yang digunakan selama ini Semua pasien dengan riwayat
hipertensi perioperatif harus menjalakan beberapa pemeriksaan Pemeriksaan
meliputi elektrokardiogram (EKG), analisis gula darah, pemeriksaan elektrolit dan
kreatinin [melalui pengukuran laju filtrasi glomerulus (LFG)), disertai dengan
dipstick urin/pemeriksaan protein urin.
2. Intra Anestesi
Pasien dengan hipertensi ringan hingga sedang tanpa disfungsi organ subklinis,
ataupun faktor risiko tambahan, dapat dilanjutkan menerima tindakan anestesi dan
operasi tanpa penundaan. Pada pasien dengan hipertensi berat (stadium. 3) dan
tidak terkontrol yang dijadwalkan operasi elektif, akan tetapi belum dievaluasi
mengenai kerusakan target organnya, sebaiknya dilakukan penundaan operasi
terlebih dahulu. Khususnya, akan sulit mempertahankan anestesi pada pasien-
pasien ini tanpa EKG ataupun setidaknya pemeriksaan fungsi ginjal. Hipertensi
secara langsung meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Dengan adanya
penyakit arteri coroner, kebutuhan ini tidak akan dapat tercukupi.
3. Pasca Anestesi
Hipertensi pasca operasidapat menyebabkan disfungsi sistolik pada ventrikel
dimana hipertensi kronis adalah faktor risikonya yang menyebabkan kegagalan
ventrikel dan berlanjut menjadi edema paru. Untungnya, kontrol tekanan darah
pasca operasi selalu tersedia. Inti dari tujuan ini adalah pengawasan yang hati-hati
dan sering terhadap pengukuran ini selama hari- hari pertama setelah operasi,
seringkali menggunakan kateter intra arteri untuk pengawasan langsung dan
berlanjut serta mengevaluasi pasien untuk kemungkinan adanya penyebab lain
yang menyebabkan hipertensi. Penyebab lainnya tersebut dapat berupa nyeri dan
rasa tidak nyaman lainnya, cemas dan takut, hiperkarbia, dan kelebihan cairan.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
Seorang wanita usia 53 tahun datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto dengan keluhan ingin dibuatkan gigi palsu rahang atas dan
rahang bawah. Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit hipertensi akan tetapi sudah terkontrol
dan riwayat penyakit diabetes mellitus. Pasien mengkonsumsi obat rutin per oral yaitu
Metformin. Pemeriksaan umum menunjukkan tekanan darah 130/80 mmHg, berat badan 45 kg
dan tinggi badan 142 cm. pasien mengikuti kegiatan PROLANIS (Program pengelolaan penyakit
kronis) di Puskesmas. Hasil pemeriksaan gula darah beberapa bulan lalu.Pasien tidak memiliki
riwayat alergi obat maupun alergi makanan, namun memiliki riwayat penyakit sistemik asma,
hipertensi dan diabetes. Untuk penyakit asma, pasien tidak mengkonsumsi obat oral rutin namun
menggunakan obat hirup (Inhaler) kalau terjadi sesak nafas. Penyakit hipertensi pada pasien ini
pernah tinggi hingga mencapai 190/80 mmHg akan tetapi kondisi sekarang sudah normal yaitu
130/80 mmHg. Pada pemeriksaan gula darah sewaktu terlihat hasil sebesar 177mg/dl dari angka
normal <140mg/dl. Pasien telah mengikuti program PROLANIS untuk mengobati penyakit
diabetes yang juga diberikan terapi obat minum oral Metformin 500mg sejak tahun 2016.
Pemeriksaan ekstra oral secara inspeksi menunjukkan tidak adanya kelainan. Pemeriksaan
intraoral terdapat resesi gingiva pada area gigi anterior rahang bawah dan mobilitas gigi derajat 2
pada gigi 14, 45. Terdapat kalkulus supragingiva pada area lingual anterior rahang bawah dengan
oral hygiene pasien yang cukup baik. Pasien dilakukan pemeriksaan penunjang berupa radiografi
ekstra oral (panoramik) untuk melihat kondisi tulang alveolar secara keseluruhan Pada gambaran
radiografi terdapat gambaran radiolusen pada ketinggian puncak tulang alveolar. Terlihat adanya
penurunan tulang secara horizontal pada rahang bawah di area gigi 44, 43, 42, 41, 31, 32, 33, 34
kemudian pada rahang atas di area gigi 13, 12, 11, 21, 22. Terlihat adanya penurunan tulang
secara vertikal pada area gigi 45. Diagnosis pada kasus ini adalah periodontitis kronis. Rencana
perawatan yang akan dilakukan yaitu ekstraksi seluruh sisa akar gigi rahang atas dan bawah
dilanjutkan pembuatan gigi tiruan penuh. Pada kunjungan pertama pasien diberikan Dental
Health Education (DHE) diresepkan obat kumur povidone iodine 1% untuk membantu menjaga
kebersihan rongga mulut (kontrol plak) dan edukasi tahapan perawatan. Setelah itu pasien
dilakukan perawatan periodontal awal yaitu scaling supragingiva. Kemudian setelah
mengkontrol plaknya, pasien dilakukan rujukan kepada dokter spesialis penyakit dalam untuk
konsultasi terkait kondisi sistemik pasien terhadap rencana perawatan berikutnya yang akan
dilakukan. 2 hari sebelum tindakan pencabutan, pasien akan diresepkan obat antibiotik per oral
untuk mencegah komplikasi saat tindakan pencabutan berlangsung dan dilakukan pengecekkan
gula darah sewaktu kembali sesaat sebelum tindakan untuk memantau angka gula darah dalam
tubuh. Setelah dilakukan pencabutan semua sisa akar gigi, pasien dievaluasi untuk dibuatkan gigi
tiruan sebagian lepasan.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa
1. Tekanan darah dapat berpengaruh terhadap tindakan pencabutan gigi
2. Kontra Indikasi Sistemik Pasien dengan kontra indikasi yang bersifat sistemik
memerlukan pertimbangan khusus untuk dilakukan eksodonsi.
3. Resiko yang terjadi pada pencabutan gigi bila tekanan darah tinggi seperti resiko
akibat anestesi local,pendarahan pengobatan
4. Ada dua strategi dalam perawatan gigi pada pasien hipertensi yaitu strategi
preventif dan kuratif
5. Tindakan preventif yang efektif untuk mengontrol tensi pasien meliputi kontrol
kecemasan dan stress, pemilihan anestesi , bahan anestesi, dan kontrol sakit
setelah tindakan selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Arini, Nuri Farrahdina, dkk. 2017. Perubahan tanda vital sebagai gejala rasa cemas sebelum
melakukan tindakan pencabutan gigi pada mahasiswa
profesi klinik bedah mulut RSGM universitas Jember. Fakultas kedokteran gigi universitas
Jember.
Asfuah, Siti, 2012. Buku saku klinik keperawatan dan kebidanan. Yogyakarta: Nuha
Medika.Karamoy, Stefani M, dkk. 2015.Gambaran tekanan darah pasien
pencabutan gigi di RSGM program studi pendidikan dokter gigi FK Unsrat tahun
2014-2015.Jurnal e-Gigi (eG).
Kementerian Kesehatan RI Tahun 2015, Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut.Lande, Randy,
dkk. 2015. Gambaran faktor resiko dan komplikasi pencabutangigi di RSGM
PSPD-FK UNSRAT. Jurnal e-Gigi (eG).
Pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI 2019.Putri, Megananda H, Dkk, 2018.
Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras Gigi Dan Jaringan Pendukung Gigi.
Jakarta: EGC.
Rahman, kartika mega, dkk. 2017. Efek pencabutan gigi terhadap peningkatan tekanan
darah ada pasien hipertensi. Jurnal Kesehatan universitas Andalas.
Sitanaya, Rini Irmayanti, 2016. Exodontia dasar-dasar ilmu pencabutan gigi.Yogyakarta:
Deepublish.
Soekidjo, Notoatmodjo. 2014. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.Yaniawati, R.
Poppy. 2020. Penelitian Studi Kepustakaan (Library Research).Universitas
Pasundan.