PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu keadaan menurunnya fungsi
ginjal yang bersifat kronik, progresif dan irreversible. Gangguan fungsi ginjal
kronik merupakan keadaan yang memerlukan penanganan khusus untuk
memperlambat laju progresi gangguan fungsi ginjal menuju tahap terminal, yang
memerlukan terapi pcngganti. Konsensus National Institutes of Health (NIH) pada
tahun 1993 merekomendasikan bahwa bila nilai kreatinin serum pada wanita > 1,5
mg/dl atau pada laki-laki > 2 mg/dl, menunjukkan sudah ada gangguan ginjal.
Salah satu penanganan penting pada PGK adalah penanganan anemia.
Anemia telah terjadi sebelum pasien memerlukan dialisis dan akan memburuk
sesuai dengan progresivitas penyakit ginjal, namun penanganan sering tidak
adekuat. Onset anemia mulai timbul bila laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 ml/
menit/1,73m2, sedangkan manifestasi klinik akan lebih nyata bila LFG < 40
ml/menit/1,73m2. Semakin menurunnya fungsi ginjal semakin bertambahnya
anemia, sebaliknya anemia yang berkepanjangan akan mempercepat proses
memburuknya fungsi ginjal.
Banyak faktor yang berperan dalam terjadinya anemia pada PGK, tetapi
faktor utama penyebab anemia adalah defisiensi hormon eritropoetin yang
diproduksi oleh sel kortikal interstisial disekitar tubulus proksimal (peritubuler)
sehingga anemia pada PGK disebut sebagai anemia renal, disamping faktor non-
renal yang ikut berkontribusi sebagai faktor yang memperberat anemia.
Anemia juga akan menyebabkan terjadinya dilatasi ventrikel kiri dengan
peningkatan curah jantung yang dapat menyebabkan hipertropi ventrikel kiri.
Bersamaan dengan timbulnya hipertensi, dan atau penyakit jantung koroner
menyebabkan pasien-pasien demikian sulit merespon peningkatan kebutuhan
oksigen selama aktifitas fisk. Semua faktor ini akan secara signifikasi memberikan
dampak negatif terhadap kualitas hidup pasien pada PGK. Komplikasi anemia
telah terbukti disamping menurunkan kualitas hidup, juga dapat meningkatkan
risiko komplikasi kardiovaskular, sehingga meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas pasien PGK. Penanganan anemia sedini mungkin dapat mencegah
komplikasi yang ditimbulkan.
Penatalaksanaan anemia pada PGK meliputi beberapa hal seperti mencari
penyebab atau faktor yang memperberat anemia, analisis status besi, terapi
erythropoetin manusia rekombinan (EPO) dan mengindentifikasi serta mengatasi
penyebab resistensi terhadap EPO, serta pemberian transfusi darah.
Animea
Eritrosit Hemoglobin
Ketersediaan Pengantaran O2
EDRF (NO)
Viskositas ?
darah
Flow Faisision -
Resistensi thdp
Tonus Vena
Aliran balik vena
* pada keadaan kronis
PENGKAJIAN ANEMIA
1. Penyebab anemia
Faktor penyebab anaemia pada PGK perlu dicari sebelum memulai
pengobatan, adanya faktor yang memperberat anemia seperti defisiensi besi,
defisiensi asam folat, perdarahan dan hemolisis serta adanya komplikasi anemia
sebagai penyakit penyerta dari penyakit yang mendasarinya. Nilai normal Hb
tergantung pada umur, gender dan etnik. Kriteria anemia berdasarkan World
Health Organization (WHO) adalah Hb < 12 g/dl pada wanita dan Hb < 13 g/dl
pada pria. Konsensus Manajemen Anemia pada pasien PGK-PERNEFRI 20001,
evaluasi anemia dimulai bila Hb = 10 g/dl atau Ht = 30 %. Sedangkan K/DOQI
menganjurkan mulai Hb = 11 g/dl atau Ht = 33% pada wanita pre-menopause dan
pasien pre-pubertal serta Hb = 12 g/dl atau Ht=37% pada laki-laki dan wanita
post-menopause.
2. Evaluasi anemia
K/DOQI Clinical Practice Guideline for Anemia of Chronic Kidney
Disease menganjurkan anemia harus dievaluasi pada pasien PGK dengan LFG <
60 ml/menit/1,73 m2 dengan pemeriksaan beberapa parameter laboratorium
sehingga dapat dilakukan penanganan anemia. Alur evaluasi anemia pada pasien
PGK (gambar 2). Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk mencapai Hb > 10 g/dl
atau Ht > 30%, baik dengan terapi konservatif maupun terapi EPO. Terapi
konservatif diberikan sesuai dengan kausa anemia, misalnya penanganan terhadap
perdarahan atau suplementasi besi pada anemia defisiensi besi. Bila dengan terapi
konservatif target Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO.
LFG
<60 mL/min
Ya
Cek Hb
Ya
Work Up
Ya
Normal ? Definisi
Tidak Tidak
Fe Work Up
hematologi
Ya Ya
PENATAUKSANAAN ANEMIA
1. Penatalaksanaan anemia pada pasien pre-dialisis
Sukses yang dicapai dalam pengobatan anemia pada pasien PGK yang
menjalani dialisis, telah mendorong para ahli untuk pemakaian EPO pre-dialisis.
Pada mulanya ada kekhawatiran pemberian obat ini akan mempercepat
perburukan fungsi ginjal, namun kemudian hal tersebut tidak terbukti. Anemia
telah terjadi sebelum pasien memerlukan dialisis dan anemia akan memburuk
sesuai dengan laju progresivitas penyakit ginjal, oleh karena itu sebaiknya
penatalaksanaan anemia sudah dimulai sebelum pasien mendapat terapi pengganti.
Prinsip penatalaksanaan anemia pre-dialisis sama dengan pasien yang
menjalani dialisis, yaitu mencari dan mengoreksi faktor penyebab anemia non-
renal terlebih dulu. Setelah faktor non-renal diatasi, maka anemia yang menetap
dapat diberikan pengobatan EPO.
2. Penatalaksanaan anemia pada pasien dialisis
2.1. Terapi besi
Bila kadar besi serum jumlahnya tidak mencukupi, maka perlu dikoreksi
lebih dahulu sebelum diberikan terapi EPO. Anemia defisiensi besi absolut dan
fungsional merupakan indikasi terapi besi pada pasien anemia PGK. Terapi besi
kontraindikasi pada keadaan hipersensitivitas terhadap besi, gangguan fungsi hati
berat dan bila kandungan besi tubuh berlebih (iron overload). Beberapa sediaan
besi yang tersedia adalah preparat untuk suntikan intravena (iv) seperti iron
sucrose, iron dextran, iron gluconate, iron dextrin, suntikan intramuskular (im)
seperti iron dextran dan preparat besi oral.
Besi oral sangat mudah dan murah untuk diberikan dan terutama
bermanfaat pada pasien yang tidak mendapat terapi EPO, dengan dosis minimal
200 mg besi elemental/hari dalam dosis terbagi 2-3 kali/hari. Absorbsi besi
dipengaruhi oleh makanan, karena itu diberikan diantara makan dan absorbsi besi
pada pasien PGK tidak adekuat sehingga tidak memberikan hasil. Pada pasien
yang mendapat terapi EPO terjadi stimulasi eritropoeisis, sehingga kebutuhan besi
yang meningkat perlu diberikan terapi besi suntikan iv atau Im karena dengan
pemberian oral tidak tercukupi.
Terapi besi intravena untuk mengatasi anemia defisiensi besi, dibagi atas
terapi besi fase koreksi dan terapi pemeliharaan besi. Tetapi sebelum mulai terapi
besi dilakukan dosis uji coba (test dose) dengan Iron sucrose 20-50 mg (1-2,5 ml)
diencerkan 50 ml NaCI 0,9 % drip iv dalam waktu paling cepat 15 menit; atau
Iron dextran 25 mg diencerkan dengan 50 ml NaCI 0,9% drip iv dalam waktu 30
menit Terapi besi fase koreksi untuk mengoreksi anemia defisiensi besi sampai
status besi cukup, yaitu FS > 100 ug/1 dan ST > 20%. Preparat besi seperti iron
sucrose 100 mg yang diencerkan dengan 100 ml NaCI 0,9% drip iv paling cepat
15 menit, atau iron dextran 100 mg diencerkan dengan 50 ml NaCI 0,9% yang
diberikan 1-2 jam pertama HD melalui venous bloodline atau iron gluconate 125
mg dengan cara pemberian sama dengan iron dextran. Semua preparat besi ini
diberikan dua kali seminggu sampai mencapai dosis 1000 mg. Evaluasi status besi
dilakukan 1 minggu pasca terapi besi fase koreksi. Bila target terapi besi telah
tercapai, dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan besi yang bertujuan menjaga
kecukupan persediaan besi untuk eritropoeisis selama pemberian EPO.
(gambar.3). Target terapi yaitu kadar FS > 100 - < 500 ug/l dan ST > 20 - < 40%.
Dosis terapi pemeliharaan besi yaitu iron sucrose iv maksimal 100 mg/ minggu,
atau iron dextran iv 50 mg/ minggu, atau iron gluconate iv 31.25-125 mg /
minggu.
Bila preparat besi intravena tidak tersedia, maka altematif yang dapat
diberikan terapi suntikan intramuskular. Dosis terapi besi fase koreksi iron
dextran intramuskular sbb: 6 x 100 mg dalam 4 minggu, bila FS: = 30 ug/l.4 x 100
mg dalam 4 minggu, bila FS: 31 - < 100 ug/I dan terapi besi fase pemeliharaan: 80
mg tiap 2 minggu. Pemberian intramuskular sebaiknya dihindari, karena
menyebabkan keluhan nyeri pada daerah suntikan dan warna kecoklatan pada
kulit yang mungkin disebabkan hematome intramuskular.
Status besi diperiksa setiap 3 bulan. Bila status besi dalam batas target
yang dikehendaki lanjutkan terapi besi dosis pemeliharaan. Bila kadar FS > 500
ug/l atau ST > 40%, suplementasi besi dihentikan selama 3 bulan. Bila
pemeriksaan ulang setelah 3 bulan kadar FS < 500 ug/I dan ST < 40%,
suplementasi besi dapat diianjutkan dengan dosis 1/3 1/2 sebelumnya. Pada pasien
dengan iron overload (FS > 500 ug/l) dapat diberikan intravenous asam ascorbat
dosis tinggi yaitu 300 mg setiap dialisis selama 8 minggu.
Status Besi
TARGET RESPON
Hb 2 4 % dan 2 -4 mmg
Ht 1 2 g/dl dan 4 mmg
Kepatuhan
Penyaringan untuk
definisi besi Percobaan dengan besi IV
RINGKASAN
Anemia pada PGK terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoeifin,
tetapi banyak faktor lain yang berperan dan memperberat keadaan anemia.
Penanganan anemia saat ini sangat berkembang pesat. Strategi baru terutama
untuk penanganan anemia adalah konsep penanganan anemia lebih awal, yaitu
pada pre-dialisis. Penanganan anemia yang terlambat akan menyebabkan LVH,
penurunan kualitas hidup serta meningkatkan angka mortalitas pasien PGK.
Terapi EPO hendaknya diberikan secara optimal dengan mempertimbangkan
berbagai faktor, sedangkan pemberian transfusi darah hanya terbatas pada keadaan
tertentu saja.
DAFTAR RUJUKAN
1. Consensus development conference panel. Morbidity and mortality on renal
an NIH consensus conference statement. Ann intern Med 1994;121: 62-70.
2. McClelan WM, Flanders WD, Langston RD, Jurkovitz C, Presley R. Anemia
and renal insufficiency are independent risk factors for death among patients
with congestive heart failure admitted to community hospitals; a population-
based study. JAmSocNephrol2002;13:1928-1936.
3. National Kidney Foundation K/DOQI. Clinical practice guidelines for chronic
kidney, disease: evaluation, classification and stratification. Executive
summary New York 2002;51-53.
4. National Kidney Foundation K/DOQI. Clinical practice guidelines for
classification and stratification. Am J Kidney Dis 2002;39 (Suppl 1): S120-7.
5. HORL WH. Non-eryihropoietin-based anaemia management in chronic
kidney disease. Nephrol Dial Transplant 2002; 17 (Suppl 11 ):35-38.
6. MKF-K/DOQI. Clinical practice guidelines for anemia of chronic kidney
disease. New York, National Kidney Foundation 2001 ;21-80.
7. Mowry JA, Nissenson AR. Haemopoetic system in uremia. In: Massry SG,
Glassock RJ (Eds). Textbook of Nephrology. 3rd ed. Vol 2. Williams and
Wilkins: Baltimore; 1996.p.1368-73.
8. Esbach JW. Anemia in chronic renal failure. In: Johnson RJ, Fsehally J (Ed).
Comprehensive clinical nephrology. London: Morby; 2000.p.71.1-6.
9. Locatelli F et al. Reviced European best practice guidelines for the
management of anaemia in patients with chronic renal failure. Nephrol Dial
Transplant 2004;19(Suppl 2):ii2-ii36.
10. Kliger AS, Padilla N. Anemia in chronic kidney disease: clinical implications
of early management. Dialysis & Transplantation 2003;32:179-185.
11. Konsensus manajemen anemia pada pasien gagal ginjal kronik. Perhimpunan
Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)2001.
12. Besarab A. LevinA Defining a renal anemia management period. Am J Kidney
Dis 2000;36(Suppl 3):S13-S23.
13. Kazmi WH, Kausz AT. Khan S et al. Anemia: an early complication of renal
insufficiency. Am J Kidney Dis 2001:38:803-812.
14. MarkAP.Chronic kidneydisease. In: Nephratogy in 30 days. The Mc Grow Hill
Companies lnc; 2005.p.251-274.
15. Eckardt KU. Anemia in end-stage renal disease: pathophysiological
considerans. Neprol Dial Transplant 2001;16(Suppl7):2-6.
16. Q Riordan E, Foley RN. Effects of anaemia on cardiovascular status. Nephrol
Dial Transplant 2000;5 (Suppl 3):19-22.
17. Macdougall IC. Present and future strategies in the treatment of renal anaemia.
Neprol Dial Transplant 2001;16(Suppl 5)50-55.
18. Remuzi G, Rossi EC. Hematologic consequences of renal failure. In: Brenner
BM (Ed). The kidney. 5thed. Philadelphia: WBSaunders Co; 1995.p.2170-
2186.
19. Silverberg D. Outcomes of anaemia management in renal insufficiency and
cardiac disease. Nephrol Dial Tranplant, 2003; 18( Suppl 2 ):ii7-ii12.
20. Sitverberg D. Wexler D, Blum M, Wollman Y, laina A. The cardio-renal
anemia syndrome: does it exist? Nephrol Dial Transplant 2003;18 (Suppl
8):viii7-viii12.