Anda di halaman 1dari 18

ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK

PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu keadaan menurunnya fungsi
ginjal yang bersifat kronik, progresif dan irreversible. Gangguan fungsi ginjal
kronik merupakan keadaan yang memerlukan penanganan khusus untuk
memperlambat laju progresi gangguan fungsi ginjal menuju tahap terminal, yang
memerlukan terapi pcngganti. Konsensus National Institutes of Health (NIH) pada
tahun 1993 merekomendasikan bahwa bila nilai kreatinin serum pada wanita > 1,5
mg/dl atau pada laki-laki > 2 mg/dl, menunjukkan sudah ada gangguan ginjal.
Salah satu penanganan penting pada PGK adalah penanganan anemia.
Anemia telah terjadi sebelum pasien memerlukan dialisis dan akan memburuk
sesuai dengan progresivitas penyakit ginjal, namun penanganan sering tidak
adekuat. Onset anemia mulai timbul bila laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 ml/
menit/1,73m2, sedangkan manifestasi klinik akan lebih nyata bila LFG < 40
ml/menit/1,73m2. Semakin menurunnya fungsi ginjal semakin bertambahnya
anemia, sebaliknya anemia yang berkepanjangan akan mempercepat proses
memburuknya fungsi ginjal.
Banyak faktor yang berperan dalam terjadinya anemia pada PGK, tetapi
faktor utama penyebab anemia adalah defisiensi hormon eritropoetin yang
diproduksi oleh sel kortikal interstisial disekitar tubulus proksimal (peritubuler)
sehingga anemia pada PGK disebut sebagai anemia renal, disamping faktor non-
renal yang ikut berkontribusi sebagai faktor yang memperberat anemia.
Anemia juga akan menyebabkan terjadinya dilatasi ventrikel kiri dengan
peningkatan curah jantung yang dapat menyebabkan hipertropi ventrikel kiri.
Bersamaan dengan timbulnya hipertensi, dan atau penyakit jantung koroner
menyebabkan pasien-pasien demikian sulit merespon peningkatan kebutuhan
oksigen selama aktifitas fisk. Semua faktor ini akan secara signifikasi memberikan
dampak negatif terhadap kualitas hidup pasien pada PGK. Komplikasi anemia
telah terbukti disamping menurunkan kualitas hidup, juga dapat meningkatkan
risiko komplikasi kardiovaskular, sehingga meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas pasien PGK. Penanganan anemia sedini mungkin dapat mencegah
komplikasi yang ditimbulkan.
Penatalaksanaan anemia pada PGK meliputi beberapa hal seperti mencari
penyebab atau faktor yang memperberat anemia, analisis status besi, terapi
erythropoetin manusia rekombinan (EPO) dan mengindentifikasi serta mengatasi
penyebab resistensi terhadap EPO, serta pemberian transfusi darah.

DEFINISI ANEMIA PADA PGK


Anemia ditentukan berdasarkan kadar Hemoglobin (Hb) dan Hematrokit
(Ht). The National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (NKF-K/DOQI) Clinical Practice Guidelines for Anaemia of Chronic
Kidney Disease 2001 merekomendasikan untuk mengevaluasi anemia bila Hb
atau Ht menurun kira-kira 80% dari kadar normal. Kadar normal Hb dan Ht
adalah 15,5 2,0 g/dl dan 47 6% untuk laki-laki dan wanita post-menopause, 14
2,0 g/dl dan 41 5% untuk wanita pre-menopause. K/DOQI menganjurkan
evaluasi anema dimulai pada Hb < 12 g/dl atau Ht < 37% pada laki-laki dan
wanita post-menopause, serta Hb < 11 g/dl atau Ht < 33% pada wanita pre-
menopause dan pasien pre-pubertal. Konsensus Manajemen Anemia pada pasien
Penyakit Ginjal Kronik, PERNEFRI pada tahun 2001 menganjurkan evaluasi
anemia dimulai bila Hb = 10 g/dl atau Ht=30%.

PATOFISIOLOGI ANEMIA PADA PGK


Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien PGK adalah penurunan
produksi eritropoetin oleh ginjal, akan tetapi banyak faktor non renal yang ikut
berkonstribusi sebagai faktor yang memperberat terjadinya anemia. Faktor-faktor
tersebut antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah merah yang pendek
pada PGK dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang seperti
defisiensi besi, defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium serta osteitis fibrosa
yang berhubungan dengan hiperparatiroidi. Selain itu faktor adanya kehilangan
darah kronik akibat perdarahan saluran cema tersembunyi, pengambilan darah
berulang untuk pemeriksaan laboratorium, retensi darah pada dialiser dan tubing
(pada pasien hemodialisis) dan adanya penyakit penyerta serta malnutrisi akan
menambah beratnya keadaan anemia.
Suatu tinjauan yang dilakukan Besarab dan Levin, tentang adanya
hubungan antara kadar eritropoetin plasma dan kadar Hb pada pasien sehat,
didapatkan bila kadar Hb menurun dari > 13,0 g/dl ke anemia ringan dengan kadar
Hb 11,5 - 12,5g/dl maka kadar eritropoetin plasma meningkat dari nilai normal,
kira-kira 10-12 mU/ml sampai kira-kira 100 mU/ml. Kadar eritropoetin plasma >
1000 mU/ml akan tercapai bila kadar Hb < 6,0 g/dl. Pengaruh balik dari
mekanisme ini terganggu pada pasien PGK.
Anemia dapat disebabkan pula adanya penurunan masa hidup sel darah
merah, normal 120 hari akan memendek antara 70-80 hari. Hal ini disebabkan
faktor metabolik dan mekanik yang berperan pada masa hidup eritrosit, seperti
eritrosit pasien uremik akan menunjukan masa hidup normal bila ditranfusikan
pada orang sehat, sebaliknya masa hidup eritrosit dari orang sehat akan
memendek bila ditransfusikan ke pasien PGK.

PREVALENSI DAN KONSEKUENSI ANEMIA PADA PGK


Anemia telah terjadi sebelum pasien memerlukan terapi pengganti
(dialisis) dan prevatensi anemia meningkat sesuai penurunan fungsi ginjal. 45%
pasien dengan serum kreatinin = 2 mg/dl memiliki Ht < 36% dan 8% memiliki Ht
< 30%. Diantara 155.067 pasien yang mulai dialisis, United States Renal Data
System (USRDS) pada tahun 1995-1997 mendapatkan 68% pasien yang memiliki
Ht< 30% dan51% yang memiliki Ht<28%.
Anemia dapat berakibat menurunkan kualitas hidup, menunjnkan fungsi
kognitif, meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien PGK.
Anemia merupakan faktor yang berperan penting terhadap terjadinya hipertropi
ventrikel kiri dan gangguan fungsi jantung. Komplikasi kardiovaskular
merupakan penyebab utama kematian pada pasien PGK. Penurunan kadar
hemoglobin (Hb) 1g/dl akan meningkatkan risiko kematian 18-25% dan hipertropi
ventrikel kiri kira-kira 50%.
Bila terjadi anemia, maka tubuh akan berusaha mempertahankan
oksigenisasi jaringan melalui dua mekanisme, yaitu mekanisme kompensasi non
hemodinamik dan kompensasi hemodinamik. Pada mekanisme non hemodinamik
terjadi peningkatan produksi eritropoetin yang akan menstimulasi eritropoesis dan
peningkatan ekstraksi oksigen untuk mempertahankan kadar Hb dalam batas
normal pada awal terjadinya gangguan fungsi ginjal. Pada tahap lanjut terjadinya
hipertropi ventrikel kiri adalah merupakan hasil dari mekanisme kompensasi
hemodinamik terhadap hipoxia jaringan akibat efek anemia. (Gambar 1)

Animea

Eritrosit Hemoglobin

Ketersediaan Pengantaran O2
EDRF (NO)
Viskositas ?
darah

Vasodilatasi Angiogenesis * Pelepasan


Resistensi Arteri Kemoreseptor
Perifer

Flow Faisision -

Curah Jantung Denyut


Jantung Aktifitas
Kontraktilitas simpatik
Volume Skunoup Miokard

Aliran balik vena

Resistensi thdp
Tonus Vena
Aliran balik vena
* pada keadaan kronis

Gambar 1. Mekanisme hemodinamik pada cardiovasvular akibat anemia


Mekanisme kompensasi hemodinamik ini menyebabkan peningkatan curah
jantung yang disebabkan faktor-faktor:
1. Penurunan afterload:
Penurunan afterload terjadi akibat penurunan resistensi vaskularsistemik
sebagai konsekuensi dan penumnan viskositas darah yang disebabkan
penurunan jumlah eritrosit dan hematokrit pada anemia. Disamping itu
penurunan afterload juga akibat dilatasi arterial, karena hipoxia jaringan,
peningkatan aliran darah yang menyebabkan flow dilatasi.
2. Peningkatan reload:
Peningkatan reload akibat penurunan viskositas darah yang menyebabkan
penurunan resistensi vena, yang akhirnya akan meningkatan venous return.
Pada tahap lanjut akibat volume overload akan meyebabkan peningkatan
curah jantung dan akhirny pembesaran jantung.
3. Faktor notropik dan peningkatan aktifitas simpatetik
Respon adaptasi jantung terhadap beban tekanan dan volume yang berlebih
pada mekanisme kompensasi hemodinamik terhadap anemia dalam waktu
lama menyebabkan hipertropi ventrikel kiri dan akhirnya dapat menyebabkan
gagal jantung.

PENGKAJIAN ANEMIA
1. Penyebab anemia
Faktor penyebab anaemia pada PGK perlu dicari sebelum memulai
pengobatan, adanya faktor yang memperberat anemia seperti defisiensi besi,
defisiensi asam folat, perdarahan dan hemolisis serta adanya komplikasi anemia
sebagai penyakit penyerta dari penyakit yang mendasarinya. Nilai normal Hb
tergantung pada umur, gender dan etnik. Kriteria anemia berdasarkan World
Health Organization (WHO) adalah Hb < 12 g/dl pada wanita dan Hb < 13 g/dl
pada pria. Konsensus Manajemen Anemia pada pasien PGK-PERNEFRI 20001,
evaluasi anemia dimulai bila Hb = 10 g/dl atau Ht = 30 %. Sedangkan K/DOQI
menganjurkan mulai Hb = 11 g/dl atau Ht = 33% pada wanita pre-menopause dan
pasien pre-pubertal serta Hb = 12 g/dl atau Ht=37% pada laki-laki dan wanita
post-menopause.

2. Evaluasi anemia
K/DOQI Clinical Practice Guideline for Anemia of Chronic Kidney
Disease menganjurkan anemia harus dievaluasi pada pasien PGK dengan LFG <
60 ml/menit/1,73 m2 dengan pemeriksaan beberapa parameter laboratorium
sehingga dapat dilakukan penanganan anemia. Alur evaluasi anemia pada pasien
PGK (gambar 2). Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk mencapai Hb > 10 g/dl
atau Ht > 30%, baik dengan terapi konservatif maupun terapi EPO. Terapi
konservatif diberikan sesuai dengan kausa anemia, misalnya penanganan terhadap
perdarahan atau suplementasi besi pada anemia defisiensi besi. Bila dengan terapi
konservatif target Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO.
LFG
<60 mL/min

Ya

Cek Hb

Tidak perlu Tidak


Work Up

Ya

Work Up

Ya

Normal ? Definisi
Tidak Tidak
Fe Work Up
hematologi

Ya Ya

Terapi dengan EPO Terapi dengan


bila ada indikasi Besi

Animea tidak Animea terkoreksi :


Terkoreksi Follow Up berbeda

Gambar 2. Evaluasi animea pada pasien Penyakit Ginjal Kronik


Diagnosis anemia ditegakkan dengan pemerikasaan laboratorium minimal,
sebagai berikut :
1. Darah lengkap
Hb: untuk menilai derajat anemia
Mean Corpuscular Volume (MCV) dan MCH (Mean Corpuscular
Hemoglobin) untuk menilai tipe anemia.
Hitung Retikulosit untuk menilai aktifitas eritropoetik.
Lekosit dan trombosit
2. Hapusan darah tepi
Untuk melihat morfologi eritrosit Pemeriksaan ini untuk mencari
penyebab anemia. Pada PGK biasanya normokromik normositik.
Mikrositik dapat ditemukan pada defisiensi besi, intoksikasi alumunium
dan hemoglobinopati. Sedangkan gambaran makrositik ditemukan pada
defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat, namun dapat pula ditemukan
pada kelebihan besi atau terapi eritropoetin akibat terjadinya
perpindahan eritrosit imatur ke sirkulasi.
3. Pemeriksaan feses darah samar
Untuk mengetahui adanya perdarahan saluran cema tersembunyi.
4. Analisis status besi
Analisis status besi meliputi pemeriksaan Serum Iron (SI) atau Kadar Besi
Serum (KBS), Total Iron Saturasi Transferin (TIBC) atau Kapasitas Ikat
Besi Total (KIBT), Saturasi Tranferin (ST) dan Feritin Serum (FS).
Saturasi tranferin adalah hasil dan KBS dibagi KIBT dikali 100%.
KBS
ST = x100%
KIBT
Berdasarkan pengkajian status besi maka anemia pada PGK dibagi dua,
yaitu:
a. Anemia dengan status besi cukup. Bila FS = 100 ug/l dan ST=20%.
b. Anemia dengan status besi kurang (anemia defisiensi besi):
b.1. Anemia defisiensi besi absolut Bila FS = 100 ug/1 dan ST=20%.
b.2. Anemia defisiensi besi fungsional. Bila FS=100 ug/l dan ST=20%.
Anemia pada PGK yang disebut juga anemia renal, terutama disebabkan
adanya defisiensi eritropoetin. Cara untuk menegakkan dugaan defisiensi
eritropoetin adalah dengan mencari dan mengoreksi semua penyebab anemia non-
renal teriebih dahulu, seperti defisiensi besi, sel darah merah abnormal atau bila
terdapat tekopenia atau trombositopenia. Pada defisiensi eritropoetin, semua hasil
laboratorium biasanya normal kecuali penurunan kadar Hb. Sedangkan pada
defisiensi besi, kadang- kadang penurunan MCV, ST dan FS serta peningkatan
KIBT. Pemeriksaan kadar plasma eritropoetin biasanya tidak diindikasikan untuk
menegakkan diagnosis anemia pada PGK.
Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan untuk memonitor
status besi adalah kadar ST untuk menilai jumlah besi yang beredar didalam
sirkulasi plasma, dan kadar FS yang menggambarkan jumlah cadangan besi tubuh.
Pemeriksaan lain untuk mendiagnosis status besi secara tidak langsung didalam
sel darah merah adalah dengan menghitung presentase sel darah merah yang
hipokrom. Hasil pemeriksaan FS sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
kadar FS akan meningkat pada infeksi, inflamasi dan penyakit keganasan.
Plasma/serum C-Reactive Protein (CRP) adalah parameter terbaik untuk
mengetahui adanya inflamasi dan reaksi phase akut pada pasien PGK. Adanya
inflamasi pada pasien PGK akan meningkatkan kadar CRP. Inflamasi dan
peningkatan kadar CRP sangat berkaitan dengan anemia dan peningkatan
kebutuhan pengobatan EPO, hal ini disebabkan adanya cytokine pro-inflamasi
yang mensupresi eritropoeisis dan perubahan respon sensitivitas lerhadap
pengobatan EPO. Pemeriksaan laboratorium CRP ini merupakan tahap lanjut
untuk membantu menegakkan anemia. Pada inflamasi, biasanya disertai
penurunan kadar albumin, penurunan KIBT dan peningkatan kadar FS serta kadar
CRP.

TARGET HEMOGLOBIN ATAU HEMATROKIT


Menurut K/DOQI target Hb yang dianjurkan adalah Hb 11-12 g/dl atau Ht
33-36%, target ini untuk dengan torapl EPO. Sedangkan Konsensus Manajemen
Anemia pada pasien PGK oleh PERNEFRI pada tahun 2001, menganjurkan target
Hb = 10 g/dl atau Ht = 30%, baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan
EPO, dengan catatan bahwa target optimal Hb menunrt beberapa penelitian klinik
adalah Hb 11-12g/dl dan Hb pada kadar > 10 g/dl tersebut telah terbukti
menunjukan angka morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan kualitas hidup.
Sampai saat ini target Hb pada pasien PGK masih menjadi perdebatan, ada yang
menganjurkan sebaiknya ditentukan secara individual dengan memperhatikan
faktor umur, gender, etnik, aktifitas fisik dan adanya penyakit penyerta.
Kadar Hb > 12 g/dl tidak dianjurkan pada pasien kardiovascular NYHA
class III, kecuali ada keluhan angina karena akan meningkatkan angka mortalitas
akibat trombosis akses vaskular. Demikian pula, hati-hati dalam
merekomendasikan untuk meningkatkan kadar Hb > 12 g/dl pada pasien diabetes
melitus, terutama bila disertai penyakit vascular perifer. Hal ini disebabkan
adanya perubahan rheologi darah dan peningkatan viskositas darah.

PENATAUKSANAAN ANEMIA
1. Penatalaksanaan anemia pada pasien pre-dialisis
Sukses yang dicapai dalam pengobatan anemia pada pasien PGK yang
menjalani dialisis, telah mendorong para ahli untuk pemakaian EPO pre-dialisis.
Pada mulanya ada kekhawatiran pemberian obat ini akan mempercepat
perburukan fungsi ginjal, namun kemudian hal tersebut tidak terbukti. Anemia
telah terjadi sebelum pasien memerlukan dialisis dan anemia akan memburuk
sesuai dengan laju progresivitas penyakit ginjal, oleh karena itu sebaiknya
penatalaksanaan anemia sudah dimulai sebelum pasien mendapat terapi pengganti.
Prinsip penatalaksanaan anemia pre-dialisis sama dengan pasien yang
menjalani dialisis, yaitu mencari dan mengoreksi faktor penyebab anemia non-
renal terlebih dulu. Setelah faktor non-renal diatasi, maka anemia yang menetap
dapat diberikan pengobatan EPO.
2. Penatalaksanaan anemia pada pasien dialisis
2.1. Terapi besi
Bila kadar besi serum jumlahnya tidak mencukupi, maka perlu dikoreksi
lebih dahulu sebelum diberikan terapi EPO. Anemia defisiensi besi absolut dan
fungsional merupakan indikasi terapi besi pada pasien anemia PGK. Terapi besi
kontraindikasi pada keadaan hipersensitivitas terhadap besi, gangguan fungsi hati
berat dan bila kandungan besi tubuh berlebih (iron overload). Beberapa sediaan
besi yang tersedia adalah preparat untuk suntikan intravena (iv) seperti iron
sucrose, iron dextran, iron gluconate, iron dextrin, suntikan intramuskular (im)
seperti iron dextran dan preparat besi oral.
Besi oral sangat mudah dan murah untuk diberikan dan terutama
bermanfaat pada pasien yang tidak mendapat terapi EPO, dengan dosis minimal
200 mg besi elemental/hari dalam dosis terbagi 2-3 kali/hari. Absorbsi besi
dipengaruhi oleh makanan, karena itu diberikan diantara makan dan absorbsi besi
pada pasien PGK tidak adekuat sehingga tidak memberikan hasil. Pada pasien
yang mendapat terapi EPO terjadi stimulasi eritropoeisis, sehingga kebutuhan besi
yang meningkat perlu diberikan terapi besi suntikan iv atau Im karena dengan
pemberian oral tidak tercukupi.
Terapi besi intravena untuk mengatasi anemia defisiensi besi, dibagi atas
terapi besi fase koreksi dan terapi pemeliharaan besi. Tetapi sebelum mulai terapi
besi dilakukan dosis uji coba (test dose) dengan Iron sucrose 20-50 mg (1-2,5 ml)
diencerkan 50 ml NaCI 0,9 % drip iv dalam waktu paling cepat 15 menit; atau
Iron dextran 25 mg diencerkan dengan 50 ml NaCI 0,9% drip iv dalam waktu 30
menit Terapi besi fase koreksi untuk mengoreksi anemia defisiensi besi sampai
status besi cukup, yaitu FS > 100 ug/1 dan ST > 20%. Preparat besi seperti iron
sucrose 100 mg yang diencerkan dengan 100 ml NaCI 0,9% drip iv paling cepat
15 menit, atau iron dextran 100 mg diencerkan dengan 50 ml NaCI 0,9% yang
diberikan 1-2 jam pertama HD melalui venous bloodline atau iron gluconate 125
mg dengan cara pemberian sama dengan iron dextran. Semua preparat besi ini
diberikan dua kali seminggu sampai mencapai dosis 1000 mg. Evaluasi status besi
dilakukan 1 minggu pasca terapi besi fase koreksi. Bila target terapi besi telah
tercapai, dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan besi yang bertujuan menjaga
kecukupan persediaan besi untuk eritropoeisis selama pemberian EPO.
(gambar.3). Target terapi yaitu kadar FS > 100 - < 500 ug/l dan ST > 20 - < 40%.
Dosis terapi pemeliharaan besi yaitu iron sucrose iv maksimal 100 mg/ minggu,
atau iron dextran iv 50 mg/ minggu, atau iron gluconate iv 31.25-125 mg /
minggu.
Bila preparat besi intravena tidak tersedia, maka altematif yang dapat
diberikan terapi suntikan intramuskular. Dosis terapi besi fase koreksi iron
dextran intramuskular sbb: 6 x 100 mg dalam 4 minggu, bila FS: = 30 ug/l.4 x 100
mg dalam 4 minggu, bila FS: 31 - < 100 ug/I dan terapi besi fase pemeliharaan: 80
mg tiap 2 minggu. Pemberian intramuskular sebaiknya dihindari, karena
menyebabkan keluhan nyeri pada daerah suntikan dan warna kecoklatan pada
kulit yang mungkin disebabkan hematome intramuskular.
Status besi diperiksa setiap 3 bulan. Bila status besi dalam batas target
yang dikehendaki lanjutkan terapi besi dosis pemeliharaan. Bila kadar FS > 500
ug/l atau ST > 40%, suplementasi besi dihentikan selama 3 bulan. Bila
pemeriksaan ulang setelah 3 bulan kadar FS < 500 ug/I dan ST < 40%,
suplementasi besi dapat diianjutkan dengan dosis 1/3 1/2 sebelumnya. Pada pasien
dengan iron overload (FS > 500 ug/l) dapat diberikan intravenous asam ascorbat
dosis tinggi yaitu 300 mg setiap dialisis selama 8 minggu.

Ht < 30%, Hb <10g/dl

Status Besi

CUKUP Animea Def. Fe Fungsional Animea Def. Fe Absolut


FS 100 g/ml, ST >20% FS 100 g/ml, ST >20% FS 100 g/ml, ST >20%

TERAPI BESI FASE KOREKSI


Iron Sucrose/Iron Dexrtan 100 mg setiap HD 10 x
1 minggu
Periksa FS dan ST

CUKUP Animea Def. Fe Fungsional Animea Def. Fe Absolut

Animea Def. Fe Absolut Animea Def. Fe Absolut


FS 100 g/ml, ST >20% FS 100 g/ml, ST >20%

Gambar 3. Algoritme terapi besi pada PGK yang menjalani Hd


2.2. Terapi eritropoeitin
Syarat pemberian EPO bila status besi cukup, yaitu kadar FS =100 ug/l
dan ST = 20%. Tujuan pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal
sampai target Hb = 10 g/dl atau Ht = 30%. K/DOQI menganjurkan pemberian
terapi EPO subkutan 80-120 U/KgBB/minggu atau intravena 120-180
U/kgBB/minggu dalam dosis terbagi 2-3 kali/minggu. Konsensus manajemen
anemia pada pasien PGK-PERNEFRI 2001 menganjurkan terapi EPO fase
koreksi 2000-4000 IU subkutan 2-3 kali/minggu selama 4 minggu, dengan target
respon peningkatan kadar Hb 1-2g/dl atau Ht naik 2-4 % dalam 2 minggu. Bila
target respon tercapai. maka dosis terapi EPO dapat dipertahankan. Bila melebihi
target respon, yaitu Hb naik > 2.5 g/dl atau Ht > 8%, dalam 4 minggu maka dosis
EPO diturunkan 25%, sebaliknya bila target respon belum tercapai naikan dosis
EPO 50% selama pemberian terapi EPO, status besi harus dipantau secara berkala.
Bila target Hb = 10 g/dl sudah tercapai diberikan terapi EPO fase
pemeliharaan besi yang bertujuan menjaga kecukupan persediaan besi untuk
eritropoeisis selama terapi EPO dosis 2000 IU subkutan 1-2 kali / minggu. Bila
dengan terapi pemeliharaan besi Hb > 12 g/dl maka dosis EPO diturunkan 25%.
Terapi EPO tidak diberikan bila darah sistolik = 180 mmHg dan atau
diastolik = 110mmHg Pemberian EPO dapat menimbulkan hipertensi pada
+ 310-35% kasus dan merupakan komplikasi terpenting, sehingga tekanan darah
harus dipantau ketat terutama selama terapi EPO fase koreksi. Hipertensi biasanya
timbul dalam 2 minggu pertama terapi EPO, setelah itu tekanan darah cenderung
stabil. Mekanisme timbulnya hipertensi diperkirakan multifaktorial, antara lain:
berkurangnya vasodilatasi yang disebabkan hipoksia, viskositas darah meningkat
dan aktivasi sistem renin angiotensin disamping efek langsung terhadap vaskuler
seperti peningkatan sintesis endotelin-1 dan peningkatan ambilan kalsium
vaskuler. Reaksi lain berupa kejang dapat dijumpai pada pemberian terapi EPO
TERAPI EPO FASE KOREKSI
terutama pada fase koreksi. Hal ini berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang
2000 - 4000 IU/kgBB
cepat dan tekanan darah yang tidak terkontrol.
TARGET RESPON
Penanganan animea renal dengan terapi EPO dan koreksi tekanan darah
Hb 2 4 % dan 2 -4 mmg
akan memperbaiki
Ht 1 2 g/dlfungsi kardiovaskular,Belum
dan 4 mmg kualitas hidup serta
Tercapai memperlambat
Melebihi Target
progresivitas penurunan fungsi ginjal pada pasien PGK.
Dosis 50 % Dosis 25 %
dan 4 mmg
TERCAPAI

TARGET RESPON
Hb 2 4 % dan 2 -4 mmg
Ht 1 2 g/dl dan 4 mmg

Tercapai Tidak Tercapai

Dosis EPO fase PEMELIHARAAN Cari penyebab EPO RESISTENSI


Gambar 4. Algoritme terapi EPO pada PGK yang menjalani Hd

Respon EPO tidak adekuat


Kira-kira 90-95% pasien berespon terhadap terapi EPO dengan
meningkatnya kadar Hb -0,25 g/dl/minggu atau 1 g/dl/bulan. Bila pasien
menunjukkan kenaikkan kadar Hb < 1g/dl/bulan atau gagal mencapai target Hb
meskipun dengan dosis EP0 > 200 U/kg BB/minggu, maka diklasifikasikan
sebagai respon EPO tidak adekuat Sedangkan Konsensus manajemen anemia pada
pasien PGK mengklasifikasikan respon terapi EPO bdak adekuat bila pasien gagal
mencapai kenaikkan Hb/Ht yang dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8
minggu.
Banyak faktor penyebab yang berperan. tetapi yang paling sering dijumpai
adalah defisiensi anemia absolut dan fungsional. inflamasi atau infeksi
Hiperparatiroid sekunder dapat menurunkan respon terapi EPO. karena hormon
ini mengganggu eritropoeisis pada sumsum tulang dengan memprovokasi
terjadinya fibrasis pada sumsum tulang yang kemudian menyebabkan osteitis
fibrosa. Tindakan paratiroidektomi akan memperbaiki anemia dan menurunkan
kebutuhan dosis terapi EPO. Sebab lain adalah intoksikasi aluminium yang
mengganggu penyerapan besi dan menurunkan respon seluler besi. Adanya
inflamasi, infeksi, underdialysis dan penyakit keganasan dapat menyebabkan
respon terapi EPO menurun.
Tabel 1. Penyebab respon EPO tidak adekuat
Major Minor
Defisiensibesi Kehilangandarah
Absolut Hyperparathyroid
Fungsional Aluminium intoksikasi
Infeksi/inflamasi B12/Folatdefisiensi
Underdyalisis Hemolisis
Hemoglobinopathy
ACE inhibitor
Camitinedefisiensi
Obesitas
Anti EPO antibody

Investigasi pasien dengan respon EPO tidak adekuat.


Bila pasien dengan terapi EPO, langkah pertama adalah periksa kebutuhan
besi, untuk memeriksa adanya defisiensi besi. Bila terdapat desiensi besi, maka
pertimbangkan untuk diberikan besi intravena, sedangkan bila tidak ditemukan
defisiensi besi maka periksa hitung retikulosit. Hitung retikulosit tinggi
(>70x109/1) mungkin disebabkan adanya kehilangan darah atau hemolisis,
sebaliknya hitung retikulosit rendah (< 40x109/1) menunjukkan adanya supressi
aktifitas eritropoesis. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya infeksi atau inflamasi,
dan pemeriksaan kadar CRP adalah indikator yang dapat digunakan.
Kemungkinan lain hitung retikulosit rendah, disebabkan underdialysis yang dapat
dinilai dengan menghitung Kt/V atau urea reduction rath (URR) sehingga dengan
meningkatkan dialisis akan memperbaiki respon EPO. Bila semua ini gagal, maka
pertu dipertimbangkan penyebab lain dengan mengukur kadar PTH, kadar
aluminium, kadar B12, kadar asam folat, kadar camitine serta hemoglobin
elektruphoresis. Bila pasien obese maka absorbs EPO dapat diukur setelah 18 jam
pasca suntik. Disamping itu penggunaan ACE inhibitor pada pasien PGK perlu
dipertimbangkan, karena ACE inhibitor dapat meningkatkan kebutuhan EPO.
(gambar 5).
Bila pemeriksaan untuk mengetahui respon EPO tidak adekuat ini tetap
gagal, maka dianjurkan untuk biopsi sumsum tulang. Beberapa pasien dengan
keadaan ini membutuhkan dosis tinggi EPO, yaitu 10.000 U 3 kali/minggu hingga
respon adekuat.

Kepatuhan

Penyaringan untuk
definisi besi Percobaan dengan besi IV

Cari apakah ada


Hitung retikulosit Tinggi (>70 x 10 9 /t)
perdarahan / hemolisis
Rendah (<40 x 10 9 /t)

Cari apakah ada CRP Kt/V or URR Dialysis


infeksi /implamasi

PTH sedang terapi ACE-1?


Serum AI carnitine ?
B12 / folat elektroforesis Hb
Absorpsi EPO (18 jam)?

Sumsum tulang Coba EPO 10.000 unit x 3/minggu


wk

Gambar 4. Algoritme untuk investigasi respon EPO tidak adekuat.

2.3. Tranfusi darah


Transfusi darah memiliki risiko teijadinya penularan penyakit Hepatitis B
dan C, malaria, HIV dan terjadinya reaksi transfusi serta potensial terjadinya
kelebihan cairan. Disamping itu transfusi darah yang dilakukan berulang kali
menyebabkan penimbunan besi pada organ tubuh, sehingga transfusi darah hanya
diberikan pada keadaan khusus, yaitu:
Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik.
Hb < 7 g/dl dan tidak memungkinkan menggunakan EPO.
Hb< 8 g/dl dengan gangguan hemodinamik.
Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun
yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat
besi iv/im belum tersedia. Untuk tujuan mencapai status besi yang cukup
sebagai syarat pemberian EPO, maka tranfusi darah dapat diberikan
dengan hati-hati.
Target pencapaian Hb dengan transfusi darah: 7-9 g/dl, tidak sama dengan
target pencapaian Hb dengan terapi EPO. Bukti klinis menunjukkan bahwa
pemberian transfusi darah sampai Hb 10-12 g/dl tidak terbukti bermanfaat,
bahkan rneningkatkan mortafitas.

RINGKASAN
Anemia pada PGK terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoeifin,
tetapi banyak faktor lain yang berperan dan memperberat keadaan anemia.
Penanganan anemia saat ini sangat berkembang pesat. Strategi baru terutama
untuk penanganan anemia adalah konsep penanganan anemia lebih awal, yaitu
pada pre-dialisis. Penanganan anemia yang terlambat akan menyebabkan LVH,
penurunan kualitas hidup serta meningkatkan angka mortalitas pasien PGK.
Terapi EPO hendaknya diberikan secara optimal dengan mempertimbangkan
berbagai faktor, sedangkan pemberian transfusi darah hanya terbatas pada keadaan
tertentu saja.

DAFTAR RUJUKAN
1. Consensus development conference panel. Morbidity and mortality on renal
an NIH consensus conference statement. Ann intern Med 1994;121: 62-70.
2. McClelan WM, Flanders WD, Langston RD, Jurkovitz C, Presley R. Anemia
and renal insufficiency are independent risk factors for death among patients
with congestive heart failure admitted to community hospitals; a population-
based study. JAmSocNephrol2002;13:1928-1936.
3. National Kidney Foundation K/DOQI. Clinical practice guidelines for chronic
kidney, disease: evaluation, classification and stratification. Executive
summary New York 2002;51-53.
4. National Kidney Foundation K/DOQI. Clinical practice guidelines for
classification and stratification. Am J Kidney Dis 2002;39 (Suppl 1): S120-7.
5. HORL WH. Non-eryihropoietin-based anaemia management in chronic
kidney disease. Nephrol Dial Transplant 2002; 17 (Suppl 11 ):35-38.
6. MKF-K/DOQI. Clinical practice guidelines for anemia of chronic kidney
disease. New York, National Kidney Foundation 2001 ;21-80.
7. Mowry JA, Nissenson AR. Haemopoetic system in uremia. In: Massry SG,
Glassock RJ (Eds). Textbook of Nephrology. 3rd ed. Vol 2. Williams and
Wilkins: Baltimore; 1996.p.1368-73.
8. Esbach JW. Anemia in chronic renal failure. In: Johnson RJ, Fsehally J (Ed).
Comprehensive clinical nephrology. London: Morby; 2000.p.71.1-6.
9. Locatelli F et al. Reviced European best practice guidelines for the
management of anaemia in patients with chronic renal failure. Nephrol Dial
Transplant 2004;19(Suppl 2):ii2-ii36.
10. Kliger AS, Padilla N. Anemia in chronic kidney disease: clinical implications
of early management. Dialysis & Transplantation 2003;32:179-185.
11. Konsensus manajemen anemia pada pasien gagal ginjal kronik. Perhimpunan
Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)2001.
12. Besarab A. LevinA Defining a renal anemia management period. Am J Kidney
Dis 2000;36(Suppl 3):S13-S23.
13. Kazmi WH, Kausz AT. Khan S et al. Anemia: an early complication of renal
insufficiency. Am J Kidney Dis 2001:38:803-812.
14. MarkAP.Chronic kidneydisease. In: Nephratogy in 30 days. The Mc Grow Hill
Companies lnc; 2005.p.251-274.
15. Eckardt KU. Anemia in end-stage renal disease: pathophysiological
considerans. Neprol Dial Transplant 2001;16(Suppl7):2-6.
16. Q Riordan E, Foley RN. Effects of anaemia on cardiovascular status. Nephrol
Dial Transplant 2000;5 (Suppl 3):19-22.
17. Macdougall IC. Present and future strategies in the treatment of renal anaemia.
Neprol Dial Transplant 2001;16(Suppl 5)50-55.
18. Remuzi G, Rossi EC. Hematologic consequences of renal failure. In: Brenner
BM (Ed). The kidney. 5thed. Philadelphia: WBSaunders Co; 1995.p.2170-
2186.
19. Silverberg D. Outcomes of anaemia management in renal insufficiency and
cardiac disease. Nephrol Dial Tranplant, 2003; 18( Suppl 2 ):ii7-ii12.
20. Sitverberg D. Wexler D, Blum M, Wollman Y, laina A. The cardio-renal
anemia syndrome: does it exist? Nephrol Dial Transplant 2003;18 (Suppl
8):viii7-viii12.

Anda mungkin juga menyukai