PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Insomnia merupakan suatu gejala yang ditandai dengan kesulitan
untuk tidur atau kesulitan untuk mempertahankan tidur, sering terbangun saat
tidur, kesulitan kembali tidur setelah terbangun atau bangun terlalu awal dan
tidak mampu tidur kembali (Buysse, 2013). Gejala insomnia merupakan
gangguan tidur yang sering dialami oleh banyak orang dalam berbagai usia,
terutama orang dewasa. Namun, insomnia juga sering terjadi di kalangan
remaja.
Sleep Disorders and Research Center melaporkan bahwa sekitar 30%
dari berbagai sampel orang dewasa dari berbagai negara mengalami salah satu
gejala insomnia seperti kesulitan untuk tidur, kesulitan untuk mempertahankan
tidur, bangun terlalu pagi, dan di beberapa kasus memiliki kualitas tidur yang
buruk (Roth, 2007). Prevalensi perkiraan insomnia bermacam-macam, dengan
30% sampai 43% orang melaporkan setidaknya mengalami gejala insomnia
selama 1 malam. Sebagian besar laporan menyatakan bahwa tingkat
prevalensi gejala insomnia adalah 5% sampai 15%. Insomnia adalah masalah
kronis pada 31% sampai 75% orang, dengan lebih dari 2-3 orang melaporkan
gejala insomnia setidaknya selama 1 tahun (Levenson, dkk., 2014).
Umur dan jenis kelamin merupakan faktor risiko paling jelas yang
teridentifikasi, prevalensinya semakin naik pada wanita dan orang tua.
Penyebab peningkatan prevalensi insomnia pada orang tua belum begitu jelas,
namun jika pada wanita prevalensi insomnia lebih tinggi dengan onset
menstruasi dan menopause. Gangguan medis, ganggguan psikis, bekerja saat
malam atau pergantian shift kerja mewakili faktor risiko yang sangat
signifikan. Penyakit kronis merupakan risiko utama insomnia dan
diperkirakan bahwa kebanyakan orang dengan gejala insomnia (sekitar 75%
sampai 90%) memiliki peningkatan risiko mengalami gangguan medis yang
abnormal (Roth, 2007).
Di Indonesia sendiri angka prevalensi terjadinya insomnia sekitar 10%
dari seluruh penduduk Indonesia. Insomnia juga ditandai dengan kelemahan
atau kesulitan dalam fungsi yang signifikan, dan gejala saat siang hari seperti
fatigue (kelelahan), mengantuk saat siang hari, melemahnya kemampuan
kognitif, dan mood yang terganggu (Levenson, dkk., 2014).
Gejala insomnia ini bisa memengaruhi aktivitas dan produktivitas
seseorang. Kekurangan tidur dapat menyebabkan penurunan konsentrasi
seseorang yang nantinya dapat menurunkan prouktivitas seseorang. Setiap
individu memiliki kebutuhan istirahat dan tidur yang berbeda-beda, sesuai
dengan aktivitas yang dilakukan. Sebagian besar remaja membutuhkan
setidaknya 7 sampai 8 jam tidur malam, hal ini untuk mencegah keletihan dan
mencegah serangan infeksi (Zahara, dkk., 2018). Tidur yang cukup dapat
meningkatkan konsentrasi seseorang untuk melakukan berbagai aktivitas,
memulihkan kondisi tubuh, meningkatkan memori, dan juga mengurangi stres.
Tidak heran jika seseorang yang menderita insomnia menjadi lebih rentan
terhadap penyakit karena kondisi tubuh yang kurang bugar.
Insomnia sering kali dikaitkan dengan kondisi psikologis tubuh,
terutama stres. Karateristik psikologis pasien dengan insomnia meliputi
peningkatan tekanan psikologis kognitif-emosional (seperti sering melamun,
muncul rasa khawatir yang berlebih, rasa obsesi) dan strategi penguasaan yang
berorientasi emosi, mungkin muncul secara abnormal dan berperan penting
sebagai penyebab penyakit. Oleh karena itu, insomnia tentu dikaitkan dengan
aktivasi sistem stres dalam tubuh. Stres sendiri dikaitkan dengan aktivasi dari
HPA (hypothalamic-pituitary-adrenal) dan sympatho-adrenal-medullary axes,
di mana hormon CRH (corticotropine releasing hormone) dan homon kortisol
yang diproduksi di hipotalamus dan kelenjar adrenal, dan katekolamin yang
diproduksi oleh sistem saraf simpatis, diketahui sebagai penyebab timbulnya
kesulitan tidur pada hewan dan manusia. Di sisi lain, tidur dan terutama tidur
yang nyenyak muncul sebagai efek dari ‘antistres’ yang dikaitkan dengan efek
penghambatan dari sistem stres tubuh (Mendoza, 2013).
Stres merupakan suatu kondisi yang disebabkan adanya
ketidaksesuaian antara situasi yang diinginkan dengan keadaan biologis,
psikologis, atau sistem sosial individu tersebut (Sarafino, 2006). Masa remaja,
menurut Hall (1904, dalam Santrock, 2010) dianggap sebagai masa topan-
badai dan stres karena masa remaja merupakan masa bergolak yang diwarnai
oleh konflik dan perubahan suasana hati (mood). Remaja pasti mendapatkan
banyak tantangan dan rintangan ketika memenuhi tugas-tugasnya. Saat
berusaha mencapai tugas perkembangan tersebut tidak jarang remaja
mengalami banyak konflik dan perubahan suasana hati sehingga hal tersebut
menjadi stressor bagi remaja. Stres yang dialami remaja akan meningkatkan
hormon kortisol sehingga menggangu ritme circardian. Kondisi tersebut dapat
menyebabkan insomnia pada remaja (Brand et al., 2009; Chiang et al., 2016).
Seperti yang telah disebutkan di atas, masing-masing individu
mempunyai kebutuhan tidur yang berbeda-beda. Pola dan waktu tidur remaja
memiliki ciri khas yaitu remaja mengalami perubahan hormonal serta
pergeseran ritme sirkadian. (Zahara, dkk., 2018). Ritme sirkadian inilah ritme
yang mengatur waktu seseorang kapan harus tidur dan kapan harus bangun
sesuai dengan kondisi cahaya. Aktivitas padat dan kompleks juga merupakan
penyebab remaja rentan mengalami gangguan tidur seperti insomnia. Faktor
penyebab insomnia pada remaja disebabkan karena pola tidur yang buruk,
penggunaan media elektronik (televisi, gadget, dan lain sebagainya), penyakit
migrain, nyeri, gangguan psikologi, depresi, kafein, nikotin, dan rokok
(Zahara, dkk., 2018). Mengingat berbagai dampak negatif yang bisa
ditimbulkan oleh gangguan insomnia ini, tentu akan sangat merugikan bagi
para remaja yang sering mengalami gejala insomnia dan perlu dilakukan
uoaya pencegahan dan pengurangan gejala insomnia yang muncul pada
remaja.
Penggunaan media sosial yang tinggi maupun insomnia dapat
mempengaruhi proses perkembangan pada remaja. Penggunaan media sosial
dapat merangsang perkembangan fisik pada remaja. Sedangkan insomnia
dapat menyebabkan status kesehatan yang menurun, bertambahnya berat
badan, resiko gangguan pada kardiovaskular dan kardiometabolik (Shochat,
Cohen-zion, & Tzischinsky, 2014). Penggunaan media sosial yang tinggi
mempengaruhi perkembangan psikososial pada remaja seperti memicu
terjadinya ansietas, depresi hingga bunuh diri (McBride, 2011). Begitu juga
insomnia dapat mempengaruhi perkembangan kognitif pada remaja misalnya
penurunan daya ingat, gangguan konsentrasi, serta penurunan kecepatan
proses berpikir dan berespon (Bruin, Dewald-kaufmann, Oort, Bogels, &
Meijer, 2015; McBride, 2011).Pengaruh media sosial juga dapat memiliki
dampak positif bagi perkembangan sosial pada remaja seperti peningkatan
dalam kemampuan bersosialisasi, membangun dan memperkuat kehidupan
sosialnya. Namun kecanduan media sosial akan memiliki sifat yang kurang
peduli terhadap lingkungan dan tidak memiliki keinginan untuk bertatap muka
langsung (Tartari, 2015). Insomnia juga berpengaruh bagi perkembangan
sosial remaja misalnya gangguan mood&disfungsi sosial(Bruin et al., 2015).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana analisis aktivitas sehari-hari terhadap gejala insomnia pada
remaja?
2. Bagaimana kebiasaan bermain Social media dapat berpengaruh pada
resiko insomnia pada remaja?
C. TUJUAN
1. Mengetahui apakah aktivitas sehari-hari dapat menjadi penyebab insomnia
pada remaja
2. Mengetahui kebiasaan bermain sosial media dapat berpengaruh pada
resiko insomnia pada remaja
BAB II
PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN
Setelah dilakukan analisis dapat disimpulkan bahwa aktivitas
keseharian seseorang bisa memengaruhi siklus tidurnya. Namun, hal ini
bergantung pada seberapa berat aktivitas itu sampai bisa membebani pikiran
dan menimbulkan stres. Semakin aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang
dapat membebani pikiran seseorang, maka hal tersebut dapat menjadi pemicu
munculnya stres. Hal utama di sini yang dapat menimbulkan gejala insomnia
yaitu stres.
Stres dapat timbul baik dari aktivitas keseharian, tekanan dari luar,
maupun tekanan tersendiri yang dialami oleh penderita tersebut. Saat tubuh
mendapat tekanan baik dari luar maupun dari diri sendiri, tubuh akan
mengaktifkan sistem stres dan akhirnya dapat memicu seseorang mengalami
kesulitan tidur. Sebaliknya, saat seseorang sedang tidak berada di bawah
tekanan, maka tubuh akan merespon dengan ‘antistres’ yang nantinya bisa
menghambat aktivasi sistem stres tubuh dan seseorang akan menjadi lebih
mudah untuk tidur.
Tingginya penggunaan media social salah satunya disebabkan factor
gaya hidup dimana kepemilikan media sosial yang sudah menjadi kebutuhan
aktualisasi diri dikalangan remaja ditambah lagi tuntutan pembelajaran secara
daring saat ini yang mengakibatkan adanya ketergantungan yang berdampak
pada tertundanya waktu tidur. Saat proses ini terjadi secara berulang yang
kemudian dapat menjadi suatu kebiasaan menunda waktu sehingga terjadi
gangguan tidur yaitu insomnia.
Untuk mengurangi munculnya gejala insomnia ini, penderita dapat
melakukan terapi farmakologis maupun terapi nonfarmakologis. Terapi
nonfarmakologis yang dapat dilakukan dan terjamin keamanannya yaitu
dengan melakukan aktivitas fisik seperti olahraga yang dapat memengaruhi
ritme sirkadiannya. Ritme sirkadian sendiri merupakan jam biologis makhluk
hidup yang salah satunya mengatur siklus tidur manusia. Dengan rutin
berolahraga, ritme sirkadian akan tetap teratur dan siklus tidur penderita
nantinya perlahan akan kembali normal dan bisa terhindar dari insomnia.
B. SARAN
Tidak sedikit remaja masa kini yang kurang begitu mengetahui hal apa
saja yang dapat menimbulkan insomnia dan apa akibat dari insomnia tersebut,
penulis menyarankan perlunya dilakukan pendekatan dan edukasi mengenai
penyebab dan akibat dari insomnia. Selain itu, untuk mengurangi dan
mencegah gejala insomnia ini timbul, perlu dilakukan olahraga rutin agar
ritme sirkadian tetap berjalan normal dan siklus tidur seseorang tetap teratur.
Walaupun konsumsi obat untuk menjaga siklus tidur agar tetap teratur dapat
dilakukan, penulis tidak begitu menyarankan terapi farmakologis ini pada
penderita insomnia yang masih belum parah karena dikhawatirkan dapat
menimbulkan efek samping bagi penderita tersebut. Penulis juga menyarankan
agar penderita insomnia mulai mengurangi aktivitas yang sekiranya dapat
membebani pikirannya dan mulai terus berpikir positif sehingga tidak rawan
terkena stres.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Nazir, M. (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Sugiyono. (2005). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta
Jurnal
Al-Eisa, E., Buragadda, S., Melam, G., Al-Osaimi, A., Al-Mubarak, H., & Al-
Huwaimel, N. (2013). Association between Physical Activity and
Insomnia among Saudi Female College Students. Journal Of Physical
Therapy Science, 25(11), 1479-1482. Doi: 10.1589/jpts.25.1479
Bollu, Pradeep C., & Kaur, H. (2019). Sleep Medicine: Insomnia and Sleep. Sleep
Medicine Single Series
Buysse, Daniel J. (2013). Insomnia. The Journal of the American Medical
Association
Chang, J., Pien, G., Stamatakis, K., & Brownson, R. (2012). Association Between
Physical Activity and Insomnia Symptoms in Rural Communities of
Southeastern Missouri, Tennessee, and Arkansas. The Journal Of Rural
Health, 29(3), 239-247. doi: 10.1111/j.1748-0361.2012.00447.x
Fernandez-Mendoza, J., & Vgontzas, A. (2013). Insomnia and its Impact on
Physical and Mental Health. Current Psychiatry Reports, 15(12). Doi:
10.1007/s11920-013-0418-8
Levenson, J., Kay, D., & Buysse, D. (2019). The Pathophysiology of Insomnia.
Murray, K., Godbole, S., Natarajan, L., Full, K., Hipp, J., & Glanz, K. et al.
(2017). The relations between sleep, time of physical activity, and time
outdoors among adult women. PLOS ONE, 12(9), e0182013. Doi:
10.1371/journal.pone.0182013
Roth, T. (2019). Insomnia: Definition, Prevalence, Etiology, and Consequences.
Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1978319/
Zahara, R., Nurchayati, S., & Woferst, R. (2018). Gambaran Insomnia pada
Remaja di SMK Negeri 2 Pekanbaru. Fakultas Keperawatan Universitas
Riau