A. Latar Belakang
Tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh semua
manusia untuk dapat berfungsi secara optimal (dalam Anggrasari, 2013).
Sama halnya dengan yang dikemukakan oleh Departemen Kesehatan bahwa
tidur adalah bagian dari ritme biologis tubuh untuk mengembalikan stamina
(Siregar, 2011). Kebutuhan tidur yang normal pada masing-masing orang
umumnya berkisar antara 6-8 jam per hari (Siregar, 2011). Hauri (dalam
Milner & Belicki, 2010) mengatakan bahwa tidur yang tidak normal apabila
individu mengalami sulit tidur, terbangun dan susah untuk tidur kembali,
terbangun pada dinihari, dan tidak merasa segar ketika bangun tidur. Dapat
tidur dengan nyenyak adalah hal yang menyenangkan, saat bangun dipagi
harinya badanpun akan terasa lebih ringan dan fresh. Namun, bagi sebagian
orang lainnya yang mengalami sulit tidur atau gangguan tidur, akan membuat
individu merasa kelelahan disiang hari (dalam Milner & Belicki, 2010).
Dampak lain dari kekurangan tidur menurut Siregar (2011) antara lain
individu menjadi tidak produktif, tidak fokus, pelupa, pemarah, depresi,
meningkatkan resiko kematian, rentan terhadap penyakit serta meningkatkan
tingkat terjadinya kecelakaan. Gangguan tidur dapat bermacam-macam
bentuknya, namun salah satu gangguan tidur yang paling tinggi insidensi dan
prevalensinya adalah insomnia.
Pendapat dalam DSM-IV-TR 2 dan ICD-107 (dalam Morin dkk, 2011)
menjelaskan bahwa kriteria untuk sindrom insomnia adalah: ketidakpuasan
dengan tidur; adanya gejala awal, tengah, atau akhir Insomnia minimal 3
malam per minggu selama minimal 1 bulan; dan kesusahan atau penurunan di
siang hari yang signifikan terkait dengan kesulitan tidur. Hal tersebut akan
mengakibatkan kekebalan tubuh menurun akibat kekurangan tidur atau
jadwal yang terganggu akibat gangguan tidur insomnia yang menyerang.
menurut Adiyati (2010) keluhan insomnia mencakup ketidakmampuan untuk
tidur, sering terbangun pada malam hari, ketidakmampuan untuk kembali
tidur, dan terbangun pada dini hari.
Insomnia dapat menyerang semua golongan usia. Meskipun demikian,
angka kejadian insomnia akan meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Umumnya lansia banyak yang mengalami gangguan dalam pemenuhan
kebutuhan tidur baik kualitas maupun kuantitasnya (dalam Anggrasari, 2013).
Stanley (dalam Anggrasari, 2013) mengatakan bahwa sering sekali lansia
mengatakan jika dirinya kesulitan untuk memulai tidur, sering terjaga
sewaktu tidur dan tidak dapat tidur lagi, menghabiskan waktu dalam tahap
mengantuk serta sangat sedikit waktu dalam tahap mimpi. Data dari Jurnal
Keperawatan AIPNI (dalam Anggrasari, 2013) menunjukan bahwa menurut
penelitian di Amerika Serikat, prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup
tinggi yaitu sekitar 67%. Ada mitos yang menyebutkan bahwa bertambahnya
umur membuat tidur makin berkurang, namun pada kenyataannya Idealnya
lansia membutuhkan waktu tidur yang sama dengan individu yang lebih
muda, yaitu 7-9 jam sehari (Siregar, 2011). Lansia beresiko mengalami
gangguan tidur yang disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut
menurut Anggrasari (2013) antara lain : faktor usia karena pada usia 66-75
B. Definisi Insomnia
Menurut Adiyati (2010) keluhan insomnia mencakup ketidakmampuan
untuk tidur, sering terbangun pada malam hari, ketidakmampuan untuk
kembali tidur, dan terbangun pada dini hari. Insomnia didefinisikan dalam
Association
sebagai
keluhan
kesulitan
memulai
atau
mengobati
berusaha keras untuk tidur tetapi semakin tidak bisa tidur. Ketidak
mampuan menghilangkan pikiran-pikiran yang mengganggu ketika
berusaha tidur dapat menyebabkan insomnia psikofisiologik. Selain itu,
ketika berusaha untuk tidur terjadi peningkatan ketegangan motorik dan
keluhan somatik lain sehingga juga menyebabkan tidak bisa tidur.
Penderita bisa tertidur ketika tidak ada usaha untuk tidur. Insomnia ini
juga disebut insomnia terkondisi. Mispersepsi terhadap tidur dapat pula
terjadi. Diagnosa ditegakkan apabila seseorang mengeluh tidak bisa masuk
atau mempertahankan tidur tetapi tidak ada obyektif adanya gangguan
tidur. Misalnya: pasien mengeluh susah masuk tidur (lebih dari satu
jam), terbangun lebih lama (lebih dari 30 menit), dan durasi tidur
kurang dari lima jam. Tetapi dari hasil polismonografi terlihat bahwa onset
tidurnya kurang dari 15 menit, efisiensi tidur 90 %, dan waktu tidurnya
lebih lama. Pasien dengan gangguan seperti ini dikatakan mengalami
mispersepsi terhadap tidur.
3. Insomnia Idiopatik
Insomnia idiopatik adalah insomnia yang sudah terjadi sejak
kehidupan dini. Kadang-kadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir
dan dapat berlanjut selama hidup. Penyebabnya tidak jelas, ada dugaan
disebabkan
oleh
ketidakseimbangan
neurokimia
otak
diformasio
sendiri atau adanya rasa ketakutan pada malam hari dapat menyebabkan
tidak bisa tidur. Insomnia kronik dapat menyebabkan penurunan mood
(resiko
depresi
dan
ansietas),
yang
datang
secara
tiba-tiba
mengakibatkan
Pola makan yang buruk dapat mempengaruhi seperti salah satu faktor
tidur yang higienis. Pada saat akan tidur dianjurkan untuk tidak
mengkonsumsi makanan yang berat. Karena dengan mengkonsumsi
makanan yang berat, secra otomatis akan menyulitkan untuk tidur.
Karena pencernaan harus bekerja ekstra selama makanan berat ada
diperut.
6. Kafein, alkohol, dan nikotin
Kafein dan nikotin merupakan zat stimulant. Alkohol selain dapat
mengacaukan pola tidur, juga memberikan efek negatif pada tubuh
(Amrita,2009)
Siregar (2011) juga mengemukakan bahwa faktor penyebab insomnia
secara umum meliputi :
1. Kondisi Fisik
Tiap kondisi fisik yang tidak menyenangkan akan menyebabkan individu
menjadi susah tidur, contohnya seperti sindrom apnea tidur, sakit kepala
atau migran, faktor diet, parasomnia, efek zat langsung (alkohol atau obatobatan), efek putus zat, penyakit endokrin, infeksi, nyeri, serta penuaan.
2. Penyebab sekunder karena kondisi psikatri
Misalnya kecemasan, ketegangan otot, perubahan lingkungan, gangguan
tidur irama sirkadian, depresi, stres, dan skizofrenia.
3. Masalah lingkungan
4. Dapat berupa suara-suara, suasana pencahayaan, tempat tidur yag kurang
nyaman, lingkungan yang ribut dan lain-lain.
Sedangkan menurut Anggrasari (2013) faktor-faktor yang mempengaruhi
insomnia pada lansia adalah sebagai berikut :
1. Faktor usia karena pada usia 66-75 tahun seseorang mengalami penurunan
fungsi sistem tubuh akibat proses penuaan sehingga dapat mempengaruhi
tinggi dapat
3.
banyak
Kurang NREM, maka keesokan harinya keadaan fisik menjadi
kurang gesit
Psikologi
a. Bingung, diorientasi dan gangguan memori (pelupa)
b. Rasa kantuk yang berlebihan
c. Penurunan motivasi
Sosial
a. Kurang dapat menjalin hubungan interpersonal dengan baik
b. Sering salah dalam hal berkomunikasi (konsentrasi kurang)
c. Marah yang tidak diketahui penyebabnya
d. Kurang dapat bekerja dengan baik
e. Produktivitas menurun (Haryanto, 2009)
normal lamanya tidur biasanya lebih dari 6,5 jam, sedangkan pada
penderita insomnia memiliki lama tidur yang lebih sedikit. Nilai yang
diperoleh dalam setiap jawaban adalah 1 Nilai 0 untuk jawaban tidur
lebih dari 6,5 jam. Nilai l untuk jawaban tidur antara 5,5 - 6,5 jam. Nilai
2 untuk jawaban tidur antara 4,5 5,5 jam. Nilai 3 untukjawaban tidur
kurang dari 4,5 jam.
2. Mimpi
Subyek normal biasanya tidak bermimpi atau tidak mengingat bila ia
mimpi atau kadang-kadang mimpi yang dapat diterimanya. Penderita
insomnia mempunyai mimpi yang lebih banyak atau selalu berrnimpi dan
kadang-kadang mimpi buruk. Nilai yang diperoleh dalam setiap jawaban
adalah : Nilai 0 untuk jawaban tidak ada mimpi. Nilai l untuk jawaban
terkadang mimpi yang menyenangkan atau mimpi biasa saja. Nilai 2
untuk jawaban selalu bennimpi. Nilai 3 untuk jawaban mimpi buruk atau
mimpi yang tidak menyenangkan.
3. Kualitas tidur
Kebanyakan subyek normal tidumya dalam, penderita insonmia biasanya
tidurnya dangkal. Nilai yang diperoleh dalam setiap jawaban adalah :
Nilai O untuk jawaban dalam, sulit untuk terbangun. Nilai 1 untuk
jawaban terhitung tidur yang baik, tetapi sulit untuk terbangun. Nilai 2
untuk j awaban terhitung tidur yang baik, tetapi mudah untuk terbangun.
Nilai 3 untuk jawaban tidur yang dangkal.
4. Mudah untuk terbangun.
Masuk tidur. Subyek normal biasanya dapat jatuh tertidur dalam
waktu 5-15 menit. Penderita insomnia biasanya lebih lama dari 15 menit.
Nilai yang diperoleh dalam setiap jawaban adalah : Nilai O untuk jawaban
jawaban bangln lebih dari 1 jam lebih awal dari waktu bangun tidur anda
dan tidak dapat tertidur lagi.
8. Perasaan waktu bangun.
Subyek normal merasa segar setelah tidur di malam hari. Akan tetapi
penderita insomnia biasanya bangun dengan tidak segar atau lesu.
Nilai
jawaban merasa segar. Nilai l untuk jawaban tidak terlalu baik. Nilai 2
untuk jawaban sangat buruk.
a. tidak insomnia: < 8
b. insomnia ringan: 8-13
c. insomnia sedang ; 13-18
d. insomnia berat: >18
pikiran-pikiran
individu
yang
tidak
yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis.
Teknik Relaksasi Benson merupakan teknik latihan nafas, dengan latihan
nafas yang teratur dan dilakukan dengan benar akan membuat tubuh
merasa rileks serta ketegangan pun akan hilang. Solusi lainnya untuk
mengatasi insomnia pada lansia menurut Adiyati (2010) adalah dengan
aromaterapi. Aromaterapi merupakan salah satu terapi komplementer yang
dapat digunakan untuk mengatasi insomnia. Aromaterapi memiliki efek
menenangkan atau rileks untuk beberapa gangguan misalnya mengurangi
kecemasan, ketegangan dan insomnia.
relaksasi
yang
bertujuan
biasanya
dapat
membantu
meningkatkan tidur.
DAFTAR PUSTAKA
Adiyati Sri. 2010. Pengaruh Aromaterapi terhadap insomnia pada lansia di PSTW
Unit Budi Luhur Kasongan Bantu Yogyakarta. Jurnal Kebidanan. 2, 02,
21-28.
Anggrasari A P. 2013. Pengaruh Teknik Relaksasi Benson Terhadap Pemenuhan
Kebutuhan Tidur pada Lansia di Panti Asuhan Wredha Hargo Dedali
Surabaya. Jurnal Kesehatan Samodra Ilmu. 04, 02, 73-83
Cynthia M, Taylor . 2011 . Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan .
Jakarta : EGC.
Stanley M, Patricia GB. 2006 . Buku Ajar Keperawatan Gerontik . Jakarta : EGC.