Anda di halaman 1dari 17

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang
Tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh semua
manusia untuk dapat berfungsi secara optimal (dalam Anggrasari, 2013).
Sama halnya dengan yang dikemukakan oleh Departemen Kesehatan bahwa
tidur adalah bagian dari ritme biologis tubuh untuk mengembalikan stamina
(Siregar, 2011). Kebutuhan tidur yang normal pada masing-masing orang
umumnya berkisar antara 6-8 jam per hari (Siregar, 2011). Hauri (dalam
Milner & Belicki, 2010) mengatakan bahwa tidur yang tidak normal apabila
individu mengalami sulit tidur, terbangun dan susah untuk tidur kembali,
terbangun pada dinihari, dan tidak merasa segar ketika bangun tidur. Dapat
tidur dengan nyenyak adalah hal yang menyenangkan, saat bangun dipagi
harinya badanpun akan terasa lebih ringan dan fresh. Namun, bagi sebagian
orang lainnya yang mengalami sulit tidur atau gangguan tidur, akan membuat
individu merasa kelelahan disiang hari (dalam Milner & Belicki, 2010).
Dampak lain dari kekurangan tidur menurut Siregar (2011) antara lain
individu menjadi tidak produktif, tidak fokus, pelupa, pemarah, depresi,
meningkatkan resiko kematian, rentan terhadap penyakit serta meningkatkan
tingkat terjadinya kecelakaan. Gangguan tidur dapat bermacam-macam
bentuknya, namun salah satu gangguan tidur yang paling tinggi insidensi dan
prevalensinya adalah insomnia.
Pendapat dalam DSM-IV-TR 2 dan ICD-107 (dalam Morin dkk, 2011)
menjelaskan bahwa kriteria untuk sindrom insomnia adalah: ketidakpuasan

dengan tidur; adanya gejala awal, tengah, atau akhir Insomnia minimal 3
malam per minggu selama minimal 1 bulan; dan kesusahan atau penurunan di
siang hari yang signifikan terkait dengan kesulitan tidur. Hal tersebut akan
mengakibatkan kekebalan tubuh menurun akibat kekurangan tidur atau
jadwal yang terganggu akibat gangguan tidur insomnia yang menyerang.
menurut Adiyati (2010) keluhan insomnia mencakup ketidakmampuan untuk
tidur, sering terbangun pada malam hari, ketidakmampuan untuk kembali
tidur, dan terbangun pada dini hari.
Insomnia dapat menyerang semua golongan usia. Meskipun demikian,
angka kejadian insomnia akan meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Umumnya lansia banyak yang mengalami gangguan dalam pemenuhan
kebutuhan tidur baik kualitas maupun kuantitasnya (dalam Anggrasari, 2013).
Stanley (dalam Anggrasari, 2013) mengatakan bahwa sering sekali lansia
mengatakan jika dirinya kesulitan untuk memulai tidur, sering terjaga
sewaktu tidur dan tidak dapat tidur lagi, menghabiskan waktu dalam tahap
mengantuk serta sangat sedikit waktu dalam tahap mimpi. Data dari Jurnal
Keperawatan AIPNI (dalam Anggrasari, 2013) menunjukan bahwa menurut
penelitian di Amerika Serikat, prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup
tinggi yaitu sekitar 67%. Ada mitos yang menyebutkan bahwa bertambahnya
umur membuat tidur makin berkurang, namun pada kenyataannya Idealnya
lansia membutuhkan waktu tidur yang sama dengan individu yang lebih
muda, yaitu 7-9 jam sehari (Siregar, 2011). Lansia beresiko mengalami
gangguan tidur yang disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut
menurut Anggrasari (2013) antara lain : faktor usia karena pada usia 66-75

tahun seseorang mengalami penurunan fungsi sistem tubuh akibat proses


penuaan sehingga dapat mempengaruhi siklus kehidupannya secara umum,
salah satunya adalah perubahan pola tidur. Selanjutnya adalah faktor tingkat
pendidikan karena tinggi rendahnya tingkat pendidikan pada lansia tersebut
sangat mempengaruhi pengetahuan lansia tentang gangguan tidur yang
umumnya dianggap biasa oleh masyarakat dan bagaimana cara mengatasinya.
Faktor lain yang mempengaruhi insomnia pada lansia adalah faktor status
perkawinan, lansia yang sudah ditinggal ditinggal pasangannya dapat
mempengaruhi keadaan psikologis mereka sehingga dapat berdampak pada
perubahan pola tidurnya. Faktor selanjutnya adalah faktor lingkungan,
dimana disebutkan bahwa lingkungan yang tenang dan nyaman akan
membantu individu untuk tidur. Terakhir adalah faktor aktivitas, karena
Keletihan akibat aktivitas tinggi dapat memerlukan banyak tidur untuk
menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan, maka orang tersebut
akan lebih cepat untuk tidur.

B. Definisi Insomnia
Menurut Adiyati (2010) keluhan insomnia mencakup ketidakmampuan
untuk tidur, sering terbangun pada malam hari, ketidakmampuan untuk
kembali tidur, dan terbangun pada dini hari. Insomnia didefinisikan dalam

Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental DSM-IV-TR American


Psychiatric

Association

sebagai

keluhan

kesulitan

memulai

atau

mempertahankan tidur yang berlangsung selama minimal 1 bulan (Kriteria A)


dan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam bidang sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya (Kriteria B)
(dalam Milner & Belicki, 2010). Lebih lanjut lagi, Mushoffa dkk (2013)
menjelaskan bahwa insomnia merupakan gangguan untuk memperoleh
keadaan tidur yang maksimal, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Definisi lainnya menurut Kaplan dan Sadock (Siregar, 2011) yang
mengungkapkan bahwa insomnia adalah kesukaran dalam memulai atau
mempertahankan tidur yang bersifat sementara atau persisten. Dalam sumber
lain juga disebutkan bahwa insomnia adalah ketidakmampuan seseorang
untuk tidur, tetap tidur atau ketidakmampuan merasakan segar dengan tidur
(Siregar, 2011). Sedangkan American Psychological Association (2007)
mengatakan bahwa insomnia merupakan kesulitan dalam memulai atau
mempertahankan tidur yang menyebabkan kelelahan, tingkat keparahan atau
kegigihan yang menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan
fungsi.
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan
untuk melakukannya. Lansia rentan terhadap insomnia karena adanya
perubahan pola tidur, biasanya menyerang tahap 4 (tidur dalam). Keluhan
insomnia mencakup ketidakmampuan untuk tertidur, sering terbangun,
ketidakmampuan untuk kembali tidur dan terbangun pada dini hari.
C. Jenis Insomnia

Insomnia terdiri dari 3 jenis:


1. Insomnia Primer
Ditandai dengan:
a. Keluhan sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur atau tetap tidak
segar meskipun sudah tidur. Keadaan ini berlangsung paling sedikit satu
bulan.
b. Meyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau impairment
sosial, okupasional, atau fungsi penting lainnya.
c. Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama ada gangguan
mental lainnya.
d. Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama ada gangguan
mental lainnya.
e. Tidak disebabkan oleh pengaruh fisiologik langsung, kondisi medik
umum atau zat.
f. Seseorang dengan insomnia primer sering mengeluh sulit masuk tidur
dan terbangun berkali-kali.
Bentuk keluhan tidur bervariasi dari waktu ke waktu. Misalnya,
seseorang yang saat ini mengeluh sulit masuk tidur mungkin suatu saat
mengeluh sulit mempertahankan tidur. Seorang penderita insomnia makin
frustasi dan makin tidak bisa tidur. Seseorang dengan insomnia primer
sering mempunyai riwayat gangguan tidur sebelumnya dan

mengobati

sendiri dengan obat sedatif-hipnotik atau alkohol.


2. Insomnia Kronik
Disebut juga insomnia psikofisiologik persisten. Insomnia ini dapat
disebabkan oleh kecemasan, selain itu dapat pula terjadi akibat kebiasaan
atau pembelajaran atau perilaku maladaptif ditempat tidur. Adanya
kecemasan yang berlebihan karena tidak bisa tidur menyebabkan seseorang

berusaha keras untuk tidur tetapi semakin tidak bisa tidur. Ketidak
mampuan menghilangkan pikiran-pikiran yang mengganggu ketika
berusaha tidur dapat menyebabkan insomnia psikofisiologik. Selain itu,
ketika berusaha untuk tidur terjadi peningkatan ketegangan motorik dan
keluhan somatik lain sehingga juga menyebabkan tidak bisa tidur.
Penderita bisa tertidur ketika tidak ada usaha untuk tidur. Insomnia ini
juga disebut insomnia terkondisi. Mispersepsi terhadap tidur dapat pula
terjadi. Diagnosa ditegakkan apabila seseorang mengeluh tidak bisa masuk
atau mempertahankan tidur tetapi tidak ada obyektif adanya gangguan
tidur. Misalnya: pasien mengeluh susah masuk tidur (lebih dari satu
jam), terbangun lebih lama (lebih dari 30 menit), dan durasi tidur
kurang dari lima jam. Tetapi dari hasil polismonografi terlihat bahwa onset
tidurnya kurang dari 15 menit, efisiensi tidur 90 %, dan waktu tidurnya
lebih lama. Pasien dengan gangguan seperti ini dikatakan mengalami
mispersepsi terhadap tidur.
3. Insomnia Idiopatik
Insomnia idiopatik adalah insomnia yang sudah terjadi sejak
kehidupan dini. Kadang-kadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir
dan dapat berlanjut selama hidup. Penyebabnya tidak jelas, ada dugaan
disebabkan

oleh

ketidakseimbangan

retikularis batang otak

neurokimia

otak

diformasio

atau disfungsi forebrain. Lansia yang tinggal

sendiri atau adanya rasa ketakutan pada malam hari dapat menyebabkan
tidak bisa tidur. Insomnia kronik dapat menyebabkan penurunan mood
(resiko

depresi

dan

ansietas),

menurunkan motivasi, energi, dan

konsentrasi, serta menimbulkan rasa malas. Kualitas hidup berkurang dan


dapat meyebabkan lansia tersebut lebih sering menggunakan fasilitas
kesehatan.
D. Faktor-Faktor Penyebab Insomnia
Faktor-faktor penyebab terjadinya insomnia diantaranya adalah:
1. Stres dan kecemasan yang berlebihan
Biasanya ini terjadi karena memikirkan permasalahan yang sedang
dihadapi
2. Depresi
Tekanan yang terjadi pada seseorang akibat permasalahan yang tidak
kunjung selesai atau tidak ada pemecahannya sering menimbulkan
depresi.
3. Penyakit
Adanya suatu penyakit yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya salah
satu sistem tubuh, seperti dabetes millitus, sakit ginjal, arthritis, juga
penyakit-penyakit

yang

datang

secara

tiba-tiba

mengakibatkan

seseorang tidak dapat atau mengalami kesulitan tidur.


4. Kurang Olahraga
Dalam tidur secra higienis, olahraga sanagt berpengaruh terhadap pola
tidur yang berkualitas. Kurangnya olahraga merupakan salah satu faktor
sulitnya tidur yang cukup signifikan.
5. Pola makan yang buruk

Pola makan yang buruk dapat mempengaruhi seperti salah satu faktor
tidur yang higienis. Pada saat akan tidur dianjurkan untuk tidak
mengkonsumsi makanan yang berat. Karena dengan mengkonsumsi
makanan yang berat, secra otomatis akan menyulitkan untuk tidur.
Karena pencernaan harus bekerja ekstra selama makanan berat ada
diperut.
6. Kafein, alkohol, dan nikotin
Kafein dan nikotin merupakan zat stimulant. Alkohol selain dapat
mengacaukan pola tidur, juga memberikan efek negatif pada tubuh
(Amrita,2009)
Siregar (2011) juga mengemukakan bahwa faktor penyebab insomnia
secara umum meliputi :
1. Kondisi Fisik
Tiap kondisi fisik yang tidak menyenangkan akan menyebabkan individu
menjadi susah tidur, contohnya seperti sindrom apnea tidur, sakit kepala
atau migran, faktor diet, parasomnia, efek zat langsung (alkohol atau obatobatan), efek putus zat, penyakit endokrin, infeksi, nyeri, serta penuaan.
2. Penyebab sekunder karena kondisi psikatri
Misalnya kecemasan, ketegangan otot, perubahan lingkungan, gangguan
tidur irama sirkadian, depresi, stres, dan skizofrenia.
3. Masalah lingkungan
4. Dapat berupa suara-suara, suasana pencahayaan, tempat tidur yag kurang
nyaman, lingkungan yang ribut dan lain-lain.
Sedangkan menurut Anggrasari (2013) faktor-faktor yang mempengaruhi
insomnia pada lansia adalah sebagai berikut :
1. Faktor usia karena pada usia 66-75 tahun seseorang mengalami penurunan
fungsi sistem tubuh akibat proses penuaan sehingga dapat mempengaruhi

siklus kehidupannya secara umum, salah satunya adalah perubahan pola


tidur.
2. Faktor tingkat pendidikan karena tinggi rendahnya tingkat pendidikan
pada lansia tersebut sangat mempengaruhi pengetahuan lansia tentang
gangguan tidur yang umumnya dianggap biasa oleh masyarakat dan
bagaimana cara mengatasinya.
3. Faktor status perkawinan, lansia yang sudah ditinggal ditinggal
pasangannya dapat mempengaruhi keadaan psikologis mereka sehingga
dapat berdampak pada perubahan pola tidurnya.
4. Faktor lingkungan, dimana disebutkan bahwa lingkungan yang tenang dan
nyaman akan membantu individu untuk tidur.
5. Faktor aktivitas, karena Keletihan akibat aktivitas

tinggi dapat

memerlukan banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah


dikeluarkan, maka orang tersebut akan lebih cepat untuk tidur.
E. Gejala Insomnia
Insomnia biasanya dimulai dengan munculnya beberapa gejala diantaranya:
1. Kualitas tidur tidak baik
Ketika sedang tidur, kualitas yang didapatkan tidak baik atau tidak
tercapainya tidur yang nyenyak. Kadaan ini sangat mengesalkan karena
bisa berlangsung sepanjang malam dan bisa dalam waktu berhari-hari,
berminggu-minggu bahakan lebih.
2. Ketika bangun tidur tidak merasa segar
Ketika bangun tidur, tidak merasakan kesegaran atau masih merasa
lelah. Penderita insomnia seringkali merasa tidak pernah tidur sama sekali
walaupun kita melihat penderita insomnia ini sedang memejamkan mata.
3. Merasa sakit kepala dipagi hari
Di pagi hari, penederita insomnia akan merasa sakit kepala. Biasanya sakit
kepala ini disebut efek mabuk. Tetapi mereka tidak minum-minuman
beralkohol dimalam harinya.

4. Penderita insomnia secara umum akan mengalami kesulitan untuk


berkonsentrasi, mudah marah, mata memerah, dan mengantuk disiang hari
(Amrita, 2009).
F. Dampak Insomnia
Beberapa dampak yang akan ditimbulkan antara lain:
1. Biologi/fisik
a. Penurunan kadar melatonin darah
b. Kurang cukup tidur REMS akan terjadi hiperaktif dan makan lebih
c.
2.

3.

banyak
Kurang NREM, maka keesokan harinya keadaan fisik menjadi

kurang gesit
Psikologi
a. Bingung, diorientasi dan gangguan memori (pelupa)
b. Rasa kantuk yang berlebihan
c. Penurunan motivasi
Sosial
a. Kurang dapat menjalin hubungan interpersonal dengan baik
b. Sering salah dalam hal berkomunikasi (konsentrasi kurang)
c. Marah yang tidak diketahui penyebabnya
d. Kurang dapat bekerja dengan baik
e. Produktivitas menurun (Haryanto, 2009)

G. Alat Ukur Insomnia


Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur (insomnia) dari
subyek adalah menggunakan KSPBJ-IRS (Kelompok Studi Psikiatri Biologik
Jakarta Insomnia Rating Scale). Alat ukur ini mengukur masalah insomnia
secara terperinci, misalnya masalah gangguan masuk tidur, lamanya tidur,
kualitas tidur, serta kualitas setelah bangin. Berikut merupakan butir-butir
dari KSPBJ Insomnia Rating Scale dan nilai skoring dari tiap item yang
dipilih oleh subyek adalah sebagai berikut :
1. Lamanya tidur.
Butir ini untuk mengevaluasi jumlah jam tidur total, nilai butir ini
tergantung dari lamanya subyek tertidur dalam satu hari. Untuk subyek

normal lamanya tidur biasanya lebih dari 6,5 jam, sedangkan pada
penderita insomnia memiliki lama tidur yang lebih sedikit. Nilai yang
diperoleh dalam setiap jawaban adalah 1 Nilai 0 untuk jawaban tidur
lebih dari 6,5 jam. Nilai l untuk jawaban tidur antara 5,5 - 6,5 jam. Nilai
2 untuk jawaban tidur antara 4,5 5,5 jam. Nilai 3 untukjawaban tidur
kurang dari 4,5 jam.
2. Mimpi
Subyek normal biasanya tidak bermimpi atau tidak mengingat bila ia
mimpi atau kadang-kadang mimpi yang dapat diterimanya. Penderita
insomnia mempunyai mimpi yang lebih banyak atau selalu berrnimpi dan
kadang-kadang mimpi buruk. Nilai yang diperoleh dalam setiap jawaban
adalah : Nilai 0 untuk jawaban tidak ada mimpi. Nilai l untuk jawaban
terkadang mimpi yang menyenangkan atau mimpi biasa saja. Nilai 2
untuk jawaban selalu bennimpi. Nilai 3 untuk jawaban mimpi buruk atau
mimpi yang tidak menyenangkan.
3. Kualitas tidur
Kebanyakan subyek normal tidumya dalam, penderita insonmia biasanya
tidurnya dangkal. Nilai yang diperoleh dalam setiap jawaban adalah :
Nilai O untuk jawaban dalam, sulit untuk terbangun. Nilai 1 untuk
jawaban terhitung tidur yang baik, tetapi sulit untuk terbangun. Nilai 2
untuk j awaban terhitung tidur yang baik, tetapi mudah untuk terbangun.
Nilai 3 untuk jawaban tidur yang dangkal.
4. Mudah untuk terbangun.
Masuk tidur. Subyek normal biasanya dapat jatuh tertidur dalam
waktu 5-15 menit. Penderita insomnia biasanya lebih lama dari 15 menit.
Nilai yang diperoleh dalam setiap jawaban adalah : Nilai O untuk jawaban

kurang dari 5 menit. Nilai 1 untuk jawaban antara 6 - 15 menit. Nilai 2


untuk jawaban antara 16 - 29 menit. Nilai 3 untuk jawaban antara 30
44 menit. Nilai 4 untuk jawaban antara 45 60 menit. Nilai 5 untuk
jawaban lebih dari l jam.
5. Terbangun malam hari.
Subyek normal dapat mempertahankan tidur sepanjang malam, kadangkadang terbangun 1-2 kali, tetapi penderita insomnia terbangun lebih
dari 3 kali. Nilai 2 untuk jawaban tiga sampai empat kali terbangun.
Nilai 3 untuk jawaban lebih dari empat kali terbangun.
6. Waktu untuk tidur kembali.
Subyek normal mudah sekali untuk tidur kembali setelah terbangun di
malam hari biasanya kurang dari 5 menit mereka dapat teidur kembali.
Penderita insomnia memerlukan waktu yang panjang untuk tidur kembali.
Nilai yang diperoleh dalam setiap jawaban adalah : Nilai O untuk jawaban
kurang dari 5 menit. Nilai 1 untuk jawaban antara 6 15 menit. Nilai 2
untuk jawaban antara 16 60 menit. Nilai 3 untuk jawaban lebih dari 60
menit.
7. Terbangun dini hari.
Subyek normal dapat terbangun kapan ia ingin bangun tetapi penderita
insomnia biasanya bangun lebih cepat (misal 1-2 jam sebelum waktu
untuk bangun). Nilai yang diperoleh dalam setiap jawaban adalah :
Nilai 0 untuk jawaban sekitar waktu bangun tidur anda. Nilai 1 untuk
jawaban bangun 30 menit lebih awal dari waktu bangun tidur anda dan
tidak dapat tertidur lagi. Nilai 2 untuk jawaban bangun 1 jam lebih awal
dari waktu bangun tidur anda dan tidak dapat tertidur lagi. Nilai 3 untuk

jawaban bangln lebih dari 1 jam lebih awal dari waktu bangun tidur anda
dan tidak dapat tertidur lagi.
8. Perasaan waktu bangun.
Subyek normal merasa segar setelah tidur di malam hari. Akan tetapi
penderita insomnia biasanya bangun dengan tidak segar atau lesu.
Nilai

yang diperoleh dalam setiap jawaban adalah : Nilai O untuk

jawaban merasa segar. Nilai l untuk jawaban tidak terlalu baik. Nilai 2
untuk jawaban sangat buruk.
a. tidak insomnia: < 8
b. insomnia ringan: 8-13
c. insomnia sedang ; 13-18
d. insomnia berat: >18

H. Terapi Mengatasi Insomnia


Menurut Siregar (2011) ada beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh
penderita insomnia secara umum, yaitu :
1) Pergi ke dokter. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi apakah yang
bersangkutan memiliki gangguan penyakit fisik yang berdampak terhadap
gangguan tidur.
2) Jangan mudah menggunakan obat tidur tanpa berdasarkan anjuran dokter.
3) Hindari mengkonsumsi obat-obatan terlarang seperti narkotika, alkohol
dan lain-lain.
4) Lakukan makan atau minum secara wajar, baik secara kuantitaf maupun
kualitas. Makan secukupnya dan hindari minum kopi saat menjelang jam
tidur.
5) Atur lingkungan tidur secara efektif dan efisien, termasuk lampu tidur
yang memenuhi syarat
6) Apabila penderita insomnia menyadari bahwa penyebabnya adalah
problematika kehidupan maka selesaikan problem-problem tersebut

terlebih dahulu. Hadapi dan selesaikan permasalahan hidup secara


proporsional dengan penuh usaha, sabar dan tawakkal.
7) Lakukan niat yang kuat saat akan tidur, lakukan pula relaksasi fisik.
Ada beberapa terapi untuk mengatasi insomnia yang dikemukakan oleh
siregar (2011), yaitu :
1) CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
Terapi ini dugunakan untuk memperbaiki distorsi kognitif si penderita
dalam memandang dirinya, lingkungan, masa depan, dan untuk
meningkatkan rasa percaya diri sehingga si penderita merasa berdaya atau
merasa bahwa dirinya masih berharga.
2) Sleep Restriction Therapy
Digunakan untuk memperbaiki efisiensi tidur si penderita insomnia.
3) Stimulus Control Therapy
Terapi ini dapat digunakan untuk mempertahankan waktu bangun pagi si
penderita secara reguler dengan memperhatikan waktu tidur malam dan
melarang penderita untuk tidur pada siang hari meskipun hanya sesaat.
4) Relaxation Therapy
Terapi ini berguna untuk membuat penderita rileks pada saat dihadapkan
pada kondisi yang penuh ketegangan.
5) Cognitive Therapy
Berguna untuk mengidentifikasi sikap dan kepercayaan si penderita yang
salah mengenai tidur.
6) Imagery Training
Berguna untuk mengganti

pikiran-pikiran

individu

yang

tidak

menyenangkan menjadi pikiran-pikiran yang menyenangkan.


Sedangkan solusi untuk mengatasi insomnia pada lansia ada
beberapa alternatifnya. Anggrasari (2013) mengemukakan teknik terapi
relaksasi benson. Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri

yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis.
Teknik Relaksasi Benson merupakan teknik latihan nafas, dengan latihan
nafas yang teratur dan dilakukan dengan benar akan membuat tubuh
merasa rileks serta ketegangan pun akan hilang. Solusi lainnya untuk
mengatasi insomnia pada lansia menurut Adiyati (2010) adalah dengan
aromaterapi. Aromaterapi merupakan salah satu terapi komplementer yang
dapat digunakan untuk mengatasi insomnia. Aromaterapi memiliki efek
menenangkan atau rileks untuk beberapa gangguan misalnya mengurangi
kecemasan, ketegangan dan insomnia.

I. Asuhan Keperawatan Lansia dengan Insomnia


1. Pengkajian
a. Kaji riwayat tidur klien
- Apakah anda mengalami sakit kepala ketika bangun?
- Kapan pertama kali anda menyadari masalah ini?
- Sudah berapa lama masalah ini terjadi?
- Berapa lama waktu yang anda butuhkan untuk tertidur?
- Bagaimana pengaruh kurang tidur bagi anda?
b. Kaji pola tidur biasa
Seberapa jauh perbedaan tidur anda saat ini dari tidur anda yang dulu?
c. Kaji penyakit fisik, TTV
Apakah anda menderita penyakit fisik yang dapat mengganggu tidur
anda?
d. Kaji terhadap peristiwa hidup yang baru terjadi
e. Kaji status emosional dan mental
f. Kaji rutinitas menjelang tidur
Seberapa jauh perbedaan tidur anda saat ini dari tidur anda yang dulu?
g. Kaji lingkungan tidur
h. Aktivitas dan pola kerja di siang hari.
i. Waktu tidur normal.
j. Lama tidur yang biasa diperlukan.

k. Masalah yang berkaitan dengan tidur, meliputi terbangun pada dini


hari, jatuh tidur, mimpi buruk, tidur berjalan, tidur terus, tidur
sebentar.
l. Kualitas tidur.
m. Aktivitas yang berkaitan dengan tidur, meliputi mandi, minum,
makan, pengobatan.
n. Kepercayaan pribadi tentang tidur.
o. Konsumsi zat kimia, seperti alkohol, kafein, hipnotik, nikotin.
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan pola tidur berhubungan dengan hiperaktivitas yang berlebihan
sekunder akabat : gangguan bipolar, ansietas atau gangguan kurang
perhatian.
3. Intervensi
a. Berikan kesempatan pasien untuk mendiskusikan keluhan yang
mungkin menghalangi tidur.
b. Rencanakan asuhan keperawatan rutin yang memungkinkan psien tidur
tanpa terganggu selama beberapa jam.
c. Berikan bantuan tidur kepada pasien, seperti bantal, mandi sebelum
tidur, makanan atau minuman dan bahan bacaan.
d. Ciptakan lingkungan yang kondusif untuk tidur.
e. Berikan pengobatan yang diprogramkan untuk meningkatkan pola tidur
normal pasien.
f. Minta pasien setiap pagi menjelaskan kualitas tidur malam sebelumnya.
g. Berikan pendidikan kesehatan kepada pasien tentang tehnik relaksasi
seperti imjinasi terbimbing, relaksasi otot progresif, dan meditasi.
Rasional
1) Mendengar aktif dapat membantu menentukan penyebab kesulitan tidur.
2) Tindakan ini memungkinkan asuhan keperawatan yang konsisten dan
memberikan waktu untuk tidur tanpa terganggu.
3) Susu dan beberapa kudapan tinggi protein, seperti keju dan kacang,
mengandung L-trytophan, yang dapat mempermudah tidur.
4) Tindakan ini dapar mendorong istirahat dan tidur.

5) Agens hipnotik memicu tidur, obat penenang menurunkan ansietas.


6) Tindakan ini membantu mendeteksi adanya gejala perilaku yang b.d
tidur.
7) Upaya

relaksasi

yang

bertujuan

biasanya

dapat

membantu

meningkatkan tidur.

DAFTAR PUSTAKA
Adiyati Sri. 2010. Pengaruh Aromaterapi terhadap insomnia pada lansia di PSTW
Unit Budi Luhur Kasongan Bantu Yogyakarta. Jurnal Kebidanan. 2, 02,
21-28.
Anggrasari A P. 2013. Pengaruh Teknik Relaksasi Benson Terhadap Pemenuhan
Kebutuhan Tidur pada Lansia di Panti Asuhan Wredha Hargo Dedali
Surabaya. Jurnal Kesehatan Samodra Ilmu. 04, 02, 73-83
Cynthia M, Taylor . 2011 . Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan .
Jakarta : EGC.
Stanley M, Patricia GB. 2006 . Buku Ajar Keperawatan Gerontik . Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai