Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS RISIKO DEPRESI, TINGKAT SLEEP HYGIENE DAN

PENYAKIT KRONIS DENGAN KEJADIAN INSOMNIA PADA LANSIA


Risk Analysis of Depression, Sleep Hygiene Level and Chronic Disease with Insomnia in Elderly

Nilam P.I Warni Sayekti1, Lucia Y. Hendrati2


1FKM UA, nilam-p-i-10@fkm.unair.ac.id
2Departemen Epidemiologi FKM UA, hendratilucia@yahoo.com

Alamat Korespondensi: Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga,


Surabaya, Jawa Timur, Indonesia

ABSTRAK
Pesatnya kemajuan pembangunan di Indonesia berdampak pada meningkatnya usia harapan hidup sehingga meningkatkan
jumlah lansia. Lansia merupakan tahap akhir kehidupan sehingga seringkali mengalami berbagai perubahan dan gangguan,
salah satunya adalah gangguan tidur atau Insomnia. Prevalensi Insomnia pada lansia cukup tinggi, yaitu lebih dari 60%
namun munculnya gangguan ini seringkali diabaikan. Penelitian ini dilakukan secara observasional analitik dengan desain
penelitian case control. Lokasi penelitian di Pelayanan Sosial Lanjut Usia Jombang dan dilakukan pada 40 orang lansia.
Populasi penelitian dibagi menjadi 2, yaitu 20 orang populasi kasus dan 20 orang populasi kontrol. Variabel yang diteliti
adalah depresi, penyakit kronis, sleep hygiene dan Insomnia. Sebagian besar lansia mengidap Insomnia awal dengan
gejala Difficulty Initiating Sleep yang berat. Early Morning Awakening merupakan gejala yang paling sedikit dialami
lansia. Depresi (OR = 22,667), penyakit kronis (OR = 6,926) dan sleep hygiene (OR = 11,000) menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna dengan Insomnia. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah faktor perpetuating (penyakit kronis)
dan precipitating (sleep hygiene) berperan dalam munculnya Insomnia pada lansia. Saran yang diberikan adalah melakukan
tindakan untuk mengontrol penyakit kronis dan perhatian yang lebih pada gangguan tidur yang dialami lansia. Selain itu
perlu adanya tindakan untuk memperbaiki dan meningkatkan sleep hygiene.

Kata kunci: depresi, sleep hygiene, penyakit kronis, insomnia, lansia

ABSTRACT
The rapid progress of development in Indonesia have an impact on increasing life expectancy thus increasing the number
of elderly. Elderly is the final stage of life so often experienced various changes and disturbances, one of which is a sleep
disorder or Insomnia. The prevalence of insomnia in the elderly is quite high, more than 60% but the appearance of this
disorder is often overlooked. This study was conducted observational case-control study design. Research sites in the
Pelayanan Sosial Lanjut Usia Jombang and performed on 40 elderly people. The study population was divided into 2, 20
people population cases and 20 people population control. The variables studied were depression, chronic disease, sleep
hygiene and Insomnia. Most of the elderly suffering from Subtreshold Insomnia with Difficulty Initiating Sleep symptoms
are severe. Early Morning Awakening is the least symptom experienced by the elderly. Depression (OR = 22,667), chronic
disease (OR = 6.926) and sleep hygiene (OR = 11,000) showed a significant association with Insomnia. The conclusion that
can be drawn is perpetuating factors (chronic disease) and precipitating (sleep hygiene) plays a role in the emergence of
insomnia in the elderly. The advice given is to take action to control chronic diseases and more attention on sleep disorders
experienced by the elderly. In addition, the need for action to improve and enhance sleep hygiene.

Keywords: depression, sleep hygiene, chronic disease, insomnia, elderly

PENDAHULUAN fungsi sel hingga menimbulkan kemunduran dari


Meningkatnya usia harapan hidup Indonesia waktu ke waktu (Rosita, 2012).
tentu berdampak pada bertambahnya jumlah WHO mengkategorikan lansia menjadi
penduduk tua di negeri ini. Hal ini menuntut 3 yaitu Usia lanjut (6074 tahun), Usia lanjut tua
pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pada (7590 tahun) dan Usia sangat tua (> 90 tahun).
kaum lansia terutama yang berkaitan dengan masalah Lansia di Indonesia cenderung memiliki tingkat
kesehatan. Lansia didefinisikan sebagai masa di kesejahteraan dan kesehatan yang rendah. Tingkat
mana seseorang mencapai kematangan ukuran dan kesejahteraan yang rendah ini tidak sebanding

181
Nilam P.I Warni Sayekti dan Lucia Y. Hendrati, Analisis Risiko Depresi, Tingkat Sleep Hygiene 182

dengan jumlah lansia yang terus bertambah (Adriani 4 tahap. Tahap pertama berlangsung 35 menit.
dan Wirjatmadi, 2012). Pada tahap kedua bola mata tidak bergerak dan
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, tidur lebih dalam. Tahap ketiga tidur lebih lelap dan
proporsi lansia di Indonesia sebesar 7,59%. Artinya terakhir masuk dalam fase paling dalam sehingga
terdapat 18,04 juta jiwa lansia di Indonesia. Jumlah sulit dibangunkan. Fase NREM berlangsung selama
lansia perempuan adalah 9,75 juta, lebih banyak 70100 menit dilanjutkan dengan REM. Fase ini
daripada lansia laki-laki yaitu 8,29 juta. Berdasarkan berlangsung selama 530 menit dan muncul kembali
jenis tempat tinggal, lansia di pedesaan (10,36 juta), setiap 90 menit. Pada tidur normal, siklus NREM
lebih banyak daripada di perkotaan (7,69 juta). dan REM terjadi 47 kali setiap malam (Sadock dan
Berdasarkan umurnya, sebagian besar lansia di Sadock, 2010).
Indonesia merupakan lansia muda yang berumur Insomnia merupakan gangguan tidur yang
antara 6069 tahun dengan jumlah 10,75 juta jiwa paling sering dialami oleh seluruh orang di dunia.
(Badan Pusat Statistik, 2011). Insomnia dapat didefinisikan sebagai gangguan
Dilihat dari tingkat pendidikannya, mayoritas maupun gejala. Insomnia sebagai gangguan
lansia tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD. merupakan keadaan di mana seseorang mengalami
Untuk angka melek huruf, lansia yang tinggal di kesulitan tidur, kesulitan dalam mempertahankan
pedesaan dengan buta aksara sebesar 32,58%. tidur maupun kualitas tidur buruk dan disertai
Jumlah ini 2 kali lebih besar dibandingkan dengan keadaan penyulit (Buysse, 2008).
di perkotaan. Rendahnya pendidikan pada lansia Klasifikasi Insomnia berbeda berdasarkan
terutama perempuan membuat angka buta aksara etiologi, durasi dan tingkat keparahannya.
pada lansia perempuan 2 kali lebih besar daripada Berdasarkan etiologinya, Insomnia diklasifikasikan
lansia laki-laki (41,73%). Kesulitan fungsional pada menjadi 2 yaitu primer (Insomnia disorder) dan
lansia juga relatif tinggi. Sebanyak 3,17 juta lansia sekunder (Comorbid Insomnia). Insomnia primer
kesulitan melihat dan 2,30 juta kesulitan mendengar. tidak disebabkan buruknya kondisi psikologis atau
Lansia yang mengalami kesulitan berjalan medis. Penanganan dan terapi yang dipilih cukup
2,25 juta dan 1,68 juta pikun atau sulit sulit karena penyebabnya kurang jelas. Insomnia
berkomunikasi sedangkan yang sudah tidak mandiri sekunder umumnya disebabkan karena kondisi
sebanyak 1,31 juta (Badan Pusat Statistik, 2011). mental dan medis yang buruk sehingga berpengaruh
Lansia sebagai fase terakhir kehidupan pada kualitas dan kuantitas tidur. Gangguan tidur lain
mengalami berbagai kemunduran dan perubahan baik atau konsumsi obat-obatan juga menjadi penyebab
secara biologis dan fisiologis, psikologis maupun munculnya Insomnia sekunder (Ghaddafi, 2010).
sosial. Kemunduran biologis dan fisiologis dapat Berdasarkan tingkat keparahannya, Insomnia
diketahui melalui penurunan fungsi panca indra dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu mild, moderate
dan fungsi imunologis yang berkurang sehingga dan severe. Insomnia dibedakan menjadi 2
mudah terserang penyakit. Kemunduran psikologis berdasarkan durasinya yaitu Insomnia akut yang
menimbulkan perasaan depresi, cemas dan sensitif terjadi secara cepat dan sementara. Insomnia kronis
karena merasa tidak diakui lagi oleh masyarakat. lebih disebabkan karena faktor mental-psikologis
Kemunduran sosial berhubungan dengan pandangan dan kebiasaan tidur yang salah. Terdapat 3 gejala
masyarakat terhadap lansia yang negatif dan tidak yang umum untuk menentukan diagnosis Insomnia,
mandiri dan tidak produktif (Najjah, 2009). yaitu Difficulty Initiating Sleep (DIS), Difficulty
Berbagai perubahan dan kemunduran dialami Maintaining Sleep (DMS) dan Early Morning
oleh lansia merupakan hal yang natural akibat Awakening (EMA). Beberapa yang teori lain
proses penuaan yang terjadi. Salah satu perubahan menyebutkan 1 gejala lain, yaitu NRS atau Non-
yang dialami lansia adalah pola tidur. Perubahan restorating Sleep (Ghaddafi, 2010).
pola tidur seringkali membuat waktu tidur lansia Spielman mengembangkan teori Insomnia
berkurang. Pada kasus yang serius, akan muncul melalui Model 3P Insomnia yang menjelaskan
gejala Insomnia. Insomnia lebih sering terjadi pada faktor-faktor penyebab gangguan tidur tersebut.
Lansia (Ghaddafi, 2010). Berdasarkan teori 3P, terdapat 3 faktor Insomnia,
Mekanisme proses tidur manusia terdiri yaitu predisposing, precipitating dan perpetuating.
dari dua fase yaitu fase NREM (Non Rapid Eye Faktor predisposing terdiri atas karakteristik
Movement) dan REM (Rapid Eye Movement). biologis, gaya hidup, karakteristik sosial dan kondisi
NREM merupakan fase awal yang terdiri dari psikologis. faktor precipitating meliputi peristiwa
183 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 2 Mei 2015: 181193

traumatis yang pernah dialami, keberadaan penyakit mengubah pola tidur seseorang. Pada usia sekitar
kronis serta gangguan mental. Faktor perpetuating 50 tahun, mulai terjadi penurunan gelombang
merupakan batas peralihan Insomnia akut dan tidur sehingga pada usia tua kuantitas tidur yang
kronis yang meliputi sleep hygiene dan sleep believe dalam pada seseorang akan berkurang (Cooke
(Glovinsky dan Spielman, 2006). dan Ancoli-Israel et al, 2011). Kasus Insomnia
Sleep hygiene merupakan salah satu faktor seringkali diabaikan dan tidak terlalu diperhatikan.
penting dalam munculnya kasus Insomnia. Sleep Hanya sebagian kecil saja penderita Insomnia yang
hygiene terdiri dari lingkungan tidur dan kebiasaan melaporkannya pada pelayanan kesehatan padahal
atau perilaku yang dilakukan sebelum tidur. dampak yang ditimbulkannya cukup berat.
Perubahan sleep hygiene ke arah yang lebih baik Terapi untuk penanganan Insomnia dibagi
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur menjadi 2 jenis, yaitu terapi farmakologis dan
(Nishinoue et al, 2012). Penerapan sleep hygiene non-farmakologis. Terapi farmakologis digunakan
yang salah justru akan menyebabkan seseorang merupakan pengobatan utama dalam penanganan
mengalami Insomnia. gejala Insomnia. Obat-obatan ini termasuk sedative-
Insomnia berdampak pada kehidupan sosial hypnotic, antihistamin, antidepresan, antipsikotik
penderita, psikologis dan fisik. Selain itu dampak dan antikonvulsan. Namun terapi menggunakan
ekonomi yang disebabkan Insomnia juga cukup obat tentu memiliki efek samping yang kurang
berat, diantaranya adalah hilangnya produktivitas menguntungkan, terutama pada lansia. Untuk itu,
dan biaya pengobatan pada pelayanan kesehatan. perlu langkah lain untuk mengatasi gejala Insomnia
Para ahli banyak meneliti tentang dampak Insomnia yaitu dengan terapi non-farmakologis (Gehrman dan
khusus pada lansia. Selain meningkatkan risiko Ancoli-Israel, 2010).
penyakit generatif seperti Hipertensi dan Jantung, Terapi non farmakologis lebih menekankan
depresi dan stres ternyata juga merupakan pada perubahan perilaku yang berhubungan dengan
manifestasi gangguan tidur ini (Ghaddafi, 2010). tidur. Terapi ini dilakukan dengan CBT-I (Cognitive
Insomnia juga meningkatkan risiko terjatuh pada Behavioral Teraphy for Insomnia). CBT-I bertujuan
lansia (Helbig et al, 2013) serta keinginan bunuh diri untuk mengubah pola pikir dari hanya kuantitas
dan penyalahgunaan obat (Nadorff et al, 2013). tidur, menjadi kualitas tidur (Gehrman dan Ancoli-
Insomnia diprediksi dapat meningkatkan Israel, 2010).
keinginan dalam melakukan bunuh diri dengan Upaya pemerintah dalam meningkatkan
hubungan yang signifikan. Insomnia ditengarai kesejahteraan hidup para lansia adalah dengan
sebagai faktor penting dalam kondisi mental menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan
lansia yang memunculkan ide bunuh diri pada kesejahteraan untuk kaum lansia. Salah satunya
lansia (Nadorff et al, 2013). Sebuah studi menguji adalah dengan penyelenggaraan pelayanan sosial
adanya hubungan antara kesulitan tidur dengan dalam panti untuk lansia. Penyelenggaraan
risiko terjatuh selama setahun terakhir. Hasilnya, Pelayanan Sosial Lanjut Usia diatur dalam Peraturan
ditemukan adanya hubungan antara kesulitan Menteri Sosial No. 19 Tahun 2012.
mempertahankan tidur dengan kasus terjatuh pada PSLU Jombang merupakan salah satu panti
lansia yang berumur lebih dari 75 tahun. selain itu, werdha yang diselenggarakan pemerintah dalam
kesulitan mempertahankan tidur saat malam hari rangka meningkatkan kesejahteraan lansia. Pada
dan tidur berlebih di siang hari meningkatkan risiko umumnya, lansia yang tinggal di panti mendapatkan
terjatuh pada lansia (Helbig et al, 2013). pelayanan dan bimbingan yang baik. Namun
Keberadaan penyakit kronis selain bisa menjadi berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan
dampak jangka panjang dari Insomnia, namun juga di panti tersebut, ditemukan 69,2% lansia yang
dapat menjadi penyebab munculnya Insomnia. mengalami gangguan tidur.
Beberapa penyakit yang seringkali berhubungan Penelitian ini membatasi permasalahan hanya
dengan Insomnia adalah Arthritis, Hipertensi, pada faktor precipitating dan perpetuating saja.
Kanker dan Diabetes (Hellstrom, 2013). Insomnia Faktor precipitating yang diteliti berupa penyakit
menunjukkan peningkatan pada lansia dengan kronis pada lansia sedangkan faktor perpetuating
disabilitas dan kondisi psikologis yang buruk yang diteliti adalah sleep hygiene. Peneliti
(Ghaddafi, 2010). mengidentifikasi faktor-faktor tersebut kemudian
Prevalensi Insomnia di Indonesia pada lansia menghubungkannya dengan kasus Insomnia yang
cukup tinggi, yaitu sebesar 67%. Penuaan dapat
Nilam P.I Warni Sayekti dan Lucia Y. Hendrati, Analisis Risiko Depresi, Tingkat Sleep Hygiene 184

terjadi dan menganalisa besarnya risiko yang Instrumen Penelitian dan Metode Pengumpulan
ditimbulkan. Data
Tujuan penelitian ini adalah untuk Pengumpulan data dilakukan dengan metode
mengidentifikasi dan kemudian menganalisis risiko wawancara menggunakan kuesioner DASS-
depresi, sleep hygiene dan keberadaan penyakit 21 (Depression, Anxiety and Stress Scale) untuk
kronis pada lansia dengan kasus Insomnia. Manfaat mengukur tingkat depresi, SHI (Sleep Hygiene
yang bisa didapatkan adalah untuk pengembangan Index) yang mengukur tingkat sleep hygiene lansia
program kesehatan atau perawatan lansia yang dan ISI (Insomnia Severity Index) yang mengukur
tinggal di panti werdha. tingkat Insomnia. Keberadaan penyakit kronis
didapatkan dari wawancara namun di-cross check
METODE dengan data sekunder klinik PSLU. Pengisian
kuesioner dilakukan oleh peneliti, mengingat pada
Lokasi, Jenis dan Desain Penelitian, Populasi dan
lansia terdapat keterbatasan indra penglihatan
Variabel Penelitian
serta beberapa lansia tidak mampu membaca dan
Penelitian ini dilakukan di Pelayanan Sosial menulis.
Lanjut Usia (PSLU) Jombang dan merupakan jenis DASS-21 merupakan kuesioner dengan 21 item
penelitian observasional analitik dengan rancang pernyataan yang mengukur tingkat depresi, stres
bangun case control. Terdapat 2 populasi dalam dan kecemasan. Terdapat 3 bagian dalam DASS-
penelitian ini, yaitu populasi kasus dan populasi 21, yaitu DASS-D untuk depresi, DASS-A untuk
kontrol. Populasi pada penelitian ini sebanyak kecemasan dan DASS-S untuk stres. Setiap item
70 orang lansia yang menghuni PSLU Jombang memiliki 4 pilihan jawaban berdasarkan skala Likert
dengan cara pengambilan sampel menggunakan 03. Bagian yang digunakan dalam penelitian adalah
metode consecutive sampling. Seluruh populasi DASS-D yang terdiri dari 7 item pernyataan. Tingkat
digunakan sebagai sampel dan dipilih berdasarkan depresi ditentukan skor hasil penilaian dalam
kriteria inklusi dan eksklusi. kuesioner, yaitu normal (04), ringan (56), sedang
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah (710), berat (1113) dan sangat berat ( 14).
lansia penghuni tetap, berumur 60-90 tahun, mampu SHI adalah kuesioner yang digunakan untuk
berkomunikasi dengan baik dan bersedia menjadi mengukur tingkat sleep hygiene seseorang.
responden. Kriteria eksklusi adalah lansia yang Kuesioner ini mencakup pengukuran baik pada
demensia dan tidak tinggal di panti selama penelitian perilaku atau kebiasaan tidur maupun lingkungan
berlangsung. Berdasarkan kriteria tersebut, tidur. SHI terdiri dari 13 item berupa pernyataan
didapatkan 46 orang lansia yang menjadi subjek yang masing-masing memiliki 5 pilihan jawaban
penelitian. Dari 46 orang lansia, terbagi menjadi 2 berdasarkan skala Likert 15. Interpretasi skor
kelompok, yaitu kasus dan kontrol. Kelompok kasus dikategorikan menjadi 3, yaitu baik (1330), sedang
sebanyak 20 orang sedangkan kontrol 26 orang. (3140) dan buruk (4175).
Karena kontrol lebih banyak dibandingkan dengan Kuesioner ISI digunakan untuk mengukur
kelompok kontrol, maka dilakukan pengacakan pada tingkat keparahan Insomnia yang diderita lansia.
kelompok kontrol untuk mendapatkan 20 orang ISI terdiri dari total 7 item dengan 3 item dalam
kontrol sehingga jumlahnya sebanding dengan bentuk pernyataan yang menunjukkan adanya gejala
kasus. Insomnia serta 4 pertanyaan yang menunjukkan
Populasi kasus adalah seluruh lansia di PSLU adanya penurunan kualitas hidup akibat gangguan
Jombang yang mengidap Insomnia. Jumlah populasi tidur. Masing-masing item memiliki pilihan jawaban
kasus sebanyak 20 orang lansia. Populasi kontrol berdasarkan skala Likert 04. Interpretasi skor yang
adalah seluruh lansia di PSLU Jombang yang didapatkan membantu peneliti untuk mengetahui
tidak mengidap Insomnia dengan jumlah sebanyak tingkat keparahan Insomnia yang dialami lansia.
20 orang pula. Terdapat 4 kategori, yaitu bukan Insomnia (07),
Terdapat 2 variabel dalam penelitian ini, yaitu Insomnia Awal (814), Insomnia Klinis Sedang
variabel independent dan dependent. Variabel (1521) serta Insomnia Klinis Berat (2228).
independent dalam penelitian ini adalah depresi, Depresi yang dimaksud oleh peneliti adalah
sleep hygiene dan penyakit kronis sedangkan perasaan sedih, ketidakpuasan serta pesimisme
variabel dependent adalah Insomnia. yang dirasakan lansia. Penilaian dilakukan selama
185 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 2 Mei 2015: 181193

2 minggu terakhir. Penyakit kronis didefinisikan Pengolahan dan Analisis Data serta Etika
sebagai penyakit yang pernah atau sedang dialami Penelitian
lansia dalam waktu yang cukup lama. Sleep hygiene Proses pengolahan data dilakukan setelah
didefinisikan sebagai kondisi lingkungan tidur dan seluruh data terkumpul. Proses editing, coding, entry
kebiasaan tidur yang meningkatkan risiko Insomnia dan cleaning dilakukan sebelum kemudian data
yang dinilai selama 2 minggu terakhir sedangkan dianalisis. Analisis dalam penelitian ini dilakukan
Insomnia merupakan munculnya gejala DIS, DMS secara univariat untuk mendeskripsikan karakter
dan EMA hampir setiap malam serta gangguan masing-masing variabel dan analisis bivariat untuk
aktivitas akibat kekurangan tidur yang dinilai dalam menganalisis hubungan antara variabel bebas
2 minggu terakhir. dengan variabel terikat. Analisis bivariat dilakukan
Peneliti melakukan studi pendahuluan untuk menggunakan tabulasi silang dan risk estimate.
mengetahui prevalensi gangguan tidur yang dialami Besarnya risiko sleep hygiene dan penyakit
lansia di PSLU Jombang. Studi pendahuluan ini kronis dalam menyebabkan Insomnia ditunjukkan
dilakukan menggunakan kuesioner Pittsburgh dengan nilai OR. Jika OR > 1 maka dapat dikatakan
Sleep Quality Index (PSQI) untuk lansia yang terdapat hubungan antara variabel dependent dan
tidak menderita gangguan mental atau demensia. Independent dan faktor tersebut merupakan faktor
Sedangkan pada lansia yang mengalami demensia, risiko Insomnia.
gangguan mental atau tidak dapat berkomunikasi Sebelum melakukan serangkaian kegiatan
dengan baik data dan keterangan mengenai kualitas penelitian, peneliti mengajukan uji etik pada Komisi
tidurnya didapatkan dari perawat PSLU yang Etik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
bertugas. Airlangga. Lembar informed consent diberikan
Sebelum melakukan penelitian menggunakan pada seluruh lansia yang menjadi responden
kuesioner, peneliti melakukan uji validitas dan penelitian. Sebelum melakukan wawancara dengan
reliabilitas. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan kuesioner, peneliti terlebih dahulu membacakan
pada kedua kuesioner dengan tujuan mengetahui dan menjelaskan informed consent. Lansia yang
kelayakannya untuk dijadikan instrumen penelitian. bersedia menjadi responden diminta menandatangani
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada informed consent atau membubuhkan cap jempol
20 orang lansia yang memiliki karakteristik hampir bagi mereka yang tidak mampu baca tulis. Informed
sama dengan populasi penelitian, yaitu di Pondok consent kemudian ditandatangani oleh peneliti dan
Pesantren Darush-Syifa Jombang. saksi dari pihak PSLU.
Uji validitas dilakukan per item pertanyaan Peneliti bertanggung jawab menjaga kerahasiaan
menggunakan Korelasi Pearson Product Moment (r). atas segala informasi yang telah diberikan lansia
Jika r hitung > r tabel maka variabel tersebut dapat sebagai responden. Data yang diperoleh hanya dapat
dikatakan valid. Derajat kebebasan (df) ditentukan diakses oleh peneliti dan hanya digunakan untuk
dengan rumus df = n-2 sehingga df = 18. Dengan kepentingan penelitian saja.
= 0,05 didapatkan nilai r tabel = 0,444. Uji Responden diberikan waktu untuk
reliabilitas dilakukan dengan membandingkan nilai mempertimbangkan keikutsertaannya dalam
. Jika nilai Cronbachs Alpha 0,6 maka instrumen penelitian dan bertanya apa pun mengenai penelitian.
penelitian dianggap reliabel. Dengan adanya hal ini maka responden dapat
Hasil uji validitas DASS-21 bagian DASS-D memilih untuk memberikan atau tidak memberikan
didapatkan 7 pertanyaan valid dengan nilai informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.
Cronbachs Alpha 0,767. Pengujian validitas Kesepakatan dilakukan dengan lansia dalam
terhadap SHI didapatkan 13 pertanyaan valid dengan menentukan jadwal pengambilan data sehingga
nilai Cronbachs Alpha 0,820. Pengujian validitas tidak mengganggu kegiatan sehari-hari. Proses
ISI menghasilkan 7 pertanyaan valid dengan nilai pengambilan data dan wawancara dapat diteruskan
Cronbachs Alpha 0,788 sehingga ketiga kuesioner esok hari jika lansia tidak bersedia menyelesaikannya
dinyatakan valid dan reliabel untuk mengukur saat itu juga. Peneliti dengan memberikan perlakuan
tingkat sleep hygiene dan Insomnia pada lansia. yang sama pada seluruh lansia yang menjadi
responden.
Nilam P.I Warni Sayekti dan Lucia Y. Hendrati, Analisis Risiko Depresi, Tingkat Sleep Hygiene 186

HASIL wawancara dan cross check dengan data kesehatan


Karakteristik Responden lansia adalah Arthritis dan Hipertensi.
Berdasarkan data klinik diketahui bahwa
Responden penelitian terdiri dari 40 orang sebagian kecil lansia tidak rutin mengikuti
lansia yang menghuni 5 wisma di PSLU Jombang, posyandu lansia atau memeriksakan kesehatannya
yaitu Wisma Melati, Mawar, Bugenvil, Anggrek pada perawat dan dokter yang bertanggung jawab.
dan Kenangan (Intensive Care). Wisma kenangan Mereka hanya meminta obat berdasarkan keluhan
merupakan wisma yang dikhususkan untuk lansia yang mereka rasakan, tanpa mau memeriksa kondisi
yang tidak mandiri dalam melakukan aktivitasnya. kesehatan mereka.
Responden penelitian dikategorikan menjadi
2 kelompok umur, yaitu 6074 tahun dan 7590 Tabel 2. Distribusi Lansia Berdasarkan Penyakit
tahun. Jumlah responden perempuan adalah Kronis di PSLU Jombang Tahun 2014
30 orang. Sebagian besar responden perempuan
(25 orang) berada pada usia lanjut yaitu 6074 tahun. Penyakit Kronis Jumlah Persentase
Sisanya (5 orang) merupakan usia lanjut tua (old). Ada 26 65
Jumlah lansia laki-laki sebanyak 10 orang. Sama Tidak Ada 14 35
halnya dengan lansia perempuan, paling banyak Jumlah 40 100
lansia laki-laki berada pada kategori elderly atau
Sleep hygiene mencakup lingkungan tidur dan
lanjut usia (9 orang) dan 1 orang dikategorikan old.
perilaku atau kebiasaan tidur. Tingkat sleep hygiene
Tingkat depresi pada lansia didapatkan
lansia di PSLU Jombang dikategorikan menjadi
berdasarkan skoring kuisioner DASS-21 bagian
3, yaitu baik, sedang dan buruk. Distribusi lansia
depresi (DASS-D). Distribusi lansia berdasarkan
berdasarkan tingkat sleep hygiene-nya dapat dilihat
tingkat depresi yang diderita ditunjukkan oleh
pada Tabel 3.
Tabel 1.
Tabel 3. Distribusi Lansia Berdasarkan Tingkat
Tabel 1. Distribusi Lansia Berdasarkan Tingkat
Sleep Hygiene di PSLU Jombang Tahun
Depresi Insomnia di PSLU Jombang
2014
Tahun 2014
Tingkat Insomnia Jumlah Persentase
Tingkat Depresi Jumlah Persentase
Baik 27 67,5
Normal 19 47,5
Sedang 11 27,5
Ringan 12 30
Buruk 2 5
Sedang 6 15
Jumlah 40 100
Berat 1 2,5
Sangat Berat 1 2,5
Jumlah 40 100
Tingkat sleep hygiene didapatkan berdasarkan
skoring hasil kuisioner SHI. Berdasarkan tingkat
Berdasarkan Tabel 1, sebagian besar lansia sleep hygiene yang dimiliki, sebagian besar lansia
tidak memiliki depresi. Depresi berada pada tingkat dikategorikan baik (67,5%). Walaupun mayoritas
normal (47,5%). Lansia dengan depresi paling sleep hygiene lansia baik, namun masih ada lansia
banyak berada pada tingkat ringan (30%). Terdapat yang memiliki sleep hygiene yang buruk walaupun
lansia yang bahkan memiliki depresi dengan tingkat jumlahnya relatif kecil (5%).
berat dan sangat berat, namun hanya sebagian kecil Berdasarkan wisma yang ditempati lansia, yang
saja (2,5%). paling banyak memiliki sleep hygiene kurang baik
Penyakit kronis yang diderita lansia yang adalah Wisma Kenangan (Intensive Care). Dari
menjadi responden dikategorikan menjadi ada 3 orang responden wisma tersebut, 2 diantaranya
dan tidak ada penyakit kronis. Distribusi lansia sleep hygiene kurang baik. Selain itu, masing-masing
berdasarkan keberadaan penyakit kronis dapat dilihat 1 orang lansia di wisma Melati dan Mawar memiliki
pada Tabel 2. sleep hygiene yang tergolong buruk.
Mayoritas lansia memiliki penyakit kronis Tingkat keparahan Insomnia yang diderita lansia
(65%) sedangkan sisanya tidak (35%). Penyakit dikategorikan menjadi 4, yaitu Bukan Insomnia,
kronis yang paling sering diderita berdasarkan hasil Insomnia Awal, Insomnia Sedang dan Insomnia
187 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 2 Mei 2015: 181193

Berat. Distribusi lansia berdasarkan tingkat keparahan mengalami depresi sama sekali selama 2 minggu
Insomnia yang diderita ditunjukkan Tabel 4. terakhir (80%).
Nilai OR = 22,667 menunjukkan bahwa
Tabel 4. Distribusi Lansia Berdasarkan Tingkat depresi memiliki hubungan dengan Insomnia dan
Keparahan Insomnia di PSLU Jombang merupakan faktor risiko karena nilai OR > 1. Hal
Tahun 2014 ini berarti lansia dengan depresi berisiko 22,667 kali
untuk terkena Insomnia daripada lansia yang tidak
Tingkat Insomnia Jumlah Persentase
depresi.
Bukan Insomnia 20 50
Awal 17 42,5
Sedang 2 5 Tabel 5. Tabulasi Silang Depresi dengan Insomnia
Berat 1 2,5 pada Lansia di PSLU Jombang Tahun
Jumlah 40 100 2014
Insomnia
Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa separuh Tidak
responden tidak mengalami Insomnia (50%). Depresi Insomnia OR
Insomnia
Responden dengan Insomnia paling banyak n % n %
mengidap Insomnia awal (42,5%) dan hanya sedikit Depresi 17 85 4 20
sekali yang menderita Insomnia berat (2,5%). Tidak Depresi 3 15 16 80 22,667
Gejala Insomnia yang paling sering dialami Jumlah 20 100 20 100
lansia adalah DIS (Difficulty Maintaining Sleep)
dengan tingkat keparahan sedang (11 kasus). Gejala
kedua terbanyak adalah DMS (Difficulty Maintaining Risiko Tingkat Sleep Hygiene terhadap Kasus
Sleep) dengan tingkat ringan sebanyak 12 kasus Insomnia
sedangkan EMA (Early Morning Awakening) Sleep hygiene termasuk faktor perpetuating
merupakan gejala yang paling jarang ditemui pada berdasarkan model 3P Speilman. Untuk mengetahui
lansia. Sebagian besar lansia tidak menunjukkan risiko tingkat sleep hygiene dalam menyebabkan
gejala EMA (30 orang). Insomnia, dilakukan analisis dengan tabulasi
silang.
Risiko Depresi terhadap Kasus Insomnia Tabulasi silang sleep hygiene dengan Insomnia
Depresi merupakan salah satu faktor seperti yang ditunjukkan Tabel 6.
predisposing yang menyebabkan Insomnia.
Berbagai penelitian menyebutkan hubungan erat Tabel 6. Tabulasi Silang Tingkat Sleep Hygiene
antara depresi dengan Insomnia, terutama pada dengan Insomnia pada Lansia di PSLU
lansia. Besarnya risiko depresi dalam menimbulkan Jombang Tahun 2014
Insomna ditunjukkan dengan nilai OR (odd ratio).
Insomnia
Interpretasi nilai OR = 1 berarti tidak ada Tidak
hubungan antara exposure dengan outcome. Faktor Sleep Hygiene Insomnia OR
Insomnia
tersebut bukan merupakan risiko maupun protektif n % n %
terhadap Insomnia. Nilai OR > 1 berarti terdapat Kurang Baik 11 55 2 10
hubungan antara exposure dengan outcome dan Baik 9 45 18 90 11,000
exposure merupakan faktor risiko outcome. Nilai Jumlah 20 100 20 100
OR < 1 berarti exposure adalah faktor protektif
terhadap munculnya outcome. Tabel 6 menunjukkan bahwa mayoritas lansia
Tabel 5 menunjukkan tabulasi silang antara yang Insomnia memiliki sleep hygiene yang kurang
depresi dengan Insomnia pada lansia di PSLU baik (55%). Sebagian besar lansia yang tidak
Jombang. Insomnia memiliki sleep hygiene yang baik (90%).
Berdasarkan depresi yang diderita, responden Nilai OR = 11,000.
dibedakan menjadi kategori depresi dan tidak Tingkat sleep hygiene berhubungan dengan
depresi. Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar kasus Insomnia yang diderita lansia. Nilai OR =
lansia yang mengalami Insomnia memiliki depresi 11,000 menunjukkan bahwa sleep hygiene yang
pada tingkat tertentu (85%). Pada lansia yang tidak kurang baik merupakan faktor risiko terjadinya
Insomnia sebagian besar adalah lansia yang tidak Insomnia karena nilai OR yang > 1.
Nilam P.I Warni Sayekti dan Lucia Y. Hendrati, Analisis Risiko Depresi, Tingkat Sleep Hygiene 188

Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak berdampak pada menurunnya konsentrasi atau
lansia dengan sleep hygiene kurang baik berisiko gangguan suasana hati sehingga skor berdasarkan
terkena Insomnia sebesar 11 kali dibandingkan Insomnia Severity Index menghasilkan nilai antara 8
dengan lansia dengan sleep hygiene yang baik. hingga 14 dan termasuk Insomnia awal.
Berdasarkan gejalanya, DIS merupakan gejala
Risiko Penyakit Kronis terhadap Kasus Insomnia yang paling sering dialami lansia. Hal ini
Insomnia kemungkinan disebabkan karena faktor psikologis
Berdasarkan model 3P Spielman, penyakit yang dialami, misalnya depresi, stres atau kecemasan
kronis merupakan faktor precipitating Insomnia. yang dirasakan lansia. Hal ini kemungkinan yang
Tabulasi silang antara penyakit kronis yang membuat lansia sulit untuk memulai tidur sehingga
diderita lansia dengan kasus Insomnia seperti yang merasa gelisah di malam hari.
ditunjukkan Tabel 7. Gejala DMS mayoritas disebabkan karena
sebagian besar lansia merasa ingin buang air kecil di
Tabel 7. Tabulasi Silang Penyakit Kronis dengan tengah malam. Kondisi ini disebut urge Inkontinensia
Insomnia pada Lansia di PSLU Jombang urine, walaupun tidak semua lansia mengalami hal
Tahun 2014 tersebut. Beberapa diantaranya merasa suhu kamar
kurang nyaman, misalnya terlalu panas atau bahkan
Insomnia terlalu dingin sehingga membuatnya harus terbangun
Tidak saat tidur. Selain itu, Rasa nyeri yang dialami akibat
Penyakit Kronis Insomnia OR
Insomnia penyakit yang diderita kemungkinan juga menjadi
n % n %
penyebab sulitnya mempertahankan tidur di malam
Ada 17 85 9 45
hari pada lansia.
Tidak Ada 3 15 11 55 6,926
Jumlah 20 100 20 100
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian case
control yang menyebutkan bahwa mayoritas lansia
Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar dengan frekuensi terbangun di malam harinya
lansia dengan Insomnia memiliki penyakit kronis meningkat disebabkan karena kondisi medis yang
(85%) sedangkan lansia yang tidak Insomnia menyebabkan lansia harus buang kecil tiap malam
sebagian besar adalah mereka yang tidak memiliki sehingga menyebabkan terpotongnya durasi tidur
penyakit kronis (55%) dengan nilai OR = 6,926. (Gooneratne et al, 2011).
Hal ini berarti terdapat hubungan antara EMA merupakan gejala yang paling sedikit
penyakit kronis dengan kasus Insomnia pada lansia dialami lansia karena umumnya lansia penghuni
di PSLU Jombang. Nilai OR = 6,926 menunjukkan panti sudah terbiasa dengan jadwal yang telah
bahwa keberadaan penyakit kronis ini dapat menjadi ditetapkan pihak panti setiap harinya. rata-rata lansia
suatu faktor risiko dalam terjadinya Insomnia pada bangun pada pukul 04.00 untuk menunaikan solat
lansia. subuh sehingga jarang sekali lansia yang merasa
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa bangun terlalu pagi. Beberapa lansia yang bangun
lansia dengan penyakit kronis berisiko 6,926 kali sebelum pukul 04.00 seringkali merasa bangun
untuk terkena Insomnia dibandingkan dengan lansia terlalu pagi dan kuantitas tidurnya kurang.
yang tidak memiliki penyakit kronis. Kasus Insomnia pada lansia lebih tinggi
daripada golongan umur lain, yaitu 1239%. Hidup
yang tidak aktif, sama halnya dengan penyakit fisik
PEMBAHASAN dan mental berhubungan secara signifikan dengan
Kasus Insomnia pada Lansia Insomnia, di mana hidup yang kurang aktif ini biasa
terjadi pada lansia (Hellstrom, 2013).
Data penelitian menunjukkan bahwa mayoritas Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
kasus Insomnia pada lansia di PSLU Jombang Yokoyama di Jepang pada lansia dengan usia 65
merupakan Insomnia tingkat awal. Pada Insomnia tahun mendapatkan hasil bahwa DMS merupakan
awal, sebagian besar gejala yang dialami masih gejala Insomnia dengan prevalensi paling tinggi,
berada pada tingkat keparahan ringan hingga yaitu 22,9% sedangkan DIS merupakan gejala paling
sedang. Selain itu gangguan tidur yang dirasakan sedikit dengan prevalensi 11,1%. (Yokoyama, et al,
tidak terlalu mengganggu aktivitas sehari-hari dan 2010).
189 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 2 Mei 2015: 181193

Faktor Predisposing dan Insomnia Berbagai penelitian mendukung pernyataan


Faktor predisposing merupakan faktor yang ada bahwa depresi merupakan faktor risiko Insomnia.
dalam diri suatu individu yang membuatnya berisiko Studi di Jepang menunjukkan prevalensi depresi
terhadap Insomnia. Beberapa faktor predisposing pada lansia 65 tahun sebesar 18,3%. Gejala
yang menjadi penyebab Insomnia antara lain Insomnia paling tinggi adalah DMS. Tingkat depresi
demografi, kondisi psikologis di mana salah satunya berhubungan dengan tingkat keparahan Insomnia
adalah depresi, dukungan sosial serta gaya hidup. yang diderita para lansia tersebut. Lansia dengan
Depresi merupakan faktor predisposing yang diteliti depresi menunjukkan adanya gejala DIS setelah 3
dalam penelitian ini. tahun penelitian. Penelitian tersebut menunjukkan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa depresi adanya hubungan timbal balik antara depresi dengan
merupakan faktor risiko Insomnia yang cukup besar. Insomnia. Hal-hal yang berhubungan dengan depresi
Lansia yang mengalami Insomnia sebagian besar diantaranya adalah stres psikologis dan adanya
adalah lansia yang merasakan depresi. Depresi penyakit yang diderita (Yokoyama et al, 2010).
yang paling sering dialami responden adalah tingkat Silvanasari dalam penelitian pada lansia juga
ringan. Pada tingkat ringan, responden merasakan menemukan adanya perbedaan kualitas tidur pada
gejala-gejala depresi dengan frekuensi yang cukup lansia yang tidak memiliki depresi dengan lansia
jarang. yang memiliki depresi tingkat ringan. Tingkat
Nilai OR = 22,667 menunjukkan bahwa depresi gangguan tidur yang dialami lansia dengan depresi
merupakan faktor risiko terjadinya Insomnia pada ringan lebih tinggi daripada lansia yang tidak
lansia. Hal ini kemungkinan disebabkan karena merasakan depresi (Silvanasari, 2012).
faktor depresi membuat sulitnya seseorang Adanya depresi berhubungan dengan
untuk memulai tidur karena memikirkan suatu frekuensi terbangun dan kesulitan tidur di
permasalahan dalam hidupnya. Munculnya depresi, malam hari. Penelitian lain menyebutkan bahwa
kecemasan dan stres dapat memicu sulitnya memulai depresi menurunkan efisiensi tidur. Silvanasari
tidur di malam hari. Selain itu, kesulitan dalam juga menemukan bahwa lansia dengan depresi
mempertahankan tidur bisa jadi merupakan salah membutuhkan waktu lebih dari 3 jam untuk memulai
satu gejala yang disebabkan adanya depresi. tidur sehingga merasa mengantuk di kala siang
Kondisi depresi pada seseorang membuat hari.
perasaan menjadi gelisah. Jika hal ini terjadi, maka Upaya penanggulangan gangguan tidur pada
kuantitas tidur akan berkurang, di mana hal ini lansia akibat depresi dapat dilakukan secara
dapat mempengaruhi kualitas tidur. Kualitas tidur nonfarmakologis dengan berbagai metode yang
yang buruk berhubungan dengan menurunnya ada. Untuk itu perlu penanganan terhadap gejala
produktivitas dalam kehidupan sehari-hari. depresi yang dilakukan sehingga terapi gangguan
Kondisi depresi ini kemungkinan bisa tidur menjadi lebih efektif.
disebabkan karena pada umumnya lansia yang
Faktor Precipitating dan Insomnia
tinggal di panti merupakan mereka yang tidak
memiliki keluarga atau terlantar. Beberapa lansia Faktor precipitating adalah peristiwa-peristiwa
memang memiliki keinginan tersendiri untuk tinggal tertentu yang mendorong timbulnya Insomnia.
di panti. Namun berdasarkan hasil wawancara serta Faktor precipitating yang menjadi penyebab
data yang didapatkan dari pihak panti, sebagian Insomnia diantaranya adalah gangguan mental,
besar alasan mereka tinggal adalah karena tidak ada adanya peristiwa traumatis yang dialami serta
yang dapat mengurus kebutuhan mereka. Keadaan keberadaan penyakit kronis. Penelitian ini hanya
sosial ini bisa mengarahkan lansia pada kondisi melihat hubungan penyakit kronis dengan kasus
depresi. Selain itu, lansia yang tinggal di panti harus Insomnia yang terjadi.
mematuhi jadwal yang telah ditentukan, tidak seperti Berdasarkan data penelitian, sebagian besar
ketika mereka berada di komunitas. lansia yang mengalami Insomnia merupakan
Depresi yang dirasakan kemungkinan juga lansia yang mengidap penyakit kronis selama
disebabkan karena kejenuhan, rasa rindu pada bertahun-tahun sedangkan lansia yang tidak
keluarga serta lamanya tinggal di panti. Penelitian Insomnia sebagian besar adalah mereka yang tidak
ini membuktikan bahwa depresi yang dialami lansia memiliki penyakit kronis. Banyak penelitian yang
berhubungan dengan kasus Insomnia dengan tingkat menyebutkan hubungan antara Insomnia dengan
risiko yang cukup besar.
Nilam P.I Warni Sayekti dan Lucia Y. Hendrati, Analisis Risiko Depresi, Tingkat Sleep Hygiene 190

penyakit kronis tertentu. Penyakit seperti Hipertensi, dengan keberadaan penyakit ini (Jaussent et al,
Arthritis, Diabetes dan penyakit generatif lainnya 2013).
dapat menjadi faktor risiko Insomnia, namun juga Lansia penderita Arthritis yang melaporkan
bisa menjadi dampak atas timbulnya gangguan tidur kondisi Insomnia sebanyak 31% dan sebanyak 66%
tersebut. lansia dengan penyakit kronis mengalami gejala
Manusia pada usia tua lebih berisiko terhadap Insomnia. Sebanyak 33% lansia dengan Diabetes
berbagai penyakit kronis. Semakin parah kondisi Mellitus mengeluhkan sulitnya mempertahankan
penyakit yang diderita, maka Insomnia yang tidur (Pandi-Perumal et al, 2010).
dirasakan juga akan semakin berat. Hal inilah Hubungan antara Arthritis dengan Insomnia
yang kemungkinan membuat prevalensi penyakit juga diteliti oleh Louie bahwa seorang lansia dengan
kronis pada lansia di PSLU Jombang cukup tinggi. Arthritis diprediksi akan mengeluhkan adanya
Banyaknya lansia Insomnia yang menderita penyakit Insomnia dengan risiko 2,92 kali dibandingkan
kronis kemungkinan disebabkan karena rasa nyeri mereka yang tidak Arthritis. Hal ini berkenaan
yang dialami dalam waktu yang cukup lama dengan nyeri sendi yang dirasakan sehingga
menimbulkan ketidaknyamanan sehingga membuat muncul hubungan signifikan antara Arthritis dengan
lansia sulit memulai tidurnya. Insomnia. Dengan adanya nyeri sendi, risiko
Nilai OR = 6,926 menunjukkan bahwa terdapat seseorang untuk terkena Insomnia meningkat sejalan
hubungan antara penyakit kronis dengan munculnya dengan umurnya (Louie et al, 2011).
kasus Insomnia. Risiko lansia dengan penyakit
kronis untuk terkena Insomnia 6,926 kali lebih besar Faktor Perpetuating dan Insomnia
jika dibandingkan dengan lansia yang tidak memiliki Faktor perpetuating meliputi sikap dan perilaku
penyakit kronis. Penelitian lain mendapatkan hasil individu yang membuatnya terkena Insomnia. Faktor
yang serupa bahwa lansia yang menderita penyakit perpetuating yang menjadi penyebab Insomnia
lebih cenderung memiliki kualitas tidur yang kurang adalah sleep hygiene dan sleep believe. Pada
baik (Silvanasari, 2012). Hal ini menunjukkan penelitian ini variabel yang dilihat hubungannya
bahwa Insomnia merupakan dampak dari adanya dengan kasus Insomnia adalah sleep hygiene. Sleep
penyakit kronis pada lansia. hygiene merupakan aktivitas yang dapat membuat
Keberadaan penyakit fisik maupun mental seseorang memiliki tidur yang lebih sehat jika
memiliki hubungan dengan munculnya gejala yang dilakukan dengan baik. Variabel ini meninjau tidak
mengarah pada Insomnia. Menurunnya kualitas hanya dari aspek perilaku atau kebiasaan tidur saja,
tidur dapat berpengaruh terhadap metabolisme tubuh melainkan juga lingkungan tidur.
sehingga seseorang dengan Insomnia dapat terserang Berdasarkan wisma yang ditinggali, Intensive
berbagai penyakit. Banyak peneliti yang telah Care merupakan wisma dengan lansia terbanyak
menemukan peningkatan risiko terjatuh, gangguan yang memiliki sleep hygiene kurang baik dengan
kognitif dan rendahnya fungsi fisik pada lansia yang tingkat sedang. Hal ini kemungkinan lebih
menderita Insomnia. Penyakit seperti Arthtritis, dominannya lingkungan tidur yang kurang nyaman
Kanker dan penyakit kardiovaskuler diketahui bagi lansia. Pada wisma Melati dan Mawar, beberapa
berhubungan dengan menurunnya kualitas tidur lansia bahkan memiliki sleep hygiene yang buruk.
lansia. Hal inilah yang menyebabkan lansia dengan Hal ini kemungkinan karena faktor perilaku yang
penyakit kronis lebih berisiko terhadap Insomnia lebih dominan, di samping faktor lingkungan tidur.
(Hellstrom, 2013). Sebagian besar lansia Insomnia adalah mereka
Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang yang memiliki sleep hygiene kurang baik. Lansia
dilakukan Jaussent, bahwa ia menemukan tingginya yang tidak Insomnia mayoritas adalah mereka yang
prevalensi Insomnia pada lansia yang menderita memiliki sleep hygiene baik. Nilai OR = 11,000
penyakit kardio-cerebrovaskuler. Berdasarkan studi menunjukkan hubungan antara Insomnia dengan
kohort tersebut, Insomnia bukan merupakan faktor sleep hygiene. Nilai OR = 11 menunjukkan bahwa
yang mendahului penyakit kardio-cerebrovaskuler, lansia yang memiliki sleep hygiene kurang baik
namun merupakan dampak atau konsekuensi berisiko 11 kali lebih besar untuk terkena Insomnia
dari adanya penyakit tersebut. Penyakit kardio- daripada mereka yang memiliki sleep hygiene baik.
cerebrovaskuler meningkatkan risiko lansia untuk Karena penerapan sleep hygiene yang buruk
mengalami gejala Insomnia yaitu DMS hingga 25%. dapat berpengaruh pada kualitas tidur, maka
Risiko excessive daytime sleepness juga meningkat penanganan yang tepat adalah dengan memodifikasi
191 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 2 Mei 2015: 181193

sleep hygiene agar berubah ke tingkat yang lebih terdapat peningkatan kualitas tidur secara signifikan,
baik. Penerapan modifikasi sleep hygiene pada perbaikan suasana hati serta meningkatnya kualitas
individu lebih efektif dibandingkan dengan hidup (Reid et al, 2010).
penerapan secara kolektif atau grup. Selain itu, sleep Penggunaan tempat tidur untuk kegiatan yang
hygiene akan lebih baik jika dikombinasikan dengan tidak sesuai dengan tidur misalnya menonton TV
terapi perilaku yang lain (Nishinoue et al, 2012). atau makan akan menurunkan kuantitas tidur.
Pengetahuan terhadap sleep hygiene yang baik Aktivitas selain tidur yang dilakukan di atas tempat
perlu ditingkatkan dalam rangka meningkatkan tidur akan mempengaruhi kerja otak sehingga selalu
kualitas tidur lansia. Pengetahuan ini memang merasa bahwa tempat tidur tidak berhubungan
tidak berpengaruh kuat terhadap Insomnia, namun dengan aktivitas tidur. Hal ini meningkatkan
penerapan sleep hygiene yang tidak adekuat kesulitan untuk memulai tidur.
memiliki hubungan signifikan dengan buruknya
kualitas tidur (Suen et al, 2010).
SIMPULAN DAN SARAN
Penerapan sleep hygiene dibagi dalam
3 kegiatan, yaitu perilaku, lingkungan dan Simpulan
aktivitas sebelum tidur. Ketiga kegiatan tersebut Simpulan yang dapat diambil berdasarkan
harus dilaksanakan secara simultan dan konsisten penelitian ini adalah mayoritas responden adalah
untuk mendapatkan hasil maksimal. Perilaku yang lansia elderly (6074 tahun) dengan jenis kelamin
tidak sehat dan kebiasaan tidur yang salah dapat perempuan. Sebagian besar memiliki penyakit kronis
memperparah kondisi Insomnia. Hal-hal yang dapat dan pada umumnya tingkat sleep hygiene lansia di
dilakukan untuk memperbaiki sleep hygiene dari PSLU Jombang tergolong baik.
segi perilaku dan kebiasaan tidur adalah menentukan Tingkat depresi yang paling banyak diderita
waktu bangun dan waktu tidur, menghindari tidur lansia adalah ringan. Namun jika dibandingkan
sejenak, menghindari alkohol 46 jam sebelum tidur, dengan seluruh responden, sebagian besar lansia
menghindari konsumsi kafein 46 jam sebelum tidak mengalami depresi (normal). Depresi
tidur, menghindari makanan berat, manis atau pedas menunjukkan hubungan dengan Insomnia dan
sebelum tidur serta olahraga teratur (Nishinoue et merupakan faktor risik gangguan tidur ini di mana
al, 2012). lansia yang menderita depresi menunjukkan 22,667
Kondisi lingkungan tidur secara langsung dapat kali risiko untuk terkena Insomnia dibandingkan
mempengaruhi aktivitas tidur dan meningkatkan dengan lansia yang tidak depresi.
kejadian Insomnia. Berikut beberapa hal yang Sebagian kecil lansia memiliki sleep hygiene
direkomendasikan dalam sleep hygiene untuk yang buruk. Hal ini tidak berhubungan dengan
pengelolaan Insomnia antara lain menggunakan lingkungan tiur saja, namun juga perilaku yang
tempat tidur yang nyaman dengan cara yang diterapkan lansia. Sleep hygiene menghasilkan
benar, mengkondisikan suhu dan ventilasi serta hubungan bermakna dan merupakan faktor risiko
menghindari kebisingan dan cahaya terang. Insomnia. Risiko terkena Insomnia bagi lansia
Beberapa hal yang dapat dilakukan sebelum dengan sleep hygiene buruk 11 kali lebih besar
tidur untuk meningkatkan kualitas tidur adalah dibandingkan pada lansia dengan sleep hygiene
melakukan gerakan relaksasi, mengonsumsi susu yang baik.
dan protein, melupakan permasalahan sebelum tidur Penyakit kronis yang paling banyak adalah
serta melakukan kebiasaan tertentu sebelum tidur Arthritis dan Hipertensi. Penyakit kronis
(Nishinoue et al, 2012). menunjukkan hubungan dengan Insomnia dan
Penelitian yang dilakukan Drake menyebutkan merupakan faktor risiko Insomnia di mana lansia
bahwa 400 mg kafein yang dikonsumsi bahkan dengan penyakit kronis berisiko > 6 kali untuk
6 jam sebelum tidur masih akan mengurangi terkena Insomnia daripada mereka yang tidak sakit.
kuantitas tidur sebanyak kurang lebih 1 jam (Drake
et al, 2013). Olahraga teratur juga merupakan salah Saran
satu aspek penting dalam sleep hygiene. Sebuah
penelitian eksperimen memberikan intervensi berupa Saran yang dapat diberikan peneliti adalah
aktivitas fisik dan penerapan sleep hygiene yang diperlukan tindakan sebagai pengendalian gangguan
baik pada lansia selama 16 minggu dan hasilnya psikologis terutama depresi misalnya dengan terapi
relaksasi sederhana yang dilakukan seminggu sekali
Nilam P.I Warni Sayekti dan Lucia Y. Hendrati, Analisis Risiko Depresi, Tingkat Sleep Hygiene 192

sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur dan Cooke, J. R., S. Ancoli-Israel. 2011. Normal and
sleep hygiene lansia Abnormal Sleep in the Elderly. Handbook of
Bagi lansia yang menderita penyakit kronis, Clinical Neurology, 98:653665.
disarankan melakukan tindakan untuk menjaga Drake, C., T. Roehrs, J. Shambroom, T. Roth. 2013.
kondisi kesehatannya karena rasa nyeri dan sakit Caffein Effect on Sleep Taken 0, 3 or 6 Hours
dapat mempengaruhi kualitas tidur. Tindakan ini bisa before Going to Bed. Journal of Clinical Sleep
dengan menjaga diet rendah garam pada penderita Medicine, 9: 11951200.
Hipertensi, penggunaan selimut pada malam hari Gehrman, P. dan S. Ancoli-Israel. 2010. Insomnia
pada penderita gangguan pernapasan dan konsumsi in the Elderly. Dalam Insomnia Diagnosis and
obat sesuai dengan penyakit yang diderita. Lansia Treatment. Editor M.J. Sateia dan D.J. Buysse.
diharapkan melakukan pemeriksaan kesehatannya Informa Health. New York: 9091.
minimal 1 bulan sekali. Ghaddafi, M. 2010. Tatalaksana Insomnia dengan
Bagi klinik dalam panti diharapkan dapat Farmakologi atau Non-Farmakologi. E-Jurnal
memberikan pelayanan yang baik guna mengontrol Medika Udayana, 4: 117.
penyakit kronis serta memberikan perhatian lebih Glovinsky, P. dan A.J. Spielman. 2006. The Insomnia
pada gangguan tidur yang dialami lansia dengan Answer: A Personalized Program to Identifyng
memberikan terapi farmacological maupun non and Overcoming The Three Types of Insomnia.
farmacological. Terapi farmacological dilakukan Penguin Group. New York: 5558.
pada lansia dengan gangguan tidur yang sangat Gooneratne, N.S., S.L. Bellamy, F. Pack, B. Staley,
berat sesuai dengan kebutuhan. Terapi non- S.S. Rodin, D.F. Dinges, A.I. Pack. 2011. Case-
farmacological dapat dilakukan pada lansia yang Control Study of Subjective and Objective
mengalami Insomnia awal hingga sedang dengan Differences in Sleep Patterns in Older Adults with
modifikasi perilaku dan lingkungan tidur (perbaikan Insomnia Symptom. Journal of Sleep Research,
sleep hygiene) atau metode lain seperti Cognitive 20: 434444.
Behavioral Teraphy. Helbig, A.K., A. Doring, M. Heier, R.T. Emeny, A-K.
Perlu ada perbaikan sleep hygiene yang Zimmermann, C.S. Autenrieth, K-H. Ladwig, E.
mencakup kenyamanan lingkungan tidur dan Grill, C. Meisinger. 2013. Association between
perbaikan perilaku atau kebiasaan tidur. Upaya awal Sleep Disturbance and Falls among the Elderly:
dalam perbaikan sleep hygiene dapat berupa edukasi Results from the German Cooperative Health
tentang ritual tidur yang benar dan pengkondisian Research in the Region of Augsburg-Age Study.
ruang tidur yang sesuai. Edukasi dilakukan dengan Sleep Medicine, 14: 13561363.
penyuluhan tentang kualitas tidur dan sleep hygiene Hellstrom, A. 2013. Insomnia Symtoms in Elderly
yang baik pada lansia atau menyelipkan penerapan Persons. Disertasi. Lund University Faculty of
sleep hygiene pada program-program yang telah ada Medicine. Sweden: 2223.
di panti. Jaussent, I., J.P. Empana, M.L. Ancelin, A. Besset,
C. Helmer, C. Tzourio, K. Rotchie, J. Bouyer, Y.
Dauvilliers. 2013. Insomnia, Daytime Sleepiness
REFERENSI
and Cardio-Cerebrovascular Disease in the
Adriani, M., dan B. Wirjatmadi. 2012. Peranan Gizi Elderly: A 6 Years Prospective Study. PloS ONE,
dalam Siklus Kehidupan. Edisi Pertama. Kencana. 8: 18.
Jakarta: 394419. Louie, G.H., M.G. Tektonidou, A.J. Caban-Martinez,
Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Penduduk M.M. Ward. 2011. Sleep Disturbance in Adults with
Lanjut Usia 2010. Jakarta; Subdirektorat Statistik Arthritis: Prevalence, Mediator and Subgroups at
Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial: 3743. Greatest Risk. Data from 2007 National Health
Buysse, D.J. 2008. Chronic Insomnia. Journal Interview Survey. Arthritis Care and Research,
Psychiatry, 165: 678686. 63: 247260.
Chen, Q., L.L. Hayman, R.H. Shmerling, J.F. Bean, Nadorff, M.R., A. Fiske, J.A. Sperry, R. Petts, J.J.
S.G. Leveille. 2011. Characteristics of Chronic Gregg. 2013. Insomnia Symptoms, Nightmare
Pain Associated with Sleep Difficulty in the and Suicidal Ideation in Older Adults. The
Older Population: The Mobilize Boston Study. Journal of Gerontology, 68: 145152.
Journal of the American Geriatrics Society, 58:
13851392.
193 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 2 Mei 2015: 181193

Najjah, D.P. 2009. Konsep Home pada Panti Sosial Sadock, B.J. dan V.A. Sadock. 2010. Handbook of
Tresna Werdha. Skripsi. Jakarta; Universitas Clinical Psychiatry. Edisi Kelima. Lippincot
Indonesia: 14. Williams and Wilkins. Philadelpia: 278280.
Nishinoue, N., T. Takano, A. Kaku, R. Eto, N. Kato, Silvanasari, I.A. 2012. Faktor-faktor yang
Y. Ono dan K. Tanaka. 2012. Effects of Sleep Berhubungan dengan Kualitas Tidur yang
Hygiene Education and Behavioral Therapy Buruk pada Lansia di Desa Wonojati Kecamatan
on Sleep Quality of White-collar Worker: A Jenggawah Kabupaten Jember. Skripsi. Jember;
Randomized Controlled Trial. Industrial Health, Universitas Jember: 4142.
50: 123131. Suen, L.K.P., W.W.S. Tam, K.L. Hon. 2010.
Pandi-Perumal, S.R., J.M. Monti, A.A. Monjan. Association of Sleep Hygiene-Related Factors and
2010. Principles and Practice of Geriatric Quality Among University Student in Hongkong.
Sleep Medicine. Cambridge University Press. Hongkong Medical Journal, 16: 160165.
Cambridge: 126127. Tsou, M.T. 2014. The Association between Metabolic
Reid, K.J., K.G. Baron, B. Lu, E. Naylor, L. Wolfe, Syndrome and Sleep Symptoms and Sleep
P.C. Zee. 2010. Aerobic Exercise Improve Self- Hygiene in The Elderly in Northern Taiwan.
reported Sleep and Quality of Life in Older Adults Advances in Aging Research, 3: 1824.
with Insomnia. Sleep Medicine, 11: 934940. Yokoyama, E., Y. Kaneita, Y. Saito, M. Uchiyama,
Rosita. 2012. Stressor Sosial Biologi pada Lansia Y. Matsuzaki, T. Tamaki, T. Munezawa dan T.
Panti Werdha Usia dan Lansia Tinggal Bersama Ohida. 2010. Association between Depression and
Keluarga. Bio Kultur, 1: 4352. Insomnia Subtypes: A Longitudinal Study on the
Elderly in Japan. Sleep, 33: 16931702.

Anda mungkin juga menyukai