BANDUNG
PROPOSAL
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
BANDUNG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia pada tahun 2010 adalah 69,81 tahun, sedangkan pada tahun 2017, angka
harapan hidup di Indonesia mengalami peningkatan menjadi 71,06 tahun. Hal yang
serupa juga terjadi di Provinsi Jawa Barat, yang mengalami peningkatan dari 71,29
tahun pada tahun 2010 menjadi 72,47 tahun pada tahun 2017.
nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah suatu individu yang
berusia 60 tahun ke atas. Dalam lima dekade terakhir (1971-2017), persentase lansia
di Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat menjadi 8,97% (23,4 juta). Peningkatan
ini didominasi oleh kelompok umur 60-69 tahun (lansia muda) yaitu sebanyak 5,65%
dan sebanyak 3,32% diisi oleh kelompok umur 70-79 tahun (lansia madya) serta
kelompok umur di atas 80 tahun (lansia tua). Peningkatan jumlah lansia di Indonesia
ini juga disertai dengan peningkatan jumlah lansia di Provinsi Jawa Barat yaitu dari
sebanyak 3,77 juta pada tahun 2015 menjadi sebanyak 4,16 juta pada tahun 2017 dan
diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai jumlah 5,07 juta pada tahun
kualitas hidup yang salah satu faktor pengaruhnya adalah kesehatan fisik. Kesehatan
fisik ini sendiri dipengaruhi oleh beberapa aspek antara lain energi dan kelelahan,
rasa sakit dan rasa tidak nyaman, serta tidur dan istirahat (WHO, 2019). Menurut
buku Insomnia Diagnosis and Treatment (2010), seiring dengan pertambahan usia
akan terjadi perubahan pada pola tidur dan proses terbangunnya seseorang, perubahan
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bertambah lamanya latensi onset
tidur, berkurangnya total waktu tidur, bertambahnya frekuensi terbangun pada malam
hari, perubahan proses homeostasis, serta ritme circadian. Perubahan pada pola tidur
dan proses terbangun ini akan mempengaruhi terjadinya insomnia pada lansia yang
menurut jurnal Sleep Problems in the Elderly (2015), insomnia merupakan suatu
dan terbangun sangat pagi yang muncul minimal sebanyak tiga malam dalam satu
minggu dan berlangsung selama tiga bulan, selain karena pola tidur, munculnya
insomnia pada lansia juga dipengaruhi oleh beberapa gangguan baik pada kondisi
berkonsentrasi, gangguan suasana hati, kelelahan, rasa khawatir terhadap pola tidur,
risiko terjatuh, serta kesulitan baik secara fisik maupun psikis (Sleep Problems in the
Elderly, 2015). Kesulitan dalam berkonsentrasi, kelelahan, serta kesulitan baik secara
fisik maupun psikis dapat berpengaruh terhadap performa kerja lansia serta dapat
berpengaruh terhadap tingkat keselamatan lansia di lingkungan kerja, hal ini perlu
lebih diperhatikan karena sebanyak 47,92% lansia di Indonesia pada tahun 2017
masih aktif bekerja (Badan Pusat Statistik, 2017). Risiko terjatuh pada lansia juga
perlu diperhatikan karena sebanyak 10% lansia di Indonesia tinggal sendiri (Badan
juga dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup pada lansia (Sleep Problems in the
Elderly, 2015).
seiring dengan bertambahnya usia. Sebanyak 20% individu berusia 65 tahun ke atas
seiring dengan bertambahnya usia, studi pada lebih dari 9000 lansia menunjukkan
adanya kesulitan memulai dan mempertahankan tidur pada 42% individu. Namun,
belum ada data prevalensi insomnia pada lansia di Indonesia khususnya di Provinsi
Jawa Barat.
perlu diperhatikan dan merupakan salah satu faktor penting yang dapat
insomnia pada lansia membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih
lanjut untuk mengetahui prevalensi insomnia pada lansia di Jawa Barat, khususnya
Kota Bandung serta apakah terdapat hubungan antara insomnia pada lansia di Kota
Apakah terdapat hubungan antara insomnia pada lansia di Kota Bandung dengan
lansia.
Bandung.
1. Peneliti
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lansia
Kesejahteraan Lanjut Usia Bab I Pasal 1 ayat 2 menyebutkan, yang dimaksud dengan
lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Pasal tersebut
juga menerangkan bahwa lanjut usia dibagi menjadi 2, yaitu lanjut usia potensial
(ayat 3) dan lanjut usia tidak potensial (ayat 4). Lanjut usia potensial adalah lanjut
usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat
menghasilkan barang dan atau jasa. Sedangkan lanjut usia tidak potensial adalah
lanjut usia yang tidak berdaya untuk mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung
2.2 Tidur
Menurut Kaplan & Sadocks (2015), Tidur merupakan salah satu perilaku
manusia yang paling signifikan dan meliputi sekitar sepertiga dari kehidupan
manusia. Tidur adalah proses yang dibutuhkan otak agar dapat berfungsi dengan baik.
Proses tidur ini sendiri terdiri dari dua keadaan fisiologis, yaitu non-rapid eye
movement (NREM) dan rapid eye movement (REM). Pada proses NREM yang terdiri
dari tahap satu hingga tahap empat, fungsi fisiologis tubuh yang terjadi lebih rendah
aktivitas otak yang tinggi dan tingkat aktivitas fisiologis yang mirip dengan saat
terjaga. Sekitar 90 menit setelah tertidur, proses NREM akan berganti menjadi
episode REM yang pertama, proses latensi REM yang terjadi selama 90 menit ini
Pada manusia normal, proses NREM adalah suatu keadaan damai yang
relatif terhadap keadaan terjaga. Denyut nadi yang timbul biasanya lebih rendah lima
hingga sepuluh denyut per menit daripada saat terjaga. Laju respirasi dan tekanan
darah juga mengalami sedikit penurunan. Pergerakan tubuh involunter terjadi secara
episodik dan aliran darah ke sebagian besar jaringan termasuk aliran darah ke otak
juga mengalami sedikit penurunan. Tahapan terdalam dari proses NREM, yaitu tahap
tiga dan empat terkadang dapat berhubungan dengan karakteristik terbangun yang
tidak biasa. Ketika seseorang terbangun 30 menit hingga satu jam setelah terbangun
(tidur gelombang lambat), orang tersebut dapat mengalami disorientasi dan pola pikir
Pada proses REM (paradoxical sleep) denyut nadi, laju respirasi, serta
tekanan darah cenderung tinggi, jauh lebih tinggi daripada saat proses NREM dan
seringkali lebih tinggi daripada saat terjaga. Oksigen yang digunakan otak dalam
selema proses REM meningkat. Terjadi peningkatan tekanan parsial karbon dioksida
dan tidak ada peningkatan volume tidal. Perubahan fisik lainnya yang terjadi pada
proses ini adalah paralisis otot skeletal. Karena inhibisi motorik ini, tidak terjadi
pergerakan tubuh selama proses REM. Mimpi juga dapat muncul selama proses ini,
mimpi. Periode REM dapat muncul setiap 90 sampai 100 menit dalam satu malam.
Periode REM yang pertama muncul dengan jangka waktu terpendek yaitu kurang dari
menit. Sebagian besar periode REM muncul selama tiga per tiga malam dan sebagian
Pola tidur ini berubah-ubah selama proses kehidupan. Pada neonatal, proses
REM muncul sebanyak 50% dari total tidur dan pemeriksaan EEG menunjukkan
adanya perpindahan secara langsung dari keadaan terjaga ke proses REM tanpa
melewati empat tahap NREM terlebih dahulu. Bayi yang baru lahir tidur selama 16
jam dalam sehari dengan periode terbangun yang singkat. Pada usia empat bulan,
terjadi perubahan pola tidur sehingga persentase total proses REM turun hingga
kurang dari 40% dan mulai muncul proses NREM pada proses awal tidur. Pada
dewasa muda, proses NREM berlangsung selama 75% dari keseluruhan proses tidur
dengan tahap satu terjadi selama 5%, tahap dua selama 45%, tahap tiga selama 12%,
dan tahap empat selama 13%, sedangkan proses REM berlangsung selama 25%.
Menurut buku Sleep, Neuronal Plasticity and Brain Function (2010), aktvitas
elektrik yang terjadi di dalam otak ketika tidur dapat direkam menggunakan
5) K-kompleks (satu gelombang lambat yang tajam) dan spindles (letusan pendek
Terekam dalam tahapan awal tidur, ketika terjadi transisi ke deep NREM.
Menurut Kaplan & Sadocks (2015), fungsi tidur telah diperiksa dengan
berbagai cara. Sebagian besar peneliti menyimpulkan bahwa tidur memberikan fungsi
homeostatis dan sangat penting untuk termoregulasi normal dan konservasi energy.
Proses tidur NREM meningkat setelah seseorang berolahraga dan kelaparan, proses
ini terjadi untuk mencukupi kebutuhan metabolisme. Kurangnya waktu tidur dalam
dan kelesuan. Dalam studi yang menggunakan tikus, kurang tidur menyebabkan
sindrom yang meliputi penampilan yang lemah, lesi kulit, peningkatan asupan
subyektif dan obyektif dari kualitas tidur menunjukkan adanya perubahan tidur terkait
usia. Secara subyektif, beberapa lansia melaporkan dirinya terbangun terlalu dini,
tempat tidur, terjaga di malam hari, melakukan tidur siang, dan mengalami
pengurangan total tidur jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda.
Pada lansia, tahapan tidur yang lebih dalam yaitu tahap tiga atau tidur gelombang
lambat serta tahap REM berlangsung dalam jangka waktu yang lebih singkat,
sedangkan tidur yang lebih ringan berlangsung dalam jangka waktu yang lebih
panjang. Persentase waktu yang dihabiskan untuk tidur gelombang lambat menurun
sekitar 2 persen per dekade hingga 60 tahun dan kemudian mulai stabil pada
pertengahan usia 90-an. Selain itu, tidur menjadi lebih terfragmentasi seiring
bertambahnya usia, sehingga lebih sering terjadi pergeseran tahapan tidur serta lebih
sering terbangun. Hal ini mengakibatkan penurunan efisiensi tidur (proporsi waktu
tidur aktual dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan di tempat tidur), yang
memang, terus menurun dengan bertambahnya usia, meskipun telah dilakukan
2.4.1 Definisi
mempertahankan tidur, atau bangun terlalu dini yang terjadi minimal tiga malam per
minggu, selama tiga bulan, dan menimbulkan konsekuensi di siang hari berupa
tidur. Rata-rata lansia mengalami gejala insomnia selama beberapa tahun sebelum
terutama pada lansia. Prevalensi insomnia cenderung lebih tinggi pada individu yang
lebih tua dengan beberapa masalah fisik dan kejiwaan (60%), dan cenderung lebih
tinggi pada wanita daripada pada pria. Prevalensi insomnia yang lebih tinggi di antara
orang dewasa dianggap sebagai konsekuensi dari komorbiditas kesehatan fisik dan
idiopatik, insomnia paradoks, dan sleep hygiene yang tidak adekuat. Insomnia
psikologis ditandai oleh asosiasi hyperarousal dan pencegahan tidur, sedangkan
meliputi insomnia yang disebabkan oleh kondisi medis dan gangguan mental seperti
depresi, nyeri, atau gangguan kecemasan. Namun, berbagai subtipe dari gangguan
tidur primer sering terjadi secara bersamaan, gejala-gejala gangguan ini dapat
tumpang tindih dengan gejala-gejala dari insomnia primer dan sekunder. Gejala yang
muncul juga sering tidak jelas apakah berasal dari penyakit penyerta lainnya atau
tidak, sehingga terlepas dari apakah insomnia diklasifikasikan sebagai primer atau
sekunder, semua subtipe gangguan insomnia yang terjadi setidaknya tiga malam per
gangguan tidur, gangguan medis, maupun gangguan psikologis serta tidak hilang
dan gangguan psikologis, maka kondisi tersebut dapat didiagnosis sebagai gangguan
insomnia kronis. Sebaliknya, diagnosis gangguan insomnia kronis tidak akan berlaku,
ketika gejala insomnia hilang setelah dilakukan pengobatan terhadap gangguan tidur
istirahat.
lintas/iklim), transportasi.
6) Spiritualitas/Agama/Kepercayaan.