Anda di halaman 1dari 14

A.

PENDAHULUAN
Gangguan depresi, dalam buku Synopsis of Psikiatri termasuk dalam
[1]
kelompok gangguan mood. Gangguan mood meliputi sekelompok besar
gangguan, dengan mood patologis serta gangguan yang terkait mood yang
mendominasi gambaran klinisnya. Istilah gangguan mood atau suasana
perasaan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
(DSM) sebelumnya dikenal sebagai gangguan afektif, saat ini lebih disukai
karena istilah ini mengacu pada keadaan emosi yang menetap, bukan hanya
ekspresi eksternal (afektif) pada keadaan emosional sementara. Gangguan
mood paling baik dianggap sebagai sindrom, yang terdiri atas sekelompok
tanda dan gejala yang bertahan selama berminggu-minggu hingga berbulan-
bulan yang menunjukkan penyimpangan nyata habitual seseorang serta
kecenderungan untuk kambuh, sering dalam bentuk periodik atau siklik. Mood
dapat normal, meningkat atau menurun.[2]
Pasien dengan mood meningkat menunjukkan adanya ekspansivitas, flight
of ideas, tidur berkurang, harga diri meningkat serta gagasan kebesaran.[2]
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan
minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir
mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat
aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetatif (termasuk tidur,
aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu
menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.[1]
Depresi berasal dari kata latin depressare atau kata latin klasik
deprimere. Deprimere secara harfiah berarti menekan, de diterjemahkan
sebagai "turun" dan premere diterjemahkan sebagai untuk menekan.
Depresi dapat diartikan sebagai suasana hati atau emosional yang menurun.[3]
Depresi adalah penyakit medis yang menyebabkan perasaan sedih yang
berkelanjutan dan kehilangan minat. Depresi juga dapat menyebabkan gejala
fisik. Depresi merupakan penyakit kronis yang biasanya membutuhkan
pengobatan jangka panjang, seperti diabetes melitus atau hipertensi.
Kebanyakan orang dengan depresi merasa lebih baik dengan obat-obatan.[4]

B. EPIDEMIOLOGI
1. Insiden dan prevalen
Gangguan depresi berat paling sering terjadi sekitar 15% pada prevalensi
seumur hidup. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% diperawatan
primer dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah didapatkan
prevalensi sekitar 2%. Pada usia remaja didapatkan prevalensi 5%.[1]
2. Jenis kelamin
Perempuan dua kali lipat lebih besar dibandingkan laki-laki. Diduga
adanya perbedaan hormon, pengaruh kelahiran anak, perbedaan stressor
psikososial antar laki-laki dan perempuan serta model perilaku
ketergantungan yang dipelajari.[1]
3. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun. Hampir 50% wanita diantara usia 20-50
tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut
usia. Data terkini menunjukkan, gangguan depresi berat diusia kurang dari
20 tahun. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol
dan penyalahgunaan zat dalam kelompok usia ini.[1]
4. Status pernikahan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan
interpersonal yang erat atau mereka yang berpisah. Wanita yang tidak
menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk menderita depresi
dibandingkan dengan yang menikah namun hal ini berbanding terbalik
untuk laki-laki.[1]
5. Faktor sosioekonomi dan kebudayaan
Tidak ditemukan hubungan antara status sosioekonomi dengan gangguan
depresi berat. Depresi lebih sering terjadi didaerah pedesaan dibandingkan
daerah perkotaan.[1]

C. ETIOLOGI
1. Faktor biologis
Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit amin biogenic
seperti asam 5-hidroksiindolasetat (5-HIAA), asam homovanilat (HVA)
dan 3-metoksi-4-hidroksifenilglikol (MHPG) didalam darah, urin dan
cairan serebrospinalis pasien dengan gangguan mood. Norepinefrin dan
serotonin adalah dua neurotransmitter yang paling terkait didalam
patofisiologi gangguan mood.[2]
a) Norepinefrin
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respon klinis
antidepresi merupakan peran langsung sistem noradrenergik pada
depresi. Bukti lain yang juga melibatkan reseptor beta 2 presinaptik
pada depresi yaitu aktifnya reseptor yang mengakibatkan pengurangan
jumlah pelepaan norepinefrin. Reseptor beta 2 presinaptik juga terletak
pada neuron serotonergik dan mengatur jumlah pelepasan serotonin.[1]
b) Serotonin
Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung
jawab untuk kontrol regulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan. Pada
beberapa penelitian ditemukan jumlah serotonin yang berkurang
dicelah sinap dikatakan bertanggung jawab untuk terjadinya depresi.[1]
c) Dopamin
Aktivitas dopamine berkurang pada depresi. Penemuan subtype baru
reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi regulasi
presinaptik dan pascasinaptik dopamin memperbanyak hubungan
antara dopamin dan gangguan mood. Dua teori terbaru tentang
dopamin dan depresi adalah jalur dopamin mesolimbik mengalami
disfungsi pada depresi dan reseptor dopamin D1 mungkin hipoaktif
pada depresi.[1]
2. Faktor genetik
a) Studi keluarga
Generasi pertama dapat menjadi 2 hingga 10 kali lebih sering
mengalami depresi berat.[1]
b) Studi adopsi
Dua dari tiga studi menemukan gangguan depresi berat diturunkan
secara genetik. Penelitian juga menunjukkan anak biologis dari orang
tua yang terkena gangguan mood berisiko untuk mengalami gangguan
mood walaupun anak tersebut dibesarkan oleh keluarga angkat.
c) Studi anak kembar
Pada anak kembar dizigotik gangguan depresi terdapat sekitar 1328%
sedangkan pada anak kembar monozigotik terdapat sekitar 53-69%.[1]
3. Faktor psikososial
a) Peristiwa hidup dan stres lingkungan
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang merasa tertekan (stres)
dapat mencetuskan terjadinya depresi. Episode pertama lebih ringan
dibandingkan episode berikutnya. Ada teori yang mengemukakan
adanya stress sebelum episode pertama menyebabkan perubahan
biologi otak yang bertahan lama. Hal ini menyebabkan perubahan
berbagai neurotransmiter dan sistem sinyal intraneuron termasuk
hilangnya beberapa neuron dan penurunan kontak sinaps. Dampaknya
seseorang individu berisiko tinggi mengalami episode berlang
gangguan mood sekalipun tanpa stressor dari luar.[2]
b) Faktor kepribadian
Semua orang dengan kepribadian yang berbeda-beda dapat mengalami
depresi sesuai dengan situasinya. Orang dengan gangguan kepribadian
obsesi-kompulsi dan histrionik berisiko tinggi untuk mengalami
depresi dibandingkan dengan gangguan kepribadian paranoid atau
antisosial. Pasien dengan gangguan distimik dan siklotimik berisiko
mengalami gangguan depresi berat.[2]
c) Faktor psikodinamik
Teori psikodinamik depresi oleh Sigmund Freud yang dilanjutkan oleh
Karl Abraham dikenal sebagai pandangan klasik depresi yang
mencakup empat hal utama :
- Gangguan hubungan ibu-anak selama fase oral (10-18 bulan)
menjadi faktor predisposisi untuk rentan terhadap episode depresi
berulang
- Depresi dapat dihubungkan dengan cinta yang nyata maupun
fantasi kehilangan objek
- Mekanisme pertahanan untuk mengatasi penderitaan akibat
kehilangan objek cinta
- Kehilangan objek cinta diperlihatkan dalam bentuk campuran
antara benci dan cinta serta perasaan marah yang diarahkan pada
diri sendiri.[2]
4. Formulasi lain depresi
a) Teori kognitif
Beck mengemukakan trias kognitif depresi terdiri atas :
- Pandangan mengenai diri, aturan, diri yang negatif
- Mengenai lingkungan pada kecenderungan mengalami dunia
sebagai sesuatu yang memusuhi atau menuntut
- Mengenai masa depan tentang penderitaan dan kegagalan dari
harapan.[2]
b) Ketidakberdayaan yang dipelajari
Teori ketidakberdayaan yang dipelajari pada depresi menghubungkan
fenomena depresi dengan pengalaman peristiwa yang tidak dapat
dikendalikan. Dalam pandangan yang diformulasikan kembali
mengenai ketidakberdayaan yang dipelajari jika diterapkan pada
depresi manusia akan menyebabkan hilangnya harga diri setelah
peristiwa eksternal yang tidak diinginkan.[2]

D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang mendasari penyakit depresi masih belum jelas. Saat ini
bukti menunjukkan pada interaksi yang kompleks antara neurotransmiter dan
regulasi reseptor serta sensitivitas yang mendasari gejala afektif.[5]
Uji klinis dan praklinis menunjukkan adanya gangguan pada aktivitas
sistem saraf pusat serotonin (5-HT receptor) sebagai faktor penting.
Neurotransmiter lain yang terlibat norepinefrin, dopamin, glutamat dan
diturunkan dari faktor neurotropik otak. Namun, obat yang hanya menghasilkan
peningkatan ketersediaan neurotransmiter seperti kokain atau amfetamin tidak
memiliki khasiat dari waktu ke waktu sebagai antidepresan.[5]
Peran SSP 5-HT dalam aktivitas patofisiologi gangguan depresi ditentukan
oleh terapi selective serotonine reuptake inhibitor (SSRI). Penelitian telah
menunjukkan bahwa gejala akut depresi sementara dapat diproduksi dalam
remisi menggunakan deplesi triptofan yang menyebabkan penurunan sementara
dalam SSP 5-HT. Namun, efek SSRI pada 5HT reuptake cepat, tetapi efek
antidepresan memerlukan paparan durasi beberapa minggu. Beberapa
antidepresan tidak berpengaruh pada 5HT (misalnya, desipramine). Semua ini
ditemukan dalam penelitian praklinis secara bersamaan pada peran regulasi
reseptor saraf, sinyal intraseluler dan ekspresi gen dari waktu ke waktu,
disamping meningkatnya ketersediaan neurotransmiter.[5]
E. GAMBARAN KLINIS
1. Gejala utama
- Afek Depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas.[6]
2. Gejala lainnya
- Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan tak berguna
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
- Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
- Tidur terganggu
- Nafsu makan berkurang.[6]
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.[6]
Kategori diagnosis episode depresif ringan, sedang, dan berat hanya
digunakan untuk episode depresif tunggal (pertama). Episode depresif
berikutnya harus diklasifikasikan dibawah salah satu diagnosis gangguan
depresif berulang.[6]
Kriteria diagnosis menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan
Jiwa - III (PPDGJ-III) untuk gangguan depresi, antara lain :
1. Episode depresif ringan
Pada episode depresif ringan sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala
utama depresi lalu ditambah dengan sekurang-kurangnya 2 dari gejala
lainnya. Tidak boleh ada gejala berat diantaranya dan lama dari seluruh
episode berlangsung kurang dari 2 minggu. Ada sedikit kesulitan dalam
pekerjaan dan kegiatan sosial. Jika tidak terdapat gejala somatik maka
digolongkan dalam episode depresif ringan tanpa gejala somatik dan begitu
pula sebaliknya jika disertai dengan gejala somatik maka digolongkan
dalam episode depresif ringan dengan gejala somatik.[6]
2. Episode depresif sedang
Pada episode depresif sedang sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala
utama depresi lalu ditambah dengan sekurang-kurangnya 3 atau 4 dari
gejala lainnya. Lama dari seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu.
Ada sedikit kesulitan menghadapi urusan rumah tangga, dan kegiatan
sosial. Jika tidak terdapat gejala somatik maka digolongkan dalam episode
depresif sedang tanpa gejala somatik dan begitu pula sebaliknya jika
disertai dengan gejala somatik maka digolongkan dalam episode depresif
sedang dengan gejala somatik.[6]
3. Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
Pada episode depresif berat tanpa gejala psikotik semua gejala utama
depresi harus ada dan ditambah dengan sekurang-kurangnya 4 dari gejala
lainnya dan beberapa diantaranya berintensitas berat. Lama dari seluruh
episode berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu. Sangat tidak mungkin
pasien menghadapi urusan rumah tangga, pekerjaan, dan kegiatan sosial.[6]
4. Episode depresif berat dengan gejala psikotik
Pada episode depresif berat dengan gejala psikotik semua gejala memenuhi
criteria depresi berat disertai waham, halusinasi atau stupor depresif.
Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka
yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina
atau menuduh atau bau kotoran atau daging yang membusuk. Retardasi
psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.[6]
F. PENATALAKSANAAN
1. Psikoterapi
a) Terapi kognitif
Terapi kognitif memfokuskan pada distorsi kognitif yang ada pada
gangguan depresif berat. Tujuan terapi kognitif adalah meringankan
episode depresif dan mencegah kekambuhan dengan membantu pasien
mengidentifikasi dan menguji kognisi negatif, mengembangkan cara
berpikir alternative, fleksibel dan positif serta melatih respon perilaku
dan kognisi yang baru.[2]
b) Terapi perilaku
Terapi perilaku didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku
maladaptif mengakibatkan seseorang menerima sedikit umpan balik
positif dan mungkin sekaligus penolakan dari masyarakat. Dengan
memusatkan perhatian pada perilaku maladaptif didalam terapi, pasien
belajar berfungsi di dalam dunia sedemikian rupa hingga mereka
memperoleh dorongan positif.[2]
c) Terapi berorientasi psikoanalitik
Tujuan terapi berorientasi psikoanalitik adalah memberi pengaruh pada
perubahan struktur atau karakter kepribadian seseorang bukan hanya
untuk meredakan gejala. Perbaikan kepercayaan interpersonal,
keintiman, mekanisme koping, kapasitas berduka serta kemampuan
mengalami kisaran luas emosi.[2]
d) Terapi keluarga
Terapi keluarga diindikasikan jika gangguan merusak perkawinan
pasien atau fungsi keluarga jika gangguan mood bertambah atau
dipertahankan oleh situasi keluarga. Terapi keluarga memeriksa
peranan anggota keluarga yang mengalami gangguan mood didalam
kesejahteraan psikologis seluruh keluarga.[2]
2. Farmakoterapi
Antidepresan adalah kelompok obat-obat heterogen dengan efek utama dan
terpenting untuk mengendalikan gejala depresi. Disamping itu juga
digunakan untuk beberapa indikasi lain seperti gangguan cemas. Secara
umum diklasifikasikan sebagai berikut :[1]
a) Derivat trisiklik
- Imipramin
- Amitriptilin
b) Derivat tetrasiklik
- Maproptilin (Sandepril)
- Mianserin
c) Derivat MAOI (Mono Amin Oksidase Inhibitor)
- Moclobemide
d) Derivat SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
- Sertraline
- Fluoxetine (Kalxetin)
- Fluvoxamine
- Paroxetine
- Escitalopram
e) Derivat SNRI (Serotonin Norepinefrin Reuptake Inhibitor)
- Venlafaxine
- Desvenlafaxine
- Duloxetine[1]
Depresi terjadi karena rendahnya kadar serotonin dipaska sinap. Secara
umum antidepresan bekerja disistem neurotransmiter serotonin dengan cara
meningkatkan jumlah serotonin dipaska sinap. Golongan trisiklik dan
tetrasiklik bersifat serotonergik dengan menghambat ambilan kembali
neurotransmitter yang dilepaskan dicelah sinap tetapi tidak selektif, dengan
demikian kemungkinan muncul berbagai efek samping yang tidak
diharapkan dapat terjadi. Sementara SSRI bekerja dengan cara yang sama
dan hambatan bersifat selektif hanya terhadap neurotransmitter serotonin
(5HT). Kelompok MAOI bekerja dipresinap dengan cara menghambat
enzim yang memecah serotonin sehingga jumlah serotonin yang dilepaskan
ke celah sinap bertambah dan dengan demikian yang diteruskan kepaska
sinap juga akan bertambah. Kelompok SNRI selain bekerja dengan
menghambat ambilan kembali serotonin juga menghambat ambilan
kembali neurotransmiter norepinefrin.[1]
Efek samping obat-obatan antidepresan untuk pasien depresi dapat
berupa :[7]
a) Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor
menurun dan kemampuan kognisi menurun)
b) Efek antikolinergik (mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur dan
konstipasi)
c) Efek antiadrenergik (perubahan EKG dan hipotensi)
d) Efek neurotoksis (tremor halus, gelisah, agitasi, insomnia)[7]

G. PROGNOSIS
Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan. Biasanya
cenderung menjadi kronik dan kambuh. Episode pertama gangguan depresi
berat yang dirawat di rumah sakit sekitar 50% angka kesembuhan pada tahun
pertama. Persentasi pasien untuk sembuh setelah perawatan berulang-ulang
berkurang seiring berjalannya waktu. Banyak pasien yang tidak pulih akan
menderita gangguan distimik.[1]
Kambuhan depresi depresi berat juga sering terjadi. Sekitar 25% pada 6
bulan setelah keluar dari rumah sakit, sekitar 30% sampai 50% dalam 2 tahun
pertama, dan sekitar 50 persen sampai 75% dalam periode 5 tahun. Insiden
relaps berkurang pada pasien yang melanjutkan terapi psikofarma profilaksis
dan pasien yang hanya mempunyai satu atau dua episode depresi. Secara
umum, semakin sering pasien mengalami episode depresi, semakin
memperburuk keadaannya.[1]
Indikator prognosis. Identifikasi indikator prognosis baik dan buruk pada
kemungkinan prognosis baik: episode ringan, tidak ada gejala psikotik,
singkatnya waktu rawat inap, indikator psikososial meliputi mempunyai teman
akrab selama masa remaja, fungsi keluarga stabil, lima tahun sebelum sakit
secara umum fungsi sosial baik. Sebagai tambahan, tidak ada komorbiditas
dengan gangguan psikiatri lain, tidak lebih dari sekali rawat inap dengan
depresi berat, onsetnya awal pada usia lanjut.[1]
Kemungkinan prognosis buruk : depresi berat bersamaan dengan distimik,
penyalahgunaan alkohol dan zat lain, ditemukan gejala gangguan cemas, ada
riwayat lebih dari sekali episode depresi sebelumnya.[1]

H. KESIMPULAN
1. Depresi berasal dari kata latin depressare atau kata latin klasik
deprimere yang berarti menekan. Depresi dapat diartikan sebagai
suasana hati atau emosional yang menurun.[3]
2. Gangguan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat,
merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati
atau bunuh diri.[1]
3. Gangguan depresi dapat disebabkan oleh faktor biologis (serotonin,
dopamine dan norepinefrin), faktor genetik, faktor psikososial dan
formulasi depresi lainnya.[2]
4. Gejala utama gangguan depresi adalah afek depresif, kehilangan minat dan
kegembiraan dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan
mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas.[6]
5. Gejala lain gangguan depresi adalah konsentrasi dan perhatian berkurang,
harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah
dan tak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis,
gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur
terganggu dan nafsu makan berkurang.[6]
6. Penatalaksanaan gangguan depresi adalah psikoterapeutik (terapi kognisi,
terapi perilaku, terapi berorientasi psikoanalitik dan terapi keluarga) dan
farmakoterapeutik (antidepresan).[1]
7. Gangguan depresi memiliki prognosis baik apabila episode ringan, tidak
ada gejala psikotik, singkatnya waktu rawat inap, indikator psikososial
meliputi mempunyai teman akrab selama masa remaja, fungsi keluarga
stabil, lima tahun sebelum sakit secara umum fungsi sosial baik.
Sedangkan prognosis buruk apabila depresi berat bersamaan dengan
distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, ditemukan gejala gangguan
cemas, ada riwayat lebih dari sekali episode depresi sebelumnya.[1]
DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati, I,. Kristiana, S,. Buku Ajar Psikiatri. Ed. 2. Badan Penerbit FKUI :
Jakarta. 2013.
2. Benjamin, JS,. Virginia, AS,. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed. 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta. 2010.
3. Jonathan, WK,. Andrew, MB,. Cristal, EW,. Sara, JL,. The Nature of Clinical
Depression : Symptoms, Syndromes and Behavior Analysis. Association for
Behavior Analysis International. [Diakses pada tanggal 28 Oktober 2015].
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2395346/. 2015.
4. Mayo Clinic Staff. Depression (Mayor Depressive Disorder). Mayo Clinic
Journal. [Diakses pada tanggal 28 Oktober 2015]. http://www.mayoclinic.org/
diseasesconditions/depression/basics/definition/con-20032977. 2013.
5. Jerry, LH,. David, B,. Mayor Depressive Disorder. Medscape Journal. [Diakses
pada tanggal 28 Oktober 2015]. http://emedicine.medscape.com/article/286759-
overview#a3. 2015.
6. Rusdi, M,. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya : Jakarta. 2013.
7. Rusdi, M,. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Penerbit
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya : Jakarta. 2007.

Anda mungkin juga menyukai