Anda di halaman 1dari 34

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

JOURNAL READING

“The Management of Epilepsy in Children and Adults”

Oleh:

Dhila Thasliyah (H1A321051)

Anindhita Pangestika (H1A321062)

Putu Indira Paramitha M. (H1A321085)

Pembimbing:

dr. Ilsa Hunaifi, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB


2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
dengan berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan journal reading yang
berjudul “The management of epilepsy in children and adults”. Journal reading ini
saya susun dalam rangka memenuhi tugas dalam proses mengikuti kepaniteraan
klinik di bagian neurologi di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram. Ucapan terima kasih kepada yang dr. Ilsa
Hunaifi, Sp.S telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam
menyusun journal Reading ini. Saya berharap penyusunan journal reading ini dapat
berguna dalam meningkatkan pemahaman kita semua.

Saya menyadari bahwa journal reading ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
laporan ini. Semoga Tuhan selalu memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua di
dalam melaksanakan tugas dan menerima segala amal ibadah kita.

Mataram, September 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... 1

DAFTAR ISI ........................................................................................................ 2

BAB I – IDENTITAS JURNAL........................................................................... 3

BAB II – ISI JURNAL.......................................................................................... 4

BAB III – ANALISA JURNAL............................................................................ 25

BAB IV – CRITICAL APPRAISAL ................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30

2
BAB I

IDENTITAS JURNAL

Nama Penulis : Piero Perucca. Ingrid E Scheffer, Michelle Kiley


Judul Tulisan : The Management of Epilepsy in Children and Adults

Jurnal Asal : Medical Journal of Australia

Volume (Nomor) : 208 (5)

Halaman : 226-233

Waktu Terbit : 2018

Website Jurnal : https://doi.org/10.5694/mja17.00951


Jenis Jurnal : Narrative review

3
BAB II

ISI JURNAL

Intisari

 Baru-baru ini, The International League Against Epilepsy menerbitkan


update klasifikasi kejang dan epilepsi yang mencerminkan perkembangan
pemahaman mengenai epilepsi sejak klasifikasi terakhir 28 tahun yang
lalu. Klasifikasi terbaru ini lebih menekankan pentingnya etiologi, yang
memungkinkan optimalisasi manajemen epilepsi.
 Obat antiepilepsi (Antiepileptic drugs (AEDs)) adalah solusi utama untuk
pengobatan epilepsi dan penggunaannya telah berhasil mencapai keadaan
bebas kejang pada dua pertiga penderita epilepsi.
 Lebih dari 15 AEDs generasi kedua telah diperkenalkan sejak 1990an,
sehingga peluang untuk penyesuaian perawatan setiap pasien menurut
kebutuhannya semakin luas. Namun, penggunaan AEDs tidak berhasil
mencapai bebas kejang secara keseluruhan.
 Pembedahan epilepsi adalah pengobatan yang paling efektif untuk epilepsi
fokal resisten obat dan harus dipertimbangkan segera setelah percobaan
dua AEDs gagal. Keberhasilan operasi epilepsi dipengaruhi oleh berbagai
faktor, termasuk sindrom epilepsi, keberadaan dan jenis lesi epileptogenik,
dan durasi follow up pasca operasi.
 Bagi pasien yang tidak memenuhi syarat untuk operasi epilepsi atau pasien
dengan operasi yang gagal, uji coba AEDs alternatif atau terapi
nonfarmakologis lainnya, seperti diet ketogenik dan neurostimulasi, dapat
meningkatkan kontrol tehadap kejang.
 Dengan adanya penelitian yang kontinu mengenai agen antiepilepsi, teknik
yang lebih baik untuk mengoptimalkan operasi epilepsi, dan ditemukannya
terapi non farmakologis lainnya, diharapkan proporsi individu dengan
kejang yang tidak terkontrol dapat berkurang. Banyaknya penemuan gen
yang terlibat dalam epilepsi menyebabkan "terapi presisi" yang secara
khusus menargetkan molekuler tertentu mulai muncul dan menjanjikan
pendekatan terapeutik di masa depan.

4
1. Pendahuluan

Epilepsi adalah penyakit yang menyerang otak dan ditandai dengan bangkitan

kejang. Penyakit ini merupakan penyakit neurologis paling umum yang dapat

menyerang segala usia dan etnis. Pada negara industri, prevalensi epilepsi mencapai

3-4% penduduk. Prevalensi tersebut diperkirakan lebih tinggi di negara bekembang.

Penyakit ini tidak hanya berdampak pada fisik, melainkan juga berdampak

pada kesejahteraan sosial dan psikologis penderitanya. Studi oleh Global Burden of

Disease pada tahun 2010 menyebutkan bahwa epilepsi berat menempati peringkat

keempat di antara 220 gangguan kesehatan dalam hal severitas dampak yang

ditimbulkan.

Diagnosis epilepsi terutama dipertimbangkan atas dasar klinis. Pemeriksaan

seperti electroencephalography (EEG) dan neuroimaging, terutama magnetic

resonance imaging (MRI) dapat menunjang diagnosis. Berdasarkan International

League Against Epilepsy (2014), kriteria diagnosis epilepsi adalah:

 Minimal dua episode kejang tanpa provokasi dengan jarak antar kejang > 24

jam; atau

 Setelah satu episode kejang (atau refleks) tanpa provokasi dan terdapat ≥60%

kemungkinan rekurensi kejang selama 10 tahun ke depan; atau

 Ketika sindrom epilepsi dapat diidentifikasi

Selanjutnya, epilepsi diklasifikasikan berdasarkan tipe kejang, etiologi, dan

sindrom epilepsi. Klasifikasi tersebut berguna untuk pemilihan terapi yang tepat.

5
Oleh karena itu, review ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis kejang dan epilepsi

berdasarkan klasifikasi the new International League Against Epilepsy yang

diperbaharui. Selain itu, review ini juga membahas manajemen terbaru epilepsi pada

anak-anak dan orang dewasa.

Studi yang diikutkan dalam review ini adalah artikel, review dan pedoman

yang ditemukan melalui database PubMed sampai dengan 31 Agustus 2017. Selain

itu, dilakukan juga identifikasi publikasi yang relevan dari daftar pustaka studi yang

terpilih tersebut.

2. Klasifikasi Tipe Kejang International League Against Epilepsy 2017

Berdasarkan onsetnya, kejang epilepsi dikategorikan menjadi: kejang fokal

(sumber terbatas dari jaringan pada satu hemisfer otak); kejang umum (melibatkan

jaringan otak secara bilateral); dan kejang dengan onset yang tidak diketahui (ketika

kejang tidak bisa diklasifikasikan sebagai kejang fokal atau umum)

Kejang fokal dapat dibedakan lagi menjadi kejang fokal tanpa gangguan

kesadaran (sebelumnya dikenal sebagai kejang parsial sederhana) dan kejang fokal

dengan gangguan kesadaran (sebelumnya dikenal sebagai kejang parsial kompleks).

Kejang fokal dapat dikelompokkan lebih lanjut menurut manifestasi awalnya,

motorik atau non-motorik. Karakteristik motorik termasuk kejang tonik, atonik,

klonik dan spasme epileptik. Sementara itu, karakteristik non-motorik termasuk fitur

gangguan kognitif, otonom dan emosional. Focal to bilateral tonic-clonic seizures

6
(sebelumnya dikenal kejang umum sekunder) adalah kejang tonik-klonik yang terjadi

akibat penyebaran kejang fokal ke kedua hemisfer otak.

Kejang umum juga dibagi menjadi kejang motorik (tonik-klonik, klonik,

tonik, mioklonik, mioklonik-tonik-klonik, mioklonik-atonik, atonik, dan spasme

epilepsi) dan non-motorik (kejang absans, selanjutnya dikategorikan sebagai tipikal,

atipikal, mioklonik, dan absans dengan mioklonia kelopak mata).

Selain itu, kejang dengan onset yang tidak diketahui juga dibagi berdasarkan

adanya fenomena motorik atau non-motorik. Namun, terdapat subgroup tambahan

yaitu " grup tidak terklasifikasi", yang termasuk didalamnya adalah kejang dengan

karakteristik yang tidak mencukupi untuk masuk ke klasifikasi lainnya.

7
Gambar 1. Klasifikasi Tipe Kejang

3. Klasifikasi Epilepsi International League Against Epilepsy 2017

Klasifikasi baru dari epilepsi membagi kerangka diagnostik menjadi tiga

level. Level pertama dimulai dengan menentukan tipe kejang. Kemudian level kedua

menentukan tipe epilepsi, yang meliputi epilepsi fokal, umum, gabungan fokal dan

umum, dan epilepsi yang tidak diketahui. Terakhir, level ketiga adalah diagnosis

sindrom epilepsi bila memungkinkan.

Adapun etiologi terbagi menjadi struktural, genetik, infeksi, metabolik, imun

dan tidak diketahui.

8
Gambar 2. Klasifikasi Epilepsi

Selain diagnosis dan etiologi, penting juga untuk mengidentifikasi

komorbiditas, seperti gangguan belajar, psikiatri dan perilaku, sehingga penderitanya

dapat diberikan manajemen yang tepat dan menyeluruh.

Istilah "epilepsi umum idiopatik" mengacu secara kolektif ke empat sindrom:

epilepsi absans pada anak, epilepsi absans juvenile, epilepsi mioklonik juvenile dan

kejang umum tonik-klonik. Sindrom ini juga dapat disebut epilepsi umum genetik,

karena ada bukti klinis yang kuat bahwa etiologinya adalah genetik.

4. Manajemen Epilepsi

a. Terapi farmakologi

Obat antiepilepsi (Antiepileptic drugs (AEDs)) adalah pilihan pengobatan utama

epilepsi. Istilah "antiepilepsi" mencerminkan terminologi konvensional, namun sejatinya

9
terminologi “anti kejang” akan lebih akurat dikarenakan obat-obatan ini menekan gejala

(kejang), bukan penyakit yang mendasarinya.

Tujuan terapi AED adalah untuk memberikan kualitas hidup terbaik bagi penderita

epilepsi dengan memaksimalkan kontrol kejang dan meminimalkan toksisitas obat. Sekitar

dua pertiga penderita epilepsi yang mengkonsumsi AED menjadi bebas kejang.

Tabel 1. Obat Antiepilepsi

AED Spektrum efikasi Keterangan


AED Generasi Pertama
Asam valproat Semua jenis kejang
Benzodiazepin Semua jenis kejang Dapat memicu kejang tonik,
terutama setelah penggunaan IV
pada Lennox-Gastaut Syndrome
Fenobarbital Sebagian besar tipe Tidak efektif untuk kejang absans
kejang
Primidone Sebagian besar tipe Tidak efektif untuk kejang absans
kejang
Carbamazepine Kejang fokal dan umum Dapat mencetuskan atau
Kejang tonik klonik memperburuk kejang absans dan
kejang mioklinik
Fenitoin Kejang fokal dan umum Dapat mencetuskan atau
Kejang tonik klonik memperburuk kejang absans dan
kejang mioklinik
Ethosuximide Kejang absans
AED Generasi Kedua
Lamotrigine Sebagian besar tipe Dapat mencetuskan atau
kejang memperburuk kejang mioklinik
Efikasi terbaik pada kejang fokal,
kejang tonik-klonik umum, kejang
absans, dan serangan drop yang
terkait dengan Lennox-Gastaut
Syndrome
Levetiracetam Sebagian besar tipe Efikasi terbaik pada kejang fokal,
kejang kejang tonik-klonik umum, dan
kejang mioklonik. Tidak efektif
terhadap kejang tonik dan atonik.
Topiramate Sebagian besar tipe Efikasi terbaik pada kejang fokal,
kejang kejang tonik-klonik umum, dan

10
serangan drop yang terkait dengan
Lennox-Gastaut Syndrome.
Tidak efektif pada kejang absans
Zonisamide Sebagian besar tipe Efikasi baik untuk kejang fokal.
kejang Tidak efektif untuk kejang umum.
Oxcarbazepine Kejang fokal dan umum Dapat mencetuskan atau
Kejang tonik klonik memperburuk kejang absans dan
kejang mioklonik
Perampanel Kejang fokal dan umum
Kejang tonik klonik
Vigabatrin Kejang fokal dan spasme Efektif untuk terapi spasme
infantil infantile yang berkaitan dengan
tuberous sclerosis complex
Dapat mencetuskan atau
memperburuk kejang mioklonik
Rufinamide Kejang fokal dan
serangan drop pada
Lennox-Gastaut
Syndrome
Felbamate Kejang fokal dan
serangan drop pada
Lennox-Gastaut
Syndrome
Elisacarbazepine Kejang fokal Dapat mencetuskan atau
acetate memperburuk kejang absans dan
kejang mioklonik
Lacosamide Kejang fokal
Pregabalin Kejang fokal Dapat mencetuskan atau
memperburuk kejang mioklonik
Gabapentin Kejang fokal Dapat mencetuskan atau
memperburuk kejang mioklonik
Tiagabine Kejang fokal Dapat mencetuskan atau
memperburuk kejang absans dan
kejang mioklonik
Brivaracetam Kejang fokal
Everolimus Kejang yang berkaitan Efikasi terbaik pada kejang fokal
dengan tuberous yang berkaitan dengan tuberous
sclerosis complex sclerosis complex
Stiripentol Kejang yang berkaitan Hanya diindikasikan apabila
Dravet dikombinasikan dengan clobazam
syndrome dan asam valproate melawan
kejang tonik klonik yang berkaitan

11
Dravet
syndrome

Epilepsi yang baru terdiagnosis

Panduan terapi farmakologis diilustrasikan dalam gambar 3. Oleh karena konsumsi

AED minimal selama 2 tahun, bahkan bisa seumur hidup, maka keputusan untuk memulai

pengobatan ini memerlukan penilaian yang cermat terhadap rasio risiko-manfaat obat serta

preferensi pasien dan keluarga. Pengobatan biasanya diindikasikan bila diagnosis epilepsi

telah ditegakkan, namun pengobatan juga dapat dibenarkan setelah kejang tunggal yang tidak

memenuhi kriteria epilepsi, bila dirasa risiko kekambuhan kejang signifikan dan risiko cedera

atau konsekuensi sosial (misalnya, kehilangan pekerjaan) akibat kekambuhan kejang yang

tinggi. Sebaliknya, pengobatan mungkin tidak diperlukan pada epilepsi ringan (misalnya,

pasien dengan kejang fokal tanpa gangguan kesadaran dan tidak menimbulkan kecacatan).

12
Gambar 3. Panduan terapi farmakologis epilepsi

Pengobatan dimulai dengan AED tunggal dosis kecil, kecuali jika diperlukan efek

terapeutik segera; misalnya, untuk status epileptikus atau sering kejang. Dosis harus

ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai dosis terendah yang efektif untuk maintenance

guna meminimalkan efek samping. Sekitar 50% pasien menjadi bebas kejang pada AED

pertama dengan dosis rendah hingga sedang.

Tidak ada AED tunggal yang sangat ideal untuk semua pasien. Pemilihan AED harus

disesuaikan dengan karakteristik pasien dan faktor terkait obat (Tabel 2). Meskipun AEDs

generasi pertama seperti carbamazepine dan asam valproat tetap menjadi terapi lini pertama

13
terapi, ketersediaan AEDs yang lebih baru telah memperluas peluang untuk penyesuaian

perawatan setiap pasien menurut kebutuhannya (Tabel 3). Efikasi AEDs generasi kedua tidak

lebih baik daripada AEDs generasi pertama, tetapi beberapa obat memiliki keuntungan dalam

hal interaksi obat yang lebih sedikit dan tolerabilitas yang lebih baik. Studi oleh The

Standard versus New Antiepileptic Drugs (SANAD) membandingkan efektivitas beberapa

AEDs pada orang dewasa dan anak-anak penderita epilepsi yang baru didiagnosis.

Didapatkan bahwa untuk epilepsi fokal, carbamazepine, lamotrigin dan oxcarbazepine lebih

baik daripada topiramate dan gabapentin. Secara keseluruhan, lamotrigin sedikit lebih baik

daripada carbamazepine karena lebih sedikit pasien yang menghentikan pengobatan akibat

efek samping obat. Namun, studi ini tidak membedakan berapa banyak pasien yang

menggunakan controlled release carbamazepine dan berapa yang menggunakan immediate

release carbamazepine, padahal toleransi nya berbeda (toleransi controlled release

carbamazepine lebih baik).

Tabel 2. Faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat antiepilepsi


Faktor yang berhubungan dengan individu  Usia
 Jenis kelamin
 Etnis
 Genetik
 Gaya hidup
 Status sosial ekono
Faktor yang berhubungan dengan penyakit  Epilepsi (meliputi tipe kejang,
sindrom epilepsi, dsb)
 Etiologi
 Komorbid
 Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat Penyakit Dahulu
Faktor yang berhubungan dengan obat  Komedikasi
 Interaksi obat

14
15
Tabel 3. First-line Obat Antiepilepsi

16
Lanjutan Tabel 3. First-line Obat Antiepilepsi

17
Uji coba lainnya pada epilepsi fokal yang baru didiagnosis tidak menunjukkan

perbedaan dalam efikasi atau tolerabilitas antara controlled release carbamazepine dan AED

generasi kedua lainnya; yaitu, levetiracetam, zonisamide dan lacosamide.

Studi SANAD lainnya menemukan bahwa asam valproat lebih efektif daripada

lamotrigin dan topiramate untuk epilepsi umum dan epilepsi tidak terklasifikasi. Keunggulan

asam valproat lebih menonjol pada subkelompok dengan epilepsi umum genetik. Namun,

pedoman yang ada saat ini tidak merekomendasikan pemberian asam valproat pada wanita

yang berpotensi melahirkan anak/wanita usia subur karena asam valproate memiliki risiko

teratogenesis anatomi (misalnya neural tube defects), dan teratogenesis perilaku (misalnya

gangguan perkembangan kognitif pascakelahiran dan autisme) yang cukup tinggi.

Penatalaksanaan epilepsi pada wanita usia subur atau hamil tidak dibahas lebih lanjut dalam

tulisan ini.

Jika kejang tetap terjadi meskipun telah diberikan AED pertama dan titrasi telah

ditingkatkan ke dosis optimal yang dapat ditoleransi, tinjau kembali kepatuhan pengobatan,

ketepatan diagnosis dan ketepatan pengobatan (Gambar 3). Apabila diagnosis,dosis dan

kepatuhan pengobatan tak ada masalah, maka beralih ke monoterapi alternatif lain. Peralihan

monoterapi ini berpotensi 15% lebih baik untuk mencapai kebebasan kejang. Politerapi baru

dipertimbangkan setelah kegagalan dua atau tiga monoterapi secara berurutan, tetapi

mungkin dapat dipertimbangkan lebih awal ketika faktor prognostik menunjukkan epilepsi

sulit diobati dengan monoterapi.

Epilepsi resisten obat

Secara keseluruhan, hanya kurang dari 15% pasien yang tetap mengalami kejang

setelah uji coba pemberian dua AEDs yang sesuai. Berdasarkan pengamatan ini, the

18
International League Against Epilepsy mendefinisikan epilepsi resistan obat sebagai

"kegagalan uji coba dua AEDs yang tepat indikasi, tepat dosis yang ditoleransi, dan tepat

jadwal (baik sebagai monoterapi atau kombinasi) untuk mencapai kebebasan kejang yang

berkelanjutan” Epilepsi resistan obat dikaitkan dengan disabilitas, morbiditas dan mortalitas

yang tinggi. Segera setelah pasien dinyatakan telah gagal dua AEDs, nilai kelayakan pasien

untuk operasi epilepsi (gambar 3). Apabila pasien tidak memenuhi syarat untuk operasi

epilepsi, AED alternatif dapat dicoba. Namun, pemberian AED generasi kedua sebagai

alternatif hanya memiliki sedikit dampak pada hasil klinis secara keseluruhan, dimana

sepertiga pasien yang mengkonsumsinya maih mengalami kejang yang tidak terkontrol.

Cannabis/ganja telah dipertimbangkan sebagai alternatif setelah adanya laporan

tentang outcome yang mengesankan pada kasus epilepsi berat. Bukti ilmiah tentang

keefektifan cannabinoids/ganja pada epilepsi baru muncul belakangan ini, dari sebuah studi

eksperimental randomized, double-blind, add-on, placebo-controlled selama 14 minggu pada

subjek dravet syndrome (Epilepsi berat pada infantil). Dosis cannabidiol (cannabinoid non-

psikoaktif) 20 mg/kg/hari dikaitkan dengan penurunan median frekuensi kejang tiap bulan

dari 12,4 menjadi 5,9, dibandingkan dengan penurunan median 14,9 ke 14,1 pada kelompok

plasebo (P =0,01). Lima persen anak yang menerima cannabidiol mengalami bebas kejang,

sedangkan persentase bebas kejang pada anak yang menerima placebo adalah 0%. Efek

samping yang paling umum pada kelompok cannabidiol termasuk mengantuk, kelelahan,

diare, muntah dan penurunan nafsu makan. Perlu diperhatikan bahwa dua pertiga pasien

dalam penelitian ini juga menggunakan clobazam. Cannabidiol meningkatkan kadar serum

clobazam sebesar 60% dan metabolit aktifnya (N-desmethylclobazam) sebesar 500%,

sehingga interaksi ini mungkin

19
berkontribusi pada efektivitas dan toksisitas cannabidiol. Studi serupa juga melaporkan

cannabidiol lebih unggul daripada plasebo dalam mengurangi perburukan gejala pada pasien

dengan sindrom Lennox-Gastaut. Namun secara keseluruhan, diperlukan lebih banyak bukti

lagi sebelum cannabidiol dapat dipertimbangkan untuk pengobatan lebih lanjut epilepsi pada

populasi yang besar.

Di Australia, cannabis direklasifikasi oleh the Therapeutic Goods Administration dari

yang semula "zat terlarang" menjadi "obat yang dikendalikan" pada 1 November 2016,

sehingga memungkinkan resep perawatan epilepsi berbasis ganja meskipun belum cukup

bukti ilmiah, dengan catatan hanya diperbolehkan pada salah satu dari 3 kondisi: peresepan

resmi, akses khusus atau sebagai bagian dari uji klinis. Namun, adopsi perubahan klasifikasi

tersebut bervariasi antara negara bagian dan teritori, seperti halnya persyaratan khusus yang

berkaitan dengan resep dan kepemilikan ganja.

b. Terapi Bedah

Operasi epilepsi melibatkan reseksi atau pemutusan atau penghancuran jaringan

epilepsi. Tindakan ini adalah terapi yang paling efektif untuk pasien tertentu dengan epilepsi

yang resistan terhadap obat. Kelayakan untuk operasi ditentukan berdasarkan serangkaian

pemeriksaan, termasuk pemantauan video-EEG, MRI struktural, fluorodeoxyglucose positron

emission tomography, ictal and interictal single-photon emission computed tomography,

MRI fungsional, dan tes neuropsikologi. Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk

menggambarkan "zona epileptogenik" (yaitu, jumlah minimum korteks yang jika direseksi,

terputus atau dirusak akan mengakibatkan bebas kejang) dan menentukan risiko morbiditas

pasca operasi. Beberapa pasien juga memerlukan EEG intrakranial, bisa dengan intra-

20
operative electrocorticography atau chronic extra-operative recordings, untuk meningkatkan

lokalisasi zona epileptogenik.

Kemungkinan bebas kejang setelah operasi epilepsi tergantung pada banyak faktor,

termasuk jenis epilepsi, hasil pemeriksaan pra-bedah, patologi yang mendasari, tingkat

reseksi, dan durasi follow up. Studi oleh Wiebe dkk membagi secara acak 80 pasien dengan

epilepsi lobus temporal yang resistan terhadap obat menjadi dalam 2 kelompok: 1) kelompok

yang menerima tindakan reseksi lobus temporal anterior; dan 2) melanjutkan terapi AED.

Dalam satu tahun, 23/40 pasien yang menerima pembedahan (58%) bebas dari kejang,

sedangkan pada kelompok yang melanjutkan terapi AEDs hanya 3/40 pasien (8%) (P<0,001).

Kelompok bedah juga dilaporkan mengalami kualitas hidup yang lebih baik secara subjektif

dibandingkan dengan kelompok terapi AED. Satu pasien epilepsi dari kelompok terapi AED

meninggal karena kematian mendadak yang tidak terduga (Unexpected death); namun tidak

ada kematian yang terjadi pada kelompok yang menerima tindakan bedah. Analisis studi

menunjukkan reseksi lobus temporal anterior untuk pria berusia 35 tahun dengan epilepsi

lobus temporal yang resistan obat meningkatkan harapan hidup hingga 5 tahun (95% CI, 2.1-

9.2) dibandingkan dengan terapi AED lanjutan. Selain itu, terdapat beberapa kelebihan

tindakan bedah dibandingkan intervensi medis lainnya, diantaranya: mengeliminasi kematian

akibat penyakit jantung koroner pada individu berusia 35 tahun dan meningkatkan harapan

hidup sebesar 3,1-3,3 tahun, sedangkan pencangkokan koroner atau penggunaan b-blocker

setelah infark miokard meningkatkan harapan hidup sebesar 0,25-1,1 tahun,

Pada tahun 2003, American Academy of Neurology merekomendasikan bahwa pasien

kejang fokal yang menimbulkan disabilitas “yang telah gagal dalam uji coba AED lini

pertama harus dipertimbangkan untuk dirujuk ke pusat operasi epilepsi”. Namun, adanya

21
rekomendasi tersebut tidak menimbulkan peningkatan tindakan operasi epilepsi. Operasi

biasanya baru dipertimbangkan apabila tidak ada perbaikan setelah 20 tahun dari onset

epilepsi, meskipun telah ada bukti keefektifan operasi yang dilakukan setelah kegagalan uji

coba dua AED, didukung data yang menunjukkan bahwa durasi epilepsi yang lebih lama

berdampak buruk pada outcome pembedahan.

Ketika penyembuhan dengan pembedahan tidak memungkinkan, pembedahan

epilepsi paliatif, seperti corpus callosotomy, dapat dilakukan pada pasien tertentu, dengan

tujuan meningkatkan kualitas hidup dengan mengurangi frekuensi dan keparahan kejang.

c. Terapi lain

Salah satu terapi non-farmakologis lainnya yang tersedia untuk pasien dengan

epilepsi resistan obat adalah stimulasi nervus vagus. Tindakan ini berhasil mengurangi 50%

kejang pada setengah pasien, tetapi hanya kurang dari 5% pasien yang mengalami bebas

kejang. Stimulasi transkutan pada nervus vagus atau nervus trigeminal merupakan teknik

yang lebih baru,namun masih memerlukan studi validasi lebih lanjut.

Dua alternatif terapi neuromodulator lainnya yang dapat diterapkan pada pasien

dengan epilepsi resistan obat adalah stimulasi deep brain dari nukleus anterior talamus dan

stimulasi kortikal responsif, yang memberikan stimulasi listrik ketika aktivitas

elektrokortikografi abnormal terdeteksi melalui perangkat implant. Perawatan ini dapat

menghasilkan pengurangan kejang, tetapi jarang membuat pasien bebas kejang.

Terapi diet ketogenik terdiri dari diet ketogenik klasik dan diet Atkins yang

dimodifikasi. Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, protein yang cukup, diet rendah

karbohidrat yang merupakan terapi lini pertama untuk glucose transporter type 1 deficiency

syndrome dan defisiensi kompleks piruvat dehydrogenase. Diet ini terbukti efektif untuk

22
epilepsi resisten obat pada anak. Dalam uji coba secara acak, 28/73 anak yang menjalani diet

(38%) mengalami pengurangan kejang >50% pada follow-up 3 bulan dibandingkan

kelompok kontrol sebanyak 4/72 orang (6%) (P <0,0001). Lima anak pada kelompok diet

(7%) mengalami penurunan kejang > 90% dibandingkan kelompok kontrol (P 0,06). Diet

klasik dikaitkan dengan kepatuhan jangka panjang yang buruk, terutama pada orang dewasa.

Sementara itu, diet yang lebih fleksibel seperti diet Atkins yang dimodifikasi, dimana

konsumsi karbohidrat diperbolehkan lebih banyak, dikaitkan dengan peningkatan kepatuhan.

Oleh karena itu, diet ini dapat diterapkan dalam pengobatan status epilepticus refrakter, tetapi

pengamatan awal perlu dibuktikan dengan studi lebih lanjut.

5. Target Terapi

Farmakogenomik.

Farmakogenomik adalah studi tentang variasi gen yang mengkode enzim yang

berperan dalam metabolisme obat, transporter dan target obat, serta bagaimana variasi gen ini

memengaruhi disposisi dan respons obat. Ada kemajuan besar dalam mengidentifikasi

prediktor genomik reaksi AEDs. Pada penduduk Han Cina dan Asia Selatan lainnya, HLA-

B*1502 berkaitan erat dengan risiko toksik epidermal nekrolisis dan Stevens-Johnson

Syndrome yang diinduksi karbamazepin. Oleh karenanya, skrining HLA-B*1502 sangat

dianjurkan pada individu berisiko tinggi sebelum memulai karbamazepin (misalnya, populasi

Cina, Thailand, India, Melayu, Filipina, dan Indonesia). HLA-A*3101 juga dikaitkan dengan

peningkatan risiko reaksi kulit yang diinduksi karbamazepin, termasuk eksantema

makulopapular, Stevens-Johnsons Syndrome, toksik epidermal nekrolisis, serta reaksi obat

dengan eosinophilia dan gejala sistemik. Berbeda dengan HLA-B*1502, HLA-A*3101 umum

ditemukan di sebagian besar kelompok etnis, termasuk populasi Eropa dan Asia. Namun,

23
predictive value dari HLA-A*3101 kurang dari HLA-B*1502, dan kegunaan klinis skrining

HLA-A*3101 tidak jelas.

Fenitoin dimetabolisme terutama oleh sitokrom P450 (CYP) enzim 2C9. Dalam

sebuah penelitian dari Jepang, Malaysia dan Taiwan, varian CYP2C, khususnya CYP2C9*3,

menyebabkan pengurangan 93-95% clearance fenitoin, sehingga meningkatkan risiko reaksi

kulit parah diinduksi fenitoin. Tidak diketahui apakah reaksi ini dapat dicegah melalui dosis

titrasi fenitoin yang lebih lambat.

Sampai saat ini, upaya untuk mengidentifikasi prediktor genomik untuk mengetahui

efikasi AEDs sebagian besar tidak berhasil.

6. Pengobatan presisi

Memberikan perawatan yang menargetkan penyebab molekuler suatu penyakit telah

menjadi tujuan yang telah lama dicari dalam dunia kedokteran. Epilepsi mempunyai peluang

yang menjanjikan untuk pengobatan presisi yang menargetkan molekuler, karena banyaknya

penemuan gen, ketersediaan model eksperimental in vitro dan in vivo untuk skrining obat,

dan uji kelayakan terhadap agen obat baru yang hemat biaya.

Untuk beberapa genetik epilepsi, pengobatan presisi sudah menjadi kenyataan.

Contoh utama adalah glucose transporter type 1 deficiency syndrome, dimana mutasi

dominan pada SLC2A1 mengakibatkan gangguan penyerapan glukosa oleh otak. Pasien-

pasien ini merespons diet ketogenik, yang menyediakan substrat energi alternatif bagi otak.

Contoh lain adalah epilepsi pyridoxine-dependent disebabkan oleh mutasi resesif pada

ALDH7A1, yang memerlukan pengobatan segera dengan piridoksin.

24
Mengidentifikasi penyebab molekuler epilepsi juga memungkinkan pencegahan atau

minimalisasi efek samping AEDs. Pada epilepsi SCN1A-related, AEDs yang memblokir

kanal natrium, seperti carbamazepine, dapat memperburuk kejang.Pada epilepsi karena

mutasi POLG, tidak direkomendasikan pemberian valproat karena peningkatan risiko gagal

hati.

7. Kematian Mendadak Tidak Terduga (Sudden Unexpected Death) pada

Epilepsi

Individu dengan epilepsi berisiko lebih tinggi terhadap mortalitas premature, dengan

penyebab kematian mendadak terkait kejang diantaranya adalah epilepsi, status epilepticus,

jatuh, tenggelam, bunuh diri, dan kecelakaan lalu lintas. Sudden Unexpected Death menjadi

penyebab utama kematian pada beberapa populasi epilepsi, dan menjadi penyebab neurologis

berujung kematian tertinggi kedua setelah stroke. Kematian mendadak tersebut didefinisikan

sebagai ‘kematian mendadak, tidak terduga, dengan atau tanpa adanya saksi mata,

nontraumatic dan nondrowning pada pasien dengan epilepsi, dengan atau tanpa adanya bukti

kejang dan mengeksklusi pasien yang memiliki riwayat status epilepticus. Serta pemeriksaan

post-mortem tidak menunjukkan adanya penyebab toksikologi atau penyebab anatomis dari

kematian’.

Dalam systematic review terbaru dari studi kelas I, insiden keseluruhan sudden

Unexpected Death pada epilepsi adalah 0,58/1000 pasien-tahun (95% CI, 0,31-1,08), lebih

rendah pada anak-anak daripada orang dewasa. Kejang tonik-klonik yang tidak terkontrol

adalah faktor risiko terkuat untuk kematian mendadak tak terduga pada epilepsi, terutama

saat tidur. Faktor risiko lain termasuk jenis kelamin laki-laki, epilepsi yang berlangsung lama

dan onset usia muda. Pasien dan keluarga mereka harus diberitahu tentang kematian

25
mendadak yang tidak terduga pada epilepsi dan pentingnya penyesuaian gaya hidup

(misalnya, kepatuhan AEDs yang optimal) untuk meminimalkan risiko yang terkait dengan

kekambuhan kejang.

Ada beberapa bukti bahwa risiko sudden unexpected death pada epilepsi berkurang

dengan pemantauan pasien saat tidur, penggunaan bantal pengaman. Sementara itu, nilai

potensial perangkat pendeteksi kejang untuk mencegah sudden unexpected death pada

epilepsi masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut.

8. Kesimpulan

Pengobatan epilepsi terutama bergantung pada terapi AEDs, yang efektif mengontrol

kejang pada dua pertiga pasien epilepsi. Kedua generasi AED telah memperluas peluang

untuk penyesuaian perawatan setiap pasien menurut kebutuhannya. Akan tetapi, beban

epilepsi resistan obat, dengan risiko terkait disabilitas, morbiditas dan mortalitas, tetap tidak

berubah selama beberapa dekade. Sebagian individu yang resistan terhadap obat dapat

mencapai bebas kejang dengan operasi epilepsi, yang harus dipertimbangkan segera setelah

dua AED gagal. Pada individu lain, kontrol kejang dapat ditingkatkan dengan menggunakan

AED alternatif atau terapi non-farmakologis, tetapi terapi pilihan ini jarang menghasilkan

bebas kejang. Harapan untuk mengurangi proporsi pasien dengan kejang yang tidak

terkontrol bergantung pada kemajuan terapeutik di masa depan, termasuk terapi presisi yang

menargetkan mekanisme molekuler yang mendasarinya.

26
BAB III

ANALISIS JURNAL

1. Kelebihan Jurnal

 Judul disampaikan secara informatif dan ringkas sesuai dengan isi dari

tinjauan yang dibahas.

 Latar belakang dan tujuan dari jurnal ini dijabarkan secara jelas dan sesuai

dengan isi jurnal yang dibahas.

 Jurnal ini memberikan ulasan lengkap mengenai kelebihan dan kekurangan

obat anti epilepsi dan modalitas terapi epilepsi lainnya. Beberapa informasi

disajikan dalam tabel ringkas yang memudahkan pembaca mencari informasi

terkait.

 Panduan terapi farmakologis epilepsi dijelaskan secara skematis dan

sistematis

 Jurnal ini menyandingkan klasifikasi lama epilepsi dengan klasifikasi baru

epilepsi

 Jurnal ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi terbaru dan penambah

wawasan untuk praktik klinis bagi tenaga kesehatan terkait.

27
2. Kekurangan Jurnal

 Jurnal ini tidak mencantumkan abstrak.

 Keywords pencarian studi yang diikutkan dalam review ini tidak dijelaskan.

 Jurnal ini tidak mencantumkan definisi dari beberapa terminologi medis yang

digunakan, seperti sindrom epilepsi, controlled release carbamazepine,

immediate release carbamazepine, kejang terkontrol, dsb. Hal tersebut

menyulitkan pembaca untuk mengerti isi jurnal.

 Jurnal ini membedakan klasifikasi tipe kejang dengan klasifikasi epilepsi,

namun perbedaan kedua klasifikasi tersebut tidak diuraikan lebih jauh,

sehingga rentan menimbulkan kesalahan persepsi bagi pembaca.

 Jurnal ini menyebutkan salah satu kriteria diagnosis epilepsi adalah episode

tunggal kejang (atau refleks) tanpa provokasi dengan kemungkinan rekurensi

yang tinggi. Akan tetapi, tidak dijelaskan karakteristik kejang yang dikatakan

memiliki kemungkinan rekurensi tinggi. Poin penting lainnya yang tidak

dijelaskan dalam jurnal ini adalah faktor prognostik untuk menentukan apakah

epilepsi dapat diberikan politerapi atau monoterapi.

 Jurnal ini adalah jurnal review dan metode penelitian yang digunakan pada

jurnal ini termasuk dalam jenis jurnal deskriptif sehingga keabsahannya tidak

sebaik studi kuantitatif.

28
BAB IV

CRITICAL APPRAISAL

A. Apakah Hasil dari Review Valid?

1. Apakah jawaban Ya (√)

pertanyaan yang Review ini memberikan pembahasan mengenai jenis

dicari penulis kejang dan epilepsi berdasarkan klasifikasi the new

terjawab dalam International League Against Epilepsy yang diperbaharui.

tinjauan ini? Selain itu, review ini juga membahas manajemen terbaru

epilepsi pada anak-anak dan orang dewasa.

2. Apakah penelitian- Ya (√)

penelitian relevan Artikel ini mengambil referensi studi dengan topik

digunakan dalam klasifikasi dan manajemen epilepsi terbaru. Akan tetapi,

penelitian ini? jurnal ini tidak mencantumkan keywords pencarian referensi,

sehingga relevansi studi yang diikutkan diketahui hanya dari

pembahasan review.

3. Apakah terdapat Ya (√)

kriteria dalam Jurnal review ini menggunakan artikel, review dan

memilih artikel yang pedoman yang ditemukan melalui database PubMed

akan digunakan? sampai dengan 31 Agustus 2017. Akan tetapi, tidak

29
dijelaskan secara rinci kriteria dari jurnal yang digunakan

sebagai referensi.

4. Apakah studi yang Ya(√)

digunakan dapat Berbagai studi yang digunakan dalam tinjauan ini

menjawab pertanyaan membantu peneliti menjawab pertanyaan klasifikasi dan

yang dicari penulis manajemen epilepsi.

dalam tinjauan ini?

5. Apakah studi-studi Ya (√)

tersebut memiliki
Berbagai studi yang digunakan dalam tinjauan ini
hasil yang sama?
memiliki hasil yang saling mendukung dan saling

melengkapi sehingga review jurnal ini dapat

menyimpulkan dengan baik apa saja yang

direkomendasikan untuk penatalaksanaan epilepsi

B. Apakah hasil studi bisa di aplikasikan ke masyarakat?

Apakah populasi didalam studi sama Ya (√)

dengan populasi ditempat saya? Populasi didalam studi ini sangat

luas, mencakup masyarakat eropa dan

asia, termasuk Indonesia.

30
Apakah hasil studi bisa digunakan untuk Ya (√)

konseling pasien saya? Penerapan hasil studi dapat

diaplikasikan secara umum di

Indonesia terkait edukasi tentang

manajemen epilepsi

Kesimpulan

Hasil atau rekomendasi adalah Valid Ya (√)

(form A)

Hasil relevan dengan praktek nyata Ya (√)

(form B)

31
DAFTAR PUSTAKA

Perucca, P., Scheffer, I.E. and Kiley, M. (2018) ‘The Management of Epilepsy in

Children and Adults’, Medical Journal of Australia, 208(5), pp.226-233.

Available at: https://doi.org/10.5694/mja17.00951

32

Anda mungkin juga menyukai