JOURNAL READING
Oleh:
Pembimbing:
BAGIAN NEUROLOGI
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
dengan berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan journal reading yang
berjudul “The management of epilepsy in children and adults”. Journal reading ini
saya susun dalam rangka memenuhi tugas dalam proses mengikuti kepaniteraan
klinik di bagian neurologi di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram. Ucapan terima kasih kepada yang dr. Ilsa
Hunaifi, Sp.S telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam
menyusun journal Reading ini. Saya berharap penyusunan journal reading ini dapat
berguna dalam meningkatkan pemahaman kita semua.
Saya menyadari bahwa journal reading ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
laporan ini. Semoga Tuhan selalu memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua di
dalam melaksanakan tugas dan menerima segala amal ibadah kita.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... 1
2
BAB I
IDENTITAS JURNAL
Halaman : 226-233
3
BAB II
ISI JURNAL
Intisari
4
1. Pendahuluan
Epilepsi adalah penyakit yang menyerang otak dan ditandai dengan bangkitan
kejang. Penyakit ini merupakan penyakit neurologis paling umum yang dapat
menyerang segala usia dan etnis. Pada negara industri, prevalensi epilepsi mencapai
Penyakit ini tidak hanya berdampak pada fisik, melainkan juga berdampak
pada kesejahteraan sosial dan psikologis penderitanya. Studi oleh Global Burden of
Disease pada tahun 2010 menyebutkan bahwa epilepsi berat menempati peringkat
keempat di antara 220 gangguan kesehatan dalam hal severitas dampak yang
ditimbulkan.
Minimal dua episode kejang tanpa provokasi dengan jarak antar kejang > 24
jam; atau
Setelah satu episode kejang (atau refleks) tanpa provokasi dan terdapat ≥60%
sindrom epilepsi. Klasifikasi tersebut berguna untuk pemilihan terapi yang tepat.
5
Oleh karena itu, review ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis kejang dan epilepsi
diperbaharui. Selain itu, review ini juga membahas manajemen terbaru epilepsi pada
Studi yang diikutkan dalam review ini adalah artikel, review dan pedoman
yang ditemukan melalui database PubMed sampai dengan 31 Agustus 2017. Selain
itu, dilakukan juga identifikasi publikasi yang relevan dari daftar pustaka studi yang
terpilih tersebut.
(sumber terbatas dari jaringan pada satu hemisfer otak); kejang umum (melibatkan
jaringan otak secara bilateral); dan kejang dengan onset yang tidak diketahui (ketika
Kejang fokal dapat dibedakan lagi menjadi kejang fokal tanpa gangguan
kesadaran (sebelumnya dikenal sebagai kejang parsial sederhana) dan kejang fokal
klonik dan spasme epileptik. Sementara itu, karakteristik non-motorik termasuk fitur
6
(sebelumnya dikenal kejang umum sekunder) adalah kejang tonik-klonik yang terjadi
Selain itu, kejang dengan onset yang tidak diketahui juga dibagi berdasarkan
yaitu " grup tidak terklasifikasi", yang termasuk didalamnya adalah kejang dengan
7
Gambar 1. Klasifikasi Tipe Kejang
level. Level pertama dimulai dengan menentukan tipe kejang. Kemudian level kedua
menentukan tipe epilepsi, yang meliputi epilepsi fokal, umum, gabungan fokal dan
umum, dan epilepsi yang tidak diketahui. Terakhir, level ketiga adalah diagnosis
8
Gambar 2. Klasifikasi Epilepsi
epilepsi absans pada anak, epilepsi absans juvenile, epilepsi mioklonik juvenile dan
kejang umum tonik-klonik. Sindrom ini juga dapat disebut epilepsi umum genetik,
karena ada bukti klinis yang kuat bahwa etiologinya adalah genetik.
4. Manajemen Epilepsi
a. Terapi farmakologi
9
terminologi “anti kejang” akan lebih akurat dikarenakan obat-obatan ini menekan gejala
Tujuan terapi AED adalah untuk memberikan kualitas hidup terbaik bagi penderita
epilepsi dengan memaksimalkan kontrol kejang dan meminimalkan toksisitas obat. Sekitar
dua pertiga penderita epilepsi yang mengkonsumsi AED menjadi bebas kejang.
10
serangan drop yang terkait dengan
Lennox-Gastaut Syndrome.
Tidak efektif pada kejang absans
Zonisamide Sebagian besar tipe Efikasi baik untuk kejang fokal.
kejang Tidak efektif untuk kejang umum.
Oxcarbazepine Kejang fokal dan umum Dapat mencetuskan atau
Kejang tonik klonik memperburuk kejang absans dan
kejang mioklonik
Perampanel Kejang fokal dan umum
Kejang tonik klonik
Vigabatrin Kejang fokal dan spasme Efektif untuk terapi spasme
infantil infantile yang berkaitan dengan
tuberous sclerosis complex
Dapat mencetuskan atau
memperburuk kejang mioklonik
Rufinamide Kejang fokal dan
serangan drop pada
Lennox-Gastaut
Syndrome
Felbamate Kejang fokal dan
serangan drop pada
Lennox-Gastaut
Syndrome
Elisacarbazepine Kejang fokal Dapat mencetuskan atau
acetate memperburuk kejang absans dan
kejang mioklonik
Lacosamide Kejang fokal
Pregabalin Kejang fokal Dapat mencetuskan atau
memperburuk kejang mioklonik
Gabapentin Kejang fokal Dapat mencetuskan atau
memperburuk kejang mioklonik
Tiagabine Kejang fokal Dapat mencetuskan atau
memperburuk kejang absans dan
kejang mioklonik
Brivaracetam Kejang fokal
Everolimus Kejang yang berkaitan Efikasi terbaik pada kejang fokal
dengan tuberous yang berkaitan dengan tuberous
sclerosis complex sclerosis complex
Stiripentol Kejang yang berkaitan Hanya diindikasikan apabila
Dravet dikombinasikan dengan clobazam
syndrome dan asam valproate melawan
kejang tonik klonik yang berkaitan
11
Dravet
syndrome
AED minimal selama 2 tahun, bahkan bisa seumur hidup, maka keputusan untuk memulai
pengobatan ini memerlukan penilaian yang cermat terhadap rasio risiko-manfaat obat serta
preferensi pasien dan keluarga. Pengobatan biasanya diindikasikan bila diagnosis epilepsi
telah ditegakkan, namun pengobatan juga dapat dibenarkan setelah kejang tunggal yang tidak
memenuhi kriteria epilepsi, bila dirasa risiko kekambuhan kejang signifikan dan risiko cedera
atau konsekuensi sosial (misalnya, kehilangan pekerjaan) akibat kekambuhan kejang yang
tinggi. Sebaliknya, pengobatan mungkin tidak diperlukan pada epilepsi ringan (misalnya,
pasien dengan kejang fokal tanpa gangguan kesadaran dan tidak menimbulkan kecacatan).
12
Gambar 3. Panduan terapi farmakologis epilepsi
Pengobatan dimulai dengan AED tunggal dosis kecil, kecuali jika diperlukan efek
terapeutik segera; misalnya, untuk status epileptikus atau sering kejang. Dosis harus
ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai dosis terendah yang efektif untuk maintenance
guna meminimalkan efek samping. Sekitar 50% pasien menjadi bebas kejang pada AED
Tidak ada AED tunggal yang sangat ideal untuk semua pasien. Pemilihan AED harus
disesuaikan dengan karakteristik pasien dan faktor terkait obat (Tabel 2). Meskipun AEDs
generasi pertama seperti carbamazepine dan asam valproat tetap menjadi terapi lini pertama
13
terapi, ketersediaan AEDs yang lebih baru telah memperluas peluang untuk penyesuaian
perawatan setiap pasien menurut kebutuhannya (Tabel 3). Efikasi AEDs generasi kedua tidak
lebih baik daripada AEDs generasi pertama, tetapi beberapa obat memiliki keuntungan dalam
hal interaksi obat yang lebih sedikit dan tolerabilitas yang lebih baik. Studi oleh The
AEDs pada orang dewasa dan anak-anak penderita epilepsi yang baru didiagnosis.
Didapatkan bahwa untuk epilepsi fokal, carbamazepine, lamotrigin dan oxcarbazepine lebih
baik daripada topiramate dan gabapentin. Secara keseluruhan, lamotrigin sedikit lebih baik
daripada carbamazepine karena lebih sedikit pasien yang menghentikan pengobatan akibat
efek samping obat. Namun, studi ini tidak membedakan berapa banyak pasien yang
14
15
Tabel 3. First-line Obat Antiepilepsi
16
Lanjutan Tabel 3. First-line Obat Antiepilepsi
17
Uji coba lainnya pada epilepsi fokal yang baru didiagnosis tidak menunjukkan
perbedaan dalam efikasi atau tolerabilitas antara controlled release carbamazepine dan AED
Studi SANAD lainnya menemukan bahwa asam valproat lebih efektif daripada
lamotrigin dan topiramate untuk epilepsi umum dan epilepsi tidak terklasifikasi. Keunggulan
asam valproat lebih menonjol pada subkelompok dengan epilepsi umum genetik. Namun,
pedoman yang ada saat ini tidak merekomendasikan pemberian asam valproat pada wanita
yang berpotensi melahirkan anak/wanita usia subur karena asam valproate memiliki risiko
teratogenesis anatomi (misalnya neural tube defects), dan teratogenesis perilaku (misalnya
Penatalaksanaan epilepsi pada wanita usia subur atau hamil tidak dibahas lebih lanjut dalam
tulisan ini.
Jika kejang tetap terjadi meskipun telah diberikan AED pertama dan titrasi telah
ditingkatkan ke dosis optimal yang dapat ditoleransi, tinjau kembali kepatuhan pengobatan,
ketepatan diagnosis dan ketepatan pengobatan (Gambar 3). Apabila diagnosis,dosis dan
kepatuhan pengobatan tak ada masalah, maka beralih ke monoterapi alternatif lain. Peralihan
monoterapi ini berpotensi 15% lebih baik untuk mencapai kebebasan kejang. Politerapi baru
dipertimbangkan setelah kegagalan dua atau tiga monoterapi secara berurutan, tetapi
mungkin dapat dipertimbangkan lebih awal ketika faktor prognostik menunjukkan epilepsi
Secara keseluruhan, hanya kurang dari 15% pasien yang tetap mengalami kejang
setelah uji coba pemberian dua AEDs yang sesuai. Berdasarkan pengamatan ini, the
18
International League Against Epilepsy mendefinisikan epilepsi resistan obat sebagai
"kegagalan uji coba dua AEDs yang tepat indikasi, tepat dosis yang ditoleransi, dan tepat
jadwal (baik sebagai monoterapi atau kombinasi) untuk mencapai kebebasan kejang yang
berkelanjutan” Epilepsi resistan obat dikaitkan dengan disabilitas, morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. Segera setelah pasien dinyatakan telah gagal dua AEDs, nilai kelayakan pasien
untuk operasi epilepsi (gambar 3). Apabila pasien tidak memenuhi syarat untuk operasi
epilepsi, AED alternatif dapat dicoba. Namun, pemberian AED generasi kedua sebagai
alternatif hanya memiliki sedikit dampak pada hasil klinis secara keseluruhan, dimana
sepertiga pasien yang mengkonsumsinya maih mengalami kejang yang tidak terkontrol.
tentang outcome yang mengesankan pada kasus epilepsi berat. Bukti ilmiah tentang
keefektifan cannabinoids/ganja pada epilepsi baru muncul belakangan ini, dari sebuah studi
subjek dravet syndrome (Epilepsi berat pada infantil). Dosis cannabidiol (cannabinoid non-
psikoaktif) 20 mg/kg/hari dikaitkan dengan penurunan median frekuensi kejang tiap bulan
dari 12,4 menjadi 5,9, dibandingkan dengan penurunan median 14,9 ke 14,1 pada kelompok
plasebo (P =0,01). Lima persen anak yang menerima cannabidiol mengalami bebas kejang,
sedangkan persentase bebas kejang pada anak yang menerima placebo adalah 0%. Efek
samping yang paling umum pada kelompok cannabidiol termasuk mengantuk, kelelahan,
diare, muntah dan penurunan nafsu makan. Perlu diperhatikan bahwa dua pertiga pasien
dalam penelitian ini juga menggunakan clobazam. Cannabidiol meningkatkan kadar serum
19
berkontribusi pada efektivitas dan toksisitas cannabidiol. Studi serupa juga melaporkan
cannabidiol lebih unggul daripada plasebo dalam mengurangi perburukan gejala pada pasien
dengan sindrom Lennox-Gastaut. Namun secara keseluruhan, diperlukan lebih banyak bukti
lagi sebelum cannabidiol dapat dipertimbangkan untuk pengobatan lebih lanjut epilepsi pada
yang semula "zat terlarang" menjadi "obat yang dikendalikan" pada 1 November 2016,
sehingga memungkinkan resep perawatan epilepsi berbasis ganja meskipun belum cukup
bukti ilmiah, dengan catatan hanya diperbolehkan pada salah satu dari 3 kondisi: peresepan
resmi, akses khusus atau sebagai bagian dari uji klinis. Namun, adopsi perubahan klasifikasi
tersebut bervariasi antara negara bagian dan teritori, seperti halnya persyaratan khusus yang
b. Terapi Bedah
epilepsi. Tindakan ini adalah terapi yang paling efektif untuk pasien tertentu dengan epilepsi
yang resistan terhadap obat. Kelayakan untuk operasi ditentukan berdasarkan serangkaian
menggambarkan "zona epileptogenik" (yaitu, jumlah minimum korteks yang jika direseksi,
terputus atau dirusak akan mengakibatkan bebas kejang) dan menentukan risiko morbiditas
pasca operasi. Beberapa pasien juga memerlukan EEG intrakranial, bisa dengan intra-
20
operative electrocorticography atau chronic extra-operative recordings, untuk meningkatkan
Kemungkinan bebas kejang setelah operasi epilepsi tergantung pada banyak faktor,
termasuk jenis epilepsi, hasil pemeriksaan pra-bedah, patologi yang mendasari, tingkat
reseksi, dan durasi follow up. Studi oleh Wiebe dkk membagi secara acak 80 pasien dengan
epilepsi lobus temporal yang resistan terhadap obat menjadi dalam 2 kelompok: 1) kelompok
yang menerima tindakan reseksi lobus temporal anterior; dan 2) melanjutkan terapi AED.
Dalam satu tahun, 23/40 pasien yang menerima pembedahan (58%) bebas dari kejang,
sedangkan pada kelompok yang melanjutkan terapi AEDs hanya 3/40 pasien (8%) (P<0,001).
Kelompok bedah juga dilaporkan mengalami kualitas hidup yang lebih baik secara subjektif
dibandingkan dengan kelompok terapi AED. Satu pasien epilepsi dari kelompok terapi AED
meninggal karena kematian mendadak yang tidak terduga (Unexpected death); namun tidak
ada kematian yang terjadi pada kelompok yang menerima tindakan bedah. Analisis studi
menunjukkan reseksi lobus temporal anterior untuk pria berusia 35 tahun dengan epilepsi
lobus temporal yang resistan obat meningkatkan harapan hidup hingga 5 tahun (95% CI, 2.1-
9.2) dibandingkan dengan terapi AED lanjutan. Selain itu, terdapat beberapa kelebihan
akibat penyakit jantung koroner pada individu berusia 35 tahun dan meningkatkan harapan
hidup sebesar 3,1-3,3 tahun, sedangkan pencangkokan koroner atau penggunaan b-blocker
kejang fokal yang menimbulkan disabilitas “yang telah gagal dalam uji coba AED lini
pertama harus dipertimbangkan untuk dirujuk ke pusat operasi epilepsi”. Namun, adanya
21
rekomendasi tersebut tidak menimbulkan peningkatan tindakan operasi epilepsi. Operasi
biasanya baru dipertimbangkan apabila tidak ada perbaikan setelah 20 tahun dari onset
epilepsi, meskipun telah ada bukti keefektifan operasi yang dilakukan setelah kegagalan uji
coba dua AED, didukung data yang menunjukkan bahwa durasi epilepsi yang lebih lama
epilepsi paliatif, seperti corpus callosotomy, dapat dilakukan pada pasien tertentu, dengan
tujuan meningkatkan kualitas hidup dengan mengurangi frekuensi dan keparahan kejang.
c. Terapi lain
Salah satu terapi non-farmakologis lainnya yang tersedia untuk pasien dengan
epilepsi resistan obat adalah stimulasi nervus vagus. Tindakan ini berhasil mengurangi 50%
kejang pada setengah pasien, tetapi hanya kurang dari 5% pasien yang mengalami bebas
kejang. Stimulasi transkutan pada nervus vagus atau nervus trigeminal merupakan teknik
Dua alternatif terapi neuromodulator lainnya yang dapat diterapkan pada pasien
dengan epilepsi resistan obat adalah stimulasi deep brain dari nukleus anterior talamus dan
Terapi diet ketogenik terdiri dari diet ketogenik klasik dan diet Atkins yang
dimodifikasi. Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, protein yang cukup, diet rendah
karbohidrat yang merupakan terapi lini pertama untuk glucose transporter type 1 deficiency
syndrome dan defisiensi kompleks piruvat dehydrogenase. Diet ini terbukti efektif untuk
22
epilepsi resisten obat pada anak. Dalam uji coba secara acak, 28/73 anak yang menjalani diet
kelompok kontrol sebanyak 4/72 orang (6%) (P <0,0001). Lima anak pada kelompok diet
(7%) mengalami penurunan kejang > 90% dibandingkan kelompok kontrol (P 0,06). Diet
klasik dikaitkan dengan kepatuhan jangka panjang yang buruk, terutama pada orang dewasa.
Sementara itu, diet yang lebih fleksibel seperti diet Atkins yang dimodifikasi, dimana
Oleh karena itu, diet ini dapat diterapkan dalam pengobatan status epilepticus refrakter, tetapi
5. Target Terapi
Farmakogenomik.
Farmakogenomik adalah studi tentang variasi gen yang mengkode enzim yang
berperan dalam metabolisme obat, transporter dan target obat, serta bagaimana variasi gen ini
memengaruhi disposisi dan respons obat. Ada kemajuan besar dalam mengidentifikasi
prediktor genomik reaksi AEDs. Pada penduduk Han Cina dan Asia Selatan lainnya, HLA-
B*1502 berkaitan erat dengan risiko toksik epidermal nekrolisis dan Stevens-Johnson
dianjurkan pada individu berisiko tinggi sebelum memulai karbamazepin (misalnya, populasi
Cina, Thailand, India, Melayu, Filipina, dan Indonesia). HLA-A*3101 juga dikaitkan dengan
dengan eosinophilia dan gejala sistemik. Berbeda dengan HLA-B*1502, HLA-A*3101 umum
ditemukan di sebagian besar kelompok etnis, termasuk populasi Eropa dan Asia. Namun,
23
predictive value dari HLA-A*3101 kurang dari HLA-B*1502, dan kegunaan klinis skrining
Fenitoin dimetabolisme terutama oleh sitokrom P450 (CYP) enzim 2C9. Dalam
sebuah penelitian dari Jepang, Malaysia dan Taiwan, varian CYP2C, khususnya CYP2C9*3,
kulit parah diinduksi fenitoin. Tidak diketahui apakah reaksi ini dapat dicegah melalui dosis
Sampai saat ini, upaya untuk mengidentifikasi prediktor genomik untuk mengetahui
6. Pengobatan presisi
menjadi tujuan yang telah lama dicari dalam dunia kedokteran. Epilepsi mempunyai peluang
yang menjanjikan untuk pengobatan presisi yang menargetkan molekuler, karena banyaknya
penemuan gen, ketersediaan model eksperimental in vitro dan in vivo untuk skrining obat,
dan uji kelayakan terhadap agen obat baru yang hemat biaya.
Contoh utama adalah glucose transporter type 1 deficiency syndrome, dimana mutasi
dominan pada SLC2A1 mengakibatkan gangguan penyerapan glukosa oleh otak. Pasien-
pasien ini merespons diet ketogenik, yang menyediakan substrat energi alternatif bagi otak.
Contoh lain adalah epilepsi pyridoxine-dependent disebabkan oleh mutasi resesif pada
24
Mengidentifikasi penyebab molekuler epilepsi juga memungkinkan pencegahan atau
minimalisasi efek samping AEDs. Pada epilepsi SCN1A-related, AEDs yang memblokir
mutasi POLG, tidak direkomendasikan pemberian valproat karena peningkatan risiko gagal
hati.
Epilepsi
Individu dengan epilepsi berisiko lebih tinggi terhadap mortalitas premature, dengan
penyebab kematian mendadak terkait kejang diantaranya adalah epilepsi, status epilepticus,
jatuh, tenggelam, bunuh diri, dan kecelakaan lalu lintas. Sudden Unexpected Death menjadi
penyebab utama kematian pada beberapa populasi epilepsi, dan menjadi penyebab neurologis
berujung kematian tertinggi kedua setelah stroke. Kematian mendadak tersebut didefinisikan
sebagai ‘kematian mendadak, tidak terduga, dengan atau tanpa adanya saksi mata,
nontraumatic dan nondrowning pada pasien dengan epilepsi, dengan atau tanpa adanya bukti
kejang dan mengeksklusi pasien yang memiliki riwayat status epilepticus. Serta pemeriksaan
post-mortem tidak menunjukkan adanya penyebab toksikologi atau penyebab anatomis dari
kematian’.
Dalam systematic review terbaru dari studi kelas I, insiden keseluruhan sudden
Unexpected Death pada epilepsi adalah 0,58/1000 pasien-tahun (95% CI, 0,31-1,08), lebih
rendah pada anak-anak daripada orang dewasa. Kejang tonik-klonik yang tidak terkontrol
adalah faktor risiko terkuat untuk kematian mendadak tak terduga pada epilepsi, terutama
saat tidur. Faktor risiko lain termasuk jenis kelamin laki-laki, epilepsi yang berlangsung lama
dan onset usia muda. Pasien dan keluarga mereka harus diberitahu tentang kematian
25
mendadak yang tidak terduga pada epilepsi dan pentingnya penyesuaian gaya hidup
(misalnya, kepatuhan AEDs yang optimal) untuk meminimalkan risiko yang terkait dengan
kekambuhan kejang.
Ada beberapa bukti bahwa risiko sudden unexpected death pada epilepsi berkurang
dengan pemantauan pasien saat tidur, penggunaan bantal pengaman. Sementara itu, nilai
potensial perangkat pendeteksi kejang untuk mencegah sudden unexpected death pada
8. Kesimpulan
Pengobatan epilepsi terutama bergantung pada terapi AEDs, yang efektif mengontrol
kejang pada dua pertiga pasien epilepsi. Kedua generasi AED telah memperluas peluang
untuk penyesuaian perawatan setiap pasien menurut kebutuhannya. Akan tetapi, beban
epilepsi resistan obat, dengan risiko terkait disabilitas, morbiditas dan mortalitas, tetap tidak
berubah selama beberapa dekade. Sebagian individu yang resistan terhadap obat dapat
mencapai bebas kejang dengan operasi epilepsi, yang harus dipertimbangkan segera setelah
dua AED gagal. Pada individu lain, kontrol kejang dapat ditingkatkan dengan menggunakan
AED alternatif atau terapi non-farmakologis, tetapi terapi pilihan ini jarang menghasilkan
bebas kejang. Harapan untuk mengurangi proporsi pasien dengan kejang yang tidak
terkontrol bergantung pada kemajuan terapeutik di masa depan, termasuk terapi presisi yang
26
BAB III
ANALISIS JURNAL
1. Kelebihan Jurnal
Judul disampaikan secara informatif dan ringkas sesuai dengan isi dari
Latar belakang dan tujuan dari jurnal ini dijabarkan secara jelas dan sesuai
obat anti epilepsi dan modalitas terapi epilepsi lainnya. Beberapa informasi
terkait.
sistematis
epilepsi
Jurnal ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi terbaru dan penambah
27
2. Kekurangan Jurnal
Keywords pencarian studi yang diikutkan dalam review ini tidak dijelaskan.
Jurnal ini tidak mencantumkan definisi dari beberapa terminologi medis yang
Jurnal ini menyebutkan salah satu kriteria diagnosis epilepsi adalah episode
yang tinggi. Akan tetapi, tidak dijelaskan karakteristik kejang yang dikatakan
dijelaskan dalam jurnal ini adalah faktor prognostik untuk menentukan apakah
Jurnal ini adalah jurnal review dan metode penelitian yang digunakan pada
jurnal ini termasuk dalam jenis jurnal deskriptif sehingga keabsahannya tidak
28
BAB IV
CRITICAL APPRAISAL
tinjauan ini? Selain itu, review ini juga membahas manajemen terbaru
pembahasan review.
29
dijelaskan secara rinci kriteria dari jurnal yang digunakan
sebagai referensi.
tersebut memiliki
Berbagai studi yang digunakan dalam tinjauan ini
hasil yang sama?
memiliki hasil yang saling mendukung dan saling
30
Apakah hasil studi bisa digunakan untuk Ya (√)
manajemen epilepsi
Kesimpulan
(form A)
(form B)
31
DAFTAR PUSTAKA
Perucca, P., Scheffer, I.E. and Kiley, M. (2018) ‘The Management of Epilepsy in
32