Anda di halaman 1dari 47

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2020


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

EPILEPSI

Oleh :

ANDI FARADIPA M., S.Ked

10542 0531 13

Pembimbing :

dr.Nurussyariah Hammado, M.AppSci.,M.NeuroSci

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITASMUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama :Andi Faradipa M., S.Ked.


NIM : 10542053113
Judul Laporan Kasus : Epilepsi

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan


klinik pada bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Februari 2020


Pembimbing

(dr. Nurussyariah Hammado, M.AppSci.,M.NeuroSci)

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Epilepsi adalah gangguan otak yang ditandai oleh

adanya faktor predisposisi secara terus-menerus untuk

terjadinya suatu bangkitan epileptik dan juga ditandai

adanya faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan

konsekuensi sosial akibat kondisi tersebut. 1,2,3 Bangkitan

epileptik adalah tanda dan atau gejala yang timbul

sepintas akibat aktivitas neuron diotak yang berlebihan

dan abnormal serta sinkron.1,2

Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai

dengan episode kejang yang dapat disertai hilangnya

kesadaran penderita.Meskipun biasanya disertai hilangnya

kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya

kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan

muatan listrik pada otak yang selanjutnya mengganggu

koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan otot

atau pun hentakan repetitif pada otot.3

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai

dengan kondisi/gejala berikut:

1
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2

bangkitan refleks dengan jarak waktu antar

bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.

2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan

refleks dengan kemungkinan terjadinya bangkitan

berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan

(minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa

profokasi/ bangkitan refleks (misalkan bangkitan

pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke,

bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi

structural dan epileptiform dischargers) Sudah

ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi

B. EPIDEMIOLOGI.
Prevalensi epilepsi di negara berkembang ditemukan
lebih tinggi dari pada negara maju. Dilaporkan prevalensi di
negara maju berkisar antara 4–7/1000 orang dan 5–74/1000
orang di negara sedang berkembang. Daerah pedalaman
memiliki angka prevalensi lebih tinggi dibendingkan daerah
perkotaan yaitu 15,4/1000 (4,8 – 49,6) di pedalaman dan
10,3 (2,8-37,7) di perkotaan.
C. LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. H
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan :-

2
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Sileo 1
Tanggal Pemeriksaan : 12 Januari 2020
Oleh Coass : Andi FaradipaM., S.Ked.
Tanggal MRS : 12 Januari 2020
Rumah Sakit : RS. SYEKH YUSUF
No. CM : 46.60.57

2. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Kejang

2. Riwayat Penyakit Sekarang :Seorang pasien wanita usia 18


tahun datang dengan keluhan kejang lebih 3 kali dalam sehari diseluruh
badan sejak kemarin, kejang berlangsung kurang dari 5 menit. Ada
riwayat demam semalam,bicara mulai mengigau tadi pagi. Awalnya
kejang dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, sebelumnya ada riwayat jatuh
terduduk dari kursi akibat pingsan. Kemudian malam hari pasien
melahirkan lalu pasien kejang 2 kali pada seluruh badan dan dirawat di
rumah sakit tapi kemudian putus obat
3. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien pernah mengeluhkan hal yang sama
sebelumnya, saat 2 tahun yang lalu
• Riwayat hipertensi (-)

• Riwayat Stroke (-)

• Riwayat penyakit jantung (-)

• Riwayat cedera/trauma (+)

• Riwayat DM (-)

• Riwayat TB (-)

• Riwayat dislipidemia (+).

4. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada.


5. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan : IRT

3
3. Riwayat pengobatan: menerima pengobatan namun putus obat
4. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis :
Kesadaran : GCS E4M6V5 (Compos mentis)
Tekanan darah : 100 / 70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,7oC
Anemia : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
2. Status Internus :
Toraks : Paru dan Jantung dalam batas normal
Abdomen : Peristaltik (+). Normal, Nyeri tekan (-)
3. Status Psikiatri :
- Perasaan hati : Dalam batas normal
- Perasaan berfikir : Dalam batas normal
- Kecerdasan : Dalam batas normal
- Memori : Baik
- Psikomotor : Tenang
4. Status Neurologis :
a. GCS : E4M6V5
b. Kepala :
- Bentuk : Normocephal
- Penonjolan : (-)
- Posisi : (-)
- Pulsasi : (-)
c. Leher :
- Sikap : Dalam batas normal
- Pergerakan : Dalam batas normal
- Kaku kuduk : (-)

4
d. Urat saraf cranial (Nervus Kranialis)
1) Nervus I (Nervus Olfaktorius) : Dalam batas normal
2) Nervus II (Nervus Optikus) :
- Ketajaman Penglihatan : dbn / dbn
- Lapangan Penglihatan : dbn / dbn
- Melihat Warna : dbn / dbn
- Funduskopi : dbn / dbn
3) Nervus III, IV, VI (Nervus Okulomotorius, Trokhlearis,
Abdusens) :
 Celah kelopak mata : Kanan Kiri
Ptosis : (-) (-)
Exoftalmus : (-) (-)
Nistagmus : (-) (-)
 Pupil :
Bentuk/ukuran : Bulat Bulat
Isokor/anisokor : Isokor Isokor
RL/RCL : (+) (+)
Refleks konsensuil : (+) (+)
Refleks akomodasi : (+) (+)
 Gerakan Bola mata
Paresis : (–) (–)
4) Nervus V (Nervus Trigeminus) :
 Sensibilitas wajah : Dalam batas normal
 Menggigit : Dalam batas normal
 Mengunyah : Dalam batas normal
 Refleks masseter : Dalam batas normal
 Refleks kornea : Dalam batas normal
5) Nervus VII (Nervus Fasialis) :
 Mengerutkan dahi : Dalam batas normal
 Menutup mata : Dalam batas normal

5
 Gerakan mimik : Dalam batas normal
 Bersiul : Dalam batas normal
 Pengecap 2/3 lidah depan : Dalam batas normal
6) Nervus VIII (Nervus Vertibulokokhlearis) :
 Suara berbisik : Tidak dievaluasi
 Tes Rinne : TDE
 Tes Weber : TDE
7) Nervus XII (Nervus Glossofaringeus) :
 Pengecap 1/3 lidah belakang : Dalam batas normal
 Sensibilitas faring : Dalam batas normal
8) Nervus X (Nervus Vagus) :
 Arkus faring : Dalam batas normal
 Berbicara : Dalam batas normal
 Menelan : Dalam batas normal
 Nadi : Reguler
9) Nervus XI (Nervus Aksesorius) :
 Memalingkan kepala : Dalam batas normal
 Mengangkat dagu : Dalam batas normal
10) Nervus XII (Nervus Hipoglossus) :
 Pergerakan lidah : Dalam batas normal
 Tremor lidah : (-)
 Atrofi lidah : (-)
 Fasikulasi : (-)
 Artikulasi : Dalam batas normal
e. Badan dan Anggota Gerak
1) Badan
 Bentuk kolumna vertebralis :Dalam batas normal
 Pergerakan kolumna vertebralis:Tidak dievaluasi
 Refleks kulit perut atas :dalam batas normal/dalam
batas normal

6
 Refleks kulit perut tengah :dalam batas normal/dalam
batas normal
 Refleks kulit perut bawah :dalam batas normal
 Refleks kremaster :tidak dievaluasi
 Sensibilitas
- Taktil : Dalam batas normal
- Nyeri : Dalam batas normal
- Suhu : Dalam batas normal
2) Anggota Gerak
 Motorik :

P ↓ N K 4 4 T ↓ N
↓ ↓ 3 3 ↓ ↓

 Refleks Fisiologik :
Biseps : (+) / (+)
Triseps: (+) / (+)
Radius : tidak dievaluasi
Ulna : tidak dievaluasi
KPR : (+) / (+)
APR : (+) / (+)
 Refleks Patologik :
Hoffman – Tromner : (+) / (+)
Babinski : (+) / (+)
Chaddock : tidak dievaluasi
Gordon : tidak dievaluasi
Schaefer : tidak dievaluasi
Oppenheim : tidak dievaluasi
 Klonus : (-) / (-)
 Tes Laseque : (-) / (-)

7
 Tes Patrick : (-) / (-)
 Tes Kontra-Patrick : (-) / (-)
 Tes Kernig : (-) / (-)
 Sensorik :
Sup(D)Sup(S) Inf(D) Inf(S)

Nyeri : (N) (N) (N) (N)


Suhu : (N) (N) (N) (N)
Raba : (N) (N) (N) (N)
Rasa sikap : (N) (N) (N) (N)
Diskriminasi : (N) (N) (N) (N)
 Koordinasi, Gait dan Keseimbangan :
Cara berjalan : Sempoyongan
Tes Romberg : Pasien jatuh kesalah satu sisi
Ataksia : Tidak dievaluasi
Rebound phenomenon: Tidak dievaluasi
Dismetri : Tidak dievaluasi
 Gerakan – gerakan abnormal :
Tremor : (-)
Athetosis : (-)
Mioklonus : (-)
Khorea : (-)
 Otonom :
Miksi : lancar
Defekasi : baik
Ereksi : Tidak dievaluasi
f. Fungsi Luhur
 Memori : Dalam batas normal
 Fungsi Bahasa : Dalam batas normal
 Visuospasial : Dalam batas normal
 Praksia : Dalam batas normal

8
 Kalkulasi : Dalam batas normal
g. Pemeriksaan Khusus
 (Dix-Hallpike)
Tidak dalam evaluasi.( Pasien tidak sanggup melakukannya)

5. ASSESSMENT (DIAGNOSIS KERJA)


Diagnosis Klinis : Bangkitan Epilepsi Umum tipe tonik klonik
Diagnosis Topis : .Korteks Lobus Temporalis
Diagnosis Etiologis : idioptik

6. PLANNING
1. Terapi :
Non Farmakologi
 Tirah baring
Farmakologi
 IVFD Dextrose 16 tpm
 Depakote 250 mg 2×1
 Kutoin 2×1
 B6 1×1
 Piracetam 3gr/8 jam/iv
 Diazepam 1 amp/iv (bila kejang )
 Paracetamo 3×1
 Asam folat 1×1
 Curcuma 2×1
Pemeriksaan Penunjang :
a) Ct-Scan kepala : Brain edema
tak tampak hematom,infark atau SOL
b) Pemeriksaan Labolatorium
Hasil Pemeriksaan Labolatorium :
o WBC : 7,3×10’3/uL

9
o Glukosa sewaktu : 67 mg/dl (70-200 mg/dl)
o SGOT : 15 U/L (L : <37 P : <31 u/l )
o SGPT : 14 U/L (L : <42 P : <32 u/l)
o Kreatinin : 0.4 mg/dl (L : 0.7 – 1.3 P : 0.6 – 1.1 mg/dl)
o Na : 147 mmol/L (136-145 200 mmol/L)
o K: 4,4 mmol/L (3,5-5,1 mmol/L)
o Cl: 108 mmol/L (98-106 mmol/L)
7. PROGNOSIS
1. Qua ad vitam : Dubia ad bonam
2. Qua ad sanationem : Dubia ad bonam

8. Follow Up

Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi


13/01/20 S: kejang terakhir semalam 1×,  IVFD NACL 0,9% +phenitoin
kurang dari 10 menit,nyeri kepala 12 tpm
(+)semalam namun sudah  Piracetam 3 gr/8jam/iv
membaik ,mual (-),muntah  B6 1×1
(-),BAB dan BAK dalam batas
normal.

O:
TD = 90/60 mmHg
RR = 20 x/menit
N = 80x/menit
S = 36.7oC
GCS=E4V5M6

10
FKL : respon melambat
Motorik:
P K
N N 5 5
N N 5 5
T
N N
N N
Rf Rp
+2 +2 + +
+2 +2 + +

Sensorik: Normal
Otonom:
BAK : lancar
BAB : belum hari ini

A: Seizure ec susp epilepsi

14/01/20 S: Kejang (-),nyeri kepala  IVFD DS 16 tts / menit


berdenyut kadang dirasakan (+),  Depkote 250 mg 2×1
mual (-),muntah (-),nyeri  Ketoin 2×1
punggung (+), BAB dan BAK  B6 1×1
lancar
 Asam folat 1×1

O:  Piracetam 3 gr/8 jam/iv


TD = 90/60 mmHg  Diazepam 1 mg (k/p)
RR = 20 x/menit  Paracetamol 3×1
N = 84 x/menit
S = 36.6oC
GCS=E4V6M5
Motorik:

11
P K
N N 5 5
N N 5 5
T
N N
N N
Rf Rp
N N + +
N N + +

Sensorik: Normal
Otonom:
BAK ; lancar
BAK : lancar

A: Epilepsi

16/01/20 S: kejang (-),nyeri kepala (+) dan  IVFD DS 16 tts / menit


nyeri punggung (+) NPRS 3,mual  Depakote 250 mg 2×1
(-),muntah (-)  Ketoin 2×1

O:  B6 1×1

TD = 90/60 mmHg  Asam folat 1×1

RR = 20 x/menit  Piracetam 3 gr/8 jam/iv


N = 86x/menit  Diazepam 1 mg (k/p)
S = 36.5oC  Paracetamol 3×1
GCS=E4V5M6  Curcuma 2×1
Motorik:
P K
N N 5 5
N N 5 5

12
T
N N
N N
Rf Rp
N N + +
N N + +

Sensorik: Normal
Otonom:
BAK : lancar
BAB: lancar

A: Epilepsi

31/12/19 S: kejang (-), nyeri kepala dan  Aff infuse Depakote 250 mg
nyeri punggung berkurang . mual 2×1
(-),muntah (-).  Ketoin 2×1
 B6 1×1
O:
TD = 90/60 mmHg  Asam folat 1×1

RR = 20 x/menit  Paracetamol 3×1

N = 80x/menit  Curcuma 2×1


S = 36.7oC
GCS=E4V5M6
Motorik:
P K
N N 5 5
N N 5 5
T
N N
N N

13
Rf Rp
N N + +
N N + +

Sensorik: Normal
Otonom:
BAK : Lancar
BAB : lancar

A: Epilepsi

B. PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis
yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami epilepsi.
Pasien dibawa ke RS dengan keluhan utama, yaitu kejang tanpa
didahului demam. Sesuai definisi epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai
dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus
menerus dengan konsekuensi neurobiologis,kogitif,psikologis dan sosial.
Epilepsi pada pasien ini dicurigai bersifat simtomatis dikarenakan
adanya gambaran brain edema pada hasil ct scan kepala.kejang yag dirasakan
pasien terjadi 2-3 kali serangan.
Pada pasien ini,kejang mrupakan tipe kejang umum atau tonic
seizure ,dimana awalnya dimulai dengan kehilangan kesadaran dan disusul
dengan gejala motorik secara bilateral ,dapat berupa ekstensi tonik dari semua
ektremitas selama beberapa menit. Pada pasien diawali dengan 3 kali serangan
selama kurang lebih 5 menit, lalu terjadi lagi serangan dengan durasi 10 menit
dan saat kejang seluruh tubuh.

14
Penyebab epilepsi ada idiopatik,kriptogenik, dan simtomatis yang
disesuaikan akibat kejang yang dialami. Etiologi idiopatik . diagnosa tersebut
menurut teori sudah benar. Serangan kejang tonik klonik sering dijumpai
biasanya pada saat terjaga dan pagi hari. Pasien mengalami kejang biasanya
pada saat terjaga.
Untuk memastikan penyebab epilepsi, mencari tau riwayat akibat
epilepsi seperti trauma,kongenital,genetik dan adapun yang tidak diketahui
penyebabnya serta tanpa perdarahan.
Pada pasien kejang yang masih belum diketahui riwayat sebelumnya
beberapa pemeriksaan penunjang dapat membantu konfirmasi diagnosa jenis
apakah kejang tersebut. Beberapa pemeriksaannya dapat dilakukan
pemeriksaan GDS,elektrolit, CT Scan kepala, dan EEG. Pada pasien ini sudah
dilakukan pemeriksaan GDS dan CT Scan kepala.

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Epilepsi adalah gangguan otak yang ditandai oleh

adanya faktor predisposisi secara terus-menerus untuk

terjadinya suatu bangkitan epileptik dan juga ditandai

adanya faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan

konsekuensi sosial akibat kondisi tersebut. 1,2,3 Bangkitan

epileptik adalah tanda dan atau gejala yang timbul

sepintas akibat aktivitas neuron diotak yang berlebihan

dan abnormal serta sinkron.1,2

15
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai

dengan episode kejang yang dapat disertai hilangnya

kesadaran penderita.Meskipun biasanya disertai hilangnya

kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya

kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan

muatan listrik pada otak yang selanjutnya mengganggu

koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan otot

atau pun hentakan repetitif pada otot.3

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai

dengan kondisi/gejala berikut:

3. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2

bangkitan refleks dengan jarak waktu antar

bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.

4. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan

refleks dengan kemungkinan terjadinya bangkitan

berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan

(minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa

profokasi/ bangkitan refleks (misalkan bangkitan

pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke,

bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi

structural dan epileptiform dischargers)

5. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.2

KLASIFIKASI EPILEPSI

16
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut tipe bangkitan

(sesuai International League Against Epilepsy (ILAE tahun

1981) dan menurut sindrom epilepsi (klasifikasi ILAE 1989).

Secara garis besar menurut klasifikasi ILAE tahun 1981,

bangkitan epileptik dibagi menjadi :

1. Bangkitan parsial

2. Bangkitan umum

3. Bangkitan epileptik tidak terklasifikasi

4. Bangkitan berkepanjangan atau berulang (status

epileptikus)1,2

Tabel 1. Klasifikasi Bangkitan Umum (ILAE 1981)1

Klasfikasi Bangkitan Umum


1. Bangkitan absans
a. Bangkitan absans
 Hanya gangguan kesadaran
 Dengan komponen klonik ringan
 Dengan komponen atonik
 Dengan komponen tonik
 Dengan automatisme
 Dengan komponen autonomi
b. Bangkitan absans tipikal, dapat disertai:
 Perubahan tonus otot yang lebih jelas
dibandingkan 1a
 Awal mulai bangkitan dan berhentinya tidak
terjadi mendadak
2. Bangkitan mioklonik
3. Bangkitan klonik
4. Bangkitan tonik
5. Bangkitan tonik-klonik
6. Bangkitan atonik (astatik)

17
Tahun 2017, ILAE memperbaharui klasifikasi dan

terminologi kejang dan epilepsi. Pada skema terbaru ini,

diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan : yaitu tipe kejang, tipe

epilepsi, dan tipe sindrom.4

18
B. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi epilepsi dinegara berkembang ditemukan

lebih tinggi dari pada negara maju. Dilaporkan prevalensi

dinegara maju berkisar antara 4–7/1000 orang dan 5–

74/1000 orang di negara sedang berkembang. Daerah

pedalaman memiliki angka prevalensi lebih tinggi

dibendingkan daerah perkotaan yaitu 15,4/1000 (4,8 –

49,6) dipedalaman dan 10,3 (2,8-37,7) diperkotaan.2

Angka prevalensi dan insidensi epilepsi di Indonesia

belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian kelompok

Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia di

beberapa RS di 5 Pulau besar di Indonesia (2013)

didapatkan 2.288 penyandang epilepsi dengan 21,3%

merupakan pasien baru. Rerata usia pasien adalah usia

produktif dengan etiologi epilepsy tersering adalah cedera

kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), stroke dan tumor

otak. Riwayat kejang demam didapatkan 29% pasien.

Beberapa literatur menyebutkan prevalensi penderita

epilepsi di Indonesia cukup tinggi berkisar 0,5 – 2%. 5

Secara umum, insiden epilepsi pada negara maju

menunjukkan pola bimodal yaitu

insidensepilepsimeningkat pada bayi berusia <1 tahun dan

19
di atas 50 tahun. Pada orang yang berusia >50 tahun,

insiden meningkat seiring bertambahnya usia dan insiden

tertinggi usia di atas 70 tahun.4 Di negara berkembang,

puncak tertinggi pada dewasa muda.

B. ETIOLOGI

Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori,

sebagai berikut:2,6

1. Idiopatik: tidak terdapat lesi structural di otak atau

deficit neurologis. Diperkirakan mempunyai

predisposisi genetik dan umumnya berhubungan

dengan usia.

2. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi

penyebabnya belum diketahui. Termasuk di sini

adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan

epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan

ensefalopati difus.

3. Simptomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh

kelainan/lesi structural pada otak, misalnya; cedera

kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak

ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik

(alkohol,obat), metabolic, kelainan neurodegeneratif.

20
Faktor risiko epilepsi antara lain asfiksia

neonatorium, riwayat demam tinggi, riwayat ibu yang

memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar belakang

susah melahirkan atau pengguna obat-obatan, hipertensi),

pasca trauma kelahiran, riwayat ibu yang menggunakan

obat anti konvulsan selama kehamilan, riwayat intoksikasi

obat-obatan maupun alkohol, adanya riwayat penyakit

pada masa anak-anak (campak, mumps), riwayat

gangguan metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat keturunan

epilepsi.3

C. PATOFISIOLOGI

Secara normal aktivitas otak terjadi oleh karena

perpindahan sinyal dari suatu neuron ke neuron yang lain.

Perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu neuron

dengan dendrit neuron yang lainmelalui sinaps. Sinaps

merupakan area yang penting untuk perpindahan elektrolit

dan sekresi neurotransmitter yang berada di dalam vesikel

presinaps. Komposisi elektrolit dan neurotransmitter saling

mempengaruhi satu sama lain untuk menjaga

keseimbangan gradient ion di dalam dan luar sel melalui

ikatan antara neurotransmitter dengan reseptornya serta

keluar masuknya elektrolit melalui kanalnya masing-

21
masing. Aktivitas tersebut akan menyebabkan terjadinya

depolarisasi, hiperpolarisasi, dan repolarisasi, sehingga

terjadi potensial eksitasi dan inhibisi pada sel neuron.

Potensial eksitasi diproyeksikan oleh sel-sel neuron yang

berada di korteks yang kemudian diteruskan oleh akson,

sementara sel interneuron berfungsi sebagai inhibisi.1,5

Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas otak

adalah natrium (Na+), kalsium (Ca2+), kalium (K+),

magnesium (Mg2+), dan Klorida (Cl-). Neurotransmitter

utama pada proses eksitasi adalah glutamate yang akan

berikatan dengan reseptornya, yaitu N-metil-D-aspartat

(NDMA) dan non-NDMA (amino-3-hydroxy-5methyl-

isoxasole propionic acid/AMPA dan kainat). Sementara

pada proses inhibisi, neurotransmitter utama adalah asam

aminobutirik (GABA) yang berikatan dengan reseptornya

GABAAdan GABAB. GABA merupakan neurotransmitter yang

disintesis dari glutamate oleh enzim glutamic acid

decarboxylase (GAD) dengan bantuan piridoksin (vitamin

B6) di terminal presinaps.1,5

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu

dengan lainnya saling berhubungan.Hubungan antar

neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan

perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.

22
Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron

berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme

yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau

dikarenakan breaking sistem pada otak terganggu maka

neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal.

Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme

pengaturan ini adalah:

- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory

neurotransmitter

- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat

sebagai brain’s inhibitory neurotransmitter.

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat

eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin, sedangkan

yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,

dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida.Neurotransmiter

ini hubungannya dengan epilepsi belum jelas dan masih

perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun

jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area

otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga

terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls.

Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil

neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau

bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak.

23
Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut

terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik

menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis

serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang

menyebabkan hal ini yaitu:

- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat

(inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga terjadi

pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,

disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada

penderita epilepsi ternyata memang mengandung

konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus

oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk

inhibisi potensial post sinaptik.

- Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan

sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik yang

berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal

tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu

kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya

konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi

didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai

tempat di otak.

- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga

mempunyai potensi untuk mengadakan pelepasan

24
abnormal impuls epileptik. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga

kejadian yang saling terkait :

 Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan

intrinsic dari sel untuk menimbulkan bangkitan.

 Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel

neuron.

 Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang

timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel

neuron yang abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan

hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus

pembangkit serangan kejang).Fokus epileptogenesis dari

sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya

untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat

menimbulkan serangan kejang.

Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi

serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter dan lain-

lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi

neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang)

dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan

pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia,

hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.

25
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya

depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula

ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,

subkortek, thalamus, batang otak dan

seterusnya.Kemudian untuk bersama-sama dan serentak

dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.

Setelah meluasnya eksitasi selesadimulailah proses inhibisi

di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang

secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.

Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai

perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang

makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti.

Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat

terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa

dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan

epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal

exhaustion.Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak,

hipoksia otak, asidosis metabolik depolarisasi impuls dapat

berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan

yang berkepanjangan disebut status epileptikus.

D. MANIFESTASI KLINIS

26
Bangkitan umum terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran

akan terganggu pada awal kejadian kejang. Kejang umum

dapat terjadi diawali dengan kejang parsial simpleks atau

kejang parsial kompleks.Jika ini terjadi, dinamakan kejang

umum tonik-klonik sekunder.

1. TONIK – KLONIK (GRAND MAL)

Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan

hilangnya kesadaran dan sering penderita akan

menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh, tubuh

menegang/kontraksi (tonik) dan diikuti sentakan otot

(klonik) berulang simetris di seluruh tubuh. Bernafas

dangkal dan sewaktu-waktu terputus menyebabkan bibir

dan kulit terlihat keabuan/biru.Air liur dapat terakumulasi

dalam mulut, terkadang bercampur darah jika lidah

tergigit.Dapat terjadi kehilangan kontrol kandung

kemih.Kejang biasanya berlangsung sekitar dua menit

atau kurang.Hal ini sering diikuti dengan periode

kebingungan, agitasi dan tidur. Sakit kepala dan nyeri

juga biasa terjadi setelahnya.1,2

Pada pemeriksaan EEG saat interiktal didapatkan

aktivitas epileptiform umum berupa gelombang paku-

ombak (spike wave) terutama pada saat tidur stadium

non-REM.1

27
2. TONIK

Terjadi mendadak.Bangkitan tonik ditandai oleh

kontraksi seluruh otot yang berlangsung terus-menerus

selama 2-10 detik namun dapat hingga beberapa menit

disertai hilangnya kesadaran.Dapat disertai dengan

gejala autonomi berupa apnea.Bangkitan ini dapat

terjadi saat tidur. Gambaran EEG interiktal menunjukkan

irama cepat dan gelombang paku-kompleks paku-ombak

frekuensi lambat yang bersifat umum.1

3. KLONIK

Ditandai oleh gerakan kontraksi klonik yang ritmik di

seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran sejak awal

bangkitan. Pada EEG iktal didapatkan aktivitas

epileptiform umum berupa gelombang paku, paku

multiple, atau kombinasi gelombang irama cepat dan

lambat.1

4. MIOKLONIK

Kejang berlangsung singkat, berlangsung 10-50 milidetik

ataum 100 milidetik, biasanya sentakan otot secara

intens terjadi pada anggota tubuh atas.Sering setelah

bangkitan mengakibatkan menjatuhkan dan

menumpahkan sesuatu.Meski kesadaran tidak

terganggu, penderita dapat merasa kebingungan dan

28
mengantuk jika beberapa episode terjadi dalam periode

singkat.Otot yang berkontraksi dapat tunggal atau

multiple.Mioklonik dapat berlangsung fokal, segmental,

multifocal, atau umum.Gambaran EEG berupa polyspikes

yang bersifat umum dan singkat.1,2

5. ATONIK

Bangkitan ditandai oleh hilangnya tonus otot secara

mendadak.Bangkitan ini dapat didahului oleh bangkitan

mioklonik atau tonik.Tidak disertai hilangnya

kesadaran.Bentuk bangkitan bisa berupa jatuh dan

kepala menunduk.Pemulihan pascaiktal cepat terjadi,

sekitar 1-2 detik. Gambaran EEG berupa gelombang

paku atau polyspikes yang bersifat umum dengan

frekuensi 2-3Hz dan gelombang lambat.1,2

6. ABSANS TIPIKAL (PETIT MAL)

Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi

bisa terjadi pada orang dewasa), seringkali keliru dengan

melamun atau pun tidak perhatian. Sering ada riwayat

yang sama dalam keluarga. Diawali mendadak ditandai

dengan menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada respon,

menghentikan aktifitas yang dilakukan.Terkadang

dengan kedipan mata atau juga gerakan mata ke

atas.Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti secara

29
tiba-tiba. Penderita akan segera kembali sadar dan

melanjutkan aktifitas yang dilakukan sebelum kejadian,

tanpa ingatan tentang kejang yang terjadi. Penderita

biasanya memiliki kecerdasan yang normal.Kejang pada

anak-anak biasanya teratasi seiring dengan

pubertas.Gambaran EEG didapatkan aktifitas

epileptiform umum berupa paku-ombak 3Hz (2,5 Hz).1,2

7. ABSANS ATIPIKAL

Bangkitan berupa gangguan kesadaran disertai

perubahan tonus otot (hipotonia atau atonia), tonik, atau

automatisme. Pasien dengan bangkitan absan atipikal

sering mengalami kesulitan belajar akibat seringnya

terjadi bangkitan tipe lain seperti atonik, tonik,

mioklonik. Onset dan berhentinya bangkitan tidak

semendadak absans tipikal. Pada EEG didapatkan

gambaran kompleks paku ombak frekuensi lambat (1 –

2,5 Hz atau <2,5 Hz) yang irregular dan heterogen dan

dapat bercampur dengan irama cepat.

E. DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis,

yang didukung dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.Berdasarkan consensus ILAE 2014, epilepsi

dapat ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu:

30
1. Terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang

terpisah lebih dari 24 jam.

2. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi,

namun resiko kejang selanjutnya sama dengan resiko

rekurensi umum setelah dua kejang tanpa provokasi

dalam 10 tahun mendatang.

3. Sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG).1,2,3

1. Anamnesis2,7

Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau

saksi mata mengenai hal-hal terkait dibawah ini:

a. Gejala dan tanda sebelum, salam, dan

pascabangkitan:

 Sebelum bangkitan/ gejala prodomal

o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan

akan terjadinya bangkitan, misalnya perubahan

prilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,

mengantuk, menjadi sensitive, dan lain-lain.

 Selama bangkitan/ iktal:

o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada

awal bangkitan?

31
o Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari

deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh ,

vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah satu

atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan

tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,

berkeringat, dan lain-lain. ( Akan lebih baik bila

keluarga dapat diminta menirukan gerakan

bangkitan atau merekam video saat bangkitan)

o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?

o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan

sebelumnya

o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan,

misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain video

game, berkemih, dan lain-lain.

 Pasca bangkitan/ post- iktal:

 Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh

gelisah, Todd’s paresis.

b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal,

stress psikologis, alkohol.

c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan,

interval terpanjang antara bangkitan, kesadaran

antara bangkitan.

32
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE

sebelumnya

o Jenis obat antiepilepsi

o Dosis OAE

o Jadwal minumOAE

o Kepatuhan minum OAE

o Kadar OAE dalam plasma

o Kombinasi terapi OAE

e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit

neurologis psikiatrik maupun sistemik yang mungkin

menjadi penyebab maupun komorbiditas.

f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga

g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran,

dan tumbuh kembang

h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam

i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf

pusat (SSP), dll.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis7

Pemeriksaan fisik umum

Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan

dengan epilepsi, misalnya:

- Trauma kepala

- Tanda-tanda infeksi

33
- Kelainan congenital

- Kecanduan alcohol atau napza

- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)

- Tanda-tanda keganasan.

Pemeriksaan neurologis8

Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau

difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika

dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan,

maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda

fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk

lokalisasi, seperti:

- Paresis Todd

- Gangguan kesadaran pascaiktal

- Afasia pascaiktal

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien

epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang

paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis

epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan

adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

34
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.

Rekaman EEG dikatakan abnormal.

a) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah

yang sama di kedua hemisfer otak.

b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang

lebih lambat disbanding seharusnya misal gelombang

delta.

c) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat

pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku

(spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang

lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk

epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang

khas, misalnya spasme infantile mempunyai

gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal

gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus

per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai

gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan

paku majemuk yang timbul secara serentak

(sinkron).

b. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang

penderita yang sedang mengalami serangan dapat

meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber

35
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan

hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta

memberi kesempatan untuk mengulang kembali

gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini

sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya

belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula

untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus

epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan

pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Pencitraan Otak

Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak. 2,3

MRI beresolusi tinggi (minimal 1,5 Tesla) dapat

mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi

patologik misalnya mesial temporal sclerosis, glioma,

ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (

dysembryoplastic neuroepithelial tumor ), tuberous

sclerosiss.

Fuctional brain imaging seperti Positron Emission

Tomography (PET), Singel Photon Emission Computed

Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonance

Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan

informasi tambahan mengenai dampak perubahan

36
metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak

berkaitan dengan bangkitan.

Indikasi pemeriksaan neuroimaging( CT scan kepala

atau MRI kepala) pada kasus kejang adalah bila muncul

kejang unprovoked pertama kali pada usia dewasa.

Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini

adalah untuk mencari adanya lesi structural penyebab

kejang.CT scan kepala lebih ditujukan untuk kasus

kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih

cepat. Di lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus

elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam

menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau dari segi

sensitivitas dalam menentukan lesi structural, maka MRI

lebih sensitive dibandingkan CT scan kepala.2

d. Pemeriksaan laboratorium

1) Pemeriksaan hematologis

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan

hitung jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah

tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,

magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati

(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.

37
- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam

menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan

OAE.

- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk

mendeteksi samping OAE.

- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor

samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat

efek samping OAE.2

2) Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE

dalam plasma saat bangkitan belum terkontrol,

meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal

atau untuk memonitorkepatuhan pasien.

F. DIAGNOSIS BANDING

Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai

kejang epileptic, seperti pingsan (Syncope), reaksi

konversi, panik dan gerakan movement disorder.Hal ini

sering membingungkan klinisi dalam menentukan

diagnosis dan pengobatannya.Tabel 3.1 menunjukkan

beberapa pembeda antara kejang epileptic dengan

berbagai kondisi yang menyerupainya.

G. PENATALAKSANAAN

38
Tujuan tatalaksana dari epilepsy adalah bebas kejang

tanpa efek samping.2,3 Prinsip pengobatan epilepsi adalah

monoterapi dengan target pengobatan minimal 2 tahun

bebas kejang.1

PRINSIP TERAPI FARMAKOLOGI

 OAE diberikan bila:

- Diagnosis epilepsi sudah dipastikan.

- Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun.

- Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima

penjelasan tentang tujuan pengobatan.

- Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu

tentang kemungkinan efek samping yang timbul dari

OAE.

- Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus

sudah dihindari (misalnya: alcohol, kurang tidur,

stress, dll)

 Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE

pilihan sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom

epilepsi.

 Pemberian obat dimulai dimulai dari dosis rendah dan

dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau

timbul efek samping.

 Kadar obat dalam plasma ditentukan bila:

39
- Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif

- Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE

(disebabkan oleh kehamilan, penyakit hati, penyakit

ginjal, gangguan absorpsi OAE)

- Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan

- Setelah penggantian dosis/regimen OAE

- Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.

 Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum

tidak dapat mengontrol bangkitan, maka diganti dengan

OAE kedua. Caranya bila OAE telah mencapai kadar

terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering

off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama

maka kedua OAE tetap diberikan. Bila responsyang

didapat buruk, kedua OAE hareus diganti dengan OAE

yan g lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila

terdapat respons dengan OAE kedua, tetapi respons

tetap suboptimal walaupun pergunaan kedua OAE

pertama sudah maksimal.

 OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang

berbeda dengan OAE pertama

 Penyandang dengan bangkitan tunggal

direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan

kekambuhan tinggi, yaitu bila:

40
- Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG

- Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai

lesi yang berkorelasi dengan bangkitan; misalnya

meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak

ensafalitis herpes.

- Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang

mengarah pada adanya kerusakan otak

- Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara

sekandung (bukan orang tua)

- Riwayat bangkitan simtomatis.

- Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan

tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic Epilepsi)

- Riwayat trauma kepala terutama yang disertai

penurunan kesadaran stroke, infeksi SSP.

- Bangkitan pertama berupa status epileptikus

 Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula

halnya dengan profil farmakologis tiap OAE dan interaksi

farmnakokinetik antar-OAE

 Strategi untuk mencegah efek samping:

- Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik

penyandang

41
- Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan

terkecil mengacu pada sindrom epilepsi dan

karakteristik penyandang.

Non Medikamentosa

1. Pembedahan Epilepsi

Salah satu tata laksana nonmedikamentosa yang efektif

pada pasien epilepsy fokal resisten obat. Angka

keberhasilan pembedahan epilepsy antara lain 66%

pasien bebas bangkitan pada epilepsy temporal, 46%

pada epilepsy lobus oksipital, dan 27% pada epilepsy

lobus frontal.

2. Stimulasi Nervus Vagus

Metode invasive pada pasien yang resisten obat.Metode

ini menggunakan suatu elektroda yang ditanam di

bawah kulit pada dada kiri dan berhubungan dengan

elektroda stimulator yang diletakkan pada nervus

vagus kiri.Stimulator ini mengeluarkan impuls dengan

berbagai frekuensi sesuai dengan kebutuhan pasien.

3. Diet ketogenik

Diet ketogenic sampai saat ini terbukti efektif pada

pasien epilepsy anak-anak.Diet ketogenik adalah diet

42
dengan tinggi lemak, rendah protein, dan rendah

karbohidrat.

H. EDUKASI

Perlunya edukasi pada pasien dan keluarga pasien

untuk menghindari faktor pencetus bangkitan yaitu berupa

kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,

alkohol. Diharapkan pada penderita untuk terapi secara

rutin untuk meminimalisir angka kekambuhan serta para

tenaga medis mendukung penderita dari segi fisik maupun

mental. Bagi pemerintah untuk mengatur regulasi serta

infrastruktur yang memadai untuk penderita dalam

menjalani pengobatan

I. PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik, 70 – 80% pasien yang

mengalami epilepsy akan sembuh, dan kurang lebih

separuh pasien akan bisa lepas obat. Sekitar 20 - 30%

mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis

sehingga pengobatan semakin sulit yang menyebabkan 5

% di antaranya akan tergantung pada orang lain dalam

kehidupan sehari-hari.

Pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi,

mengalami retardasi mental, dan gangguan psikiatri dan

neurologik memiliki prognosis yang jelek.Penderita epilepsi

43
memiliki tingkat kematian yg lebih tinggi daripada populasi

umum.

Penyebab kematian pada epilepsi :

• Penyakit yang mendasarinya dimana gejalanya

berupa epilepsi misal : tumor otak, stroke

• Penyakit yang tidak jelas kaitannya dengan

epilepsi yang ada misal : pneumonia

Akibat langsung dari epilepsi : status epileptikus,

kecelakaan sebagai akibat bangkitan epilepsi dan

sudden un-expected death

44
DAFTAR PUSTAKA
1. 1. Octaviana F, Budikayanti A, Wiratman W, Indrawati LA,
Syeban Z. Dalam : Aninditha T, Wiratman W (editor).Buku
Ajar Neurologi. Buku 1. Jakarta: Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015. Hal 75-97.

2. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Pedoman dan


Tatalaksana Epilepsi. Edisi kelima. PERDOSSI 2014.
Surabaya : Airlangga University Press.

3. Kristanto AEpilepsi Bangkitan Umum Tonik-Klonik di UGD


RSUP Sanglah Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis 2017; 8 (1)
: 69 – 73.

4. Thijs RD, Surges R, O’brien TJ, Sander JW. Epilepsy in Adults.


Seminar (2019). Diakses tanggal 2 Januari 2020
diwww.thelancet.com.

5. Fitriana R. Epilepsi. Ditjen Yankes 2018. Diakses tanggal 13


Januari 2020. http://yankes.kemkes.go.id.

6. Panayiotopoulus CP. The Epilepsies Seizure, Syndrome and


Management. Blandom Medical Publishing. UK; 2005; 1-26.

7. Steinlein, OK. Genetic Mechanisms That Underlie Epilepsi. Neuroscience


2004; 400-408.

8. Engel J. Fejerman N, Berg AT, Wolf P. Classification of Epilepsi. In Engel J,


Pedley TA. Epilepsi A Comprehensive Textbook 2 nd Ed. Voln one. Lippincott
Williams & Wilkins. USA; 2008; 767-772.

45

Anda mungkin juga menyukai