Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI II

“Obat Anti Epilepsi”

DISUSUN OLEH:

Kelompok 8

1. Miranda Nasir G70117110


2. Mega Pratiwi Basair G70119044
3. Moh. Haikal Ansari G70119106
4. Nur Saida G70119070
5. Nurul Fatiah G70119018
6. Rahma Mutiani G70119141

PRODI FARMASI

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya yang memberi kesempatan kepada penyusun makalah ini,
sehingga dapat tersusun dengan baik sesuai dengan yang diharapkan nantinya.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui tentang Obat Anti
Epilepsi. Makalah ini tersusun masih banyak kekurangan dari segi manapun, oleh
sebab itu penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
bantuan teman-teman yang memberi sumber materi penyusun juga mengucapkan
terima kasih kepada dosen pengajar yang telah banyak memberi kesempatan
dalam penyelesaian makalah ini.
Demikianlah penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua yang ikut
berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini, semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua. Amiin.

Palu, 20 Febuari 2021

Kelompok 8
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Epilepsi masih menjadi salah satu permasalahan penting dalam bidang
kesehatan maupun psikologi-sosial di dunia dan khususnya juga di Indonesia,
dapat dilihat dari prevalensi, dampak yang mempengaruhi kualitas hidup
pasien dan munculnya stigma di masyarakat terkait pasien epilepsi (Chintia,
2020).

Epilepsi merupakan keadaan gangguan sinyal listrik di otak yang


bermanifestasi menjadi kejang maka prinsip umum pengobatan epilepsi adalah
membebaskan mereka dari kejang dimana terapi farmakologi merupakan
fundamental utama untuk melindungi pasien epilepsi dari kejang. Sementara
terapi epilepsi bersifat khas, yaitu program minum obat dalam jangka waktu
yang lama bahkan bertahun-tahun sehingga dalam prakteknya masalah terapi
epilepsi meliputi ketidakpatuhan dalam meminum obat dengan alasan bosan, di
takut kan obat-obatan tersebut memperparah kejang dan beberapa lainnya
berfikir pada efek samping yang didapat dari pengobatan, yang pada akhirnya
serangan Epilepsi tidak segera hilang atau tetap muncul seperti sebelum minum
obat (Susanti, 2017).

Antiepilepsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengbangkitkan epilepsi


sehingga sering dinamakan sebagai obat anti epilepsi. Antiepilepsi yang
beredar di indonesia masih cukup banyak dan tiap-tiap obat memiliki
spesifikasi tersendiri untuk setiap bangkitan epilepsi sehingga diagnosis yang
tepat akan menghasilkan pengobatan yang tepat pula (Azis, 2012)

Di Indonesia fenobarbital ternyata masih digunakan, walaupun diluar negeri


obat ini mulai banyak ditinggalkan. Fenitoin (difenilhidantoin), sampai saat ini
masih tetap merupakan obat utama antiepilepsi, khususnya untuk bangkitan
parsial dan bangkitan umum tonik-klonik. Disamping itu karba-mazepin
semakin banyak digunakan, karena dibandingkan dengan fenitoin efek
sampingnya lebih sedikit dan lebih banyak digunakan untuk anak-anak karena
tidakmenyebabkan wajah kasar dan hipertrofigui. Pengaruhnya terhadap
perubahan tingkah laku maupun kemampuan kognitif lebih kecil. Asam
valproat seringkali digunakan karena spektrum antiepilepsi yang lebih besar.
Obat yang relatif baru umumnya efektif dan lebih sedikit efek sampingnya
(Instiaty, 2016)

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian anti epilepsi ?
2. Bagaimana klasifikasi epilepsi ?
3. Apa hubungan epilepsi dengan fisiologi tubuh ?
4. Bagaimana patofisiologi epilepsi ?
5. Bagaimana mekanisme kerja antiepilepsi dan contoh obatnya ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian anti epilepsi
2. Untuk mengetahui klasifikasi epilepsi
3. Untuk mengetahui hubungan epilepsi dengan fisiologi tubuh
4. Untuk mengetahui patofisiologi epilepsi
5. Untuk mengetahui mekanisme kerja antiepilepsi dan contoh obatnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anti epilepsi
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani (Epilepsia) yang berarti „serangan‟. Perlu
diketahui, epilepsi tidak menular, bukan penyakit keturunan, dan tidak identik
dengan orang yang keterbelakangan mental. Bahkan, banyak penderita epilepsi
yang menderita epilepsi tanpa diketahui penyebabnya (Hermawan, 2018).

Serangan kejang pada epilepsy disebabkan oleh muatan listrik abnormal dari
neuron-neuron serebral, dan ditandai dengan hilangnya atau terganggunya
kesadaran dan biasanya disertai dengan kejang (reaksi motorik abnormal).
Elektroensefalogram (EEG), adalah alat yang berguna untuk mendiagnosis
epilepsy. EEG mencatat muatan listrik abnormal dari korteks serebri. Lima
puluh persen dari semua kasus epilepsy dianggap bersifat primer, atau idiopatik
(tidak diketahui sebabnya), dan 50% lagi sekunder akibat trauma, anoksia otak,
infeksi, atau gangguan pembuluh darah otak (CVA = cerebrovascular accident,
atau stroke). Obat-obat yang dipakai untuk serangan kejang epilepsi disebut
sebagai antikonvulsi atau antiepilepsi. Obat-obat antikonvulsi menekan impuls
listrik abnormal dari pusat serangan kejang ke daerah korteks lainnya, sehingga
mencegah serangan kejang, tetapi tidak menghilangkan penyebab kejang.
Antikonvulsi diklasifikasikan sebagai penekan SSP (Indijah, 2016).

Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan epileptic


seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal,
yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang
spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Manifestasi
serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai gejala
yang timbulnya mendadak, hilang spontan, dan cenderung untuk berulang.
Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat
berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subjektif),
gangguan motorik atau kejang (objektif), gangguan otonom (vegetatif), dan
perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus
epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenal
bermacam jenis epilepsi (Ardilla, 2014).

B. Klasifikasi epilepsi
Menurut Lestari, S (2016), jenis – Jenis Epilepsi :
a) Grand mal (tonik-tonik umum )
Timbul serangan-serangan yang dimulai dengan kejang-kejang otot hebat
dengan pergerakan kaki tangan tak sadar yang disertai jeritan, mulut
berbusa,mata membeliak dan disusul dengan pingsan dan sadar kembali.
b) Petit mal
Serangannya hanya singkat sekali tanpa disertai kejang.
c) Psikomotor (serangan parsial kompleks)
Kesadaran terganggu hanya sebagian tanoa hilangnya ingatan dengan
memperlihatkan perilaku otomatis seperti gerakan menelan atau berjalan
dalam lingkaran.

Selain itu, adapula referensi lain yang mengategorikan serangan kejang


menjadi dua yaitu, serangan kejang umum dan parsial. Ada berbagai jenis dan
nama untuk serangan kejang, seperti grand-mal, petit-mal dan psikomotor.
Klasifikasi internasional dari serangan kejang menurut Indijah (2016) yaitu :
 Serangan kejang umum
Melibatkan kedua hemisfer otak. Perubahan motor diketahui dan kesadaran
mungkin hilang.
1) Serangan kejang tonik klonik, atau grand-mal: bentuk serangan kejang
yang paling sering. Pada fase tonik, otot rangka berkontraksi atau
mengencang dalam bentuk spasme, berlangsung 3-15 detik. Pada fase
klonik terjadi, terdapat kontraksi otot disritmik, atau kedutan pada
tungkai dan lengan, berlangsung 2-4 menit.
2) Serangan kejang tonik: kontraksi otot terus menerus.
3) Serangan kejang klonik: kontraksi otot disritmik.
4) Serangan kejang absence, atau petit-mal: kehilangan kesadaran singkat,
berlangsung kurang dari 10 detik. Kurang dari tiga gelombang tajam
pada hasil EEG. Biasanya terjadi pada anak-anak.
5) Serangan kejang mioklonik: kontraksi atau kedutan klonik setempat
berlangsung 3-10 detik. Dapat terjadi sekunder karena gangguan
neurologist, seperti ensefalitis atau penyakit Tay-Sachs.
6) Serangan kejang atonik: kepala terjatuh, hilangnya postur.
7) Spasme infantile: spasme otot
 Serangan Kejang Parsial
Pada serangan kejang parsial simple tidak terjadi kehilangan kesadaran,
tetapi pada serangan kejang kompleks terjadi kehilangan kesadaran.
Melibatkan satu hemisfer otak.
1) Serangan kejang simple: terjadi dalam bentuk motorik, sensorik,
otonomik, dan psikik. Motorik disebut sebagai serangan kejang
Jacksonian; melibatkan pergerakan spontan yang menyebar; dapat
berlanjut dengan serangan kejang umum. Sensorik: halusinasi
penglihatan, pendengaran, atau rasa. Respons otonomik: pucat, flushing,
berkeringat atau muntah. Psikologik: perubahan kepribadian.
2) Serangan kejang kompleks atau psikomotor (lobus temporalis); gejala-
gejala dapat meliputi kebingungan atau gangguan daya ingat, perubahan
perilaku, dan otomatisme (perilaku yang diulang-ulang, seperti gerakan
mengunyah atau menelan). Klien mungkin tidak dapat mengingat
perilakunya setelah serangan kejang.
C. Hubungan Epilepsi Dengan Fisiologi Tubuh
Gangguan epilepsi dapat menyerang pada siapa pun di seluruh dunia, anak-
anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Rentang usia
orang dengan epilepsi adalah 20-70 tahun per 100.000 orang, dengan
prevalensi jumlah 4-10 orang per 1000 (Baker & Jacoby, 2002). WHO (2009)
menambahkan bahwa sekitar 50 juta penduduk di seluruh dunia menderita
epilepsi. Sebanyak 90% orang dengan epilepsi ditemukan pada negara-negara
berkembang, dan sebagian besar belum mendapatkan perlakuan sesuai yang
mereka butuhkan.

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani “epilepsia” yang artinya adalah gangguan
neurologis umum kronis yang ditandai dengan kejang berulang tanpa alasan,
kejang sementara dan/atau gejala dari aktivitas neuronal yang abnormal,
berlebihan atau sinkron di otak. Epilepsi oleh Hipocrates diidentifikasi
sebagai sebuah masalah yang ada kaitannya dengan otak. Epilepsi terkait
dengan kinerja sistem saraf pusat di otak kita. Saraf di otak berfungsi sebagai
koordinator dari semua pergerakan seperti, penglihatan, peraba, bergerak, dan
berpikir. Pada penderita epilepsi, sistem saraf pusat di otak mengalami
gangguan, sehingga koordinasi dari sistem saraf di otak tidak dapat
mengirimkan sinyal ke sistem panca indera.

Terganggunya pengiriman sinyal ke sistem panca indera penderita epilepsi


dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti pernah mengalami trauma kepala
berupa benturan atau cedera dibagian kepala, atau menderita tumor otak.
Penyakit epilepsi dapat muncul karena penderita mengalami kerusakan otak
pada saat dilahirkan. Namun selain penyebab yang telah disebutkan di atas,
penyebab epilepsi masih belum dapat dipastikan.

Epilepsi yang berkembang di tengah masyarakat adalah semacam penyakit


yang ditandai dengan kejang-kejang tiba-tiba serta mengeluarkan air liur
berwarna putih. Pada umumnya epilepsi dapat muncul karena penderita
mengalami kelelahan atau mengalami benturan dibagian kepala, yang disusul
dengan tidak sadarkan diri, terjatuh, tubuh tegang, lalu disusul dengan
gerakan-gerakan kejang tanpa terkendali di seluruh tubuh. Kejang biasanya
berlangsung paling lama lima menit. Sesudahnya penderita bisa mengalami
sakit kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya penderita
tidak dapat mengingat apa yang terjadi setelah kejang. Tulisan ini akan
mengkaji mengenai epilepsi dalam berbagai ragam budaya.

Karakteristik kejang akan bervariasi dan bergantung pada bagian otak yang
terganggu pertama kali dan seberapa jauh gangguan tersebut terjadi. Jenis
kejang epilepsi dibagi menjadi dua berdasarkan gangguan pada otak, yaitu :

1. Kejang Parsial
Pada kejang parsial atau focal, otak yang mengalami gangguan hanya
sebagian saja. Kejang parsial ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
 Kejang parsial simpel, yaitu kejang yang pengidapnya tidak
kehilangan kesadaran. Gejalanya dapat berupa anggota tubuh yang
menyentak, atau timbul sensasi kesemutan, pusing, dan kilatan
cahaya. Bagian tubuh yang mengalami kejang tergantung pada
bagian otak mana yang mengalami gangguan. Contohnya jika
epilepsi mengganggu fungsi otak yang mengatur gerakan tangan atau
kaki, maka kedua anggota tubuh itu saja yang akan mengalami
kejang. Kejang parsial juga dapat membuat pengidapnya mengalami
perubahan secara emosi, seperti merasa gembira atau takut secara
tiba-tiba.
 Kejang parsial kompleks. Kadang-kadang, kejang focal
memengaruhi kesadaran pengidapnya, sehingga membuatnya terlihat
seperti bingung atau setengah sadar selama beberapa saat. Inilah
yang dinamakan dengan kejang parsial kompleks. Ciri-ciri kejang
parsial kompleks lainnya adalah pandangan kosong, menelan,
mengunyah, atau menggosok-gosokkan tangan.

2. Kejang Umum
Pada kejang umum atau menyeluruh, gejala terjadi pada sekujur tubuh dan
disebabkan oleh gangguan yang berdampak kepada seluruh bagian otak.
Berikut ini adalah gejala-gejala yang bisa terjadi saat seseorang terserang
kejang umum:
 Mata yang terbuka saat kejang.
 Kejang tonik. Tubuh yang menjadi kaku selama beberapa detik. Ini bisa
diikuti dengan gerakan-gerakan ritmis pada lengan dan kaki atau tidak
sama sekali. Otot-otot pada tubuh terutama lengan, kaki, dan punggung
berkedut.
 Kejang atonik, yaitu otot tubuh tiba-tiba menjadi rileks, sehingga
pengidap bisa jatuh tanpa kendali.
 Kejang klonik, yaitu gerakan menyentak ritmis yang biasanya menyerang
otot leher, wajah dan lengan.
 Tekadang, pengidap epilepsi mengeluarkan suara-suara atau berteriak
saat mengalami kejang.
 Mengompol.
 Kesulitan bernapas untuk beberapa saat, sehingga badan terlihat pucat
atau bahkan membiru.
 Dalam beberapa kasus, kejang menyeluruh membuat pengidap benar-
benar tidak sadarkan diri. Setelah sadar, pengidap terlihat bingung
selama beberapa menit atau jam.

Ada jenis epilepsi yang umumnya dialami oleh anak-anak, dikenal dengan
nama epilepsi absence atau petit mal. Meski kondisi ini tidak berbahaya,
prestasi akademik dan konsentrasi anak bisa terganggu. Ciri-ciri epilepsi ini
adalah hilangnya kesadaran selama beberapa detik, mengedip-ngedip atau
menggerak-gerakkan bibir, serta pandangan kosong. Anak-anak yang
mengalami kejang ini tidak akan sadar atau ingat akan apa yang terjadi saat
mereka kejang.

D. Patofisiologi Epilepsi
Secara fisiologi epilepsi didefinisikan merupakan gangguan keseimbangan
diantara eksitasi serebral dan inhibisi adalah ujung terhadap tidak terkontrolnya
eksitasi. Patofisiologi epilepsi berupa proses iktogenesis atau proses terjadinya
serangan epileptik. Proses ini berawal dari eksitabilitas satu atau sekelompok
neuron akibat perubahan pada membran sel neuron. Perubahan pada kelompok
neuron tersebut menyebabkan hipereksitabilitas.

1. Epileptogenik
Gamma Amino Butyric Acid (GABA) merupakan neurotransmitor utama
untuk inhibisi, glutamat merupakan neurotransmiter utama pada sinaps
eksitasi, pada otak normal fungsi tergantung keseimbangan dari inhibisi
dan eksitasi yang sedang berlangsung. Jika eksitasi melebihi inhibisi,
jaringan otak akan menjadi hipereksitasi akan mencapai rendahnya ambang
kejang. Jika ketidakseimbangan cukup besar, kejang dapat terjadi dan dapat
akhirnya menjadi epilepsi.

Kejang didefinisikan gangguan sementara pada fungsi otak,


hypersyncronous, pelepasan yang berlebihan dari cortical neurons.
Manifestasi klinik dari kejang tergantung dari regio spesifik dan luasnya
dari otak yang terlibat dan dapat termasuk perubahan pada fungsi motor,
sensasi, ketajaman, persepsi, fungsi otonomik, atau semua dari yang sudah
disebutkan. Nilai ambang kejang yang terendah akan memicu mulainya
terjadi sensasi, toleransi nilai yang berlebih akan menimbulkan kejang.
Setiap orang mempunyai keseimbangan yang berhubungan dengan genetik
antara eksitasi dan inhibisi pada otaknya. Proporsi relatif ditentukan pada
orang yang mempunyai ambang kejang yang rendah pada kejang yang
dikarenakan keseimbangan eksitasi yang besar atau ambang kejang yang
besar pada kejang yang dikerenakan lebih besar inhibisinya

Proses timbulnya eksitabilitas berbeda pada tiap fokus epilepsi. Asal


timbulnya eksitabilitas dapat berasal dari:
 Neuron individual, yaitu neuron epileptik memiliki konduktansi Ca2+
yang lebih tinggi yang disebabkan oleh perubahan struktur dan fungsi
pada reseptor membran post sinaptik
 Lingkungan mikro neuronal, perubahan kadar kation dan anion
ekstraselular berupa peningkatan kadar K+ menyebabkan depolarisasi
neuron dan pengeluaran yang berlebihan
 Populasi sel epileptik, perubahan fisiologis neuronal secara kolektif
menyebabkan produksi eksitabilitas yang progresif.
2. Peran Neurotransmitter
Patofisiologi epilepsi erat kaitannya dengan peranan neurotransmiter
karena kebanyakan obat antiepilepsi bekerja mengikuti fungsi dari
neurotransmiter. Mekanisme peran neurotransmitter dalam epilepsi
meliputi:
 Kadar neurotransmitter γ-aminobutyric acidA (GABA) menurun pada
fokus epileptik dan pada epilepsi terjadi penurunan inhibisi terhadap
reseptor GABA dan peningkatan metabolisme GABA post sinaptik
 Glutamat: sinaps glutamatergik berperan penting dalam fenomena
epilepsi. Aktivasi reseptor metabotropik dan ionotropik glutamat post
sinaptik bersifat pro konvulsi. Pada pasien dengan serangan absans,
kadar glutamat plasma ditemukan meningkat
 Katekolamin: didapatkan penurunan kadar dopamin pada fokus
epilepsi sementara pemberian antidopamin mengeksaserbasi serangan
epileptic.

E. Mekanisme kerja obat antiepilepsi


Obat anti epilepsi (OAE) bekerja melawan bangkitan melalui berbagai target
seluler, sehingga mampu menghentikan aktivitas hipersinkroni pada sirkuit
otak. Mekanisme kerja OAE dapat dikategorikan dalam empat kelompok
utama :
1) modulasi voltage-gated ion channels, termasuk natrium,kalsium, dan
kalium;
2) peningkatan inhibisi GABA melalui efek pada reseptor GABA-A,
transporter GAT-1 GABA, atau GABA transaminase;
3) modulasi langsung terhadap pelepasan sinaptik seperti SV2A dan α2δ;
dan
4) inhibisi sinap eksitasi melalui reseptor glutamat ionotropik termasuk
reseptor AMPA.
Efek utama adalah modifikasi mekanisme burst neuron dan mengurangi
sinkronisasi pada neuron. OAE juga menghambat firing abnormal pada area
lain. Beberapa bangkitan, misalnya bangkitan absans tipikal disebabkan karena
sinkronisasi talamokortikal, sehingga OAE yang bekerja menghambat
mekanisme tersebut efektif untuk mengobati bangkitan absans tipikal.
Kebanyakan target OAE adalah pada kanal natrium, kalium, dan reseptor
GABA-A 3,4.

Contoh obat yag diberikan pada antiepilepsi:

1. Fenitoinin
 Indikasi: terapi pada semua jenis epilepsi, kecuali petit mal; status
epileptikus
 Peringatan: hati-hati pada gangguan fungsi hati (dosis diturunkan),
hindari pemutusan obat dengan tiba-tlba, hindari pada porifiria.
 Kategori risiko ibu menyusui: terdapat dalam air susu ibu (ASI).
Sebaiknya dihindari.
 Efek samping: gangguan saluran cema, pusing, nyeri kepala, tremor,
insomnia, neuropati perifer, hipertrofi gingival, ataksia, bicara tak
jelas, nistagmus, penglihatan kabur, ruam, akne, hirsutisme, demam,
hepatitis, lupus eritematosus, eritema multiform, efek hematologik
(leucopenia, trombositopenia, agranulositosis).
 Dosis: oral: dosis awal 3-4 mg/kg/hari atau 150- 300 mg/hari, dosis
tunggal atau terbagi 2 kali sehari. Dapat dinaikkan bertahap. Dosis
lazim: 300-400 mg/hari, maksimal 600 mg/hari. Status epileptikus: i.v.
lambat atau infus, 15 mg/kg, kecepatan maksimal 50 mg/menit
(loading dose). Dosis pemeliharaan sekitar 100 mg diberikan
sesudahnya, interval 6-8 jam. Monitor kadar plasma. Pengurangan
dosis berdasar berat badan. ANAK: 5-8 mg/kg/hari, dosis
tunggal/terbagi 2 kali sehari.
2. Karbamazepin

 Indikasi: epilepsi semua jenis, kecuali petit mal, neuralgia trigeminus;


propilaksis pada manik depresif. Peringatan: gangguan hati atau ginjal,
hamil, menyusui, hindari pemutusan obat mendadak, riwayat penyakit
jantung, glaukoma, riwayat reaksi hematologik terhadap obat lain.
 Kategori risiko ibu menyusui: terdistribusi dalam air susu ibu (ASI),
tidak direkomendasikan.
 Efek samping: biasanya dihubungkan dengan hipermagnesemia, mual,
muntah, haus, flushing kulit, hipotensi, aritmia, koma, depresi nafas,
ngantuk, bingung, hilang refleks tendon, lemah otot, kolik, dan diare
pada pemberian oral.
 Dosis: Penanganan bangkitan: dosis untuk dewasa dan anak diatas 12
tahun adalah 200 mg 2 kali sehari atau 100 mg, 4 kali sehari. Dosis
dinaikkan sampai 200 mg, 3-4 kali sehari.

3. Asam alproat

 Indikasi: epilepsi
 Peringatan: riwayat penyakit hati, gangguan ginjal berat, hamil,
menyusui, hindari pemutusan obat mendadak, pemberian bersama
antikoagulan mempengaruhi fungsi platelet, SLE.
 Kategori risiko ibu hamil: keamanan penggunaan asam valproat pada
masa kehamilan belum diketahui dengan pasti, namun, obat
antikonvulsan tidak boleh dihentikan jika obat ini digunakan untuk
mengatasi "major seizure" yang mengarah ke status epileptikus yang
mengancam jiwa
 Kategori risiko ibu menyusui: terdistribusi dalam air susu ibu (ASI),
sehingga penggunaan obat pada wanita menyusui harus diperhatikan.
Pengaruh terhadap bayi yang disusui belum diketahui.
 Efek samping: iritasi lambung, anoreksia, mual, muntah; sedasi, ataksia,
tremor; nafsu makan meningkat; dapat terjadi hepatitis, edema,
trombositopeni, hambatan agregrasi platelet, ruam. Jarang:
pangkreatitis, leukopeni, hipoplasia sel darah merah.
 Dosis: dosis awal: 300-600 mg/hari terbagi dalam 2 dosis, setelah
makan, dapat dinaikkan 200mg/hari tiap selang waktu 3hari , dosis
maksimum: 2,5 g/hari, daiam dosis terbagi. Dosis pemeiiharaan
biasanya; 12 g/hari (20-30 mg/kg/hari)

4. Fenobarbital

 indikasi: sebagai antikonvuisi, fenobarbitai digunakan daiam


penanganan bangkitan tonikkionik (grand mal) dan bangkitan parsial.
Fenobarbitai dapat digunakan daiam pengobatan awai, baik untuk bayi
maupun anak-anak.
 Peringatan: efek samping serius jarang terjadi dengan fenobarbitai. Bila
diberikan secara oral untuk mengatasi epilepsi, efek samping utama
berupa kantuk atau sedasi; sehingga pada anak menimbuikan
paradoxical excitement dan hiperaktif atau perburukan hyperkinetic
behavior yang sudah ada sehingga kadang diperlukan penggantian
dengan obat barbiturate lain atau antikonvuisan lain. Pasien usia lanjut
seringkali mengalami excitement, bingung atau depresi. Fenobarbitai
menyebabkan beberapa reaksi kulit pada sekitar 1-3% dari seluruh
pasien; tetapi reaksi ini biasanya berupa makulopapular ringan,
morbiliform atau scarianitiform yang segera hilang biia obat dihentikan.

5. Gabapentin

 Indikasi: terapi tambahan untuk epiiepsi parsial dengan atau tanpa


kejang umum, yang tidak dapat dikendalikan dengan anti epiiepsi lain.
 Peringatan: hindari pemutusan obat mendadak (bertahap sekurang-
kurangnya 1 minggu); epiiepsi campuran dengan petit mal (yang
mungkin kambuh). usia lanjut (kurangi dosis), gangguan ginjal (kurangi
dosis), hamil dan menyusui.
 Kategori risiko ibu menyusui: terdistribusi dalam air susu ibu (ASI),
gunakan dengan hati-hati.
 Efek samping: somnolens, pusing, ataksia, lesu, nistagmus, nyeri
kepala, tremor, diplopia, mual dan muntah, rinitis, ambliopia, kejang,
faringitis, disartri, dispepsi, amnesia, gugup, batuk.
 Dosis: Hari ke1: 300 mg, kemudian 300 mg 2 kali sehari pada hari ke2,
kemudian 300 mg 3 kali sehari pada hari ke3. Selanjutnya dinaikkan
sesuai respons, sampai mencapai 1,2 g/hariE terbagi dalam 3 dosis. Bila
perlu dinaikkan lagi bertahap 300 mg/hari (dalam 3 dosis terbagi),
sampai maksimal 2,4 g/hari. Dosis lazim: 0,9-1,2 g/hari; periode
diantara dosis tak boleh melebihi 12 jam. Anak: tidak dianjurkan.

6. Diazepam

 indikasi: pemakaian jangka pendek pada ansietas insomnia, tambahan


pada putus alkohol akut, 32 status epileptikus, kejang demam, spasme
otot.
 Peringatan: dapat mengganggu kemampuan mengemudi atau
mengoperasikan mesin, hamil, menyusui, bayi, usia lanjut, penyakit hati
dan ginjal, penyakit pernafasan, kelemahan otot/ miastenia, gravis,
riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol, kelainan kepn'badlan yang
nyata, kurangi dosis pada usia lanjut dan yang sudah tidak mampu
meiakukan aktifitas, hindari pemakaian jangka panjang, peringatan
khusus untuk injeksi i.v., porfiria.
 Kategori risiko ibu menyusui: terdistribusi dalam air susu ibu (ASi),
hindari jika mungkin.
 Efek samping: efek samping pada susunan saraf pusat: rasa lelah,
ataksia, rasa malas, vertigo, sakit kepala, mimpi buruk dan efek
amnesia. Efek lain; gangguan pada saluran pencernaan, konstipasi,
nafsu makan berubah, anoreksia, penurunan atau kenaikan berat badan,
mulut kering, salivasi, sekresi bronkial atau rasa pahit pada mulut.
 Dosis: oral: ansietas, 2 mg 3 kali sehari jika periu dapat dinaikkan
menjadi 15-30 mg sehari dalam dosis terbagi; lansia (atau yang sudah
tidak mampu meiakukan aktivitas) setengah dosis dewasa. Insomnia
yang disertai ansietas, 5-15 mg sebelum tidur. Untuk ansietas akut
berat, pengendalian serangan panik akut, penghentian alkohol akut,
dosis awal 5 -10 mg i.v. (ke dalam vena besar dengan kecepatan tidak
lebih dari 5mg/menit), jika perlu uiangi setelah 4 jam. Dosis maksimal :
30 mg. Catatan: rute i.m hanya digunakan jika rute oral dan i.v tidak
mungkin diberikan. ANAK: night terordan somnambulisme, 1-5 mg
sebelum tidur.

7. Klonazepam

 Indikasi: epilepsi, semua jenis, termasuk petit mal, mioklonus, status


epileptlkus.
 Peringatan: gangguan hat! dan ginjal, penyakit pernapasan, usia lanjut,
debil, pemutusan obat mendadak, hamil, menyusui.
 Kategori risiko ibu menyusui: terdistribusl daiam air susu ibu (ASI),
tidak direkomendasikan.
 Kontraindikasi: depresi pernapasan, insufisiensi pulmoner akut,
porfiria.
 Efek samping: letih, mengantuk, pusing, hipotoni otot, gangguan
koordinasi gerak; hipersaiivasi pada bayi; agresi, iritabel dan perubahan
mental; jarang gangguan darah, abnormalitas fungsi hati
 Dosis: Dewasa: dosis awal 1 mg (Usia lanjut: 500 mikrogram) malam
hari, selama 4 hah. Dosis dapat dinaikkan secara bertahap daiam waktu
2- 4 minggu hingga mencapai dosis pemeliharaan 4-8 mg/hari, daiam
dosis terbagi. Dosis maksimum 20mg/hari. ANAK 1-5 tahun: 250
mikrogram/hari, dapat dinaikkan bertahap daiam 2-4 minggu hingga
mencapai dosis 1-3 mg/hari. Anak 5-12 tahun: 500 mikrogram maiam
hari seiama 4 hari, dapat ditingkatkan secara bertahap daiam waktu 2-4
minggu hingga mencapai dosis 3-6 mg/hari. Dosis maksimum:
200mikrogram/kg berat badan/hari.

8. Lamotrigin

 Indikasi: monoterapi dan terapi tambahan untuk epiiepsi parsiai dan


epiiepsi umum, tonik-klonik.
 Peringatan: pemantauan ketat (faai hati, ginjai dan pembekuan darah);
dan perb'mbangkan untuk menghentikan obat biia terjadi ruam, demam,
gejaia-gejaia seperti influensa, mengantuk, atau memburuknya
pengendaiian kejang, terutama pada bulan pertama pengobatan;
kombinasi dengan obat anti epiiepsi lain mungkin terkait dengan
perburukan penyakit secara progresif dengan status epiieptikus,
disfungsi muiti organ, disseminated intravascular coagulation dan
kematian; hindari pemutusan obat mendadak (bertahap dalam 2 minggu
atau lebih); gangguan ginjal; hamii dan menyusui. Kategori risiko ibu
menyusui: terdistribusi dalam air susu ibu (ASI), tidak
direkomendasikan (AAP).
 Kontraindikasi: gangguan hati
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Serangan kejang pada epilepsi disebabkan oleh muatan listrik abnormal dari
neuron-neuron serebral, dan ditandai dengan hilangnya atau terganggunya
kesadaran dan biasanya disertai dengan kejang (reaksi motorik abnormal).
serangan kejang menjadi dua yaitu, serangan kejang umum dan parsial. Ada
berbagai jenis dan nama untuk serangan kejang, seperti grand-mal, petit-mal
dan psikomotor Epilepsi terkait dengan kinerja sistem saraf pusat di otak kita.
Saraf di otak berfungsi sebagai koordinator dari semua pergerakan seperti,
penglihatan, peraba, bergerak, dan berpikir. Patofisiologi epilepsi berupa
proses iktogenesis atau proses terjadinya serangan epileptik. Proses ini
berawal dari eksitabilitas satu atau sekelompok neuron akibat perubahan pada
membran sel neuron. . obat angti epilepsy (OAE) juga menghambat firing
abnormal pada area lain. Beberapa bangkitan, misalnya bangkitan absans
tipikal disebabkan karena sinkronisasi talamokortikal, sehingga OAE yang
bekerja menghambat mekanisme tersebut efektif untuk mengobati bangkitan
absans tipikal.

B. Saran
Dengan selesainya makalah ini diharapkan agar pembaca dapat mengambil
manfaat dan pengetahuan dari makalah ini. Diharapkan juga mahasiswa
mencari sumber informasi tambahan terkait antiepilepsi agar lebih
memperdalam ilmu tentang farmakologi toksikologi.
DAFTAR PUSTAKA

Apsari. (2018). Manajemen Anestesi Pada Epilepsi. JURNAL KOMPLIKASI


ANESTESI VOLUME 5 NOMOR 2

Ardilla, dkk. (2014). Deteksi Penyakit Epilepsi dengan Menggunakan Entropi


Permutasi, K-means Clustering, dan Multilayer Perceptron. Jurnal Teknik
Pomits. Volume 3(1): 70-74

Azis, S. (2012). Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: EGC

Chintia, dkk. (2020). Hubungan Terapi Obat Antiepilepsi Terhadap fungsi


Kognitif Pada Pasien Epilepsi Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Periode Maret 2016-November 2016. Jurnal Medika Udayana. Volume
9(7): 64-69

Conway JM HT. Antiepilepsy Drugs : Mechanisms of Action and


Pharmacokinetics Antiepilepsy Drugs : Mechanisms of Action and
Pharmacokinetics. Epilepsy. 2012;1(5):1– 11.

Engelborghs S, D‟Hooge R, de Deyn PP. Pathophysiology of epilepsy. Acta


Neurol Belg [Internet]. 2000;100:201–13. Available from:

Hermawan, A. (2018). Bagaimana Menyembuhkan kejang Epilepsi Secara Alami.


Jakarta: Healindonesia press

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11233674

Indijah dan Purnama. (2016). Farmakologi. Jakarta: Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia.

Insiaty dan Hendra. (2016). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: badan Penerbit
FKUI

Lestari, S. (2016). Farmakologi dalam Keperawatan. Jakarta: Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia.

Maryanti.(2016). Epilepsi Dan Budaya. Buletin Psikologi. Vol. 24, No. 1, 22 – 31


Rogers SJ, Cavazos JE. Epylepsy. In: Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke
GR, Wells BG, Posey LM. Pharmacotherapy a pathophysiologyc approach.
7th ed. China:McGraw-Hill; 2008.

Susanti, dkk. (2017). Hubungan Kepatuhan Pengobatan Terhadapa Kejadian


Kejang Pada Pasien Epilepsi yang Bebas Kejang Selama Minimal 1 Tahun
Pengobatan di Poli Neurologi RSUD Dr. A Dadi Tjokrodipo Bandar
Lampung. Jurnal Ilmu Kesehatan. Volume 4(2): 137-143.

Anda mungkin juga menyukai