KELOMPOK 6
SI KEPERAWATAN REG 5A
Menurut data WHO, sekitar 50 juta orang di dunia menderita epilepsi, dimana setiap tahunnya
didapatkan 2.4 juta orang terdiagnosa epilepsi. Prevalensi epilepsi di negara berkembang ditemukan
lebih tinggi daripada negara maju, dimana dinegara berkembang ditemukan 5-74 kasus per 1.000 orang.
Angka tersebut meningkat pada daerah pedalaman yaitu 15.4 (4.8-49.6) kasus per 1.000 orang
(Lengkoan, Khosama, & Sampoerno, 2015) Di Indonesia belum didapatkan data yang pasti mengenai
penderita epilepsi, namun di negara berkembang diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsy dimana
terdapat 5-10 kasus per 1.000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang per tahun.1 (Kemenkes RI,
2012). Di Indonesia menurut Depertemen Kesehatan 2008 Angka penderita epilepsi mencapai 12%
dengan angka kematian 2%. Data terbaru pada tahun 2016 di RSUD Ibnu Sina Gresik terdapat pasien
epilepsi ada sebanyak 50 orang di Poli syaraf, dan hampir setengahnya mengalami masalah Risiko
cidera.
EPILEPSI
Golongan penyakit saraf yang
gejala-gejalanya timbul mendadak
dalam serangan-serangan berulang,
pada sebagian besar disertai
penurunan kesadaran, dan dapat
disertai atau tidak disertai kejang
(Markam, Soemarmo, 2013).
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial,
tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi tidak
dapat ditemukan penyebab yang pasti atau
T I O L OG
E yang lebih sering kita sebut sebagai kelainan
I idiopatik. Terdapat dua kategori kejang
P I L EPSI epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum.
E
GEJALA KLINIK
PENYAKIT EPILEPSI
Kebingungan sementara.
Gejala psikis.
Kekakuan otot.
Gemetar (tremor) atau kejang, pada sebagian anggota tubuh (wajah, lengan, kaki) atau
keseluruhan.
Kejang yang diikuti oleh tubuh menegang dan hilang kesadaran secara tiba-tiba, yang bisa
menyebabkan orang tersebut tiba-tiba terjatuh.
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
KLASIFIKASI
a. Parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik
EPILEPSI
b. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
Bangkitan parsial
c. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian
1)Bangkitan parsial sederhana
menjadi umum tonik-klonik
a. Motorik
Bangkitan umum
b. Sensorik
c. Psikis 1) Absans (lena)
d. Otonom 2) Mioklonik
2) Bangkitan parsial kompleks 3) Klonik
e. Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan 4) Tonik
kesadaran
5) Tonik-klonik
f. Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran
g. saat awal bangkitan 6) Atonik
PATOFISIOLOGI
EPILEPSI
Secara fisiologi epilepsi didefinisikan merupakan gangguan keseimbangan diantara
eksitasi serebral dan inhibisi adalah ujung terhadap tidak terkontrolnya eksitasi.
Epileptogenik Gamma Amino Butyric Acid (GABA) merupakan neurotransmitor utama
untuk inhibisi, glutamat merupakan neurotransmiter utama pada sinaps eksitasi, pada
otak normal fungsi tergantung keseimbangan dari inhibisi dan eksitasi yang sedang
berlangsung.
Jika eksitasi melebihi inhibisi, jaringan otak akan menjadi hipereksitasi akan mencapai
rendahnya ambang kejang. Jika ketidakseimbangan cukup besar, kejang dapat terjadi dan
dapat akhirnya menjadi epilepsi. Kejang didefinisikan gangguan sementara pada fungsi
otak, hypersyncronous, pelepasan yang berlebihan dari cortical neurons. Manifestasi
klinik dari kejang tergantung dari regio spesifik dan luasnya dari otak yang terlibat dan
dapat termasuk perubahan pada fungsi motor, sensasi, ketajaman, persepsi, fungsi
otonomik, atau semua dari yang sudah disebutkan.
Nilai ambang kejang yang terendah akan memicu mulainya terjadi sensasi, toleransi nilai
yang berlebih akan menimbulkan kejang. Setiap orang mempunyai keseimbangan yang
berhubungan dengan genetik antara eksitasi dan inhibisi pada otaknya. Proporsi relatif
ditentukan pada orang yang mempunyai ambang kejang yang rendah pada kejang yang
dikarenakan keseimbangan eksitasi yang besar atau ambang kejang yang besar pada
kejang yang dikerenakan lebih besar inhibisinya.
Klasifikasi sindrom dan tipe kejang Pada tahun 2010 revisi terminologi dan konsep
dalam klasifikasi kejang dan epilepsi daiajukan oleh Komisi Klasifikasi dan Terminologi
ILAE (The International League Against Epilepsy). Klasifikasi revisi ini
mengelompokkan dalam kategori “sindrom elektroklinik,” “konstelasi,” “epilepsi yang
berhubungan dengan kondisi struktural atau metabolik,” dan “epilepsi dengan penyebab
yang tidak diketahui”. klasifikasi pada tipe yang individual ini didasarkan pada
karakteristik termasuk “usia pada onset, perkembangan kognitif, pemeriksaan motorik
dan sensorik, EEG, faktor pencetus, pola kejadian kejang berdasar klasifikasi ILAE.
Sebagian besar kejang dapat diklasifikasikan sesuai dengan onset (umum atau fokal) dan
ictal utama yang muncul (motor vs nonmotor)
PEMERIKSAA o Fisik dan neurologi
N o
o
Laboratorium
Elektroensefalografi
o Video-EEG
PENUNJANG o
o
Radiologi
neuropsikologi
PENATALAKSANAAN
● Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi pada pasien epilepsi adalah dengan pemberian obat anti epilepsi, yang dapat diberikan secara
monoterapi atau politerapi. Keuntungan pengobatan monoterapi adalah efek samping yang timbul lebih sedikit serta
biaya yang jelas lebih murah.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat anti epilepsi dapat dibagi berdasarkan golongan sebagai berikut:
● Penghambat kanal sodium, obat golongan ini menghambat aktivasi berulang kanal sodium (carbamazepine,
oxcarbazepine, eslicarbazepine, phenytoin, fosphenytoin, lamotrigine, lacosamide, dan zonisamide)
● Agonis reseptor GABA (benzodiazepine dan barbiturates)
● Penghambat ambilan GABA (tiagabine)
● Penghambat transaminase GABA (vigabatrin)
● Antagonis glutamate (topiramate, felbamate, perampanel)
● Berikatan dengan protein synaptic vesicle 2A (levetiracetam, brivaracetam)
LANJUTAN….
Terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien epilepsi adalah berupa terapi bedah dan non bedah
● Terapi Bedah
Terapi bedah dilakukan pada 20-30% pasien yang tidak memilki respon yang baik dengan pemberian obat antiepilepsi.
Terapi bedah diindikasikan pada pasien tersebut bila bagian otak yang menyebabkan kejang dapat dioperasi tanpa
memberikan efek defisit neurologis yang berat. Dalam menentukan apakah pasien layak operasi atau tidak perlu dilakukan
serangkaian pemeriksaan dengan video-EEG, pencitraan neuronal serta studi psikometrik. Prosedur operasi bedah pada
pasien epilepsi antara lain lobektomi dan lesionektomi. Temporal lobektomi adalah prosedur operasi bedah yang paling
sering dilakukan pada pasien epilepsi. Pada pasien dengan indikasi operasi yang tepat, lebih dari 80% kasus dapat bebas
dari kejang setelah pembedahan,walau beberapa tetap harus dibarengi dengan konsumsi obat anti epilepsi.
● Terapi Non Bedah
Terapi non bedah yang dapat dilakukan pada pasien epilepsi adalah dengan diet ketogenik. Diet ketogenik diberikan
berdasarkan teori bahwa keadaan asidosis dan ketosis memiliki efek anti kejang. Dari hasil studi, pasien yang episode
kejangnya menjadi terkontrol setelah menerima diet ketogenik adalah 30 hingga 33%, sedangkan sisanya yaitu 33% pasien
mengalami penurunan episode kejang dan 33% lainnya sama sekali tidak memberikan respon apapun
PROSES
KEPERAWATA
N
PENGKAJIA
N
Pengkajian kegawatdaruratan pada pasien epilespi menurut Soemarmo, 2015).
a. Pengkajian kondisi/kesan umum Kondisi umum Klien nampak sakit berat
b. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien dengan berbicara padanya.
Kenalkan diri, dan tanya nama pasien. Perhatikan respon pasien.
Bila terjadi penurunan kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya. Pengkajian kesadaran dengan
metode AVPU meliputi :
1) Alert (A) : Klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya.
2) Velbal (V) : klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat.
3) Nyeri (P) : klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
4) Tidak berespon (U) : klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri ketika dicubit dan
ditepuk wajahnya
LANJUTAN…
.c. Pengkajian Primer Breathing
Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) Pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan
untuk mengidentifikasi dengan segera masalah aktual sekresi mukus, dan kulit tampak pucat bahkan
dari kondisi life treatening (mengancam kehidupan). sianosis. Pada fase post iktal, klien mengalami
Pengkajian berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi apneu.
dan auskultasi jika hal memugkinkan.
Circulation
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
Terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien
Airway (jalan nafas)
biasanya dalam keadaan tidak sadar.
dengan kontrol servikal Ditujukan untuk mengkaji sumbatan
Disability
total atau sebagian dan gangguan servikal :
a) Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis
serangan atau karakteristik dari epilepsi yang
b) Distres pernafasan diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan
c) Adanya kemungkinan fraktur cervical tidak teringat kejadian saat kejang
G NO SA mucus
DIA
RA WA TAN • Ketidakefekifan perfusi jaringan perifer
KEPE
berhubungan dengan
• Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan hipoksia
• Hipertermi berhubungan dengan infeksi
mikroorganisme
• Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan
tingkat kesadaran sekunder terhadap kejang
• Resiko trauma pada saat serangan berhubungan
dengan penurunan tingkat kesadaran dan kejang
INTERVENSI
AIRWAY MANAJEMENT
KEPERAWATAN PEMANTAUAN TANDA-TANDA
VITAL
a. Monitor TTV
a. Auskultasi bunyi nafas tambahan; ronchi, wheezing.
b. Monitor AGD, ukuran pupil, ketajaman, kesimetrisandan
b. Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi dispnea.
reaksi
c. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; lakukan c. Monitor adanya diplopia, pandangan kabur, nyerikepala
penghisapan sesuai keperluan.
d. Monitor level kebingungan dan orientasi
e. Ajarkan batuk efektif
e. Monitor tonus otot pergerakan
f. Kolaborasi pemberian oksigen
f. Monitor tekanan intrkranial dan respon nerologis
g. Kolaborasi pemberian broncodilator sesuai indikasi.
g. Catat perubahan pasien dalam merespon stimulus
RESPIRATORY MONITORING
KENYAMANAN
a. Pantau rate, irama, kedalaman, dan usaha respirasi
a. Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan resiko
b. Perhatikan gerakan dada, amati simetris, penggunaan otot terjadinya cedera
aksesori, retraksi otot supraclavicular dan intercostal b. Jauhkan benda-benda yang dapat mengakibatkan terjadinya
c. Monitor suara napas tambahan cedera.
d. Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea, c. Pasang penghalang tempat tidur pasien.
hyperventilasi, napas kussmaul, napas cheyne-stokes, d. Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus
apnea, napas biot’s dan pola ataxic dilakukan selama pasien kejang.
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Huff, J. Stephen and Murr, Najib. Seizure. Statpearl. 2020. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430765/
Bromfield EB, Cavazos JE and Sirven JI. American Epilepsy Society; 2006. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2511/
LINK JURNAL :
http://repository.unair.ac.id/97641/4/4.%20BAB%201%20PENDAHULUAN.pdf
http://anestesi.fk.ugm.ac.id/jka.ugm/download-file-774756.pdf
https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=pemeriksaan+penunjang+epilepsy&btnG=#d=gs_qabs&u%3D0QY9e8Q3J
X4J
https://stikespanakkukang.ac.id/assets/uploads/alumni/d77e61d0023524d92f6bf94ac6355.pdf
TERIMA
KASIH any questions?