Anda di halaman 1dari 41

RANGKUMAN FARMAKOLOGI II

DISUSUN OLEH:
NAMA  : DJUNAIDDIN
NIM  : F201701072
KELAS  : K2
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
STIKES MANDALA WALUYA KENDARI
2019

1. ANTIEPILEPSI 
 Definisi Epilepsi
Epilepsi   adalah   nama   umum   untuk   sekelompok   gangguan   atau   penyakit
susunan   saraf   pusat   yang   timbul   spontan   dan   berulang   dengan   episode   singkat
(disebut bangkitan berulang atau recurrent seizure) dengan gejala utama kesadaran
menurun   sampai   hilang.   Bangkitan   ini   biasanaya   disertai   kejang   (konvulsi),
hiperaktivitas   otonomik,   gangguan   sensorik   atau   psikik   dan  disertai   gambaran
letupan EEG (abnormal dan eksesif).
 Gejala  Epilepsi antara lain:
1. Mata yang terbuka saat kejang.
2. Tubuh yang menjadi kaku selama beberapa detik. Ini bisa diikuti dengan
gerakan­gerakan ritmis pada lengan dan kaki atau tidak sama sekali.
3. Otot­otot pada tubuh terutama lengan, kaki, dan badan bagian atas berkedut.
4. Otot tubuh tiba­tiba menjadi relaks sehingga penderita jatuh tanpa kendali.
5. Gerakan ritmis berangsur­angsur lambat sebelum akhirnya berhenti.
6. Penderita epilepsi kadang­kadang mengeluarkan suara­suara atau berteriak
saat mengalami kejang­kejang.
7. Mengompol.
8. Kesulitan bernapas untuk beberapa saat, sehingga badannya terlihat pucat
atau bahkan membiru.
9. Dalam sebagian kasus, kejang menyeluruh membuat penderita benar­benar
tidak sadarkan diri.
10. Setelah sadar, penderita terlihat bingung selama beberapa menit atau jam
 Klasifikasi Bangkitan Epilepsi
1. Bangkitan umum toknik klonik (grand mal)
Merupakan   jenis   bangkitan   yang   paling   dramatis,   terjadi   pada   10%
populasi epilepsi. Terdiri atas 3 fase : fase toknik, fase klonik dan fase pasca
kejang.
2. Bangkitan lena (petit­mal) / abscence
Bangkitan   lena   terjadi   secara   mendadak   (10­45   detik).   Manifestasi
klinis:   berupa   kesadaran   menurun   sementara,   namun   kendali   atas   fostur
tubuhmasih   baik(pasien   tidak   jatuh),   biasanya   disertai   automatisme   (geraka­
gerakan   berulang),   maka   berkedip   gerakan­gerakan   eksteremitas   berulang,
gerakan   mengunyah.   Terjadi   sejak   masa   kanak­kanak   (4­8   tahun).   Remisi
spontan 60­70% pasien pada masa remaja. Seringkali disertai oleh bangkiatan
sekunder.
3. Bangkitan lena aptikal
Manifestasi   klinisnya  berupa   perubahan   postural   terjadi   lebih   lambat
dan   lebih   lama,   biasanya   disertai   retardasi   mental.   Lebih   refrakter   terhadap
terapi.
4. Bangkitan mioklonik
Berupa kontraksi otot sebagian/seluruh tubuh yang terjadi secara cepat
dan mendadak . mioklonik dapat terlihat pada berbagai jenis bangkitan seperti :
bangkitan umum tonik­klonik, bangkitan parsial, bangkitan umum tipe abscence
dan spasme infantil.
5. Bangkitan atonik
Klinis : tiba­tiba kehilanagan tonus otot postural sehingga seringkali jatuh
tiba­tiba. Sering terjadi pada anak­anak.
6. Spasme infantil
Terjadi   pada   usia   4­8   bulan.   Manifestasi   klinisnya   berupa   kontraksi
leher, batang tubuh dan ekstremitas simetris bilateral; ada frakmentasi serangan
kejang/terputus.faktor   pencetus:   infeksi   ,   tbc,   hiperglikemia,   hipoglikemia,
kelainan   metabolisme.   Sebagian   besar   tidak   responsif   terhadap   terapi,   dan
retardasi mental tidak dapat dicegah dengan terapi.
7. Bangkitan parsial sederhana
Dapat menyebabkan gejala­gejala motorik, sensorik, otonom dan psikis
tergantung   korteks   serebri   yang   aktivasi,   namun   kesadaran   tidak   terganggu:
penyebaran cetusan listrik abnomal minimal, pasien masih sadar.
8. Bangkitan parsial kompleks
Penyebaran cetusan listrik yang abnormal lebih banyak. Biasanya terjadi
pada lobus temporal karena lobus ini rentan terhadap hipoksia/infeksi. Klinis:
ada tanda peringatan/”aura” yang disertai oleh perubahan kesadaran ; diikuti oleh
“automatisme, yakni gerakan otomatis yang tidak disadari seperti menjilat bibir,
menelan, menggaruk, berjalan, yang biasanya berlangsung selam 30­120 detik.
Kemudian,   biasanya   pasien   kembali   norma   yang   disertai   kelelahan   selama
beberapa jam.
9. Kejang deman pada neonatus
Adalah  kejang  pada   anak usia   6 bulan sampai  5  tahun  tanpa  disertai
kelainan neurologis, bersifat umum dan singkat (< 15 menit) terjadi bersamaan
dengan demam, hanya terjadi 1x 24 jam,. Anak­anak dengan infeksi susunan
saraf pusat atau kejang tanpa demam sebelumnya tidak dapat disebut menderita
kejang demem.
10. Status epileptikus
Yaitu suatu bangkitan yang etrjadi berulang­ulang. Pasien belum sadar
setelah epesode pertama , serangan berikutnya sudah di mulai. Merupakan suatu
kegawat daruratan. Ada berbagai jenis status epileptikus, tapi yang paling sering
adalah   jenis   status   epileptikus   umum,   tonik­klonik.   Dapat   disebabkan
penghentian   terapi   yang   mendadak,   terapi   yang   tidak   memadai,   penyakit­
penyakit dalam otak (ensefalitis, tumor dalam otak, kelainan serebrovaskular),
keracunan alkohol. Efek yang ringan dengan gangguan kesadaran yang singkat.

 Mekanisme Terjadinya Bangkitan Epilepsi

Pada fokus  epilepsi  di  korteks  serebri  terjadi  yang timbul  kadang­kadang,


secara   tiba­tiba,   berlebihan   dan   cepat;   letupan   ini   menjadi   bangkitan   umumbila
neuron normal disekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut.
Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi dua fase:
1. Fase   inisiai   terdiri   atas   letupan   potensial   aksi   frekuensi   tinggi   yang
melibatkan   peranan   kanal   ion   Ca++ dan   Na+ serta   hiperpolarisasi   tang
dimediasi oleh reseptoe GABA atau ion K+.
2. Fase   propagasi.   Dalam   keadaan   normal,   penyebaran   depolarisasi   akan
dihambat   oleh   neuron­neuron   inhibisi   di   sekitarnya   yang   mengadakan
hiperpolarisasi. Namun pada fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel
(yang   mendepolarisasi   neuron   disekitarnya)   akumulasi   Ca++ pada   ujung
akhir pre sinaps (meningkatkan pelepasan neurotrasmitor) serta mengeduksi
reseptor eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak terjadi
inhibisi oleh neuron­neuron disekitarnya. Kemudian aka dilanjutkan dengan
penyebaran   dari   korteks   hingga   spinal   ,   sehingga   dapat   menyebabkan
epilepsi umum/epilepsi sekunder.
 Pengolongan Obat Anti Epilepsi 

Antiepilepsi   digolongkan   dalam   5   golongan   kimiawi,   yakni   hidantoin,


barbiturat, oksazolidindion, suksimid dan asetil urea. Akhir­akhir ini karbamazepin
dan asam valproat memegang peran penting dalam terapi pengobatan epilepsi.
Farmakokinetik   obat   antiepilepsi. Sebagian   besar   obat   antiepilepsi
dimetabolisme   di   hati,   kecuali   vigabatrin   dan   gabapentin   yang   dieliminasi   oleh
sekresi ginjal.
Berikut golongan kimiawi antiepilepsi:
1. Golongan Hidantoin
Dalam   golongan   hidantoin   dikenal   tiga   senyawa   antikonvulsi,   fenitoin
(Difenilhidatoin),mefinitoin dan etotoin dengan fenotoin sebagai prototipe.
a. Fenitoin
Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsy, kecuali bangkitan
lena. Adanya gugus fenil atau aromatic lainnya pada atom C penting untuk efek pengendalian
bangkitan tonik­klonik, sedangkan gugus alkilbertalian dengan efek sedasi, sifat yang terdapat
pada mefenitoin dan barbiturat, tetapi tidak padafenitoin. Adanya gugus metal pada atom
N akan mengubah spectrum aktivitas misalnyamefenitoin, dan hasil N dimetilisasi oleh enzim
mikrosom hati menghasilkan metabolit tidak aktif.
a. Farmakologi fenitoin
Fenitoin berefek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP.Dosis toksik
menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigditas deserebrasi.Sifat antikonvulsi fenitoin
didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagianlain otak. Efek stabilitasi
membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sellainnya yang juga mudah
terpacu misalnya sel sistem konduksi jantung. Fenitoin mempengaruhiperpindahan ion melintasi
membran sel, dalam hal ini khususnya dengan menggiatkan pompano + neuron.
b. Farmakokinetik fenitoin
 Absorbsi   fenitoin   yang   diperlukan   berlangsung   lambat,   10%   daridosis   oral
diekskresikan melalui tinja dalam bentuk utuh. Kadar puncak dalam plasma dicapaidalam 3­12
jam. Bila dosis muatan (loading dose) perlu diberikan, 600­800 mg, dalam dosisterbagi antara
8­12 jam, kadar efektif plasma akan tercapai dalam 24 jam. Pemberian fenitoinmengendap di
tempat suntikan kira­kira 5 hari, dan absorbs berlangsung lambat. \ Pengikatan fenitoin oleh
protein, terutama oleh albumin plasma kira­kira 90%. Pada orangsehat, termasuk wanita hamil
dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi bebas kira­kira10%, sedangkan pada pasien
dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit hepatorenal danneonatus fraksi bebas bebas
rata­rata di atas 15%. Pada pasien epilepsi, fraksi bebas berkisarantara 5,8%­12,6%. Fenitoin
terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya bertahan lebihlama tetapi mula kerja lebih
lambat dari fenobarbital.
c. Interaksi Obat Fenition
Kadar   fenition   dalam   plasma   akan   meninggi   bila   diberikan   bersama
kloramfenikol, disulfiram, INH, simetidin, dikumarol, dan beberapa sulfonamide tertentu,
karna obat­obat tersebut mengambat biotransformasi fenition, sedangkan sulfisoksazol,
fenilbutazon, salisilat dan asam valproat akan mempengaruhi ikatan protein plasma fenitoin
sehingga meninggikan  juga kadarnya dalam plasma. Teofilin menurunkan kadar
fenitoin   bila   diberikan   bersamaan,   diduga karena   teofilin   meningkatkan
biotransformasi fenitoin juga mengurangi absorpsinya
d. Intoksikasi dan efek sampingfenitoin
1) Susunan Saraf Pusat
 Efek samping fenitoin tersering ialah  diplopia,  ataksia,  vertigo,  nistagmus, sukar
bebicara (slurred speech) disertai gejala lain,  misalnya tremor, gugup, kantuk, rasa lelah,
gangguan mental yang sifatnya berat, ilusi, halusinasi sampai psikotik. Defisiensi folat yang
cukup lama merupakan factor yang turut berperan dalam terjadinyagangguan mental.efek
samping SSP lebih sering terjaadi dengan dosis melebihi 0,5 g sehari.

2) Saluran Cerna Dan Gusi.
Nyeri ulu hati, anoreksia, mual dan muntah terjadi karena fenitoin bersifat alkali.
Ploriferasi   epitel   dan   jaringan   ikat   gusi   dapat   terjadi   pada   penggunaan   kronik,  dan
menyebabkan hyperplasia pada 20% pasien .
3) kulit
Efek samping pada kulit terjadi pada 2­5% pasien,  lebih sering pada anak dan
remaja yaitu berupa ruam morbiliform. Beberapa kasus diantaranya disertai hiperpireksia,
eosinofilia,  dan terjadi ruam kulit sebaiknya pemberian obat dihentikan,  dan diteruskan
kembali dengan berhati­hati bila kelainan kulit telah hilang. Pada wanita muda, pengobatan
fenitoin   secara   kronik   menyebabkan  keratosis   dan  hirsutisme,  karena   meningkatnya
aktivitas korteks suprarenalis.
4) Lain­Lain.
Bila   timbul   gejala   hepatotoksisitas   berupa   ikterus   atau   hepatitis,   anemia
megaloblastik (antara lain akibat defisiensi folat) atau kelainan darah jenis lain,pengobatan
perlu dihentikan. Fenitoin bersifat teratogenik.kemungkinan melahirkan bayi dengan cacat
kongnital meningkat menjadi 3 kali, bila ibunya mendapatkan terapi fenitoin selama trimester
pertama kehamilan. Cacat congenital yang menonjol ialah keiloskisis dan palatoskisis. Pada
kehamilan lanjut,  fenitoin menyebabkan abnormalitas tulang pada neonatus.  Pengunaan
fenitoin pada wanita hamil tetap diteruskan berdasarkan pertimbangan bahwa bangkitan
epilepsi sendiri dapat menyebabkan cacat pada anak sedangkan tidak semua ibu yang minum
fenitoin mendapat anak cacat.
b. Indikasi,
Fenitoin di indikasikan terutama untuk bangkitan tonik­klonik dan bangkitan
persial atau fokal. Banyak ahli penyakit saraf di Indonesia lebih menyukai penggunaan
fenobarbital karena batas keamanan yang sempit, efek samping dan efek toksik, sekalipun
ringantetapi cukup mengganggu terutama pada anak.Indikasi lain fenitoin ialah untuk
neuralgia trigerminal dan aritmia jantung. Fenitoin juga digunakan pada terapi renjatan listrik
(ECT) untuk meringankan konvulsinya dan bermanfaat pula terhadap kelainan ekstra
piramidal iatrogenic.
c. Sediaan Dan Posologi.
Fenitoin atau difenilhidantoin tersedia sebagai garam Nadalam bentuk kapsul 100 mg
dan tablet kunyah 30 mg untuk pemberian oral, sedangkan sediaan suntik 100mg/2ml.
Disamping itu juga tersedia bentuk sirup dengan takaran 125mg/5ml.Harus diperhatikan agar
kadar plasma optimal, yaitu berkisar antara 10­20µg/ml. kadardibawahnya kurang efektif untuk
pengendalian konvulsi, sedangkan jika kadar lebih tinggi akan bersifat toksik. Dosis fenitoin
selalu harus disesuaikan untuk masing­masing individu, patokan  kadar terapi antara 10­
20µg/ml bukan merupakan angka mutlak karena beberapa pasien menunjukan efektivitas
fenitoin yang baik pada kadar 8µg/ml, sedangkan pada pasien lain,nistagmus sudah terjadi pada
kadar 15µg/ml. Untuk pemberian oral, dosis awal untuk dewasa 300 mg, dilanjutkan dengan
dosis penunjang antara 300­400mg, maksimum 600mg sehari. Anak diatas 6 tahun, dosis awal
sama dengan dosis dewasa, sedangkan untuk anak dibawah 6 tahun, dosis awal 1/3 dosis
dewasa, dosis penunjang ialah 4­8 mg/kgBB sehari, maksimum 300mg. Dosis awal dibagi
dalam 2­3 kali pemberian.
2. Golongan Barbiturat
Disamping sebagai hipnotik­sedatif, golongan barbiturate efektif sebagai obat antikonvulsidan yang
biasa digunakan adalah barbiturate kerja lama (long   acting   barbiturates). Disini dibicarakan efek
antiepilepsi prototip barbiturate yaitu fenobarbital dan pirimidon yang strukturkimia nya mirip dengan
barbiturate.Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsy. Barbiturat menghambattahap
akhir oksidasi mitokondria,sehingga mengurangi pembentukan fosfat berenergi tinggi.Senyawa fosfat ini perlu
untuk sintesis neurotransmitor misalnya Ach, dan untuk repolarisasimembrane sel neuron setelah depolarisasi.
a. Fenobarbital
Fenobarbital, asam 5,5­fenil­etil barbiturate, merupakan senyawa organik pertama yang digunakan
dalam pengobatan antiepilepsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan
ambang rangsang. Dosis efektifnya relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini dianggap sebagai efek
samping, dapat diatasi dengan pemberian stimulan sentral tanpa mengurangi efek antikonvulsinya.
Dosis dewasa yang biasa digunakan ialah dua kali 100mg sehari. Untuk mengendalikan epilepsy
disarankan kadar plasma optimal. Berkisar antara 10­40µg/ml. Kadar plasma diatas  40µg/ml sering
disertai gejala toksik yang nyata. Penghentian pemberian fenobarbital harus  secara bertahap guna
mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi bangkitan kembali, atau  malahan bangkitan status
epileptikus.  Interaksi fenobarbital dengan obat lain umumnya terjadi karena frnobrbital meningkatkan
aktivitas enzim mikrosom hati. Kombinasi dengan asam valproat akan menyebabkan kadar fenobarbital
meningkat 40%.
3. Golongan Oksazolidindion
a. Trimetadion 
Trimetadion   (   3,5,5   trimetiloksazolidin   2,4,dion),   sekalipun   telah   terdesak   oleh
suksinimid,merupakan prototip obat bangkitan lena. Trimetadion juga bersifat analgetik dan hipnotik.
b. Farmakodinamik Trimetadion 
Trimetadion memperkuat depresi pascatransmisi,sehingga transmisi impuls berurutan dihambat,
transmisi impuls satu per satu tidak terganggu.Trimetadion memulihkan EEG abnormal pada bagkitan
lena.
c. Farmakokinetik Trimetadion 
Trimetadion per oral mudah di absorbsi dari saluran cerna dan didistribusi ke berbagai cairan badan.
Biotransformasi trimetadion terutama terjadi di hati dengan demetilasi yang menghasilkan didion (5,5,
dimetiloksazolidin ,2,4, dion ). Senyawa ini masihaktif masih aktif terhadap bangkitan lena, tetapi efek
antikonvulsi nya lebih lemah.
d. Intoksikasi dan efek samping
Intoksikasi dan efek samping trimetadion yangbersifat ringan berupa sedasi hemeralopia, sedang
yang bersifat lebih berat berupa gejala pada  kulit,  darah,  ginjal dan hati. Gejala intoksikasi lebih sering
ttimbul pada pengobatan kronik.  Sedasi berat dapat diatasi dengan amfetamin tanpa mengurangi efek
antiepilepsinya, bahkan  sesekali amfetamin dapat menekan bangkitan lena.  Efek samping pada kulit
berupa ruam  morbiliform dan kelainan akneform, lebih berat lagi  berupa dermatitis eksfoliatif atau
eritema multiformis. Kelainan darah berupa neutropenia ringan, tetapi anemia aplastik dapat bersifat fatal.
Gangguan fungsi ginjal dan hati, berupa syndromenefrotik dan hepatitis, dapat menyebabkan kematian.
e. Indikasi
Indikasi utama trimetadion ialah bangkitan lena murni (tidak disertai komponenbangkitan bentuk
lain).   Trimetadion   dapat   menormalkan   gambaran   EEG   dan   meniadakankelainan   EEG   akibat
hiperventilasi maksimal pada 70% pasien. Bangkitan lena yang timbul padaanak umumnya sembuh
menjelang dewasa. Dalam kombinasi dengan trimetadion, efek sedasifenobarbital dan primidon dapat
memberat. Sebaiknya jangan dikombinasikan denganmefenitoin, sebab gangguan pada darah dapat
bertambah   berat.Penghentian   terapi   trimetadion   harus   secara   bertahap   karena   bahaya   eksaserbasi
bangkitandalam bentuk epileptikus, demikian pula obat lain yang terlebih dulu diberikan.
f. Kontraindikasi
Trimetadion  di  kontraindikasikan pada   pasien  anemia,  leucopenia,  penyakit  hati,  ginjal   dan
kelainan n.opticus.
4. Golongan Suksinimid

Antiepilepsi   golongan   suksinimid   yang   digunakan   di   klinik   adalah   etosuksimid,metsuksmid   dan


fensuksimid. Berdasarkan penelitian pada hewan, terungkap bahwaspectrum antikonvulsi etosuksimid sama
dengan trimetadion. Sifat yang menonjol darietosuksimid dan trimetadion adalah mencegah bangkitan
konvulsi pentilentetrazol.Etosuksimid, dengan sifat antipentilentetrazol terkuat, merupakan obat yang paling
selektif terhadap bangkitan lena.
 Etosuksimid Etosuksimid   di   absorbs   lengkap   melalui   saluran   cerna.   Setelah   dosis   tunggal
oral,diperlukan waktu antara 1­7 jam untuk mencapai kadar puncak dalam plasma. Distribusimerata ke segala
jaringan, dan kadar cairan serebrospina saa dengan kadar plasma. Efek samping yang sering timbul ialah
mual, sakit kepala, kantuk dan ruam kulit. Gejala yanglebih berat berupa agranulositosis dan pansitopenia.
Dibandingkan dengan trimetadion.etosuksimid lebih jarang menimbulkan diskrasia darah, dan nefrotoksisitas
belum pernahdilaporkan, sehingga etosuksmid umumnya lebih disukai dari pada Trimetadion.Etosuksimid
merupakan obat terpilih untuk bangkitan lena. Terhadap bangkitan lena padaanak, efektivitas etosuksimid
sama dengan trimetadion, 50­70 % pasien dapat dikendalikanbagkitannya.
5. Karbamazepin

Karbamazepin pertama­tama digunakan untuk pengobatan trigeminal neuralgia,kemudian ternyata bahwa
obat ini efektif terhadap bangkitan tonik­klonik. Saat ini,karbamazepin merupakan antiepilepsi utama di
Amerika   Serikat.Karbamazepin   memperlihatkan   efek   analgesic   selektif,   misalnya   pada   tabes   dorsalis
danneuropati lainnya yang sukar diatasi dengan analgesik biasa. Atas perhitungan untung­rugikarbamazepin
tidak dianjurkan untuk nyeri ringan.Efek samping dari karbamazepin dalam pemberian obat jangka lama ialah
pusing,vertigo, ataksia, diplopia, dan penglihatan kabur. Frekuensi baangkitan dapat meningkat akibat dosis
berlebih. Karena potensinya untuk menimbulkan efek samping sangat luas, makapada pengobatan dengan
karbamazepin dianjurkan pemeriksaan nilai basal dari darah danmelakukan pemeriksaan ulangan selama
pengobatan.Fenobarbital   dan   fenitoin   dapat   meningkatkan   kadar   karbamazepin,   dan
biotransformasikarbamazepin dapat dihambat oleh eritromisin. Konversi primidon menjadi fenobarbital
ditingkatkan   oleh   karbamazepin,sedangkan   pemberian   karbamazepin   bersama   asam   valproatakan
menurunkan kadar asam valproat.
Dosis anak di bawah 6 tahun, 100mg sehari, 6­12 tahun, 2 kali 100mgsehari. Dosis dewasa : dosis awal 2
kali 200 mg hari pertama selanjutnya dosis di tingkatkan secara bertahap. Dosis penunjang berkisar antara 800­
1200 mg sehari untuk dewasa atau 20­30 mg/kgBB untuk anak. Dengan dosis ini umumnya tercapai kadar
terapi dalam serum 6­8µg/ml.
6.  Golongan Benzodiazepin
a. Diazepam 
 Diazepam adalah turunan dari benzodiazepine dengan rumus molekul 7­kloro­1,3­dihidro­1­metil­
5­fenil­2H­1,4­benzodiazepin­2­on.  Merupakan senyawa Kristal tidak berwarna atau agak kekuningan
yang tidak larut dalam air. Secara umum , senyawa aktif benzodiazepine dibagikedalam empat kategori
berdasarkan waktu paruh eliminasinya, yaitu :
1) Benzodiazepin ultra short­acting
2) Benzodiazepin short­acting, dengan waktu paruh kurang dari 6 jam. Termasuk didalamnya
triazolam, zolpidem dan zopiclone.
3) Benzodiazepin intermediate­acting, dengan waktu paruh 6 hingga 24 jam. Termasuk didalamnya
estazolam dan temazepam.
4) Benzodiazepin long­acting,  dengan  waktu  paruh lebih dari  24 jam.  Termasuk didalamnya
flurazepam, diazepam dan quazepam.

Dipasaran, diazepam tersedia dalam bentuk tablet, injeksi dan gel rectal, dalam berbagaidosis
sediaan.   Beberapa   nama   dagang   diazepam   dipasaran   yaitu   Stesolid®,Valium®,   Validex® dan
Valisanbe®, untuk sediaan tunggal dan Neurodial®, Metaneuron®dan Danalgin®, untuk sediaan
kombinasi dengan metampiron dalam bentuk sediaan tablet.
b. Mekanisme kerja
 Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan neuron GABA.Reseptor
Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggiterutama dalam
korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil. Padareseptor ini, benzodiazepin
akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin
dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan adanyainteraksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap
reseptornya akan meningkat, dan dengan inikerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor
GABA, saluran ion klorida akan terbukasehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke
dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel bersangkutan
dan sebagai akibatnya,kemampuan sel untuk dirangsang berkurang. Akibatnya,
c. Profil farmakokinetika
1) Waktu paroh Diazepam 20­40 jam, DMDZ 40­100 jam. Tergantung pada variasi subyek. Waktu
paroh meningkat pada mereka yang lanjut usia dan bayi neonatus serta penderita gangguan liver.
Perbedaan jenis kelamin juga harus dipertimbangkan.
2) Volume Distribusi : Diazepam dan DMDZ 0,3­0,5 mL/menit/Kg. Juga meningkat padamereka
yang lanjut usia.
3) Waktu untuk mencapai plasma puncak : 0,5 – 2 jam.
4) Distribusi dalam Darah : Plasma (perbandingan dalam darah) Diazepam 1,8 danDMDZ 1,7.Ikatan
Protein : Diazepam 98 – 99% dan DMDZ 97%. Didistribusi secaraluas. Menembus sawar darah
otak. Menembus plasenta dan memasuki ASI.
5) Jalur   metabolisme   :   Oksidasi Dimetabolisme   terutama   oleh   hati.   Beberapa   produk
metabolismenya bersifat aktif sebagai depresan SSP.
6) Metabolit klinis yang signifikan : Desmetildiazepam (DMDZ) , temazepam dan oksazepam.
7. Antiepilepsi lain
a. asetazolamid
b. vigabatrin
c. lamotrigin
d. gabapentin
e. tiagabin
f. zonisamid
g. levetirasetam

A. Mekanisme kerja obat antiepilepsi

Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi dan penyebaran
kejang.   Namun,   umumnya   obat   antiepilepsi   lebih   cenderng   bersifat   membatasi   proses
penyebaran kejang daripada mencegah prosesinisiasi. Dengan demikian secara umum ada dua
mekanisme   kerja,   yakni   :   peningkatan   inhibisi   dan   penurunan   eksitasi   yang   kemudian
memodifikasi konduksi ion : Na+,Ca2+,K+, dan Cl­ atau aktivitas neuroransmitor, meliputi :
1. Inhibisi kanal Na+ pada membran sel akson.
Contoh : fenition dan karbamazepin (pada dosis terapi), fenobarbital dan asam valproat (dosis
tinggi), lamotrigin topiramat, zonisamid.
2. Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus (yang berperan sebagai pace­maker untuk
membangkitkan cetusan listrik umum di korteks).
Contoh : etosuksimid, asam valproat, dan clonazepam.
3. Peningkatan inhibisi GABA
4. Penurunan Ekssitasi glutamat
1. HIPNOTIK­SEDATIF
a. Definisi 
Sedatif  adalah   zat­zat   yang   dalam   dosis   terapi   yang   rendah   dapat   menekan   aktivitas
mental, menurunkan respons terhadap rangsangan emosi sehingga menenangkan. 
Hipnotik adalah  Zat­zat dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan untuk
tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur.
Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat pendepresi susunan syaraf pusat (SSP).
Efeknya bergantung kepada dosis, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesia, koma dan mati.
Pada dosis terapi, obat sedatif menekan aktivitas mental, menurunkan respons terhadap
rangsangan emosi sehingga menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah
tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.
Efek   sedasi   juga   merupakan   efek   samping   beberapa   golongan   obat   lain   yang   tidak
termasuk   obat   golongan   depresab   SSP.   Walaupun   obat   tersebut   memperkuat   penekanan   SSP,
secara tersendiri obat tersebut memperlihatkan efek yang lebih spesifik pada dosis yang jauh lebih
kecil daripada dosis yang dibutuhkan untuk mendepresi SSP secara umum.
Beberapa obat dalam golongan hipnotik dan sedatif, khususnya golongan benzodiazepin
diindikasikan   juga   sebagai   pelemas   otot,   antiepilepsi,   antiansietas   (anticemas),   dan   sebagai
penginduksi anestesia.
2. Contoh obat
a. Midazolam
Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin yang stabil dalam larutan
dan metabolisme yang cepat. Selain itu afinitas terhadap reseptor GABA 2 kali lebih kuat disbanding
diazepam.  Efek amnesia pada obat  ini  ebih kuat  dibandingkan efek  sedasi  sehingga  pasien dapat
terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama beberapa jam.
b. Diazepam 
Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut dalam lemak dan memiliki durasi kerja yang lebih
panjang   dibandingkan   midazolam.   Diazepam   dilarutkan   dengan   pelarut   organic   (propilen   glikol,
sodium benzoat) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH 6,6­6,9. 
c. Lorazepam
Lorazepam memiliki struktur yang sama dengan oxazepam, hanya berbeda pada adanya klorida ekstra
pada   posisi   orto   5­pheynil   moiety.   Lorazepam   lebih   kuat   dalam   sedasi   dan   amnesia   disbanding
midazolam dan diazepam sedangkan efek sampingnya sama.
d. Flurazepam
Flurazepam diindikasikan sebagai obat untuk mengatasi insomnia. Hasil dari uji klinik terkontrol telah
menunjukkan bahwa Flurazepam menguarangi secara bermakna waktu induksi tidur, jumlah dan lama
terbangun   selama   tidur   ,   maupun   lamanya   tidur.   Mula   efek   hipnotik   rata­rata   17   menit   setelah
pemberian   obat   secara   oral   dan   berakhir   hingga   8   jam.
Efek residu sedasi di siang hari terjadi pada sebagian besar penderita,oleh metabolit aktifnya yang
masa kerjanya panjang, karena itu obat Fluarazepam cocok untuk pengobatan insomia jangka panjang
dan insomnia jangka pendek yang disertai gejala ansietas di siang hari.
e. Nitrazepam
Nitrazepam   juga   termasuk   golongan   Benzodiazepine.   Nitrazepam   bekerja   pada   reseptor   di   otak
(reseptor GABA) yang menyebabkan pelepasan senyawa kimia GABA (gamma amino butyric acid).
GABA adalah suatu senyawa kimia penghambat utama di otak yang menyebabkan rasa kantuk dan
mengontrol kecemasan. 
Nitrazepam bekerja dengan meningkatkan aktivitas GABA, sehingga mengurangi fungsi otak pada
area   tertentu.   Dimana   menimbulkan   rasa   kantuk,   menghilangka   rasa   cemas,   dan   membuat   otot
relaksasi.
Nitrazepam biasanya digunakan untuk mengobati insomnia. Nitrazepam mengurangi waktu terjaga
sebelum tidur dan terbangun di malam hari, juga meningkatkan panjangnnya waktu tidur. Seperti
Nitrazepam ada dalam tubuh beberapa jam, rasa kantuk bisa tetap terjadi sehari kemudian. 
f. Estazolam
Estazolam digunakan jangka pendek untuk membantu agar mudah tidur dan tetap tidur sepanjang
malam.  Estazolam tersedia dalam bentuk tablet digunakan secara oral diminum sebelum atau sesudah
makan. Estazolam biasanya digunakan sebelum tidur bila diperlukan. Penggunaannya harus sesuai
dengan resep yang dibuat oleh dokter anda. 
Estazolam   dapat   menyebabkan   kecanduan.   Jangan   minum   lebih   dari   dosis   yang   diberikan,   lebih
sering,   atau   untuk   waktu   yang   lebih   lama   daripada   petunjuk   resep.   Toleransi   bisa   terjad   pada
pemakaian jangka panjang dan berlebihan.
Jangan  digunakan lebih dari 12 minggu atau berhenti  menggunakannnya tanpa konsultasi  dengan
dokter. Dokter akan mengurangi dosis secara bertahap. Pengguna akan mengalami sulit tidur satu atau
dua hari setelah berhenti menggunakan obat ini.
g. Zolpidem Tartrate
Zolpidem   Tartrate   bukan   Hipnotika   dari   golongan   Benzodiazepin   tetapi   merupakan   turunan   dari
Imidazopyridine. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 10 mg. Zolpidem disetujui untuk penggunaan
jangka   pendek   (biasanya   dua   minggu)   untuk   mengobati   insomnia.   Pengurangan   waktu   jaga   dan
peningkatan waktu tidur hingga 5 minggu telah dilakukan melalui uji klinik yang terkontrol. Insomnia
yang bertahan setelah 7 hingga 10 hari pengobatan menandakan adanya gangguan jiwa atau penyakit.
Insomnia   bertambah   buruk   atau   tingkah   laku   dan   pikiran   yang   tidak   normal   secara   tiba­tiba
merupakan   konsekwensi   pada   penderita   dengan   gangguan   kejiwaan   yang   tidak   diketahui   atau
gangguan fisik.

NAMA OBAT, CARA PEMBERIAN & DOSIS BEBERAPA BENZODIAZEPIN
Nama Obat
Cara Pemberian Dosis
(Nama Dagang)
Alprazolam (XANAX) Oral ­
Klordiazepoksid   (LIBRIUM,
Oral, intramuscular, intravena 5,0 – 100,0 ; 1­3x/hari
DLL)
Klonazepam (KLONOPIN) Oral ­
Korazepat (TRANXENE, dll) Oral 3,75 – 20,00 ; 2­4x/hari
Oral,   intramuscular,   intravena,
Diazepam (VALIUM, dll) 5 – 10 ; 3­4x/hari
rectal
Estazoyam (PROZOM) Oral 1,0 – 2,0
Flurazepam (DALMANE) Oral 15,0 – 30,0
Halazepam (PAXIPAM) Oral ­
Lorazepam (ATIVAN) Oral, intramuscular, intravena, 2,0 – 4,0
Midazolam (VERSED) intramuscular, intravena            
Oksazepam (SERAX) Oral 15,0 – 30,0 ; 3­ 4x/hari
Quazepam (DORAL) Oral 7,5 – 15,0
Temazepam (RESTORIL) Oral 0,75 – 30,0
Triazolam (HALCION) Oral 0,125 – 0,25

2.2.2 BARBITURAT
Barbiturat   selama   beberapa   saat   telah   digunakan   secara   ekstensif   sebagai   hipnotik   dan
sedative. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturate telah banyak
digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital yang memiliki anti
konvulsi yang masih sama banyak digunakan.
             Secara   kimia,   barbiturate   merupakan   derivate   asam   barbiturate.   Asam   barbiturate   (2,4,4­
trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat.
             Efek utama barbiturate ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari
sedasi,   hypnosis,   koma  sampai   dengan  kematian.   Efek   antisietas   barbiturate   berhubungan   dengan
tingkat  sedasi  yang dihasilkan.  Efek  hipnotik  barbiturate  dapat  dicapai  dalam  waktu  20­60 menit
dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu.
Efek   anastesi   umumnya   diperlihatkan   oleh   golongan   tiobarbital   dan   beberapa   oksibarbital   untuk
anastesi   umum.   Untuk   efek   antikonvulsi   umumnya   diberikan   oleh   barbiturate   yang   mengandung
substitusi   5­   fenil   misalnya   fenobarbital. Fase   tidur   REM   dipersingkat.   Barbiturat   sedikit
menyebabkan sikap masa bodoh terhadap rangsangan luar.
Barbiturat tidak dapat mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pemberian obat
barbiturat   yang   hampir   menyebabkan   tidur,   dapat   meningkatkan   20%   ambang   nyeri,   sedangkan
ambang rasa lainnya (raba, vibrasi dan sebagainya) tidak dipengaruhi. Pada beberapa individu dan
dalam keadaan tertentu, misalnya adanya rasa nyeri, barbiturat tidak menyebabkan sedasi melainkan
malah menimbulkan eksitasi (kegelisahan dan delirium). Hal ini mungkin disebabkan adanya depresi
pusat penghambatan.
Farmakokinetik
             Barbiturat   yang   mudah   larut   dalam   lemak,   misalnya   thiopental   dan   metoheksital,   setelah
pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan kadarnya
dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturate yang kurang lipofilik misalnya aprobarbital
dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna di dalam hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada
kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital
diekskresikan   ke   dalam   urin   dalam   bentuk   tidak   berubah   sampai   jumlah   tertentu   (20­30%)   pada
manusia.
 Kontraindikasi  
Barbiturate tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturate, penyakit hati atau ginjal,
hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturate juga tidak boleh diberikan pada penderita psikoneurotik
tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada penderita usia lanjut.
NAMA OBAT, BENTUK SEDIAAN & DOSIS BEBERAPA OBAT BARBITURAT
Nama Obat Bentuk Sediaan Dosis Dewasa (mg)
Amobarbital Kapsul,tablet,injeksi,bubuk 30­50; 3x
Aprobarbital Eliksir 40; 3x
Butabarbital Kapsul,tablet,eliksir 15­30 ; 3­4x
Pentobarbital Kapsul,eliksir,injeksi,supositoria 20 ; 3­4x
Sekobarbital Kapsul,tablet,injeksi 30­50 ; 3­4x
Fenobarbital Kapsul,tablet, eliksir,injeksi 15­40 ; 3x

2.2.3 LAIN ­ LAIN
1)      Propofol
Propofol   adalah   substitusi   isopropylphenol   yang   digunakan   secara   intravena   sebagai   1%
larutan pada zat aktif yang terlarut, serta mengandung 10% minyak kedele, 2,25% gliserol dan 1,2%
purified   egg   phosphatide.   Obat   ini   secara   struktur   kimia   berbeda   dari   sedative­hipnotik   yang
digunakan   secara   intravena   lainnya.   Penggunaan   propofol   1,5­2,5   mg/kg   BB   (atau   setara   dengan
thiopental 4­5 mg/kg BB atau methohexital 1,5 mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (<15 detik)
menimbulkan   turunnya   kesadaran   dalam   waktu   30   detik.   Propofol   lebih   cepat   dan   sempurna
mengembalikan kesadaran dibandingkan obat anesthesia lain yang disuntikkan secra cepat. Selain
cepat mengembalikan kesadaran, propofol memberikan gejala sisa yang minimal pada SSP. Nyeri
pada tempat suntikan lebih sering apabila obat disuntikkan pada pembuluh darah vena yang kecil.
Rasa nyeri ini dapat dikurangi dengan pemilihan tempat masuk obat di daerah vena yang lebih besar
dan penggunaan lidokain 1%.
Mekanisme Kerja
Propol   relative   selektif   dalam   mengatur   reseptor   GABA   dan   tampaknya   tidak   mengatur
ligand­gate   ion   channel   lainnya.   Propofol   dianggap   memiliki   efek   sedative   hipnotik   melalui
interaksinya denghan reseptor GABA. GABA adalah salah satu neurotransmitter penghambat di SSP.
Ketika  reseptor  GABA diaktivasi,  penghantar  klorida  transmembran meningkat  dan  menimbulkan
hiperpolarisasi   di   membran   sel   post   sinaps   dan   menghambat   fungsi   neuron  post   sinaps.   Interaksi
propofol (termasuk barbiturate dan etomidate) dengan reseptor komponen spesifik reseptor GABA
menurunkan neurotransmitter penghambat. Ikatan GABA meningkatkan durasi pembukaan GABA
yang teraktifasi melalui chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membrane sel.
Farmakokinetik
Propofol didegradasi di hati melalui metabolism oksidatif hepatic oleh cytochrome P­450.
Namun,   metabolismenya   tidak   hanya   dipengaruhi   hepatic   tetapi   juga   ekstrahepatik.   Metabolism
hepatic   lebih   cepat   dan   lebih   banyak   menimbulkan   inaktivasi   obat   dan   terlarut   air   sementara
metabolism asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofol membentuk 4­hydroxypropofol
oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide menjadi tidak aktif
dan   bentuk   4   hydroxypropofol   yang   memiliki   1/3   efek   hipnotik.   Kurang   dari   0,3%   dosis   obat
diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol adalah 0,5­1,5 jam.
2) Ketamin
Ketamin adalah derivate phencyclidine yang meyebabkan disosiative anesthesia yang ditandai
dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik. Ketamin memiliki keuntungan dimana 
tidak seperti propofol dan etomidate, ketamine larut dalam air dan dapat menyebabkan analgesic pada 
dosis subanestetik. Namun ketamin sering hanya menyebabkan delirium.
Mekanisme Kerja
Ketamin bersifat non­kompetitif phenycyclidine di reseptor N­Methyl D Aspartat (NMDA).
Ketamin juga memiliki efek pada reseptor lain termasuk reseptor opioid, reseptor muskarinik, reseptor
monoaminergik,   kanal   kalsium   tipe   L   dan   natrium   sensitive   voltase.   Tidak   seperti   propofol   dan
etomide, katamin memiliki efek lemah pada reseptor GABA. Mediasi inflamasi juga dihasilkan local
melalui penekanan pada ujung saraf yang dapat mengaktifasi netrofil dan mempengaruhi aliran darah.
Ketamin   mensupresi   produksi   netrofil   sebagai   mediator   radang   dan   peningkatan   aliran   darah.
Hambatan langsung sekresi sitokin inilah yang menimbulkan efek analgesia.
 Farmakokinetik
Farmakokinetik ketamin mirip seperti thiopental yang memiliki aksi kerja singkat, memiliki
aksi kerja yang relatif singkat, kelarutan lemak yang tinggi, pK ketamin adalah 7,5 pada pH fisiologik.
Konsentrasi puncak ketamin terjadi pada 1 menit post injeksi ketamin secara intravena dan 5 menit
setelah  injeksi   intramuscular.   Ketamin   tidak   terlalu   berikatan  kuat   dengan  protein   plasma   namun
secara   cepat   dilepaskan   ke   jaringan   misalnya   ke   otak   dimana   konsentrasinya   4­5   kali   dari   pada
konsentrasi di plasma.
3) Dekstromethorpan
Dekstromethorphan   adalah   NMDA   antagonis   dengan   afinitas   ringan   yang   paling   sering
digunakan sebagai penghambat respon batuk di sentral. Obat ini memiliki efek yang seimbang dengan
kodein sebagai  antitusif  tetapi  tidak memiliki  efek analgesic.  Tidak seperti  kodein, obat ini  tidak
menimbulkan   efek   sedasi   atau   gangguan   sistem   gastrointestinal.   DMP   memiliki   efek   euphoria
sehingga sering disalahkan. Tanda dan gejala penggunaan berlebihan DMP adalah hipertensi sistemik,
takikardia, somnolen, agitasi, ataxia, diaphoresis, kaku otot, kejang, koma, penurunan suhu tubuh.
Hepatotoksisitas meningkat pada pasien yang mendapat DMP dan asetaminofen.
4) Paraldelhyd
ParaldehYd merupakan polimer dari asetaldehid. Secara oral, paraldehid diabsorbsi cepat dan
didistribusi secara meluas; tidur dapat dicapai 10 – 15 menit setelah pemberian dosis hipnotik. Cara
pemberiannya oral dan rectal. Nama dagang Paral untuk pengobatan delirium tremens pada pasien
yang dirawat di rumah sakit; eliminasi lewat metabolisme di hati (75%) dan lewat pernafasan (25%),
gejala toksik meliputi asidosis, hepatitis, dan nefrosis.
5) Kloralhidrat
Kloralhidrat merupakan derivat monohidrat dari kloral. Trokloroetanol terutama dikonjugasi
oleh asam glukuronat dan konjugatnya(asam uroklorat) di ekskresikan sebagian besar lewat urin. Cara
pemberiannya   oral,   rectal.   Cepat   diubah   jadi   trikloroetanol   oleh   alcohol   dehidrogenase   di   hati.
Penggunaan kronik menyebabkan kerusakan di hati, gejala putus obatnya berat. Efek samping dan
intoksikasi, kloralhidrat mengiritasi kulit dan mukosa membrane. Efek iritasi ini menimbulkan rasa
tidak enak, nyeri epigantrik, mual, dan kadang – kadang muntah. Efek samping pada SSP meliputi
pusing, lesu, ataksia, dan mimpi buruk. Hang over juga dapat terjadi, keracunan akut obat ini dapat
menyebabkan ikterus. Penghentian mendadak dari penggunaan kronik dpat mengakibatkan delirium
dan bangkitan, yang sering fatal.
6) Etklorvinol
Digunakan   sebagai   hipnotik   jangka   pendek,   untuk   mengatasi   insomnia.   Secara   oral,
diabsorbsi cepat (bekerja dalam waktu 15 ­30 menit), kadar puncak dalam darah dicapai dalam 1­ 1,5
jam, dan didistribusi secra meluas. Waktu paruh eliminasi 10 ­20 jm. Sekitar 90% obat dirusak di hati.
Etklorfvinol dapat memacu metabolism hati obat – obat seperti antikoagulan oral. Efek samping yang
paling umum adalah aftertaste sperti mint, pusing, mual, mntah, hipotensi, dan rasa kebal (numbness)
di   daerah  muka.   Reaksi   idiosinkrasi   dpat   merupakan  rangsangan  ringan  hingga   sampai   kuat,   dan
hysteria. Reaksi hipersensitifitas meliputi urikaria. Intoksikasi akut menyerupai barbiturate.
7)       Meprobamat
Obat ini pertama kali diperkenalkan sebagai antiansietas, namun saat ini juga dipakai sebgai
hipnotik sedative, dan digunakan pada pasien insomnia usia lanjut. Sifat farmakologi obat ini dlam
bebrapa hal menyerupai benzodiazepine. Tidak dpat menimbulkan anestesi umum. Konsumsi obat ini
secra tunggal dengan dosis yang sangat besar dapat menyebabkan depresi nafas yang berat hingga
fatal, hipetensi, syok, dan gagal jamtung. 
Meprobamat tampaknya memiliki efek analgesic ringan pada pasien nyeri tulang otot, dan
meningkatkan efek obat  analgetik yang lain.  Absorbsi  peroral  baik. Kadar puncak dalam  plasma,
tercapai 1 ­ 3 jam. Sedikit terikat protein plasma. Sebagian besar dimetabolisme di hati, terutama
secra hidroksilasi, kinetika eliminasi, dapat bergantung kepada dosis. Waktu paro miprobamat dapat
diperpanjang selama penggunaaan kronis, sebagian kecil obat diekskreikan lewat urin. Pada dosis
sedatif,   efek   samping   utama   ialah   ngantuk   dan   ataksia.   Pada   dosis   yang   lebih   besar,   sangat
mengurangi kemampuan belajar dan koordinasi gerak, dan memperlambat waktu reaksi. Miprobamat
meningkatkan efek depresi depresan SSP lain. Gejala efek samping lain yang mugkin timbul antara
lain : hipotensi, alergi pada kulit, purpura nontrombositopenik akut, angioedema, dan bronkospasme. 

2.1 Saraf Otonom

Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem
saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan.
1. Sistem saraf simpatis

Terlibat   dalam   aktifitas   yang   berhubungan   dengan   pengeluaran   energi   dari   tubuh.
Meningkatnya aliran darah ke otot, sekresi epinefrin (meningkatkan denyut jantung dankadar
gula dalam darah) dan piloereksi (tegaknya bulu roma pada mamalia) karena kerja sistem
saraf simpatis selama periode peningkatan aktifitas.

2. Sistem saraf parasimpatis

Mendukung aktifitas tubuh yang berkaitan dengan peningkatan penyimpanan energy
dalam tubuh. Memberikan efek salvias, sekresi kelenjar pencernaan, peningkatan aliran darah
ke sisitem gastrointestinal. Mensekresi asetilkolin.

2.2 Efek stimulasi Saraf Simpatis dan Saraf Parasimpatik

Organ Reseptor Efek Stimulasi

S. Adrenergik S. Kolinergik

Mata (pupil) ∞ : diperbesar Diperkecil

Paru­paru (bronchia) Β : dilatasi Konstriksi

:   daya   kontraksi
Jantung Β diperkuat,   denyutan Diperlemah
dipercepat

Arteriola ∞ β : konstriksi

Diperlambat
Vena ∞ : konstriksi
Dilatasi

Lambung­usus
(peristaltik   dan ∞  β : dikurangi relaksasi ­
sekresi)
Diperbesar
Kantong   kemih   dan
∞ : relaksasi Konstriksi
empedu, rahim
Berubah berubah

Rahim   yang Β
: konstriksi ­
mengandung,

: konstriksi ­
Kulit, otot­otot

Dari tabel ini dapat disimpulkan bahwa stimulasi S. adrenergik menimbulkan reaksi yang berguna
meningkatkan   penggunaan   zat­zat   oleh   tubuh,   seperti   bila   kita   berada   dalam   keadaan   aktif   dan
memerlukan energi. Sebaliknya, bila saraf S. kolinergik dirangsang, maka akan timbul efek dengan
tujuan menghemat penggunaan zat­zat dan mengumpulkan energi. Hal ini terjadi bila tubuh berada
dalam   keadaan   istirahat   atau   tidur.   Dalam   tubuh   yang   sehat   terdapat   keseimbangan  antara   kedua
kelompok saraf tersebut

2.3 Adrenergik

Adrenergik atau simpatomimetika adalah zat­zat yang dapat menimbulkan (sebagian)
efek   yang   sama   dengan   stimulasi   susunan   simpaticus   (SS)   dan   melepaskan   noradrenarlin
(NA) di ujung­ujung sarafnya.

1. Reseptor Alfa dan Beta

Adrenergik   dapat   dibagi   dalam   dua   kelompok   menurut   titik­kerjanya   di   sel­sel


efektor dari organ­ujung, yakni reseptor­alfa dan reseptor­beta (Ahlquist 1948). Perbedaan
antara kedua jenis reseptor didasarkan atas kepekaannya bagi adrenalin, noradrenalin (NA),
dan isoprenalin. Reseptor­alfa lebih peka bagi NA, sedangkan reseptor­beta lebih sensitif bagi
isoprenalin.

Diferensiasi lebih lanjut dapat dilakukan menurut efek fisiologinya, yaitu dalam alfa­
1 dan alfa­2, serta beta­1 dan beta­2. Pada umumnya, stimulasi dari masing­masing reseptor
itu menghasilkan efek­efek sebagai berikut:

- Alfa­1 : menimbulkan vasokonstriksi dari otot polos dan menstimulasi sel­sel kelenjar
dengan bertambahnya antara lain sekresi liur dan keringat.
- Alfa­2 : menghambat pelepasan NA pada saraf­saraf adrenergis dengan turunnya tekanan
darah. Mungkin pelepasan ACh dan saraf kolinergis dalam usus pun terhambat sehingga
antara lain menurunnya peristaltik.
- Beta­1 : memperkuat daya dan frekuensi konstraksi jantung (efek inotrop dan kronotrop).
- Beta­2 : bronchodilatasi dan stimulasi metabolisme glikogen dan lemak.
Lokasi reseptor ini umumnya adalah sebagai berikut:

 Alfa­1 dan beta­1 : postsinaptis, artinya sinaps di organ efektor.
 Alfa­2 dan beta­2 : presinaptis dan ekstrasinaptis, yaitu di muka sinaps atau diluarnya, antara
lain di kulit otak, rahim, dan pelat­pelat darah. Reseptor­a1 juga terdapat presinaptis.

Zat­zat yang termasuk golongan adrenergik antara lain:

1. Epinefrin

2. Isoprenalin

3. Fenilefrin

4. 1­Efedrin (F.I)

5. Derivat Imidazolin

6. Amfetamin

2.4 Antiadrenergic
Penghambat   adrenergik   ialah   golongan   obat   yang   menghambat   perangsangan
adrenergik. Berdasarkan cara kerjanya obat ini dibedakan menjadi :
1. Antagonis adrenoseptor ( Alfa Bloker)
Alfa bloker menduduki adrenoseptor alfa sehingga menghalangi untuk berinteraksi dengan
obat adrenergik atau rangsangan adrenergik. 
Alfa Blocker di bagi 2 :
­ Alfa blocker Non selektif
Alfa bloker Nonselektif ada 3 kelompok yaitu : 
1. Derivat haloalkilamin
2.  Derivat imidazolin
3. Alkaloid ergot
­ Alfa blocker Selektif
1. Prazosin
2. Terazosin
3. Doksazosin
2. Antagonis adrenoseptor ( Beta Bloker)
Menghambat secara kompetitif obat adrenergik NE dan Epi (eksogen dan endogen) pada
adrenosptor   beta.   Asebutolol,   metoprolol,   atenolol   dan   bisoprolol  →  beta   bloker
kardioselektif (afinitas lebih tinggi pada reseptor beta1 daripada beta2). Efek: denyut dan
kontraksi jantung ↓, TD ↓.
Berdasarkan Farmakonetik Terbagi atas 3 golongan :
1. β­bloker yang mudah larut dalam lemak 
Semuanya  diabsorbsi  dengan baik  disaluran cerna,  tetapi  memiliki  bioavailabilitas
rendah(>50%).   Eliminasinya  melalui  metabolisme   di   hati  dan  diekresikan di  gnijal   dalam
jumlah   yang   sedikit   (10%).   Contohnya   propranolol,metoprolol,oksprenolol,labetalol   dan
karvedilol.
2. β­bloker yang mudah larut dalam air.
Contohnya   sotalol,nadolol   dan   atenolol.sotanol   diabsorbsi   dengan   baik   di   saluran
cerna   dan   memiliki   bioavaibilitas   tinggi.sedangkan   nadolol   dan   atenolol   kurang   baik   di
absorbs di saluran cerna dan memiliki bioavaibilitas rendah.ketiga obat ini tidak mengalami
metabolism sehingga seluruhnya dieksresi utuk melalui ginjal.
3. β­bloker yang kelarutannya terletak diantara golongan 1 dan 2.
Di   absorbsi   baik   disaluran   cerna.eliminasi   melalui   hati   dan   ginjal.contohnya   timolol,
bisoprolol, betaksolol, pindolol dan karteolol.
3. Penghambat Saraf Adrenergik
Yaitu   obat   yang   mengurangi   respons   sel   efektor   terhadap   perangsangan   saraf
adrenergik.   Obat   ini   bekerja   dengan   cara   menghambat   sintesis,   penyimpanan,   dan
pelepasan   neurotransmitter.   Obat   yang   termasuk   penghambat   saraf   adrenergik   adalah
guanetidinbetanidin,   guanadrel,   bretilium,   dan   reserpin.   Semua   obat   golongan   ini
umumnya dipakai sebagai antihipertensi.
Contoh obat penghambat saraf adrenergik :
1. Reserpin (Serpasil)
Mekanisme Kerja :  Mendeplesi simpanan katekolamin dan 5­hidroksitriptamin pada
berbagai organ seperti pada otak dan medula adrenal.
Indikasi : Hipertensi esensial ringan,juga digunakan sebagai terapi tambahan dengan obat
hipertensi lain pada kasus hipertensi yang lebih berat.
Kontraindikasi   :  Riwayat  depresi   mental,   ulkus   peptikum   aktif,   kolitis  ulseratif,   hamil,
menyusui.
Efek Samping : infeksi saluran cerna dan infeksi saluran nafas.
Dosis : 0,25­0,5 mg sehari dibagi dalam 2­3 dosis.
2. Guanetidin
Mekanisme   kerja  :   Menghambat   respons   terhadap   stimulasi   saraf   adrenergik   dan   obat
adrenergik yang bekerja tidak langsung.
Indikasi :Penggunaan utama satu­satunya untuk hipertensi.
Efek samping: hipotensi ortotatik
2.5 Efek rangsangan

Bila di suatu organ terdapat kedua jenis reseptor, maka responsnya terhadap stimulasi
oleh katecholamin (adrenalin, NA, dopamin, serotonin) agar tergantung dari pembagian dan
jumlah reseptor­alfa dan reseptor­beta di jaringan tersebut. Sebagai contoh dapat disebutkan
bronchi, dimana terdapat banyak reseptor beta­2; disini NA hanya berefek ringan sedangkan
adrenalin dan isoprenalin menimbulkan bronchodilatasi kuat. 

Dalam tabel di bawah ini diikhtisarkan efek adrenergis yang terpenting.

Efek α Efek β1 Efek β2


Stimulasi sirkulasi
­jantung Ino­/krono­  Vaso> koroner
­ trop +

­perifer   Vaso   <,   TD  ↑Sekresi


kelenjar ↑ ­ ­

Stimulasi SSP
­Napas Konstriksi   mukosa Bronco >
hidung dan mata ­

­Kewaspadaan Aktiv.psikomotor  ↑
pupil >, nafsu makan ↓
Stimulasi Glikogenolise  ↑ Sekresi   insulin   &
metabolism pelepasan asam lemak ↑ ­ renin ↑

3. ANTIHISTAMIN

Obat antihistamin berkhasiat untuk mengurangi efek histamin pada peristiwa hipersensitivitas
sehingga   gejala   alergi   muncul   lebih   ringan.   Hipersensitivitas   terjadi   akibat   reaksi   berlebih   antara
antigen yang masuk dalam tubuh dengan antibody sehingga merangsang pelepasan histamin dari sel­
sel jaringan.
Histamin  adalah   suatu   amin   nabati   yang   di   temukan   oleh  dr.Paul   Ehrich  (1878)   dan
merupakan   produk   normal   dari   pertukaran   zat  histidin.   Asam   amino   ini   masuk   kedalam   tubuh
terutama lewat daging dan di jaringan (juga di usus halus) diubah secara enzimatis menjadi histamin
(dekarboksilasi).
Hampir semua organ dan jaringan memiliki histamin dalam keadaan terikat dan inaktif, yang
terutama   terdapat   di   sel­sel   Tertentu.  Mast   cells’  atau   Mastocyt  ini     (ing.  Mast   =  menimbun)
menyerupai balon­balon kecil yang penuh dengan gelembung yang di timbun dengan histamin dan
zat­zat mediator   lain. Sel­sel ini dapat di temukan tepat di bagian tubuh yang bersentuhan dengan
dunia luar, yakni di kulit, mukosa dari mata, hidung, saluran nafas, (bronchia, paru­paru)  dan usus,
juga dalam leukosit basofil darah. Dalam keadaan bebas aktif juga terdapat dalam darah dan otak,
dimana histamin bekerja sebagai neurotransmitter. Di luar tubuh manusia , histamin terdapat dalam
bakteri, tanaman (bayam,tomat)  dan makanan (keju tua).
Histamin   dapat   dibebaskan   dari     mast­cells   oleh   bermacam­macam   faktor,   misalnya   oleh
suatu reaksi alergi (penggabungan antigen­antibody), kecelakaan dengan cedera serius dan sinar UV
dari matahari. Selain itu, dikenal pula zat­zat kimia dengan daya membebaskan histamin (‘Histamine
liberators’), Seperti racun ular dan tawon, enzim proteolitis   dan obat­obatan tertentu (morfin dan
koderin, tubokurarin, klordiazepoksida).
Histamin  memegang  peran  utama   pada   proses   peradangan   dan   pada   sistem   daya   tangkis.
Kerjanya berlangsung melalui dua jenis reseptor, yakni reseptor H1, dan H2. Reseptor   H1 secara
selektif di blok oleh antihistaminika (H1­blockers), dan reseptor H2 oleh penghambat asam lambung
(H2­Blockers). 
Aktifitas terpenting Histamin adalah :
 Kontraksi otot polos bronchi , usus dan rahim.
 Vasodilatasi semua pembuluh dengan penurunan tekanan darah .
 Memperbesar permiabilitas kapilar untuk  cairan dan protein , dengan akibat oedema ,dan 
pengembangan mukosa.
 Hipersekresi  ingus dan air mata, ludah,dahak dan asam lambung.
 Stimulasi ujung saraf dengan erytema dan gatal­gatal.
Dalam keadaan normal keadaan histamin dalam darah hanya rendah, 50 mg/l  sehingga tidak
menimbulkan efek baru bila mast­cells di rusak membrannya sebagai akibat dari salah satu faktor
tersebut   diatas,   maka   dibebaskanlah   banyak   histamin   sehingga   efek   itu   menjadi   nyata.   Setelah
melakukan kegiatannya,   kelebihan histamin  di   uraikan oleh  enzim  Histaminase   dan  juga   terdapat
dalam jaringan. (Tjay T.H & Raharja K., 2002)
Antihistaminika  adalah   zat­zat   yang   dapat   mengurangi   atau   menghalangi   efek   histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblokir reseptor histamin (penghambatan saingan). Pada awalnya,
hanya dikenal 1 jenis antihistaminikum tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor khusus pada tahun
1972, yang disebut reseptor­H2, maka secara farmakologis reseptor histamin dapat dibagi dalam 2
tipe, yaitu reseptor­H1 dan reseptor­H2.
Berdasarkan   penemuan   antihistaminika   juga   dapat   dibagi   menjadi   2   kelompok,   yakni
antagonis reseptor­H1 (singkatnya disebut H1­blokers atau antihistaminika) dan antagonis reseptor­
H2 (H2­blokers, zat penghambat asam).
1. H1­blokers   (‘antihistaminika’)  memblokir   reseptor­H1   dengan   menyaingi   histamin   pada
reseptornya di otot licin dinding pembuluh dan dengan demikian menghindarkan timbulnya
reaksi alergi. Khasiat lainnya menciutkan bronchi, saluran cerna, kandung kemih dan rahim,
terhadap ujung saraf (gatal­gatal,  flare reaction) serta terhadap efek histamin pada kapiler.
Kebanyakan antihistaminka termasuk dalam kelompok ini.
2. H2­blokers (penghambat asam).  Obat­obat dari kelompok ini menghambat secara selektif
efek   histamin   terhadap   reseptor­H2   dilambung   dengan   jalan   persaingan.   Efeknya   adalah
berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan turunya tekanan
darah. Sejauh ini khusus digunakan pada terapi tukak lambung dan usus guna mengurangi
sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai tambahan pada terapi dengan prednison. Pengahambat
asam   yang   banyak   digunakan   adalah  simetidin,   ranitidin,   famotidin,   nizatidin  dan
roxatidin (Roxan, Roxit) (Tjay T.H & Raharja K., 2002)
Sifat   antikolinergik   pada   kebanyakan   antihistamin   menyebabkan   mulut   kering   dan
pengurangan sekresi, membuat zat ini berguna untuk mengobati rinitis yang ditimbulkan oleh flu.
Antihistamin juga mengurangi Rasa gatal pada hidung yang menyebabkan  penderita bersin. Banyak
obat­obat   flu   yang   dapat   di   beli   bebas,   mengandung   antihistamin,   yang   dapat   menimbulkan   rasa
mengantuk. Klien harus menyadari hal ini dan tidak mengendarai mobil atau menjalankan mesin yang
bisa membahayakan jika memakai obat yang mengandung antihistamin. (Kee & Hayes, 1996)
DIFENHIDRAMIN (BENADRYL)
Nama & Struktur kimia  : Diphenhydramine Hydrochloride C19H21NO.HCL
Sifat Fisikokimia : Difenhidramin berbentuk mikrokristalin berwarna putih yang tidak
berbau. Adanya cahaya akan mengubah warna menjadi kecoklatan,
mudah   larut   dalam   air,   dalam   etanol   dan  dalam   kloroform;   agak
sukar   larut   dalam   aseton;   sangat   sukar   larut   dalam   benzene   dan
dalam eter.
FARMAKOKINETIK
Zat ini mudah diabsorbsi   oleh usus, tetapi absorbsi sistemik dari pemberian topikal sangat
kecil. Zat ini memiliki waktu paruh dari 2 sampai 7 jam. Difenhidramin dimetabolisasi oleh hati dan
di ekskresi dalam urin. 
FARMAKODINAMIK
Difenhidramin   menghambat   efek   histamin   dengan   menempati   lokasi   reseptor   H1.   Zat   ini
memiliki efek antikolinergik dan harus dihindari oleh Klien yang menderita Glaukoma sudut sempit.
Rasa ngantuk adalah efek samping yang paling utama, dan dipakai juga sebagai salah satu komponen
adalah  Obat­obatan  untuk  membantu  tidur.   Obat   ini   juga   dipakai   sebagai   antitusif   (untuk  batuk).
Difenhidramin dapat mengurangi efek antikoagulan oral dan dapat menekan sistem saraf pusat bila
diminum bersama Alkohol, narkotik , Hipnotik atau barbiturat. 
Mula kerjanya dapat timbul dalam 15   menit bila diberikan oral dan intramuskular. Pada
pemberian secara intravena mula kerjanya segera. Lama kerja 4­8 jam. 
INDIKASI
Meringankan kondisi alergik, rhinitis (flu); mencegah mabuk kendaraan, mual, muntah, dan
pusing,  mengurangi kekakuan dan tremor pada penyakit Parkinson, meredakan batuk karena alergi.

KONTRAINDIKASI
Serangan   asma   akut,   penyakit   hati   berat,   penyakit   saluran   pernapasan   bawah,   neonates.
HATI­HATI bila diberikan pada glaukoma sudut sempit, hipertrofi prostat jinak, kehamilan.
INTERAKSI
Zat   ini   sangat   mudah   berikatan   dengan   protein,   Alkohol,   narkotik,   hipnotik,   barbiturat,
antikoagulan oral.
DOSIS
Dewasa dan remaja: Per oral: 25­50 mg, 3­4 kali sehari, setiap   4­6 jam Dosis maksimal 300
mg/hr.
Usia lanjut (usila) : Mulai dengan dosis dewasa serendah mungkin. Usia lanjut lebih sensitif
terhadap efek antikolinergik
Anak­anak 6­12 tahun 12,5­25 mg, 3­4 kali sehari setiap 4­6 jam. Dosis maksimal 150 mg/hr.
Anak­anak 4­6 tahun 6,25­12,5 mg 3­4 kali sehari setiap 4­6 jam. Dosis maksimal 150 mg/hr.
Bayi­4 tahun penggunaan tidak dianjurkan

Dewasa dan remaja : 10­50 mg IM atau IV setiap 4­6 jam, bila perlu. Dosis tunggal 100 mg
dapat diberikan bila perlu. Dosis maksimal 400 mg/hr.
Usila : Mulai dengan dosis dewasa terkecil. Usila lebih sensitif terhadap efek antikolinergik.
Anak­anak : 5 mg/kg/hr IM atau IV, terbagi dalam 3­4 dosis.
(Sumber: http://dinkes.tasikmalayakota.go.id)
SEDIAAN YANG ADA DI PASARAN
Sediaan yang ada di pasaran yaitu dalam bentuk tablet, kapsul, syrup, gel, spray, dan injeksi
CARA PEMBERIAN
Difenhidramin dapat diberikan secara oral, intramuskular, atau intravena.
EFEK SAMPING DAN REAKSI YANG MERUGIKAN
Efek samping yang paling sering adalah rasa ngantuk, pusing, letih, dan gangguan koordinasi.
Bisa   juga   timbul   ruang   kulit   dan   gejala­gejala   antikolinergik,   seperti   mulut   kering,   retensi   urin,
konstipasi, pandangan kabur dan mengi. (Kee & Hayes, 1996)

4. ANTIKOLINERGIK
Antikolinergik adalah sekelompok obat yang menstimulasi saraf parasimpatik dengan
melepaskan   neurohormon   asetilkolin.   Obat   golongan   ini   menghambat   golongan   reseptor
muskarinik sehingga efeknya berlawanan dengan obat kolinergik baik yang bekerja langsung
atau tidak langsung. Antikolinergik digunakan untuk mestimulasi peristaltis, meningkatkan
sekresi   kelenjar   ludah,   getah   lambung   dan   air   mata,   dan   memperkuat   sirkulasi   dengan
mengurangi lendir dan mengendurkan otot­otot saluran napas.
A. Obat Antimuskarinik
Obat   golongan   ini   bekerja   menyekat   reseptor   muskarinik   yang   menyebabkan   hambatan
semua fungsi muskarinik. Selain itu, obat ini menyekat sedikit perkecualian neuron simpatis
yang juga kolinergik, seperti saraf simpatis yang menuju ke kelenjar keringat. Obat ini sangat
menguntungkan dalam sejumlah besar situasi klinis. Karena obat ini tidak menyekat reseptor
nikotinik, maka obat antimuskarinik ini sedikit atau tidak mempengaruhi sambungan saraf
otot rangka atau ganglion otonom.
1. ALKALOID BELADONA
a. Atropin
Atropin   (hiosiamin)   ditemukan   dalam   tumbuhan   Atropa   Belladonna,   atau   Tirai
Malam Pembunuh, dan dalam Datura Stramonium, atau dikenal sebagai biji jimson
(biji Jamestown) atau apel berduri. Anggota tersier kelas atropine sering dimanfaatkan
efeknya untuk mata dan system syaraf pusat. Atropin, memiliki afinitas kuat reseptor
muskarinik, dimana obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin
terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskinik
baik disentral maupun disaraf tepi. Kerja obat ini secara umum berlangsung secara 4
jam kecuali diteteskan ke dalam mata, maka kerjanya bahkan sampai berhari­hari.
1)  Mekanisme Kerja
a. Mata
Atropin   menyekat   semua   aktivitas   kolinergik   pada   mata,   sehingga
menimbulkan midriasis (dilatasi pupil), mata menjadi tidak bereaksi terhadap
cahaya dan siklopegia (ketidakmampuan memfokus untuk penglihatan dekat).
Pada   pasien   dengan   glaukoma,   tekanan   intraokular   akan   meninggi   secara
membahayakan.
b. Gastrointestinal (GI)
Atropin   digunakan   sebagai   obat   antispasmodik   untuk   mengurangi   aktifitas
saluran cerna atropin dan skopolamin mungkin merupakan obat terkuat sebagai
penghambat   saluran   cerna.   Waulaupun   motilitas   (gerakan   usus)   dikurangi,
tetapi produksi asam hidroklorat tidak jelas dipengaruhi. Oleh karena itu, obat
ini tidak efektif untuk mempercepat penyembuhan ulkus peptikum.
c. Sistem kemih
Atropin   digunakan   pula   untuk   mengurangi   keadaan   hipermotilitas   kandung
kemih. Obat ini kadang­kadang masih dipakai untuk kasus enuresis (buang air
seni tanpa disadari/ngompol) di antara anak­anak, tetapi obat antikolinergik alfa
mungkin jauh lebih efektif dengan efek samping yang sedikit.
d. Kardiovaskuler
Atropin   menimbulkan   efek   divergen   pada   sistem   kardiovaskuler,   tergantung
pada   dosisnya.   Pada   dosis   rendah,   efek   yang   menonjol   adalah   penurunan
denyut   jantung   (bradikardia).   Pangkalnya   mungkin   disebabkan   oleh  aktivasi
sentral dari keluaran eferen vagal, tidak banyak data menunjukkan bahwa efek
akibat   dari   penyekatan   reseptor   M1   pada   neuron   hambatan   sebelum
sambungan,   yang  berarti   memungkinkan  peningkatan    pelepasan  asetilkolin.
Pada dosis tinggi, reseptor jantung pada nodus SA disekat, dan denyut jantung
sedikit bertambah (takikardia). Dosis sampai timbul efek ini sedikitnya 1mg
atropin,   yang   berarti   sudah   termasuk   dosis   tinggi   dari   pemberian   biasanya.
Tekanan   darah   arterial   tidak   dipengaruhi   tetapi   pada   tingkat   toksik,   atropin
akan mendilatasi pembuluh darah dikulit.
e. Sekresi
Atropin   menyekat   kelenjar   saliva   sehingga   timbul   efek   pengeringan   pada
lapisan mukosa mulut (serostomia). Kelenjar saliva air mata juga terganggu.
Hambatan sekresi pada kelenjar keringat menyebabkan suhu tubuh meninggi.
f.  Kelenjar Keringat
Termoregulasi keringat di tekan pula oleh atropine. Reseptor muskarinik pada
kelenjar keringat ekrin dipersarafi oleh serabut kolinergik simpatetik dan dapat
dipengaruhi   oleh   obat   antimuskarinik.   Hanya   pada   dosis   tinggi   efek
antimuskarinik pada orang dewasa akan menimbulkan peninggian suhu tubuh.
Sedangkan   pada   bayi   dan   anak­anak   maka   dalam   dosis   biasapun   sudah
menimbulkan demam atropine (atropine fever).
g. Sistem Pernafasan
Obat   anti   muskurarinik   sanat   berguna   pada   pasien   asma   atau   penyakit   paru
obstruktif   menahun.   Obat   antimuskarinik   sering   digunakan   sebelum   anastesi
inhalasi untuk mengurangi akumulasi sekresi di trakea dan kemungkinan spasme
laring.
2)   Penggunaan terapi
a. Optalmik : pada mata, salep mata atropin menyebabkan efek midriatik dan
sikloplegik   dan   memungkinkan   untuk   pengukuran   kelainan   refraksi   tanpa
gangguan   oleh   kapasitas   akomodatif   mata.   Atau   obat   adrenergik   alfa   yang
sejenis,   lebih   baik   untuk   mendilatasi   pupil   bila   efek   siklopegik   tidak
diperlukan.   Demikian   pula   pada   individu   berusia   40   tahun   atau   lebih   tua
dengan kemampuan untuk mengakomodasi sudah menurun, maka obat­obatan
tidak   begitu   penting   untuk   refraksi   yang   akurat.   Atropin   mungkin
menimbulkan suatu serangan pada individu yang menderita glaukoma sudut
sempit.
b. Obat  antispasmodik :  Atropin  digunakan  sebagai  obat   antispasmodik  untuk
melemaskan saluran cerna dan kandung kemih.
c. Antidotum untuk kolinergik : Atropin digunakan untuk mengobati kelebihan
dosis   organofosfat   (yang   mengandung   insektisida   tertentu)     dan   beberapa
keracunan jenis jamur (jamur tertentu yang mengandung substansi kolinergik).
Kemampuan   obat   ini   termasuk   dalam   SSP   sangat   penting   sekali.   Atropin
menyekat   efek   asetilkolin   yang   berlebihan   akibat   dari   hambatan   terhadap
asetilesterase oleh obat­obatan seperti fisostigmin.
d. Obat   antisekretori   :   Atropin   digunakan   sebagai   obat   antispasmodik   untuk
melemaskan saluran cerna dan kandung kemih.
3) Farmakokinetik
a. Absorbsi :   Alkaloid alam dan kebanyakan obat­obat antimuskarinik tersier
diserap dengan baik dari usus dan dapat menembus membrane konjuktiva.
Reabsobsinya diusus cepat dan lengkap, seperti alkaloida alamiah lainnya,
begitu pula dari mukosa. Reabsorbsinya melalui kulit dan mata tidak mudah.
b. Distribusi :  Atropin   dan   senyawa   tersier   lainnya   didistribusikan   meluas
kedalam tubuh setelah penyerapan kadar tertentu dalam susunan saraf pusat
(SSP)   dicapai   dalam   30   menit   sampai   1   jam,   dan   mungkin   membatasi
toleransi   dosis   bila   obat   digunakan   untuk   memperoleh   efek   perifernya.
Didistribusikan keseluruh tubuh dengan baik.
c. Metabolisme   dan   Ekskresi :   Atropin   cepat   menghilang   dari   darah   setelah
diberikan   dengan   massa   paruh   sekitar   2   jam   kira­kira   60%   dari   dosis
diekskresikan   kedalam   urine   dalam   bentuk   utuh.   Sisanya   dalam   urine
kebanyakan   sebahagian   metabolit   hidrolisa   dan   konjugasi.   Efeknya   pada
fungsi parasimpatis pada semua organ cepat menghilang kecuali pada mata.
Efek pada iris  dan  otot  siliaris  dapat   bertahan  sampai  72  jam  atau lebih.
Ekskresinya melalui ginjal, yang separuhnya dalam keadaan utuh. Plasma
t1/2 nya 2­4 jam.
4) Efek Samping
Tergantung   pada   dosis,   atropin   dapat   menyebabkan   mulut   kering,   penglihatan
kabur,   mata   rasa   berpasir,   takikardia,   dan   konstipasi.   Efeknya   terhadap   SSP
termasuk   rasa   capek,   bingung,   halusinasi,   delirium,   yang   mungkin   berlanjut
menjadi   depresi,   kolaps   sirkulasi   dan   sistem   pernapasan   dan   kematian.   Ada
individu   yang   lebih   tua,   pemakaian   atropin   dapat   menimbulkan   midriasis   dan
sikloplegi   dan   keadaan   ini   cukup   gawat   karena   dapat   menyebabkan   serangan
glaukoma berulang setelah menjalani kondisi tenang.
5) Indikasi
a) Pada   trauma   mata,   salep   mata   atropin   meyebabkan   efek   midriatik   dan
sikloplegik   dan   memungkinkan   untuk   pengukuran   kelainan   refraksi   tanpa
gangguan oleh kapasitas akomodatif mata.
b) Sebagai obat antispasmodik untuk melemaskan saluran cerna dan kandung
kemih.
c) Mengobati   kelebihan   dosis   organofosfat   (yang   mengandung   insektisida
tertentu)   dan   beberapa   jenis   keracunan   jamur   (jamur   tertentu   yang
mengandung   substansi   kolinergik).   Kemampuan   obat   ini   masuk   kedalam
SSP sangat penting sekali.
d) Mengurangi   sekresi   lendir   sal   nafas   (rinitis),   medikasi   preanestetik
(mengurangi lendir saluran pernafasan)
b. Skopolamin
Skopolamin, dapat menimbulkan efek terapi  yang sama dengan efek atropin. Tetapi
efek skopolamin lebih nyata pada SSP dan masa kerjanya lebih lama dibandingkan
atropin.   Efek   skopolamin   merupakan   salah   satu   obat   anti   mabuk   perjalanan   yang
paling   efektif.   Obat   ini   menimbulkan   pula   efek   penumpulan   daya   ingat   jangka
pendek.   Bertolak   belakang   dengan   atropin,   obat   ini   menyebabkan   sedasi,   rasa
mengatuk, tetapi pada dosis yang lebuh tinggi bahkan menimbulkan kegelisahan /
kegaduhan. 
1) Mekanisme kerja:
Derivat­epoksi   dari   atripin  bekerja   lebih  kuat.Efek   sentralnya   kira­kira   3   kali
lebih kuat dapat menimbulkan efek tepi yang sama dengan efek atropin, tetapi
efek   skopolamin   lebih   nyata   pada   SSP   dan   masa   kerjanya   lebih   lama
dibandingkan atropin.
2) Indikasi
a) Digunakan sebagai obat mabuk jalan dalam bentuk plester
b) Digunakan sebagai mediatrikum
c) Digunakan sebagai obat anti kejang lambung­usus 
d) Digunakan sebagai premedikasi anestesi 
2. ZAT AMMONIUM KWATERNER
a. Propantein 
 ­  Dosis tinggi→efek kurare (mengendurkan otot­otot lurik  rangka)
- Banyak digunakan pada tukak lambung,gastritis dan kejang­kejang lambung­
usus
- Dosis →oral 3 dd 15 mg(HBr)
b. Ipratropium  
­ Digunakan sebagai inhalasi pada asma dan bronchitis
- Khasiat→bronkhodilatasi dengan mengurangi hipersekresi dahak 
c. Tiotropium
- Digunakan sebagai inhalasi pada asma dan bronchitis
- Khasiat →bronkhodilatasinya lebih lama dari pada ipratropium
- Dosis 1x sehari.

3. ZAT AMIN TERSIER
a. Pirenzepin 
- Pada dosis tinggi menghambat reseptor di organ organ (jantung, mata, lambung­
usus, urogenital)
- Pada dosis rendah menghambat secara selektif reseptor muscarin­M dalam sel­
sel parietal lambung yang membentuk  Hcl
- Digunakan dalam tukak lambung­usus dan gastritis
- Dosis →oral 2 dd 50 mg pada pagi hari.
b. Flovoxat
- Berkhasiat merelaksasi langsung terhadap otot kandung kemih
- Berdaya lokal anestetis dan analgetis
- Kontra indikasi→tidak boleh digunakan pada pasien glaukoma dan    pada 
gangguan fungsi ginjal
- Dosis→pada urge­inkontinensi 3 dd 200­400 mg (garam HCl).
c. Oksibutinin
- Khasiat→spasmolitis pada otot polos kandung kemih
- Digunakan khusus pada urge­inkontinensi urin untuk mengurangi  hasrat 
berkemih,juga pada kejang­kejang kandung kemih akibat iritasi oleh kateter
- Dosis→oral 3 dd 2,5 mg(HCl), bila perlu 3­4 dd 5 mg
d. Tolterodin
- Khasiatnya anti kolinergis sedang
- Digunakan pada urge­inkontinensi kemih
- Dosis →oral 3dd 2,5­5 mg (tartrat)
e. Tropicamida
- Khasiat →anti kolinergis kuat
- Digunakan sebagai midriatikum untuk diagnose
- Pada dosis lebih besar(larutan 1%) berefek cycloplegis→ melumpuhkan 
akomodasi
- Dosis →untuk midriasis 1­2 tetes larutan 0,5% minimal 15mnt sebelum 
pemeriksaan mata 

B. Bloker ganglionik
Bloker   ganglonik   (ganglionic   blocking   agent)   atau   obat   blockade   ganglionik   atau   obat
antinikotinik  adalah  obat   yang  secara   spesifik  bekerja   pada   reseptor   nikotik  di   ganglion
simpatik ataupun parasimpatik. Obat ini bekerja pada semua reseptor nikotinik dan tidak
selektif pada ganglion simpatik ataupun parasimpatik saja. Obat ini tidak efektif sebagai
antagonis neuromuscular. Respons yang terjadi sangat kompleks dan sulit diduga sehingga
tidak mungkin memperoleh kerja yang selektif. Oleh karena itu, penyekat ganglionic ini
sangat jarang digunakan dalam terapi dan hanya digunakan untuk eksperimen farmakologi.
1. Nikotin
Nikotin merupakan salah satu komponen rokok. Besar efeknya bergantung pada dosis.
Pada awalnya nikotin memacu ganglion, kemudian diikuti oleh kelemahan dan paralisis
semua ganglia. Macam­macam efek pacunya kompleks, termasuk peningkatan tekanan
darah,   peningkatan   denyut   jantung   (akibat/pengaruh   pelepasan   transmiter   dimedula
adrenal) serta peningkatan peristaltik dan sekresi saluran cerna. Pada dosis yang lebih
tinggi,   tekanan   darah   akan   menurun   karena   penyekatan   ganglionik,   serta   aktivasi
saluran cerna dan otot kandung kemih terhenti.
2. Trimetafan
Trimetafan adalah penyekat ganglionik yang bekerja singkat dan bersifat kompetitif.
Pemberiannya harus IV. Dewasa ini, trimetafan digunakan untuk menurunkan tekanan
darah dalam keadaan gawat darurat, seperti hipertensi akibat udema paru atau pecahnya
aneurisma aorta. Hal ini dilakukan bila obat lain tidak dapat digunakan.
3. Mekamilamin
Mekamilamin bekerja sebagai kompetitif antagonis pada ganglion nikotik. Lama kerja
pada   dosis   tunggal   adalah   sekitar   10   jam.   Berbeda   dengan   trimetafan,   absorpsi
mekamilin yang baik pada pemberian per oral.
C. Bloker Neuromuskular
Bloker   neuromuscular   atau  neuromuscular   blocking   agent  (NMBA)   ini   menghambat
transmisi kolinergik diantara ujung saraf motorik reseptor nikotinik pada reseptor nikotinik.
1. Sifat­sifat Farmakologis
Hubungan struktur dan fungsi 
a. Struktur NMBA berkaitan dengan ACh.
b. NMBA berisi nitrogen kuarterner (biasanya suatu amin) ang menyebabkan obat ini
bersifat hidrofilik, mencegah penetrasi kedalam sawar darah otak dan plasenta. Obat
ini aman untuk digunakan pada anestesi umum untuk sectio caesaria. 
2. Mekanisme kerja 
a. Blockade nondepolarisasi bekerja dengan penghambatan kompetitif, berikatan dengan
reseptor nikotinik, dan mencegah ACh berkombinasi dengan reseptor.
b. Blockade   depolarisasi   berikatan   dengan   reseptor   ACh   dan   menyebabkan
depolarisasi.
1) Fase   I  (depolarizing)   block  –   berikatan   lebih   lama   dengan   reseptor
menghasilkan   depolarisasi   yang   persisten   sehingga   membrane   tidak
memberikan respons lagi terhadap impuls­impuls baru.
2) Fase   II  (desensitizing)   block  –  membrane   menjadi   repolarisasi,   tetapi   tidak
memberikan   respons   terhadap   impuls   baru,   mekanisme   yang   tepat   belum
diketahui.   Hal   ini   terlihat   dengan   dosis   berlebihan   dari  non­depolarizing
blocker.  
3. Indikasi penggunaan
Obat ini digunakan untuk merelaksasi otot skelet, sebagai obat tambahan pada anestesi
pembedahan dan pada pasien dengan kelemahan respirasi berat pada ventilator mekanik.
5. ANTIADRENERGIK

2.3 Saraf Otonom

Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem
saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan.

3. Sistem saraf simpatis

Terlibat   dalam   aktifitas   yang   berhubungan   dengan   pengeluaran   energi   dari   tubuh.
Meningkatnya aliran darah ke otot, sekresi epinefrin (meningkatkan denyut jantung dankadar
gula dalam darah) dan piloereksi (tegaknya bulu roma pada mamalia) karena kerja sistem
saraf simpatis selama periode peningkatan aktifitas.

4. Sistem saraf parasimpatis

Mendukung aktifitas tubuh yang berkaitan dengan peningkatan penyimpanan energy
dalam tubuh. Memberikan efek salvias, sekresi kelenjar pencernaan, peningkatan aliran darah
ke sisitem gastrointestinal. Mensekresi asetilkolin.

2.4 Efek stimulasi Saraf Simpatis dan Saraf Parasimpatik

Organ Reseptor Efek Stimulasi

S. Adrenergik S. Kolinergik
Mata (pupil) ∞ : diperbesar Diperkecil

Paru­paru (bronchia) Β : dilatasi Konstriksi

:   daya   kontraksi
Jantung Β diperkuat,   denyutan Diperlemah
dipercepat

Arteriola ∞ β : konstriksi

Diperlambat
Vena ∞ : konstriksi
Dilatasi

Lambung­usus
(peristaltik   dan ∞  β : dikurangi relaksasi ­
sekresi)

Diperbesar
Kantong   kemih   dan
∞ : relaksasi Konstriksi
empedu, rahim
Berubah berubah

Rahim   yang Β
: konstriksi ­
mengandung,

: konstriksi ­
Kulit, otot­otot

Dari tabel ini dapat disimpulkan bahwa stimulasi S. adrenergik menimbulkan reaksi yang berguna
meningkatkan   penggunaan   zat­zat   oleh   tubuh,   seperti   bila   kita   berada   dalam   keadaan   aktif   dan
memerlukan energi. Sebaliknya, bila saraf S. kolinergik dirangsang, maka akan timbul efek dengan
tujuan menghemat penggunaan zat­zat dan mengumpulkan energi. Hal ini terjadi bila tubuh berada
dalam   keadaan   istirahat   atau   tidur.   Dalam   tubuh   yang   sehat   terdapat   keseimbangan  antara   kedua
kelompok saraf tersebut.

2.3 Adrenergik
Adrenergik atau simpatomimetika adalah zat­zat yang dapat menimbulkan (sebagian)
efek   yang   sama   dengan   stimulasi   susunan   simpaticus   (SS)   dan   melepaskan   noradrenarlin
(NA) di ujung­ujung sarafnya.

2. Reseptor Alfa dan Beta

Adrenergik   dapat   dibagi   dalam   dua   kelompok   menurut   titik­kerjanya   di   sel­sel


efektor dari organ­ujung, yakni reseptor­alfa dan reseptor­beta (Ahlquist 1948). Perbedaan
antara kedua jenis reseptor didasarkan atas kepekaannya bagi adrenalin, noradrenalin (NA),
dan isoprenalin. Reseptor­alfa lebih peka bagi NA, sedangkan reseptor­beta lebih sensitif bagi
isoprenalin.

Diferensiasi lebih lanjut dapat dilakukan menurut efek fisiologinya, yaitu dalam alfa­
1 dan alfa­2, serta beta­1 dan beta­2. Pada umumnya, stimulasi dari masing­masing reseptor
itu menghasilkan efek­efek sebagai berikut:

- Alfa­1 : menimbulkan vasokonstriksi dari otot polos dan menstimulasi sel­sel kelenjar
dengan bertambahnya antara lain sekresi liur dan keringat.
- Alfa­2 : menghambat pelepasan NA pada saraf­saraf adrenergis dengan turunnya tekanan
darah. Mungkin pelepasan ACh dan saraf kolinergis dalam usus pun terhambat sehingga
antara lain menurunnya peristaltik.
- Beta­1 : memperkuat daya dan frekuensi konstraksi jantung (efek inotrop dan kronotrop).
- Beta­2 : bronchodilatasi dan stimulasi metabolisme glikogen dan lemak.

Lokasi reseptor ini umumnya adalah sebagai berikut:

 Alfa­1 dan beta­1 : postsinaptis, artinya sinaps di organ efektor.
 Alfa­2 dan beta­2 : presinaptis dan ekstrasinaptis, yaitu di muka sinaps atau diluarnya, antara
lain di kulit otak, rahim, dan pelat­pelat darah. Reseptor­a1 juga terdapat presinaptis.

Zat­zat yang termasuk golongan adrenergik antara lain:

7. Epinefrin

8. Isoprenalin

9. Fenilefrin

10. 1­Efedrin (F.I)

11. Derivat Imidazolin

12. Amfetamin

2.6 Antiadrenergic
Penghambat   adrenergik   ialah   golongan   obat   yang   menghambat   perangsangan
adrenergik. Berdasarkan cara kerjanya obat ini dibedakan menjadi :
4. Antagonis adrenoseptor ( Alfa Bloker)
Alfa bloker menduduki adrenoseptor alfa sehingga menghalangi untuk berinteraksi dengan
obat adrenergik atau rangsangan adrenergik. 
Alfa Blocker di bagi 2 :
­ Alfa blocker Non selektif
Alfa bloker Nonselektif ada 3 kelompok yaitu : 
4. Derivat haloalkilamin
5.  Derivat imidazolin
6. Alkaloid ergot

­ Alfa blocker Selektif
1. Prazosin
2. Terazosin
3. Doksazosin

5. Antagonis adrenoseptor ( Beta Bloker)
Menghambat secara kompetitif obat adrenergik NE dan Epi (eksogen dan endogen) pada
adrenosptor   beta.   Asebutolol,   metoprolol,   atenolol   dan   bisoprolol  →  beta   bloker
kardioselektif (afinitas lebih tinggi pada reseptor beta1 daripada beta2). Efek: denyut dan
kontraksi jantung ↓, TD ↓.
Berdasarkan Farmakonetik Terbagi atas 3 golongan :
2. β­bloker yang mudah larut dalam lemak 
Semuanya  diabsorbsi  dengan baik  disaluran cerna,  tetapi  memiliki  bioavailabilitas
rendah(>50%).   Eliminasinya  melalui  metabolisme   di   hati  dan  diekresikan di  gnijal   dalam
jumlah   yang   sedikit   (10%).   Contohnya   propranolol,metoprolol,oksprenolol,labetalol   dan
karvedilol.
 
2. β­bloker yang mudah larut dalam air.
Contohnya   sotalol,nadolol   dan   atenolol.sotanol   diabsorbsi   dengan   baik   di   saluran
cerna   dan   memiliki   bioavaibilitas   tinggi.sedangkan   nadolol   dan   atenolol   kurang   baik   di
absorbs di saluran cerna dan memiliki bioavaibilitas rendah.ketiga obat ini tidak mengalami
metabolism sehingga seluruhnya dieksresi utuk melalui ginjal.
 
3. β­bloker yang kelarutannya terletak diantara golongan 1 dan 2.
Di   absorbsi   baik   disaluran   cerna.eliminasi   melalui   hati   dan   ginjal.contohnya   timolol,
bisoprolol, betaksolol, pindolol dan karteolol.

6. Penghambat Saraf Adrenergik
Yaitu   obat   yang   mengurangi   respons   sel   efektor   terhadap   perangsangan   saraf
adrenergik.   Obat   ini   bekerja   dengan   cara   menghambat   sintesis,   penyimpanan,   dan
pelepasan   neurotransmitter.   Obat   yang   termasuk   penghambat   saraf   adrenergik   adalah
guanetidinbetanidin,   guanadrel,   bretilium,   dan   reserpin.   Semua   obat   golongan   ini
umumnya dipakai sebagai antihipertensi.
Contoh obat penghambat saraf adrenergik :
4. Reserpin (Serpasil)
Mekanisme Kerja :  Mendeplesi simpanan katekolamin dan 5­hidroksitriptamin pada
berbagai organ seperti pada otak dan medula adrenal.
Indikasi : Hipertensi esensial ringan,juga digunakan sebagai terapi tambahan dengan obat
hipertensi lain pada kasus hipertensi yang lebih berat.
Kontraindikasi   :  Riwayat  depresi   mental,   ulkus   peptikum   aktif,   kolitis  ulseratif,   hamil,
menyusui.
Efek Samping : infeksi saluran cerna dan infeksi saluran nafas.
Dosis : 0,25­0,5 mg sehari dibagi dalam 2­3 dosis.

5. Guanetidin
Mekanisme   kerja  :   Menghambat   respons   terhadap   stimulasi   saraf   adrenergik   dan   obat
adrenergik yang bekerja tidak langsung.
Indikasi :Penggunaan utama satu­satunya untuk hipertensi.
Efek samping: hipotensi ortotatik

2.7 Efek rangsangan

Bila di suatu organ terdapat kedua jenis reseptor, maka responsnya terhadap stimulasi
oleh katecholamin (adrenalin, NA, dopamin, serotonin) agar tergantung dari pembagian dan
jumlah reseptor­alfa dan reseptor­beta di jaringan tersebut. Sebagai contoh dapat disebutkan
bronchi, dimana terdapat banyak reseptor beta­2; disini NA hanya berefek ringan sedangkan
adrenalin   dan   isoprenalin   menimbulkan   bronchodilatasi   kuat.   Begitu   pula   di   otot   polos
dinding   pembuluh   terdapat   reseptor­alfa   dan   –beta:   sedikit   NA   sudah   bisa   merangsang
reseptor­beta­2   dengan   efek   vasodilatasi,   sedangkan   lebih   banyak   NA   diperlukan   untuk
merangsang   reseptor­alfa   dengan   efek   vasokonstriksi.   Pembuluh   kulit   memiliki   banyak
reseptor alfa, maka adrenalin dan NA mengakibatkan vasokonstriksi, sedangkan isoprenalin
hanya berefek ringan sekali.

Dalam tabel di bawah ini diikhtisarkan efek adrenergis yang terpenting.

Efek α Efek β1 Efek β2


Stimulasi sirkulasi
­jantung Ino­/krono­  Vaso> koroner
­ trop +

­perifer   Vaso   <,   TD  ↑Sekresi


kelenjar ↑ ­ ­
Stimulasi SSP
­Napas Konstriksi   mukosa Bronco >
hidung dan mata ­

­Kewaspadaan Aktiv.psikomotor  ↑
pupil >, nafsu makan ↓
Stimulasi Glikogenolise  ↑ Sekresi   insulin   &
metabolism pelepasan asam lemak ↑ ­ renin ↑

6. ANTIDIARE
1. Definisi Diare
Diare adalahsebuah penyakit dimana penderita mengalami rangsangan buang air 
besar yang terus­menerus dan tinja atau feses yang masih memiliki kandungan air 
berlebihan yang lebih banyak dari biasanya. 
o Penggolonan Diare
a) Diare spesifik
Diare spesifik adalah diare yang disebabakan oleh infeksi baik 
bakteri, parasit, maupun virus.
b) Diare non spesifik
Diare non spesifik dapat terjadi akibat salah makan (makanan terlalu 
pedas sehingga mempercepat eristaltic usus), ketidakmampuan 
lambung dan usus dalam memetabolisme laktosa (terdapat dalam 
susu hewan) disebut lactose intolerance, ketidakmamapuan 
memetabolisme sayuran atau buah tertentu (kubis, kembang kol, 
sawi, nangka, durian), juga infeksi virus­virus noninvasive yang 
terjadi pada anak umur di bawah 2 tahun karena rotavirus.
o Mekanisme terjadinya diare
Bakteri atau toksin (racun) masuk → Intestinum 
Crassum → Intestinum Crassum yang semula mengabsorbsi air dan 
mineral berubah menjadi mensekresi air untuk mengencerkan kadar 
toksin yang ada dalam usus besar →feces menjadi cair → colon 
sigmoid → recktum → menyentuh Musculus Sphingterani Internus 
dan merangsang terjadinya defekasi. Namun Musculus Sphingterani 
Eksternus masih dapat menahan sehingga kita dapat menentukan 
kapan kita akan buang air besar. Dan ini terjadi terus menerus sampai
toksin dalam Intestinum Crassum habis.
o Gejala diare 
Gejala diare atau mencret adalah buang air besar berulang kali dengan
banyak cairan (frekuensi 4x atau lebih dalam sehari ),yang kadang 
disertai :
 Muntah
 Badan lesu atau lemah
 Panas
 Tidak nafsu makan
 Darah dan lendir dalam kotoran
Gejala lain :
 Flu
 Agak demam
 Nyeri Otot atau kejang
 Sakit kepala
 Dehidrasi
2. Obat obat anti diare 
Antidiare adalah Obat­obat yang digunakan untuk menanggulangi atau mengobati 
penyakit yang disebabkan oleh bakteri / kuman ,virus,cacing atau keracunan makanan.

Loperamide
o mekanisme kerja loperamid
Loperamid berada dalam kelas obat yang disebut agen antidiare. Mekanisme 
kerja loperamid dengan cara mengurangi aliran cairan dan elektrolit ke dalam
usus dan dengan memperlambat gerakan usus untuk mengurangi jumlah 
buang air besar.
o Efek samping
Efek samping loperamide (Imodium) yang cukup umum terjadi adalah:
 Pusing
 Mengantuk, rasa lelah
 Sembelit
 Nyeri perut ringan
 Ruam kulit atau gatal ringan
o Dosis
Dosis loperamide (Imodium) untuk diare akut
 Imodium   tablet,   kapsul,   dan   liquid:   Dosis   awal   4   mg   secara   oral
setelah BAB pertama. Dosis tumatan: 2 mg setiap setelah BAB, tidak
lebih dari 16 mg dalam 24 jam.   Perbaikan klinis biasanya terjadi
dalam 48 jam.
 Loperamide tablet kunyah: Dosis awal 4 mg setelah BAB pertama,
lalu perawatan: 2 mg setiap setelah BAB, tidak lebih dari 8 mg dalam
24 jam.

Dosis loperamide (Imodium) untuk diare akut pada anak:

o 2 ­6 tahun (13­20 kg) – Bentuk liquid hanya digunakan untuk kelompok usia
ini.
Awal: 1 mg secara oral 3 kali sehari untuk hari pertama
Rumatan: 0.1 mg/kg/dosis setiap setelah BAB, tapi tidak lebih dari dosis awal
o 6­8 tahun (20­30 kg) – Tablet, kapsul, dan liquid
Awal: 2 mg secara oral 2 kali sehari untuk hari pertama
Rumatan: 0.1 mg/kg/dosis setiap setelah BAB, tapi tidak lebih dari dosis 
awal.
o 6­8 tahun (20­30 kg) – Tablet kunyah
Awal: 2 mg secara oral setelah BAB pertama
Rumatan: 1 mg secara oral setiap setelah BAB, tapi tidak lebih dari 4 mg 
dalam 24 jam.
o 8­12 tahun (lebih dari 30 kg) – Tablet, kapsul, dan liquid
Awal: 2 mg secara oral 3 kali sehari untuk hari pertama
Rumatan: 0.1 mg/kg/dosis setiap setelah BAB, tetapi tidak lebih dari dosis 
awal.
o 8­12 tahun (lebih dari 30 kg) – Tablet kunyah:
Awal: 2 mg secara oral setelah BAB pertama
Rumatan: 1 mg secara oral setiap setelah BAB, namun tidak lebih dari 6 mg 
dalam 24 jam.
o 12­18 tahun – Tablet, tablet kunyah, kapsul, dan liquid
Awal: 4 mg setelah BAB pertama
Rumatan: 2 mg setiap setelah BAB, namun tidak lebih dari 8 mg dalam 24 
jam.
7. LAKSATIF

1. Definisi Laksatif
Laksatif atau pencahar adalah makanan atau obat­obatan yang diminum untuk 
membantu mengatasi sembelit dengan membuat kotoran bergerak dengan mudah di usus. 
Dalam operasi pembedahan, obat ini juga diberikan kepada pasien untuk membersihkan 
usus sebelum operasi dilakukan. Laksatif merupakan obat bebas. obat yang biasanya 
digunakan untuk mengatasi konstipasi atau sembelit. Biasanya obat ini hanya digunakan 
saat mengalami konstipasi atau sembelit saja karena mempunyai efek samping.
o Penggolongan obat pencahar
Golongan obat­obat pencahar yang biasa digunakan adalah:
 Bulking Agents
 Pelunak Tinja
 Minyak Mineral
 Bahan­bahan Osmotik
 Pencahar Perangsang.
o Bulking Agents.
Bulking agents (gandum, psilium, kalsium polikarbofil dan metilselulosa) 
bisa menambahkan serat pada tinja. Penambahan serat ini akan merangsang 
kontraksi alami usus dan tinja yang berserat lebih lunak dan lebih mudah 
dikeluarkan. Bulking agents bekerja perlahan dan merupakan obat yang 
paling aman untuk merangsang buang air besar yang teratur. Pada mulanya 
diberikan dalam jumlah kecil. Dosisnya ditingkatkan secara bertahap, sampai 
dicapai keteraturan dalam buang air besar.Orang yang menggunakan bahan­
bahan ini harus selalu minum banyak cairan.
o Pelunak Tinja.
Dokusat akan meningkatkan jumlah air yang dapat diserap oleh tinja. 
Sebenarnya bahan ini adalah detergen yang menurunkan tegangan permukaan
dari tinja, sehingga memungkinkan air menembus tinja dengan mudah dan 
menjadikannya lebih lunak. Peningkatan jumlah serat akan merangsang 
kontraksi alami dari usus besar dan membantu melunakkan tinja sehingga 
lebih mudah dikeluarkan dari tubuh.
o Minyak Mineral.
Minyak mineral akan melunakkan tinja dan memudahkannya keluar dari 
tubuh. Tetapi bahan ini akan menurunkan penyerapan dari vitamin yang larut 
dalam lemak. Dan jika seseorang yang dalam keadaan lemah menghirup 
minyak mineral secara tidak sengaja, bisa terjadi iritasi yang serius pada 
jaringan paru­paru. Selain itu, minyak mineral juga bisa merembes dari 
rektum.
o Bahan Osmotik.
Bahan­bahan osmotik mendorong sejumlah besar air ke dalam usus besar, 
sehingga tinja menjadi lunak dan mudah dilepaskan. Cairan yang berlebihan 
juga meregangkan dinding usus besar dan merangsang kontraksi. Pencahar 
ini mengandung garam­garam (fosfat, sulfat dan magnesium) atau gula 
(laktulosadan sorbitol). Beberapa bahan osmotik mengandung natrium, 
menyebabkanretensi (penahanan) cairan pada penderita penyakit ginjal atau 
gagal jantung, terutama jika diberikan dalam jumlah besar. Bahan osmotik 
yang mengandung magnesium dan fosfat sebagian diserap ke dalam aliran 
darah dan berbahaya untuk penderita gagal ginjal. Pencahar ini pada 
umumnya bekerja dalam 3 jam dan lebih baik digunakan sebagai pengobatan 
daripada untuk pencegahan. Bahan ini juga digunakan untuk mengosongkan 
usus sebelum pemeriksaan rontgen pada saluran pencernaan dan sebelum 
kolonoskopi.
o Pencahar Perangsang.
Pencahar perangsang secara langsung merangsang dinding usus besar untuk 
berkontraksi dan mengeluarkan isinya. Obat ini mengandung substansi yang 
dapat mengiritasi seperti senna, kaskara, fenolftalein, bisakodil atau minyak 
kastor. Obat ini bekerja setelah 6­8 jam dan menghasilkan tinja setengah 
padat, tapi sering menyebabkan kram perut. Dalam bentuk supositoria (obat 
yang dimasukkan melalui lubang dubur), akan bekerja setelah 15­60 menit. 
Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada usus besar, 
juga seseorang bisa menjadi tergantung pada obat ini sehingga usus menjadi 
malas berkontraksi (Lazy Bowel Syndromes). Pencahar ini sering digunakan 
untuk mengosongkan usus besar sebelum proses diagnostik dan untuk 
mencegah atau mengobati konstipasi yang disebabkan karena obat yang 
memperlambat kontraksi usus besar (misalnya narkotik).
2. Mekanisme Kerja Laksatif
Mekanisme pencahar yang sepenuhnya masih belum jelas, namun secara umum dapat
dijelaskan sebagai berikut :
 Sifat hidrofilik atau osmotiknya sehingga terjadi penarikan air dengan akibat
massa, konsistensi, dan transit feses bertambah.
  Laksatif bekerja secara langsung ataupun tidak langsung pada mukosa kolon
dalam menurunkan absorbs NaCl dan air
  Laksatif juga dapat meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya
absorbs garam dan air yang selanjutnya mengubah waktu transit feses.
3. Indikasi Laktasif
untuk mengosongkan usus besar sebelum proses diagnostik dan untuk mencegah atau 
mengobati konstipasi yang disebabkan karena obat yang memperlambat kontraksi usus 
besar (misalnya narkotik).Adapun salah satu contoh dari obat laksatif yang biasa 
digunakan oleh masyarakat luas adalah DULCOLAX
Dulcolax
 Indikasi:
Digunakan untuk pasien yang menderita konstipasi. Untuk persipan prosedur 
diagnostik, terapi sebelum dan sesudah operasi dalam kondisi untuk 
mempercepat defeksi.
 Kontra Indikasi:
Pada pasien ileus, abstruksi usus, yang baru mengalami pembedahan dibagian
perut seperti usus buntu, penyakit radang usus akut dan hehidrasi parah, dan 
juga pada pasien yang diketahui hipersensitif terhadap bisacodyl atau 
komponen lain dalam produk
 Komposisi:
tablet salut enterik mengandung 5 g:
4,4'­diacetoxy­diphenyl­(pyridyl­2)­methane (=bisacodil)
 Zat tambahan:
laktosa, pti jagung, gliserol, magnesium stearat, sukrosa, talk, akasia, 
titanium dioksida, eudragit L100 dan S100, dibutilftalat, polietilen glikol, Fe­
oksida kuning, beeswax white, carnauba wax, shellac..
 Cara Kerja Obat:
Bisacodyl adalah laksatif yang bekerja lokal dari kelompok turunan difenil 
metan. Sebagai laksatif perangsang (hidragogue antiresorptive laxative), 
DULCOLAX merangsang gerakan peristaltis usus besar setelah hidrolisis 
dalam usus besar, dan meningkatkan akumulasi air dan alektrolit dalam 
lumen usus besar.
 Dosis dan Cara Pemberian:
Kecuali ditentukan lain oleh dokter dosis yang dianjurkan adalah:
1. Untuk Konstipasi Tablet Salut Enterik
Dewasa dan anak­anak    di atas 12 tahun:
2 ­ 3 tablet (10 ­ 15 mg) sekali sehari.
Anak­anak 6 ­ 12 tahun: 1 tablet (5 mg) sekali sehari.
Anak­anak di bawah 6 tahun: konsultasi dengan dokter atau dianjurkan 
memakai supositoria anak.
Tablet salut enterik sebaiknya diminum pada malam hari untuk 
mendapatkan hasil evakuasi pada esok paginya. Tablet mempunyai 
lapisan khusus, oleh karena itu tidak boleh diminum bersama­sama 
dengan susu atau antasida.
Tablet harus ditelan dalam keadaan utuh dengan air secukupnya.
2. Untuk Persiapan Prosedur Diagnostik dan Sebelum Operasi
Bila DULCOLAK digunakan pada pasien untuk persiapan pemeriksaan 
radiografik abdomen atau persiapan sebelum operasi, maka penggunaan 
tablet DULCOLAX harus dikombinasi dengan supositoria, agar didapat 
evakuasi yang sempurna dari usus.
Dosis yang dianjurkan untuk orang dewasa adalah 2 ­ 4 tablet pada 
malam sebelumnya dan 1 sipositoria pada esok paginya.
Peringatan dan Perhatian:
bagaimana halnya laktasit lainnya, DULCOLAX tidak boleh 
diberikan setiap hari dalam waktu yang sama. Jika pasien setiap hari 
membutuhkan laktasif, harus diketahui penyebab terjadinya konstipasi. 
Penggunaan berlebihan dalam waktu lama dapat 
menyebabkanketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan hipokalemia, 
dan dapat mengendapkan onset konstipasi balik. Pusing dan/atau syncope
telah dilaporkan pada pasien yang menggunakan DULCOLAX. Detail 
yang ada menunjukkan bahwa kejadian tersebut akan terus berlanjut 
dengan berkurangnya kekuatan untuk defekasi (defecation syncope), atau
dengan respon vasovagal terhadap sakit perut yang dapat berhubungan 
dengan konstipasi yang mendesak pasien tersebut terpaksa menggunakan 
laktasif dan tidak perlu menggunakan DULCOLAX. Penggunaan 
supositoria dapat menyebabkan sensasi rasa sakit dan iritasi lokal, 
kuhusnya pada fisura anus dan proktitis ulserativa.
Anak­anak tidak boleh menggunakan DULCOLAX tanpa petunjuk 
dokter.

  Masa Hamil dan Menyusui
Pengalaman menunjukkan tidak ada bukti efek samping yang 
berbahaya selama keh amilan. Namun demikian, seperti halnya obat lain, 
penggunaan DULCOLAX selama kehamilan harus dengan petunjuk 
medis. Belum diketahui apakah bisacodiyl menembus air susu ibu atau 
tidak. Oleh karena itu, penggunaan DULCOLAX selama menyusui tidak 
dianjurkan.
 Efek Samping:
Sewaktu menggunakan DULCOLAX, dapat terjadi rasa tidak enak 
pada perut termasuk kram, sakit perut, dan diare. Reaksi alergi, termasuk 
kasus­kasus angiooedema dan reaksi anafilaktoid juga dilaporkan terjadi 
sehubungan dengan pemberian DULCOLAX.
   Interaksi:
Penggunaan bersamaan dengan diuretik atau adreno­kortikoid dapat 
meningkatkan risiko ketidakseimbangan elektrolit jika DULCOLAX 
diberikan dalam dosis berlebihan. Ketidaseimbangan elektrolit dapat 
mengakibatkan peningkatan sensitivitas glikosida jantung.
  Overdosis:
Gejala
Bila dosis DULCOLAX terlalu tinggi, maka dapat terjadi diare, kram
perut dan berkurangnya kadar kalium serta elektrolit lainnya secara 
nyata. Overdosis kronis DULCOLAX dapat menyebabkan diare kronis, 
sakit perut, hipokalemia, hiperaldosteronisme dan batu ginjal. Kerusakan 
tubulus ginjal, alkalosis metabolik dan kelelahan otot akibat hipokalemia 
juga terjadi pada penyalahgunaan laktasif kronis.
  Terapi
Dalam waktu yang singkat setelah minum DULCOLAX, penyerapan 
DULCOLAX dapat di
kurangi atau dicegah dengan memaksa untuk muntah atau kuras 
lambung. Dalam hal ini mungkin diperlukan penggantian cairan dan 
perbaikan keseimbangan elektrolit. Ini sangat diperlukan pada pasien usia
lanjut dan muda.Pemberian antipasmodik mungkin ada manfaatnya.
Berikut adalah beberapa efek samping obat pencahar.
1. Kram
Menggunakan obat pencahar stimulan bisa menyebabkan kram di
perut dan saluran pencernaan bawah.  Obat pencahar 
meringankan sembelit dengan merangsang kontraksi dinding 
perut sehingga feses bergerak lancar ke rektum untuk kemudian 
dibuang. Selama bekerja, obat pencahar berpotensi menyebabkan
kram akibat perubahan keseimbangan cairan pada usus besar dan 
rektum.
2. Anus terasa terbakar
Supositoria gliserin dimasukkan ke dalam anus untuk meredakan 
sembelit ringan sampai sedang. Kontak harus terjadi antara 
supositoria dengan anus selama penyisipan. Menggunakan 
supositoria untuk mengobati sembelit berpotensi menyebabkan 
iritasi dan rasa terbakar pada anus (rektum).
Iritasi bisa dikurangi dengan menggunakan pelumas sebelum 
memasukkan supositoria ke dalam anus.
3. Kembung
Pembengkakan perut, atau kembung umum terjadi selama 
penggunaan obat pencahar.
Kembung terjadi ketika otot­otot saluran pencernaan 
berkontraksi untuk menambah massa feses. Kembung umumnya 
akan hilang setelah sembelit reda.
4. Gas berlebih
Mengobati sembelit melaluinpenggunaan obat pecahar yang 
mengandung serat akan menyebabkan produksi gas berlebih dan 
menyebabakan sering buang gas (kentut).
Gas diproduksi berlebih karena diserat kedalam saluran 
pencernaan menambahkan terlalu banyak serat dalam waktu 
singkat dapat memperburuk sembelit pada orang yang dengan 
sidrom iritasi usus dan megokolon congenital

5. Pendarahan anus
Mengunakan obat pencahar dapat memicu pendarahan anus 
pendarahan anus antara lain disebabkan oleh diare yang terkait 
dengan pengunaan obat pencahar pengunaan obat pencahar
Konsultasikan dengan dokter jika terjadi pendarahan rectum 
selama lebih dari dua tiga hari setelah
6. memburuknya sembelit
Mengobati sembeit degan obat pencahar sebenarnya bisa 
menyebabkan konstipasi menjadi lebih buruk
Hal ini disebabkan toleransi tubuh akan terus meningkat dan 
menagih dosisi pencahar yang lebih besar gunakan obat pencahar
hanya setelah metode lain tidak menbuahkan hasil.
7. Menyebabkan ketergantungan
Pengunaan obat pencahar dalam jangka penjang misalnya untuk 
menurungkan berat badan akan menimbulkan k
etergantungan dan membuat sesorang tidak bisa buang air besar 
secara normal tanpa bantuan pencahar.
Pengunaan obat pencahar untuk menurunkan berat badan akan 
menyebabkan otot­otot usus menjadi lemah dan tidak mampu 
berfungsi normal 

Anda mungkin juga menyukai