Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang paling umum, mempengaruhi sekitar 50
juta orang di seluruh dunia, dengan berbagai tingkat keparahan dan dampak yang
mengganggu kehidupan sehari-hari individu. Penyakit ini terdiri dari serangkaian
gangguan sistem saraf yang menyebabkan aktivitas listrik yang tidak teratur di otak,
mengakibatkan kejang dan berpotensi menyebabkan gangguan kesadaran serta gejala
saraf lainnya. (Haryanti,2022:77).
Epilepsi adalah penyakit kronis yang ditandai dengan adanya kejang berulang
akibat gangguan aktivitas listrik abnormal pada otak. Sebagian besar kasus besar epilepsi
belum memiliki penyebab yang jelas, meskipun faktor genetik, cedera kepala, perinatal,
kondisi medis, atau penyakit otak tertentu dapat menjadi pemicu. Gangguan ini
cenderung berkembang pada segala usia, namun paling sering terjadi pada anak-anak dan
lansia. Tingkat keparahan epilepsi sangat bervariasi, mulai dari kejang ringan yang
hampir tidak terlihat hingga kejang berat yang memerlukan perhatian medis segera.
Kejang dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari kejang fokal yang mempengaruhi
satu bagian tubuh hingga kejang umum yang mempengaruhi keseluruhan tubuh.
Selain dampak medis langsung, epilepsi juga membawa dampak sosial dan
psikologis yang signifikan. Stigma sosial masih menjadi masalah utama bagi penderita
epilepsi. Masyarakat sering kali kurang paham tentang penyakit ini, dan stigmatisasi
tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita dengan membatasi peluang
pendidikan, pekerjaan, dan hubungan sosial.
Keterbatasan dalam kehidupan sehari-hari, seperti larangan mengemudi atau
kemandirian terbatas, juga dapat berdampak pada aspek psikologis dan emosional
penderita epilepsi. Hal ini sering kali menyebabkan tingkat kecemasan dan depresi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.
Diagnosis epilepsi bergantung pada riwayat klinis dan serangkaian tes saraf,
termasuk EEG (Elektroensefalogram) yang mencatat aktivitas listrik otak. Pengobatan
epilepsi sering melibatkan terapi obat-obatan antiepilepsi, dengan tujuan untuk
mengendalikan kejang dan mencegah kekambuhan tanpa menimbulkan efek samping
yang signifikan.

1
Namun, terdapat kasus di mana terapi obat-obatan tidak efektif atau menyebabkan
efek samping yang buruk, maka terapi lain seperti diet ketogenik, terapi bedah, atau
stimulasi saraf mungkin dipertimbangkan. (Arfania,2023:1061).
Dalam beberapa tahun terakhir, terobosan dalam pengobatan epilepsi telah
mengalami perkembangan. Teknologi terbaru, seperti stimulasi saraf dalam bentuk
Vagus Nerve Stimulation (VNS) atau stimulasi otak dalam, telah menunjukkan hasil
yang menjanjikan dalam mengurangi kejang pada pasien yang sulit diobati. Selain itu,
penelitian terbaru dalam bidang genetika dan neurologi telah mengarah pada pemahaman
yang lebih baik tentang faktor-faktor terkait yang menyebabkan epilepsi. Ini memberikan
harapan akan pengembangan terapi yang lebih efektif dan spesifik untuk setiap individu.
Epilepsi merupakan penyakit neurologi kompleks yang mempengaruhi kehidupan
sehari-hari banyak individu di seluruh dunia. Meskipun terapi obat-obatan tetap menjadi
metode utama dalam pengobatan, penelitian terbaru dan inovasi dalam teknologi medis
memberikan harapan akan perbaikan dalam penanganan dan manajemen penyakit ini.
Penting bagi masyarakat untuk memahami epilepsi dan memberikan dukungan yang
memadai bagi penderita untuk membantu meningkatkan kualitas hidup mereka.
B. Rumusan Masalah
1). Apakah yang dimaksud dengan epilepsi?
2). Bagaimana Klasifikasi Epilepsi ?
3). Apakah faktor yang menyebabkan epilepsi?
4). Bagaimana Patologi Epilepsi ?
5). Bagaiman Patifisiologi Epilepsi ?
6). Bagaimana gejala epilepsi ?
7). Bagaimana Diagnonis Epilepsi ?
8). Bagaimana Cara Pencegahan dan penyembuhan Epilepsi ?
C. Tujuan
1) Dapat mengetahui epilepsi beserta etiologinya
2) Dapat mengetahui Klasifikasi Epilepsi
3) Dapat mengetahui faktor yang menyebabkan epilepsi
4) Dapat mengetahui Patologi Epilepsi
5) Dapat mengetahui Patifisiologi Epilepsi
6) Dapat mengetahui Bagaimana gejala epilepsi
7) Dapat Mengetahui Bagaimana Diagnonis Epilepsi
8) Dapat mengetahui Cara pencegahan dan penyembuhan Epilepsi
2
BAB II
ISI

A. Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah gangguan neurologis kronis yang ditandai oleh aktivitas listrik otak
yang tidak teratur, yang mengakibatkan kejang berulang. Kejang epilepsi merupakan
manifestasi dari gangguan listrik yang tidak terkoordinasi di otak, yang dapat
menyebabkan berbagai gejala, mulai dari kejang ringan hingga kehilangan kesadaran dan
gerakan tubuh yang tidak terkendali. (Haryanti,2022:77).
Epilepsi sering kali didiagnosis berdasarkan adanya kejang berulang yang tidak
disebabkan oleh kondisi medis atau faktor jelas lainnya. Terkadang, kejang dapat dipicu
oleh faktor seperti kurang tidur, stres, pencahayaan yang terang, atau stimulasi lainnya.
Meskipun kejang merupakan ciri khas epilepsi, tidak semua kejang disebabkan oleh
epilepsi, karena kejang juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti demam atau
cedera otak akut.

Sumber : https://republika.co.id/berita/n2odra/terapi-teratur-bisa-kendalikan-epilepsi
(diakses pada Minggu,11 November 2023)
Penyakit epilepsi adalah kondisi yang terbagi atas dua jenis, di antaranya yaitu
epilepsi umum dan parsial. Berikut masing-masing penjelasannya:
Epilepsi umum: Kondisi ini terjadi di kedua bagian otak, mencakup grand mal
(tonik-klonik) yang berisiko menyebabkan hilang kesadaran, mioklonik (penyebab
badan atau bagian tubuh tersentak singkat), serta tonik (tubuh menjadi kaku, diikuti
kejang tangan atau kaki). (Haryanti,2022:77).
Epilepsi parsial: Kondisi ini terjadi pada bagian otak tertentu sehingga
menimbulkan gejala yang mungkin berkaitan dengan masalah indera, kejang pada
jari-jari atau kaki, dan tremor.

3
Epilepsi juga dikenal dengan sebutan ayan yang memiliki ciri khas berupa
kejang kambuhan yang seringnya muncul tanpa pencetus, penyakit ini terjadi karena
adanya gangguan sistem saraf pusat (Neuologis) yang menyebabkan kejang atau
terkadang kehilangan kesadaran.Pada pengidap epilepsi kejang bisa terjadi lebih dari
sekali atau berulang-ulang di waktu yang sama atau di waktu berbeda bahkan bisa
menyebabkan kejang di saat tidur ini terjadi karena adanya perubahan fase tubuh
dari bangun tidur yang memicu aktivitas tidak normal pada otak. Penyakit epilepsi
adalah penyakit yang umum terjadi dan bisa menyerang segala usia, baik itu bayi
maupun orang dewasa. (Sujana ,2017 :47 )

B. Klasifikasi Epilepsi
Menurut Kemenkes RI (2022), klasifikasi epilepsi berdasarkan penyebabnya
dibagi 2 (dua) yaitu :
a) Epilepsi idiopatik (epilepsi primer), jenis epilepsi yang penyebabnya tidak
diketahui (disebabkan faktor genetik).
b) Epilepsi simptomatik (epilepsi sekunder), jenis epilepsi yang penyebabnya bisa
diketahui. Sejumlah faktor seperti luka berat dikepala, tumor otak dan stroke.
Kejang berulang merupakan gejala utama epilepsi, karakteristik kejang bervariasi
dan bergantung pada bagian otak yang terganggu pertama kali. Jenis kejang
epilepsi dibagi menjadi 2 berdasarkan pada otak yaitu :
 Kejang Parsial atau Focal Otak yang mengalami gangguan hanya sebagian saja.
Kejang parsial simple pengidapnya tidak kehilangan kesadaran gejalanya dapat
berupa anggota tubuh yang menyentak, sedang kejang parsial kompleks
mempengaruhi kesadaran pengidapnya sehingga membuatnya terlihat seperti
bingung atau setengah sadar.
 Kejang Umum Gejala ini terjadi pada sekujur tubuh dan disebabkan oleh
gangguan yang berdampak kepada seluruh bagian otak. Berikut ini adalah gejala
yang bisa terjadi saat seseorang terserang kejang umum :
 Mata yang terbuka saat kejang.
 Kejang tonik, tubuh yang menjadi kaku selama beberapa detik.
 Kejang atonik yaitu otot tubuh tiba-tiba menjadi rileks, sehingga pengidap
bisa jatuh tanpa kendali.

4
 Terkadang pengidap epilepsi mengeluarkan suara-suara atau berteriak saat
mengalami kejang.
 Demam tinggi, kelelahan akibat panas.
 Mengompol
 Kesulitan bernafas untuk beberapa saat, sehingga badan terlihat pucat atau
bahkan membiru.
 Kejang menyeluruh membuat pengidap benar-benar tidak sadarkan diri, dan
setelah sadar terlihat bingung selama beberapa menit atau jam.

C. Faktor-faktor yang menyebabkan Epilepsi


Epilepsi terjadi akibat pola aktivitas listrik yang tidak normal di otak. Penyebab
Epilesi secara umum dibagi menjadi 2 yaitu :
 Epilepsi simptomatik (sekunder): Jenis epilepsi yang penyebabnya dapat
diketahui, yaitu karena adanya sejumlah faktor seperti luka berat di kepala,
stroke, atau tumor otak.
 Epilepsi idiopatik (primer): Jenis epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui.
Namun, terdapat dugaan bahwa kondisi ini disebabkan oleh faktor keturunan
(genetik).
Pada banyak kasus yang diketahui, pasti penyebab epilepsi belum ada, namun
ada beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi timbulnya epilepsi:
 Faktor Genetik: Adanya riwayat keluarga dengan epilepsi dapat meningkatkan
risiko seseorang mengembangkan gangguan ini. Studi genetik menunjukkan
bahwa terdapat faktor genetik yang terlibat dalam perkembangan epilepsi.
 Cedera Kepala: Cedera kepala yang signifikan, seperti cedera akibat
kecelakaan atau trauma lahir, dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami
epilepsi.
 Infeksi dan Penyakit: Beberapa infeksi seperti ensefalitis atau meningitis serta
kondisi medis seperti stroke, tumor otak, atau kelainan perkembangan otak
dapat menjadi faktor penyebab timbulnya epilepsi.
 Kondisi Perinatal: Faktor-faktor selama kehamilan atau persalinan, seperti
kekurangan oksigen pada bayi, dapat menyebabkan kerusakan otak yang
berujung pada epilepsi.

5
 Faktor Lingkungan: Paparan terhadap toksin atau zat-zat kimia tertentu,
kondisi sosio-ekonomi yang buruk, dan gangguan lingkungan lainnya juga
dapat menjadi pemicu epilepsi.

D. Patologi Epilepsi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik
saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat
zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke
neuron-neuron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke
bagian tubuh/ anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang
substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi
kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. (Ahmad Ramali, 2005 :114).
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga
sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke
intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membran sel itu masuk ke
dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi
neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik. (Hasibuan,2022 :668).
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut.
Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat
6
apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami
deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena
pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang. Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal
pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang
tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-
fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

E. Patifisiologi Epilepsi
Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur di otak.
Aktivitas listrik normal jika terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan
inhibisi dan eksitasi dari aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena adanya
ketidakseimbangan faktor inhibisi dan eksitasi aktivitas listrik otak. Terdapat beberapa
teori patofisiologi epilepsi, adalah sebagai berikut:
7
a) Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak
Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat
kejang. Sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem
neuronal yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang
berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan saat kejang, tetapi tidak dapat untu
mengontrol eksitasi yang berlebihan, sehingga tejadi kejang. Excitatory
Postsynaptic Potentials (EPSPs) dihasilkan oleh ikatan molekul pada reseptor
yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau ion Ca dan tertutupnya
saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi. Berlawanan dengan
Inhibitory Postsynatic Potentials (IPSs) disebabkan karena meningkatnya
permeabilitas membran terhadap Cl dan K, yang akhirnya menyebabkan
hiperpolarisasi membrane. Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan
neuromedulator, akan tetapi reseptor glutamate yang paling penting dan paling
banyak diteliti untuk eksitasi epilepsi. Sedangkan inhibitor utama
neurotransmitter pada susunan saraf pusat adalah Gamma Amino Butiric Acid
(GABA). Semua struktur otak depan menggunakan aksi inhibitor dan memegang
peranan fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi,
kegagalan fungsi GABA dapat mengakibatkan serangan kejang.
b) Mekanisme sinkronisasi
Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf
berupa hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah
besar neuron yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal.
Potensial aksi yang terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron-
neuron lain yang berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik
yang berlebihan dan bersifat berulang.
c) Mekanisme epileptogenesis
Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi. Iskemia, trauma,
neurotoksin dan trauma lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel
tertentu. Bila sel ini mati, akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas
untuk berhubungan dengan neuron diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh
cenderung untuk mudah terangsang.
d) Mekanisme peralihan interiktal-iktal
Mekanisme yang memproduksi sinyal, sinkronisitas dan penyebaran
aktivitas sel saraf termasuk kedala teori transisi interiktal0-iktal. Dari berbagai
8
penelitian, mekanisme transisi ini tidak berdiri sendiri melainkan hasil dari
beberapa interaksi mekanisme yang berbeda. Terdapat dua teori mengenai transisi
interiktal-iktal, yaitu mekanisme nonsinaptik dan sinaptik. Pada nonsinaptik
adanya aktivitas iktal-interikta yang berulang menyebabkan peningkatan kalium
ekstrasel sehingga eksitabilitas neuron meningkat. Aktivitas pompa Na-K sangat
berperan dalam mengatur eksitabilitas neuronal. Hipoksia atau iskemia dapat
menyebabkan kegagalan pompa Na-K sehingga meningkatkan transisi interiktal-
iktal. Teori sinaptik ini menyebutkan bahwa penurunan efektivitas mekanisme
inhibisi sinaps ataupun peningkatan aktivitas eksitasi sinaps dapat mencetuskan
epilepsi. (Anurogo,2014 :45).
e) Mekanisme neurokimiawi
Mekanisme epilepsi sangat dipengaruhi oleh keadaan neurokimia pada
sel-sel saraf, misalnya sifat neurotransmitter yang dilepaskan, ataupun adanya
faktor tertentu yang menyebabkan gangguan keseimbangan neurokimia seperti
pemakaian obat-obatan. Selain GABA dan glutamate yang merupakan
neurotransmitter penting dalam epilepsi, terdapat beberapa produk kimiawi lain
yang juga ikut berperan seperti misalnya golongan opioid yang dapat
menyebabkan inhibisi interneuron, ataupun katekolamin yang dapat menurunkan
ambang kejang. Selain itu gangguan elektrolit akibat kegagalan pengaturan
pompa ionik juga ikut mencetuskan serangan epilepsi. Beberapa zat kimia
terbukti dapat memicu terjadinya epilepsi, yaitu alumina hydroxide gel yang
menyebabkan degenerasi neuron, kematian neuron dan penurunan aktivitas
GABAergik, pilokapin yang menyebabkan pembengkakan pada dendrit, soma
dan astrosit, dan pada tahap akhir menyebabkan kematian sel. Asam kainat
terbukti dapat menginduksi kejang dengan cara memacu reseptor excitatory
amino acid (EAA). (Nuh Gusta, 2019).

F. Gejala Epilepsi
Penderita epilepsi dapat mengalami gejala yang berbeda-beda, tergantung pada jenis
epilepsi yang dialaminya. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui jenis epilepsi
yang dialami dan gejala yang muncul untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan
yang tepat. Selain itu, ada beberapa faktor yang dapat memicu kejang pada orang
yang sudah memiliki epilepsi, seperti stres, kurang tidur, cahaya terang, minum
alkohol, infeksi otak, stroke, penyakit Alzheimer, menyalahgunakan NAPZA,
9
menderita demensia, menderita infeksi di otak, dan menderita infeksi saat
kehamilanGejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi,
yaitu :
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau
satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya masih baik.
a) Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b) Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana,
tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau
kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun. (Wijaya, 2020 : 191)
a) Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b) Kejang Atonik Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot
anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau
lebih lama.
c) Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d) Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat
dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata
mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan
diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase
10
tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e) Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f) Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

G. Diagnonis Epilepsi
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi. Dalam
melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-
obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum,
selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan
informasi yang sangat penting dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis (auto dan
aloanamnesis), meliputi :
a) Pola / bentuk serangan
b) Lama serangan
c) Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d) Frekuensi serangan
e) Faktor pencetus
f) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g) Usia saat terjadinya serangan pertama
h) Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i) Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
11
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus.
Sebabsebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Untuk penderita
anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukan awal
ganguan pertumbuhan otak unilateral. (Wijaya, 2020 : 191)
3) Pemeriksaan penunjang
a) Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.
Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
b) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
c) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
d) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal.
e) Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan
penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).
4) Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis bertujuan
untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang
sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan
secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan
hippocampus kiri dan kanan.

12
H. Pencegahan dan Penyembuhan Epilepsi
Epilepsi, suatu gangguan saraf yang ditandai dengan kejang berulang, sering kali
menimbulkan kecemasan dan keterbatasan bagi individu yang mengalaminya.
Meskipun tidak selalu dapat dihilangkan sepenuhnya, pencegahan dan pengelolaan
yang tepat dapat mengurangi keparahan serta kemacetan frekuensi. Demikian juga,
meskipun tidak ada penyembuhan mutlak untuk epilepsi, terdapat pendekatan yang
bertujuan untuk mengendalikan kejang serta memperbaiki kualitas hidup pasien.
a) Pencegahan Epilepsi:
Menghindari Pemicu yang Diketahui: Faktor pemicu seperti kurang tidur, stres
berlebihan, atau konsumsi alkohol dapat memicu kejang pada beberapa individu.
Menghindari faktor-faktor ini dapat membantu mengurangi risiko kejang.
1. Menjaga Kesehatan:
 Pola Tidur yang Teratur: Kurangnya tidur dapat meningkatkan risiko
kejang, menjaga pola tidur yang konsistensinya dapat membantu.
 Gaya Hidup Sehat: Olahraga, diet seimbang, dan menghindari faktor
risiko seperti alkohol dan obat-obatan terlarang dapat membantu
mengurangi risiko kejang.
 Mengelola Stres: Stres bisa menjadi pemicu bagi beberapa orang yang
mengalami epilepsi. Teknik relaksasi, relaksasi, atau terapi perilaku
kognitif dapat membantu dalam manajemen stres.
 Konsultasi Medis Rutin: mengikuti pengobatan yang disarankan dan
menjalani kunjungan rutin ke dokter adalah penting untuk menjaga
kondisi epilepsi serta mengoptimalkan terapi yang dijalani.
b) Penyembuhan dan Pengelolaan:
 Pengobatan Antikejang:
 Obat-obatan: Dokter biasanya meresepkan obat antikejang untuk
mengendalikan kejang. Penting untuk mengikuti dosis yang dianjurkan dan
konsistensi dalam penggunaan obat.
 Terapi Tambahan: Selain obat, terapi lain seperti diet ketogenik atau terapi
stimulasi saraf dapat dipertimbangkan sebagai terapi tambahan.
 Terapi Perilaku atau Psikologis: Edukasi dan Dukungan Psikologis: Penting
bagi pasien dan keluarganya untuk memahami kondisi serta menemukan
dukungan emosional untuk mengelola stres dan dampak sosial epilepsi.

13
 Terapi Kognitif: Terapi ini bertujuan untuk membantu individu mengelola
gejala epilepsi dan keterbatasan yang mungkin timbul.
 Tindakan Bedah: Operasi atau Tindakan Bedah: Pada beberapa kasus yang
sulit dikendalikan oleh obat, tindakan bedah mungkin dipertimbangkan
untuk mengurangi atau menghentikan kejang.
 Pemantauan dan Manajemen Komorbiditas: Pemantauan Kesehatan
Mental: Kondisi kesehatan mental yang berkaitan dengan epilepsi juga
perlu dikelola.
 Manajemen Faktor Risiko Lain: Kondisi kesehatan lain, seperti gangguan
tidur atau penyakit yang mungkin mempengaruhi epilepsi, juga perlu
diperhatikan. Pencegahan dan pengobatan epilepsi bergantung pada
pendekatan yang komprehensif, melibatkan kolaborasi antara pasien,
dokter, dan tenaga medis lainnya. Memahami serta mengelola pemicu,
mengikuti pengobatan secara konsisten, dan menjalani perawatan yang
sesuai merupakan langkah-langkah utama dalam mengurangi risiko kejang
serta meningkatkan kualitas hidup bagi mereka yang mengalami epilepsi.
(Maryam,2018 :91-96).

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Epilepsi atau yang lebih sering disebut ayan atau sawan adalah gangguan sistem
saraf pusat yang terjadi karena letusan pelepasan muatan listrik sel saraf secara berulang,
dengan gejala penurunan kesadaran, gangguan motorik, sensorik dan mental, dengan
atau tanpa kejang-kejang. Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para
orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua
macam, yaitu epilepsi parsial dan epilepsi grandmal. Epilepsi parsial dibedakan menjadi
dua, yaitu epilepsi parsial sederhana dan epilepsi parsial kompleks. Epilepsi grandmal
meliputi epilepsi tonik, klonik, atonik, dan myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsi
dimana keadaannya berlangsung secara terus-menerus atau kontinyu. Epilepsi klonik
adalah epilepsi dimana terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi atonik merupakan
epilepsi yang tidak terjadi tegangan otot. Sedangkan epilepsi myoklonik adalah kejang
otot yang klonik dan bisa terjadi spasme kelumpuhan.
B. Saran
Setelah penulisan makalah ini, diharapkan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa
dapat mengetahui gejala-gejala epilepsi dan cara penanganannya.

15
DAFTAR PUSTAKA
Anurogo, D., & Usman, F. S. 2014. 45 Penyakit dan Gangguan Syaraf Deteksi Dini & Atasi
45 Penyakit dan Gangguan Saraf. Yogyakarta: Rapha Publishing.
Arfania, M., Frianto, D., & Kurniawati, I. (2023). Literature Review Peran Obat
Phenobarbital Terhadap Pasien Epilepsi Di Rumah Sakit. Innovative: Journal Of
Social Science Research, 3(2), 1061-1071.
Hasibuan, D. K., & Dimyati, Y. (2020). Kejang Demam sebagai Faktor Predisposisi Epilepsi
pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran, 47(9), 668-672.
Haryanti, D. Y., Sundari, O. M., & Madani, R. F. (2022). PENINGKATAN KUALITAS
HIDUP MELALUI PHYSICAL AND SPIRITUAL TREATMENT PADA
PASIEN DENGAN EPILEPSI: STUDI KASUS. Scientific Proceedings of Islamic
and Complementary Medicine, 1(1), 77-86.
Maryam, I. S., Wijayanti, I. A. S., & Tini, K. (2018). Karakteristik Klinis Pasien Epilepsi Di
Poliklinik Saraf Rsup Sanglah Periode Januari–Desember 2016. Callosum
Neurology, 1(3), 91-96.
Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical development and
medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta:
EGC.
Sujana E, Fatimah S, Hidayati (2017). Kebutuhan Spiritual Keluarga Dengan Anak
Penderita Penyakit Kronis. Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia.;3(1):47.
Wangidjaja, O., & Wreksoatmodjo, B. R. (2022). Tinjauan atas Epilepsi Pasca-Trauma
Kapitis. Cermin Dunia Kedokteran, 49(11), 610-615.
Wijaya, J. S., Saing, J. H., & Destariani, C. P. (2020). Politerapi Anti-Epilepsi pada Penderita
Epilepsi Anak. Cermin Dunia Kedokteran, 47(3), 191-194.

16

Anda mungkin juga menyukai