Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN EPILEPSI

Disusun oleh:
1. Amelia
2. Apriska Andani Amalia
3. Dinia Rahmatillah
4. Hardianto
5. Muhammad Anwar
6. Nadia Rizki Nadila
7. Ni Komang Ayudhya Samantha
8. Rahayu Ajeng Rinjani
9. Saptoni

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN JEJANG DIII
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stress adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang tampak berbahaya
atau sulit. Stress membuat tubuh memproduksi hormon adrennaline yang
berfungsi untuk mempertahankan diri, karena stress merupkan bagian
dari hidup manusia. Tidak jarang pula bahwa stress adalah dampak dari
suatu penyakit yang diderita seseorang, dan penyakit yang sering
kambuh, seperti kejang, epilepsi.
Sistem saraf adalah sistem organ pada manusia yang terdiri atas
serabut saraf yang tersusun atas sel-sel saraf yang saling terhubung dan
esensial untuk persepsi sensori indrawi, aktivitas motorik volunter dan
involunter organ atau jaringan tubuh, dan homeostasis berbagai proses
fisiologi tubuh. Sistem saraf mrupakan jaringan paling rumit dan paling
penting karena terdiri dari jutaan sel saraf (neuron) yang saling terhubung
dan vital untuk perkembangan bahasa, pikiran dan ingatan. Kelainan
pada sistem saraf sangat banyak, dan yang sering terjadi dan dikenal
masyarakat adalah epilepsi.
Epilepsi dikenal sebagai salah satu penyakit tertua di Dunia (2000
tahun SM) dan menempati urutan kedua dari penyakit saraf setelah
gangguan peredaran darah otak (Harsono, 1996). Dengan tatalaksana
yang baik sebagian besar penderita dapat terbebaskan dari penyakitnya,
namun masih ditemukan banyak kendala, di Indonesia diantaranya
kurangnya dokter spesialis saraf, kurangnya keterampilan dokter dan tim
medis dalam menangani dan menanggulangi penyakit ini. Walaupun
penyakit ini telah dikenal lama oleh masyarakat, namun masih saja
banyak istilah-istilah untuk penyakit ini karena beragamnya kebudayaan,
seperti sawan, ayan, sekalor, dll. Akan tetapi pengertian penyakit ini
masih kurang bahkan salah sehingga penderita masih saja digolongkan

2
dalam penyakit gila, kutukan, dan turunan sehingga penderita tidak
diobati atau bahkan disembunyikan. Akibatnya banyak penderita epilepsi
yang tidak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat
sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan
baik bagi penderita maupun keluarganya.
Di Indonesia belum ada data epidermiologis yang pasti tetapi
diperkirakan ada 900.000- 1.800.000 penderita, sedangkan
penanggulangan penyakit ini belum merupakan prioritas dalam sistem
kesehatan Nasional. Oleh karena pentingnya pengetahuan untuk
mengobati dan mencegah terjadinya penyakit ini sejak dini serta masih
melekatnya faktor kebudayaan yang salah pada penderita epilepsi, maka
perlu dibahas asuhan keperawatan pada kasus epilepsi lebih dalam.
Gangguan ini sangat penting untuk dibahas karena sangat dekat sekali
dengan kehidupan sehari-hari. Gangguan ini tentu bisa merusak aspek
psikologi dan psikososial penderita dan diperlukan asuhan keperawatan
yang holistik sebagai sarana promotif, prevetif dan kuratif yang efektif
sehingga dapat menurunkan risiko gangguan sistem saraf.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi dari Epilepsi?
2. Apakah penyebab terjadinya Epilepsi?
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya Epilepsi?
4. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan penyakit Epilepsi?

1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan gangguan pada saraf
“Epilepsi”.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi dan klasifikasi tentang epilepsi
2. Mengetahui dan memahami tentang patofisiologi epilepsi.

3
3. Mengetahui dan memahami tentang komplikasi epilepsi.
4. Mengetahui dan memahami tentang manifestasi klinis epilepsi.
5. Mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan medis epilepsi
6. Mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada
epilepsi.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Epilepsy adalah sindrom klinis yang ditandai dengan dua atau lebih
bangkitan. Sebagai besar timbul tanpa provokasi akibat kelainan
abnormal primer diotak dan bukan sekunder oleh sebab sistemik.
Penyakit epilepsi telah dikenal lama di masyarakat (terbukti dengan
adanya istilah-istilah bahasa daerah untuk penyakit tersebut seperti
sawam, ayan, sekalor, dan celengan), tapi pengertian akan penyakit
tersebut masih kurang bahkan salah sehingga penderita digolongkan
dalam penyakit gila, kutukan dan turunan akibatnya penderita tidak
diobati atau bahkan disembunyikan. Harsono (2007) menambahkan
bahwa hal tersebut mengakibatnya banyak penderita epilepsi tidak
terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga
menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik bagi
penderita maupun keluarganya.
Harsono (2004) memaparkan bahwa masyarakat awam menganggap
epilepsi atau ayan merupakan penyakit akibat adanya gangguan di otak
atau disebabkan oleh kekuatan supranatural, dan tiap jenis serangan
dikaitkan dengan nama roh atau setan sehingga terapinya juga didasarkan
atas kekuatan spriritual. Masyarakat juga menganggap epilepsi sebagai
penyakit yang memalukan atau menakutkan karena dianggap menular
melalui buih yang keluar dari mulut penderita yang terkena serangan.
Sedangkan menurut (kumala et al,1998) Epilepsi adalah kelompok
sindrom yang ditandai dengan gangguan otak sementara yang bersifat
paroksimal yang dimanefestasikan berupa gangguan atau penurunan
kesadaran yang episodic, fenomena motorik yang opnormal, gangguan
psikis, sensorik, dan system otonom, gejala-gejalanya disebabkan oleh
aktifitas listrik otak. Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara
klinis dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya

5
mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang. Sedangkan
gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa
gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif),
gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif)
dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari
letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya
sehingga dikenallah bermacam jenis epilepsi
Banyaknya masalah psikologis bagi penderita epilepsi yang
disebabkan karena tekanan internal maupun tekanan eksternal akan
beresiko mengalami gangguan keberfungsian dalam hidup, baik di
sekolah, di tempat kerja maupun di tempat umum lainnya. Hal ini
disebabkan karena penderita epilepsi selalu merasa cemas kalau serangan
epilepsinya akan kumat ditambah lagi persepsi masyarakat yang negatif
terhadap penyakit epilepsi.

2.2 Klasifikasi
Terdapat dua klasifikasi epilepsi yaitu:
a. Epilepsi serangan parsial atau fokal
1) Epilepsi parsial sederhana
Pada epilepsi ini hanya satu jari atau tangan yang bergetar, atau
mulut dapat tersentak tak terkontrol. Individu akan berbicara yang
tidak dapat dipahami, pusing, dan mengalami sinar, bunyi, atau
rasa yang tidak umum atau tidak nyaman.
2) Epilepsi parsial kompleks
Pada epilepsi jenis ini melibatkan gangguan fungsional serebral
pada tingkat yang lebih tinggi, seperti proses ingatan dan proses
berfikir, individu tetap tidak bergerak atau bergerak secara
otomatis tetapi tidak tepat dengan waktu dan tempat, atau
mengalami emosi berlebihan yaitu takut, marah, kegirangan, atau
peka rangsang.

6
3) Epilepsi umum
Kejang umum atau sawan tonik-klonik primer yang dulu dikenal
sebagai epilepsi grand-mal, awalnya dimulai dengan kehilangan
kesadaran dan disusul dengan gejala motorik secara bilateral, ini
dapat berupa ekstensi tonik dari semua ekstremitas selama
beberapa menit, disusul oleh gerakan klonik yang sinkron dari
otot-otot tersebut. Beberapa penderita dapat menunjukkan
komponen tonik saja atau klonik saja atau klonik-tonik-klonik.
Segera sesudah sawan berhenti kesadaran belum pulih dan
penderita tertidur. Kadang-kadang sebelum sawan ada gejala
prodromal berupa kecemasan yang tidak menentu atau rasa tidak
nyaman. Serangan tonik-klonik umum dapat terjadi pada segala
usia, namun paling sering terjadi pada umur 0-20 tahun. Serangan
berlangsung selama 2-5 menit. Pascaserangan, penderita tampak
mengantuk sekali selama beberapa menit sampai beberapa jam.
Setelah sadar pernapasan kembali normal secara berangsur-
angsur, penderita mengalami amnesia parsial dan kadang-kadang
ada keluhan nyeri kepala. Penderita serangan tonik-klonik umum
primer maka serangan epilepsi biasanya muncul pada saat tidak
tidur (Harsono, 2001).

2.3 Etiologi
Terdapat beberapa factor yang dapat menyebabkan epilepsy, yaitu
a. Factor fisiologis
b. Factor biokimiawi
c. Factor anatomis
d. Gabungan factor-faktor diatas
e. Penyakit yang pernah diterima (trauma lahir, trauma kapitis, radang
otak, tumor otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomaly
kongenital otak, degenerasi susunan saraf pusat, gangguan

7
metabolism, gangguan elektrolit, keracunan obat atau zat kimia,
jaringan parut factor herediter).
Tabel Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th) 1. Hipoksia dan iskemia
paranatal
2. Cedera lahir intrakranial
3. Infeksi akut
4. Gangguan metabolik
(hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi
piridoksin)
5. Malformasi kongenital
6. Gangguan genetic

Anak (2- 12 th) 1. Idiopatik


2. Infeksi akut
3. Trauma
4. Kejang demam
Remaja (12- 18 th) 1. Idiopatik
2. Trauma
3. Gejala putus obat dan alcohol
4. Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) 1. Trauma
2. Alkoholisme
3. Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) 1. Tumor otak
2. Penyakit serebrovaskular
3. Gangguan metabolik (uremia,
gagal hepatik, dll )
4. Alkoholisme

8
2.4 Patofisiologi
Adanya predisposisi yang memungkinkan gangguan pada sistem
listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan
sel-sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan,
secara berulang, dan tidak terkontrol (disritmia). Aktivitas serangan
epilepsi dapat terjadi sesudah gangguan pada otak dan sebagian
ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada mesenfalon,
talamus, dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat epiloptogenik,
sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak biasanya tidak
menimbulkan serangan epilepsi.
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena
biokimia tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabilan membran
sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif
dengan ambang yang menurun, sehingga mudah terangsang, dan
terangsang secara berlebihan.
Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol,
pelepasan abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan
menuju ke arah epilepsi. Gerakan-gerakan fisik yang tidak teratur disebut
kejang. Akibat adanya disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu
ini mmemberikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana
sampai gerakan konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran.
Status epilepsi menimbulkan kebutuhan metabolik besar dan dapat
mempengaruhi pernapasan.. terdapat beberapa kejadian henti napas pada
puncak setiap kejang yang menimbulkan kongesti vena dan hipoksia
otak. Episode berulng anoksia dan pembengkakan serebral dapat
menimbulkan kerusakan otak janin yang tak reversibel dan fatal. Faktor-
faktor pencetus epilepsi meliputi gejala putus obat antikonvulsan,
demam, dan infeksi penyerta.
Secara patologi, fenomena biokimia sel saraf yang menandai epilepsi
yaitu:
a. Ketidakstabilan membran sel saraf.

9
b. Neuron hypersensitif dengan ambang menurun.
c. Polarisasi abnormal.
d. Ketidakseimbangan ion.

2.5 Manifestasi klinis


Sebelum membicarakan gejala-gajala yang berhubungan dengan
epilepsi, perlu dibedakan antara sawan epilepsi dan sindrom epileptik
atau penyakit epilepsi. Sawan epileptik menurut klasifikasi yang
dirancang oleh International League Against Epilepsy ( ILAE) 1981,
dibagi atas tiga tipe :
a. Sawan parsial, yang berasal dari daerah tertentu dalam otak. Sawan
ini dibagi menjadi:
- Sawan parsial sederhana
- Sawan parsial kompleks
- Sawan umum sekunder
b. Sawan umum primer, yang sejak awal seluruh otak terlibat secara
bersamaan. Sawan ini dibagi menjadi :
- Sawan tonik-klonik
- Sawan lena
- awan mioklinik
- Sawan tonik saja
- Sawan klonik saja
- Sawan atonik.
c. Sawan yang tidak terklaisfikasikan.
Sawan parsial sederhana ditandai dengan kesadaran yang tetap baik
dan dapat berupa:
- motorik fokal yang menjalar atau tapa menajalar
- gerakan versif, dengan kepala dan leher menengok ke satu sisi,
atau dapat pula sebagai gejala sensorik fokal menlar atau
sensorik khusus berupa halusinasi sederhana.

10
Pada sawan parsial kompleks didapat adanya gangguan
kesadaran dan gejala psikis atau gangguan fungsi lpuhur,
umpamanya disfasia, deja-vu, jarnalis-vu, keadaan seperti
mimpi. Ilusi, halusinasi, sederhana atau kompleks. Otomatisme
bukan manifestasi khusus pada sawan parsial kompleks. Tapi
dapat terjadi karena sawan lena, dan pada pasca sawan tonik
klonik. Penderita sering menjadi bingung, disorientasi, selama
beberapa menit pasca sawan parsial kompleks ini.
Sawan parsial dapat beubah menjadi sawan jenis lain
melalui beberapa tingkatan, hal ini menunjukkan adanya
penyebaran lepasan listrik ke berbagai bagian otak. Suatu sawan
parsial dapat dimulai sebagai sawan parsial sederhana beruba
menjadi sawan parsial kompleks dulu disusul oleh sawan umum
tonik-klonik sekuder. Sawan parsial merupakan yang paling
sering gijumpai, dan lebih dari 60% sawan kategori ini. Sawan
ini dikenal sebagai epileps psikomotor.
Sawan umum tonik klonik primer yang dulu dikenal
sebagai epilepsi grand-mal. Awalnya dimulai dengan kehilangan
kesadaran dan disusul dengan gejala motorik secara bilateral, ini
dapat berupa ekstensi tonik dari semua ekstremitas selama
beberapa menit. Disusul oleh gerakan-gerakan klonik.

2.6 Penatalaksanaan
Prinsip terapi epilepsi:
a. Pemilihan obat. Disesuaikan dengan keadaan klinis, efek
samping, interna atas-OAE (obat anti epilepsi), dan harga obat.
b. Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini
pertama sesuai dosis, kemudian ditingkatkan dosisnya sampai
bangkitan teratasi/didapat hasil yag optimal dan konsentrasi
plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan tidak

11
teratasi, secara bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum
pemberian politerapi.
c. Konseling.
Beritahukan pada keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE
jangka lama tidak akan menimbulkan perlambatan mental
permanen (meskipun penyebab dasara kejang dapat menimbulkan
keadaan demikian) dan pencegahan kejang 1-2 tahun dapat
menurunkan kemungkinan bangkitan berulang. Perubahan obat
atau dosis harus sepengetahuan dokter.
d. Tindak lanjut.
Periksa pasien secara berkala, dan awasi adanya toksisitas OAE.
Pemeriksaan darah dan uji fungsi hati harus dilakukan secara
periodik pada beberapa OAE. Penting juga dilakukan evaluasi
ulang fungsi neurologis secara rutin.
e. Penangan jangka panjang.
Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas bangkitan sekura
ng-kurangnya 1-2 tahun.
f. Penghentian pengobatan.
Dilakukan secara bertahap. Jika penghentian pengobatan
dilakukan secara tiba-tiba, pasien harus dalam pengawasan ketat
karena dapat mencetuskan bangkitanatau bahkan status
epileptikus. Jika bangkitan timbul selama atau sesudah
penghentian pengobatan, OAE harus diberikan lagi sekurang-
kurangnya 1-2 tahun. Untuk keberhasilan pengobata epilepsi,
disamping etepatan diagnosa dan jenis OAE, diperlukan juga
kepatuhan, sikap dan pengetahuan penderita menghadapi penyakit
epilepsi.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi
lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan

12
degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh
kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau
magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak
jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal
dengan defisit neurologik yang jelas.
b. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan. Gambaran EEG menunjukkan cetusan polyspike-wave dan
fotosensitivitas

Typical recording of spike-wave type (generalized seizure)

c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

- Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah


- Menilai fungsi hati dan ginjal
- Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
- Pungsi lumbal untuk mengetahui apakah terjadi infeksi otak

2.8 Komplikasi
a. Kerusakan otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul
akibat kejang berulang ulang.

13
b. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas.
c. Komplikasi utama yang berkaitan dengan kejang umum.
d. Kejang disebabkan oleh kontak neuro serebral yang beraturan, cepat
dan tiba-tiba.

14
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

1.1 Pengkajian
a. Anamnesa
- Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan,
pekerjaan, dan penanggungjawabnya.
- Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
- Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali
menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
- Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcoho (alcoholic)
b. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya
ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami
penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-
kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan
sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau
anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
c. Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan
diri.
d. Riwayat penyakit dahulu: Trauma lahir, Asphyxia neonatorum,
cedera kepala, infeksi system saraf, gangguan metabolik, tumor otak,
dll.
e. Pemeriksaan Fisik (ROS):
- B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi
apnea, aspirasi
- B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
- B3 (brain): penurunan kesadaran
- B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine. Pada
pemeriksaan sistem kemih biasanya didapatkan berkurangnya

15
volume output urine, hal ini brhubungan dengan penurunan
perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
- B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun,
inkontinensia alfi. Pemenuhan nutrisi pada pasien epilepsi
menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
- B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat
menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang. Pada fase akut
saat kejang sering didapatkan adanya penurunan kekuatan otot
dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu
aktivitas perawatan diri.
f. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium,
bilirubin, ureum dalam darah. Yang memudahkn timbulnya
kejang ialah keadaan hipoglikemia, hipokalemia, hiprnatremia,
uremia dll. Penting juga diperiksa pH darah karena alkalosis
mungkin pula disertai kejang.
- Pemeriksaan radiologis
Pada foto rontgen kepala dapat dilihat adanya kelainan-kelainan
pada tengkorak. Klasifikasi abnormal dapat dijumpai pada
toksoplasmosis, penyakit inklusi sitomegalik, sklerosis tuberosa,
kraniofaringeoma, meningeoma, oligodendroglioma.
- Pemeriksaan Psikologis atau Psikiatris
Untuk diagnostik bila diperlukan dilakukan uji coba yang dapat
menunjukkan naik turunnya kesadaran, misalnya test Bourdon-
Wiersma.
1.2 Diagnosa Keperawatan
1. Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang berulang,
ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang,
serta penurunan tingkat kesadaran.

16
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan
lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons
pascakejang (postikal).
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kebingungan, malas
bangun sekunder respons pascakejang.
5. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan terhadap
penyakit.
6. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan depresi akibat
epilepsi.

1.3 Intervensi dan Rasional


No. DX Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional

1. Tujuan: 1. Jauhkan pasien dari


Setelah dilakukan tindakan benda benda tajam /
keperawatan selama 3x24 jam, membahayakan bagi
klien bebas dari cedera yang pasien.
disebabkan oleh kejang dan 2. Segera letakkan
penurunan kesadaran. sendok di mulut
Kriteria hasil: pasien yaitu diantara
Klien dan keluarga mengetahui rahang pasien.
pelaksanaan kejang, menghindari 3. Kaji karakteristik
stimulus kejang, melakukan kejang.
pengobatan teratur untuk 4. Pasang penghalang
menurunkan intensitas kejang. tempat tidur pasien
1. Tidak ada cedera fisik Penjagaan untuk
2. Pasien dalam kondisi aman keamanan.
3. Tidak ada memar dan tidak
5. Berikan informasi
jatuh
pada keluarga
tentang tindakan
yang harus dilakukan
selama pasien
kejang.
6. Kolaborasi dalam

17
pemberian obat anti
kejang (diazepam,
lorazepam dll).

2. Tujuan: 1. Anjurkan pasien


Setelah dilakukan tindakan untuk
keperawatan selam 3x24 jam, jalan mengosongkan
nafas menjadi efektif. mulut dari
Kriteria hasil: benda/zat
1. TTV normal (TD: 110/70 - tertentu/gigi palsu
120/80, RR: 16-20 x/mnt, N: atau alat yang lain
60-100 x/mnt, S: 36,5 -37,50 C) jika fase aura
2. Tidak ada sianosis terjadi dan untuk

3. Pasien tidak sesak nafas menghindari


rahang mengatup
jika kejang terjadi
tanpa ditandai
gejala awal.
2. Observasi TTV
3. Letakkan pasien
pada posisi miring,
permukaan datar,
miringkan kepala
selama serangan
kejang.
4. Tanggalkan
pakaian pada
daerah
leher/abdomen.
5. Masukkan spatel
lidah atau gulugan
benda lunak sesuai
dengan indiksi.
6. Kolaborasi :
pemberian O2

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Epilepsi adalah kelompok sindrom yang ditandai dengan gangguan
otak sementara yang bersifat paroksimal yang dimanefestasikan berupa
gangguan atau penurunan kesadaran yang episodic, fenomena motorik
yang opnormal, gangguan psikis, sensorik, dan system otonom, gejala-
gejalanya disebabkan oleh aktifitas listrik otak. Epilepsi dapat disebabkan
oleh:
a. Factor fisiologis
b. Factor biokimiawi
c. Factor anatomis
d. Gabungan factor-faktor diatas
e. Penyakit yang pernah diterima

3.2 Saran
Setelah disusun asuhan keperawatan ini, diharapkan mahasiswa dan
masyarakat mengetahui apa itu penyakit epilepsi dan bagaimana asuhan
keperawatannya, karena melihat bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit
yang dipandang sebelah mata di masyarakat sehingga berdampak buruk
bagi penderitanya. Dengan mengetahui tentang konsep keperawatan pada
penyakit epilepsi, diharapkan dapat meningkatkan kehidupan sosial bagi
penderita.

19
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Dewanto, George & Budi, Riyanto dkk. 2007. Diagnosis & Tata laksana penyakit
saraf: Jakarta. EGC

Harsono. 2007. Neurologi Edisi ke 2: Yogyakarta. Gadjah Mada University Press

Markam, Soemarmo. 2009. Penuntun Neurologi: Tangerang. Binarupa Aksara

Battica, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan gangguan System


Persarafan: Jakarta. Salemba Medika

Carpenito, Lynda Jual-Moyet. 2008. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.
Jakarta : EGC.

20

Anda mungkin juga menyukai