Disusun Oleh:
RIAN INDRASUARI (024SYE16)
ROSITA RAHMAYANI (027SYE16)
BAB IV PENUTUP..........................................................................................................................
a. Kesimpulan ..................................................................................................................................
b. Saran .............................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu keadaan yang menyerupai penyakit hati yang terdapat pada bayi
baru lahir adalah terjadinya hiperbillirubinemia yang merupakan salah satu kegawatan
pada bayi baru lahir karena dapat menjadi penyebab gangguan tumbuh kembang bayi
(Guyton & Hall, 2006).
Kasus ikterus ditemukan pada ruang neonatus sekitar 60% bayi aterm dan
pada 80 % bayi prematur selama minggu pertama kehidupan. Ikterus tersebut timbul
akibat penimbunan pigmen bilirubin tak terkonjugasi dalam kulit. Bilirubin tak
terkonjugasi tersebut bersifat neurotoksik bagi bayi pada tingkat tertentu dan pada
berbagai keadaan (Suriadi, 2001).
Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala fisiologis atau
patologis. Ikterus fisiologis terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih
tinggi lagi pada neonatus kurang bulan sebesar 80%. Ikterus tersebut timbul pada hari
kedua atau ketiga, tidak punya dasar patologis, kadarnya tidak membahayakan, dan
tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologis adalah ikterus yang
punya dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia. Dasar patologis yang dimaksud yaitu jenis bilirubin, saat timbul
dan hilangnya ikterus, serta penyebabnya. (WHO, 1992 dalam Wicaksono, 2011).
Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi, dilihat dari sisi
penyebabnya kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Faktor yang
dapat dikaitkan dengan kematian bayi endogen dan eksogen adalah kematian endogen
atau yang umum disebut kematian neonatal adalah kematian bayi yang terjadi pada
bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang
dibawa sejak lahir yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat
selama kehamilan. Sedangkan kematian eksogen atau kematian postnatal adalah
kematian bayi yang terjadi setelah usia 1 bulan sampai menjelang usia 1 tahun yang
disebabkan faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar akibat dari
kurangnya pengetahuan orang tua dalam merawat bayinya (Depkes, 2007).
Menurut WHO 2009 angka kematian bayi di Negara tetangga tahun 2007
seperti singapura 3% per 1.000 kelahiran hidup, Malaysia 6,5% per 1.000 kelahiran
hidup, Thailand 17% per 1.000 kelahiran hidup, Vietnam 18% per 1.000 kelahiran
hidup dan philipina 26% per 1.000 kelahiran hidup sedangkan angka kematian bayi di
Indonesia cukup tinggi yakni 46,5% per 1.000 kelahiran hidup (Depkes, 2011).
Ikterus merupakan salah satu fenomena yang sering ditemukan pada bayi baru
lahir, kejadian ikterus pada bayi baru lahir berkisar antara 25-50% pada bayi cukup
bulan 80% pada bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat
fisiologis dan sebagian bersifat patologis (hiperbilirubinemia) yang dapat
menimbulkan dampak yang buruk (SDKI, 2011). Dampak buruk yang diderita bayi
seperti : kulit berwarna kuning sampai jingga, klien tampak lemah, urine menjadi
berwarna gelap sampai berwarna coklat dan apabila penyakit ini tidak ditangani
dengan segera maka akan menimbulkan dampak yang lebih buruk lagi yaitu
kernicterus (kerusakan pada otak) yang ditandai dengan bayi tidak mau menghisap,
letargi, gerakan tidak menentu, kejang, tonus otot kaku, leher kaku (Suriadi, 2006).
Hiperbilirubin adalah warna kuning pada bayi yang ditandai pada kulit,
mukosa akibat akumulasi bilirubin dan diberi istilah jaundice atau ikterus (Bobak,
2004). Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar
nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001).
2. Etiologi Hiperbilirubin
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak disebelah kanan atas rongga
perut dibawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5% dari berat badan orang dewasa
normal. Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan persendian darah.
Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum
falciforme. Lobus kanan yang lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai tiga
bagian utama yaitu lobus kanan atas, lobus caudatus dan lobus quadrates (Price &
Wilson, 2005).
1. Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus yang kaya akan
nutrient seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan
mineral.
2. Arteri hepatica cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.
b. Fungsi hati
1. Mengubah zat makanan yang di absorbsi dari usus dan yang disimpan dari
suatu tempa dalam tubuh dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya.
2. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresikan dalam empedu
dan urine.
3. Menghasilkan enzim glikolik glukosa menjadi glukogen.
4. Sekresi empedu, garam empedu dibuat dihati dibentuk dalam retikulo
endulium dialirkan ke empedu
5. Untuk menyimpan berbagai zat seperti mineral (Cu,Fe) serta vitamin yang
larut dalam lemak (vitamin A,D,E,K) glikogen dan berbagai racun yang tidak
dapat dikeluarkan dalam tubuh (seperti peptisida).
6. Untuk fagositosis mikroorganisme, eritrosit dan leukosit yang sudah tua dan
rusak.
7. Untuk pembentukan ureum, hati menerima asam amino di ubah menjadi
ureum, dikeluarkan dari darah oleh ginjal dalam bentuk urine.
8. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat dan air.
4. Patofisologi Hiperbilirubin
Bilirubin yang tak terkonjugasi dalam hati tidak mampu diubah oleh enzim
glukoronil transferase yang berfungsi untuk merubah bilirubin tak terkonjugasi
menjadi bilirubin konjugasi sehingga bilirubin yang tak dapat diubah akan larut dalam
lemak dan mengakibatkan ikterik pada kulit. Bilirubin yang tak terkonjugasi tidak
larut dalam air ini tidak bisa diekskresikan dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria.
Namun demikian terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan
bilirubin terhadap hati dan peningkatan konjugasi serta ekskresi) yang selanjutnya
mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan urine dan feses berwarna gelap
(Price, Sylvia Anderson, 2006).
Oleh sebab itu dengan semakin banyaknya bilirubin yang larut dalam lemak
akan memberikan dampak yang buruk terhadap kerja hepar karna secara terus
menerus melakukan transferase tanpa adanya pembuangan melalui eliminasi, dan jika
berlanjut akan menyebabkan hepatomegaly yang mengakibatkan terjadinya rasa mual
muntah, jadi dengan adanya peningkatan bilirubin didalam darah maka akan
menyebabkan terjadinya hiperbilirubin. apabila bilirubin tak terkonjugasi melampaui
20 mg/dl maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut kernicterus jika tidak dengan
segera maka akan dapat mengakibatkan kejang , tonus otot kaku, spasme otot, reflek
hisap lemah (Price, Sylvia Anderson, 2006).
5. Manifestasi klinis Hiperbilirubin
6. Klasifikasi Hiperbilirubin
Ada 2 macam icterus menurut (Vian Nanny Lia Dewi, 2010) yaitu :
Penanganan hiperbilirubin pada bayi baru lahir menurut Varney (2007), antara lain :
Menurut (Suriadi & Rita Yuliani, 2006) Komplikasi yang terjadi pada bayi dengan
hiperbilirubin jika tidak ditangani dengan benar adalah sebagai beriku :
Tes comb pada tali pusat bayi baru lahir : hasil positif tes comb indirek menandakan
adanya antibody Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah ibu. Hasil positif dari tes
comb direk menandakan adanya sentisisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) sel darah
merah dari neonatus.
Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi bermakna jika melebihi 1,1-1,5 mg/dl, yang
mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tak terkonjugasi) tidak boleh
melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada
bayi yang cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi praterm (tergantung BB bayi).
Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 mg/dl menandakan penurunan kapasitas
ikatan, terutama pada bayi paterm.
Hitung darah lengkap : hemoglobin mungkin rendah (< 14 mg/dl) karena hemolisis.
Hematokrit mungkin meningkat (> 65%) pada polisitemia, penurunan (< 45%)
dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
Biobsy hati, digunakan untuk memastikan terutama untuk pada kasus yang sukar
seperti diagnosa membedakan obstruksi ekstrahepatic dengan intra hepatic selain itu
juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hepatis dan hepatoma.
BAB III
A. Pengkajian
c. pola fungsi
1. Aktivitas / Istirahat
Letargi, malas.
2. Sirkulasi
Mungkin pucat menandakan anemia.
3. Eliminasi
Bising usus hipoaktif. Pasase mekonium mungkin lambat. Feses mungkin
lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin.Urin gelap pekat; hitam
kecoklatan (sindrom bayi bronze).
4. Makanan / Cairan
Riwayat perlambatan / makan oral buruk, mungkin lebih disusui daripada menyusu
botol. Pada umumnya bayi malas minum ( reflek menghisap dan menelan lemah
sehingga BB bayi mengalami penurunan). Palpasi abdomen dapat menunjukkan
pembesaran limfa, hepar.
5. Neuro sensori
Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal yang
berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran ekstraksi vakum. Edema umum,
hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh
berat. Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat Opistotonus dengan kekakuan
lengkung punggung, fontanel menonjol, menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
6. Pernafasan
Riwayat asfiksia
7. Keamanan
Riwayat positif infeksi / sepsis neonatus. Dapat mengalami ekimosis berlebihan,
ptekie, perdarahan intracranial. Dapat tampak ikterik pada awalnya pada daerah wajah
dan berlanjut pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi Bronze)
sebagai efek samping fototerapi.
8. Seksualitas
Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan retardasi
pertumbuhan intrauterus (LGA), seperti bayi dengan ibu diabetes. Trauma kelahiran
dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin, asfiksia, hipoksia, asidosis,
hipoglikemia. Terjadi lebih sering pada bayi pria dibandingkan perempuan.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan kadar bilirubin indirek
dalam darah, ikterus pada sclera leher dan badan.
2. Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi, prognosis dan kebutuhan tindakan
berhubungan dengan kurangnya paparan informasi
C. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Keperaw Hasil
atan
Gangguan Setelah dilakukan Mandiri
integritas tindakan keperawatan a. Monitor warna dan a. Warna kulit kekuningan
kulit selama proses keadaan kulit sampai jingga yang
berhubun keperawatan setiap 4-8 jam semakin pekat
gan diharapkan integritas b. Monitor keadaan menandakan konsentrasi
dengan kulit kembali baik/ bilirubin direk dan bilirubin indirek dalam
peningkat normal dengan indirek ( kolaborasi darah tinggi.
an kadar kriteria hasil : dengan dokter dan b. Kadar bilirubin indirek
bilirubin Kadar analis ) merupakan indikatorberat
indirek bilirubin c. Ubah posisi miring ringan joundice yang
dalam dalam batas atau tengkurap. diderita.
darah, normal ( 0,2 – Perubahan posisi c. Menghindari adanya
ikterus 1,0 mg/dl ) setiap 2 jam penekanan pada kulityang
pada Kulit tidak berbarengan terlalu lama sehingga
sclera berwarna dengan perubahan mencegah
leher dan kuning/ posisi lakukan terjadinyadekubitus atau
badan. warna kuning massage dan irtasi pada kuit bayi.
mulai monitor keadaan d. Kulit yang bersih dan
berkurang kulit lembab
Tidak timbul d. Jaga kebersihan membantumemberi rasa
lecet akibat kulit dan nyaman dan menghindari
penekanan kelembaban kulit bayimeengelupas
kulit yang kulit/ Memandikan atau bersisik.
terlalu lama dan pemijatan bayi
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama.
Jakarta.
Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta