Anda di halaman 1dari 47

SMF/BAGIAN ILMU SARAF LAPORAN KASUS

RSUD DR. T. C. HILLERS NOVEMBER 2022


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

EPILEPSI

Disusun Oleh:
  
Anna Stephanie Mengga Dapa Taka, S.Ked
2208020058
Pembimbing: 
dr. Candida Isabel Lopes Sam, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK SMF/BAGIAN ILMU SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA RSUD DR.T.C. HILLERS
MAUMERE
2022
 Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang
dapat menyerang orang di seluruh dunia. 1
 Di negara-negara maju, kejadian epilepsi tahunan
diperkirakan sekitar 50 per 100.000 penduduk dan
prevalensinya diperkirakan sekitar 700 per 100.000
penduduk. Di negara berkembang, jumlahnya
diperkirakan lebih tinggi.l
 Insiden epilepsi umumnya tinggi pada kelompok
usia kanak-kanak dan lanjut usia, cenderung lebih
tinggi pada pria daripada wanita. 2

 Terapi utama epilepsi adalah dengan obat anti epilepsi (OAE).


TINJAUAN
PUSTAKA
Definisi

 Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan terus menerus untuk
menimbulkan bangkitan epileptik dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
sosial. Definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik. 5

(PERDOSSI 2019) Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan salah satu kondisi/
gejala sebagai berikut: 5
 Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak waktu antar
bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam;
 Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan terjadinya
bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan bila terdapat 2 bangkitan tanpa
provokasi atau bangkitan refleks; dan
 Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi (oleh dokter yang kompeten).
 Epilepsi dianggap dapat diatasi (resolved) pada individu dengan sindrom epilepsi tergantung usia
tetapi sudah melewati batas usia tertentu ATAU mereka yang tetap bebas bangkitan selama 10
tahun terakhir, tanpa obat antiepilepsi (OAE) selama 5 tahun terakhir. 5
Epidemiologi

Data World Helath Organization (WHO) menunjukkan ada 50 juta kasus epilepsi di seluruh
dunia. Prevalensi kasus epilepsi di Indonesia sebanyak 8,2 per 1.00 penduduk dengan angka
insiden mencapai 50 per 100.000 penduduk. Diperkirakan ada 1,8 juta pasien epilepsi yang
butuh pengobatan.
Etiologi
Klasifikasi
Kejang onset fokal motoric :
 Atonik yaitu hilangnya tonus fokal
 Tonik yaitu kekakuan fokal yang terus berlanjut,
 Klonik yaitu menyentak berirama fokal
 Mioklonik yaitu gerakan tidak teratur, singkat focal
menyentak
 Kejang epilepsi yaitu focal fleksi atau ekstensi lengan dan
fleksi batang tubuh.
 Hyperkinetic yaitu gerakan mengayuh, meronta-ronta
 Otomatisme yaitu keadaan lebih atau kurang terkoordinasi,
tanpa tujuan, serta aktivitas motorik yang berulang.
Kejang onset fokal non motoric:
 Kejang fokal cognitive berhubungan perilaku pasien saat terjadinya
kejang yang berhubungan dengan kemampuan dalam berbahasa,
berpikir.
 Kejang fokal emosional berhubungan dengan perasaan pasien
termasuk dengan perubahan emosi, termasuk ketakutan,
kecemasan, agitasi, kemarahan, paranoia, kesenangan, sukacita,
ekstasi, tertawa (gelastis), atau menangis (dacrystic).
 Kejang sensoris fokal merupakan kejadian yang melibatkan indera
indera tubuh.
 Kejang automatisme fokal hadir dengan sensasi gastrointestinal,
rasa panas atau dingin, kemerahan, Piloerection (merinding),
palpitasi, gairah seksual, perubahan pernafasan , atau efek
otonom lainnya.
 Kejang behavior arrest fokal ditandai dengan perilaku berhenti
aktivitas (jeda), imobilisasi.
Kejang yang dimulai di kedua sisi otak, yang disebut onset
umum, bisa bersifat motorik atau non-motorik.
Kejang onset umum motoric:
 Istilah kejang tonik-klonik umum masih digunakan untuk
menggambarkan kejang dengan kekakuan (tonik) dan
menyentak (klonik).
Kejang onset umum non motoric:
PROGNOSIS
 Kejang ini melibatkan perubahan singkat dalam kesadaran,
menatap (starring), absans, bengong dan beberapa
mungkin memiliki gerakan otomatis atau berulang seperti
lipsmacking.
Kejang umum:
• Kejang umum tonik : kekakuan dan elevasi
pada kedua tungkai, dan sering terjadi
kekakuan leher. Aktivitas tonik bisa berupa
postur yang abnormal, antara ekstensi atau
fleksi, terkadang bersamaan dengan tremor
pada ektremitas.
• Kejang umum klonik : mulai, berlangsung, dan
selesai dengan sentakan terus menerus yang
berirama pada tungkai di kedua sisi tubuh dan
sering pada kepala, leher, wajah, dan batang
tubuh
• Kejang umum tonik klonik : kehilangan
kesadaran mendadak disertai kejang tonik yang
diikuti oleh kejang klonik  Bila penderita sedang
berdiri sewaktu serangan mulai, ia akan jatuh
seperti benda mati. Pada fase tonik badan
menjadi kaku.
Kejang mioklonik Kejang atonik
 Kejang berulang yang terdiri dari kontraksi  Ketika tonus kaki menghilang saat kejang
otot sebentar, sering kontraksi otot simetris umum atonik, pasien akan terjatuh dalam
dengan kehilangan tonus tubuh dan jatuh posisi duduk atau terkadang juga pada
atau menelungkup ke depan. posisi berlutut atau muka terlebih dahulu.
Kejang mioklonik atonik Biasanya pasien akan pulih dalam
 Memiliki gambaran berupa seperti beberapa detik kemudian.
sentakan yang singkat pada tangan dan Kejang kelopak mata (eyelid miclonia)
kaki, dan berubah menjadi kelemahan.  Kelopak mata menyentak dengan
Kejang umum mioklonik tonik klonik frekuensi minimal 3 per detik, biasanya
 Bermula dengan beberapa sentakan dengan penyimpangan mata ke atas,
mioklonik dan diikuti dengan aktivitas tonik biasanya berlangsung <10 detik, sering
klonik. dicetuskan oleh penutupan mata. Mungkin
Kejang absans ada atau mungkin tidak ada kaitannya
 Didapatkan menghilangnya kesadaran dengan hilangnya kesadaran.
yang berlangsung mendadak dan singkat. Kejang dengan onset yang tidak diketahui
Waktu serangan terjadi penderita tidak
jatuh, biasanya ia agak terhuyung. Tidak
didapatkan aura, dan pasien tidak ngompol
sewaktu serangan
Diagnosa
1) Anamnesis
 Sebelum bangkitan/ gejala prodromal:
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk,
menjadi sensitif, dan lain-lain.
 Selama bangkitan
Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan? Bagaimana
pola/bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh,
vokalisasi, otomatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-
lain. Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan? Apakah terdapat perubahan
pola dari bangkitan sebelumnya? Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan,
misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain.
 Pasca bangkitan/ post iktal:
Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s paresis.
 Faktor pencetus : Kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,
alkohol.
 Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar
bangkitan, kesadaran antar bangkitan.
 Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya: Jenis
obat anti epilepsi (OAE), Dosis OAE, Jadwal minum OAE, Kepatuhan minum
OAE, Kadar OAE dalam plasma, Kombinasi terapi OAE.
 Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologik, psikiatrik
maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
 Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
 Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang.
 Riwayat bangkitan neonatal/ kejang deman
 Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll.
2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik umum untuk mencari tanda-tanda misalnya:
Trauma kepala
Tanda-tanda infeksi
Kelainan kongenital
Kecanduan alkohol atau napza
Kelainan pada kulit (neurooculocutaneus)
Tanda-tanda keganasan.
Pemeriksaan neurologis:
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan
dengan bangkitan, seperti paralisis Todd, gangguan kesadaran pasca-iktal, afasia pasca-
iktal.
3) Pemeriksaan Penunjang
Elektroensefalografi (EEG)
Pencitraan otak untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak
Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan hematologis
Hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, magnesium), kadar gula darah, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin, dan
albumin.
• Pemeriksaan kadar OAE dalam plasma
Dilakukan hila bangkitan belum terkontrol meskipun OAE sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien.
5)Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi mencakup hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit,
apusan darah tepi, elektrolit.
6) Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan kadar OAE dalam plasma Dilakukan hila bangkitan belum terkontrol
meskipun OAE sudah mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan
pasien.
Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:
pungsi lumbal, dan
EKG.
Tatalaksana
Prinsip terapi farmakologi pada pasien epilepsi antara lain :
OAE diberikan apabila :
• diagnosis epilepsi sudah dipastikan; dan
• pasien dan/atau keluarganya setuju dan sudah menerima penjelasan tentang
tujuan pengobatan, potensi efek samping terapi, interaksi obat, kepatuhan,
teratogenisitas, dan mengemudi.
1. Terapi dimulai dengan monoterapi sesuai dengan jenis bangkitan dan sindrom Indikasi menghentikan obat pada pasien
epilepsi dengan mempertimbangkan biaya. epilepsi antara lain :
2. Pemberian OAE dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan bertahap, sampai • Setelah minimal 3 tahun bebas
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. bangkitan dan gambaran EEG normal.
3. Bila pada pemberian OAE pertama timbul efek samping yang tidak dapat • Penghentian OAE disetujui oleh pasien
ditoleransi, berikan OAE lini pertama yang lain. atau keluarganya.
4. Bila OAE pertama dapat ditoleransi tapi tidak efektif, pertimbangkan hal-hal • Harus dilakukan secara bertahap, 25%
berikut sebelum mengganti OAE: dari dosis semula setiap bulan dalam
• Apakah diagnosis epilepsi sudah benar; jangka waktu 3-6 bulan, dapat lebih
• lambat untuk pasien dengan politerapi
Apakah pasien patuh meminum OAE;
dosis tinggi atau yang mendapat
• Apakah pemilihan OAE sudah sesuai dengan tipe bangkitan dan sindrom;
barbiturat/benzodiazepine.
• Apakah ada kondisi yang mendasari; dan • Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka
• Apakah ada penggunaan alkohol dan obat-obatan yang lain. penghentian dimulai dari 1 OAE yang
Bila faktor tersebut sudah disingkirkan, naikkan dosis OAE pertama sampai dosis bukan utama.
maksimal yang bisa ditoleransi pasien
Laporan Kasus

Nama : Tn. FL No. RM : 007038


Umur : 46 tahun
Jenis : Laki-laki Dokter yang : dr. Candida
kelamin merawat Sp.S
dr. Tersila Sp.S
Bangsa : Indonesia Tanggal MRS : 11 Oktober
2022
Suku : Flores      
Agama : Katolik      
Alamat : Magepanda      
Pekerjaan : Petani      
Keluhan Utama : Kejang

Riwayat Penyakti Sekarang : Pasien laki-laki 46 tahun datang ke IGD dengan keluhan kejang 2 kali yang terjadi 1 hari SMRS.
Kejang pertama terjadi saat pasien berada di rumah sore hari pukul 16:00 WITA. Kejang terjadi pada seluruh tubuh diawali
dengan penurunan kesadaran dan jatuh, kemudian diikuti dengan tangan dan kaki yang menghentak-hentak, terjadi selama ± 3
menit, busa (-), ngompol (-). Kejang berhenti dengan sendirinya, post kejang pasien langsung sadar. Sebelum kejang sejak sore
harinya pasien mengeluh sakit kepala hebat dan batuk pilek, demam (+), mual (-), muntah (-). Kejang kedua terjadi pada pukul
19:00 WITA dengan tipe dan pola yang sama selama ± 3 menit dan post kejang pasien kembali sadar. Sebelumnya pasien sudah
pernah mengalami kejang pertama kali ditahun 2012 (10 tahun yang lalu), post kejang pasien mengalami penurunan daya
penglihatan (mata kabur) dan kemampuan berkomunikasi (sering tidak nyambung saat diajak bicara) hingga saat ini. Saat kejang
pertama di tahun 2010, pasien dirawat inap di Puskesmas Magepanda selama 3 hari dan setelah keluar dari Puskesmas pasien
tidak rutin mengonsumsi obat hingga saat ini. Riwayat trauma kepala disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien memiliki riwayat epilepsi dan tidak pernah minum obat anti epilepsi.

Riwayat Keluarga : -

Riwayat Sosial : Alkohol (-) Merokok (-)

Riwayat Pribadi Sosial : -


Lahir : Normal Kanan/kidal : Kanan
Mulai bicara : 1 Tahun 8 Bulan Makanan : Tidak ada alergi

Gagap : Tidak pernah Minuman keras : Tidak

Mulai jalan : 1 Tahun 8 Bulan Merokok : Tidak

Mulai membaca : Tidak diketahui Kawin : Ya

Jalan waktu : Tidak pernah Anak : 6


tidur
Ngompol : Saat kecil Kontrasepsi : Tidak

Pendidikan : SD      
3.6 Diagnosis
• Diagnosis Klinis : Kejang tonik-klonik
• Diagnosis Topis : Cerebral lobus occipital
• Diagnosis Etiologi : Epilepsi

3.7 Penatalaksanaan
• MRS Flamboyan
• NaCl 0,9% 1.500 cc/24 jam
• Carbamazepine 3x200 mg
• Asam folat 1x1 tab
• Paracetamol 3x500 mg
• Pro CT Scan kepala k/p kontras
 Follow Up Pasien
1. Hari/Tanggal : 12/10/2022
S: Demam (-), kejang (-), pasien tidak kooperatif
O: GCS (E4V4M6), TD = 100/80 mmHg, Suhu = 36,5oC, RR = 20x/menit, Nadi= 63x/menit (reguler), SpO2 = 99%.
N. III, N. IV, N. VII: Kedudukan bola mata = setangkup ditengah, nistagmus (-), ptosis (-), Pupil = bulat, isokor, 3mm/3mm, RCL = +/+, RCTL
= +/+
N. VII:
Istirahat : Kerutan dahi simetris, kedudukan alis simetris, sulkus nasolabial simetris, sudut bibir simetris
Aktivitas : Sulit dievaluasi
N. XII: Sulit dievaluasi
Motorik ekstremitas: Kesan lateralisasi negatif
Refleks fisiologis: Bisep : +++/+++, Trisep : ++/++, Patela : ++/++, Achiles : ++/++
Refleks patologis: -
Meningeal sign : -
Ataxia : +
Cerebral sign : Disdiadokokinesia: +
A: Diagnosis Klinis : Kejang tonik-klonik, Diagnosis Topis : Cerebral lobus occipital, Diagnosis Etiologi : Epilepsi
P: IVFD NaCl 0,9% 1500 cc/24jam, Carbamazepine 3x200 mg, Asam folat 1 x 1 tab PO, PCT 3x500 mg, Epatin 2x1 tab PO
 Follow Up Pasien
2. Hari/Tanggal : 13/10/2022
S: Demam (-), kejang (-), pasien tidak kooperatif
O: GCS (E4V5M6), TD = 110/70 mmHg, Suhu = 36,5oC, RR = 20x/menit, Nadi= 76x/menit (reguler), SpO2 = 99%.
N. III, N. IV, N. VII: Kedudukan bola mata = setangkup ditengah, nistagmus (-), ptosis (-), Pupil = bulat, isokor, 3mm/3mm, RCL = +/+, RCTL
= +/+
N. VII:
Istirahat : Kerutan dahi simetris, kedudukan alis simetris, sulkus nasolabial simetris, sudut bibir simetris
Aktivitas : Sulit dievaluasi
N. XII: Sulit dievaluasi
Motorik ekstremitas: Kesan lateralisasi negatif
Refleks fisiologis: Bisep : +++/+++, Trisep : ++/++, Patela : ++/++, Achiles : ++/++
Refleks patologis: -
Meningeal sign : -
Ataxia : +
Cerebral sign : Disdiadokokinesia: +
A: Diagnosis Klinis : Kejang tonik-klonik, Diagnosis Topis : Cerebral lobus occipital, Diagnosis Etiologi : Epilepsi
P: IVFD NaCl 0,9% 1500 cc/24jam, Carbamazepine 3x200 mg, Asam folat 1 x 1 tab PO, PCT 3x500 mg, Epatin 2x1 tab PO
 Follow Up Pasien
3. Hari/Tanggal : 14/10/2022
S: Demam (-), kejang (-), pasien tidak kooperatif
O: GCS (E4V5M6), TD = 90/60 mmHg, Suhu = 36,5oC, RR = 20x/menit, Nadi= 76x/menit (reguler), SpO2 = 99%.
N. III, N. IV, N. VII: Kedudukan bola mata = setangkup ditengah, nistagmus (-), ptosis (-), Pupil = bulat, isokor, 3mm/3mm,
RCL = +/+, RCTL = +/+
N. VII:
Istirahat : Kerutan dahi simetris, kedudukan alis simetris, sulkus nasolabial simetris, sudut bibir simetris
Aktivitas : Sulit dievaluasi
N. XII: Sulit dievaluasi
Motorik ekstremitas: Kesan lateralisasi negatif
Refleks fisiologis: Bisep : +++/+++, Trisep : ++/++, Patela : ++/++, Achiles : ++/++
Refleks patologis: -
Meningeal sign : -
Ataxia : +
Cerebral sign : Disdiadokokinesia: +
A: Diagnosis Klinis : Kejang tonik-klonik, Diagnosis Topis : Cerebral lobus occipital, Diagnosis Etiologi : Epilepsi
P: IVFD NaCl 0,9% 1500 cc/24jam, Carbamazepine 3x200 mg, Asam folat 1 x 1 tab PO, PCT 3x500 mg, Epatin 2x1 tab
PO
 Follow Up Pasien
4. Hari/Tanggal : 15/10/2022
S: Demam (-), kejang (-), pasien tidak kooperatif
O: GCS (E4V5M6), TD = 90/70 mmHg, Suhu = 36,8 oC, RR = 18x/menit, Nadi = 70 x/menit (reguler), SpO2 = 99%
N. III, N. IV, N. VII: Kedudukan bola mata = setangkup ditengah, nistagmus (-), ptosis (-), Pupil = bulat, isokor, 3mm/3mm,
RCL = +/+, RCTL = +/+
N. VII:
Istirahat : Kerutan dahi simetris, kedudukan alis simetris, sulkus nasolabial simetris, sudut bibir simetris
Aktivitas : Sulit dievaluasi
N. XII: Sulit dievaluasi
Motorik ekstremitas: Kesan lateralisasi negatif
Refleks fisiologis: Bisep : +++/+++, Trisep : ++/++, Patela : ++/++, Achiles : ++/++
Refleks patologis: -
Meningeal sign : -
Ataxia : +
Cerebral sign : Disdiadokokinesia: +
A: Diagnosis Klinis : Kejang tonik-klonik, Diagnosis Topis : Cerebral lobus occipital, Diagnosis Etiologi : Epilepsi
P: IVFD NaCl 0,9% 1500 cc/24jam, Carbamazepine 3x200 mg, Asam folat 1 x 1 tab PO, PCT 3x500 mg, Epatin 2x1 tab
PO
 Follow Up Pasien
5. Hari/Tanggal : 16/10/2022
S: Demam (-), kejang (-), pasien tidak kooperatif
O: GCS (E4V5M6), TD = 110/70 mmHg, Suhu = 36,5oC, RR = 20x/menit, Nadi = 68 x/menit (reguler), SpO2 = 99%
N. III, N. IV, N. VII: Kedudukan bola mata = setangkup ditengah, nistagmus (-), ptosis (-), Pupil = bulat, isokor, 3mm/3mm, RCL = +/+,
RCTL = +/+
N. VII:
Istirahat : Kerutan dahi simetris, kedudukan alis simetris, sulkus nasolabial simetris, sudut bibir simetris
Aktivitas : Sulit dievaluasi
N. XII: Sulit dievaluasi
Motorik ekstremitas: Kesan lateralisasi negatif
Refleks fisiologis: Bisep : +++/+++, Trisep : ++/++, Patela : ++/++, Achiles : ++/++
Refleks patologis: -
Meningeal sign : -
Ataxia : +
Cerebral sign : Disdiadokokinesia: +
A: Diagnosis Klinis : Kejang tonik-klonik, Diagnosis Topis : Cerebral lobus occipital, Diagnosis Etiologi : Epilepsi
P: IVFD NaCl 0,9% 1500 cc/24jam, Carbamazepine 3x200 mg, Asam folat 1 x 1 tab PO, PCT 3x500 mg, Epatin 2x1 tab PO
 Follow Up Pasien
5. Hari/Tanggal : 17/10/2022
S: Demam (-), kejang (-), pasien tidak kooperatif
O: GCS (E4V5M6), TD = 110/70 mmHg, Suhu = 36,5 oC, RR = 20x/menit, Nadi = 68 x/menit (reguler), SpO2 = 99%
N. III, N. IV, N. VII: Kedudukan bola mata = setangkup ditengah, nistagmus (-), ptosis (-), Pupil = bulat, isokor, 3mm/3mm, RCL =
+/+, RCTL = +/+
N. VII:
Istirahat : Kerutan dahi simetris, kedudukan alis simetris, sulkus nasolabial simetris, sudut bibir simetris
Aktivitas : Sulit dievaluasi
N. XII: Sulit dievaluasi
Motorik ekstremitas: Kesan lateralisasi negatif
Refleks fisiologis: Bisep : +++/+++, Trisep : ++/++, Patela : ++/++, Achiles : ++/++
Refleks patologis: -
Meningeal sign : -
Ataxia : +
Cerebral sign : Disdiadokokinesia: +
A: Diagnosis Klinis : Kejang tonik-klonik, Diagnosis Topis : Cerebral lobus occipital, Diagnosis Etiologi : Epilepsi
P: Aff infus, Carbamazepine 3x200 mg PO, Asam folat 1x1 tab PO, Epatin 2x1 tab PO, KRS hari ini
PEMBAHASAN

Kasus Teori

Pada kasus didapatkan bahwa seorang Menurut WHO, gejala epilepsi dapat
pasien laki-laki berusia 46 tahun datang ditemukan dalam usia berapa pun dan dengan
dengan keluhan kejang. mempertimbangkan penyebab dari kejang
tersebut.3 Sebuah penelitian oleh Jerome Engel
dkk menunjukkan insiden epilepsi cenderung
lebih tinggi pada pria daripada wanita,2 dimana
hal ini sesuai dengan pasien di dalam kasus ini
yang berjenis kelamin laki-laki.
Kasus Teori

Pada pasien ini kejang terjadi pada seluruh Menurut teori kejang yang dialami pasien merupakan
tubuh, diawali dengan penurunan kesadaran kejang tonik klonik yang merupakan tipe kejang yang
paling sering dijumpai, di mana terdapat dua tahap yaitu
dan jatuh, kemudian diikuti dengan tangan
tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau
dan kaki yang menghentak-hentak. kelonjotan. Pada tahap tonik pasien dapat kehilangan
kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena
otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas,
menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase
klonik terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak
terkontrol, pasien dapat mengompol atau buang air
besar yang tidak dapat di kontrol, pasien dapat tampak
sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih
ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.5
Kasus Teori

Pasien mempunyai riwayat epilepsi 10 tahun Berdasarkan teori, pengobatan epilepsi bersifat jangka
lalu dan tidak rutin minum obat. panjang. Artinya terapi dan konsumsi obat-obatan harus
dilakukan secara berlanjut dan teratur. Jika rutin minum
obat, pengidap epilepsi biasanya akan mengalami
penurunan frekuensi kejang, bahkan tidak mengalami
gejala kejang selama bertahun–tahun. Penghentian obat
dapat dilakukan jika tidak terdapat lagi serangan
epilepsi dalam waktu 3 tahun. Tujuan utama terapi
epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi
dapat hidup normal dan memiliki kualitas hidup
optimal. Harapannya adalah bebas bangkitan dan tanpa
efek samping. Pasien dalam kasus ini tidak rutin
mengonsumsi obat anti epilepsi sejak kejang pertama
kali di tahun 2012, sehingga dapat meningkatkan
kemungkinan kambuhnya penyakit.
Kasus Teori

Pasien juga datang dengan keluhan demam, Menurut PERDOSSI, salah satu penyebab terjadinya
dan setelah dilakukan pemeriksaan epilepsi adalah infeksi.5
laboratorium diketahui bahwa pasien
mengalami transaminitis.
Kasus Teori

Post kejang pertama di tahun 2012 pasien Dari pemeriksaan CT scan pasien dalam kasus ini,
mengalami penurunan daya penglihatan dan didapatkan hasil pasien mengalami atrofi cerebri,
terutama pada lobus occipital bilateral yang berfungsi
kemampuan berkomunikasi (sering tidak
untuk mengatur dan mengendalikan fungsi penglihatan.
nyambung saat diajak bicara) hingga saat Penurunan kemampuan berkomunikasi pasien juga
ini. dapat disebabkan oleh atrofi pada lobus lainnya yaitu
lobus frontalis yang berfungsi untuk mengendalikan
gerakan, ucapan, perilaku, memori, emosi, kepribadian,
dan berperan dalam fungsi intelektual, seperti proses
berpikir, penalaran, pemecahan masalah, pengambilan
keputusan, dan perencanaan. Menurut jurnal Johns
Hopkins Medicine, atrofi cerebri dapat disebabkan oleh
epilepsi.9
Kasus Teori

Pemeriksaan cerebellar sign Menurut National Institute of Neurological Disorders


disdiadokokinesia pada pasien positif. and Stroke (NINDS), gejala yang dialami pasien
merupakan gejala ataksia yang disebabkan oleh adanya
kerusakan pada cerebellum. Beberapa gejala ataksia
diantaranya yaitu koordinasi gerak yang buruk, langkah
kaki yang tidak stabil atau seperti mau jatuh, perubahan
cara bicara, serta gangguan dalam berpikir atau emosi.10
Kasus Teori

Pasien diberikan terapi Carbamazepine. Berdasarkan teori, pasien diberikan Carbamazepine


karena obat ini bekerja dengan menghambat kanal
natrium, sehingga tidak terjadi fase depolarisasi yang
dapat mencegah terjadinya kejang.5
Bibliographical
references
• Austin JK, de Boer HM, Shafer PO. Disruption in social functioning and services facilitating
adjustment for the child and adult. In: Engel J Jr, Pedley TA. Epilepsi: a comphrehensive texbook.
2nd ed. Vol 3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
• Jerome Engel, Jr., M.D., AMA's Science News Department at 312-464-2410, the AAN Press
Room at 415-978-3521 or email kstone@aan.com.
• Sihombing. Mesba. Epilepsi. Fak Kedokt Univ Methodist Indones. 2019;9– 25.
• Positive Psychosocial Variables and Outcome. Variables in Persons with Epilepsy. J. Pais-
Ribeiro1 and R. F. Meneses2. Management of Epilepsy-Research, Results and Treatment.
www.intechopen.com.
• PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 2019.
• Yuni Kurniawaty Vpk. Mekanisme Gangguan Neurologi Pada Epilepsi. Stikes Katolik St
Vinsensius a Paulo. 2013;1(1):81–109.
• Sihombing. Mesba. Epilepsi. Fak Kedokt Univ Methodist Indones. 2019;9– 25.
• John EC, Annika W, Torbjijrn T. Factors associated with the employment problems of people with
established epilepsy. In Seizure 1998; 7: 299-303.
• Johns Hopkins Medicine - Focal Epilepsy
https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/epilepsy/focal-epilepsy
• National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) – Ataxia and Cerebellar or
Spinocerebellar Degeneration.
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai