disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Profesi Ners (P3N)
Stase Maternitas Anak
Oleh
Irma Yanti Hidayah
NIM 142311101148
1. Pengertian
Epilepsi merupakan akibat dari gangguan otak kronis dengan serangan
kejang spontan yang berulang (Satyanegara dalam Nurarif, 2016). Epilepsi
adalah gejala kompleks dari gangguan fungsi otak berat yang dicirikan dengan
kejang berulang. Sehingga epilepsi bukan merupakan suatu penyakit tetapi
merupakan suatu gejala (Smeltzer dalam Nurarif, 2016).
Menurut mansjoer (2007), epilepsi merupakan gangguan kronik otak
dengan di timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan
berulang yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel saraf
otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan suatu gejala,
bukan merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh gangguan otak kronis
karena adanya pelepasan muatan listrik abnormal dari sel saraf otak yang
dicirikan dengan kejang berulang.
2. Etiologi
Penyebab epileps pada berbagai kelompok usia (Nurarif, 2016) :
Masalah dasa rnya diperkirakan dari gangguan listrik disritmia pada sel
saraf pada salah satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini mengeluarkan
muatan listrik abnormal, berulang dan tidak terkontrol. Berikut adalah
beberapa hal yang dapat menjadi faktor penyebab terjadinya epilepsi.
1. Idiopatik
Sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi pada anak adalah
epilepsi idiopatik.
2. Faktor herediter
Ada
beberapa
penyakit
yang
bersifat
herediter
yang
metabolik
penyakit
darah,
gangguan
keseimbangan
hormon,
degenerasi serebral.
3. Tanda dan gejala
Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial,
yang berasal dari salah satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana
kedua hemisfer otak terlibat secara bersamaan
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang pada epilepsi dibagi
menjadi (Nurarif, 2016) :
1. Kejang umum (generalized seizure) ; jika aktivasi terjadi pada kedua
hemisfer otak secara bersama-sama. Pasien tidak sadar dan tidak
mengetahui keadaan sekelilingnya saat mengalami kejang. Kejang biasanya
tidak didahului adanya awitan/peringatan (Price dan Wilson, 2006). Kejang
umum dibagi atas:
a.
c.
Myoclonic seizure
Biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami
sentakan yang tiba-tiba.
d.
Atonic seizure
Jenis kejang ini jarang terjadi. Biasanya pasien tiba-tiba kehilangan
ktekuatan otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks).
2. Kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak dan biasanya
berkaitan dengan kelainan struktural otak (Price dan Wilson, 2006). Kejang
parsial terbagi menjadi :
a.
4.Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian
berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan
mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain
melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.
Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat
lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan
oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari
fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neronneron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada
keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya
akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti
pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan
otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum
yang disertai penurunan kesadaran.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses
berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan;
kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang.
5.Pemeriksaan Diagnostik
Electroencephalogram (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan dianosis epilepsi jika ditemukan pola EEG
yang bersifat khas epileptik baik terekam saat serangan maupun di luar
serangna berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku
lambat.
Pemeriksaan tambahan lain yang juga bermanfaat adalah pemeriksaan
foto polos kepala (CT Scan dan MRI) yang berguna untuk mendeteksi adanya
fraktur tulang tengkorak, hematoma, infark, tumor, hidrosefalus. Pemeriksaan
lain yang juga dapat menunjang adalah pemeriksaan laboratorium yang
bertujuan untuk memastikan adanya kelainan sistemik seperti hipoglikemia,
hiponatremia, uremia, dan lain-lain (Mansjoer Arif, 2007).
6.Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
pasien yang optimal. ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara
lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek
samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan
angka kesakitan kematian.
1. Non farmakologi
a. Amati faktor pemicu
b. Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya stress, konsumsi
kopi/alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.
2. Farmakologi
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk
epilepsi, yaitu :
a. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosa epilepsi sudah
dipatikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu,
pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberikan penjelasan
mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
b. Terapi dimlai dengan monoterapi
c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap
sampai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat
d. Apabila dengan penggunaan OAE dosis maksimum tidak dapat
tmengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua, dimana bila
sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan
secara perlahan
e. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti
bangkitan tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.
Menggunakan obat-obat anti epilepsi yaitu :
1. Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+:
Inaktivasi
kanal
Na+,
menurunkan
kemampuan
saraf
untuk
OAE Line
pertama
Sodium
valproat
Lamotrigine
Topiramate
Carbamazepine
Sodium
valproat
Lamotrigine
Sodium
OAE Line
kedua
Clobazam
Levetiracetam
Oxcarbazepine
Clobazam
Topiramate
Clobazam
OAE yang
dipertimbangkan
Clonazepam
Phenobarbital
Phenytoin
Acetazolamide
OAE yang
dihindari
Carbamazepine
Gabapentin
Oxcarbazepine
Carbamazepine
mioklonik
valproat
Topiramate
Bangkitan
tonik
Sodium
valproat
Lamotrigine
Topiramate
Levetiracetam
Lamotrigine
Piracetam
Clobazam
Levetiracetam
Topiramate
Bangkitan
atonik
Sodium
valproat
Lamotrigine
Bangkitan
fokal dg
atau tanpa
bangkitan
umum
Carbamaepine
Oxcarbazepine
Sodium
valproat
Topiramate
Lamotrigine
Gabapentin
Oxcarbazepine
Phenobarbital
Phenytoin
Carbamazepine
Oxcarbazepine
Clobazam
Levetiracetam
Topiramate
Phenobarbital
Acetazolamide
Carbamazepine
Oxcarbazepine
Phenytoin
Clobazam
Gabapentin
Levetiracetam
Phenytoin
Tiagabine
Clonazepam
Phenobarbital
acetazolamide
7. Discharge planning
1. Epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan
2. Resiko tinggi pada ibu-ibu tenaga kerja, wanita dengan latar belakang
sulit melahirkan, penggunaan obat-obatan, DM atau Hipertensi
3. Infeksi pada masa anak-anak (campak, penyakit gondongan, meningitis
bakteri) harus dikontrol dengan vaksinasi yang benar
4. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada
usia dini, dan usia dini, dan program pencegahan dengan penggunaan
obat-obat antikonvulsan sesuai aturan
5. Mengurangi rasa takut terhadap kejang dengan mengetahui penyebab
dan cara penanganan kejang itu sendiri
6. Kontrol gaya hidup dan lingkungan karena dapat mencetuskan kejang,
gangguan emosi, stressor lingkungan baru, awitan menstruasi pada
wanita, atau demam
7. Istirahat cukup dan olahraga secara rutin dan terkontrol
8. Hindari minuman beralkohol dan merokok serta konsumsi makanan
yang banyak mengandung vitamin
9. Konsultasi kepada tim medis jika kejang berulang.
Berikut ini adalah perawatan yang dapat dilakukan saat serangan kejang
terjadi dan saat setelah terjadinya kejang
Saat kejang
1. Berikan privasi dan perlindungan untuk pasien yang mengalami
kejang
2. Melindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah terjadinya
cedera (dari membentur permukaan keras)
3. Lepas pakaian yang ketat
4. Singkirkan semua perabot yang dapat mencederai pasien selama
kejang
5. Jika pasien di tempat tidur, singkirkan bantal dan tinggikan site rail
6. Jika aura mendahuluui kejang, masukkan spatel lidah yang diberi
bantalan diantara gigi-gigi untuk mengurangi lidah/pipi tergigit
7. Jangan berusaha untuk membuka rahang yang terkatup pada
keadaan spasme untuk memasukkan sesuatu. Gigi patah dan cedera
pada bibir dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
8. Jangan merestrain/mengikat pasien selama kejang berlangsung,
karena akan dapat mencederai pasien
9. Jika mungkin, posisikan pasien miring kiri/kanan dengan kepala
fleksi ke depan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan
pengeluaran air liur dan mukosa. Jika disediakan pengisap, gunakan
jika perlu untuk membersihkan sekret.
Setelah kejang
1. Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas pasien paten
2. Biasanya terdapat periode konfusi setelah kejang grand mal
3. Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba
setelah kejang
4. Pasien pada saat bangun harus diorientasikan terhadap
lingkungan
5. Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal),
coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut
dan memasang restrain yang lembut.
Faktor Predisposisi :
Pathway
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Gangguan pada system listrik dari sel sel saraf pusat pada suatu bagian otak
Sel sel memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang,
dan tidak terkontrol ( dirsitmia
Aktifitas kejang umum lama akut, tanpa perbaikan
kesadaran penuh diantara serangan
Status Epileptikus
Kebutuhan metabolic
besar
Gangguan pernapasan
Hipoksia otak
Kerusakan otak
Edema
permanen
Kejang umum
Penurunan kesadaran
).
Kejang parsial
Peka rangsang
kejang berulang
Resiko cedera
Respon fisik :
a. konfusi dan sulit
bangun
b. keluhan sakit kepala/
otot
a. nyeri akut
b. deficit perawatan diri
Respon psikologis :
a. ketakutan
b. respon penolakan
c. penurunan nafsu makan
d. depresi
e. menarik diri
a.Ketakutan
b.koping individu inefektif
A. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan epilepsi antara lain:
1.
2.
keluhan utama
terjadinya kejang berulang
Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang : faktor riwayat penyakit saat ini sangat
penting diketahui karena untuk mengetahui pola dari kejang klien.
Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan
mulai serangan, stimulus yang menyebabkan respons kejang, dan
seberapa auh aat kejang dengan respons fisik dan psikologis dari
klien.
Tanyakan faktor-faktor yang memungkinkan predisposisi dari
serangan epilepsi, apakah sebelumnya klien pernah mengalami
trauma kepala dan infeksi serta kemana saja klien sudah meminta
pertolongan setelah mengalami keluhan.
Penting juga ditanyakan tentang pemakaian obat sebelunya seperti
pemakaian obat-obatan antikonvulsan, antipiretik dll., dan riwayat
3.
5.
Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting
untuk
menulai
respons
emosi
klien
terhadap
kondisi
pernafasan.
aura
(rangsangan
audiovisiual,
auditorius,
area
B1 (Breathing)
Saat kejang: terjadi peningkatan frekuensi pernafasan, setelah
kejang: frekuensi nafas dalam batas normal.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pad asitem kardiovaskuler terutama dilakukan pada
klien epilepsi tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
c. B3 (Brain)
Pada pasien epilepsy tidak terjadi penurunan kesadaran.
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sitem kemih biasanya didapatkan berkurangnya
volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung keginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsi menurun karena
anoreksia dan adanya kejang.
f. B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya
penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga
mengganggu aktifitas perawatan diri.
8. pemeriksaan syaraf kranial
an
yang
tidak
di
ketahui
klien
epilepsy
mengalami
kelainan
saraf VII (Facialis) : presepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris.
Saraf VIII (Auditorius) : tidak di temukan adanya tuli konduktif dan
tuli perspsi.
Saraf IX (Glosofaringeus) dan X (Vagus) : kemampuan menelan baik
Saraf XI (Accecorius) : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus
dan trapezius
Saraf XII (Hipoglosus) : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu
sisi dan tidak ada fasikulasi indra pengecapan normal.
B. Diagnosa
1. Resiko cedera b.d kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan
cara penanganan saat kejang serta penurunan tingkat kesadaran.
2. Resiko keterlambatan perkembangan b/d gangguan pada syaraf pusat
3. Kecemasan (pada keluarga) b.d kejang berulang, penyakit yang diderita.
4. resiko ketidak efektifan perfusi jaringan cerebral
C. Perencanaan
Dx
Resiko cedera
kejang
Tujuan
b.d Setelah
Intervensi
Rasional
dilakukan 1. Kaji tingkat pegetahuan klien
1. 1. Data dasar untuk intervensi
berulang, tindakan
keperawatan,
dan
penanganan
kejang
cara yang
disebabkan
oleh
cara
mengontrol kejang.
b. Menghindari stimulus
kejang.
c. Melakukan
pengobatan
untuk
teratur
menurunkan
intensitas kejang.
Resiko
keterlambatan Perkembangan
perkembangan
berhubungan
pertumbuhan:
dengan Setelah dilakukan asuhan
keluarga
mempersiapkan
ranjang
pengaman
dan
atau
alat
paan
suction3. 3. Mengurangi risiko jatuh atau
menurunkan
pemberian
terapi
respons
kejang
berulang.
keperawatan,
perkembangan pasien
berangsur meningkat
mengenakan pakaian)
3) ajak anak mengobrol dan bernyanyi
4) ajak anak menggambar, mewarnai
5) mengajak anak bermain dengan
teman teman dalam satu grup
perawat
2. membantu
kemampuan
anak
3. melatih
pemenuhan
motorik
kemampuan
kasar
bahasa
anak
4. melatih kemampuan motorik
halus pasien
5. melatih kemampuan
sosial
anak
c. menunjukkan kreativitas
dalam permainan
d. mengikuti perintah
Kecemasan
(pada Setelah
dilakukan
1. 1. Bantu keluarga mengekspresikan
1. 1.Ketakutan yang berkelanjutan
mengidentifikasi
8.
penyebab atau faktor
sedang,
diet
yang
stimulan
yang
mempengaruhi
kecemasan
atau
ketakutan
yang
(menghindari
berlebuhan),
dialaminya.
yang
penggunaan
baik
karena
energi
yang
DAFTAR PUSTAKA
Gloria, dkk. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC) . 6th edition. Elsevier
Inc
Johnson M, dkk. 2016. Nursing Outcome Classification (NOC) . 6th edition.
Elsevier Inc.
NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan. Definisi & Klasifikasi . 2015-2017.
Edisi 10. Jakarta : EGC.
Nurarif, A.H, & Kusuma, H.K. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jilid I. Yogyakarta : Media Action
Publishing.
Mansjoer, Arief. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta :
Media Aesculaplus.
Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC.