Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN EPILEPSI DI RUANG


ASTER RSD. dr SOEBANDI KABUPATEN JEMBER

disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Profesi Ners (P3N)
Stase Maternitas Anak

Oleh
Irma Yanti Hidayah
NIM 142311101148

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016

1. Pengertian
Epilepsi merupakan akibat dari gangguan otak kronis dengan serangan
kejang spontan yang berulang (Satyanegara dalam Nurarif, 2016). Epilepsi
adalah gejala kompleks dari gangguan fungsi otak berat yang dicirikan dengan
kejang berulang. Sehingga epilepsi bukan merupakan suatu penyakit tetapi
merupakan suatu gejala (Smeltzer dalam Nurarif, 2016).
Menurut mansjoer (2007), epilepsi merupakan gangguan kronik otak
dengan di timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan
berulang yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel saraf
otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan suatu gejala,
bukan merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh gangguan otak kronis
karena adanya pelepasan muatan listrik abnormal dari sel saraf otak yang
dicirikan dengan kejang berulang.
2. Etiologi
Penyebab epileps pada berbagai kelompok usia (Nurarif, 2016) :
Masalah dasa rnya diperkirakan dari gangguan listrik disritmia pada sel
saraf pada salah satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini mengeluarkan
muatan listrik abnormal, berulang dan tidak terkontrol. Berikut adalah
beberapa hal yang dapat menjadi faktor penyebab terjadinya epilepsi.
1. Idiopatik
Sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi pada anak adalah
epilepsi idiopatik.
2. Faktor herediter
Ada

beberapa

penyakit

yang

bersifat

herediter

yang

disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberosa, neurofibriomatosis,


angiomatosis ensepalotrigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme,
hipoglikemia.
3. Faktor genetik
Pada kejang demam dan breath holding spells

4. Kelainan kongenital otak


Atropi, forensepali, agenesis korfus kalosum.
5. Gangguan

metabolik

Hipoglikemia, hipokalsimia, hiponatremia, hipernatremia.


6. Infeksi: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
selaputnya, toksoplasmosis.
7. Trauma: Kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural.
8. Neoplasma/tumor otak dan selaputnya.
9. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen.
10. Keracunan: timbal (Pb), kamper (kapur barus).
11. Lain-lain:

penyakit

darah,

gangguan

keseimbangan

hormon,

degenerasi serebral.
3. Tanda dan gejala
Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial,
yang berasal dari salah satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana
kedua hemisfer otak terlibat secara bersamaan
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang pada epilepsi dibagi
menjadi (Nurarif, 2016) :
1. Kejang umum (generalized seizure) ; jika aktivasi terjadi pada kedua
hemisfer otak secara bersama-sama. Pasien tidak sadar dan tidak
mengetahui keadaan sekelilingnya saat mengalami kejang. Kejang biasanya
tidak didahului adanya awitan/peringatan (Price dan Wilson, 2006). Kejang
umum dibagi atas:
a.

Tonic-clonic convulsion (grand mal)


Merupakan kejang epilepsi yang klasik. Biasanya akan diawali dengan
hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien akan kehilangan posisi
berdirinya, tiba-tiba jatuh, kejang, napas terengah-engah, keluar airliur,
bisa terjadi sianosis, mengompol/inkontinensia urin, lidah tergigit
terjadi beberapa menit. Keseluruhan kejang bisa berlangsung selama 35 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin berlangsung

selama beberapa menit hingga 30 menit. Setelah sadar, pasien mungkin


tampak kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut
sebagai periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat
kejadian kejangnya (Price dan Wilson, 2006).
b.

Abscence attacks/lena (petit mal)


Jenis kejang yang jarang terjadi, umumnya hanya terjadi pada masa
anak-anak atau awal remaja (Nurarif, 2016). Kejang ini biasanya
berlangsung dalam waktu yang singkat, jarang berlangsung lebih dari
beberapa detik. Sebagai contoh, mungkin pasientiba-tiba menghentikan
pembicaraan, menatap kosong, atau berkedip-kedip dengan cepat.
Pasien mungkin mengalami kejang satu atau dua kali kejang sebulan
atau beberapa kali dalam sehari (Price dan Wilson, 2006).

c.

Myoclonic seizure
Biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami
sentakan yang tiba-tiba.

d.

Atonic seizure
Jenis kejang ini jarang terjadi. Biasanya pasien tiba-tiba kehilangan
ktekuatan otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks).

2. Kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak dan biasanya
berkaitan dengan kelainan struktural otak (Price dan Wilson, 2006). Kejang
parsial terbagi menjadi :
a.

Simple partial seizure


Pasien tidak kehilangan kesadaran,

terjadi sentakan-sentakan pada

bagian tertentu dari tubuh. Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.


b.

Complex partial seizure


Pasien melakukan gerakan-gerakan yang tidak terkendali dan tidak
bertujuan : gerakan mengunyah, meringis, mengecap-ngecapkan bibir,
dan gejala lain yang tidak terkendali dan tidak bertujuan. Biasanya
berlangsung selam 1-3 menit, pasien sadar namun tidak dapat
mengingat tindakan saat kejang berlangsung. Fokus kejang jenis ini
umumnya terletak di lobus temporalis medial atau frontalis inferior.

4.Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian
berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan
mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain
melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.
Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat
lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan
oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari
fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neronneron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada
keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya
akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti
pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan
otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum
yang disertai penurunan kesadaran.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses
berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan;
kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang.

5.Pemeriksaan Diagnostik
Electroencephalogram (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan dianosis epilepsi jika ditemukan pola EEG
yang bersifat khas epileptik baik terekam saat serangan maupun di luar
serangna berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku
lambat.
Pemeriksaan tambahan lain yang juga bermanfaat adalah pemeriksaan
foto polos kepala (CT Scan dan MRI) yang berguna untuk mendeteksi adanya
fraktur tulang tengkorak, hematoma, infark, tumor, hidrosefalus. Pemeriksaan
lain yang juga dapat menunjang adalah pemeriksaan laboratorium yang
bertujuan untuk memastikan adanya kelainan sistemik seperti hipoglikemia,
hiponatremia, uremia, dan lain-lain (Mansjoer Arif, 2007).
6.Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
pasien yang optimal. ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara
lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek
samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan
angka kesakitan kematian.
1. Non farmakologi
a. Amati faktor pemicu
b. Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya stress, konsumsi
kopi/alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.
2. Farmakologi
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk
epilepsi, yaitu :
a. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosa epilepsi sudah
dipatikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu,
pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberikan penjelasan
mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
b. Terapi dimlai dengan monoterapi

c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap
sampai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat
d. Apabila dengan penggunaan OAE dosis maksimum tidak dapat
tmengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua, dimana bila
sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan
secara perlahan
e. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti
bangkitan tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.
Menggunakan obat-obat anti epilepsi yaitu :
1. Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+:
Inaktivasi

kanal

Na+,

menurunkan

kemampuan

saraf

untuk

menghantarkan muatan listrik. Contoh : fenitoin, karbamazepin,


lamotrigin, okskarbazepin, evalproat.
2. Obat-obatan yang meningkatkan transmisi inihibitori GABAergik :
a. Agonis reseptor GABA, meningkatkan transmisi inhibitori dengan
mengaktifkan kerja reseptor GABA,contoh : benzodiazepin, barbiturat.
b. Menghambat GABA transaminase, konsentrasi GABA meningkat,
contoh : vigabatrin. Menghambat GABA trmnasportase, memperlambat
aksi GABA, contoh : titagabin.
c. Meningkatkan konsentrasi GABA pada CSS pasien mungkin dengna
menstimulasi pelepasan GABA dari nonvesikular pool, contoh :
Gabapentin.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat
dihentikan tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi,penghentian
sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan
kejang. Sedangkan pada orang dewasa, penghentian membutuhkan waktu lebih
lama yaitu sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika
hendak menghentikan OAE yaitu (Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI dalam
Nurarif, 2016) :

1. Syarat umum yang meliputi :


a. Penghentian OAE yang telah didiskusikan lebih dahulu dengan
pasien/keluarga dimana pasien sekurang-kurangnya 2 tahun bebas
bangkitan.
b. Gambaran EEG normal
c. Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
d. Bila pasien menggunakan lebih dari 1 OAE maka penghentian dimulai
dari 1 OAE yang bukan utama.
2. Kemungkinan kekambuhan setelah penghentian OAE
a. Usia semakin tua maka semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya
b. Epilepsi simtomatik
c. Gambaran EEG abnormal
d. Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan
e. Penggunaan OAE lebih dari 1
f. Masih mendapatkan 1 atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
g. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
h. Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya jika pasien telah
bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Jika bangkitan
timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir,
kemudian evaluasi.
Berikut adalah tabel pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan
menurut Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI dalam Nurarif, 2016)
Tabel 2.2. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya
Jenis
bangkitan
Bangkitan
umum
Tonikklonik
Bangkitta
n lena
Bangkitan

OAE Line
pertama
Sodium
valproat
Lamotrigine
Topiramate
Carbamazepine
Sodium
valproat
Lamotrigine
Sodium

OAE Line
kedua
Clobazam
Levetiracetam
Oxcarbazepine
Clobazam
Topiramate
Clobazam

OAE yang
dipertimbangkan
Clonazepam
Phenobarbital
Phenytoin
Acetazolamide

OAE yang
dihindari

Carbamazepine
Gabapentin
Oxcarbazepine
Carbamazepine

mioklonik

valproat
Topiramate

Bangkitan
tonik

Sodium
valproat
Lamotrigine

Topiramate
Levetiracetam
Lamotrigine
Piracetam
Clobazam
Levetiracetam
Topiramate

Bangkitan
atonik

Sodium
valproat
Lamotrigine

Bangkitan
fokal dg
atau tanpa
bangkitan
umum

Carbamaepine
Oxcarbazepine
Sodium
valproat
Topiramate
Lamotrigine

Gabapentin
Oxcarbazepine
Phenobarbital
Phenytoin

Carbamazepine
Oxcarbazepine

Clobazam
Levetiracetam
Topiramate

Phenobarbital
Acetazolamide

Carbamazepine
Oxcarbazepine
Phenytoin

Clobazam
Gabapentin
Levetiracetam
Phenytoin
Tiagabine

Clonazepam
Phenobarbital
acetazolamide

Sumber: Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI dalam Nurarif ( 2016).

7. Discharge planning
1. Epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan
2. Resiko tinggi pada ibu-ibu tenaga kerja, wanita dengan latar belakang
sulit melahirkan, penggunaan obat-obatan, DM atau Hipertensi
3. Infeksi pada masa anak-anak (campak, penyakit gondongan, meningitis
bakteri) harus dikontrol dengan vaksinasi yang benar
4. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada
usia dini, dan usia dini, dan program pencegahan dengan penggunaan
obat-obat antikonvulsan sesuai aturan
5. Mengurangi rasa takut terhadap kejang dengan mengetahui penyebab
dan cara penanganan kejang itu sendiri
6. Kontrol gaya hidup dan lingkungan karena dapat mencetuskan kejang,
gangguan emosi, stressor lingkungan baru, awitan menstruasi pada
wanita, atau demam
7. Istirahat cukup dan olahraga secara rutin dan terkontrol
8. Hindari minuman beralkohol dan merokok serta konsumsi makanan
yang banyak mengandung vitamin
9. Konsultasi kepada tim medis jika kejang berulang.
Berikut ini adalah perawatan yang dapat dilakukan saat serangan kejang
terjadi dan saat setelah terjadinya kejang

Saat kejang
1. Berikan privasi dan perlindungan untuk pasien yang mengalami
kejang
2. Melindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah terjadinya
cedera (dari membentur permukaan keras)
3. Lepas pakaian yang ketat
4. Singkirkan semua perabot yang dapat mencederai pasien selama
kejang
5. Jika pasien di tempat tidur, singkirkan bantal dan tinggikan site rail
6. Jika aura mendahuluui kejang, masukkan spatel lidah yang diberi
bantalan diantara gigi-gigi untuk mengurangi lidah/pipi tergigit
7. Jangan berusaha untuk membuka rahang yang terkatup pada
keadaan spasme untuk memasukkan sesuatu. Gigi patah dan cedera
pada bibir dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
8. Jangan merestrain/mengikat pasien selama kejang berlangsung,
karena akan dapat mencederai pasien
9. Jika mungkin, posisikan pasien miring kiri/kanan dengan kepala
fleksi ke depan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan
pengeluaran air liur dan mukosa. Jika disediakan pengisap, gunakan
jika perlu untuk membersihkan sekret.
Setelah kejang
1. Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas pasien paten
2. Biasanya terdapat periode konfusi setelah kejang grand mal
3. Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba
setelah kejang
4. Pasien pada saat bangun harus diorientasikan terhadap
lingkungan
5. Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal),
coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut
dan memasang restrain yang lembut.

Faktor Predisposisi :

Pathway

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Pasca trauma kelahiran, asfiksia neonatorum, pasca cedera kepala


Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsan
Riwayat dari ibu yag mempunyai resiko tinggi
Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak kanak
Adanya riwayat keracunan
Riwayat gangguan sirkulasi serebral
Riwayat demam tinggi
Riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi atau gizi
Riwayat intoksikasi obat obatan atau alcohol
Riwayat tumor otak, abses, dan kelainan bentuk bawaan
Riwayat keturunan epilepsi

Gangguan pada system listrik dari sel sel saraf pusat pada suatu bagian otak
Sel sel memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang,
dan tidak terkontrol ( dirsitmia
Aktifitas kejang umum lama akut, tanpa perbaikan
kesadaran penuh diantara serangan

Periode pelepasan impuls yang tidak


diinginkan

Status Epileptikus

Kebutuhan metabolic
besar

Gangguan pernapasan

Hipoksia otak

Kerusakan otak

Edema

permanen

Kejang umum
Penurunan kesadaran

).

Kejang parsial

Peka rangsang

kejang berulang

Resiko cedera

B. Konsep Asuhan Keperawatan

Gangguan perilaku, alam


perasaan, sensasi, dan
persepsi
Respon pasca kejang
(postikal)

Respon fisik :
a. konfusi dan sulit
bangun
b. keluhan sakit kepala/
otot

a. nyeri akut
b. deficit perawatan diri

Respon psikologis :
a. ketakutan
b. respon penolakan
c. penurunan nafsu makan
d. depresi
e. menarik diri

a.Ketakutan
b.koping individu inefektif

A. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan epilepsi antara lain:
1.
2.

keluhan utama
terjadinya kejang berulang
Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang : faktor riwayat penyakit saat ini sangat
penting diketahui karena untuk mengetahui pola dari kejang klien.
Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan
mulai serangan, stimulus yang menyebabkan respons kejang, dan
seberapa auh aat kejang dengan respons fisik dan psikologis dari
klien.
Tanyakan faktor-faktor yang memungkinkan predisposisi dari
serangan epilepsi, apakah sebelumnya klien pernah mengalami
trauma kepala dan infeksi serta kemana saja klien sudah meminta
pertolongan setelah mengalami keluhan.
Penting juga ditanyakan tentang pemakaian obat sebelunya seperti
pemakaian obat-obatan antikonvulsan, antipiretik dll., dan riwayat

3.

kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga.


Riwayat penyakit dahulu

Penyakit yang pernah diderita sebelumnya (apakah mengalami


keadaan yang sama seperti sekarang seperti mengalami kejang
berulang).
4.

Riwayat kesehatan keluarga


Apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang.

5.

Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting
untuk

menulai

respons

emosi

klien

terhadap

kondisi

pascakejang.nsetelah mengalami kejang klioen sering mengalami


perubahan konsep diri yang maladaptif. Klien akan lebih banyak
menarik diri, ketakutan akan serangan kejang berulang dan depresi
akan prognosis dari kondisi yang akan datang.
a. Aktivitas dan istirahat
Gejala yaitu keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang lain. Tanda
yaitu perubahan tonus, kekuatan otot, gerakan involunter, kontraksi
otot atau sekumpulan otot.
b. Sirkulasi.
Gejala yang terjadi saat kejang: tekanan darah meningkat,
peningkatan nadi, sianosis, peningkatan frekuensi

pernafasan.

Setelah kejang: tanda-tanda vital kembali normal


c. Eliminasi.
Gejala yaitu inkontinesia, ditandai dengan (saat kejang): peningkatan
tekanan kandung kemih, dan tonus sfingter, setelah kejang : otot
relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia baik urine maupun
fekal.
d. Makanan dan cairan.
Gejalanya yaitu sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah
yang berhubungan dengan aktivitas kejang. Ditandai dengan
kerusakan jaringan lunak dan gigi (cedera selama kejang).
e. Neurosensori

Gejalanya yaitu riwayat sakit kepala, kejang berulang, pingsan,


pusing dan memliki riwayat trauma kepala, anoksia, infeksi cerebral,
adanya

aura

(rangsangan

audiovisiual,

auditorius,

area

halusinogenik). Ditandai dengan kelemahan otot, paralisis, kejang


umum (kompleks), kejang parsial (sederhana).
f. Pernafasan.
Gejalanya yaitu fase kejang: gigi mengatup, sianosis, pernafasan
cepat dan dangkal, peningkatan sekresi mucus, fase setelah kejang
kembali normal.
g. Keamanan
Gejalanya yaitu riwayat terjatuh, fraktur, adanya alergi. Ditandai
dengan trauma pada jaringan lunak, ekimosis, penurunan kesadaran,
kekuatan tonus otot secara menyeluruh.
h. Interaksi sosial
Gejalanya yaitu terdapat masalah dalam hubungan interpersonal
dalam keluarga atau lingkungan sosialnya melakukan pembatasan,
penghindaran terhadap kontak sosial.
i. Penyuluhan dan pembelajaran.
Gejalanya yaitu adanya riwayat epilepsi pada keluarga, penggunaan
obat maupun ketergantungan obat termasuk alkohol.
6. Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
Gejala penting pertumbuhan yang terganggu pada penderita Epilepsi
yaitu berat badan, tinggi badan dalam batas normal karena kemampuan
menelan masih baik.jangka pendek perkembangan anak yaitu anak
menjadi apatis, mengalami gangguan bicara. Sedangkan dampak jangka
panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif,
penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan
penurunan rasa percaya diri.
7. Pemeriksaan fisik

Pada pengkaian fisik secara umum sering didapatkan pada awal


pascakejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun. Pada
kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanya penuruna kesadaran.
Pengkajian untuk peristiwa kejang perlu dikaji tentang: Bagaimana
kejang sering terjadi pada klien, tipe pergerakan atau aktifitas, berapa
lama kejang berlangsung, diskripsi aura yang menimbulkan peristiwa,
status poskial, lamanya waktu klien untuk kembali kejang, adanya
inkontinen selama kejang.

Selain itu juga dilakukan pemeriksaan 6B, yaitu:


a.

B1 (Breathing)
Saat kejang: terjadi peningkatan frekuensi pernafasan, setelah
kejang: frekuensi nafas dalam batas normal.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pad asitem kardiovaskuler terutama dilakukan pada
klien epilepsi tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
c. B3 (Brain)
Pada pasien epilepsy tidak terjadi penurunan kesadaran.
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sitem kemih biasanya didapatkan berkurangnya
volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung keginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsi menurun karena
anoreksia dan adanya kejang.
f. B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya
penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga
mengganggu aktifitas perawatan diri.
8. pemeriksaan syaraf kranial

Saraf I (Olfaktorius) : biasanya pada klien epilepsy tidak ada kelainan

dan fungsi penciuman


saraf II (Optikus) : tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
saraf III (Okulomotorius), IV (Trochlearis),dan VI (Abdusen) : dengan
alas

an

yang

tidak

di

ketahui

klien

epilepsy

mengalami

fotofobia(sensitive berlabihan terhadap cahaya)


saraf V (Trigeminus) : pada klien epilepsy umumnya tidak didapatkan
paralisis pada otot wajah dan reflex kornea biasanya tidak ada

kelainan
saraf VII (Facialis) : presepsi pengecapan dalam batas normal, wajah

simetris.
Saraf VIII (Auditorius) : tidak di temukan adanya tuli konduktif dan

tuli perspsi.
Saraf IX (Glosofaringeus) dan X (Vagus) : kemampuan menelan baik
Saraf XI (Accecorius) : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus

dan trapezius
Saraf XII (Hipoglosus) : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu
sisi dan tidak ada fasikulasi indra pengecapan normal.

B. Diagnosa
1. Resiko cedera b.d kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan
cara penanganan saat kejang serta penurunan tingkat kesadaran.
2. Resiko keterlambatan perkembangan b/d gangguan pada syaraf pusat
3. Kecemasan (pada keluarga) b.d kejang berulang, penyakit yang diderita.
4. resiko ketidak efektifan perfusi jaringan cerebral

C. Perencanaan
Dx
Resiko cedera
kejang

Tujuan
b.d Setelah

Intervensi
Rasional
dilakukan 1. Kaji tingkat pegetahuan klien
1. 1. Data dasar untuk intervensi

berulang, tindakan

keperawatan,

ketidaktahuan tentang klien bebas dari cedera


epilepsi

dan

penanganan
kejang

cara yang

disebabkan

oleh

saat kejang dengan kriteria:


a. Klien dan keluarga
mengetahui

cara

mengontrol kejang.
b. Menghindari stimulus
kejang.
c. Melakukan
pengobatan
untuk

teratur

menurunkan

intensitas kejang.
Resiko

keterlambatan Perkembangan

perkembangan
berhubungan

pertumbuhan:
dengan Setelah dilakukan asuhan

dan keluarga cara penanganan selanjutnya.


kejan
2. Anjurkan

2. 2. Melindungi klien apabila


agar
kejang terjadi.
lingkungan

keluarga

mempersiapkan

yang aman seperti memasang


batasan

ranjang

pengaman

dan

atau
alat

paan
suction3. 3. Mengurangi risiko jatuh atau

untuk selalu berada dekat klien. terluka jika vertigo, sinkope,


3.Anjurkan untuk mempertahankan
dan ataksia terjadi.
tirah baring total selama fase4. 4. Terapi medikasi untuk
akut.
4. Kolaborasi

menurunkan
pemberian

terapi

respons

kejang

berulang.

anti kejang (diazepam)


Peningkatan Perkembangan anak
1) bina hubungan saling percaya
dengan pasien

1. meningkatkan kepercayaan dan


agar anak mau kontak dengan

gangguan syaraf pusat

keperawatan,

2) bantu anak melatih kebutuhan

perkembangan pasien

sehari harinya (makan, toileting,

berangsur meningkat

gosok gigi, cuci tangan,

dengan kriteria hasil:


a. dapat mempraktikkan
kebiasaan yang baik
(gosok gigi minimal 2x
sehari)
b. bermain dalam kelompok

mengenakan pakaian)
3) ajak anak mengobrol dan bernyanyi
4) ajak anak menggambar, mewarnai
5) mengajak anak bermain dengan
teman teman dalam satu grup

perawat
2. membantu
kemampuan
anak
3. melatih

pemenuhan
motorik

kemampuan

kasar
bahasa

anak
4. melatih kemampuan motorik
halus pasien
5. melatih kemampuan

sosial

anak

c. menunjukkan kreativitas
dalam permainan
d. mengikuti perintah

Kecemasan

(pada Setelah

keluarga) b.d kejang tindakan

dilakukan
1. 1. Bantu keluarga mengekspresikan
1. 1.Ketakutan yang berkelanjutan

keperawatan, rasa takut.


memberikan dampak psikologis
2. Lakukan kerja sama dengan
berulang,
penyakit kecemasan
keluarga
yang tidak baik.
keluarga.
2. 2. Kerja sama klien dan
yang diderita
hilang atau berkurang
3. 3. Ajarkan keluarga untuk kontrol
keluarga sangat penting
dengan kriteria hasil:
kejang.
3. 3. Kontrol kejang bergantung
a. Keluarga
dapat
5. 4. Beri lingkungan yang tenang
pada aspek pemahaman dan
mengenal
untuk istirahat pasien
kerja sama klien. Klien
6. 5. Berikan penjelasan tentang
perasaannya
dianjurkan untuk mengikuti
b. Keluarga
dapat keadaan
klien/penyakit
yang

mengidentifikasi

diderita pasien kepada keluarga

gaya hidup rutin reguler dan

8.
penyebab atau faktor

sedang,

diet

yang

stimulan

yang

mempengaruhi

kecemasan

atau

ketakutan

yang

(menghindari
berlebuhan),

latihan dan istirahat tidur.


4. Aktivitas sedang adalah
terapi

dialaminya.

yang

penggunaan

baik

karena

energi

yang

berlebihan dapat dihindari.


5. Mengurangi rangsangan
eksternal yang tidak perlu.
6.

DAFTAR PUSTAKA
Gloria, dkk. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC) . 6th edition. Elsevier
Inc
Johnson M, dkk. 2016. Nursing Outcome Classification (NOC) . 6th edition.
Elsevier Inc.
NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan. Definisi & Klasifikasi . 2015-2017.
Edisi 10. Jakarta : EGC.
Nurarif, A.H, & Kusuma, H.K. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jilid I. Yogyakarta : Media Action
Publishing.
Mansjoer, Arief. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta :
Media Aesculaplus.
Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai