Anda di halaman 1dari 44

Case Report Sessions

STATUS EPILEPTIKUS

Oleh :

Aprina Mayang Sari


1510070100016

Preseptor :
dr. Fetria Faisal, Sp. A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD M. NATSIR
SOLOK
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
“Status Epileptikus” yang merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik dari Bagian
Ilmu Kesehatan Anak

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada dr. Fetria
Faisal, Sp. A selaku pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini tepat waktu demi memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior.
Penulis menyadari bahwa penulisan CRS ini masih jauh dari kata sempurna,
karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca untuk
penyempurnaan nya. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

Solok, November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan................................................................................... 1
1.3 Manfaat Penulisan................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 3


2.1 Definisi Status Epileptikus................................................................... 3
2.2 Epidemiologi........................................................................................ 3
2.3 Etiologi................................................................................................. 3
2.4 Klasifikasi Kejang................................................................................ 4
2.5 Gejala Klinis........................................................................................ 5
2.6 Diagnosis.............................................................................................. 13
2.7 Diagnosa Banding................................................................................ 17
2.8 Tatalaksana........................................................................................... 19
2.9 Prognosis.............................................................................................. 24
BAB III LAPORAN KASUS.............................................................................. 25
BAB IV ANALISA KASUS................................................................................ 39
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 41

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegawatan merupakan suatu keadaan dimana seseorang berada dalam
keadaan kritis dan apabila tidak dilakukan suatu usaha atau tindakan akan
menyebabkan kematian. Salah satu kegawat daruratan di bidang neurologi adalah
status epileptikus. Walaupun di Indonesia belum merupakan problem kesehatan
masyarakat yang besar. Sebelum membahas penyakit ini, terlebih dahulu
diingatkan kembali mengenai batasan dari epilepsi. Epilepsi adalah suatu keadaan
yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya
gangguan fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal dan
disebabkan oleh berbagai etiologi.
Status epileptikus ditegakkan apabila kejang yang terjadi bersifat
kontinyu, berulang dan disertai gangguan kesadaran dengan durasi kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Status epileptikus merupakan kejang yang paling
serius karena terjadi terus menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot
yang sangat kuat, kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya
menyebar luas sehingga apabila status epileptikus tidak dapat ditangani segera,
maka besar kemungkinan dapat terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen
dan dapat menyebabkan kematian.
Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat
mungkin. Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan
secara tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih
dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi penderita
epilepsy.

1.2 .Tujuan Penulisan


1. Mengetahui dan menambah wawasan mengenai Status Epileptikus
2. Melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian ilmu kesehatan
anak RSUD M. Natsir Solok tahun 2020.

1
1.3 Manfaat Penulisan
1. Sebagai informasi dan menambah wawasan bagi masyarakat mengenai
Status Epileptikus
2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda untuk menjalankan
kepaniteraan klinik senior terutama di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
M. Natsir Solok.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Status Epileptikus


Epilepsy adalah perubahan aktivitas motorik abnormal yang tanpa atau
disertai dengan perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang disebabkan
akibat perubahan aktivitas elektrik di otak1. Status epileptikus adalah kondisi
kejang berkepanjangan mewakili keadaan darurat medis dan neurologis utama.
International League Against Epilepsy mendefinisikan status epileptikus sebagai
aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang
persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih,
harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus2.

2.2 Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan
angka kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-
klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Insidens SE pada
anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status epileptikus lebih sering
terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun dengan estimasi
insidens 1 per 1000 bayi3.

2.3 Etiologi

 Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang


umum, penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi
mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan
umumnya predisposisi genetik.
 Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum
diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa
disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk
disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.

3
 Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak
yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala,
infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di
otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan
metabolik dan kelainan neurodegeneratif4.

2.4 Klasifikasi Kejang

Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena


pe nanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada
umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan
area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak
(Generalized onset)- kat egori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis
yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.

Tahun 1981 International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu


klasifikasi internasional mengenai kejang dan epilepsi yang membagi kejang
menjadi 2 golongan utama : serangan parsial (partial onset seizures) dan serangan
umum (generalized-onset seizures). Serangan parsial dimulai pada satu area fokal
di korteks serebri, sedangkan serangan umum dimulai secara simultan di kedua
hemisfer. Serangan lain yang sulit digolongkan dalam satu kelompok dimasukkan
dalam golongan tak terklasifikasikan (unclassified). ILAE kemudian membuat
klasifikasi yang diperbarui menggunakan diagnosis multiaksial pada tahun 1989,
kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2001, namun klasifikasi tahun 1981
tetap masih sering digunakan2.

Serangan parsial (fokal) Serangan parsial sederhana (dengan


gejala motorik, sensorik, otonom, atau psikis)

Serangan parsial kompleks


Serangan parsial dengan generalisasi sekunder
Serangan umum Absens (petit mal)
Tonik-klonik (Grand mal)
Tonik

4
Atonik
Mioklonik
Serangan Epilepsi tak
teklasifikasikan
Tabel 1. Klasifikasi ILAE5.

2.5 Gambaran Klinis


Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized
Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai,
hasil dari survei ditemukan kira-kira 44-74 %, tetapi bentuk yang lain dapat juga
terjadi6.

Tanda Khas Epilepsi Parsial Sederhana

Aktivitas motorik merupakan gejala yang paling lazim pada epilepsi


parsial sederhana. Gerakan ditandai dengan gerakan klonik atau tonik yang tidak
sinkron, dan mereka cenderung melibatkan wajah, leher dan tungkai. Kejang
versify terdiri atas pemutaran kepala dan gerakan mata gabungan adalah sangat
lazim. Rata – rata kejang berlangsung selama 10 – 22 detik. Kejang parsial
sederhana dapat terancukan dengan gerenjit ( tic ), namun gerenjit ditandai dengan
pengangkatan bahu, mata berkedip – kedip dan wajah menyeringai serta terutama
melibatkan wajah dan bahu. Gerenjit dapat tertekan sebentar, tetapi kejang parsial
tidak dapat dikendalikan. EEG dapat menunjukkan gelombang paku atau
gelombang tajam unilateral atau bilateral, atau gambaran paku multifokal pada
penderita dengan kejang parsial sederhana, gelombang paku ombak di daerah
temporal tengah ( daerah Rolandik ).

5
Gambar 1. Manifestasi Epilepsi Parsial Sederhana

Jenis epilepsy ini mempunyai kekhususan tersendiri, yaitu prognosisnya


baik. Serangannya mudah diobati, dicegah dengan antikonvulsan, dan umumnya
akan sembuh pada umur 15 tahun.
Ciri dan jenis epilepsy ini adalah :

 Serangan pertama biasa terjadi antara usia 5 – 10 tahun.


 Serangan terutama terjadi sewaktu tidur.
 Respon terhadap obat antikonvulsan baik.
 Prognosis baik.
 Sumber ( focus ) epilepsinya adalah di daerah temporal tengah, pada satu
sisi atau pada kedua sisi di otak.
 Serangan – serangan kejang akan menghilang atau berhenti bila mencapai
usia remaja, demikian juga halnya dengan gelombang paku di daerah
temporal tengah yang terlihat pada pemeriksaan EEG akan menghilang.
 Anak dengan jenis epilepsy ini mempunyai inteligensi, tingkah laku, dan
kemampuan bersekolah yang tidak berbeda dengan populasi umum. Jenis
epilepsy ini cukup sering dijumpai.

6
Tanda Khas Epilepsi Parsial Kompleks
Kejang jenis ini disebut juga kejang psikomotor. Kejang ini dapat
didahului oleh kejang parsial sederhana dengan atau tanpa aura, disertai dengan
gangguan kesadaran atau sebaliknya, mulainya kejang parsial kompleks ini dapat
bersama dengan keadaan kesadaran yang berubah. Aura terdiri dari rasa tidak
enak, samar – samar, sedikit rasa tidak enak epigastrium, atau ketakutan pada
sekitar sepertiga anak. Kejang parsial ini sukar didokumentasikan pada bayi dan
anak, frekuensi hubungannya dengan kejang parsial kompleks mungkin kurang
terestimasi. Kesadaran terganggu pada anak dan bayi sukar dinilai.

Gambar 1. Manifestasi Epilepsi Parsial Komplek

7
Kejang parsial kompleks yang disertai gelombang tajam atau paku – paku
setempat EEG antar kejang lobus temporalis anterior, dan paku multifokus
merupakan temuan yang sering. Sekitar 20 % bayi dan anak dengan kejang parsial
kompleks mempunyai EEG antar kejang rutin normal. Daerah yang terkena
kejang parsial kompleks lebih luas dibandingkan dengan kejang parsial sederhana
dan biasanya didahului dengan aura.

Tanda Khas Epilepsi Parsial Kemudian Menjadi Umum


Bentuk kejang ini disebut juga status epilepsy fokal atau epilepsy parsial
kontinu. Bentuk kejang biasanya kejang klonik ( kelojotan ). Tiap bagian tubuh
dapat terlibat, misalnya tangan, muka, dan kaki. Kejang ini dapat terbatas dan
dapat pula menjalar ke bagian tubuh lainnya. Bila kejang bermula di ibu jari, ia
dapat menjalar ke jari lainnya, kemudian ke pergelangan tangan, ke lengan bawah,
lengan atas, muka, kemudian ke tungkai dan kaki.. Sehabis kejang sesekali
dijumpai bahwa otot yang terlibat lemah. Kelemahan ini umumnya pulih setelah
beberapa menit atau jam.

Tanda Khas Epilepsi Tonik Klonik Umum


Bangkitan grandmal disebut juga bangkitan tonik klonik umum atau
bangkitan mayor ( serangan besar ). Bangkitan grandmal merupakan jenis epilepsi
yang sering dijumpai. Serangan grandmal yang khas adalah sebagai berikut :
 Penderita secara mendadak menghilang kesadarannya, disertai kejang
tonik (badan dan anggota gerak menjadi kaku ), yang kemudian diikuti
oleh kejang klonik (badan dan anggota gerak berkejut - kejut, kelojotan ).
Bila penderita sedang berdiri sewaktu serangan mulai, ia akan jatuh seperti
benda mati.
 Bila kejang tonik kuat, udara dikeluarkan dengan kuat dari paru-paru
melalui pita suara sehingga terjadi bunyi yang disebut sebagai jeritan
epilepsy ( epileptic cry ).
 Sewaktu kejang tonik berlangsung, penderita menjadi sianosis karena
pernafasan terhenti dan terdapat pula kongesti pembuluh darah balik vena.
Biasanya fase kejang tonik ini berlangsung selama 20 – 60 detik.

8
Gambar 3. Epilepsi tonik-klonik umum

 Kemudian disusul oleh fase klonik. Pada fase ini terjadi kejang klonik
yang bersifat umum, melibatkan semua anggota gerak. Semua anggota
gerak pada fase klonik ini berkejang klonik ( kelojotan ) juga otot
pernafasan dan otot rahang. Pernafasan menjadi tidak teratur, tersendat -
sendat, dan dari mulut keluar busa. Lidah dapat tergigit waktu ini dan
penderita dapat pula mengompol.
 Bila penderita terbaring pada permukaan yang keras dan kasar, kejang
klonik dapat mengakibatkan luka – luka karena kepala digerak – gerakkan
sehingga terantuk – antuk dan luka. Biasanya fase klonik ini berlangsung
kira – kira 40 detik, tetapi dapat lebih lama.
 Setelah fase klonik ini penderita terbaring dalam koma. Fase koma ini
biasanya berlangsung kira – kira 1 menit. Setelah itu penderita tertidur,
yang lamanya bervariasi, dari beberapa menit sampai 1 – 3 jam. Bila pada
saat tidur ini dibangunkan ia mengeluh sakit kepala, dan ada pula yang
tampak bengong. Lama keadaan bengong ini berbeda –beda. Ada
penderita yang keadaan mentalnya segera pulih setelah beberapa menit
serangan selesai. Ada pula yang lebih lama, sampai beberapa jam atau

9
hari.
 Kelemahan umum, muntah, nyeri kepala hebat, pegal otot, gelisah, mudah
tersinggung, dan berbagai perubahan tingkah laku merupakan gejala pasca
serangan yang sering dijumpai. Gangguan pasca serangan ini dapat
berlangsung beberapa saat, namun dapat juga sampai beberapa jam.
Sesekali dijumpai keadaan dimana serangan grandmal timbul secara
beruntun, berturut – turut sebelum penderita pulih dari serangan
sebelumnya. Hal ini merupakan keadaan gawat darurat, dan disebut status
epileptikus. Dapat berakibat fatal, memautkan dan dapat pula
mengakibatkan terjadinya cacat pada penderitanya.

Tanda Khas Epilepsi Tonik Umum


Kejang ini biasanya terdapat pada BBLR dengan masa kehamilan kurang
dari 34 minggu dan pada bayi dengan komplikasi perinatal berat misalnya
perdarahan intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu :
 Pergerakan tonik satu ekstremitas, atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai sikap deseberasi atau
ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
 Juga ditemukaan adanya epileptic cry.

Gambar 4. Epilepsi tonik

10
Tanda Khas Epilepsi Klonik Umum

Kejang klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan


permulaan fokal dan multifokal yang berpindah – pindah. Bentuk klinis kejang
klonik fokal :
 Berlangsung 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan
kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik.
 Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio serebri akibat trauma
fokal pada bayi besar dan cukup bulan, atau oleh ensefalopati metabolic.
 Kejang klonik fokal sering diduga sebagai suatu keadaan gemetar
(jitteriness ).
 Pada BBL dengan kejang klonik fokal hendaknya dilakukan pemeriksaan
USG dan penatahan kepala untuk mengetahui apakah terjadi perdarahan
otak. Apabila pemeriksaan tersebut normal tetapi terdapat kelumpuhan
salah satu tungkai setelah kejang berhenti, penatahan kepala harus diulangi
1 minggu kemudian untuk mencari kemungkinan terjadinya infark serebri.
 Bentuk kejang ini merupakan gerakan klonik pada satu atau lebih anggota
gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang
klonik lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan.
 Kejang yang satu dengan yang lain sering berkesinambungan, seolah-olah
memberi kesan sebagai kejang umum.

Tanda Khas Epilepsi Absence


Jenis epilepsy ini dikenal juga dengan nama Petit mal. Jenis ini jarang
dijumpai. Nama lainnya ialah lena khas, lena sederhana ( simple absence ) atau
lena murni ( pure absence ). Serangan petit mal berlangsung singkat hanya
beberapa detik 5-15 detik. Pada serangan petit mal terdapat hal berikut:
 Penderita tiba-tiba berhenti melakukan apa yang sedang ia lakukan
(misalnya makan, bermain, berbicara, membaca )
 Pandangan kosong, melongo ( staring ). Pada saat ini ia tidak bereaksi
bila diajak bicara atau bila dipanggil, karena ia tidak sadar.
 Setelah beberapa detik ia kemudian sadar dan melanjutkan lagi apa
yang sedang ia lakukan sebelum serangan terjadi.

11
Jadi pada serangan petit mal didapatkan menghilangnya kesadaran yang
berlangsung mendadak dan singkat. Waktu serangan terjadi penderita tidak jatuh,
biasanya ia agak terhuyung. Tidak didapatkan aura, dan pasien tidak ngompol
sewaktu serangan. Faktor turunan ( hereditas ) besar peranannya pada petit mal.
Pada 75 % anak kembar satu telur yang menderita petit mal kembarannya juga
menderita petit mal. Kira –kira sepertiga penderita petit mal mempunyai anggota
keluarga yang juga petit mal atau grandmal terutama saudara kandung dan orang
tuanya.

Gambar 5. Epilepsi Absence (Petit Mal Seizure)

Tanda Khas Epilepsi Atonik


Biasanya disebut juga dengan bangkitan akinetik ( serangan jatuh ).
Epilepsi ini biasanya mulai antara 2 – 5 tahun. Pada jenis ini sewaktu serangan
penderitanya tiba – tiba secara mendadak jatuh. Hal ini dapat menyebabkan
giginya patah dan kepalanya luka. Bila misalnya penderita sedang duduk di depan
meja sewaktu serangan datang, maka ia dapat secara mendadak tidak berdaya dan
kepala terbentur pada meja.
Pada serangan atonik ini didapatkan menghilangnya secara mendadak
tenaga otot – otot yang mempertahankan sikap. Pada serangan ini tenaga otot –
otot yang mempertahankan sikap secara mendadak hilang yang berlangsung

12
singkat. Bila penderita kebetulan sedang berdiri pada waktu serangan datang,
maka ia akan jatuh. Serangan ini disebut juga serangan jatuh ( drop – attack ).

Tanda Khas Epilepsi Mioklonik


Epilepsi masa anak ditandai dengan kejang berulang yang terdiri dari
kontraksi otot sebentar, sering kontraksi otot simetris dengan kehilangan tonus
tubuh dan jatuh atau menelungkup ke depan.

Gambar 6. Epilepsi Juvenile Mioklonik.

Untuk menentukan apakah seorang menderita bangkitan kejang atau


epilepsi biasanya tidak sukar, asal kita dapat menyaksikan sendiri serangan
tersebut atau dapat memperoleh anamnesis yang dapat dipercaya. Kesukarannya
ialah menentukan penyakit atau kelainan yang menyebabkan terjadinya bangkitan
kejang atau epilepsi. Tiap penderita harus diperiksa secara teliti dengan
melakukan anamnesis , pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan.

2.6 Diagnosis
A. Anamnesa
Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk didiagnosa, dan
kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosis seringkali terjadi. Ketepatan

13
diagnosis pada pasien dengan epilepsi bergantung terutama pada penegakan
terhadap gambaran yang jelas baik dari pasien maupun dari saksi. Hal ini
mengarahkan pada diagnosis gangguan kesadaran. Seseorang harus menelusuri
secara teliti tentang bagaimana perasaan pasien sebelum gangguan, selama
(apabila pasien sadar) dan setelah serangan, dan juga memperoleh penjelasan
yang jelas tentang apa yang dilakukan pasien setiap tahap kejang dari seorang
saksi. Seseorang tidak dapat langsung menegakkan diagnosa hanya dengan
gejala klinis yang ada melalui penilaian serangan. Pemeriksaan, seperti EEG,
sebaiknya digunakan untuk menunjang perkiraan diagnostik yang didasarkan
pada informasi klinis. Diagnostik secara tepat selalu jauh lebih sulit dilakukan
pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran tanpa adanya saksi mata
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut:6
a. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama
ini?
b. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak
enak pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi?
c. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung?
d. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi?
e. Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik
yang dimulai dari satu sisi tubuh?
f. Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung?
g. Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi?
h. Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ?
i. Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh?
j. Apakah lidah tergigit?
k. Apakah pasien mengompol ?
l. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung?
m. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari?
n. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh
karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan
dan minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan
minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara

14
suara tertentu. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling
dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah
serangan kejang.
o. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu
untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat
obat-obat anti kejang.
p. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ?
q. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan
kejang?

Di luar dari temuan akurat yang berkaitan dengan serangan, terdapat


banyak informasi lebih lanjut yang perlu ditelusuri melalui anamnesis dan
pemeriksaan. Jika serangan tersebut diduga akan berlanjut sebagai epilepsi,
penelusuran harus disusun sesuai dengan penyebab epilepsi. Epilepsi umum
primer-tonik-klonik umum primer, bangkitan absen dan mioklonik, dengan
atau tanpa fotosensitivitas-memiliki kaitan dengan keluarga, sehingga bertanya
mungkin akan mengungkap anggota keluarga lainnya yang juga menderita
serangan epilepsi. Epilepsi fokal bentuk apapun memperlihatkan adanya
patologi intrakranial. Patologi paling umum yang dimaksud adalah
pembentukan jaringan ikat pada satu daerah yang merupakan kelanjutan dari
beberapa proses perjalanan penyakit aktif sebelumnya, meskipun kadang-
kadang serangan epilepsi mungkin terjadi ketika terdapat proses patologi yang
masih berlangsung di fase aktif.
- Setelah trauma otak saat melahirkan;
- Setelah trauma pada otak dan kepala;
- Selama atau setelah meningitis, ensefalitis, atau abses otak;
- Pada saat atau sisa dari infark serebri, perdarahan serebral, atau
perdarahan sub arachnoid;
- Hasil dari trauma bedah yang tak terhindarkan.
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu dintanyakan
kepada pasien maupun saksi:
- Family history

15
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory
- Focal neurological symptoms and signs

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda – tanda vital
meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu tubuh harus diperiksa,
karena demam merupakan penyebab utama kejang pada anak – anak. Periksa
kepala apakah ada kelainan bentuk, tanda – tanda trauma kepala, serta tanda –
tanda peningkatan tekanan intrakranial. Periksa leher apakah terdapat kaku kuduk.
Pemeriksaan neurologis secara menyeluruh juga penting dilakukan7.

C. Pemeriksaan Penunjang7,8
Penentuan ada tidaknya kejang ditentukan oleh kondisi klinis pasien yang
tepat sesuai klinis, tetapi pemeriksaan penunjang juga dapat membantu dalam
mempertajam diagnosis dari kejang tersebut7. Menurut Rekomendasi UKK
Neurologi IDAI 2016, pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab kejang. Pemeriksaan laboratorium yang
dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
Pada Status Epileptikus pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengetahui
penyebab terjadinya. Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang
ditujukan selain untuk mencari etiologi kejang, juga untuk mencari komplikasi
akibat kejang yang lama. Jenis pemeriksaan laboratorium ditentukan sesuai
kebutuhan. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama kali
adalah kadar glukosa darah, elektrolit, hitung jenis, dan protrombin time.
Beberapa peneliti lain menganjurkan standar pemeriksaan laboratorium yaitu
darah tepi lengkap, elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, kalsium, dan
magnesium. Bila dicurigai adanya meningitis bakterial, lakukan pemeriksaan
kultur darah, dan kultur cairan serebrospinal. Bila dicurigai adanya

16
ensefalitis, lakukan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus
herpes simpleks.
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang disertai
penurunan status kesadaran / mental, perdarahan kulit, kuduk kaku, kejang lama,
gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya faktor
pencetus yang jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam
untuk memastikan adanya infeksi SSP. Bila didapatkan kelainan neurologis fokal
dan adanya peningkatan tekanan intrakranial, dianjurkan memeriksakan CT scan
kepala terlebih dahulu, untuk mencegah terjadinya risiko herniasi.
Menurut rekomendasi American Academy of Pediatrics, pungsi lumbal
sangat dianjurkan pada serangan pertama kejang disertai demam pada anak usia di
bawah 12 bulan, karena meningitis pada kelompok usia ini dapat menunjukkan
gejala klinis yang minimal atau bahkan tidak ada. Pada anak usia 12 – 18 bulan
lumbal pungsi dianjurkan, sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan lumbal pungsi
dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi intrakranial (meningitis).
Pemeriksaan CT scan kepala dilakukan pada anak dengan kecurigaan
trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, tumor, perdarahan intrakranial pada
kelainan pembekuan darah (APCD – aquired prothrombine complexdeficiency).
MRI dilakukan bila kelainannya mengenai batang otak, atau dicurigai adanya
adanya tumor otak atau gangguan mielinisasi.
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) segera setelah kejang dalam 24
sampai 48 jam, atau sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam
kelainan. Beratnya kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya
manifestasi klinis. Gambaran EEG akan memperlihatkan gelombang iktal
epileptiform. Normal atau kelainan ringan pada EEG merupakan indikasi baik
terhadap kemungkinan bebasnya kejang setelah obat antiepilepsi dihentikan.
.
2.7 Diagnosis Banding
Ketika anak menampakkan gejala klinis seperti kejang, maka pemeriksa
harus segera menentukkan sebab dari kejang tersebut. Penting untuk mengetahui
apakah yang dialami seorang anak benar adalah kejang atau bukan kejang. Berikut
adalah beberapa kondisi pediatrik yang dapat disalahartikan sebagai kejang :7

17
1. Sinkop
Sinkop biasanya didahului oleh dizziness, pandangan yang kabur, penderita
tahu jika sebentar lagi akan kehilangan kesadaran, dan pucat. Sinkop biasanya
terjadi pada siang hari dan posisi penderita sedang berdiri. Sedangkan kejang
terjadi secara tiba – tiba, kapan saja, dan dimana saja.

2. Breath holding spells


Breath holding spells merupakam salah satu episode apnea pada anak –
anak, biasanya berkaitan dengan penurunan kesadaran. Breath holding spells
terjadi pada 5% anak – anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun. Ada beberapa tipe
dari Breath holding spells yang menyerupai episode kejang, yaitu cyanotic spell
dan pallid spell. Pada cyanotic spell, anak menangis kuat diikuti dengan menahan
napas, sianosis, rigiditas otot dan pincang, serta seringkali disertai dengan gerakan
seperti kejang pada ekstremitas. Pallid spell terjadi dengan rangsangan nyeri,
diikuti dengan penderita tampak pucat dan kehilangan kesadaran yang singkat.

3. Migrain
Pada anak dengan migrain, anak dapat kehilangan kesadaran, yang sering
diawali dengan pandangan kabur, dizziness, dan kehilangan postur tubuh.

4. Paroxysmal movement disorders


Paroxysmal movement disorders melibatkan aktivitas motorik yang
abnormal dan dapat menyerupai kejang dan penurunan kesadaran jarang terjadi.
Tics adalah gerakan berulang dan singkat dan dapat terjadi pada bagian tubuh
manapun. Tics muncul terutama pada keadaan stres dan biasanya dapat ditekan
kemunculannya. Shuddering attacks adalah tremor pada seluruh tubuh yang
berlangsung selama beberapa detik dan setelah itu kembali ke aktivitas normal.
Distonia akut ditandai dengan kontraksi wajah dan batang tubuh secara involunter
dengan postur yang abnormal dan wajah yang meringis.

18
5. Pseudoseizures
Pseudoseizures dapat muncul dengan gerakan seperti pada paroxysmal
movement disorders. Pseudoseizures sulit dibedakan dengan kejang yang
sebenarnya dan sering terjadi pada anak – anak dengan riwayat epilepsi.

6. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat dibedakan dengan kejang dengan melihat karaterisktik
perubahan perilaku yang terjadi. Night terrors terjadi pada anak usia sebelum
masuk sekolah. Anak tiba – tiba terbangun dari tidurnya, diikuti dengan
menangis, berteriak dan tidak bisa didiamkan. Lalu anak kembali ke tidurnya dan
tidak dapat mengingat kejadian tersebut. Sleepwalking atau somnabulisme dapat
ditemukan pada anak usia sekolah yang terbangun dari tidurnya dan berjalan tanpa
tujuan dan disertai dengan pandangan kosong lalu anak tersebut kembali ke
tidurnya. Narcolepsy sering ditemukan pada anak usia remaja dengan perubahan
kesadaran disertai rasa kantuk tak tertahan. Narcolepsy sering disertai dengan
katapleksi, yaitu kehilangan tonus otot secara tiba – tiba

2.8 Tatalaksana
a. Penilaian Awal
Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang
adalah untuk menilai dan mendukung saluran napas, pernapasan dan sirkulasi.
Ini akan memastikan bahwa kejang tidak membahayakan pasokan darah
beroksigen ke otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadap
hipoksia dan atau iskemia. Penilaian awal terdiri dari :
1. Airway
Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama. Lakukan penilaian
patensi jalan napas dengan metode look, listen dan feel. Jika jalan napas
tidak bebas, maka kita harus membuka dan menjaganya dengan cara head
tilt- chin lift atau jaw thrust manuver dan memberikan ventilasi dengan bag-
valve-mask jika perlu. Jika jalan napas terganggu karena kejang,
mengendalikan kejang dengan antikonvulsan umumnya akan mengontrol

19
jalan napas. Bahkan jika jalan napas telah bebas, orofaring mungkin perlu
dibersihkan dari sekret oleh suction.
2. Breathing
Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari laju pernapasan, suara
napas yang merintih, ekspansi dada, denyut jantung dan warna kulit.
Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan pulse oksimetry.
Jika anak menderita hipoventilasi, respirasi harus didukung dengan oksigen
melalui perangkat bag-valve - mask.
3. Circulation
Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi denyut nadi.
Capillary refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis serta akral yang
dingin menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak adekuat. Jika perlu, lakukan
pemberian cairan intravena. Jika akses pembuluh darah tidak dapat diperoleh,
pemberian antikonvulsan harus diberikan melalui rektal, intramuskular atau
rute bukal. Intraosseous acces (IO) dipergunakan pada anak-anak dengan
tanda-tanda syok jika akses intravena tidak dapat diperoleh. Akses IO mungkin
dibutuhkan untuk administrasi long acting antikonvulsan jika tidak ada akses
intravena setelah dua dosis benzodiazepin. Berikan 20 mL/kg BB bolus cepat
normal saline untuk setiap pasien dengan tanda-tanda syok, lalu periksa
tekanan darah segera setelah pemberian normal saline atau setelah kejang
selesai. Pengambilan tes glukosa darah dan uji laboratorium tetap diperlukan.
Jika terdapat hipoglikemi berikan dextrose 10% sebanyak 5 mL/kg untuk
pasien yang hipoglikemi tersebut.

4. Disability
Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice,Pain,
Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yang disertai
dengan penurunan kesadaran. Ukuran dan reaksi pupil harus diperhatikan.
Perubahan pupil dapat terjadi selama kejang tetapi mungkin juga hasil dari
keracunan opiat, amfetamin, atropin dan trisiklik atau peningkatan tekanan
intrakranial. Perhatikan tanda-tanda defisit neurologis fokal, baik selama atau
setelah kejang dan perhatikan postur anak, apakah terdapat dekortikasi atau

20
deserebrasi sikap dimana sebelumnya postur anak normal. Hal ini
menunjukan bahwa terdapat peningkatan tekanan intrakranial, tetapi postur
ini kadang dapat keliru untuk fase tonik-klonik. Carilah kaku kuduk pada
anak dan fontanelle yang membubung pada bayi, yang dapat menunjukkan
tanda – tanda meningitis. Perlu diingat bahwa penggunaan berkepanjangan
atau berulang-ulang dari obat anti konvulsan dapat menyebabkan depresi
kesadaran.

5. Exposure
Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera.

b. Menilai kembali ABC


Tanda-tanda vital harus dinilai ulang setiap 15 menit sementara kejang
berlangsung atau setiap 30 menit setelah kejang sampai tingkat kesadaran
kembali ke normal atau setelah setiap pemberian dosis obat anti – epilepsi.
Jika memungkinkan beri pula pemantauan dengan ECG dan pulse-oksimetri.

c. Medikasi pada kejadian akut (first dan second line anticonvulsant)


Pengobatan dengan obat anti kejang diberikan setelah ABC di stabilisasi.
Dahulu di tahun 1960an obat antiepilepsi yang digunakan dalam pengelolaan
kejang telah berkembang karena ketersediaan obat diazepam intravena.
Sekarang obat anti kejang yang menjadi pilihan pertama adalah benzodiazepin.
Hal ini dikarenakan benzodiazepin dapat dengan cepat mengkontrol kejang
dengan efek samping yang minimal. Selain itu benzodiazepin dapat diberikan
dari beberapa rute dan dapat diberikan kembali dalam waktu singkat.
Dalam pemilihan obat anti konvulsan, hasil yang diinginkan adalah yang
paling cepat menghentikan kejang akut dengan efek samping terkecil dan biaya
yang minimal. Persyaratan obat tersebut belumlah cukup karena harus pula
meliputi kemudahan pemberian dan tersedianya obat tersebut di pasaran.
Pengobatan dini sangat penting,karena setelah kejang ditetapkan selama lebih
dari 15 menit, penangannanya akan lebih sulit.

21
Gambar 2. Algoritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus pada anak

Penghentian kejang dibagi berdasarkan waktu: 0 – 5 menit, 5 – 10 menit,


10 – 30 menit dan > 30 menit. Pembagian ini untuk membedakan tindakan yang
dilakukan, pemberian obat-obatan dan menilai apakah pasien sudah masuk
kedalam SE atau bahkan sudah menjadi SE refrakter.
Penghentian kejang
Pembagian waktu penghentian kejang dapat dilihat di bawah ini:8

1.5 menit :
 Longgarkan pakaian pasien, dan miringkan. Letakkan kepala lebih rendah
dari tungkai untuk mencegah aspirasi bila pasien muntah

22
 Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik, berikan oksigen bila ada.
 Pada saat di rumah dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kg (berat badan
< 10 kg = 5 mg; sedangkan bila berat badan > 10 kg =10 mg). Dosis
maksimal adalah 10 mg / dosis.
 Maksimal dapat diberikan 2 kali dengan interval 5 menit
 Bila keadaan pasien stabil, pasien dibawa ke rumah sakit terdekat.

5-10 menit
 Bila saat tiba di rumah sakit pasien kejang kembali. Dapat diberikan
diazepam rektal 1 kali dengan dosis yang sama.
 Lakukan pemasangan akses intravena. Pengambilan darah untuk
pemeriksaan : darah rutin, glukosa, dan elektrolit
 Bila masih kejang berikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgbb secara intravena
(kecepatan 5 mg/menit),
 Jika didapatkan hipogikemi, berikan glukosa 25% 2 mL/kg berat badan

10 – 30 menit
 Cenderung menjadi status konvulsifus
 Berikan fenitoin 20 mg/kg intravena dengan pengenceran setiap 10 mg
fenitoin diencerkan dengan 1 mL NaCl 0,9 % dan diberikan dengan
kecepatan 50 mg/menit. Dosis maksimal adalah 1000 mg fenitoin.
 Bila kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20 mg/kg intravena bolus
perlahan–lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dosis maksimal yang
diberikan adalah 1000 mg fenobarbital.
 Bila kejang masih berlangsung diberikan midazolam 0,2 mg/kg diberikan
bolus perlahan dilanjutkan dengan dosis 0,02 – 0,06 mg/kg/jam yang
diberikan secara drip. Cairan dibuat dengan cara 15 mg midazolam berupa
mL midazolam diencerkan dengan 12 mL NaCl 0,9 % menjadi 15 mL
larutan dan diberikan perdrip dengan kecepatan 1 mL/jam (1 mg/jam).

>30 menit
 Bila kejang berhenti dengan pemberian fenitoin dan selama perawatan
timbul kejang kembali diberikan fenitoin tambahan dengan dosis 10 mg/kg

23
intravena dengan pengenceran. Dosis rumatan fenitoin selanjutnya adalah 5
– 7 mg/kg intravena dengan penegnceran diberikan 12 jam kemudian. .
 Bila kejang berhenti dengan fenobarbital dan selama perawatan timbul
kejang kembali diberikan fenobarbital tambahan dengan dosis 10 mg/kg
intravena secara bolus langsung. Dosis rumatan fenobarbital adalah 5 – 7
mg/kg intravena diberikan 12 jam kemudian
 Bila kejang berhenti dengan midazolam, maka rumatan fenitoin dan
fenobarbital tetap diberikan.
 Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan kebutuhan seperti analisis
gas darah, elektrolit, gula darah. Dilakukan koreksi terhadap kelainan yang
ada dan awasi tanda-tanda depresi pernapasan.

Tabel 2. Obat obat yang sering digunakan dalam penghentian kejang

2.9 Prognosis
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita defisit
neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang
mengalami SE akan mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus
yang terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda,

24
ensefalopati progresif, etiologi simtomatis remote, sindrom epilepsi2. Disamping
itu, evaluasi penyebab SE sangat penting untuk menentukan prognosis.

25
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. MD
Anak ke :2
Umur : 4 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Nama ayah / ibu :-
Alamat : Nan Balimo
Tanggal ke RS : 7 Februari 2020
Tanggal pemeriksaan : -

1.2 Anamnesis

3.2.1 Keluhan Utama


Kejang seluruh tubuh saat dirawat di rumah sakit

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


 Pasien dirawat dirumah sakit sejak 6 hari sebelum kejang. Dirawat dengan
diagnosa akhir Severe Bacterial Infeksi.
 Selama rawatan pasien mengalami demam yang naik turun, tidak mau
menyusu. Suhu paling tinggu selama rawatan adalah 38,5°C
 6 hari setelah dirawat dengan demam pasien mengalami kejang di hari itu,
dengan kejang pada seluruh tubuh selama 5 menit dan setelah jeda 2 menit,
pasien kejang kembali selama 30 menit. Pasien tidak sadar dan setelah
kejang pasien tidak respon.
 Penurunan nafsu makan (+)
 Pasien kurang aktif
 Saat kejang pasien tidak ada demam
 Tidak ada diare
 Muntah tidak ada

26
 BAB tidak ada kelainan
 BAK tidak ada kelainan
 Riwayat trauma kepala sebelumnya tidak ada

3.2.3 Riwayat Pengobatan


 Ceftazidime 4x150 mg
 Gentamicin 1x30mg
 Meropenem 3x250mg+drip NaCl 20cchabis 3 jam
 PRC 125 ml + lasix 3 mg
3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat kejang sebelumnya tidak ada

3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama
3.2.6 Riwayat Kehamilan
 Riwayat ibu mengalami infeksi saat kehamilan disangkal
 Riwayat ibu menggunakan obat-obatan saat kehamilan tidak ada.
 Riwayat ibu merokok dan mengonsumsi alkohol selama hamil tidak ada
 Riwayat ibu terkena paparan radiasi selama hamil tidak ada

3.2.7 Riwayat Persalinan


 Lama hamil : Cukup bulan
 Cara lahir : SC
 Indikasi :-
 Ditolong oleh : Dokter
 Berat lahir : 2.900 gram
 Panjang lahir : 48 cm
 Saat lahir : langsung menangis

Kesan : Tidak ada morbiditas perinatal

27
3.2.6 Riwayat Makanan dan Minuman
 Bayi
o ASI/SF : usia 0-sekarang
o Bubur susu : -
o Nasi tim : -
Kesan: Terdapat penurunan kuantitas nutrisi selama sakit
3.2.7 Riwayat Imunisasi

Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)


BCG 1 -
DPT 1 2 -
2 3 -
3 4 -
Polio 1 1
-
2 2
-
3 3
-
4 4
Hepatitis B 1 0 -
2 2 -
3 3 -
Haemofilus influenza B 1 - -
2 - -
3 - -
Campak - -

Kesan: Imunisasi dasar lengkap sesuai usia

3.2.8 Riwayat Keluarga

Ayah Ibu
Nama Tn. S Ny. D
Umur 33 tahun 32 tahun
Pendidikan - -
Pekerjaan Swasta IRT
Penghasilan - -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita - -

No. Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang


1 Kafi, LK 3 tahun Sehat
2
3

28
3.2.9 Riwayat Perumahan dan Lingkungan
 Rumah tempat tinggal : Rumah kontrakan, semi permanen
 Sumber air minum : Air galon
 Buang air besar : Jamban dalam rumah
 Pekarangan : sempit
 Sampah : Dikumpulkan dan dibakar dibelakang rumah
 Kesan : Higiene dan sanitasi kurang baik

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Umum
 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : Delirium, E2M3V2
 Tekanan darah :-
 Frekuensi nadi : 86 x/menit
 Frekuensi napas : 32 x/menit
 Suhu : 37,0°C
 Edema : tidak ada
 Ikterus : tidak ada
 Anemia : ada
 Sianosis : tidak ada
 Lingkar kepala : 41 cm
 Berat badan : 6,8 kg
 Tinggi badan : 66 cm
 BB/U : diantara -2 dan + 2 SD (Berat badan cukup)
 TB/U : diantara -2 dan + 2 SD (Perawakan normal)
 BB/TB : diantara -2 dan + 2 SD (Gizi baik)
 Status Gizi : Gizi baik, Perawakan normal

29
30
31
32
3.3.2 Khusus
 Kulit : Warna kuning langsat, tidak terdapat lesi dan
kelainan lainnya, teraba hangat
 Kelenjar getah bening : Tidak terlihat dan tidak teraba pembesaran
kelenjar getah bening
 Kepala : Bulat, simetris, Normocephale LK : 41 cm,
UUB datar
 Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
 Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
edema palpebra(-/-), pupil isokor, refleks cahaya
(+/+),
 Telinga : sekret tidak ada
 Hidung : Napas cuping hidung tidak ada
 Gigi dan mulut : Mukosa bibir dan mulut basah, sianosis sirkum oral
tidak ada
 Leher : Tidak ada kelainan, KGB tidak membesar
 Toraks
o Paru
 Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
 Palpasi : fremitus sama kiri dan kanan
 Perkusi : sonor
 Auskultasi : suara napas vesikuler, Rh -/- , Wh -/-
o Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba di RIC V 1 jari medial LMCS
 Perkusi : Batas jantung normal
 Auskultasi : irama reguler, bising tidak ada
 Abdomen
o Inspeksi : Distensi tidak ada
o Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal

33
 Punggung : Tidak terdapat kelainan
 Genitalia : Tidak ada kelainan genitalia
 Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik

3.3.3 Pemeriksaan Neurologis


Fungsi motorik
Reflex fisiologis:
- Reflex triceps (+/+)
- Reflex biseps (+/+)
- Refleks patella (+/+)
- Reflex achilees (+/+)
Reflex patologis:
- Reflex Hoffman dan tromner (-/-)
- Reflex Babinski (-/-)
- Reflex chaddock (-/-)
- Reflex Oppenheim (-/-)
- Refleks Gordon (-/-)
- Refleks Schaefer (-/-)
Gejala rangsang meningeal
- Kaku kuduk (-)
- Brudzinsky I (-)
- Kernig (-)
- Brudzinsky II (-)

3.3.4 Pemeriksaan Laboratorium (7 Februari 2020)

Darah Rutin

Hb 8,7 g/dl

Leukosit 3.480/mm3

Trombosit 700.000/mm3

34
Hematokrit 25,7 %

MCV 73,9 fl
MCH 25 pg/cell
MCHC 33,9 g/dL
RDW-CV 14,5%

Elektrolit Serum
Na 135 mEq/L
K 5 mEq/L
Cl 105 mEq/L

10 Feb 2020

Darah Rutin

Hb 6,8 g/dl
Leukosit 19.200/mm3
Trombosit 1.242.000/mm3
Hematokrit 20,8 %

MCV 74,3 fl
MCH 24,3 pg/cell
MCHC 33,7 %
RDW-CV 14,5 %

Elektrolit Serum
Na 140 mEq/L
K 7,2 mEq/L
Cl 107 mEq/L

Procalcitonin 0,54 mg/dL

13 Feb 2020, 16.00

Darah Rutin

Hb 14,3 g/dl
Leukosit 5.420/mm3
Trombosit 956.000/mm3
Hematokrit 41,9 %

MCV 77,3 fl
MCH 26,4 pg/cell

35
MCHC 34,1 %
RDW-CV 15,8 %

Elektrolit Serum
Na 140 mEq/L
K 7,2 mEq/L
Cl 107 mEq/L

3.3.5 Pemeriksaan Penunjang Lainnya


-
3.3.6 Diagnosis Kerja
 Status Epileptikus
 Sepsis

3.3.7 Penatalaksanaan
 Medikamentosa :
o O2 2 L/menit
o Diazepam supp 5 mg
o Drip fenitoin 125 mg dalam 50 cc NaCl 0,9%  habis dalam 30
menit
o Inj. Diazepam 1,5 mg bolus pelan
o Inj. Fenitoin 2x15 mg encerkan

Jarak 2 menit pasien kembali kejang, lalu diberikan :


o Diazepam 1,5 mg bolus lambat 1-2 menit
o Drip Fenitoin 125 mg dalam 50cc NaClhabis 30 menit
kejang berhenti, pasien pindah HCU
Pasien sadar ± 4 jam setelah kejang
 Non Medikamentosa :
- IVFD KaEn IB 680cc /hari  7 tpm
- Bila pasien sudah jangan langsung diberikan makan terlebih dahulu,
biarkan puasa beberapa saat lalu berikan makanan sesuai kebutuhan
kalori pasien yaitu 750 kkal.

36
3.3.8 Follow Up

14 Feb 2020
S/Demam (-), Kejang (-), Muntah (-), Rewel (-)
O/Pasien sadar, TTV stabil, TRM (-), UUB datar
A/ - Riw. Kejang e.c encephalopati sepsis DD/meningitis
- Anemia
- Severe bacterial infection
P/ Meropenem (5)
Gentamicin (5)
Dexametason (1) 4x1 mg (iv)
Fenitoin 2x15 mg (iv)
O2  Stop
Pindah ruang rawat biasa

15 Feb 2020
S/Demam (-), kejang (-)
O/Pasien sadar, TTV stabil, TRM (-)
A/ Riw. Kejang e.c encephalopati sepsis DD/meningitis
P/Terapi lanjut

16 Feb 2020
S/Demam (-), kejang (-)
O/TTV stabil, TRM (-)
A/ Riw. Kejang e.c encephalopati sepsis DD/meningitis
P/Terapi lanjut

17 Feb 2020
S/Demam tidak ada, kejang tidak ada, menyusu ada
O/pasien sadar, TTV stabil
A/ - Riw. Kejang e.c encephalopati sepsis DD/meningitis

37
- Severe bacterial infection
P/ Pasien boleh pulang

BAB IV
ANALISA KASUS

38
Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 4 bulan di Bangsal
Anak RSUD M. Natsir Solok dengan keluhan kejang seluruh tubuh saat
dirawat di rumah sakit. Kejang terjadi pada seluruh tubuh selama 5 menit
dan setelah jeda 2 menit, pasien kejang kembali selama 30 menit. Pasien
tidak sadar dan setelah kejang pasien tidak respon.
Berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan fisik didapatkan keluhan kejang
mengarah pada Status Epileptikus. Kejang pada pasien berupa tonik-klonik umum
(Generalized Tonic-Clonic) yang merupakan bentuk status epileptikus yang paling
sering dijumpai. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya Tanda Rangsang
Meningeal (+), sehingga penyebab kejang karena infeksi SSP dapat disingkirkan.
Pasien dengan riwayat demam lama, dengan hasil pemeriksaan penunjang
menunjukkan infeksi yang berat, sehingga penyebab kejang pada pasien diduga
karena ensefalopati sepsis. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sudah tepat,
dimana untuk status epileptikus dianjurkan untuk dilakukakn pemeriksaan darah
perifer lengkap dan elektrolit serum untuk mengetahui etiologi kejang.
Terapi medikamentosa yang diberikan adalah O2 2 L/menit, Diazepam
supp 5mg, bolus pelan diazepam 1,5mg, drip fenitoin 125 mg dalam 50cc NaCl
0,9% habis dalam 30 menit, inj. Diazepam 1,5 mg bolus pelan. Penatalaksanaan
tersebut sudah benar dimana O2 diberikan agar kejang tidak membahayakan
pasokan O2 darah ke otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadap
hipoksia dan atau iskemia. Pemberian diazepam suppose 5mg dan bolus pelan
diazepam 1,5mg juga sudah tepat dengan algoritma penatalaksanaan kejang pada
SE dimana pada BB <12kg diberikan 5mg diazepam suppose, serta bolus pelan
diazepam 0,2-0,5mg/kgBB. Kejang pada pasien sempat berhenti selam 2 menit
lalu kejang kembali dan kejang berhenti setelah pemberian loading fenitoin.
Pemberian loading fenitoin dalam 50cc NaCl juga telah sesuai dengan algoritma
penatalaksanaan SE.
Prognosis pada pasien adalah quo ad vitam bonam karena dengan
penanganan yang tepat dan cepat pada SE tidak akan mengancam nyawa pasien.
Quo ad functionam dubia ad bonam karena pasien SE sering mengalami gejala
sisa dan dapat menyebabkan defisit neurologis permanen serta disabilitas
intelektual. Quo ad sanationam dubia ad bonam karena pada pasien mungkin saja

39
kejang dapat berulang bila terdapat faktor risiko yang dapat meningkatkan
kemungkinan berulang nya status epileptikus seperti adanya kelainan pada otak
(tumor, infeksi maupun trauma), adanya riwayat kejang lama atau kejang demam
kompleks, genetik serta onset pertama <1 tahun, sementara pada pasien ini tidak
terdapat faktor risiko tersebut kecuali usia onset pertama yaitu <1 tahun, sehingga
kemungkinan berulangnya kejang sangat kecil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Yilmaz BS, Okuyaz C, Komur M. Predictors of intractable childhood epilepsy.


Elsevier Pediatric Neurology. 2013 : 48, p: 52-55.

40
2. Ismael S, Pusponegoro H, dkk. Rekomendasi Penatalaksanaan Status
Epileptikus..Badan Penerbit IDAI.2016

3. Sisodiya S.M, Duncan J : Epilepsy : Epidemiology, Clinical


Assessment,Investigation and Natural History, Medicine
International,2000(4);36-41.

4. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors): Pedoman Tatalaksana


Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi. 2005

5. Nia Kania, dr., SpA., MKes.Kejang pada Anak. AMC Hospital Bandung. 2007.

6. Ahmed Z, Spencer S.S: An Approach to the Evaluation of a Patient for


Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 2004 : 103(1) : 49-55.

7. Trinka E, Cock H, Hesdorffer D, Rossetti AO, Scheffer IE. A defenition and


classification of status epilepticus – report of ILAE task force on classification
of status epilepticus. Epilepsia. 2015: 56; 1515-23. 11.
8. Ram D, Martland. Management of convulsive status epilepticus in children. J
Paed. 2015: 06; 1-6

9. Hasan R, Alatas H. Buku ajar ilmu kesehatan anak.2011

10. Pardede S, Djer M, Soesanti F, dkk. Tatalaksana Berbagai Keadaan Gawat


Darurat pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak.FK UI. 2013

41

Anda mungkin juga menyukai