STATUS EPILEPTIKUS
Oleh :
Preseptor :
dr. Fetria Faisal, Sp. A
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
“Status Epileptikus” yang merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik dari Bagian
Ilmu Kesehatan Anak
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada dr. Fetria
Faisal, Sp. A selaku pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini tepat waktu demi memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior.
Penulis menyadari bahwa penulisan CRS ini masih jauh dari kata sempurna,
karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca untuk
penyempurnaan nya. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan................................................................................... 1
1.3 Manfaat Penulisan................................................................................. 2
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Manfaat Penulisan
1. Sebagai informasi dan menambah wawasan bagi masyarakat mengenai
Status Epileptikus
2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda untuk menjalankan
kepaniteraan klinik senior terutama di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
M. Natsir Solok.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan
angka kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-
klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Insidens SE pada
anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status epileptikus lebih sering
terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun dengan estimasi
insidens 1 per 1000 bayi3.
2.3 Etiologi
3
Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak
yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala,
infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di
otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan
metabolik dan kelainan neurodegeneratif4.
4
Atonik
Mioklonik
Serangan Epilepsi tak
teklasifikasikan
Tabel 1. Klasifikasi ILAE5.
5
Gambar 1. Manifestasi Epilepsi Parsial Sederhana
6
Tanda Khas Epilepsi Parsial Kompleks
Kejang jenis ini disebut juga kejang psikomotor. Kejang ini dapat
didahului oleh kejang parsial sederhana dengan atau tanpa aura, disertai dengan
gangguan kesadaran atau sebaliknya, mulainya kejang parsial kompleks ini dapat
bersama dengan keadaan kesadaran yang berubah. Aura terdiri dari rasa tidak
enak, samar – samar, sedikit rasa tidak enak epigastrium, atau ketakutan pada
sekitar sepertiga anak. Kejang parsial ini sukar didokumentasikan pada bayi dan
anak, frekuensi hubungannya dengan kejang parsial kompleks mungkin kurang
terestimasi. Kesadaran terganggu pada anak dan bayi sukar dinilai.
7
Kejang parsial kompleks yang disertai gelombang tajam atau paku – paku
setempat EEG antar kejang lobus temporalis anterior, dan paku multifokus
merupakan temuan yang sering. Sekitar 20 % bayi dan anak dengan kejang parsial
kompleks mempunyai EEG antar kejang rutin normal. Daerah yang terkena
kejang parsial kompleks lebih luas dibandingkan dengan kejang parsial sederhana
dan biasanya didahului dengan aura.
8
Gambar 3. Epilepsi tonik-klonik umum
Kemudian disusul oleh fase klonik. Pada fase ini terjadi kejang klonik
yang bersifat umum, melibatkan semua anggota gerak. Semua anggota
gerak pada fase klonik ini berkejang klonik ( kelojotan ) juga otot
pernafasan dan otot rahang. Pernafasan menjadi tidak teratur, tersendat -
sendat, dan dari mulut keluar busa. Lidah dapat tergigit waktu ini dan
penderita dapat pula mengompol.
Bila penderita terbaring pada permukaan yang keras dan kasar, kejang
klonik dapat mengakibatkan luka – luka karena kepala digerak – gerakkan
sehingga terantuk – antuk dan luka. Biasanya fase klonik ini berlangsung
kira – kira 40 detik, tetapi dapat lebih lama.
Setelah fase klonik ini penderita terbaring dalam koma. Fase koma ini
biasanya berlangsung kira – kira 1 menit. Setelah itu penderita tertidur,
yang lamanya bervariasi, dari beberapa menit sampai 1 – 3 jam. Bila pada
saat tidur ini dibangunkan ia mengeluh sakit kepala, dan ada pula yang
tampak bengong. Lama keadaan bengong ini berbeda –beda. Ada
penderita yang keadaan mentalnya segera pulih setelah beberapa menit
serangan selesai. Ada pula yang lebih lama, sampai beberapa jam atau
9
hari.
Kelemahan umum, muntah, nyeri kepala hebat, pegal otot, gelisah, mudah
tersinggung, dan berbagai perubahan tingkah laku merupakan gejala pasca
serangan yang sering dijumpai. Gangguan pasca serangan ini dapat
berlangsung beberapa saat, namun dapat juga sampai beberapa jam.
Sesekali dijumpai keadaan dimana serangan grandmal timbul secara
beruntun, berturut – turut sebelum penderita pulih dari serangan
sebelumnya. Hal ini merupakan keadaan gawat darurat, dan disebut status
epileptikus. Dapat berakibat fatal, memautkan dan dapat pula
mengakibatkan terjadinya cacat pada penderitanya.
10
Tanda Khas Epilepsi Klonik Umum
11
Jadi pada serangan petit mal didapatkan menghilangnya kesadaran yang
berlangsung mendadak dan singkat. Waktu serangan terjadi penderita tidak jatuh,
biasanya ia agak terhuyung. Tidak didapatkan aura, dan pasien tidak ngompol
sewaktu serangan. Faktor turunan ( hereditas ) besar peranannya pada petit mal.
Pada 75 % anak kembar satu telur yang menderita petit mal kembarannya juga
menderita petit mal. Kira –kira sepertiga penderita petit mal mempunyai anggota
keluarga yang juga petit mal atau grandmal terutama saudara kandung dan orang
tuanya.
12
singkat. Bila penderita kebetulan sedang berdiri pada waktu serangan datang,
maka ia akan jatuh. Serangan ini disebut juga serangan jatuh ( drop – attack ).
2.6 Diagnosis
A. Anamnesa
Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk didiagnosa, dan
kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosis seringkali terjadi. Ketepatan
13
diagnosis pada pasien dengan epilepsi bergantung terutama pada penegakan
terhadap gambaran yang jelas baik dari pasien maupun dari saksi. Hal ini
mengarahkan pada diagnosis gangguan kesadaran. Seseorang harus menelusuri
secara teliti tentang bagaimana perasaan pasien sebelum gangguan, selama
(apabila pasien sadar) dan setelah serangan, dan juga memperoleh penjelasan
yang jelas tentang apa yang dilakukan pasien setiap tahap kejang dari seorang
saksi. Seseorang tidak dapat langsung menegakkan diagnosa hanya dengan
gejala klinis yang ada melalui penilaian serangan. Pemeriksaan, seperti EEG,
sebaiknya digunakan untuk menunjang perkiraan diagnostik yang didasarkan
pada informasi klinis. Diagnostik secara tepat selalu jauh lebih sulit dilakukan
pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran tanpa adanya saksi mata
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut:6
a. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama
ini?
b. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak
enak pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi?
c. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung?
d. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi?
e. Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik
yang dimulai dari satu sisi tubuh?
f. Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung?
g. Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi?
h. Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ?
i. Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh?
j. Apakah lidah tergigit?
k. Apakah pasien mengompol ?
l. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung?
m. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari?
n. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh
karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan
dan minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan
minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara
14
suara tertentu. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling
dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah
serangan kejang.
o. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu
untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat
obat-obat anti kejang.
p. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ?
q. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan
kejang?
15
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory
- Focal neurological symptoms and signs
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda – tanda vital
meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu tubuh harus diperiksa,
karena demam merupakan penyebab utama kejang pada anak – anak. Periksa
kepala apakah ada kelainan bentuk, tanda – tanda trauma kepala, serta tanda –
tanda peningkatan tekanan intrakranial. Periksa leher apakah terdapat kaku kuduk.
Pemeriksaan neurologis secara menyeluruh juga penting dilakukan7.
C. Pemeriksaan Penunjang7,8
Penentuan ada tidaknya kejang ditentukan oleh kondisi klinis pasien yang
tepat sesuai klinis, tetapi pemeriksaan penunjang juga dapat membantu dalam
mempertajam diagnosis dari kejang tersebut7. Menurut Rekomendasi UKK
Neurologi IDAI 2016, pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab kejang. Pemeriksaan laboratorium yang
dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
Pada Status Epileptikus pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengetahui
penyebab terjadinya. Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang
ditujukan selain untuk mencari etiologi kejang, juga untuk mencari komplikasi
akibat kejang yang lama. Jenis pemeriksaan laboratorium ditentukan sesuai
kebutuhan. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama kali
adalah kadar glukosa darah, elektrolit, hitung jenis, dan protrombin time.
Beberapa peneliti lain menganjurkan standar pemeriksaan laboratorium yaitu
darah tepi lengkap, elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, kalsium, dan
magnesium. Bila dicurigai adanya meningitis bakterial, lakukan pemeriksaan
kultur darah, dan kultur cairan serebrospinal. Bila dicurigai adanya
16
ensefalitis, lakukan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus
herpes simpleks.
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang disertai
penurunan status kesadaran / mental, perdarahan kulit, kuduk kaku, kejang lama,
gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya faktor
pencetus yang jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam
untuk memastikan adanya infeksi SSP. Bila didapatkan kelainan neurologis fokal
dan adanya peningkatan tekanan intrakranial, dianjurkan memeriksakan CT scan
kepala terlebih dahulu, untuk mencegah terjadinya risiko herniasi.
Menurut rekomendasi American Academy of Pediatrics, pungsi lumbal
sangat dianjurkan pada serangan pertama kejang disertai demam pada anak usia di
bawah 12 bulan, karena meningitis pada kelompok usia ini dapat menunjukkan
gejala klinis yang minimal atau bahkan tidak ada. Pada anak usia 12 – 18 bulan
lumbal pungsi dianjurkan, sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan lumbal pungsi
dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi intrakranial (meningitis).
Pemeriksaan CT scan kepala dilakukan pada anak dengan kecurigaan
trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, tumor, perdarahan intrakranial pada
kelainan pembekuan darah (APCD – aquired prothrombine complexdeficiency).
MRI dilakukan bila kelainannya mengenai batang otak, atau dicurigai adanya
adanya tumor otak atau gangguan mielinisasi.
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) segera setelah kejang dalam 24
sampai 48 jam, atau sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam
kelainan. Beratnya kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya
manifestasi klinis. Gambaran EEG akan memperlihatkan gelombang iktal
epileptiform. Normal atau kelainan ringan pada EEG merupakan indikasi baik
terhadap kemungkinan bebasnya kejang setelah obat antiepilepsi dihentikan.
.
2.7 Diagnosis Banding
Ketika anak menampakkan gejala klinis seperti kejang, maka pemeriksa
harus segera menentukkan sebab dari kejang tersebut. Penting untuk mengetahui
apakah yang dialami seorang anak benar adalah kejang atau bukan kejang. Berikut
adalah beberapa kondisi pediatrik yang dapat disalahartikan sebagai kejang :7
17
1. Sinkop
Sinkop biasanya didahului oleh dizziness, pandangan yang kabur, penderita
tahu jika sebentar lagi akan kehilangan kesadaran, dan pucat. Sinkop biasanya
terjadi pada siang hari dan posisi penderita sedang berdiri. Sedangkan kejang
terjadi secara tiba – tiba, kapan saja, dan dimana saja.
3. Migrain
Pada anak dengan migrain, anak dapat kehilangan kesadaran, yang sering
diawali dengan pandangan kabur, dizziness, dan kehilangan postur tubuh.
18
5. Pseudoseizures
Pseudoseizures dapat muncul dengan gerakan seperti pada paroxysmal
movement disorders. Pseudoseizures sulit dibedakan dengan kejang yang
sebenarnya dan sering terjadi pada anak – anak dengan riwayat epilepsi.
6. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat dibedakan dengan kejang dengan melihat karaterisktik
perubahan perilaku yang terjadi. Night terrors terjadi pada anak usia sebelum
masuk sekolah. Anak tiba – tiba terbangun dari tidurnya, diikuti dengan
menangis, berteriak dan tidak bisa didiamkan. Lalu anak kembali ke tidurnya dan
tidak dapat mengingat kejadian tersebut. Sleepwalking atau somnabulisme dapat
ditemukan pada anak usia sekolah yang terbangun dari tidurnya dan berjalan tanpa
tujuan dan disertai dengan pandangan kosong lalu anak tersebut kembali ke
tidurnya. Narcolepsy sering ditemukan pada anak usia remaja dengan perubahan
kesadaran disertai rasa kantuk tak tertahan. Narcolepsy sering disertai dengan
katapleksi, yaitu kehilangan tonus otot secara tiba – tiba
2.8 Tatalaksana
a. Penilaian Awal
Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang
adalah untuk menilai dan mendukung saluran napas, pernapasan dan sirkulasi.
Ini akan memastikan bahwa kejang tidak membahayakan pasokan darah
beroksigen ke otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadap
hipoksia dan atau iskemia. Penilaian awal terdiri dari :
1. Airway
Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama. Lakukan penilaian
patensi jalan napas dengan metode look, listen dan feel. Jika jalan napas
tidak bebas, maka kita harus membuka dan menjaganya dengan cara head
tilt- chin lift atau jaw thrust manuver dan memberikan ventilasi dengan bag-
valve-mask jika perlu. Jika jalan napas terganggu karena kejang,
mengendalikan kejang dengan antikonvulsan umumnya akan mengontrol
19
jalan napas. Bahkan jika jalan napas telah bebas, orofaring mungkin perlu
dibersihkan dari sekret oleh suction.
2. Breathing
Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari laju pernapasan, suara
napas yang merintih, ekspansi dada, denyut jantung dan warna kulit.
Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan pulse oksimetry.
Jika anak menderita hipoventilasi, respirasi harus didukung dengan oksigen
melalui perangkat bag-valve - mask.
3. Circulation
Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi denyut nadi.
Capillary refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis serta akral yang
dingin menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak adekuat. Jika perlu, lakukan
pemberian cairan intravena. Jika akses pembuluh darah tidak dapat diperoleh,
pemberian antikonvulsan harus diberikan melalui rektal, intramuskular atau
rute bukal. Intraosseous acces (IO) dipergunakan pada anak-anak dengan
tanda-tanda syok jika akses intravena tidak dapat diperoleh. Akses IO mungkin
dibutuhkan untuk administrasi long acting antikonvulsan jika tidak ada akses
intravena setelah dua dosis benzodiazepin. Berikan 20 mL/kg BB bolus cepat
normal saline untuk setiap pasien dengan tanda-tanda syok, lalu periksa
tekanan darah segera setelah pemberian normal saline atau setelah kejang
selesai. Pengambilan tes glukosa darah dan uji laboratorium tetap diperlukan.
Jika terdapat hipoglikemi berikan dextrose 10% sebanyak 5 mL/kg untuk
pasien yang hipoglikemi tersebut.
4. Disability
Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice,Pain,
Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yang disertai
dengan penurunan kesadaran. Ukuran dan reaksi pupil harus diperhatikan.
Perubahan pupil dapat terjadi selama kejang tetapi mungkin juga hasil dari
keracunan opiat, amfetamin, atropin dan trisiklik atau peningkatan tekanan
intrakranial. Perhatikan tanda-tanda defisit neurologis fokal, baik selama atau
setelah kejang dan perhatikan postur anak, apakah terdapat dekortikasi atau
20
deserebrasi sikap dimana sebelumnya postur anak normal. Hal ini
menunjukan bahwa terdapat peningkatan tekanan intrakranial, tetapi postur
ini kadang dapat keliru untuk fase tonik-klonik. Carilah kaku kuduk pada
anak dan fontanelle yang membubung pada bayi, yang dapat menunjukkan
tanda – tanda meningitis. Perlu diingat bahwa penggunaan berkepanjangan
atau berulang-ulang dari obat anti konvulsan dapat menyebabkan depresi
kesadaran.
5. Exposure
Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera.
21
Gambar 2. Algoritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus pada anak
1.5 menit :
Longgarkan pakaian pasien, dan miringkan. Letakkan kepala lebih rendah
dari tungkai untuk mencegah aspirasi bila pasien muntah
22
Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik, berikan oksigen bila ada.
Pada saat di rumah dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kg (berat badan
< 10 kg = 5 mg; sedangkan bila berat badan > 10 kg =10 mg). Dosis
maksimal adalah 10 mg / dosis.
Maksimal dapat diberikan 2 kali dengan interval 5 menit
Bila keadaan pasien stabil, pasien dibawa ke rumah sakit terdekat.
5-10 menit
Bila saat tiba di rumah sakit pasien kejang kembali. Dapat diberikan
diazepam rektal 1 kali dengan dosis yang sama.
Lakukan pemasangan akses intravena. Pengambilan darah untuk
pemeriksaan : darah rutin, glukosa, dan elektrolit
Bila masih kejang berikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgbb secara intravena
(kecepatan 5 mg/menit),
Jika didapatkan hipogikemi, berikan glukosa 25% 2 mL/kg berat badan
10 – 30 menit
Cenderung menjadi status konvulsifus
Berikan fenitoin 20 mg/kg intravena dengan pengenceran setiap 10 mg
fenitoin diencerkan dengan 1 mL NaCl 0,9 % dan diberikan dengan
kecepatan 50 mg/menit. Dosis maksimal adalah 1000 mg fenitoin.
Bila kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20 mg/kg intravena bolus
perlahan–lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dosis maksimal yang
diberikan adalah 1000 mg fenobarbital.
Bila kejang masih berlangsung diberikan midazolam 0,2 mg/kg diberikan
bolus perlahan dilanjutkan dengan dosis 0,02 – 0,06 mg/kg/jam yang
diberikan secara drip. Cairan dibuat dengan cara 15 mg midazolam berupa
mL midazolam diencerkan dengan 12 mL NaCl 0,9 % menjadi 15 mL
larutan dan diberikan perdrip dengan kecepatan 1 mL/jam (1 mg/jam).
>30 menit
Bila kejang berhenti dengan pemberian fenitoin dan selama perawatan
timbul kejang kembali diberikan fenitoin tambahan dengan dosis 10 mg/kg
23
intravena dengan pengenceran. Dosis rumatan fenitoin selanjutnya adalah 5
– 7 mg/kg intravena dengan penegnceran diberikan 12 jam kemudian. .
Bila kejang berhenti dengan fenobarbital dan selama perawatan timbul
kejang kembali diberikan fenobarbital tambahan dengan dosis 10 mg/kg
intravena secara bolus langsung. Dosis rumatan fenobarbital adalah 5 – 7
mg/kg intravena diberikan 12 jam kemudian
Bila kejang berhenti dengan midazolam, maka rumatan fenitoin dan
fenobarbital tetap diberikan.
Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan kebutuhan seperti analisis
gas darah, elektrolit, gula darah. Dilakukan koreksi terhadap kelainan yang
ada dan awasi tanda-tanda depresi pernapasan.
2.9 Prognosis
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita defisit
neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang
mengalami SE akan mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus
yang terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda,
24
ensefalopati progresif, etiologi simtomatis remote, sindrom epilepsi2. Disamping
itu, evaluasi penyebab SE sangat penting untuk menentukan prognosis.
25
BAB III
LAPORAN KASUS
1.2 Anamnesis
26
BAB tidak ada kelainan
BAK tidak ada kelainan
Riwayat trauma kepala sebelumnya tidak ada
27
3.2.6 Riwayat Makanan dan Minuman
Bayi
o ASI/SF : usia 0-sekarang
o Bubur susu : -
o Nasi tim : -
Kesan: Terdapat penurunan kuantitas nutrisi selama sakit
3.2.7 Riwayat Imunisasi
Ayah Ibu
Nama Tn. S Ny. D
Umur 33 tahun 32 tahun
Pendidikan - -
Pekerjaan Swasta IRT
Penghasilan - -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita - -
28
3.2.9 Riwayat Perumahan dan Lingkungan
Rumah tempat tinggal : Rumah kontrakan, semi permanen
Sumber air minum : Air galon
Buang air besar : Jamban dalam rumah
Pekarangan : sempit
Sampah : Dikumpulkan dan dibakar dibelakang rumah
Kesan : Higiene dan sanitasi kurang baik
29
30
31
32
3.3.2 Khusus
Kulit : Warna kuning langsat, tidak terdapat lesi dan
kelainan lainnya, teraba hangat
Kelenjar getah bening : Tidak terlihat dan tidak teraba pembesaran
kelenjar getah bening
Kepala : Bulat, simetris, Normocephale LK : 41 cm,
UUB datar
Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
edema palpebra(-/-), pupil isokor, refleks cahaya
(+/+),
Telinga : sekret tidak ada
Hidung : Napas cuping hidung tidak ada
Gigi dan mulut : Mukosa bibir dan mulut basah, sianosis sirkum oral
tidak ada
Leher : Tidak ada kelainan, KGB tidak membesar
Toraks
o Paru
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara napas vesikuler, Rh -/- , Wh -/-
o Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di RIC V 1 jari medial LMCS
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : irama reguler, bising tidak ada
Abdomen
o Inspeksi : Distensi tidak ada
o Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
33
Punggung : Tidak terdapat kelainan
Genitalia : Tidak ada kelainan genitalia
Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik
Darah Rutin
Hb 8,7 g/dl
Leukosit 3.480/mm3
Trombosit 700.000/mm3
34
Hematokrit 25,7 %
MCV 73,9 fl
MCH 25 pg/cell
MCHC 33,9 g/dL
RDW-CV 14,5%
Elektrolit Serum
Na 135 mEq/L
K 5 mEq/L
Cl 105 mEq/L
10 Feb 2020
Darah Rutin
Hb 6,8 g/dl
Leukosit 19.200/mm3
Trombosit 1.242.000/mm3
Hematokrit 20,8 %
MCV 74,3 fl
MCH 24,3 pg/cell
MCHC 33,7 %
RDW-CV 14,5 %
Elektrolit Serum
Na 140 mEq/L
K 7,2 mEq/L
Cl 107 mEq/L
Darah Rutin
Hb 14,3 g/dl
Leukosit 5.420/mm3
Trombosit 956.000/mm3
Hematokrit 41,9 %
MCV 77,3 fl
MCH 26,4 pg/cell
35
MCHC 34,1 %
RDW-CV 15,8 %
Elektrolit Serum
Na 140 mEq/L
K 7,2 mEq/L
Cl 107 mEq/L
3.3.7 Penatalaksanaan
Medikamentosa :
o O2 2 L/menit
o Diazepam supp 5 mg
o Drip fenitoin 125 mg dalam 50 cc NaCl 0,9% habis dalam 30
menit
o Inj. Diazepam 1,5 mg bolus pelan
o Inj. Fenitoin 2x15 mg encerkan
36
3.3.8 Follow Up
14 Feb 2020
S/Demam (-), Kejang (-), Muntah (-), Rewel (-)
O/Pasien sadar, TTV stabil, TRM (-), UUB datar
A/ - Riw. Kejang e.c encephalopati sepsis DD/meningitis
- Anemia
- Severe bacterial infection
P/ Meropenem (5)
Gentamicin (5)
Dexametason (1) 4x1 mg (iv)
Fenitoin 2x15 mg (iv)
O2 Stop
Pindah ruang rawat biasa
15 Feb 2020
S/Demam (-), kejang (-)
O/Pasien sadar, TTV stabil, TRM (-)
A/ Riw. Kejang e.c encephalopati sepsis DD/meningitis
P/Terapi lanjut
16 Feb 2020
S/Demam (-), kejang (-)
O/TTV stabil, TRM (-)
A/ Riw. Kejang e.c encephalopati sepsis DD/meningitis
P/Terapi lanjut
17 Feb 2020
S/Demam tidak ada, kejang tidak ada, menyusu ada
O/pasien sadar, TTV stabil
A/ - Riw. Kejang e.c encephalopati sepsis DD/meningitis
37
- Severe bacterial infection
P/ Pasien boleh pulang
BAB IV
ANALISA KASUS
38
Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 4 bulan di Bangsal
Anak RSUD M. Natsir Solok dengan keluhan kejang seluruh tubuh saat
dirawat di rumah sakit. Kejang terjadi pada seluruh tubuh selama 5 menit
dan setelah jeda 2 menit, pasien kejang kembali selama 30 menit. Pasien
tidak sadar dan setelah kejang pasien tidak respon.
Berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan fisik didapatkan keluhan kejang
mengarah pada Status Epileptikus. Kejang pada pasien berupa tonik-klonik umum
(Generalized Tonic-Clonic) yang merupakan bentuk status epileptikus yang paling
sering dijumpai. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya Tanda Rangsang
Meningeal (+), sehingga penyebab kejang karena infeksi SSP dapat disingkirkan.
Pasien dengan riwayat demam lama, dengan hasil pemeriksaan penunjang
menunjukkan infeksi yang berat, sehingga penyebab kejang pada pasien diduga
karena ensefalopati sepsis. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sudah tepat,
dimana untuk status epileptikus dianjurkan untuk dilakukakn pemeriksaan darah
perifer lengkap dan elektrolit serum untuk mengetahui etiologi kejang.
Terapi medikamentosa yang diberikan adalah O2 2 L/menit, Diazepam
supp 5mg, bolus pelan diazepam 1,5mg, drip fenitoin 125 mg dalam 50cc NaCl
0,9% habis dalam 30 menit, inj. Diazepam 1,5 mg bolus pelan. Penatalaksanaan
tersebut sudah benar dimana O2 diberikan agar kejang tidak membahayakan
pasokan O2 darah ke otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadap
hipoksia dan atau iskemia. Pemberian diazepam suppose 5mg dan bolus pelan
diazepam 1,5mg juga sudah tepat dengan algoritma penatalaksanaan kejang pada
SE dimana pada BB <12kg diberikan 5mg diazepam suppose, serta bolus pelan
diazepam 0,2-0,5mg/kgBB. Kejang pada pasien sempat berhenti selam 2 menit
lalu kejang kembali dan kejang berhenti setelah pemberian loading fenitoin.
Pemberian loading fenitoin dalam 50cc NaCl juga telah sesuai dengan algoritma
penatalaksanaan SE.
Prognosis pada pasien adalah quo ad vitam bonam karena dengan
penanganan yang tepat dan cepat pada SE tidak akan mengancam nyawa pasien.
Quo ad functionam dubia ad bonam karena pasien SE sering mengalami gejala
sisa dan dapat menyebabkan defisit neurologis permanen serta disabilitas
intelektual. Quo ad sanationam dubia ad bonam karena pada pasien mungkin saja
39
kejang dapat berulang bila terdapat faktor risiko yang dapat meningkatkan
kemungkinan berulang nya status epileptikus seperti adanya kelainan pada otak
(tumor, infeksi maupun trauma), adanya riwayat kejang lama atau kejang demam
kompleks, genetik serta onset pertama <1 tahun, sementara pada pasien ini tidak
terdapat faktor risiko tersebut kecuali usia onset pertama yaitu <1 tahun, sehingga
kemungkinan berulangnya kejang sangat kecil.
DAFTAR PUSTAKA
40
2. Ismael S, Pusponegoro H, dkk. Rekomendasi Penatalaksanaan Status
Epileptikus..Badan Penerbit IDAI.2016
5. Nia Kania, dr., SpA., MKes.Kejang pada Anak. AMC Hospital Bandung. 2007.
41