Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikumWarahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, hidayah,
kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga referat dengan judul "Status
Epileptikus" ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa tercurah
kepada Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang memberikan pedoman
hidup yang sesungguhnya.

Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih


kepada dosen pembimbing, dr. Imelda Farida, Sp.S. M.Kes, yang telah
memberikan arahan dan nasihat yang sangat berharga dalam penyusunan sampai
dengan selesainya referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan


kekurangan dalam penyusunan referat ini, baik dari isi maupun penulisannya.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi
penyempurnaan referat ini.

Demikian, semoga refarat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan
penulis secara khususnya.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Oktober 2023

Penulis

1
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................1

KATA PENGANTAR............................................................................................2

DAFTAR ISI...........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5

A. DEFINISI.........................................................................................................................5
B. EPIDEMIOLOGI.........................................................................................................5
C. ETIOLOGI......................................................................................................................5
D. FAKTOR RISIKO........................................................................................................6
E. KLASIFIKASI...............................................................................................................7
F. PATOFISIOLOGI........................................................................................................7
G. MANIFESTASI KLINIS............................................................................................9
H. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS..................................................................13
I. DIAGNOSIS BANDING..........................................................................................13
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG..........................................................................14
K. PENATALAKSAAN DAN PENGOBATAN....................................................14
L. KOMPLIKASI.............................................................................................................18
M. PROGNOSIS..................................................................................................................20

BAB III KESIMPULAN......................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

2
BAB I

PENDAHULUAN

Status Epileptikus (SE) merupakan gangguan neurologis umum yang


mengancam jiwa. Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena
terjadi terus- menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat
kuat, kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otak menyebar luas. Apabila
status epilepticus tidak dapat ditangani dengan segera, maka kemungkinan besar
dapat terjadi kerusakan jaringan otak permanen dan kematian.

Di Indonesia, data mengenai status epileptikus masih belum jelas karena SE


juga berhubungan dengan epilepsi yang sampai saat ini masih belum ada
penelitian secara epidemiologi. Sedangkan data secara global sendiri
menunjukkan bahwa SE terjadi pada 10-41 kasus per 100.000 orang per tahun dan
paling sering terjadi pada anak-anak.

Lebih dari 15 % pasien dengan epilepsi memiliki setidaknya satu episode SE.
Risiko lainnya yang meningkatkan frekuensi terjadinya SE adalah usia muda,
genetik serta kelainan pada otak. Angka kematian pada penderita status
epileptikus pada dewasa sebesar 15%-20% dan 3%-15% pada anak-anak.
Kemudian, SE dapat menimbulkan komplikasi akut berupa hipertermia, edema
paru, aritmia jantung serta kolaps kardiovaskular. Sedangkan untuk komplikasi
jangka panjang dari SE yaitu epilepsi (20%-40%), ensefalopati (6%-15%) dan
defisit neurologis fokal (9%-11%). Oleh karena itu, penting untuk mengetahui
bagaimana cara penatalaksanaan status epileptikus dengan tepat agar dapat
menekan angka morbiditas dan mortalitasnya.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA), status epileptikus

didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang

tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang

berlangsung lebih dari 30 menit.1 Status epileptikus refrakter adalah status

epileptikus yang gagal berespon terhadap terapi, pada umumnya dengan

setidaknya 2 jenis obat, salah satunya benzodiazepin.2 Status epileptikus refrakter

super adalah status epileptikus yang resisten pengobatan, atau yang rekuren meski

telah diberi anti kejang intravena selama lebih dari 24 jam.3

B. EPIDEMIOLOGI

Insiden status epileptikus pada anak diperkirakan sekitar 10-58 per 100.000

anak. Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia

kurang dari 1 tahun dengan estimasi angka kejadian 1 per 1000 bayi.1

Status epileptikus febris adalah status epileptikus tersering pada anak. Sekitar

30% anak yang mengalami status epileptikus merupakan episode kejang pertama,

dan 40% dari jumlah ini akan menderita epilepsi di kemudian hari. Secara

keseluruhan tingkat mortalitas status epileptikus <10% dan berhubungan dengan

etiologi pola kejang.2

4
C. ETIOLOGI

Status epileptikus tonik-klonik, banyak berasal dari insult akut pada otak

dengan suatu fokus serangan. Penyebab status epileptikus yang banyak diketahui

adalah, infark otak mendadak, anoksia otak, bermacam-macam gangguan

metabolisme, tumor otak, menghentikan kebiasaan minuman keras secara

mendadak, atau berhenti makan obat antikejang. Jarang status epileptikus

disebabkan oleh penyakit degenerasi sel-sel otak menghentikan penggunaan

penenang dengan mendadak, pasca anestesi dan cedera perinatal. Penderita yang

sebelumnya tidak mempunyai riwayat epilepsi, mungkin mempunyai riwayat

trauma kepala, radang otak, tumor, penyakit pembuluh darah otak. Kelainan-

kelainan ini terutama yang terdapat pada lobus frontalis, lebih seringmenimbulkan

status epileptikus, dibandingkan dengan lokasi lain pada otak. Penderita yang

mempunyai riwayat epilepsi, dengan sendirinya mempunyai faktor pencetus

tertentu. Umumnya karena tidak teratur makan obat atau menghentikan obat

sekehendak hatinya. Faktor pencetus lain yang harus diperhatikan adalah alkohol,

keracunan kehamilan, uremia dan lain-lain.

D. FAKTOR RISIKO

Epilepsi dan sakit kritis merupakan faktor risiko terjadinya status epileptikus,

karena pada pasien sakit kritis terjadi ketidakseimbangan elektrolit. Sekitar 10-

20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status

epileptikus. Selain itu status epileptikus dapat menjadi manifestasi epilepsi

pertama pada 12% pasien baru epilepsi.1

Pasien yang sakit kritis yang menjadi faktor risiko status epileptikus

diantaranya adalah pasien dengan ensefalopati hipoksik-iskemik, trauma kepala.

5
infeksi SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan terutama post-

operatif, dan ensefalopati hipertensi.1

E. KLASIFIKASI

Klasifikasi status epileptikus dibagi menjadi:

a. Status epileptikus konvulsif: bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit

atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran di

antara bangkitan.

b. Status epileptikus non-konvulsif: sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan

elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis non-

motorik termasuk perubahan perilaku atau awareness.

F. PATOFISIOLOGI

Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi

penyebaran kejang. Dapat berupa aktivitas neurotransmiter eksitasi yang

berlebihan seperti glutamat, aspartat, dan asetilkolin, dan/atau aktivitas

neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif yaitu gamma-aminobutyric acid

(GABA).1 Kejang sendiri diakibatkan oleh malfungsi kanal ion pada sinaps

sewaktu neurotransmisi. Patofisiologi terjadinya kejang dapat

dilihat pada Gambar.4

6
Neuron dirangsang oleh sinyal yang abnormal. Hal ini menyebabkan

ketidakstabilan di membran neuron atau di koneksi antar neuron. Serangan

epilepsi bergantung dari potensial aksi yang didasari oleh natrium (1), dan

depolarisasi dari kalsium (2). Pembangkitan listrik mengaktivasi kanal kalsium,

schingga glutamat masuk ke sinaps (3). Akumulasi glutamat mengaktivasi

reseptor-reseptor, dan dengan influks natrium dan kalsium melalui kanal yang

dipagari oleh reseptor- reseptor ini, terjadi hiper-eksabilitas (4). Kenaikan faktor

inhibisi (GABA) yang tidak terkontrol juga merupakan salah satu kunci dalam

patofisiologi kejang, karena penurunan inhibisi GABA diperlukan untuk

memproduksi aliran listrik sinkron di sel target (5).4

Pada status epileptikus terjadi peningkatan metabolisme serebral yang ditandai

dengan peningkatan konsumsi oksigen, glukosa dan ATP, Karena itu aliran darah

ke otak harus adekuat untuk menyalurkan substrat metabolik tersebut. 5 Setelah 30

menit, aliran darah tidak lagi mampu mengkompensasi peningkatan metabolisme

serebral yang terjadi, sehingga kadar oksigen dalam otak tidak lagi mencukupi

(lihat Tabel 1). Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan

neuron. Status epileptikus juga dapat menyebabkan nekrosis dan apoptosis

neuron, yang terjadi karena meningkatnya kalsium intraselular dan faktor

pencetus apoptosis.2 Selain itu, kerusakan otak dapat juga disebabkan oleh GABA

yang diproduksi sebagai mekanisme kompensasi terhadap kejang. Karena itu

kejang yang berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA

sehingga kejang mudah berulang. Keadaan ini diperparah jika terdapat hipertermi,

hipoksia, atau hipotensi.6

7
Tabel 1. Perubahan yang terjadi di otak dan sistemik saat status epileptikus

konvulsivus7

Fase kompensasi (<30 menit) Fase dekompensasi (>30 menit)

Peningkatan aliran darah ke otak Kegagalan autoregulasi serebral

Kebutuhan energy otak diimbangi oleh Disseminated intravascular coagulation

suplai oksigen dan glukosa (DIC)

Peningkatan konsentrasi glukosa di otak Hipoglikemia

Peningkatan pelepasan katekolamin Hipoksia

Peningkatan curah jantung Asidosis

Hiponatremia

Hipo/hiperkalemia

Leukositosis

Penurunan tekanan darah

Penurunan curah jantung

Rhabdomiolisis

G. MANIFESTASI KLINIS

Tipe status epileptikus antara lain adalah tipe konvulsif (tonik general, klonik,

atau tonik-klonik), tipe nonkonvulsif (partial kompleks, absens), status

8
myoklonik, epilepsia partialis continua, dan status epileptikus neonatus. Tipe

konvulsif adalah tipe yang tersering.2

Status epileptikus non-konvulsif dapat bermanifestasi sebagai kondisi bingung

(confusional state), demensia, hiperaktivitas dengan gangguan perilaku.

penurunan kesadaran yang berfluktuasi, status mental yang berfluktuasi,

halusinasi, paranoid, katatonik furor, dan/atau gejala psikotik. Status epileptikus

nonkonvulsif harus dipertimbangkan terutama pada anak yang kurang responsif

atau dengan ensefalopati.2

1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status

Epileptikus)

- Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering

dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan.

- Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik

yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang

terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh

hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan

darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan

peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH

serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang

sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.

2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status

Epileptikus)

9
- Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum

mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik

pada periode kedua.

3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

- Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan

kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada

ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut

Syndrome.

4. Status Epileptikus Mioklonik.

- Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan

mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin

memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak

biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,

tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau

kondisi degeneratif.

5. Status Epileptikus Absens

- Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia

pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan

status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan

respon yang lambat seperti menyerupai "slow motion movie" dan

mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada

riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-

10
anak. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena

didapati.

6. Status Epileptikus Non Konvulsif

- Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau

parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status

epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.

Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,

delusional, cepat marah. halusinasi, tingkah laku impulsive (impulsive

behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai

psikosis.

7. Status Epileptikus Parsial Sederhana

a. Status Somatomotorik

- Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari

dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari- jari kaki dan kaki

pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu

sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan

kesadaran tidak terganggu. Variasi dari status somatomotorik ditandai

dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa

(status afasik).

b. Status Somatosensorik

- Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala

sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian

march.

8. Status Epileptikus Parsial Kompleks

11
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi

yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi

otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan

yang berkepanjangan.

H. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

Diagnosa dalam keadaan status epileptikus tidak sukar, akan tetapi

perawatannya memerlukan lebih banyak perhatian. Status epileptikus dapat timbul

karena berbagai sebab. Bila mana dokter dipanggil untuk menolong penderita,

maka ia tidak usah langsung memberi obat untuk menghilangkan kejang umum

yang hebat itu. Dengan tenang harus menyelidiki dahulu penyakit yang

mendasarinya.

1. Anamnesis :

a. Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)

b. Tingkat kesadaran diantara kejang

c. Riwayat kejang sebelumnya, Riwayat kejang dalam keluarga

d. Panas, trauma kepala

e. Riwayat persalinan, tumbuh kembang

f. Riwayat yang sedang diderita dan RPD

2. Pemeriksaan Fisik : pemeriksaan neurologi lengkap meliputi:

a. Tingkat kesadaran

b. Pupil

c. Reflex fisiologi dan patologis

12
d. Tanda-tanda perdarahan

e. Lateralisasi

I. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosa banding untuk status epileptikus antara lain adalah:5

 Infeksi

 Catscratch disease:

 Kejang demam

 Tumor otak

 Meningitis

 Ensefalitis

 Sinkop

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Semua pasien dengan status epileptikus memerlukan pemeriksaan

elektroensefalografi (EEG). EEG dapat membedakan status epileptikus dari

pseudoseizure, dan dapat menentukan fase status epileptikus. Pemeriksaan

laboratorium didasarkan pada usia etiologi yang dicurigai. Dapat diperiksa

pemeriksaan darah lengkap, kadar glukosa darah, elektrolit, kadar kalsium dan

magnesium terutama pada neonatus, analisa gas darah, screening toksikologi, dan

kadar antikejang dalam darah jika ada riwayat penggunaan obat antikejang.

Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan adalah CT scan kepala, terutama

pada status epileptikus tonik-klonik general.5

K. PENATALAKSAAN DAN PENGOBATAN

13
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus

dilakukan seiring dengan pemberian obat antikonvulsan.8

 Stabilitas Penderita

Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi

vital yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan napas

yang adekuat dengan cara pemberian oksigen melalui nasal canul atau mask

ventilasi. Tekanan darah juga perlu diperhatikan, hipotensi merupakan efek

samping yang umum dari obat yang digunakan untuk mengontrol kejang. Darah

diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin.

Harus diperiksa gas-gas darah arteri untuk melacak adanya asidosis metabolic dan

kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena.

Segera diberi 50 ml glukosa 50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg

IM.

Pada saat pasien mengalami kejang, diberikan diazepam per rektal dengan

dosis 5 mg suppositoria untuk pasien dengan berat badan(BB) < 12 kg, dan 10 mg

untuk BB≥ 12 kg. Diazepam dapat diberikan maksimal 2 kali dalam jarak 5 menit.

Dalam waktu 10 menit, anak sudah harus masuk ke rumah sakit atau instalasi

gawat darurat (IGD). Bila kejang belum berhenti, diberi diazepam atau

midazolam. Diazepam diberikan 0,2-0,5 mg/kg secara intravena (IV) dengan

kecepatan 2 mg/menit, maksimal diberikan 10 mg. Bila kejang berhenti sebelum

obat habis, obat tidak perlu dihabiskan. Midazolam diberikan 0,2 mg/kg secara IV

atau buccal, maksimal 10 mg. Pemberian secara buccal dapat menggunakan

midazolam sediaan IV/IM, diteteskan pada buccal kanan selama 1 menit dengan

menggunakan spuit ! cc yang telah dibuang jarumnya. Dosis midazolam buccal

14
adalah 2,5 mg untuk bayi usia 6-12 bulan, 5 mg untuk anak usia 1-5 tahun. 7,5 mg

untuk anak usia 5-9 tahun. dan 10 mg untuk anak usia minimal 10 tahun.1

Jika kejang masih berlanjut dalam 5 sampai 10 menit, dapat diberikan fenitoin

atau fenobarbital. Fenitoin diberikan 20 mg/kg secara IV yang diencerkan dalam

50ml NaCl 0,9% selama 20 menit, maksimal diberi 1000 mg. Dosis fenitoin dapat

ditambah 5-10 mg/kg. Atau dapat diberikan fenobarbital 20 mg/kg secara IV

selama 5-10 menit, maksimal diberi 1000 mg. Dosis fenobarbital dapat

ditambahkan 5-10 mg/kg. Fenobarbital dapat diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1

dengan kecepatan yang sama. Bila kejang masih berlanjut selama 5-10 menit, bila

sebelumnya pasien diberi fenitoin, maka dapat diberikan fenobarbital 20 mg/kg.

Begitu pula sebaliknya.1

Bila kejang masih berlanjut sampai lebih dari 60 menit, pasien harus dirawat

di ICU karena kejang merupakan refrakter status epileptikus. Terapi yang dapat

diberikan adalah midazolam, propofol, atau pentobarbital. Midazolam dibolus

100- 200 mcg/kg IV, maksimal diberikan 10 mg, dilanjutkan dengan infus

kontinyu 100 mcg/kg/jam, dosis dapat dinaikan 50 mcg/kg setiap 15 menit.

Dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 2 mg/kg/jam. Propofol dibolus 1-3

mg/kg, dilanjutkan dengan infus kontinyu 2-10 mg/kg/jam, sedangkan

pentobarbital dibolus 5-15 mg/kg, dilanjutkan infus kontinyu 0,5-5 mg/kg/jam.1

Bila kejang masih berlanjut sampai lebih dari 60 menit, pasien harus dirawat

di ICU karena kejang merupakan refrakter status epilekptikus. Terapi yang dapat

diberikan adalah midazolam, propofol, atau pentobarbital. Midazolam dibolus

100- 200 mcg/kg IV, maksimal diberikan 10 mg, dilanjutkan dengan infus

15
kontinyu 100 mcg/kg/jam, dosis dapat dinaikan 50 mcg/kg setiap 15 menit. Dosis

maksimal yang dapat diberikan adalah 2 mg/kg/jam. Bila bebas kejang selama 24

jam setelah pemberian midazolam, maka pemberiannya dapat diturunkan secara

bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 40 jam bebas

kejang. Propofol dibolus 1-3 mg/kg, dilanjutkan dengan infus kontinyu 2-10

mg/kg/jam, sedangkan pentobarbital dibolus 5-15 mg/kg, dilanjutkan infus

kontinyu 0,5-5 mg/kg/jam.1

Bila pasien memiliki riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam

keadaan tidak kejang, diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV

dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan. Terapi rumatan yang

dapat diberikan adalah fenitoin 5-10 mg/kg dibagi dalam 2 dosis atau fenobarbital

3-5 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.1

Ketidakseimbangan elektrolit dapat menimbulkan atau memperparah kejang.

Kelainan yang sering terjadi adalah hiponatremi dan hipokalsemi. Tindakan

koreksi harus dilakukan secara hati-hati karena perubahan kadar serum yang

mendadak dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Koreksi hipokalsemi

dengan Ca glukonas 10% harus dipantau dengan EKG karena berisiko

menimbulkan aritmia.5

Hiponatremi harus dikoreksi berdasarkan etiologi dan patofisiologinya, namun

pada hiponatremi dengan kejang, diberikan bolus cairan saline hipotonik untuk

meningkatkan kadar scrum natrium. Hiponatremi dapat menyebabkan hipoksia,

yang dapat memperparah edema serebral. Namun koreksi yang terlalu cepat harus

16
dihindarkan, dengan batas maksimum 12-18 mEq/L/jam. Digunakan NaCl 3%,

dengan perhitungan setiap ml/kg NaCl 3% akan meningkatkan natrium 1 mEq/L.9

Untuk hiperkalemi, jika kadar kalium darah >6,5 mEq/L, lakukan pemeriksaan

EKG. Prinsip terapi hiperkalemi adalah untuk mencegah aritmia ventrikular, dan

mengeluarkan kelebihan kalium darah. Kalsium menstabilisasikan membran sel

jantung, sehingga dapat diberikan secara IV dalam selang beberapa menit.

Bikarbonat menarik kalium ke intrasel, sehingga sangat efektif terutama pada

pasien dengan asidosis metabolik. Insulin juga memindahkan kalium ke intrasel,

namun pemberian insulin harus disertai dengan pemberian glukosa untuk

mencegah hipoglikemi. Selain itu, furosemide meningkatkan ekskresi kalium

renal.9

Pada hipokalemi, suplementasi kalium secara intravena harus diberikan secara

hati-hati untuk mencegah hiperkalemi. Pemberian secara oral lebih aman, namun

efeknya lebih lambat. Dosis kalium IV adalah 0,5-1 mEq/kg, diberikan selama 1

jam, dosis oral adalah 2-4 mEq/kg/hari. Preparat yang sering digunakan adalah

KCl, namun pada pasien dengan asidosis, kalium sitrat atau kalium asetat dapat

digunakan.9

Hipoglikemia dengan kejang dapat dikoreksi dengan 4 ml/kg dextrosa 10%

bolus, dilanjutkan dengan infus kontiniu 6-8 mg/kg/menit. Kecepatan dapat

disesuaikan untuk menjaga kadar glukosa darah dalam batas normal.1

17
L. KOMPLIKASI

Status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu reaksi

inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan

GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem

jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang

berulang dapat menyebabkan komplikasi sistemik. Proses kontraksi dan relaksasi

otot yang terjadi pada status epileptikus konvulsif dapat menyebabkan kerusakan

otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia

akan menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga

menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung seperti

hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia. Metabolisme otak pun

terpengaruh. Mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namin

30-40 menit kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya

kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan

memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses

inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah otak.1

Komplikasi sekunder dapat terjadi akibat pemakaian obat anti-konvulsan

diantaranya depresi napas dan hipotensi dari obat golongan benzodiazepin dan

fenobarbital. Propofol dapat menyebabkan propofol infusion syndrome yang

ditandai dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal

18
jantung, serta asidosis metabolik. Asam valproat dapat memicu ensefalopati

hepatik dan hiperamonia. Selain dari obat, komplikasi sekunder dapat juga terjadi

akibat perawatan intensif dan imobilisasi, seperti emboli paru, trombosis vena

dalam, pneumonia, gangguan hemodinamik dan pernapasan.1

M. PROGNOSIS

Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari

status epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan

antikonvulsan atau akibat alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila

penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi

komplikasi. Pasien dengan meningitis sebagai etiologi maka prognosis tergantung

dari meningitis tersebut.

Gejala sisa lebih sering terjadi pada status epileptikus simptomatis, 37%

menderita defisit neurologis permanen dan 48% menderita disabilitas intelektual.

Sekitar 3-56% pasien akan mengalami serangan berulang. Faktor risiko status

epileptikus berulang adalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi

simptomatis remote, sindrom epilepsi.1

19
BAB III

KESIMPULAN

Status epileptikus merupakan kegawatdaruratan neurologi yang


membutuhkan penanganan segera karena dapat menyebabkan kerusakan saraf dan
otak irreversibel. Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai macam
etiologi. Epilepsi dan sakit kritis merupakan faktor risiko terjadinya status
epileptikus. Tipe tersering dari status epileptikus adalah tipe konvulsif. Pada anak.
pencetus status epileptikus yang tersering adalah demam. Prognosis status
epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari status epileptikus.
Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan antikonvulsan atau akibat
alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan dengan
cepat dan dilakukan pencegahan terjadi komplikasi.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Rekomendasi penatalaksanaan status epileptikus. Jakarta: Badan Penerbit

Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016. h. 1-7.

2. Mikati MA, Hani AJ. Status epilepticus. Dalam: Kliegman RM, Stanton

BF, Geme JWS, Schor NF. Nelson textbook of pediatrics. 20th ed.

Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 2854-5.

3. Resus. Status epilepticus. Diunduh dari:

http://www.resus.com.au/2017/05/25/status-epilepticus/ pada 23 Januari

2020.

4. Waheed A. Pathak S, Mirza R. Epilepsy: a brief review. Diunduh dari:

http://www.pharmatutor.org/articles/epilepsy-brief-review pada 23 Januari

2020

5. Ramachandrannair R. Pediatric status epilepticus. Medscape. Diunduh

dari: emedicine.medscape.com/article/908394 pada 25 Januari 2020.

6. Appleton PR, Choonara I, Marland T. Phillips B, Scott R. Whitehouse W.

The treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child

2000; 83: 415-19.

21
7. Scott RC, Surtees RAH, Neville BGR. Status epilepticus:

pathophysiology. epidemiology. and outcomes. Diunduh dari:

http://adc.bmj.com/content/79/1/73 pada 27 Januari 2020

8. Ropper AH, Samuels MA. Adams and victor's principles of neurology. 9th

ed. New York: McGraw Hill; 2009. 304-38.

9. Greenbaum LA. Electrolyte and Acid-Base Disorders. Dalam: Kliegman

RM, Stanton BF, Geme JWS, Schor NF. Nelson textbook of pediatrics.

20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 353-63.

10. Sperling MA. Hypoglycemia. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Geme

JWS, Schor NF. Nelson textbook of pediatrics. 20th ed. Philadelphia:

Elsevier; 2016. p. 787-8.

22

Anda mungkin juga menyukai