PENDAHULUAN
Status Epileptikus (SE) merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat
akhir-akhir ini terutama di negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas
yang tinggi dimana pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA mengakibatkan
kematian.1 Secara definisi, SE adalah bangkitan epilepsi yang berlangsung terus menerus
selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselingi oleh masa sadar.1
Status epileptikus dapat disebabkan oleh beberapa hal, tetapi penyebab paling sering
adalah penghentian konsumsi obat antikonvulsan secara tiba-tiba. Sedangkan penyebab
lainnya adalah infark otak mendadak, anoksia otak, gangguan metabolisme, tumor otak,
serta menghentikan kebiasaan meminum minuman keras secara mendadak.2,3
Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi terus-menerus
tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan bernapas dan
muatan listrik di dalam otak menyebar luas. Apabila status epileptikus tidak dapat
ditangani dengan segera, maka kemungkinan besar dapat terjadi kerusakan jaringan otak
permanen dan kematian.2,4
Di Indonesia, data mengenai status epileptikus masih belum jelas karena SE juga
berhubungan dengan epilepsi yang sampai saat ini masih belum ada penelitian secara
epidemiologi.5 Sedangkan data secara global sendiri menunjukkan bahwa SE terjadi pada
10-41 kasus per 100.000 orang per tahun dan paling sering terjadi pada anak-anak.1
Lebih dari 15 % pasien dengan epilepsi memiliki setidaknya satu episode SE. Risiko
lainnya yang meningkatkan frekuensi terjadinya SE adalah usia muda, genetik serta
kelainan pada otak. Angka kematian pada penderita status epileptikus pada dewasa sebesar
15 %- 20 % dan 3%-15% pada anak-anak. Kemudian, SE dapat menimbulkan komplikasi
akut berupa hipertermia, edema paru, aritmia jantung serta kolaps kardiovaskular.
Sedangkan untuk komplikasi jangka panjang dari SE yaitu epilepsi (20% - 40%),
ensefalopati (6% -15%) dan defisit neurologis fokal (9% sampai 11%).4
Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana cara penatalaksanaan status
epileptikus dengan tepat agar dapat menekan angka morbiditas dan mortalitasnya.
1
1.2 TUJUAN
Laporan kasus ini disusun untuk membahas teori yaitu termasuk definisi, klasifikasi,
patofisologi, pemeriksaan fisik, penegakan diagnosis, diagnosa banding, komplikasi,
penatalaksaan, dan prognosis pada status epileptikus dan menghubungkannya dengan klinis
pasien yang telah didiagnosa dengan status epileptikus.
1.3 MANFAAT
Dengan adanya laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman kepada mahasiswa kedokteran mengenai status epileptikus baik secara teori
maupun gambaran yang ditemukan pada pasien secara langsung yang kemudian diharapkan
dapat diterapkan dan dilaksanakan pada praktiknya di lapangan ketika menghadapi pasien
sebagai seorang dokter.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Status epileptikus adalah suatu keadaan gawat darurat dalam bidang neurologis.
Selama beberapa decade terakhir, status epileptikus didefinisikan sebagai kejang terus
menerus yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau terjadinya dua atau lebih kejang tanpa
pemulihan kesadaran penuh diantara kedua kejang. Namun, dalam beberapa tahun terakhir,
status epileptikus didefinisikan sebagai kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit.5
2.2 ETIOLOGI
2.3 EPIDEMIOLOGI
Insidens status epileptikus pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 kasus per 100.000
anak. Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari
1 tahun dengan estimasi insidens 1 per 1.000 bayi. Sebanyak 60.000 – 160.000 kasus status
epileptikus terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya.6
2.4 KLASIFIKASI
Terdapat 2 tipe status epileptikus yaitu status epileptikus konvulsif dan status
epileptikus nonkonvulsif. Status epileptikus konvulsif adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan bentuk yang lebih umum dari situasi darurat yang terjadi dengan kejang
tonk-klonik yang berkepanjangan atau berulang. Jenis status epileptikus ini membutuhkan
3
perawatan darurat oleh tenaga medis terlatih di rumah sakit dan pengobatan yang cepat
karena dapat mengancam jiwa. Status epileptikus nonkonvulsif dapat didefinisikan sebagai
kondisi dimana terjadi aktivitas epileptik klinis yang berlangsung terus menerus atau
hilang timbul tanpa gejala konvulsi, dengan gambaran EEG menunjukkan adanya
gelombang seizure.7
Klasifikasi status epileptikus menurut bentuk bangkitan8:
4
aminobutyric acid (GABA) 2, 3, 2, serta peningkatan reseptor eksitatorik N-metil-D-
aspartat (NMDA) dan -amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid (AMPA).
Reseptor GABA di permukaan akan membentuk cekungan yang dilapisi clathrin kemudian
menjadi vesikel yang dilapisi clathrine sehingga tidak dapat dijangkau oleh
neurotransmiter. Vesikel tersebut berubah menjadi endosom dan akan dihancurkan oleh
lisosom. Penelitian imunihistokimia menunjukkan subunit NR1 reseptor NMDS bermigrasi
dari subsinaps ke permukaan sinaps. Pada stadium berikutnya, pada beberapa menit hingga
jam, terjadi peningkatan substansi P eksitatorik dan penurunan penggantian neuropeptida Y
yang bersifat inhibitorik. Pada stadium keempat, pada beberapa hari hingga minggu, akan
terjadi perubahan genetik dan epigenetik berupa perubahan ekspresi gen, metilasi DNA,
dan regulasi RNA9.
Tabel 1. Kaskade dari mekanisme yang terlibat pada transisi dari bangkitan tunggal hingga menjadi status
epileptikus.
5
peningkatan tekanan darah, dilatasi pupil, dan abnormalitas kardiovaskular dan
respiratorik. Seiring kejang berlangsung, dapat terjadi asidosis laktat yang diakibatkan oleh
konvesi ke metabolisme anaerob sering berlangsungnya kejang.
Pada fase kedua dari SE, metabolisme otak tinggi, tetapi aliran darah ke otak
berkurang, dan mekanisme autoregulasi serebral gagal, yang menyebabkan
ketidakseimbangan dan dekompensasi. Efek yang dapat merugikan sel-sel neuron ini
diperparah oleh hipoksia sistemik, hiperkarbia, hipotensi, dan hipotermia, yang sering
terjadi pada fase kedua. Bradikardia dan aritmia lainnya juga dapat terjadi.10
2.6 DIAGNOSA
Pada anamnesis, tenaga medis dapat menanyakan kepada pasien ataupun keluarga
tentang adanya riwayat epilepsi berulang, riwayat penyakit sistemik atau SSP, riwayat
putus obat atau gagalnya pengobatan yang sudah berjalan dan riwayat trauma pada pasien
tersebut.
Selain itu, dari anamnesis dapat digali informasi tentang bagaimana gambaran
serangan, berapa lama durasinya, tingkat kesadaran selama ataupun antara kejang,sifat
kejang dan sejak kapan serangan terjadi.3
Pemeriksaan Fisik
Cara yang paling penting untuk membedakan status epileptikus dari suatu bangkitan
umum biasa adalah dengan memeriksa aktivitas susunan saraf simpatis.Menetapnya
takikardi, hipertensi, keringat berlebihan, hipersalivasi merupakan gambaran umum status
epileptikus. Papilledema, tanda peningkatan tekanan intrakranial menunjukkan
kemungkinan adanya lesi ,massa atau infeksi otak. Fitur neurologis juga tampak seperti
tonus yang meningkat dan refleks asimetris. Ekstensor berulang cepat atau sikap fleksor
dapat membingungkan dengan aktivitas kejang lainnya oleh pengamat biasa. Mioklonus
berulang pada pasien koma setelah cedera otak hipoksia difus dapat mensimulasikan
kejang umum. Asal fisiologis tersentak mioclonic mungkin tidak kortikal,myoclonus
biasanya hanya terbatas dalam durasi beberapa jam.10
6
Pasien dengan status epileptikus halus tidak menunjukkan peningkatan kesadaran
pada 20-30 menit setelah aktivitas kejang umum. Ekspresi motor aktivitas listrik abnormal
kortikal dapat berubah sehingga terlihat kedipan kelopak mata atau kedutan ekstremitas
yang merupakan satu-satunya tanda dari pelepasan listrik umum yang berkelanjutan.
Aktivitas motorik mungkin tidak ada walaupun adanya aktivitas listrik pada status
epileptikus. Trauma dapat juga ditemukan pada pasien dengan kejang termasuk luka lidah
(biasanya lateral), dislokasi bahu, trauma kepala, dan trauma wajah.10
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kadar obat antikonvulsan12:
-
Yang harus dipantau untuk menjamin konsentrasi serum yang adekuat.
-
Segera setelah status epileptikus dapat dikendalikan, pasien dengan epilepsi yang
sudah ada sebelumnya dapat diberikankembali regimen antikonvulsan oral yang
biasa dipakai.
b. Lumbal Punksi
Lumbal punksi harus dilakukan pada pasien yang demam walaupun tidak ada tanda-
tanda adanya meningitis.
c. Kimia darah rutin
Meliputi kadar Mg, Ca, dan kadar zat kimia darah lainnya.
2. EEG
-
Untuk mengkonfirmasi diagnosis terutama pada kasus refrakter yang mungkin
fungsional yaitu pseudostatus dan tidak menunjukkan kelainan EEG.3
-
Untuk memantau pengobatan, melakukan titrasi obat anestesi sampai pola burst-
suprpresion dicapai.3
3. Brain Imaging
Brain imaging dengan menggunakan CT Scan dapat menentukan tempat lesi di otak.
Jika pemeriksaan CT menunjukkan keadaan yang normal, maka dilanjutkan dengan
pemeriksaan MRI untuk lebih mengkonfirmasi adanya lesi di otak.12
7
2.6 DIAGNOSIS BANDING SE
Diagnosis banding SE adalah sebagai berikut :
1. Ensefalitis
Ensefalitis ialah radang parenkim otak, hadir sebagai disfungsi neuropsikologi difus
dan/atau fokal. Meskipun terutama melibatkan otak, meningen juga sering terlibat
(meningoensefalitis).11 Gejalanya selain nyeri kepala, demam, gejala ISPA, kesadaran
menurun sampai koma, serta dapat terjadi kejang fokal atau umum.13
2. Heat stroke
Heat stroke adalah suatu bentuk hipertermia dimana suhu tubuh meningkat secara
dramatis. Gambaran klinis dari heat stroke adalah suhu tubuh yang meningkat, tidak
adanya keringat, kulit kering kemerahan, denyut nadi yang cepat,kesulitan bernapas,
perilaku aneh, berhalusinasi, kebingungan, gelisah, disorientasi, kejang bahkan sampai
koma.11
3. Hipernatremia dalam Kegawatdaruratan
Hipernatremia didefinisikan sebagai tingkat natrium serum lebih dari 145mEq/L.
Gejala hipernatremia cenderung non spesifik. Anoreksia, gelisah, mual, dan muntah terjadi
lebih awal. Gejala-gejala ini diikuti oleh perubahan status mental dan akhirnya pingsan
atau koma. Gejala mungkin juga termasuk otot berkedut, hiperefleksi, ataksia, atau tremor.
Gejala neurologis umumnya non fokal (misalnya perubahan status mental, ataksia, kejang)
namun defisit fokal seperti hemiparesis juga dilaporkan terjadi.11
4. Hipokalsemia dalam Kegawatdaruratan
Kadar kalsium serum kurang dari 8,5mg/dL atau tingkat kalsium terionisasi kurang
dari 1,0 mmol/L dianggap hipokalsemia. Pasien mungkin mengeluh kram otot, sesak nafas
sekunder akibat bronkospasme, kontraksi berhubung dengan tetanus, mati rasa pada
ekstremitas distal, dan sensasi kesemutan. Manifestasi kronik termasuk katarak, kulit
kering,rambut kasar,kuku rapuh, psoriasis, pruritus kronik dan gigi yang buruk.
Hipokalsemia akut dapat menyebabkan sinkop, gagal jantung congestive (CHF) dan angina
karena efek kardiovaskular ganda.11
8
5. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah situasi klinis yang ditandai dengan penurunan konsentrasi
glukosa plasma ke tingkat yang dapat menyebabkan gejala atau tanda-tanda seperti
perubahan status mental dan atau stimulasi sistem saraf simpatik. Tingkat glukosa seorang
individu menimbulkan gejala sangat bervariasi, meskipun kadar glukosa plasma kurang
dari 50 mg / dL umumnya dianggap sebagai ambang batas. Gejala aktivasi simpatoadrenal
termasuk berkeringat, takikardia, kecemasan, dan rasa lapar. Gejala neuroglikopenik
termasuk kelemahan, kelelahan, atau pusing, perilaku yang tidak pantas (kadang-kadang
dianggap mabuk), sulit berkonsentrasi, kebingungan, penglihatan kabur dan dalam kasus
yang ekstrim, koma dan kematian.11
6. Hiponatremia
Hiponatremia didefinisikan sebagai tingkat natrium serum kurang dari 135mEq/L
dan dianggap parah ketika tingkat serum di bawah 125mEq/L. Gejala berupa mual dan
malaise dengan pengurangan ringan pada natrium serum, lesu, penurunan tingkat
kesadaran, sakit kepala, dan jika parah kejang dan koma. Gejala neurologis yang jelas
paling sering adalah karena sangat rendahnya kadar natrium serum (biasanya <115 mEq/
L), sehingga terjadi pergeseran cairan osmotik intraserebral dan menyebabkan terjadinya
edema otak. Kompleks gejala neurologis dapat menyebabkan herniasi tentorial dengan
kompresi batang otak dan pernapasan berikutnya mengakibatkan kematian dalam kasus
yang paling parah. Tingkat keparahan gejala neurologis berkorelasi baik dengan tingkat
dan derajat penurunan natrium serum. Penurunan bertahap natrium serum, bahkan untuk
tingkat yang sangat rendah, dapat ditoleransi dengan baik jika terjadi selama beberapa hari
atau minggu, karena adaptasi saraf. Kehadiran penyakit neurologis yang mendasari, seperti
gangguan kejang, atau kelainan metabolik non neurologik, seperti hipoksia, hiperkapnia,
atau asidosis, juga mempengaruhi tingkat keparahan gejala neurologis.11
7. Medication-Induced Dystonic Reactions
Medication-Induced Dystonic Reactions yang merugikan sering terjadi tak lama
setelah mulai terapi obat neuroleptik. Reaksi-reaksi ini dapat terjadi karena berbagai
macam obat-obatan. Reaksi distonik (yaitu diskinesia) ditandai dengan kontraksi
intermiten spasmodik atau berkedutnya otot di wajah, leher, panggul, dan ekstremitas.
Reaksi distonik jarang mengancam kehidupan, namun sangat tidak nyaman dan sering
9
menghasilkan kecemasan yang signifikan dan kesusahan bagi pasien. Untungnya,
pengobatan sangat efektif, dan gangguan motorik dapat diatasi dalam beberapa menit.11
8. Sindrom neuroleptik maligna
Sindrom neuroleptik maligna (NMS) mengacu pada kombinasi hipertermia,
kekakuan, dan disregulasi otonom yang dapat terjadi sebagai komplikasi serius
dari penggunaan obat antipsikotik. Adapun gejala klinis dari NMS yaitu diaforesis,
disfagia, tremor, inkontinensia, delirium yang dapat berkembang menjadi lesu, pingsan dan
koma,tekanan darah yang tidak stabil, pucat, dispnea,agitasi psikomotor, kekakuan,
hipertermia, takikardia serta cara jalan menyeret.11
9. Ensefalopati Uremikum
Uremia menggambarkan tahap akhir dari insufisiensi ginjal progresif dan kegagalan
multiorgan yang dihasilkan. Ini merupakan hasil dari akumulasi metabolit protein dan
asam amino dan kegagalan seiring proses katabolik, metabolisme, dan endokrinologik
ginjal. Tidak ada metabolit tunggal telah diidentifikasi sebagai satu-satunya penyebab
uremia. Ensefalopatiuremik (UE) adalah salah satu dari banyak manifestasi gagal ginjal
(Renal Failure). Gejala dapat berkembang perlahan atau cepat. Perubahan sensoris
termasuk kehilangan memori, gangguan konsentrasi, depresi, delusi, lesu, lekas marah,
kelelahan, insomnia, psikosis, stupor, katatonia, dan koma. Pasien mungkin mengeluh
bicara cadel, pruritus, otot berkedut, atau kaki resah.11
10. Withdrawal Syndromes
Withdrawal syndromes merupakan sindrom penarikan diri setelah penghentian
konsumsi bahan-bahan kimia termasuk obat-obatan dan alkohol. Gejala terdiri dari
persecutori, pendengaran, atau paling sering halusinasi visual dan taktil, namun, sensoris
pasien dinyatakan jelas. Pada tahap awal, pasien jujur mengakui telah mengalami
halusinasi tetapi dalam stadium lanjut, halusinasi dianggap nyata dan dapat menimbulkan
ketakutan dan kecemasan yang ekstrim. Pasien dapat terlihat menarik benda-benda
imajiner, pakaian, dan lembaran kertas. Sekitar 23-33% pasien dengan withdrawal
alcohol signifikan mengalami kejang akibat penarikan alkohol (Rum fits).11
2.8 PENATALAKSANAAN
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologik. Harus ditindaki secepat
10
mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen. Biasanya dilakukan dua
tahap tindakan14:
1. Stabilitas Penderita
Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital yang
mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan napas yang adekuat dengan
cara pemberian oksigen melalui nasal canul atau mask ventilasi. Tekanan darah juga perlu
diperhatikan, hipotensi merupakan efek samping yang umum dari obat yang digunakan untuk
mengontrol kejang. Darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit,
ureum, kreatinin. Harus diperiksa gas-gas darah arteri untuk melacak adanya asidosis
metabolic dan kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena.
Segera diberi 50 ml glukosa 50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg im.
11
2. Menghentikan Kejang
a. Status Epileptikus Konvulsif15
Stadium Penatalaksanaan
-
Stadium Memperbaiki fungsi kardio-respirasi
-
I (0-10 Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi bila perlu
menit)
Stadium - Pemeriksaan status neurologic
II (10-60 - Pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
menit) - Monitor status metabolic, AGD dan status hematologi
- Pemeriksaan EKG
- Memasangi infus pada pembuluh darah besar dengan NaCl 0,9%.
Bila akan digunakan 2 macam OAE pakai jalur infus
- Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan laboratorium
(AGD, Glukosa, fungsi ginjal dan hati, kalsium, magnesium,
pemeriksaan lengkap hematologi, waktu pembekuan dan kadar
OAE), pemeriksaan lain sesuai klinis
- Pemberian OAE emergensi : Diazepam 0.2 mg/kg dengan
kecepatan pemberian 5 mg/menit IV dapat diulang bila kejang
masih berlangsung setelah 5 menit
- Berilah 50 cc glukosa 50% pada keadaan hipoglikemia
- Pemberian tiamin 250 mg intervena pada pasien alkoholisme
- Menangani asidosis dengan bikarbonat
12
Stadium - Menentukan etiologi
III - Bila kejang berlangsung terus setelah pemberian lorazepam /
(0-60/90 diazepam, beri phenytoin iv 15 – 20 mg/kg dengan kecepatan < 50
menit) mg/menit. (monitor tekanan darah dan EKG pada saat pemberian)
- Atau dapat pula diberikan fenobarbital 10 mg/kg dengan
kecepatan
< 100 mg/menit (monitor respirasi pada saat pemberian)
- Memulai terapi dengan vasopressor (dopamine) bila diperlukan
- Mengoreksi komplikasi
Stadium - Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, pasien dipindah
IV (30/90 ke ICU, diberi Propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu)
menit) atau Thiopenton (100-250 mg bolus iv pemberian dalam 20 menit,
dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan
sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG
terakhir, lalu dilakukan tapering off.
Iviemonitor bangkitan dan EEG, tekanan intracranial, memulai
pemberian OAE dosis rumatan
13
SE Non- Fenitoin IV Anastesi dengan
tiopenton,
konvulsif pada atau Fenobarbital Penobarbital,Propofol
pasien koma atau Midazolam
2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi status epileptikus bervariasi. Komplikasi sistemik meliputi hipertermia,
asidosis , hipotensi, kegagalan pernapasan , rabdomiolisis, serta aspirasi.8
2.10 PROGNOSIS
Prognosis berhubungan paling kuat dengan proses yang mendasari menyebabkan SE.
Misalnya, jika etiologinya adalah meningitis, perjalanan penyakit yang menentukan hasil. Pasien
dengan SE dari ketidakteraturan antikonvulsan atau pasien kejang yang berhubungan dengan
alkohol umumnya memiliki prognosis yang baik jika pengobatan dimulai dengan cepat dan
komplikasi akan dapat dicegah.8
14
Tingkat mortalitas terkait dengan SE telah menurun selama 60 tahun terakhir, mungkin ada
hubungannya dengan diagnosis cepat dan perawatan yang lebih agresif. Probabilitas kematian
erat berkorelasi dengan usia. Dalam studi berbasis populasi prospektif, DeLorenzoetal
menemukan tingkat kematian sebesar 13% untuk orang dewasa muda,38% untuk orang tua,dan
lebih dari 50% untuk mereka yang lebih tua dari 80 tahun.8
Prognosis SE sendiri juga tergantung kepada respon terhadap pengobatan. Dalam studi
yang dilakukan oleh Koperasi SE Veteran Affairs menunjukkan bahwa sebesar 56% dari pasien
yang terdiagnosis jelas mengalami GCSE (General Convulsive Status Epilepticus) yang
memberikan respon terhadap pengobatan tahap awal. Sedangkan untuk jenis SE Halus ( Subtle
SE ) hanya 15% pasien yang menanggapi pengobatan awal. Sehingga jelas terlihat bahwa
prognosis juga tergantung terhadap baik buruknya respon pasien terhadap pengobatan yang
diberikan. Semakin rendah respon terhadap pengobatan, semakin buruk prognosis.8
15
BAB III
STATUS ORANG SAKIT
16
Traktus Urogenitalis : dalam batas normal
Penyakit Terdahulu : Epilepsi
Intoksikasi dan Obat-obatan : -
3.2.2 Anamnesa Keluarga
Faktor Herediter :-
Faktor Familier :-
Lain-lain :-
3.2.3 Anamnesa Sosial
Kelahiran dan Pertumbuhan : Tidak
jelas Imunisasi : Tidak jelas
Pendidikan : Tamatan SLTA
Pekerjaan : Tidak bekerja
Perkawinan : Belum menikah
17
3.3.3 Rongga Dada dan Abdomen
Rongga Dada Rongga Abdomen
Inspeksi : Simetris Fusiformis Simetris
Palpasi : Sonor Soepel
Perkusi : Fremitus normal kanan = kiri Timpani
Auskultasi : SP: Vesikuler, ST: Wheezing (-) Peristaltik (+) normal
3.3.4 Genitalia
Toucher : Tidak dilakukan pemeriksaan
18
Hiposmia : - -
19
Nervus V Kanan Kiri
Motorik
Membuka dan menutup mulut : + +
Palpasi otot masseter dan temporalis: + +
20
Test Rinne : Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Weber : Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Schwabach: Tidak dilakukan pemeriksaan
Vestibularis
Nistagmus : - -
Reaksi Kalori : Tidak dilakukan pemeriksaan
Vertigo : Tidak dilakukan
pemeriksaan Tinnitus : Tidak dilakukan
pemeriksaan
Nervus IX, X
Pallatum Mole : Simetris
Uvula : Medial
Disfagia :-
Disartria :-
Disfonia :-
Refleks Muntah :+
Nervus XII
Lidah
Tremor :-
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Ujung Lidah Sewaktu Istirahat : Medial
Ujung Lidah Sewaktu Dijulurkan : Medial
21
3.4.6 Sistem Motorik
Trofi : Eutrofi
Tonus Otot : Normotonus
Kekuatan Otot : ESD: 55555/55555 ESS: 55555/55555
EID: 55555/55555 EIS: 55555/55555
Sikap (Duduk-Berdiri-Berbaring): Mampu, ketika berjalan dibantu
Gerakan Spontan Abnormal
Tremor :-
Khorea :-
Ballismus :-
Mioklonus :-
Atetotis :-
Distonia :-
Spasme :-
Tic :-
Dan Lain-lain :-
22
KPR : ++ ++
Strumple : Tidak dilakukan
pemeriksaan Refleks Patologis
Babinski : - -
Oppenheim : - -
Chaddock : - -
Gordon : --
Schaefer : - -
Hoffman-Tromner : -/- -/-
Klonus Lutut : - -
Klonus Kaki : - -
Refleks Primitif : - -
3.4.9 Koordinasi
Lenggang : Dalam batas normal
Bicara : Dalam batas normal
Menulis : Dalam batas normal
Percobaan Apraksia : Dalam batas normal
Mimik : Dalam batas normal
Test Telunjuk-Telunjuk : Dalam batas normal
Test Telunjuk-Hidung : Dalam batas normal
Diadokhokinesia : Dalam batas normal
Test Tumit-Lutut : Dalam batas normal
Test Romberg : Dalam batas normal
3.4.10 Vegetatif
Vasomotorik : Dalam batas normal
Sudomotorik : Dalam batas normal
Pilo-Erektor : Dalam batas normal
Miksi : Dalam batas normal
Defekasi : Dalam batas normal
23
Potens dan Libido : Dalam batas normal
3.4.11 Vertebra
Bentuk
Normal :+
Scoliosis :-
Hiperlordosis :-
Pergerakan
Leher : Dalam batas normal
Pinggang : Dalam batas normal
24
3.4.15 Fungsi Luhur
Kesadaran Kualitatif : Compos mentis
Ingatan Baru : Dalam batas normal
Ingatan Lama : Dalam batas normal
Orientasi
Diri : Dalam batas normal
Tempat : Dalam batas normal
Waktu : Dalam batas normal
Situasi : Dalam batas normal
Intelegensia : Dalam batas normal
Daya Pertimbangan : Dalam batas normal
Reaksi Emosi : Dalam batas normal
Afasia
Ekspresif : Dalam batas normal
Reseptif : Dalam batas normal
Apraksia : Dalam batas normal
Agnosia
Agnosia visual : Dalam batas normal
Agnosia Jari-jari : Dalam batas normal
Akalkulia : Dalam batas normal
Disorientasi Kanan-Kiri: Dalam batas normal
25
menyembur disangkal, riwayat trauma kepala disangkal,
riwayat penyakit serupa dalam keluarga disangkal, riwayat
keganasan disangkal.
Riwayat Penyakit Terdahulu : Epilepsi
Riwayat penggunaan obat : Depakote, Carbamazepine, Phenitoin, Topiramate
Status Presens
Sensorium : Compos mentis
Tekanan Darah : 110/60 mmHg
Nadi : 100x/menit
Frekuensi Nafas : 20x/menit
Temperature : 36,9°C
Nervus Kranialis
N. II, III : Refleks cahaya langsung (+/+), tidak langsung (+/+), pupil bulat isokor
Ø 3mm/3mm
N. III, IV, VI : Gerakan bola mata +/+
N. V : Buka tutup mulut (+)
N. VII : Sudut mulut simetris
N. VIII : Pendengaran dalam batas normal
N. IX, X : Uvula medial
N. XI : Angkat bahu +/+
N. XII : Posisi lidah dijulurkan medial
STATUS NEUROLOGIS
Peningkatan TIK : Kejang (+)
Rangsang Meningeal : -
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
B/T : ++/++ ++/++
APR/KPR : ++/++ ++/++
Refleks Patologis Kanan Kiri
26
H/T : -/- -/-
Babinski : - -
Oppenheim : - -
Chaddock : - -
Gordon : - -
Schefer : - -
Kekuatan Motorik: ESD: 55555/55555 ESS: 55555/55555
EID: 55555/55555 EIS: 55555/55555
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
HEMATOLOGI
Hemoglobin : 12.9 (13,0-18,0gr/dl)
Trombosit : 248.000 (150.000-450.000/mm3)
Hematokrit : 36 (39-54%)
Leukosit : 19,710 (4.000-11.000/mm3)
Eritrosit : 4,53 (4,50-6,50 juta/µL)
27
•
Limfosit Absolut : 1,12 (1,5-3,7 103/µL)
• Monosit Absolut : 1.22 (0,2-0,4 103/µL)
• Eosinofil Absolut : 0.01 (0-0,10 103/µL)
•
Basofil Absolut : 0.04 (0-0,10 103/µL)
KIMIA KLINIK
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) : 112 (<200 mg/dL)
ANALISA GAS DARAH
pH : 7,390 (7,35-7,45)
pCO2 : 34 (38-42)
pO2 : 222 (85-100)
Bikarbonat (HCO3) : 20,6 (22-26)
Total CO2 : 21,6 (19-25)
Base Excess : -3,7 ((-2 ) – (+2))
Saturasi O2 : 100 (95-100)
GINJA
L
Blood Urea Nitrogen :8 (8-26)
Ureum : 17 (18-55)
Kreatinin : 0,77 (0,7-1,3)
ELEKTROLIT
Na : 135 (135-155)
K : 3,4 (3,6-5,5)
Cl : 105 (96-106)
28
2. Hasil EKG
3. Foto Thorax
29
3.8. Penatalaksanaan
O2 2-4 L/I via NC
IVFD R Sol 20 gtt/i
IVFD Aminofluid 1 FLS/hari 7gtt/i
Inj Diazepam 1 amp bolus pelan jika kejang
Phenitoin tab 3x100 mg
Depakote tab 2x500 mg
Bamgetol 2x200 mg tab
As. Folat 1x1 tab
30
BAB IV
FOLLOW
UP
Tanggal S O A P
23 Mei Penurunan Sens: Somnolen Status epileptikus Bed rest
2019 kesadaran, TD: 113/74 mmHg O2 2-4 L/I via
kejang HR: 105x/i nasal canul
RR: 21x/i NGT dan kateter
T: 36,7°C terpasang
Tanda peningkatan
IVFD R Sol 20
TIK: (-) gtt/i
R. Meningeal: (-)
Inj diazepam 1
N. Kranialis: amp bolus pelan
o
N. II, III: RC jika kejang
(+/+), pupil
bulat isokor φ
3 mm/3 mm
o
N. III, IV, VI:
Doll’s eye
phenomenon
(+/+)
o
N. V: Refleks
kornea (+)
o
N VII: Sudut
mulut simetris
o
N. XI: Angkat
bahu (+/+)
o
N. XII: Lidah
istirahat medial
R. fisiologis
o B: ++/++
o T: ++/++
o KPR: ++/++
o APR: ++/++
R. patologis:
o H/T: -/-
o
Babinski: -/-
K. motorik: Sdn,
kesan lateralisasi (-)
31
24 Mei Riwayat Sens: Compos Status epileptikus Bed rest
2019 kejang mentis O2 2-4 L/i via
TD: 117/75 mmHg nasal canul
HR: 105x/i Ngt dan kateter
RR: 17x/i terpasang
T: 37,0°C
IVFD R Sol 20
Tanda peningkatan gtt/i
TIK: (-)
IVFD
R. Meningeal: (-) Aminofluid 1
N. Kranialis: fls / hari 7 gtt/i
o
N. II, III: RC
Inj Diazepam 1
(+/+), pupil amp bolus pelan
bulat isokor φ jika kejang
3 mm/3 mm
Fenitoin tab 3 x
o
N. III, IV, VI: 100 mg
Gerakan bola Depakote tab 2 x
mata (+/+) 500 mg
o
N. V: Buka Bamgetol 2 x 200
tutup mulut (+) mg tab
o
N VII: Sudut Asam folat 1 x 1
mulut simetris tab
o
N. VIII: Diet sonde
Pendengaran feeding
dalam batas
normal
o
N. IX, X:
Uvula medial
o
N. XI: Angkat
bahu (+/+)
o
N. XII: Lidah
istirahat medial
R. fisiologis
o B: ++/++
o T: ++/++
o KPR: ++/++
o APR: ++/++
R. patologis:
o H/T: -/-
o
Babinski: -/-
K. motorik: ESD:
55555/55555
EID: 55555/55555
ESS:
55555/55555
EIS:
55555/55555
32
25 Mei Kejang (-) Sens: Compos Status epileptikus Bed rest
2019 mentis O2 2-4 L/i via
TD: 120/80 mmHg nasal canul
HR: 90x/i Ngt dan kateter
RR: 20x/i terpasang
T: 36,6°C
IVFD R Sol 20
Tanda peningkatan gtt/i
TIK: (-)
IVFD
R. Meningeal: (-) Aminofluid 1
N. Kranialis: fls / hari 7 gtt/i
o
N. II, III: RC
Inj Diazepam 1
(+/+), pupil amp bolus pelan
bulat isokor φ jika kejang
3 mm/3 mm
Fenitoin tab 3 x
o
N. III, IV, VI: 100 mg
Gerakan bola Depakote tab 2 x
mata (+/+) 500 mg
o
N. V: Buka Bamgetol 2 x 200
tutup mulut (+) mg tab
o
N VII: Sudut Asam folat 1 x 1
mulut simetris tab
o
N. VIII: Diet sonde
Pendengaran feeding
dalam batas
normal
o
N. IX, X:
Uvula medial
o
N. XI: Angkat
bahu (+/+)
o
N. XII: Lidah
istirahat medial
R. fisiologis
o B: ++/++
o T: ++/++
o KPR: ++/++
o APR: ++/++
R. patologis:
o H/T: -/-
o
Babinski: -/-
K. motorik: ESD:
55555/55555
EID: 55555/55555
ESS:
55555/55555
EIS:
55555/55555
33
BAB V
DISKUSI KASUS
Kasus Teori
Pasien datang dengan keluhan kejang. Terdapat beberapa definisi dari status
Kejang dialami pasien sejak pagi hari, epileptikus yakni definisi konseptual,
frekuensi 20 kali dengan durasi lebih definisi operasional status epileptikus
kurang 1-2 menit. Kejang bersifat konvulsif, dan definisi operasional
menyentak pada seluruh tubuh. Saat status epileptikus non-konvulsif.
dan sesudah kejang pasien tidak sadar. Berdasarkan definisi konseptual, status
epileptikus adalah bangkitan yang
berlangsung lebih dari 30 menit, atau
adanya dua bangkitan atau lebih
dimana diantara bangkitan-bangkitan
t adi t idak t erdapat pemulihan
kesadaran (PERDOSSI, 2016).
Pemeriksaan Fisik Neurologis: Idiopatik epilepsi : biasanya berupa
Nervus Kranialis:
epilepsi dengan serangan kejang
o
N. II, III: RC (+/+), pupil bulat
umum, penyebabnya tidak diketahui.
isokor 3 mm/3 mm
Pasien dengan idiopatik epilepsi
o
N. III, IV, VI: Gerakan bola
mempunyai inteligensi normal dan
mata (+/+), Doll’s eye (+/+)
hasil pemeriksaan neurologis juga
o
N. V: Buka tutup mulut (+),
normal dan umumnya predisposisi
Refleks kornea (+/+)
genetik.
o
N VII: Sudut mulut simetris
o
N. VIII: Pendengaran
dalam batas normal
o
N. IX, X: Uvula medial
o
N. XI: Angkat bahu (+/+)
o
N. XII: Lidah istiharat medial
34
R. fisiologis
o B: ++/++
o T: ++/++
o KPR: ++/++
o APR: ++/++
R. patologis:
o H/T: -/-
o Babinski: -/-
K. motorik: ESD: 55555/55555
EID: 55555/55555
ESS: 55555/55555
EIS: 55555/55555
Bed Rest Tatalaksana Status Epileptikus
O2 2-4 L/menit via NC bergantung pada stadium klinisnya:
IVFD Ringer Solution 20 gtt/i
Stadium 1 (0-10 menit)
IVFD Aminofluid 1 Fl/hari 7 -
Diazepam 10 mg IV
gtt/i
bolus lambat dalam 5
Inj. Diazepam 1 amp bolus
menit
pelan (jika kejang) -
Pertahankan patensi jalan
Phenytoin tab 3x100 mg
napas dan resusitasi
Depakote tab 2x500 mg
-
Berikan oksigen
Bamgetol tab 2x200 mg
Asam Folat 1x1 tab
-
Periksa fungsi
kardiorespi
-
Pasang infus
35
Stadium 2 (0-30 menit)
- Diazepam 10 mg IV
bolus lambat dalam 5
menit
- Pertahankan patensi jalan
napas dan resusitasi
- Berikan oksigen
- Periksa fungsi
kardiorespi
- Pasang infus
36
BAB VI
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Tn. Roi Sembiring usia 21 tahun datang ke IGD dengan keluhan kejang. Hal ini dialami
pasien sejak pagi hari. Awalnya pasien dalam keadaan tidur. Kemudian, pasien kejang dengan
durasi 1-2 menit dan berulang hingga 20 kali. Saat kejang dan diantara kejang pasien tidak sadar.
Riwayat trauma (-), riwayat demam (-). Pasien sebelumnya kontrol ke poli Epilepsi pada tanggal 17
Mei 2019.
Riwayat Penyakit Terdahulu : Epilepsi
Riwayat Penggunaan Obat : Depakote, Carbamazepine, Phenytoin, Topiramate
Pemeriksaan Fisik :
- Status Presens:
•
Sensorium Somnolen, TD 110/60 mmHg, HR 112 kali/menit, RR 24 kali/menit,
Temperatur 36,9
- Peningkatan TIK: Kejang (+)
- Rangsang Meningeal (-)
- Nervus Kranialis:
•
N. II, III: RC (+/+), pupil bulat isokor 3 mm/3 mm
•
N. III, IV, VI: Gerakan bola mata (+/+), Doll’s eye (+/+)
•
N. V: Buka tutup mulut (+), Refleks kornea (+/+)
•
N VII: Sudut mulut simetris
•
N. VIII: Pendengaran dalam batas normal
•
N. IX, X: Uvula medial
•
N. XI: Angkat bahu (+/+)
•
N. XII: Lidah istiharat medial
- R. fisiologis
•
B: ++/++
•
T: ++/++
•
KPR: ++/++
•
APR: ++/++
37
-
R. patologis:
• H/T: -/-
• Babinski: -/-
-
K. motorik:
• ESD: 55555/55555
• EID: 55555/55555
• ESS: 55555/55555
• EIS: 55555/55555
Pemeriksaan Penunjang:
-
Lab: Hipokalemia
-
EKG: Normal
-
Foto Thorax: Tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosa
dengan Status Epileptikus
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Manno, Edward M. April 2003. Mayo Clin Proc. Symposium On Seizures New Management
Strategies in the Treatment of status epilepticus. Vol 78 508-518.
2. Fountain,Nathan B. 2000. Lippincott Williams & Wilkins, Inc., Baltimore International League
Against Epilepsy. Epilepsia. Vol 41(Suppl. 2):S23-S30.
3. Harsono, Endang Kustiowati, Suryai Gunadarma. 2008.Pedoman dan Tatalaksana Epilepsi edisi
3. Jakarta : PERDOSSI.
4. ACF Hui, CY Man, HC Wong. 2002. Hongkong journal medicine. Management of status
epilepticus. Vol 9:206-212.
5. Epilepsy Foundation. Status epilepticus. 2015. Professional Place West, Landover.
6. Ismael, S. Pusponegoro, H.D. Widodo, D.P. Mangunatmadja, I. Handryastuti, S. Rekomendasi
Penatalaksanaan Status Epileptikus, 2016.
7. Pramesti, F.A. Husna, M. Kurniawan, S.N. Rahayu, M. Penegakan Diagnosis dan Tatalaksana
Nonconvulsive Status Epileptikus (NCSE). Malang Neurology Journal. Vol 03, No 01, 2017.
9. Anindhita, T. dan Wiratman, W., 2017. Buku Ajar Neurologi. Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
10. Edlow, J.A. dan Abraham, M.K., 2016. Neurologic Emergencies, An Issue of Emergency
Medicine Clinics of North America, E-Book (Vol. 34, No. 4). Elsevier Health Sciences.
11. Medscape Reference. May 26, 2011. Status Epileptikus . http://emedicine.medscape.com
diakses pada 30 Juni 2012 20.29 WIB
12. Rowland, Lewis P. dan Timothy A Pedley. 2010. Merritt’s Neurology 12th. New York : Wolters
Kluwer.
13. Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press
14. Paul E. Marik and Joseph Varon. 2004. Chestjournal.chestpubs.org. Management of Status
epilepticus. Vol 126;582-591.
15. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman Tatalaksana Epilepsi,
Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
39