Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

STATUS EPILEPTIKUS

A. KONSEP STATUS EPILEPTIKUS


1. Definisi
Status Epileptikus adalah bangkitan umum yang berlangsung 30
menit atau lebih lama atau bangkitan tonik klonik berulang
yang terjadi lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran
diantara tiap bangkitan. Definisi operasional status
epileptikus yang dipakai saat ini untuk dewasa dan anak, yaitu
bangkitan yang berlangsung terus menerus lebih dari 5 menit
atau terdapat 2 atau lebih bangkitan tanpa pulih kesadaran di
antaranya.

2. Klasifikasi
Banyak variasi pendekatan untuk mengklasifikasikan status
epileptikus. Salah satu versi klasifikasi terbagi atas status
epileptikus general (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik,
akinetik) dan status epileptikus parsial (simpleks atau
kompleks).Versi lain membagi dalam kondisi status epileptikus
yang konvulsif dan status epileptikus nonkonvulsif (parsial
simpleks, parsial kompleks, absens). Versi ketiga mengambil
pendekatan yang berbeda, yaitu berdasarkan usia (periode
neonatal, bayi dan kanak-kanak, kanak kanak dan dewasa,
hanya dewasa).

3. Etiologi
Bangkitan merupakan konsekuensi dari suatu penyakit kritis.
Penyebab terbanyak bangkitan yang dirawat ICU adalah sepsis
dan penyakit kardiovaskuler. Penyebab bangkitan lainnya dengan
angka kejadian yang tinggi adalah akibat gangguan metabolik
dan intoksikasi akut akibat obat-obatan ( antibiotik, gagal
ginjal, hepar, CHF, obat-obat anestesi, atau akibat
penghentian obat psikotropik, alkohol).
Penyebab gangguan neurologik primer adalah akibat stroke
iskemik, intraserebral hemoragik, AVM, infeksi SSP, trauma dan
tumor otak dan metastasis dengan angka kejadian bangkitan
relatif tinggi. Insiden bangkitan sebagai komplikasi trauma
kapitis sangat bervariasi, dengan perkiraan 2%-12% pada orang
biasa dan 53% pada populasi militer. Presentasi dapat
meningkat sampai lebih 22% dengan menggunakan monitor EEG
secara terus menerus.

4. Patofisiologi
Terdapat beberapa perubahan fisiologis yang menyertai GCSE.
Terbanyak diantaranya adalah respons sistemik yang merupakan
lonjakan katekolamin yang terjadi saat serangan. Respon
sistemik tersebut antara lain berupa hipertensi, takikardi,
aritmia, dan hiperglikemia. Suhu badan dapat meningkat
mengikuti aktivitas otot yang berlebihan saat serangan GCSE
berlangsung. Asidosis laktat seringkali ditemukan setelah
bangkitan motorik umum tunggal yang akan menghilang seiring
berakhirnya bangkitan.
Kebutuhan metabolik otak meningkat seiring bangkitan GCSE,
akan tetapi oksigenasi dan aliran darah otak tetap terjaga
bahkan meningkat saat awal serangan GCSE. Percobaan pada hewan
yang dilumpuhkan dan diberi ventilasi artificial menunjukkan
bahwa kehilangan neuron yang terjadi setelah status
epileptikus baik yang umum maupun fokal berhubungan dengan
abnormal neuronal discharge dan bukan merupakan respon
sistemik dari GCSE. Hipokampus tampaknya paling rentan
terhadap kerusakan dalam mekanisme sistemik ini.
Pada level neurokimia, bangkitan terjadi akibat
ketidakseimbangan antara eksitasi berlebihan dan kurangnya
inhibisi. Neurotransmiter eksitasi yang terbanyak ditemukan
adalah glutamate dan juga turut dilibatkan disini adalah
reseptor subtype NMDA (N-methyl-D-aspartate). Neurotransmiter
inhibisi yang terbanyak ditemukan adalah gamma-aminobutyric
acid (GABA). Kegagalan proses inhibisi merupakan mekanisme
utama pada status epileptikus.
Inhibisi yang diperantarai reseptor GABA berperanan dalam
normalnya terminasi bangkitan . Aktivasi reseptor NMDA oleh
glutamate sebagai neurotransmitter eksitasi dibutuhkan dalam
perambatan bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA meningkatkan
kadar kalsium intraseluler yang menyebabkan cedera sel saraf
pada status epileptikus. Sejumlah penelitian menyimpulkan
bahwa semakin lama durasi status epileptikus maka semakin
sulit dikontrol. Hal ini dikatakan sebagai akibat peralihan
dari transmisi GABAergik inhibisi yang inadekuat ke transmisi
NMDA eksitasi yang berlebihan.
Pada manusia dan hewan percobaaan, bangkitan yang terus
menerus menyebabkan kehilangan/kerusakan neuron selektif pada
area yang rentan seperti hipokampus, korteks, dan thalamus.
Derajat beratnya cedera neuron berhubungan erat dengan lamanya
bangkitan, hal ini menegaskan betapa pentingnya penanganan
yang cepat pada status epileptikus. Meldrum dkk telah
membuktikan walaupan tanpa adanya hipoksia, asidosis,
hipertermia, atau hipoglikemia, bangkitan yang berkepanjangan
pada hewan percobaaan dapat menyebabkan kematian neuron.

5. Diagnosis
Diagnosis status epileptikus dapat langsung ditegakkan bila
ada yang menyaksikan bangkitan umum tonik klonik. Status
epileptikus seringkali tidak dipikirkan pada pasien koma yang
telah memasuki fase nonkonvulsif. Pada semua pasien koma perlu
diketahui adanya minor twitching yang bisa terlihat di wajah,
tangan, kaki, atau dalam bentuk nistagmus. Towne dkk memeriksa
236 pasien koma yang tidak menunjukkan tanda kejang. 8% di
antaranya mengalami status epileptikus nonkonvulsif yang
terlihat dari gambaran EEG. Oleh karena itu, pemeriksaan EEG
seharusnya dilakukan pada pasien koma yang penyebabnya tidak
jelas.
Status epileptikus terbagi dalam dua fase. Fase pertama
ditandai bangkitan tonik-klonik umum yang berhubungan dengan
peningkatan aktivitias otonom sehingga bisa ditemukan
hipertensi, hiperglikemia, berkeringat, salivasi, dan
hiperpireksia. Selama fase ini, terjadi peningkatan aliran
darah otak oleh karena adanya peningkatan kebutuhan metabolik
otak. Sekitar 30 menit sesudahnya, penderita memasuki fase
kedua, yang ditandai dengan kegagalan autoregulasi otak,
penurunan aliran darah otak, peningkatan tekanan intrakranial,
dan hipotensi sistemik. Selama fase ini terjadi disosiasi
elektromekanik, di mana walaupun aktivitas bangkitan elektrik
di otak tetap berlangsung, manifestasi klinis yang ditemukan
bisa hanya berupa minor twitching.

6. Penanganan
Status epileptikus merupakan kegawat daruratan yang
memerlukan penanganan segera dan agresif untuk mencegah
kerusakan neurologik dan komplikasi sistemik. Semakin lama
mulai diberikan terapi, semakin besar kerusakan neurologik
yang terjadi. Di sisi lain, semakin panjang suatu episode
status berlangsung, maka semakin refrakter terhadap pengobatan
dan semakin besar kemungkinan terjadinya epilepsi kronik.
Penanganan status epileptikus mencakup terminasi bangkitan
sesegera mungkin, perlindungan jalan napas, pencegahan
aspirasi, penanganan faktor presipitasi yang potensial,
penanganan komplikasi, pencegahan serangan ulang, dan
penanganan penyakit yang mendasari. Penanganan dibagi dalam 2
tahap-yaitu penanganan di luar dan di dalam rumah sakit.
Sebagai terapi lini pertama di luar rumah sakit adalah
benzodiazepine. Penanganan dalam rumah sakit / gawat darurat
adalah bantuan hidup dasar (basic life support) (0-10 menit)
dan terapi farmakologik (10-60 menit). Obat-obat yang
digunakan antara lain diasepam, lorazepam, midazolam,
propofol, phenobarbital, phenytoin, fosphenytoin, valproate IV
dan lain-lain.
Sebagai terapi awal pada Status Epileptikus digunakan obat
lini pertama yaitu dari golongan benzodiazepine ( diazepam
0.10.4 mg/kg, lorazepam 0.050.1 mg/kg atau midazolam 0.05
0.2 mg/kg). Sedangkan obat lini kedua yaitu phenytoin (PHT)
0.050.2 mg/kg, fosphenytoin (fPHT) 1520 mg/kg PE, valproate
(VPA) 1520 mg/kg, levetiracetam 10001500 mg tiap 12 jam..

Protokol Penanganan SE konvulsif


Stadium Penatalaksanaan
Stadium I Memperbaiki fungsi kardiorespirasi
(0-10 menit) Memperbaiki jalan napas, pemberian oksigen,
resusitasi

Stadium II
(1-60 menit) Pemeriksaan status neurologik
Pengukuran tekanan darah, nadi, dan suhu
EKG
Pemasangan infus
Mengambil 50-100 darah untuk pemeriksaan
lab
Pemberian OAE emergensi: diazepam 10-20 mg IV
(kecepatan pemberian 2-5 mg/menit atau rektal
dapat diulang 15 menit kemudian)
Memasukkan 50 cc glukosa 50% dengan atau tanpa
thiamin 250 mg intravena
Menangani asidosis
Stadium III
(0-60/90 Menentukan etiologi
menit) Bila kejang berlansung terus selama 30 menit
setelah pemberian diazepam pertama, beri
phenytoin IV 15-18 mg/kg dengan kecepatan 50
mg/menit
Memulai terapi dengan vasopresor bila
diperlukan
Stadium IV
(30-90 Mengoreksi komplikasi
menit)
Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60
menit, transfer pasien ke ICU, beri propofol (2
mg/kgBB bolus IV, diulang bila perlu) atau
thiopentone (100-250 mg bolus IV dalam 20
menit, dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-
3 menit), dilanjutkan 12-24 jam setelah
bangkitan klinis atau bangkitan EEG terakhir,
lalu dilakukan tappering off.
Memantau bangkitan dengan EEG, tekanan
intrakranial, memulai pemberian OAE dosis
rumatan.

7. Prognosis
Prognosis SE tergantung pada berbagai faktor, termasuk
klinis, durasi bangkitan, usia pasien, dan yang terpenting
adalah gangguan yang mendasari terjadinya bangkitan. Kematian
refraktori SE terbanyak pada lanjut usia.
Dari uraian yang telah dikemukakan, ditarik pelajaran hal-
hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan di tempat-tempat
layanan kesehatan yang tidak memiliki fasilitas pelayanan
intensi yang memadai. Beberapa jenis obat yang diutarakan di
dalam protokol tidak beredar di Indonesia.
Diperlukan kiat untuk tetap dapat mengelola status
epileptikus dengan sarana dan jenis obat yang terbatas.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a) Riwayat kesehatan yang berhubungan dengan factor resiko bio-
psiko-sosial-spiritual.
Data subyektif : usia mulai mengalami sreanga, frekuensi
serangan, factor presipitasi (suhu tinggi, kurang tidur,
keadaan emosional labil), pernah mengalami skit berta yang
disertai kejang. Pernah sakit cedera otak, operasi otak.
Pernah minum obat tertentu/alcohol. Ada riwayat penyakit
yang sama dalam keluarga.
b) Aktifitas/Istirahat
Data subyektif : keadaan umum yang lemah, lelah, menyatakan
keterbatasan aktifitas, tidak dapat merawat diri sendiri.
Data obyektif : menurunnya kekuatan otot/otot lemah.
c) Peredaran darah
Data obyektif : didapat data pada saat serangan :
hipertensi, denyut nadi meningkat, cyanosis. Setelah
serangan tanda vital mungkin normal atau mungkin disertai
nadi dan pernafasan menurun.
d) Eliminasi
Data subyektif : tidak dapat menahan BAB dan BAK
Data obyektif : saat serangan tekanan VU dan otot spinkter
meningkat. Setelah serangan dalam keadaan inikontinensia
otot-otot VU dan spinkter rileks.
e) Makanan/cairan
Data subyektif : selama serangan makanan sangat sensitive
Data obyektif : gigi/gusi mengalami kerusakan selama
serangan, gusi hiperplasi/bengkak akibat samping obat
dilantin.
f) Persyarafan
Data subyektif : selama serangan ada riwayat nyeri kepala,
kehilngankesadaran/pingsan, kehilangan kesadaran
sesaat/lena, klien menangis, jatuh ke lantai, disertai
komponen motorik seperti kejang tonik-klonik, mioklonik,
tonik, klonik, atonik. Klien menggigit lidat, mulut berbuih,
ada inkontinensia urin dan feces, bibir-muka berubah
warna/cyanosis.
Sesudah serangan : klien mengalami letargi, bingung, nyeri
otot, gangguan bicara, nyeri kepala. Ada perubahan gerakan
seperti hemiplegi sementara, klien ingat/tidak ingat
kejadian yang menimpanya. Terjadi/tidak terjadi perubahan
tingkat kesadaran, pernafasan, dan denyut nadi.
g) Konsep diri
Data subyektif : merasa rendah diri, ketidak berdayaan,
tidak mempunyai harapan.
Data obyektif : selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan
dengan orang lain.
h) Interaksi social
Data subyektif : mengalami gangguan interaksi dengan orang
lain/keluarga karena malu.

2. Diagnosa dan Rencana Keperawatan


a) Resiko cedera b.d perubahan kesadaran, kerusakan kognitif
selama kejang atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.
Tujuan keperawatan :
Klien terbebas dari resiko cedera fisik.
Intervensi :
1) Bersama klien mengidentifikasi factor yang dapat
menyebabkan serangan tiba-tiba.
2) Bila serangan tidak terjadi di tempat tidur letakkan
bantal di bawah kepala klien atau letakkan kepala klien
di pangkuan perawat untuk mencegah supaya kepala tidak
terbentur ke lantai.
3) Bila klien mengalami aura, ajarkan klien untuk berbaring
sebelum kejang terjadi untuk mencegah jatuh.
4) Observasi tanda vital, gunakan terkmometer aksila.
5) Dampingi klien saat serangan berlangsung untuk mencegah
bahaya luka fisik, aspirasi, lidah tergigit.
6) Miringkan kepala untuk mencegah aspirasi.
7) Pertahankan patensi jalan nafas atau pasang spatel lidah
selama kejang jika dapat dipasang dengan aman sebelum
rahang mengatup.
8) Hindarkan alat-alat yang membahayakan.
9) Longgarkan pakaian yang sempit dan taha ekstrimitas.
10) Berikan O2 tambahan selama dan setelah kejang.
11) Pertahankan aliran dan selang-selang selama aktifitas
kejang karena akses IV adalah kritis.
12) Catat aktifitas motorik dan status keadaan umum klien
selama kejang.
Tindakan kolaboratif :
1) Berikan obat-obatan sesuai program, missal anti
epileptik, luminal, diazepam, glucose, thiamine, dll
2) Monitor dan catat efek samping obat.
3) Monitor tingkat keseimbangan elektrolit, glucose.
b) Resiko jalan nafas tidak efektif/resiko pola nafas tidak
efektif b.d sumbatan trachebroncheal, menurunnya kesadaran.
Tujuan Keperawatan :
Jalan nafas/pola nafas efektif, tidak terjadi aspirasi.
Intervensi :
1) Bila klien tak sadar, jaga agar jalan nafas tetap lancar
dan terbuka. Observasi tanda vital, agar nutrisi/cairan
dan elektrolit tetap seimbang, bila perlu beri infus.
2) Bila terdapat lendir pada jalan nafas, lakukan suction.
3) Miringkan kepala untuk mencegah aspirasi.
4) Berikan O2 tambahan sesuai program.
c) Gangguan konsep diri : harga diri rendah b.d menderita
epilepsy, tidak bisa mengontrol diri saat serangan kejang
terjadi.
Tujuan keperawatan :
Klien dapat mengidentifikasi perasaan, pola koping yang
posistif/negatif. Secara verbal mempunyai harga diri
meningkat. Menerima keadaan dirinya dan perubahan fungsi-
peran-gaya hidup yang dihadapi.
Intervensi :
1) Diskusikan tentang perasaan klien.
2) Dorong klien untuk mengekspresikan pikiran dan
perasaannya.
3) Kaji kemampuan klien yang positif sesuai dengan keadaan
sehingga dapat memanfaatkan kemampuan tersebut untuk
meningkatkan harga diri klien dan dapat hidup di
masyarakat.
Tindakan kolaboratif :
1) Bila perlu anjurkan klien untuk mengikuti kelompok
penderita epilepsy.
2) Diskusikan dengan psychoterapist bila perlu tentang
keadaan klien.
DAFTAR PUSTAKA

Lynda Juall C. 1999. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan.


EGC: Jakarta.
Marilyn E. Doenges. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.
NANDA. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA. Prima Medika.
Wong, Donna L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. EGC: Jakarta.
Sylvia, A. 1999. Patofisologi Konsep Klinis. Jakarta : EGC
Http://Www.Pediatric.Com

Anda mungkin juga menyukai