STATUS EPILEPTIKUS
2. Klasifikasi
Banyak variasi pendekatan untuk mengklasifikasikan status
epileptikus. Salah satu versi klasifikasi terbagi atas status
epileptikus general (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik,
akinetik) dan status epileptikus parsial (simpleks atau
kompleks).Versi lain membagi dalam kondisi status epileptikus
yang konvulsif dan status epileptikus nonkonvulsif (parsial
simpleks, parsial kompleks, absens). Versi ketiga mengambil
pendekatan yang berbeda, yaitu berdasarkan usia (periode
neonatal, bayi dan kanak-kanak, kanak kanak dan dewasa,
hanya dewasa).
3. Etiologi
Bangkitan merupakan konsekuensi dari suatu penyakit kritis.
Penyebab terbanyak bangkitan yang dirawat ICU adalah sepsis
dan penyakit kardiovaskuler. Penyebab bangkitan lainnya dengan
angka kejadian yang tinggi adalah akibat gangguan metabolik
dan intoksikasi akut akibat obat-obatan ( antibiotik, gagal
ginjal, hepar, CHF, obat-obat anestesi, atau akibat
penghentian obat psikotropik, alkohol).
Penyebab gangguan neurologik primer adalah akibat stroke
iskemik, intraserebral hemoragik, AVM, infeksi SSP, trauma dan
tumor otak dan metastasis dengan angka kejadian bangkitan
relatif tinggi. Insiden bangkitan sebagai komplikasi trauma
kapitis sangat bervariasi, dengan perkiraan 2%-12% pada orang
biasa dan 53% pada populasi militer. Presentasi dapat
meningkat sampai lebih 22% dengan menggunakan monitor EEG
secara terus menerus.
4. Patofisiologi
Terdapat beberapa perubahan fisiologis yang menyertai GCSE.
Terbanyak diantaranya adalah respons sistemik yang merupakan
lonjakan katekolamin yang terjadi saat serangan. Respon
sistemik tersebut antara lain berupa hipertensi, takikardi,
aritmia, dan hiperglikemia. Suhu badan dapat meningkat
mengikuti aktivitas otot yang berlebihan saat serangan GCSE
berlangsung. Asidosis laktat seringkali ditemukan setelah
bangkitan motorik umum tunggal yang akan menghilang seiring
berakhirnya bangkitan.
Kebutuhan metabolik otak meningkat seiring bangkitan GCSE,
akan tetapi oksigenasi dan aliran darah otak tetap terjaga
bahkan meningkat saat awal serangan GCSE. Percobaan pada hewan
yang dilumpuhkan dan diberi ventilasi artificial menunjukkan
bahwa kehilangan neuron yang terjadi setelah status
epileptikus baik yang umum maupun fokal berhubungan dengan
abnormal neuronal discharge dan bukan merupakan respon
sistemik dari GCSE. Hipokampus tampaknya paling rentan
terhadap kerusakan dalam mekanisme sistemik ini.
Pada level neurokimia, bangkitan terjadi akibat
ketidakseimbangan antara eksitasi berlebihan dan kurangnya
inhibisi. Neurotransmiter eksitasi yang terbanyak ditemukan
adalah glutamate dan juga turut dilibatkan disini adalah
reseptor subtype NMDA (N-methyl-D-aspartate). Neurotransmiter
inhibisi yang terbanyak ditemukan adalah gamma-aminobutyric
acid (GABA). Kegagalan proses inhibisi merupakan mekanisme
utama pada status epileptikus.
Inhibisi yang diperantarai reseptor GABA berperanan dalam
normalnya terminasi bangkitan . Aktivasi reseptor NMDA oleh
glutamate sebagai neurotransmitter eksitasi dibutuhkan dalam
perambatan bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA meningkatkan
kadar kalsium intraseluler yang menyebabkan cedera sel saraf
pada status epileptikus. Sejumlah penelitian menyimpulkan
bahwa semakin lama durasi status epileptikus maka semakin
sulit dikontrol. Hal ini dikatakan sebagai akibat peralihan
dari transmisi GABAergik inhibisi yang inadekuat ke transmisi
NMDA eksitasi yang berlebihan.
Pada manusia dan hewan percobaaan, bangkitan yang terus
menerus menyebabkan kehilangan/kerusakan neuron selektif pada
area yang rentan seperti hipokampus, korteks, dan thalamus.
Derajat beratnya cedera neuron berhubungan erat dengan lamanya
bangkitan, hal ini menegaskan betapa pentingnya penanganan
yang cepat pada status epileptikus. Meldrum dkk telah
membuktikan walaupan tanpa adanya hipoksia, asidosis,
hipertermia, atau hipoglikemia, bangkitan yang berkepanjangan
pada hewan percobaaan dapat menyebabkan kematian neuron.
5. Diagnosis
Diagnosis status epileptikus dapat langsung ditegakkan bila
ada yang menyaksikan bangkitan umum tonik klonik. Status
epileptikus seringkali tidak dipikirkan pada pasien koma yang
telah memasuki fase nonkonvulsif. Pada semua pasien koma perlu
diketahui adanya minor twitching yang bisa terlihat di wajah,
tangan, kaki, atau dalam bentuk nistagmus. Towne dkk memeriksa
236 pasien koma yang tidak menunjukkan tanda kejang. 8% di
antaranya mengalami status epileptikus nonkonvulsif yang
terlihat dari gambaran EEG. Oleh karena itu, pemeriksaan EEG
seharusnya dilakukan pada pasien koma yang penyebabnya tidak
jelas.
Status epileptikus terbagi dalam dua fase. Fase pertama
ditandai bangkitan tonik-klonik umum yang berhubungan dengan
peningkatan aktivitias otonom sehingga bisa ditemukan
hipertensi, hiperglikemia, berkeringat, salivasi, dan
hiperpireksia. Selama fase ini, terjadi peningkatan aliran
darah otak oleh karena adanya peningkatan kebutuhan metabolik
otak. Sekitar 30 menit sesudahnya, penderita memasuki fase
kedua, yang ditandai dengan kegagalan autoregulasi otak,
penurunan aliran darah otak, peningkatan tekanan intrakranial,
dan hipotensi sistemik. Selama fase ini terjadi disosiasi
elektromekanik, di mana walaupun aktivitas bangkitan elektrik
di otak tetap berlangsung, manifestasi klinis yang ditemukan
bisa hanya berupa minor twitching.
6. Penanganan
Status epileptikus merupakan kegawat daruratan yang
memerlukan penanganan segera dan agresif untuk mencegah
kerusakan neurologik dan komplikasi sistemik. Semakin lama
mulai diberikan terapi, semakin besar kerusakan neurologik
yang terjadi. Di sisi lain, semakin panjang suatu episode
status berlangsung, maka semakin refrakter terhadap pengobatan
dan semakin besar kemungkinan terjadinya epilepsi kronik.
Penanganan status epileptikus mencakup terminasi bangkitan
sesegera mungkin, perlindungan jalan napas, pencegahan
aspirasi, penanganan faktor presipitasi yang potensial,
penanganan komplikasi, pencegahan serangan ulang, dan
penanganan penyakit yang mendasari. Penanganan dibagi dalam 2
tahap-yaitu penanganan di luar dan di dalam rumah sakit.
Sebagai terapi lini pertama di luar rumah sakit adalah
benzodiazepine. Penanganan dalam rumah sakit / gawat darurat
adalah bantuan hidup dasar (basic life support) (0-10 menit)
dan terapi farmakologik (10-60 menit). Obat-obat yang
digunakan antara lain diasepam, lorazepam, midazolam,
propofol, phenobarbital, phenytoin, fosphenytoin, valproate IV
dan lain-lain.
Sebagai terapi awal pada Status Epileptikus digunakan obat
lini pertama yaitu dari golongan benzodiazepine ( diazepam
0.10.4 mg/kg, lorazepam 0.050.1 mg/kg atau midazolam 0.05
0.2 mg/kg). Sedangkan obat lini kedua yaitu phenytoin (PHT)
0.050.2 mg/kg, fosphenytoin (fPHT) 1520 mg/kg PE, valproate
(VPA) 1520 mg/kg, levetiracetam 10001500 mg tiap 12 jam..
7. Prognosis
Prognosis SE tergantung pada berbagai faktor, termasuk
klinis, durasi bangkitan, usia pasien, dan yang terpenting
adalah gangguan yang mendasari terjadinya bangkitan. Kematian
refraktori SE terbanyak pada lanjut usia.
Dari uraian yang telah dikemukakan, ditarik pelajaran hal-
hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan di tempat-tempat
layanan kesehatan yang tidak memiliki fasilitas pelayanan
intensi yang memadai. Beberapa jenis obat yang diutarakan di
dalam protokol tidak beredar di Indonesia.
Diperlukan kiat untuk tetap dapat mengelola status
epileptikus dengan sarana dan jenis obat yang terbatas.