Anda di halaman 1dari 6

Patofisiologi Status Epilepticus

Pendahuluan
Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-akhir ini
terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi dimana pada
152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA menghasilkan kematian. Begitu pula dalam
praktek sehari-hari Status Epileptikus merupakan masalah yang tidak dapat secara cepat dan tepat
tertangani untuk mencegah kematian ataupun akibat yang terjadi kemudian.
Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa adanya
normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki spektrum luas dari
gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar etiologi. Berdasarkan observasi pada
pasien yang menjalani monitoring video-electroencephalography (EEG) selama episode kejang,
komponen tonik-klonik terakhir satu sampai dua menit dan jarang berlangsung lebih dari lima
menit. Batas ambang untuk membuat diagnosis ini oleh karenanya harus turun dari lima sampai
sepuluh menit.

Isi
Gambaran Klinis
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan
bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44
sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.1
Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam
mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial
yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan
berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan
dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot
aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini,
diikuti

oleh

hyperpnea

retensi

CO2. Adanya

takikardi

dan

peningkatan

tekanan

darah, hyperpireksiamungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi


yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas
kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik
dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa
diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran
dari Lenox-Gestaut Syndrome.
Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari
status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa.
Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi
(dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupaislow motion movie dan
2

mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer
atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus
(monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus
Benzodiazepin intravena didapati.
Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena
gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor
atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,delusional, cepat marah,
halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa
kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak
seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
Status Epileptikus Parsial Sederhana
Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu
tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang
menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara
unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu
menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan
(PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak.
Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).

Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral
yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

Status Epileptikus Parsial Kompleks


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk
mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan
keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.

Patofisiologi Status Epilepticus


Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal. Secara klinis dan berdasarkan EEG,
status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti
peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak,
peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan
pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit,
ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH
dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga
aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan
pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.2,3
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika
peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh
penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan
kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal pada
lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek
dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan
penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari
glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan
kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:

Pelepasan adrenalin dan noradrenalin

Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme

Hipertensi, hiperpireksia

Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat

Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:

Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak

Depresi pernafasan

Disritmia jantung, hipotensi

Hipoglikemia, hiponatremia

Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC

Penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa yang
akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat
pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil
berdasarkan konsensusEpilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam penanganan
status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan
adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja
dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada BenzodiazepinGABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.4
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami
status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana
Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak 65
persen.

Nama obat
1. Lorazepam
2. Phenobarbitone
3. Diazepam + Fenitoin
4. Fenitoin

Dosis (mg/kg)

Persentase

0,1
15
0.15 + 18
18

65 %
59 %
56 %
44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan karenanya
memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada
depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20
persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler
(sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin.
Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan
infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk
hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan
Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan
NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove syndrome. Larutan
dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang
mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

Status Epileptikus Refrakter


5

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun
dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup
banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia
persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat
meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan
dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan
Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan
medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton.
Penggunaan ini dimonitor oleh EEG, dan jika tidak ada aktivitas kejang, maka dapat ditapering.
Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.
Kesimpulan
Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa adanya
normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki spektrum luas dari
gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar etiologi. Status Epileptikus
merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus ditangani segera dan secepat mungkin, karena
melibatkan proses fisiologis pada sistem homeostasis tubuh, kerusakan syaraf dan otak yang dapat
mengakibatkan kematian. Penanganannya tidak hanya menghentikan kejang yang sedang
berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi penyakit dasar dari status tersebut. Umur, jenis
kejang, etiologi, jenis kelamin perempuan, durasi dari status epileptikus, dan lamanya dari onset
sampai penanganan merupakan faktor prognostik penting.

Daftar Pustaka
1
2

Mardjono Mahar, dkk. Neurologi Klinis Dasar, PT. Dian Rakyat. Jakrta, 2006.
Dewanto G, Suwono W, Riyanto B, Turana Y. Diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf.

Penerbit: EGC; Jakarta. 2009


Shorvon Simon. Status epilepticus: its clinical features and threatment in children and adults.

Penerbit: Cambridge University; New York.


Wahab Samik. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Penerbit: EGC; Jakarta. 2000.

Anda mungkin juga menyukai