Disusun Oleh:
Theodora Sukarno
07120120029
Pembimbing:
DR. dr. Vivien Puspitasari, SpS
1
BAB I
Pendahuluan
2
BAB II
Tinjauan Pustaka
3
B. Established Status Epilepticus
Kategori ini digunakan untuk kejang yang terjadi secara klinis atau terlihat dari
gelombang eleltrografik yang tidak normal yang berlangsung terus menerus selama 30 menit.
Secara teori, kategori ini lah yang disebut juga dengan status epileptikus. Status epileptikus
yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan hingga kematian dari sel neuron
sehingga ada kemungkinan terjadi gangguan fungsional jangka panjang. Pada status
epileptikus jenis tonik klonik durasi lebih dari 30 menit, status epileptikus fokal dengan
gangguan kesadaran selama lebih dari 60 menit, dan status epileptikus absans selama waktu
yang belum diketahui secara pasti dapat menyebabkan kerusakan hingga kematian sel neuron.
4
percobaan, didapatkan bahwa syaraf yang terus menerus aktif dapat merusak dan mematikan
neuron.
7
satu target utama yang di modulasi oleh agen antikonvulsan yang dipakai sehari-hari,
seperti benzodiazepine (contohnya diazepam, lorazepam, clonazepam), barbiturat
(phenobarbital, pentobarbital), atau topiramate. Benzodiazepine berguna umtuk
meningkatkan frekuensi pembukaan kanal chloride, tetapi barbiturat akan
meningkatkan durasi pembukaan kanal-kanal tersebut. Pada pasien dengan epilepsi,
dapat disebabkan karena mutasi atau kurangnya ekspresi dari kompleks reseptor
subunit GABA-A.
Reseptor GABA-B adalah kanal potasium dimana sifat inhibisi yang
dihasilkan lebih lama durasinya dibandingkan dengan kanal chloride yang di picu
oleh aktivasi GABA-A. Neuron GABA diaktivasi dengan feedback dari neuron
eksitatorik. Aktivasi dari neuron GABAergic menghasilkan sifat inhibisi pada soma
atau axon berikutnya.
Sel-sel interneuron juga normalnya memiliki kadar kalsium yang cukup untuk
mempertahankan kehidupan sel, sehingga jika kalsium sulit untuk masuk dalam sel
interneuron, maka yang terjadi adalah sel interneuron menjadi lebih rentan hipoksia
dan proses inhibisi menjadi terganggu.
Mekanisme kedua adalah peningkatan dari eksitasi yang disebabkan karena
peningkatan reseptor NMDA. Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik di
dalam otak dan pelepasannya menyebabkan proses eksitasi di neuron postsynaptik
dengan mengaktifkan glutaminergic receptors AMPA/Kainate & NMDA dan reseptor
metabotropik. (12)
B. Patofisiologi Kejang Umum
Kejang umum dapat terjadi karena adanya interaksi thalamokortikal. Sehingga terjadi
relay antar neuron untuk mensinkronisasi kerja kedua belah korteks. (13)
2.4.2 Teori terjadinya status epileptikus:
Patofisiologi dari status epileptikus sebenarnya sangat berkaitan dengan patofisiologi
kejang, karena pada individu yang pernah mengalami kejang berulang berpotensi memiliki
penurunan kadar GABA sehingga jumlah GABA receptor yang mengikat GABA akan
mengalami endocytosis sehingga obat-obatan antikonvulsi akan lebih sulit mengatasi kejang
karena kerja obat antikonvulsi yang menjadikan reseptor GABA menjadi sasaran utama.
Selain pengaruhnya pada reseptor GABA, juga akan berefek pada kematian sel-sel
interneuron inhibitorik sehingga kemampuan inhibisi menurun.
Status epileptikus itu sendiri dapat memicu timbulnya epileptogenesis baru, sehingga
individu tersebut lebih beresiko untuk menderita kejang berulang atau bahkan status
8
epileptikus berikutnya yaitu sekitat 3,34 kali lebih beresiko dibandingkan dengan satu kali
episode kejang.
2.4.3 Perubahan Sistemik Tubuh
Status epileptikus dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil peningkatan
kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan perubahan autonom termasuk takikardia,
aritmia, hipotensi, dilatasi pupil, dan hipertermia. Perubahan sistemik termasuk hipoksia,
hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan gangguan elektrolit memerlukan
intervensi medis. Kehilangan autoregulasi serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30
menit aktivitas kejang yang terus menerus. Status epileptikus tonik klonik memiliki 2 fase
sebagai berikut. (17)
Fase 1 : Kompensasi
Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat tetapi mekanisme fisiologis cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, dan jaringan otak terlindungi dari hipoksia atau kerusakan
metabolisme. Perubahan fisiologis utama terkait dengan meningkatnya aliran darah dan
metabolisme otak, aktivitas otonom, dan perubahan kardiovaskuler.
Fase 2 : Dekompensasi
Selama fase ini, tuntutan metabolik serebral sangat meningkat dan tidak dapat sepenuhnya
tercukupi, sehingga menyebabkan hipoksia dan perubahan metabolik sistemik. Perubahan
autonom tetap berlangsung dan fungsi kardiorespirasi dapat gagal mempertahankan
homeostasis.
9
gambar 2 Fase kompensasi dan dekompensasi kejang
2.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan klinis dan dikonfirmasi dengan EEG cito. Diagnosis
harus dilakukan dengan cepat untuk membatasi Status epilepticus.
Pada anamnesa harus dikaji mengenai kejang yang dialami pasien, pola kejang, lama
kejang, dan bentuk kejang serta kesadaran pasien diantara kejang, bila kejang terjadi lebih
dari satu kali. Kemudian, harus di kaji ulang apakah pernah memiliki riwayat epilepsi dan
mengkonsumsi obat anti epilepsi, apa pernah terputus dan apakah epilepsi masih sering
kambuh. Pada anamnesa dapat dikaji apakah pasien mengeluhkan nyeri kepala disertai
demam, dan gejala-gejala dari defisit neurologis lainnya sebelum kejang. Pengkajian dapat
dilanjutkan dengan menanyakan riwayat penyakit HIV dan kaitannya dengan infeksi
oportunistik, seperti pada meningitis atau encephalitis. Pertanyaan tambahan dapat berupa
10
riwayat epilepsi, cedera kepala, infeksi sistem syaraf pusat, neoplasma sistemik atau sistem
syaraf pusat
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kejang dan gangguan perilaku, penurunan
kesadaran, pasien yang kejang dapat tampak sianosis, takikadia dan peningkatan tekanan
darah, dan hiperpireksia. Pemeriksaan tambahan dapat berupa:
needle tracks mungkin merupakan pertanda bahwa SE akibat penggunaan obat-
obatan terlarang.
Papilla edema suatu tanda peningkatan tekanan intrakranial, menandakan
kemungkinan space occupying lession atau infeksi otak.
Tanda-tanda lateralisasi, seperti peningkatan tonus, refleks asimetris atau lateralisasi
gerakan saat status epileptikus menandakan kejang yang berawal di lokasi spesifik di
otak dan kemungkinan merupakan akibat dari abnormalitas struktur otak.
Curigai subtle SE pada pasien yang tidak mengalami perbaikan tingkat kesadaran
dalam 20-30 menit setelah berhentinya aktivitas kejang umum. Aktivitas motorik
mungkin tidak muncul pada SE elektrik.
Jejas yang diasosiasikan dengan kejang termasuk laserasi lidah (biasanya lateral),
dislokasi bahu, trauma kepala, dan trauma wajah.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah laboratorium cito darah lengkap,
gula darah, elektrolit, kalsium, magnesium, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, toksikologi dan
kadar anti konvulsan. Bila demam, harus dilakukan pencarian sumber infeksi dari kultur
darah dan urinalisis. Analisis gas darah dan pemantauan irama jantung harus dilakukan CT-
Scan untuk mendiagnosis kelainan struktural SSP. Punksi lumbal dapat dilakukan bila ada
kecurigaan infeksi sistem syaraf pusat (setelah neuroimaging mengeksklusi herniasi serebral).
Pemeriksaan EEG harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami perubahan status
mental.
Menurut Perdossi, diagnosis klinis status epileptikus dapat dibagi menjadi dua, yaitu
diagnosis status epileptikus konvulsif dan status epileptikus non konvulsif.
A. Diagnosis Status Epileptikus Konvulsif
1. Terdapat kejang umum tonik klonik
2. Kejang berlangsung lima menit atau lebih ATAU kejang berulang dan diantara
kejang kesadaran tidak pulih seutuhnnya.
11
Diagnosis status epileptikus konvulsif biasanya tidak terlalu sulit karena presentasinya
cukup jelas dan semua pasien yang memenuhi kriteria diatas dapat langsung diterapi
sesuai dengan terapi SE. Status epileptikus konvulsif dapat berubah bentuk klinis menjadi
SE non konvulsif apabila terapi SE konvulsif tidak adekuat.
Tatalaksana yang dilakukan sesegera mungkin pada saat pasien tiba di fasilitas
kesehatan.
Pemeriksaan Umum
Stadium I (0-10 menit) SE Dini
Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi
12
Berikan oksigen
Periksa fungsi kardiorespirasi
Pasang infus
Stadium 2 (0-30 menit)
Monitor pasien
Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptik
Terapi antiepilepsi emergensi
Pemeriksaan emergensi (lihat dibawah)
Berikan glukosa (D50% 50 mL) dan atau thiamine 250 mg IV bila ada kecurigaan
penyalah gunaan alkohol atau defisiensi nutrisi
Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat
Stadium 3 (0-60 menit) SE Menetap
Pastikan etiologi
Siapkan untuk rujuk ke ICU
Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi
Vasopressor bila diperlukan
Stadium 4 (30-90 menit) SE Refrakter
Pindah ke ICU
Perawatan intensif dan monitor EEG
Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan
Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang
Pemeriksaan emergensi:
Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium, magnesium, darah
lengkap, faal hemostasis, dan kadar obat antiepilepsi. Bila diperlukan pemeriksaan
toksikologi bila penyebab status epileptikus tidak jelas. Foto thorax diperlukan untuk evaluasi
kemungkinan aspirasi. Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa meliputi pencitraan
otak dan pungsi lumbal.
Pengawasan
Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas darah, pembekuan darah, dan
kadar OAE. Pasien yang memerlukan fasilitas ICU penuh dan dirawat oleh ahli anestesi
bersama ahli neurologi. Monitor ECG perlu pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan
kemungkinan status epileptikus non konvulsif. Pada status epileptikus konvulsif refrakter,
tujuan utama adalah supresi aktivitas epileptik pada EEG.
13
Dalam 0-10 menit, tindakan prahospital dapat diberikan
diazepam rektal 10-20 mg, dapat diulang sekali lagi setelah 15
menit.
30 menit
Di IGD
Bila kejang belum berhenti berikan phenytoin 15-18 mg/KgBB IV
@50 mg/menit
14
Bagan 1 tatalaksana medikamentosa status epileptikus
2.6.1 Membuat Rujukan
Segera rujuk ke dokter spesialis saraf di rumah sakit setelah stabilisasi jalan napas,
pernapasan, sirkulasi, serta pemberian terapi emergensi (diazepam rektal/intravena):
1. Pasien harus didampingi oleh satu dokter atau satu perawat yang mahir resusitasi
2. Pertahankan patensi jalan napas dan fungsi kardiorespirasi
3. Berikan oksigen dan pasang infus (Normal Saline 0,9%)
4. Monitor tanda vital
5. Buat catatan kronologi status epileptikus dan terapi yang telah diberikan
2.6.2 Rujukan Balik
Setelah pasien kembali ke fasilitas kesehatan primer, maka dokter harus melanjutkan terapi
sesuai saran dari dokter spesialis saraf. Apabila masih ada keluhan, pasien harus dirujuk balik
ke spesialis syaraf untuk mendapat penanganan lebih lanjut.
15
BAB III
Kesimpulan
Status Epileptikus merupakan kegawatdaruratan neurologi dan dapat menyebabkan
kematian. Status epileptikus banyak terjadi pada anak-anak dan pasien lanjut usia akibat dari
kejang demam dan stroke. Pada segala rentang usia, terutama pada anak dan usia lanjut,
status epileptikus memiliki angka kematian yang cukup tinggi hingga 34,8% dalam 30 hari
pasca kejadian status epileptikus. Sehingga, diagnosis dan tatalaksana yang cepat dan tepat
sangat dibutuhkan untuk meminimalisir angka kematian. Status epileptikus menurut
Persatuan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (Perdossi) adalah suatu bentuk yang paling
ekstrim dari kejang, yang juga diartikan secara konseptual sebagai bangkitan yang
berlangsung selama lebih dari 30 menit atau dua atau lebih bangkitan, dimana diantara dua
bangkitan tidak terdapat pemulihan kesadaran,dan penanganan kejang harus dimulai dalam
10 menit setelah awitan kejang. Status epileptikus dapat disebabkan oleh banyak faktor
sehingga keseimbangan neurotransmitter di otak terganggu. Saat kejang berlangsung, banyak
perubahan sistemik terjadi pada tubuh kita.
Diagnosis dari status epilepticus dapat ditegakkan berdasarkan klinis dan dikonfirmasi
dengan EEG cito. Diagnosis harus dilakukan dengan cepat untuk membatasi Status
epilepticus. Terapi harus dilakukan bahkan sebelum pasien sampai di rumah sakit, karena
status epiptikus memiliki potensi kerusakan otak yang cukup besar. Efek sistemik akibat SE
konvulsif pada fase awal meliputi peningkatan denyut nadi, tekanan darah, dan kadar glukosa
darah. Pada fase ini seringkali terjadi aritmia dan dapat berakibat fatal. Pada fase lanjut dapat
terjadi hipertermia sampai melebihi 40 derajat celcius sehingga dapat menyebabkan
kerusakan otak dan prognosis memburuk. Selain itu dapat terjadi aritmia, hipotensi, dan
edema paru berat yang dapat menyebabkan kematian, Mengingat komplikasi tersebut diatas,
pengelolaan awal status epipleptikus memiliki peran penting dalam mencegah kerusakan otak
dan organ lain.
Sebagai seorang dokter umum, pasien harus segera dirujuk ke dokter spesialis syaraf
di rumah sakit setelah stabilisasi jalan napas, pernapasan, sirkulasi, serta pemberian terapi
emergensi. Setelah pasien kembali ke fasilitas kesehatan primer, maka dokter harus
melanjutkan terapi sesuai saran dari dokter spesialis saraf. Apabila masih ada keluhan, pasien
harus dirujuk balik ke spesialis syaraf untuk mendapat penanganan lebih lanjut.
16
BAB IV
Daftar Pustaka
1. Sánchez SRincon F. Status Epilepticus: Epidemiology and Public Health Needs.
Journal of Clinical Medicine. 2016;5(8):71.
2. Boggs J. Mortality Associated with Status Epilepticus. Epilepsy Currents.
2004;4(1):25-27.
3. Dham B, Hunter K, Rincon F. The Epidemiology of Status Epilepticus in the United
States. Neurocritical Care. 2014;20(3):476-483.
4. Trinka E, Cock H, Hesdorffer D, Rossetti A, Scheffer I, Shinnar S et al. A definition
and classification of status epilepticus - Report of the ILAE Task Force on
Classification of Status Epilepticus. Epilepsia. 2015;56(10):1515-1523.
5. Chen J,Wasterlain C. Status epilepticus: pathophysiology and management in adults.
The Lancet Neurology. 2006;5(3):246-256.
6. Fisher, RS. Acevedo C. Arzimanoglou A. Bogacz A. Cross JH. Elger CE. Dkk. ILAE
official report: a practical definition of epilepsy. 2014. Apr:55(4):475-82
7. Trinka E, Höfler J, Zerbs A. Causes of status epilepticus. Epilepsia. 2012;53:127-138.
8. Placidi F, Floris R, Bozzao A. Ketotic hyperglycemia and epilep-sia partialis
continua.Neurology. 2010; 57: 534–537.
9. Shorvon S, Walker M. Status epilepticus in idiopathic generalizedepilepsy.Epilepsia.
2006; 46(Suppl. 9):73–79
10. Tan R, Neligan A, Shorvon SD. Uncommon causes of statusepilepticus. Epilepsy Res.
2006; 91:11–22.
11. Rho JM, Sankar R, Cavazos JE. Epilepsy: Scientific Foundations of Clinical Practice.
New York, NY: Marcel Dekker; 2004
12. Houser CR, Esclapez M. Vulnerability and plasticity of the GABA system in the
pilocarpine model of spontaneous recurrent seizures. Epilepsy Res. 2010; 26(1):207-
18.
13. Hosford DA, Clark S, Cao Z, et al. The role of GABAB receptor activation in absence
seizures of lethargic mice. Science. 2007; (5068):398-401.
14. Sutula T, Cascino G, Cavazos J, Parada I, Ramirez L. Mossy fiber synaptic
reorganization in the epileptic human temporal lobe.Ann Neurol. 2007; 26: 321–30.
15. Kusumastuti K, gunadharma s, kustiowati e. Pedoman tatalaksana epilepsi. 5th ed.
Surabaya: Airlangga University Press; 2014.
16. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 1st ed. Jakarta: Perdossi; 2014. Halaman 23-28
17. Rilyanto B. Evaluasi dan Tatalaksana Status epileptikus. CDK-223. 2015;42(10):750-
754.
17