STATUS EPILEPTIKUS
Oleh:
Pembimbing:
dr. Hj. Sri Handayani, Sp.S(K)
BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2019
1
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Referat:
Status Epileptikus
Pembimbing:
dr. Hj. Sri Handayani, Sp.S(K)
Oleh:
Reza Nurdesni 04084821820057
M. Ananda Triansyah P 04084841820002
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya periode 11 November 2019 – 16 Desember 2019
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan berkat-Nya referat yang berjudul “Status Epileptikus” ini dapat diselesaikan
tepat waktu. Karya tulis ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Neurologi Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis juga ingin
menyampaikan terima kasih kepada dr. Hj. Sri Handayani, Sp.S(K) atas
bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik. Penulis menyadari
masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah ilmiah ini. Oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk membahas dan menggali lebih mendalam
mengenai status epileptikus.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut International League Againts Epilepsy (ILAE), status epileptikus
adalah kejang yang berlangsung terus menerus selama periode waktu tertentu atau
berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. Sebagian para ahli
membuat kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit.1
Status epileptikus (SE) didefinisikan sebagai bangkitan epileptik yang
memanjang atau berulang sesuai durasi bangkitan yang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabe 1. Definisi operasional t1 dan t2 pada SE
Tipe SE Titik waktu t1 Titik waktu t2
SE tonik-klonik 5 menit 30 menit
SE fokal dengan gangguan kesadaran 10 menit >60 menit
SE lena (absence) 10-15 menit Tidak diketahui
Sumber: Trinka E, dkk. Epilepsia. 2015
Catatan: Titik t1 adalah waktu saat tatalaksana emergensi SE harus mulai, titk t2 adalah waktu saat
konsekuensi jangka panjang (kematian, cedera maupun perubahan jaringan pada neuron) dapat
terjadi.
2.2 Epidemiologi
Insidens SE episode pertama mencapai 42 kasus per 100.000 penduduk
pertahunnya dengan rasio yang hampir sama pada laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan National Health Discharge Survey (NHDS) insiden ini bersifat
bimodal, yatu lebih tinggi pada usia dekade pertama dan setelah usia 60 tahun. Di
Amerika Serikat insidensnya berkisar antara 6,2-13,3 per 100.000 populasi.
Di RSCM, pada bulan Juni 2013 hingga Januari 2014 teradapat 31 pasien
SE di instalasi gawat darurat, 45,2% dengan bangkitan umum dan 54,8% dengan
bangkitan fokal. Sebanyak 22,6 % pasien meninggal dan kesemuanya mengalami
bangkitan umum. Penelitian Loho 2016 di RSCM menunjukkan bahwa 61,8%
kasus ensefalopati metabolik mengalami SE nonkonvulsif.
6
SE merupakan kegawatdaruratan medis dengan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi, yaitu 3-50%. Angka ini bervariasi tergantung etiologinya, angka
mortalitas SE refrakter pada pasien usia tua mencapai 76%.
2.3 Etiologi
Secara umum, etiologi SE terdiri dari etiologi yang diketahu (simtomatik)
dan etiologi yang tidak diketahui (kriptogenik).
1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit,
trauma kepala, perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati
hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak
kongenital.
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun
(contohnya vaskulitis).
d. Epilepsi
7
- Gangguan metabolik: angguan elektrolit, hipoglikemua, dan gangguan
ginjal.
- Infeksi susunan saraf pusat stroke iskemik, perdarahan intra serebral,
perdarahan subarakhnoid dan trombosis sinus serebral.
- Sepsis
- Stroke: stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahaN
- subarakhnoi, dan tromboss sinus serebral.
- Trauma kepala dengan atau tanpa hematom epidoral atau subdural.
- Obat-obatan: intoksiakasi obat atau alkohol, withdrawal golongan
opioid.
- Hiposemia
- Ensefalopati hipertensif
2. Proses Kronik
- Epilepsi : penghentian atau enuruan obat anti epilepsi (OAE)
- Penyalahgunaan alkohol kronik
- Gangguan susunan saraf pusat ampau (misalnya pasca steoke,
pascaensefalitis)
- Gangguan metablosme bawaan pada anak.
3. Proses Progresif
- Tumor susunan saraf pusat
2.4 Klasifikasi
Tahun 1981 International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu
klasifikasi internasional mengenai kejang dan epilepsi yang membagi kejang
menjadi 2 golongan utama : serangan parsial (partial onset seizures) dan serangan
umum (generalized-onset seizures). Serangan parsial dimulai pada satu area fokal
di korteks serebri, sedangkan serangan umum dimulai secara simultan di kedua
hemisfer. Serangan lain yang sulit digolongkan dalam satu kelompok dimasukkan
dalam golongan tak terklasifikasikan (unclassified). ILAE kemudian membuat
klasifikasi yang diperbarui menggunakan diagnosis multiaksial pada tahun 1989,
kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2001, namun klasifikasi tahun 1981
8
tetap masih sering digunakan.1
9
- Status absans tipikal
- Status absans atipikal
- Status absans mioklonik
2) Fokal
- Tanpa gangguan kesadaran (aura kontinua, misalnya gejala
otonom, sensorik, auditorik, visual, olfaktori, gustatorik, emosi,
atau psikis)
- Status afasia
- Dengan gangguan kesadaran
3) Tidak diketahui umum atau fokal
- SE otonom
Sumber: Trinka E, dkk. Epilepsia. 2015
Aksis 1. Semiologi
Aksis ini mengacu pada presentasi klinis SE dan karenanya merupakan
tulang punggung klasifikasi ini. Dua kriteria taksonomi utama adalah:
1. Ada atau tidak adanya gejala motorik yang menonjol.
2. Derajat gangguan kesadaran (kualitatif atau kuantitatif).
SE dengan gejala motorik yang jelas dan disertai gangguan kesadaran
disebut sebagai SE konvulsivus (SEK), sedangan SE tanpa gejala motorik yang
jelas disebut SE nonkonvulsivus (SENK).
10
Tabel 4. Aksis 1: Klasifikasi SE berdasarkan semiologi
Aksis 2: Etiologi
Penyebab yang mendasari (etiologi) SE dikategorikan berdasarkan konsep
proposal Komisi Klasifikasi ILAE 2010. Istilah "known" atau "simtomatik" untuk
SE yang disebabkan oleh kelainan yang diketahui, bersifat struktural, metabolik,
peradangan, infeksi, toksik, atau genetik. Berdasarkan waktu perjalanan dapat
dibagi menjadi akut, remote, dan progresif.
Istilah "idiopatik" atau "genetik" tidak berlaku untuk etiologi yang
mendasari SE. Pada sindrom epilepsi idiopatik atau genetik, penyebab SE dapat
berupa metabolik atau fator intrinsik (misalnya kurang tidur), pemberian OAE
yang tidak sesuai dan penghentian OAE yang mendadak dapat mencetuskan SE
pada sindrom epilepsi tersebut.
11
Terminologi “unknown” atau “kriptogenik” digunakan jika etiologi SE
tidak dapat ditegakkan.
Tabel 5. Kondisi inderteminate (atau boundary syndrome)
12
3. Morfologi: ketajaman, jumlah fase (misalnya morfologi trifasik),
amplitudo absolut dan relatif, dan polaritas.
4. Fitur terkait waktu: prevalensi, frekuensi, durasi, durasi dan indeks pola
harian, onset (tiba-tiba vs bertahap), dan dinamika (berkembang, fluktuasi,
atau statis).
5. Modulasi: stimulus-induced vs spontan.
6. Pengaruh intervensi (obat) pada EEG.
Aksis 4: Usia
1. Neonatal (0 hingga 30 hari)
2. Bayi (1 bulan hingga 2 tahun)
3. Masa Kecil (> 2 hingga 12 tahun)
4. Masa remaja dan dewasa (> 12 hingga 59 tahun)
5. Lansia (≥ 60 tahun)
13
Tabel 7. Status epileptikus pada sindrom eletroklinis tertentu bersdasarkan usia
2.5 Patofisiologi
Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi
penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan
dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter
eksitasi utama tersebut adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan
neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid (GABA).
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
14
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
denganneurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan
menimbulkan kejang.8
15
Gambar 1. Manifestasi Epilepsi Parsial Sederhana
16
Gambar 2. Manifestasi Epilepsi Parsial Kompleks
17
Gambar 3. Epilepsi tonik-klonik umum
Kemudian disusul oleh fase klonik. Pada fase ini terjadi kejang klonik
yang bersifat umum, melibatkan semua anggota gerak. Semua anggota gerak pada
fase klonik ini berkejang klonik ( kelojotan ) juga otot pernafasan dan otot rahang.
Biasanya fase klonik ini berlangsung kira – kira 40 detik, tetapi dapat lebih lama.
Setelah fase klonik ini penderita terbaring dalam koma. Fase koma ini biasanya
berlangsung kira–kira 1 menit. Setelah itu penderita tertidur, yang lamanya
bervariasi, dari beberapa menit sampai 1–3 jam. Bila pada saat tidur ini
dibangunkan ia mengeluh sakit kepala, dan ada pula yang tampak bengong. Lama
keadaan bengong ini berbeda–beda. Ada penderita yang keadaan mentalnya
segera pulih setelah beberapa menit serangan selesai. Ada pula yang lebih lama,
sampai beberapa jam atau hari.
18
tungkai yang menyerupai sikap deseberasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Juga ditemukaan adanya epileptic cry.
19
Gambar 5. Epilepsi Absence (Petit Mal Seizure)
20
Tanda Khas Epilepsi Atonik
Biasanya disebut juga dengan bangkitan akinetik (serangan jatuh). Epilepsi
ini biasanya mulai antara 2–5 tahun. Pada jenis ini sewaktu serangan penderitanya
tiba – tiba secara mendadak jatuh. Hal ini dapat menyebabkan giginya patah dan
kepalanya luka.
2.8 Diagnosis
Anamnesis
Ketepatan diagnosis pada pasien dengan epilepsi bergantung terutama
pada penegakan terhadap gambaran yang jelas baik dari pasien maupun dari saksi.
Hal ini mengarahkan pada diagnosis gangguan kesadaran. Seseorang tidak dapat
langsung menegakkan diagnosis hanya dengan gejala klinis yang ada melalui
penilaian serangan. Pemeriksaan, seperti EEG, sebaiknya digunakan untuk
menunjang perkiraan diagnostik yang didasarkan pada informasi klinis.
Diagnostik secara tepat selalu jauh lebih sulit dilakukan pada pasien yang
mengalami kehilangan kesadaran tanpa adanya saksi mata.9
21
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu
dintanyakan kepada pasien maupun saksi:
- Family history
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory
- Focal neurological symptoms and signs
22
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe
epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG
rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran
aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi
spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya
terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan hasil yang
abnormal.
EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosis epilepsi
secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosis dan
membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal. EEG dapat
memberikan hasil yang berupa positif palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan
kehati-hatian dalam menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada
pasien dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam
penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang sering,
karena memperlihatkan gambaran selama serangan kejang terjadi. Namun dengan
metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif palsu, dengan 10% kejang
fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks serebri dan yang gagal
memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan EEG. Pencitraan otak, lebih
sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah bagian yang penting dari
penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak
menentu. Mungkin tidak begitu penting pada pasien kejang umum yang telah
dikonfirmasi dengan EEG. Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan
ECG jarang memberikan informasi yang dibutuhkan.4
2.9 Penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologi. Harus ditindaki
secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen.
Biasanya dilakukan dua tahap tindakan: (Paul E. Marik,2000)
Stabilitas Penderita
23
Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi
vital yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan napas
yang adekuat dengan cara pemberian oksigen melalui nasal canul atau mask
ventilasi. Tekanan darah juga perlu diperhatikan, hipotensi merupakan efek
samping yang umum dari obat yang digunakan untuk mengontrol kejang. Darah
diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin.
Harus diperiksa gas-gas darah arteri untuk melacak adanya asidosis metabolic dan
kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena.
Menghentikan Kejang
Status Epileptikus Konvulsif11
24
25
Status Epileptikus Non Konvulsif
Tabel 8. Penanganan Status Epileptikus Non Konvulsif
Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain
SE lena Benzodiazepin Asam valproat IV
IV/oral
SE parsial kompleks Klobazam oral Lorazepam/Fenitoin/Fenobarbital
IV
SE lena atipikal Valproat oral Benzodiazepin, lamotrigin,
topiramat, metilfenidat, steroid
oral
SE tonik Lamotrigine oral Metilfenidat, steroid
SE non-konvulsif Fenitoin IV atau Anestesi dengan tiopenton,
pada pasien koma fenobarbital fenobarbital, propofol, atau
midazolam
26
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat
serta dosis anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi.
2.10 Prognosis
Prognosis SE ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu usia, tipe bangkitan SE,
durasi, kecepatan inisiasi tatalaksana, dan etiologi. Walaupun SE sering terjadi
pada usia dekade pertama, namun angka mortalitasnya lebih rendah dibandingkan
usia dewasa atau usia tua. Secara keseluruhan, angka mortalitas pada usia dewasa
mencapai 26% dan meningkat dua kali lipat usia >80 tahun yang mencapai 50%.
Mortalitas lebih tinggi pada durasi SE >60 menit, inisiasi tatalaksana 30 menit
sejak onset, dan SE simtomatik akut.
27
BAB III
KESIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
29
13. Sylvia Anderson dan Lorraine Mc carty. 2006. Patofisiologi Edisi 6
Volume 2. Gangguan Kejang. Jakarta : ECG: 1161-1164
14. Pramono Ardi. 2013. Status Epileptikus dan Anastesi. Artikel ilmiah. http :
//www.authorstream.compresentation/monoardi-1161128-epilepsi-dan-
anastesi/
30