Anda di halaman 1dari 30

Referat

STATUS EPILEPTIKUS

Oleh:

Reza Nurdesni 04084821820057


M. Ananda Triansyah Putra 04084841820002

Pembimbing:
dr. Hj. Sri Handayani, Sp.S(K)

BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat:
Status Epileptikus

Pembimbing:
dr. Hj. Sri Handayani, Sp.S(K)

Oleh:
Reza Nurdesni 04084821820057
M. Ananda Triansyah P 04084841820002

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya periode 11 November 2019 – 16 Desember 2019

Palembang, November 2019

dr. Hj. Sri Handayani, Sp.S(K)

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan berkat-Nya referat yang berjudul “Status Epileptikus” ini dapat diselesaikan
tepat waktu. Karya tulis ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Neurologi Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis juga ingin
menyampaikan terima kasih kepada dr. Hj. Sri Handayani, Sp.S(K) atas
bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik. Penulis menyadari
masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah ilmiah ini. Oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Status epileptikus merupakan kedaruratan medis karena bila tidak ditangani,
maka anoksia yang terjadi bisa menyebabkan kerusakan otak permanen yang
berhubungan dengan risiko yang tinggi untuk terjadi kecatatan dan kematian,
sehingga penting untuk dikenali secara dini agar dapat ditatalaksana segera
mungkin dimulai pada fase pra rumah sakit. Menurut International League
Against Epilepsy, status epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung
terus menerus selama 30 menit atau lebih. Studi berbasis populasi memperkirakan
bahwa 50.000-200.000 kasus status epileptikus terjadi setiap tahun di Amerika
Serikat.1
Angka kematian untuk status epileptikus cukup tinggi, sekitar 22%-25%
walaupun dengan terapi obat agresif. Berdasarkan gejala kejang yang
menyertainya, status epileptikus diklasifikasikan menjadi tiga yakni status
epileptikus konvulsif, status epileptikus non-konvulsif, dan status epileptikus
refrakter. Kejang tonik klonik pada status epileptikus konvulsif menandakan
keberlanjutan aktivitas kejang. Hal ini tidak terjadi pada status epileptikus non
konvulsif. Etiologi terjadinya status epileptikus adalah usia, penyakit
cerebrovskular, hipoksia, gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi trauma, dan
idiopatik.2,3
Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat
mungkin. Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan
secara tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih
dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi penderita
epilepsi. Aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 60 menit dan usia lanjut
adalah faktor yang berperan memperburuk diagnosis. Pentingnya pemahaman
mengenai pengenalan gejala klinis agar penderita mendapatkan tatalaksana secara
tepat pada kasus status epileptikus.

4
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk membahas dan menggali lebih mendalam
mengenai status epileptikus.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut International League Againts Epilepsy (ILAE), status epileptikus
adalah kejang yang berlangsung terus menerus selama periode waktu tertentu atau
berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. Sebagian para ahli
membuat kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit.1
Status epileptikus (SE) didefinisikan sebagai bangkitan epileptik yang
memanjang atau berulang sesuai durasi bangkitan yang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabe 1. Definisi operasional t1 dan t2 pada SE
Tipe SE Titik waktu t1 Titik waktu t2
SE tonik-klonik 5 menit 30 menit
SE fokal dengan gangguan kesadaran 10 menit >60 menit
SE lena (absence) 10-15 menit Tidak diketahui
Sumber: Trinka E, dkk. Epilepsia. 2015
Catatan: Titik t1 adalah waktu saat tatalaksana emergensi SE harus mulai, titk t2 adalah waktu saat
konsekuensi jangka panjang (kematian, cedera maupun perubahan jaringan pada neuron) dapat
terjadi.

2.2 Epidemiologi
Insidens SE episode pertama mencapai 42 kasus per 100.000 penduduk
pertahunnya dengan rasio yang hampir sama pada laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan National Health Discharge Survey (NHDS) insiden ini bersifat
bimodal, yatu lebih tinggi pada usia dekade pertama dan setelah usia 60 tahun. Di
Amerika Serikat insidensnya berkisar antara 6,2-13,3 per 100.000 populasi.
Di RSCM, pada bulan Juni 2013 hingga Januari 2014 teradapat 31 pasien
SE di instalasi gawat darurat, 45,2% dengan bangkitan umum dan 54,8% dengan
bangkitan fokal. Sebanyak 22,6 % pasien meninggal dan kesemuanya mengalami
bangkitan umum. Penelitian Loho 2016 di RSCM menunjukkan bahwa 61,8%
kasus ensefalopati metabolik mengalami SE nonkonvulsif.

6
SE merupakan kegawatdaruratan medis dengan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi, yaitu 3-50%. Angka ini bervariasi tergantung etiologinya, angka
mortalitas SE refrakter pada pasien usia tua mencapai 76%.

2.3 Etiologi
Secara umum, etiologi SE terdiri dari etiologi yang diketahu (simtomatik)
dan etiologi yang tidak diketahui (kriptogenik).
1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit,
trauma kepala, perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati
hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak
kongenital.
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun
(contohnya vaskulitis).
d. Epilepsi

2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui


a. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang
umum, penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi
mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan
umumnya predisposisi genetik.
b. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum
diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa
disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk
disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.

Berdasarkan waktu terjadinya abnormalis peyebabnya, etiologi SE dibagi


menjadi 3, yaitu:
1. Proses akut

7
- Gangguan metabolik: angguan elektrolit, hipoglikemua, dan gangguan
ginjal.
- Infeksi susunan saraf pusat stroke iskemik, perdarahan intra serebral,
perdarahan subarakhnoid dan trombosis sinus serebral.
- Sepsis
- Stroke: stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahaN
- subarakhnoi, dan tromboss sinus serebral.
- Trauma kepala dengan atau tanpa hematom epidoral atau subdural.
- Obat-obatan: intoksiakasi obat atau alkohol, withdrawal golongan
opioid.
- Hiposemia
- Ensefalopati hipertensif
2. Proses Kronik
- Epilepsi : penghentian atau enuruan obat anti epilepsi (OAE)
- Penyalahgunaan alkohol kronik
- Gangguan susunan saraf pusat ampau (misalnya pasca steoke,
pascaensefalitis)
- Gangguan metablosme bawaan pada anak.
3. Proses Progresif
- Tumor susunan saraf pusat

2.4 Klasifikasi
Tahun 1981 International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu
klasifikasi internasional mengenai kejang dan epilepsi yang membagi kejang
menjadi 2 golongan utama : serangan parsial (partial onset seizures) dan serangan
umum (generalized-onset seizures). Serangan parsial dimulai pada satu area fokal
di korteks serebri, sedangkan serangan umum dimulai secara simultan di kedua
hemisfer. Serangan lain yang sulit digolongkan dalam satu kelompok dimasukkan
dalam golongan tak terklasifikasikan (unclassified). ILAE kemudian membuat
klasifikasi yang diperbarui menggunakan diagnosis multiaksial pada tahun 1989,
kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2001, namun klasifikasi tahun 1981

8
tetap masih sering digunakan.1

Tabel 2. Klasifikasi SE ILAE 1981


1. Serangan parsial (fokal)
a. Serangan parsial sederhana (dengan gejala motorik, sensorik, otonom,
atau psikis)
b. Serangan parsial kompleks
c. Serangan parsial dengan generalisasi sekunder
2. Serangan umum
a. Absans (petit mal)
b. Tonik-klonik (Grand mal)
c. Tonik
d. Atonik
e. Mioklonik
3. Serangan epilepsi tak terklasifikasikan
Sumber: Trinka E, dkk. Epilepsia. 2015

Menurut ILAE 2915, terdapat 2 jenis SE berdasarkan bentuk bangkitannya, yaitu


SE dengan gejala motor yang prominen dan SE tanpa gejala motor yang prominen
(tabel 2).

Tabel 3. Klasifikasi SE berdasarkan bentuk bangkitan


1. Dengan gejala motor yang prominen
a. SE konvulsif (SE dengan bentuk bangkitan tonik klonik)
b. SE mioklonik
c. SE dengan bentuk bangkitan motorik fokal
d. SE tonik
e. SE hiperkinetik
2. Tanpa gejala motor yang prominen (nonkonvulsif)
a. SE nonkonvulsif dengan koma
b. SE nonkonvulsif tanpa koma
1) Umum

9
- Status absans tipikal
- Status absans atipikal
- Status absans mioklonik
2) Fokal
- Tanpa gangguan kesadaran (aura kontinua, misalnya gejala
otonom, sensorik, auditorik, visual, olfaktori, gustatorik, emosi,
atau psikis)
- Status afasia
- Dengan gangguan kesadaran
3) Tidak diketahui umum atau fokal
- SE otonom
Sumber: Trinka E, dkk. Epilepsia. 2015

Klasifikasi SE ditentukan berdasarkan:


1. Semiologi
2. Etiologi
3. Gambaran EEG
4. Usia

Aksis 1. Semiologi
Aksis ini mengacu pada presentasi klinis SE dan karenanya merupakan
tulang punggung klasifikasi ini. Dua kriteria taksonomi utama adalah:
1. Ada atau tidak adanya gejala motorik yang menonjol.
2. Derajat gangguan kesadaran (kualitatif atau kuantitatif).
SE dengan gejala motorik yang jelas dan disertai gangguan kesadaran
disebut sebagai SE konvulsivus (SEK), sedangan SE tanpa gejala motorik yang
jelas disebut SE nonkonvulsivus (SENK).

10
Tabel 4. Aksis 1: Klasifikasi SE berdasarkan semiologi

Sumber: Trinka E, dkk. Epilepsia. 2015

Aksis 2: Etiologi
Penyebab yang mendasari (etiologi) SE dikategorikan berdasarkan konsep
proposal Komisi Klasifikasi ILAE 2010. Istilah "known" atau "simtomatik" untuk
SE yang disebabkan oleh kelainan yang diketahui, bersifat struktural, metabolik,
peradangan, infeksi, toksik, atau genetik. Berdasarkan waktu perjalanan dapat
dibagi menjadi akut, remote, dan progresif.
Istilah "idiopatik" atau "genetik" tidak berlaku untuk etiologi yang
mendasari SE. Pada sindrom epilepsi idiopatik atau genetik, penyebab SE dapat
berupa metabolik atau fator intrinsik (misalnya kurang tidur), pemberian OAE
yang tidak sesuai dan penghentian OAE yang mendadak dapat mencetuskan SE
pada sindrom epilepsi tersebut.

11
Terminologi “unknown” atau “kriptogenik” digunakan jika etiologi SE
tidak dapat ditegakkan.
Tabel 5. Kondisi inderteminate (atau boundary syndrome)

Sumber: Trinka E, dkk. Epilepsia. 2015

Tabel 6. Aksis 2: Klasifikasi SE berdasarkan etiologi

Sumber: Trinka E, dkk. Epilepsia. 2015

Aksis 3: Gambaran EEG


Pelepasan epileptiform dianggap sebagai ciri khas, tetapi dengan
meningkatnya durasi SE, perubahan EEG dan pola nonepileptiform berirama
mungkin terjadi. Pola EEG yang serupa, seperti gelombang trifasik, dapat direkam
dalam berbagai kondisi patologis. EEG sangat diperlukan dalam diagnosis NKSE
karena tanda-tanda klinis (jika ada) seringkali tidak spesifik. Saat ini tidak ada
kriteria EEG berbasis bukti untuk SE. Terminologi berikut untuk menggambarkan
pola EEG di SE:
1. Lokasi: digeneralisasi (termasuk pola sinkron bilateral), lateralisasi,
bilateral independen, multifokal.
2. Nama polanya: Pelepasan periodik, aktivitas delta berirama atau spike-
and-wave / sharp-and-wave plus subtipe.

12
3. Morfologi: ketajaman, jumlah fase (misalnya morfologi trifasik),
amplitudo absolut dan relatif, dan polaritas.
4. Fitur terkait waktu: prevalensi, frekuensi, durasi, durasi dan indeks pola
harian, onset (tiba-tiba vs bertahap), dan dinamika (berkembang, fluktuasi,
atau statis).
5. Modulasi: stimulus-induced vs spontan.
6. Pengaruh intervensi (obat) pada EEG.

Aksis 4: Usia
1. Neonatal (0 hingga 30 hari)
2. Bayi (1 bulan hingga 2 tahun)
3. Masa Kecil (> 2 hingga 12 tahun)
4. Masa remaja dan dewasa (> 12 hingga 59 tahun)
5. Lansia (≥ 60 tahun)

13
Tabel 7. Status epileptikus pada sindrom eletroklinis tertentu bersdasarkan usia

Sumber: Trinka E, dkk. Epilepsia. 2015

2.5 Patofisiologi
Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi
penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan
dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter
eksitasi utama tersebut adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan
neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid (GABA).
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.

14
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
denganneurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan
menimbulkan kejang.8

2.6 Faktor Risiko


Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status
epileptikus:
a. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali
episode status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat
merupakan manifestasi epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru
epilepsi.
b. Pasien sakit kritis
Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma
kepala, infeksi SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan
(terutama post-operatif), dan ensefalopati hipertensi

2.7 Gambaran Klinis


Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk
status epileptikus yang paling sering dijumpai.
Tanda Khas Epilepsi Parsial Sederhana
Gerakan ditandai dengan gerakan klonik atau tonik yang tidak sinkron, dan
mereka cenderung melibatkan wajah, leher dan tungkai. Rata – rata kejang
berlangsung selama 10–22 detik. EEG dapat menunjukkan gelombang tajam
unilateral atau bilateral, atau gambaran paku multifokal pada penderita dengan
kejang parsial sederhana. Jenis epilepsy ini mempunyai kekhususan tersendiri,
yaitu prognosisnya baik. Serangannya mudah diobati, dicegah dengan
antikonvulsan, dan umumnya akan sembuh pada umur 15 tahun.

15
Gambar 1. Manifestasi Epilepsi Parsial Sederhana

Tanda Khas Epilepsi Parsial Kompleks


Kejang jenis ini disebut juga kejang psikomotor. Kejang ini dapat didahului
oleh kejang parsial sederhana dengan atau tanpa aura, disertai dengan gangguan
kesadaran atau sebaliknya, mulainya kejang parsial kompleks ini dapat bersama
dengan keadaan kesadaran yang berubah. Daerah yang terkena kejang parsial
kompleks lebih luas dibandingkan dengan kejang parsial sederhana dan biasanya
didahului dengan aura.

16
Gambar 2. Manifestasi Epilepsi Parsial Kompleks

Tanda Khas Epilepsi Parsial Kemudian Menjadi Umum


Bentuk kejang ini disebut juga status epilepsy fokal atau epilepsi parsial
kontinu. Bentuk kejang biasanya kejang klonik (kelojotan). Tiap bagian tubuh
dapat terlibat, misalnya tangan, muka, dan kaki. Kejang ini dapat terbatas dan
dapat pula menjalar ke bagian tubuh lainnya. Sehabis kejang sesekali dijumpai
bahwa otot yang terlibat lemah. Kelemahan ini umumnya pulih setelah beberapa
menit atau jam.

Tanda Khas Epilepsi Tonik Klonik Umum


Bangkitan grandmal disebut juga bangkitan tonik klonik umum atau
bangkitan mayor (serangan besar). Bangkitan grandmal merupakan jenis epilepsi
yang sering dijumpai. Serangan grandmal yang khas adalah sebagai berikut,
mendadak hilang kesadarannya, disertai kejang tonik (badan dan anggota gerak
menjadi kaku) yang kemudian diikuti oleh kejang klonik (badan dan anggota
gerak berkejut-kejut, kelojotan). Biasanya fase kejang tonik ini berlangsung
selama 20 – 60 detik.

17
Gambar 3. Epilepsi tonik-klonik umum

Kemudian disusul oleh fase klonik. Pada fase ini terjadi kejang klonik
yang bersifat umum, melibatkan semua anggota gerak. Semua anggota gerak pada
fase klonik ini berkejang klonik ( kelojotan ) juga otot pernafasan dan otot rahang.
Biasanya fase klonik ini berlangsung kira – kira 40 detik, tetapi dapat lebih lama.
Setelah fase klonik ini penderita terbaring dalam koma. Fase koma ini biasanya
berlangsung kira–kira 1 menit. Setelah itu penderita tertidur, yang lamanya
bervariasi, dari beberapa menit sampai 1–3 jam. Bila pada saat tidur ini
dibangunkan ia mengeluh sakit kepala, dan ada pula yang tampak bengong. Lama
keadaan bengong ini berbeda–beda. Ada penderita yang keadaan mentalnya
segera pulih setelah beberapa menit serangan selesai. Ada pula yang lebih lama,
sampai beberapa jam atau hari.

Tanda Khas Epilepsi Tonik Umum


Kejang ini biasanya terdapat pada BBLR dengan masa kehamilan kurang
dari 34 minggu dan pada bayi dengan komplikasi perinatal berat misalnya
perdarahan intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan
tonik satu ekstremitas, atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan

18
tungkai yang menyerupai sikap deseberasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Juga ditemukaan adanya epileptic cry.

Gambar 4. Epilepsi tonik

Tanda Khas Epilepsi Klonik Umum


Kejang klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
permulaan fokal dan multifokal yang berpindah–pindah. Bentuk klinis kejang
klonik fokal berlangsung 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai
gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini
dapat disebabkan oleh kontusio serebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan
cukup bulan, atau oleh ensefalopati metabolik. Bentuk kejang ini merupakan
gerakan klonik pada satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah atau
terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri diikuti dengan kejang
klonik tungkai bawah kanan.

Tanda Khas Epilepsi Absence

19
Gambar 5. Epilepsi Absence (Petit Mal Seizure)

Pada serangan petit mal terdapat hal berikut:


1. Penderita tiba-tiba berhenti melakukan apa yang sedang ia lakukan
(misalnya makan, bermain, berbicara, membaca )
2. Ia memandang kosong, melongo (staring). Pada saat ini ia tidak bereaksi
bila diajak bicara atau bila dipanggil, karena ia tidak sadar.
3. Setelah beberapa detik ia kemudian sadar dan melanjutkan lagi apa yang
sedang ia lakukan sebelum serangan terjadi.
Jadi pada serangan petit mal didapatkan menghilangnya kesadaran yang
berlangsung mendadak dan singkat. Waktu serangan terjadi penderita tidak jatuh,
biasanya ia agak terhuyung. Tidak didapatkan aura, dan pasien tidak ngompol
sewaktu serangan.

20
Tanda Khas Epilepsi Atonik
Biasanya disebut juga dengan bangkitan akinetik (serangan jatuh). Epilepsi
ini biasanya mulai antara 2–5 tahun. Pada jenis ini sewaktu serangan penderitanya
tiba – tiba secara mendadak jatuh. Hal ini dapat menyebabkan giginya patah dan
kepalanya luka.

Tanda Khas Epilepsi Mioklonik


Epilepsi masa anak ditandai dengan kejang berulang yang terdiri dari
kontraksi otot sebentar, sering kontraksi otot simetris dengan kehilangan tonus
tubuh dan jatuh atau menelungkup ke depan.

Gambar 6. Epilepsi Juvenile Mioklonik

2.8 Diagnosis
Anamnesis
Ketepatan diagnosis pada pasien dengan epilepsi bergantung terutama
pada penegakan terhadap gambaran yang jelas baik dari pasien maupun dari saksi.
Hal ini mengarahkan pada diagnosis gangguan kesadaran. Seseorang tidak dapat
langsung menegakkan diagnosis hanya dengan gejala klinis yang ada melalui
penilaian serangan. Pemeriksaan, seperti EEG, sebaiknya digunakan untuk
menunjang perkiraan diagnostik yang didasarkan pada informasi klinis.
Diagnostik secara tepat selalu jauh lebih sulit dilakukan pada pasien yang
mengalami kehilangan kesadaran tanpa adanya saksi mata.9

21
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu
dintanyakan kepada pasien maupun saksi:
- Family history
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory
- Focal neurological symptoms and signs

Pemeriksaan Fisik dan Neurologi


Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien
yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk
mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya
dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak
kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular
seperti sinkop kardiovaskular.
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit
neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang,
papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di
area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh
karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin, fenitoin,
lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi
”Dysmorphism“ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan
gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat
diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa
menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan
adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus
temporalis.

22
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe
epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG
rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran
aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi
spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya
terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan hasil yang
abnormal.
EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosis epilepsi
secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosis dan
membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal. EEG dapat
memberikan hasil yang berupa positif palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan
kehati-hatian dalam menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada
pasien dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam
penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang sering,
karena memperlihatkan gambaran selama serangan kejang terjadi. Namun dengan
metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif palsu, dengan 10% kejang
fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks serebri dan yang gagal
memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan EEG. Pencitraan otak, lebih
sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah bagian yang penting dari
penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak
menentu. Mungkin tidak begitu penting pada pasien kejang umum yang telah
dikonfirmasi dengan EEG. Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan
ECG jarang memberikan informasi yang dibutuhkan.4

2.9 Penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologi. Harus ditindaki
secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen.
Biasanya dilakukan dua tahap tindakan: (Paul E. Marik,2000)
Stabilitas Penderita

23
Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi
vital yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan napas
yang adekuat dengan cara pemberian oksigen melalui nasal canul atau mask
ventilasi. Tekanan darah juga perlu diperhatikan, hipotensi merupakan efek
samping yang umum dari obat yang digunakan untuk mengontrol kejang. Darah
diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin.
Harus diperiksa gas-gas darah arteri untuk melacak adanya asidosis metabolic dan
kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena.

Gambar 7. Penanganan status epileptikus

Menghentikan Kejang
Status Epileptikus Konvulsif11

24
25
Status Epileptikus Non Konvulsif
Tabel 8. Penanganan Status Epileptikus Non Konvulsif
Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain
SE lena Benzodiazepin Asam valproat IV
IV/oral
SE parsial kompleks Klobazam oral Lorazepam/Fenitoin/Fenobarbital
IV
SE lena atipikal Valproat oral Benzodiazepin, lamotrigin,
topiramat, metilfenidat, steroid
oral
SE tonik Lamotrigine oral Metilfenidat, steroid
SE non-konvulsif Fenitoin IV atau Anestesi dengan tiopenton,
pada pasien koma fenobarbital fenobarbital, propofol, atau
midazolam

Status Epileptikus Refrakter11


- Terapi bedah epilepsy
- Stimulasi N.Vagus
- Modifikasi tingkah laku
- Relaksasi
- Mengurangi dosis OAE
- Kombinasi OAE
Kombinasi OAE Indikasi
Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan Lena
Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan Parsial Kompleks
Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
Tabel 4. Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsi refrakter

26
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat
serta dosis anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi.

2.10 Prognosis
Prognosis SE ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu usia, tipe bangkitan SE,
durasi, kecepatan inisiasi tatalaksana, dan etiologi. Walaupun SE sering terjadi
pada usia dekade pertama, namun angka mortalitasnya lebih rendah dibandingkan
usia dewasa atau usia tua. Secara keseluruhan, angka mortalitas pada usia dewasa
mencapai 26% dan meningkat dua kali lipat usia >80 tahun yang mencapai 50%.
Mortalitas lebih tinggi pada durasi SE >60 menit, inisiasi tatalaksana 30 menit
sejak onset, dan SE simtomatik akut.

27
BAB III
KESIMPULAN

Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologik. Status epileptikus


(SE) adalah serangan kejang berulang tanpa disela suatu periode sadar sebelum
serangan kejang berikutnya atau berlangsung >30 menit. Harus ditindaki secepat
mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen. Biasanya
dilakukan dua tahap tindakan yakni stabilitas pasien dan menghentikan kejang
dengan obat anti kejang. Ketepatan diagnosis pada pasien dengan status epilepsi
bergantung terutama pada penegakan terhadap gambaran yang jelas baik dari
pasien maupun dari saksi. Untuk mempermudah anamnesis, berikut perlu
dintanyakan kepada pasien maupun saksi Family history, Past history ,Systemic
history, Alcoholic history, Drug history dan Focal neurological symptoms and
signs. EEG merupakan tes untuk membantu dalam penegakan diagnosis dan
membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Medscape Emedicine. 2014. Status Epileptic. http://emedicine.


medscape.com diakses pada 19 November 2019
2. Lombardo MC. 2005. Gangguan Kejang. In: Price SA, Wilson LM,
editors. Patofisiologi. 6 ed. Jakarta: EGC. p.1158-1161.
3. Assis TMRd, Costa G, Bacellar A, Orsini M, Nascimento OJM. 2012.
Status epilepticus in the elderly: epidemiology, clinical aspects and
treatment. Neurology 4(17):78-84
4. Sisodiya S.M, Duncan J. 2000. Epilepsy : Epidemiology, Clinical
Assessment, Investigation and Natural History, Medicine
International,00(4);36-41.
5. Mardjono M. 2003. Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan
Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi,
Agoes A (editor); 129-148
6. Elin Yulianah , dkk. Iso Farmakoterapi. Status epileptikus. Jakarta : ISFI.
594-612
7. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors). 2003. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
8. Nia Kania. 2017. Kejang pada Anak. Disampaikan pada acara Siang
Klinik Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung.
9. Ahmed Z, Spencer S.S. 2004. An Approach to the Evaluation of a Patient
for Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.
10. Harsono. 2001. Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press,
Yogyakarta.
11. Oguni H. 2004. Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48
(Suppl.8):13-16
12. Andrea O, Rosetti, dkk. 2009. Management and prognosis of status
epilepticus according to hospital setting: a prospective study. Original
Article. Swiss Med Wkly 139 (49-50): 719-723

29
13. Sylvia Anderson dan Lorraine Mc carty. 2006. Patofisiologi Edisi 6
Volume 2. Gangguan Kejang. Jakarta : ECG: 1161-1164
14. Pramono Ardi. 2013. Status Epileptikus dan Anastesi. Artikel ilmiah. http :
//www.authorstream.compresentation/monoardi-1161128-epilepsi-dan-
anastesi/

30

Anda mungkin juga menyukai