Anda di halaman 1dari 12

A.

Pendahuluan
Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-akhir
ini terutama di negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi dimana
pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA menghasilkan kematian. Begitu pula
dalam praktek sehari-hari Status Epileptikus merupakan masalah yang tidak dapat secara cepat
dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun akibat yang terjadi kemudian. Status
epileptikus (SE) merupakan masalah klinis utama yang sering terjadi pada masa kanak-kanak
dengan potensi morbiditas yang tinggi dan merupakan kegawatdaruratan neurologis yang
membutuhkan perawatan intensif. Status epileptikus dibagi menjadi bentuk konvulsif
(convulsive status epilepticus= CSE) dan non-konvulsif (non-convulsive status epilepticus
=NCSE), dan kejangnya dapat umum atau parsial.1,2
B. Definisi
Epilepsi adalah perubahan paroksismal pada aktifitas sistem syaraf yang dapat dideteksi
secara klinis. Seseorang yang dapat dikatakan menderita epilepsi jika telah mengalami kejang
yang tidak dipicu oleh apapun dan yang rekuren (lebih daripada 2 insiden terjadi kejang). Kejang
adalah suatu episode dimana terjadi disfungsi pada otak akibat dari terdapatnya abnormalitas di
aktivitas listrik pada syaraf di otak. Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung lebih dari
30 detik atau adanya 2 bangkitan lebih tanpa pemulihan kesadaran diantaranya. Manifestasi
serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang
timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda
tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran,
gangguan sensorik (subjektif), gangguan motorik atau kejang (objektif), gangguan otonom
(vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus
epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenalah bermacam jenis
epilepsi1
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus
didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya
pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau

seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai
status epileptikus.2
C. Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian
kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya.3 Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala
yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien
yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan.
Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang
berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira 10 persen.2
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat
dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan
sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada negara
miskin, epilepsi merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang
paling tinggi.
D. Etiologi
Penyebab status epileptikus sangat bervariasi tiap individu. Pada orang dewasa, penyebab
utama adalah antiepileptikus potensi rendah (34 %) dan penyakit serebrovaskular (22%),
termasuk akut atau remote stroke dan perdarahan. Penyebab lain status epileptikus adalah
hipoglikemia, hipoksemia, trauma, infeksi (meningitis, ensefalitis, dan abses otak), alkohol,
penyakit metabolik, toksisitas obat, dan tumor.2
E. Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang
efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus
dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan, yaitu area tertentu dari korteks (Partial onset)
atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset). Kategori utama lainnya bergantung pada
pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi
mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik,
mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks).
Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status

epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan
pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infant dan anakanak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:4
Konvulsif Status Epileptikus
1. Overt generalized convulsive status epilepticus
Ini merupakan bentuk dari SE yang paling sering dihadapi dan potensial dalam
mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik klonik umum. Pada status tonik
klonik umum, serangan berawal dengan kejang tonik klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap kejang berlangsung dua-tiga
menit dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernapasan yang
terputus-putus. Penderita menjadi sianosis, hyperpnea, retensi CO 2, adanya takikardia dan
peningkatan tekanan darah, hyperpireksia, hiperglikemia dan peningkatan laktat serum.
a.

Tonik klonik

b. Tonik
c.

Klonik

d. Mioklonik
2. Subtle generalized convulsive status epilepticus
Merupakan lanjutan dari generalized convulsive status epilepticus dengan atau tanpa
aktivitas motorik. Manifestasi klinis seperti gerakan halus, nistagmus atau fasikulus dan
merupakan hasil dari kerusakan otak.2
Non-Konvulsif Status Epileptikus
a. Status epileptikus absens (SE absens)
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu
keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupaislow
motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. SE absens
ditandai oleh suatu keadaan bingung (konfusi) berkepanjangan yang berkaitan dengan
kelainan EEG umum sangat berbeda dari keadaan interiktal. Kedua gambaran ini
berespon dengan segera terhadap obat antiepilepsi. Pasien dalam SE absens biasanya
bingung dan merasa mengantuk, tapi agitasi, perilaku kasar, dan halusinasi kadang-

kadang dapat terjadi. Penurunan kesadaran mungkin sangat ringan sehingga masih dapat
melakukan beberapa kegiatan sehari-hari. Berkaitan dengan otomatisasi, berkedip, dan
sentakan kepala dan anggota gerak juga dapat diamati sehingga menghasilkan suatu
tumpang tindih antara SE absens dan subtle SE.
b. Status epileptikus parsial kompleks
Perbedaan SE parsial kompleks dari SE absens sulit dibedakan atas dasar klinis saja.
Seperti pada SE absens, pasien dengan SE parsial kompleks juga dalam keadaan bingung
dan lateralisasi yang jelas mungkin hilang/tidak ditemukan. Kriteria untuk diagnosis
klinis SE parsial kompleks telah diringkas sebagai berikut kejang parsial kompleks
berulang tanpa pemulihan penuh kesadaran diantara kejang atau keadaan senja epilepsi
terus menerus dengan siklus/perputaran antara fase tanpa respons dan fase respons
sebagian. Unsur/elemen perputaran/siklus tidak selalu hadir dan definisi ini tetap
menjadi kontroversi.7
Gejala SE parsial kompleks dapat mencakup amnesia, afasia, perilaku aneh dan
hemiparesis. EEG penting untuk membuat suatu diagnosis yang benar. Kelainan iktal
yangfokal dan meliputi gelombang dan lonjakan lambat, polyspike dan perlambatan
ritmis. Suatu generalisasi sekunder mungkin terjadi, berpotensi menyebabkan kebingunan
diagnostik. Kesulitan diagnostik ini dapat diatasi bila kelainan fokal interiktal ditemukan
pada EEG gambaran ini juga merupakan bagian dari kriteria diagnotik SE parsial
kompleks yang diusulkan oleh berbagai peneliti. Kelainan fokal seringkali terlihat pada
lobus temporal, dan sering mencerminkan adanya lesi akut atau kronik yang
mendasarinya.7,8
F. Patofisiologi
Patofisiologi status epileptikus terdiri dari banyak mekanisme dan masih sangat sedikit
diketahui. Beberapa mekanisme tersebut adalah adanya kelebihan proses eksitasi atau inhibisi
yang inefektif pada neurotransmiter, dan adanya ketidak seimbangan aktivitas reseptor eksitasi
atau inhibisi di otak. Neurotransmiter eksitatorik utama yang berperan dalam kejang adalah
glutamat. Faktor faktor apapun yang dapat meningkatkan aktivitas glutamat akan menyebabkan
terjadinya kejang.

Neurotransmiter inhibitorik yang berperan dalam kejang adalah GABA. Antagonis


GABA seperti penisilin dan antibiotik dapat menyebabkan terjadinya kejang. Selain itu, kejang
yang berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA sehingga mudah
menyebabkan kejang.5
Kerusakan CNS dapat terjadi oleh karena ketidakseimbangan hormon dimana terdapat
glutamat yang berlebihan yang akan menyebabkan masuknya kalsium dalam sel neuron dan
akhirnya menyebabkan apoptosis (eksitotoksik). Selain itu, juga dapat disebabkan oleh GABA
dikeluarkan sebagai mekanisme kompensasi terhadap kejang tetapi GABA itu sendiri
menyebabkan terjadinya desensitisasi reseptor, dan efek ini diperparah jika terdapat hipertermi,
hipoksia, atau hipotensi.5
Terdapat dua fase dalam status epileptikus yaitu fase pertama ( 0 30 menit) dan fase
kedua (> 30 menit). Pada fase pertama, mekanisme kompensasi masih baik dan menimbulkan
pelepasan adrenalin dan noradrenalin, meningkatnya aliran darah ke otak, meningkatnya
metabolisme, hipertensi, hiperpireksia, hiperventilasi, takikardi, dan asidosis laktat. Pada fase
kedua, mekanisme kompensasi telah gagal mempertahankan sehingga autoregulasi cerebral gagal
dan menimbulkan odem otak, depresi pernafasan, aritmia jantung, hipotensi, hipoglikemia,
hiponatremia, gagal ginjal, rhabdomiolisis, hipertermia, dan DIC.
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase
pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac
output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat
serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat.
Perubahan saraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua,
kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali
normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut
mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan
kerusakan syaraf yang irreversibel. Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus
selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme
ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap
kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.5
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal
pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,

hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat
efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan
penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari
glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan
kerusakan sel yang diperantarai kalsium.5

G. Manifestasi Klinis
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan
bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44
sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi. 6,7
1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial
dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang
parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum.Pada status tonik-klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran
diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan
otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis
selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.Adanya takikardi dan peningkatan

tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat


serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan
metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani. 6,7

2. Status Epileptikus Mioklonik


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe dari
status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.6,7
3. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan
mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupaislow motion
movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang
umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3
Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.Respon terhadap status
epileptikus Benzodiazepin intravena didapati. 6,7
4. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,
karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan
stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,delusional, cepat
marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave
discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens. 6,7

5. Status Epileptikus Parsial Sederhana


a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada
satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang
menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara
unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu
menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan
(PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak.
Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik). 6,7
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march. 6,7
6. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup
untuk mencegah pemulihan diantara episode.Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara,
dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus. 6,7
H. Penatalaksanaan Status Kejang
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa
yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus
dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus ini diambil
berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam penanganan
status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan
adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini
bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada
Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.

Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang
mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah),
dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang
sebanyak 65 persen.8

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan
terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam
plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi
pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.8
Pemberian

antikonvulsan

masa

kerja

lama

seharusnya

dengan

menggunakan

Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih
dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek
samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen
glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang
besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove
syndrome. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.8
Status Epileptikus Refrakter
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Kejang
berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia
rekuren, atau hipokalsemia persisten. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi
dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama. 6,7,8
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan
Valproat atau Phenobarbital secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi
dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini

dimonitor oleh EEG, dan jika tidak ada aktivitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika
berlanjut akan diulang dengan dosis awal. 6,7,8
Protokol penanganan status epileptikus: 6,7,8
Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a.

Periksa tekanan darah

b. Mulai pemberian Oksigen


c.

Monitoring EKG dan pernafasan

d.

Periksa secara teratur suhu tubuh

e.

Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung
darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa
Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4.

Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV


atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernickes encephalophaty

5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)


6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan
kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap
terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per
menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan
Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat
diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg
per menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena
hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam;
kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti.
Pertahankan tekanan darah stabil.
-atauBerikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per
kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atauBerikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous. Status Epilepticus. Guidelines for The Management of Epilepsy in India.2.
2. Brown R., Ropper AH. Adams and Victors: Principles Of Neurolgy vol 1.2005; hal: 271301.3.
3. Ruegg S. Non-convulsive status epilepticus in adults an overview. Division of Clinical
Neurophsysiology. University Hospital Basel. 2008;159:53-83.
4. Husain A., Horn G., Jacobson M. Non-convulsive status epilepticus: usefulness
of clinical features in selecting patients for urgent EEG. J Neurol Neurosurg Psychiatry
2003;74:189-191.
5. Shorvon S. Clinical Aspect of Status Epilepticus: what is non convulsive status
epilepticus and what are its subtypes?. Institute of Neurology, UCL, National Hospital for
Neurology, London, UK. Epilepsia 2007;48:35-38.
6. Smith SJM. EEG in The Diagnosis Classification, and Management of Patients
with Epilepsy. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2005;76.
7. Greenberg D., et all. A lange Medical Book: Clinical Neurology fifth edition. Medical
Publishing Division.2005;hal 44.
8. Binnie CD., Prior PF. Electroencephalography. Journal of Neurology, Neurosurgery, and
Psychiatry 1994;57:1308-1319.

Anda mungkin juga menyukai