Anda di halaman 1dari 12

RISIKO PENYAKIT AKIBAT KERJA PADA PERAWAT

Ananda Muthia Bahri Hasibuan

anandamuthiag3@gmail.com

LATAR BELAKANG

Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di RS (K3RS) perlu ditetapkan untuk mencegah
dan mengurangi risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja di RS. Demi terciptanya jaminan
keselamatan kerja maka diperlukan pelayanan strategis yang profesional serta prosedur kerja
yang tetap, tidak hanya tergantung pada peraturan-peraturan yang mengayominya dan
finansial yang diberikan, melainkan banyak faktor yang harus ikut terlibat, diantaranya
adalah pelaksanaan organisasi.Suatu organisasi yang berhasil dapat diukur dengan melihat
pada sejauh mana organisasi tersebut dapat mencapai tujuannya.Pelaksanaan K3 di RS dapat
dinilai dari kefektivitasan organisasi K3 tersebut (Kun dwi apriliawati,2017).

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang kompleks, padat profesi dan
padat modal. Pelayanan rumah sakit menyangkut berbagai fungsi pelayanan, pendidikan,
penelitian dan juga mencakup berbagai tindakan maupun disiplin medis. Rumah Sakit adalah
tempat kerja yang memiliki potensi terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Bahan mudah
terbakar, gas medik, radiasi pengion, dan bahan kimia merupakan potensi bahaya yang
memiliki risiko kecelakaan kerja. Oleh karena itu, Rumah Sakit membutuhkan perhatian
khusus terhadap keselamatan dan kesehatan pasien, staf dan umum (Sadaghiani,2001 dalam
Omrani dkk.,2015).

Undang-undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 7 ayat 1, bahwa "Rumah Sakit
harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia,
kefarmasian, dan peralatan", persyaratan-persyaratan tersebut salah satunya harus memenuhi
unsur Keselamatan dan Kesehatan Kerja di dalamnya. Rumah Sakit yang tidak memenuhi
persyaratan-persyaratan tersebut tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak
diperpanjang izin operasional Rumah Sakit (pasal 17) (MENKES RI, 2009).

Risk Management Standard AS/NZS 4360:2004 menyatakan bahwa analisis risiko bersifat
pencegahan terhadap terjadinya kerugian maupun accident. Mengelola risiko harus dilakukan
secara berurutan langkah-langkahnya yang nantinya bertujuan untuk membantu dalam
pengambilan keputusan yang lebih baik dengan melihat risiko dan dampak yang
kemungkinan ditimbulkan.

Perawat merupakan petugas kesehatan dengan presentasi terbesar dan memegang peranan
penting dalam pemberian pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan tugasnya perawat
berisiko mengalami gangguan kesehatan dan keselamatan kerja (K3).

Ada sekitar dua puluh tindakan keperawatan, delegasi, dan mandat yang dilakukan dan yang
mempunyai potensi bahaya biologis, mekanik, ergonomik, dan fisik terutama pada pekerjaan
mengangkat pasien, melakukan injeksi, menjahit luka, pemasangan infus, mengambil sampel
darah, dan memasang kateter.

Laporan National Safety Council (NSC) menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan di RS


41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi di antaranya tertusuk
jarum atau needle stick injury (NSI), terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka bakar,
penyakit infeksi dan lain-lain (Sarastuti, 2016).

METODE

Penilaian risiko dengan metode AS/NZS 4360 dilakukan dengan menilai risiko yang ada.
Penelitian ini menggunakan metode literatur review dengan pendekatan jurnal, buku dan e-
book untuk mendapatkan data yang akurat mengenai risiko penyakit akibat kerja pada
perawat. Adapun jurnal atau artikel dan e-book yang digunakan pada literatur review adalah
jurnal dan e-book yang didapatkan dengan menggunakan google scholar.

Nilai risiko Basic Risk yaitu nilai risiko tanpa mempertimbangkan pengendalian yang sudah
dilakukan rumah sakit. Existing risk yaitu nilai risiko yang mempertimbangkan pengendalian
yang sudah dilakukan rumah sakit. Residual Risk yaitu nilai risiko yang mempertimbangkan
rekomendasi pengendalian dari peneliti.

HASIL

Ada beberapa risiko penyakit akibat kerja pada perawat yaitu:


1. Penilaian Risiko dengan metode AS/NZS 4360:2004 Proses Pekerjaan Pengambilan
Sampel Darah pada pasien
Pada pekerjaan pengambilan sampel darah pasien memiliki satu tahap pekerjaan yaitu
mengambil darah pasien. Pengambilan darah pasien memiliki bahaya fisik
menggunakan jarum suntik yang berdampak tertusuk jarum suntik. Bahaya biologi
yaitu kontak dengan darah pasien yang berdampak tertular penyakit Hepatitis, AIDS,
dan HIV. Bahaya perilaku yaitu tidak menggunakan alat pelindung diri yang
berdampak mudah tertular penyakit Hepatitis, AIDS, dan HIV. Pada bahaya fisik,
biologi dan bahaya perilaku apabila menerapkan rekomendasi pengendalian dari
peneliti dapat menurunkan tingkat risiko menjadi 60, 45, dan 30 (prioritas 3) yaitu
perlu diawasi dan diperhatikan secara berkesinambungan.
2. Proses Pekerjaan Pemasangan Infus Pada Pasien
Pada pekerjaan pemasangan infus pada pasien memiliki dua tahap pekerjaan yaitu
penusukan jarum ke vena dan merapikan alat. Penusukan jarum ke vena pasien
memiliki bahaya fisik menggunakan jarum suntik yang berdampak tertusuk jarum
suntik. Bahaya biologi yaitu kontak dengan darah pasien yang berdampak tertular
penyakit Hepatitis, AIDS, dan HIV. Pada bahaya fisik dan biologi apabila
menerapkan rekomendasi pengendalian dari peneliti dapat menurunkan tingkat risiko
menjadi 150 (Tinggi) yaitu mengharuskan adanya perbaikan secara teknis. Bahaya
perilaku yaitu tidak menggunakan alat pelindung diri yang berdampak mudah tertular
penyakit Hepatitis, AIDS, dan HIV. Pada bahaya perilaku apabila menerapkan
rekomendasi pengendalian dari peneliti dapat menurunkan tingkat risiko menjadi 30
(prioritas 3) yaitu perlu diawasi dan diperhatikan secara berkesinambungan
3. Proses pekerjaan Injeksi Obat Pada Pasien
Pada pekerjaan injeksi obat pada pasien memiliki satu tahap pekerjaan yaitu
penusukan jarum ke vena. Penusukan jarum ke vena pasien memiliki bahaya fisik
menggunakan jarum suntik yang berdampak tertusuk jarum suntik. Kebiasaan
merecap jarum suntik merupakan pemicu dampak luka tusuk, yang seharusnya setelah
selesai jarum bekas pakai dibuang ke dalam safety box. Bahaya perilaku yaitu tidak
menggunakan alat pelindung diri yang berdampak mudah tertular penyakit Hepatitis,
AIDS, dan HIV. Pada bahaya fisik dan perilaku apabila menerapkan rekomendasi
pengendalian dari peneliti dapat menurunkan tingkat risiko menjadi 60 dan 30
(prioritas 3) yaitu perlu diawasi dan diperhatikan secara berkesinambungan. Bahaya
biologi yaitu kontak dengan darah pasien yang berdampak tertular penyakit Hepatitis,
AIDS, dan HIV. Pada bahaya biologi dan bahaya perilaku apabila menerapkan
rekomendasi pengendalian dari peneliti dapat menurunkan tingkat risiko menjadi 100
(Tinggi) yaitu mengharuskan adanya perbaikan secara teknis.
4. Proses pekerjaan menjahit luka pasien
Pada penjahitan luka pada pasien memiliki tiga tahap pekerjaan yaitu menyiapkan
obat anastesi, penjahitan luka dan merapikan alat. Menyiapkan obat anastesi memiliki
bahaya fisik menggunakan jarum suntik dan memecahkan ampulan. Dampaknya luka
tusuk jarum dan luka gores pecahan ampulan. Pada bahaya fisik apabila menerapkan
rekomendasi pengendalian dari peneliti dapat menurunkan tingkat risiko menjadi 90
(Tinggi) yaitu mengharuskan adanya perbaikan secara teknis. Tahap pekerjaan ke dua
yaitu penjahitan luka memiliki bahaya fisik yaitu jarum jahit luka atau jarum hecting.
Dampaknya luka tusuk jarum hecting. pada bahaya fisik apabila menerapkan
rekomendasi pengendalian dari peneliti dapat menurunkan tingkat risiko menjadi 90
(Tinggi) yaitu mengharuskan adanya perbaikan secara teknis. Bahaya biologi dan
bahaya perilaku yaitu kontak dengan darah pasien yang terjadi apabila tiba-tiba darah
memancar ke arah wajah dan terkena mata, sedangkan petugas medis tidak
menggunakan alat pelindung diri. Dampaknya sangat berbahaya apabila pasien
memiliki riwayat penyakit menular. Petugas kesehatan memiliki kemungkinan tertular
penyakit Hepatitis, AIDS, dan HIV. Pada bahaya biologi dan perilaku apabila
menerapkan rekomendasi pengendalian dari peneliti dapat menurunkan tingkat risiko
menjadi 60 dan 45 (prioritas 3) yaitu perlu diawasi dan diperhatikan secara
berkesinambungan.

PEMBAHASAN

A. Penyakit menular dan tidak menular


Penyakit menular adalah penyakit yang sangat berbahaya karena angka kematianyang
cukup tinggi dan dapat menimbulkan kecacatan (Darmawan, 2016).
MenurutKementerian Kesehatan, penyakit Difteri merupakan penyakit menular
mematikan yangmenyerang saluran pernafasan bagian atas (tonsil, faring, dan hidung)
dan kadang-kadangselaput lender dan kulit. Penyakit ini disebabkan bakter yaitu
Corynebacterium diphteriae.Semua golongan umur bisa tertular, namun anak usia
kurang dari 5 tahun dan orang tuadiatas 60 tahun sangat beresiko tertular penyakit
difteri. Sangat perlu diwaspadai bahwakecenderungan jumlah kasus penyakit ini
meningkat sejak 2007 (Fatoni, Noviandha, 2017).
Ada tiga kelompok utama penyakit menular:
1. Penyakit yang sangat berbahaya karena angka kematian cukup tinggi.
2. Penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan kematian dan cacat,walaupun
akibatnya lebih ringan dariyang pertama
3. Penyakit menular yang jarang menimbulkan kematian dan cacat tetapi dapat
mewabah yang menimbulkan kerugian materi.

Tiga sifat utama aspek penularan penyakit dari orang ke orang:

1. Waktu Generasi (Generation Time)


Masa antara masuknya penyakit pada pejamu tertentu sampai masa kemampuan
maksimal pejamu tersebut untuk dapat menularkan penyakit. Hal ini sangat
penting dalam mempelajari proses penularan. Perbedaan masa tunas denga waktu
generasi yaitu Masa tunas ditentukan oleh masuknya unsur penyebab sampai
timbulnya gejala penyakit sehingga tidak dapat ditentukan pada penyakit dengan
gejala yang terselubung, waktu generasi ialah waktu masuknya unsur penyebab
penyakit hingga timbulnya kemampuan penyakit tersebut untuk menularkan
kepada pejamu lain walau tanpa gejala klinik atau terselubung.
2. Kekebalan Kelompok (Herd Immunity)
Adalah tingkat kemampuan atau daya tahan suatu kelompok penduduk tertentu
terhadap serangan atau penyebaran unsur penyebab penyakit menular tertentu
berdasarkan tingkat kekebalan sejumlah tertentu anggota kelompok tersebut. Herd
Immunity merupakan faktor utama dalamproses kejadian wabah dimasyarakat
sertakelangsungan penyakit pada suatukelompok penduduk tertentu.
Wabah terjadi karena 2 keadaan :
 Keadaan kekebalan populasi yakni suatu wabah besar dapat terjadi jika agent
penyakit infeksi masuk ke dalam suatu populasi yang tidak pernah terpapar oleh
agen tersebut atau kemasukan suatu agen penyakit menular yang sudah lama
absen dalam populasi tersebut.
 Bila suatu populasi tertutup seperti asrama, barak dimana keadaan sangat
tertutup dan mudah terjadi kontak langsung, masuknya sejumlah orang-orang
yang peka terhadap penyakit tertentu dalam populasi tsb.
3. Angka Serangan(Attack Rate)
Adalah sejumlah kasus yang berkembang atau muncul dalam satusatuan waktu
tertentu di kalangan anggota kelompok yang mengalami kontak serta memiliki
risiko atau kerentanan terhadap penyakit tersebut. Formula angka serangan ini
adalah banyaknya kasus baru (tidak termasukkasus pertama) dibagi dengan
banyaknya orang yang pekadalam satu jangka waktu tertentu. Angka serangan ini
bertujuan untuk menganalisis tingkat penularan dan tingkat keterancamam dalam
keluarga, dimana tata cara dan konsep keluarga, sistem hubungan keluarga dengan
masyarakat serta hubungan individu dalam kehidupan sehari-hari pada kelompok
populasi tertentu merupakan unit epidemiologi tempat penularan penyakit
berlangsung.

Penyakit tidak menular merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi
perhatian nasional maupun global pada saat ini. Data WHO tahun 2008
menunjukan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi, 36 juta atau hampir dua
pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular.
Penyakit tidak menular diketahui sebagai penyakit yang tidak dapat disebarkan
dari seseorang terhadap orang lain. Terdapat empat tipe utama penyakit tidak
menular yaitu penyakit kardiovaskuler, kanker, penyakit pernapasan kronis, dan
diabetes.
Pola hidup modern telah mengubah sikap dan perilaku manusia, termasuk pola
makan, merokok, konsumsi alkohol serta obat-obatan sebagai gaya hidup
sehingga penderita penyakit degeneratif (penyakit karena penurunan fungsi organ
tubuh) semakin meningkat dan mengancam kehidupan.
Akibat perilaku manusia pula, lingkungan hidup dieksploitasi sedemikian rupa
sampai menjadi tidak ramah terhadap kehidupan manusia sehingga meningkatkan
jumlah penderita penyakit paru kronis yang seringkali berakhir dengan kematian.
Demikian pula berbagai penyakit kanker dapat dipicu oleh bermacam bahan kimia
yang bersifat karsinogenik, kondisi lingkungan, serta perilaku manusia.
Penyakit tidak menular (PTM), dikenal juga sebagai penyakit kronis, tidak
ditularkan dari orang ke orang. Perkembangan penyakit tidak menular umumnya
lambat dan membutuhkan durasi yang panjang. Berdasarkan profil WHO
mengenai penyakit tidak menular di Asia Tenggara, ada lima penyakit tidak
menular dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi, yaitu penyakit
kardiovaskuler, kanker, penyakit pernapasan kronis, dibetes mellitus, dan cedera.
Empat terbanyak dari penyakit tidak menular yaitu penyakit kardiovaskuler,
kanker, penyakit pernapasan kronis, dan diabetes mellitus. Proporsi penyebab
kematian PTM pada orang-orang berusia kurang dari 70 tahun, penyebab
kematian terbesar adalah penyakit kardiovaskuler (39%), diikuti kanker (27%),
sedangkan penyakit pernapasan kronis, penyakit pencernaan dan PTM lain
bersama-sama menyebabkan sekitar 30% kematian serta 4% disebabkan oleh
diabetes mellitus.
Penyakit tidak menular muncul dari kombinasi faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Fakor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi oleh individu adalah usia, jenis kelamin, dan genetika.
Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah faktor yang dapat diubah
melalui keadaran individu itu sendiri dan intervensi sosial. Faktor- faktor yang
dapat dimodifikasi tersebut adalah:
1. Merokok
Efek berbahaya dari merokokterhadap kematian yang disebabkan oleh kanker,
penyakit kardiovaskuler, dan penyakit pernapasan kronis telah lama
diketahui.Selain itu, paparan asap rokok pada perokok pasif seperti ibu hamil,
anak-anak, dan orang dewasa yang tidak hamil di rumah maupun di
tempattempat umum menyebabkan hasil kelahiran yang merugikan, penyakit
pernapasan pada masa kanak-kanak, dan penyakit lainnya seperti yang diderita
oleh perokok aktif. Setiap tahunnya, tembakau menyumbang sekitar 6 juta
kematian (termasuk perokok pasif) dan diproyeksikan akan meningkat
menjadi 8 juta pada tahun 2030.
2. Konsumsi Alkohol Alkohol
Merupakan zat psikoaktif dengan memproduksi substansi yang membuat
ketergantungan pengkonsumsinya.Dampak alkohol ditentukan oleh volume
alkohol yang dikonsumsi, pola minum, dan kualitas alkohol yang dikonsumsi.
Pada tahun 2012, sekitar 3.3 juta kematian, atau sekitar 5.9% dari seluruh
kematian global disebabkan oleh konsumsi alkohol. Konsumsi Alkohol sangat
umum di seluruh dunia meskipun membawa risiko yang merugikan bagi
kesehatan dan konsekuensi sosial terkait efek memabukkan, sifat beracun, dan
ketergantungan .Konsumsi alkohol merupakan faktor risiko utama untuk
beban penyakit di negara berkembang berkaitan dengan berbagai penyakit dan
cedera, termasuk kecelakaan lalu lintas, kekerasan, dan bunuh diri.Secara
keseluruhan, 5.1% dari beban penyakit global dan cedera disebabkan oleh
alkohol (diukur dalam Disability-Adjusted Life Years, DALYs).Konsumsi
alkohol yang berlebih tidak hanya meningkatkan risiko cedera secara
substansial, tetapi juga memperburuk penyakit kardiovaskuler dan hati.
Konsumsi alkohol terus meningkat di Jepang, Cina, dan banyak negara lain di
Asia yang sebelumnya rendah. Faktor lingkungan meliputi pembangunan,
ekonomi, budaya, ketersediaan alkohol, serta kelengkapan tingkat pelaksanaan
dan penegakkan kebijakan alkohol mempengaruhi pola konsumsi alkohol dan
besarnya masalah yang berhubungan dengan alkohol dalam populasi.
3. Pola Makan yang Buruk Sekitar 16 juta (1%) DALYs (ukuran potensial
kehilangan kehidupan karena kematian dini dan tahun-tahun produktif yang
hilang karena cacat) dan 1.7 juta (2.8%) dari kematian di seluruh dunia
disebabkan oleh kurangnya konsumsi buah dan sayur.Konsumsi cukup buah
dan sayur mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, kanker perut, dan
kanker kolorektal. Konsumsi makanan tinggi kalori seperti makanan olahan
yang tinggi lemak dan gula cenderung menyebabkan obesitas dibandingkan
makanan rendah kalori seperti buah dan sayuran. Jumlah garam yang
dikonsumsi merupakan faktor penentu penting dari tingkat tekanan darah dan
risiko kardiovaskuler secara keseluruhan. Diperkirakan bahwa mengurangi
asupan garam dari konsumsi rata-rata 9-12 gram per hari menjadi 5 gram per
hari memiliki dampak besar pada tekanan darah dan penyakit kardiovaskuler.
Konsumsi makanan tinggi lemak jenuh dan trans fatty acid terkait dengan
penyakit jantung; minyak nabati tak jenuh ganda dapat menjadi pengganti
untuk menurunkan risiko penyakit jantung koronerdan diabetes mellitus tipe 2.
4. Kurangnya Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang tidak memadai merupakan satu dari sepuluh faktor risiko
utama kematian global. Orang yang kurang aktif secara fisik memiliki 20%-
30% peningkatan faktor risiko penyebab kematian dibandingkan dengan
mereka yan setidaknya melakukan aktivitas fisik selama 150 menit per
minggu, atau setara seperti yang direkomendasikan WHO. Aktivitas fisik
yang teratur mengurangi risiko penyakit jantung iskemik, diabetes, kanker
payudara, dan kanker kolon.Selain itu, aktivitas yang cukup mengurangi risiko
stroke, hipertensi, dan depresi. Aktivitas fisik juga merupakan penentu utama
dari pengeluaran energi dan dengan demikian penting untuk keseimbangan
energy dan control berat badan.
B. Penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja pada perawat
Kecelakaan kerja menjadi salah satu masalah urgen di lingkungan rumah sakit. Hal ini
diakibatkan karena rumah sakit merupakan suatu unit pelayanan kesehatan yang
memberikan pelayanan pada semua bidang dan jenis penyakit. Oleh sebab itu rumah
sakit dituntut untuk dapat menyediakan dan menerapkan suatu upaya agar semua
sumber daya manusia yang ada di rumah sakit dapat terlindungi, baik dari penyakit
maupun kecelakaan akibat kerja (Ivana, Widjasena & Jayanti, 2014).
Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kecelakaan kerja di rumah
sakit, salah satunya dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang penerapan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja di rumah sakit (Kepmenkes RI, 2010, p.8).
National Safety Council (dalam Kepmenkes RI, 2007, p.4) menyebutkan bahwa
terjadinya kecelakaan di rumah sakit 41% lebih besar dari pekerja di industri lain,
selain itu Annizar (2012, p.3) menyatakan bahwa secara umum sebanyak 80-85 %
kecelakaan kerja disebabkan oleh perilaku yang tidak aman. Data dan fakta Kesehatan
dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) secara global yang dipaparkan oleh
WHO (dalam Kepmenkes RI, 2010, p.10) menyebutkan bahwa dari 35 juta petugas
kesehatan, 3 juta terpajan patogen darah dan lebih dari 90% terjadi di negara
berkembang.
Berikut beberapa faktor yang diakibatkan terjadinya kecelakaan kerja pada perawat:
1. Hubungan umur dengan kecelakaan kerja.
Menurut Hunter (1975) dalam Dhika (2011) Umur mempunyai pengaruh yang
penting terhadap kejadian kecelakan kerja. Golongan umur tua mempunyai
kecenderungan yang lebih tinngi untuk mengalami kecelakaan akibat kerja
dibandingkan dengan golongan umur muda karena umur muda mempunyai reaksi
dan kegesiatan yang lebih tingggi.
2. Hubungan pengetahuan dengan kecelakaan kerja
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang mengadakan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terhadap objek terjadi
melalui indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba dengan sendiri. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoadmojo, 2007).
3. Hubungan sikap dengan kecelakaan kerja
Sikap merupakan suatu reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoadmodjo,
2007). Sebagaimana hasil penelitian ini, sebagian besar perawat bersikap baik
dalam menjaga kesehatan dan keselamatan dirinya selama melayani pasien jiwa.
Hal ini dapat diketahui, bahwa perawat yang mampu bersikap denga baik sebagian
besar tidak mengalami kecelakaan akibat kerja selama bekerja di rumah sakit jiwa.
4. Hubungan tindakan dengan kecelakaan kerja.
Tindakan merupkan suatu proses yang dijalani manusia sebagai perilaku, dalam
mencapai suatu tujuan. Pengukuran perilaku kesehatan dan keselamatan kerja
perawat dalam bentuk tindakan atau perbuatan dapat dilakukan melalui observasi
langsung (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku ksehatan dan keselamtan kerja perawat dalam Notoatmodjo (2010)
menunjukkan bawah perilaku merupakan tindakan atau aktivitas dalam upaya
mencegah terjadinya penyakit akibat kerja dan kecelakan akibat kerjadan
kecelakan akibat kerja. Perilaku manusia manuasia mencakup aktivitas baik yang
dapat di amati maupun yang tidak dapat diamti maupun yang tidak dapat diamati
oleh pihak luar sebagai sebagai hasil daris proses pembelajaran. Perilaku
dibedakan menjadi dua yaitu perilaku tertutup (conver behavior) dan perilaku
terbuka (overt behavior). Perilaku tetutup adalah respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup yang masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang
menerima setimulus tersebut, dan belum dapat di amati secara jelas oleh orang
lain.

PENUTUP

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang kompleks, padat profesi dan
padat modal. Pelayanan rumah sakit menyangkut berbagai fungsi pelayanan, pendidikan,
penelitian dan juga mencakup berbagai tindakan maupun disiplin medis. Rumah Sakit adalah
tempat kerja yang memiliki potensi terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Bahan mudah
terbakar, gas medik, radiasi pengion, dan bahan kimia merupakan potensi bahaya yang
memiliki risiko kecelakaan kerja. Oleh karena itu, Rumah Sakit membutuhkan perhatian
khusus terhadap keselamatan dan kesehatan pasien, staf dan umum (Sadaghiani,2001 dalam
Omrani dkk.,2015).

Perawat merupakan petugas kesehatan dengan presentasi terbesar dan memegang peranan
penting dalam pemberian pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan tugasnya perawat
berisiko mengalami gangguan kesehatan dan keselamatan kerja (K3).

Ada beberapa risiko penyakit akibat kerja pada perawat yaitu:

1. Penilaian Risiko dengan metode AS/NZS 4360:2004 Proses Pekerjaan Pengambilan


Sampel Darah pada pasien
2. Proses Pekerjaan Pemasangan Infus Pada Pasien
3. Proses pekerjaan Injeksi Obat Pada Pasien
4. Proses pekerjaan menjahit luka pasien

DAFTAR PUSTAKA

Ardenny. (2015). FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECELAKAAN KERJA


PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT JIWA TAMPAN PEKANBARU TAHUN 2015.
Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 4, Nomor 1.

Darmawan, Armaidi. (2016). Epidemiologi Pnyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular.
JMJ, Volume 4, Nomor2.

Mantiri, Ezra Zimri Ruben Abiam, Odi R. Pinontoan, dkk. (2020). FAKTOR PSIKOLOGI
DAN PERILAKU DENGAN PENERAPAN MANAJEMEN KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA RUMAH SAKIT. Indonesian Journal of Public Health and
Community Medicine Vol. 1, No. 3.

Prasetio, Diki Bima, Mubasysyir Hasanbasri, dkk. (2015). RISIKO BAHAYA ERGONOMI
PETUGAS KEBERSIHAN OUTSOURCING DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
SLEMAN. J. Kesehat. Masy. Indones. 10(1), ISSN 1693-3443.
Purba, Hana Ike Dameria, Vierto Irennius Girsang, dkk. (2018). STUDI KEBIJAKAN,
PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
RUMAH SAKIT (K3RS) DI RUMAH SAKIT UMUM (RSU) MITRA SEJATI MEDAN
TAHUN 2018. Jurnal Mutiara Kesehatan Masyarakat, 2018; 3 (2): 113-124.

P I, Silvia Maria, Joko Wiyono, dkk. (2015). KEJADIAN KECELAKAAN KERJA


PERAWAT BERDASARKAN TINDAKAN TIDAK AMAN. Jurnal Care Vol. 3, No. 2,
Tahun 2015.

Putri, Oktaviana Zahratul , Tengku Mohamed Ariff Bin Raja Hussin, dkk. (2017). ANALISIS
RISIKO KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA PETUGAS KESEHATAN
INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT AKADEMIK UGM. JURNAL
KESEHATAN, ISSN 1979-7621, Vol. 10, No. 1.

Ramdan, Iwan M., & Rahman, Abd. (2017). Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) pada Perawat. JKP - Volume 5 Nomor 3.

Simamora, R. H. (2017). A strengthening of role of health cadres in BTA-Positive


Tuberculosis (TB) case invention through education with module development and video
approaches in Medan Padang bulan Comunity Health Center, North Sumatera
Indonesia. International Journal of Applied Engineering Research, 12(20), 10026-10035.

Simamora, R. H., & Saragih, E. (2019). Penyuluhan kesehatan terhadap masyarakat:


Perawatan penderita asam urat dengan media audiovisual. JPPM (Jurnal Pendidikan dan
Pemberdayaan Masyarakat), 6(1), 24-31.

Warganegara, Efrida & Nur, Nida Nabilah. (2016). Faktor Risiko Perilaku Penyakit Tidak
Menular. Majority,Volume 5,Nomor 2 .

Yuantari, MG Catur & Nadia, Hafizhatun. (2018). Analisis Risiko Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Pada Petugas Kebersihan di Rumah Sakit. Faletehan Health Journal,5 (3)
(2018)107-116 .

Anda mungkin juga menyukai