Oleh:
M. Chairil Riskyta Akbar
Pembimbing:
dr. Hawaidah, Sp.KJ (K)
0
LEMBAR PENGESAHAN
1
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN………………………………...………….. 1
DAFTAR ISI……………………………………………………………… 2
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 3
1. Definisi……………………………………………………………...4
2. Epidemiologi………………………………………………………...4
3. Etiologi & Faktor resiko…………………………………………….5
4. Patofisiologi…………………………………………………………6
5. Manifestasi Klinis…………………………………………….…... 8
6. Penatalaksanaan…………………………………………………….12
7. Prognosis...........……………………………………..………….......14
Daftar Pustaka………….………………………….……………………….. 16
Lampiran
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Epidemiologi
Berdasarkan penelitian (Maurice dkk. 2014) terkait prevalensi
psikosis pada epilepsi terdapat 215 penelitian mengenai psikosis pada
epilepsi namun hanya 58 penelitian yang relevan (28%) dan sisanya 157
penelitian dilakukan ekslusi. Berdasarkan data didapatkan hasil prevalensi
gangguan psikosis pada pasien epilepsi 5,6-12 % (Puncak 7%).
Berdasarkan regio, komparasi psikosis epilepsy dan non-epilepsi 4,7% di
Inggris dan 9,7% di wilayah Amerika. Sekitar 30% atau 1/3 pasien
epilepsi yang mengunjungi klinik rawat jalan di Amerika mempunyai
riwayat dirawat inap minimal satu kali karena masalah psikiatri. Dan 18%
pasien epilepsi sedang menggunakan paling tidak satu jenis obat
psikotropika. Kira-kira 60% pasien kejang parsial mengalami fenomena
aura, 15% pasien mengalami disforia. Rasa takut yang meningkat menjadi
panik juga sering terjadi, kira-kira 20% dari pasien epilepsi fokal
mengalami gangguan afek iktal berupa rasa takut, cemas, dan depresi.
4
Berdasarkan penelitian interictal psychosis pada epilepsy sekitar
5,2% dan postictal psychosis pada epilepsy sekitar 2%. Gejala psikosis
paling sering dihubungkan dengan epilepsi lobus temporal kanan.Pada
penelitian temporal lobektomi dimana dilakukan operasi pengangkatan
fokus epileptikum, psikosis terjadi pada 7%-8% pasien bahkan jauh
setelah gejala kejangnya sendiri berhenti. Hal ini mengindikasikan
proporsi 2-3 kali lipat munculnya gangguan psikotik pada pasien epilepsi
dibandingkan dengan populasi umum, khususnya pada pasien epilepsi
dengan fokus temporomediobasal.2
5
Faktor predisposisi terjadinya psikosis pada pasien epilepsi adalah
sebagai berikut:
1. Awitan usia muda (pubertas)
2. Kejang berlanjut menahun
3. Perempuan
4. Tipe kejang parsial kompleks, automatisme
5. Frekuensi kejang
6. Lokus fokus epilepsi (temporal)
7. Abnormalitas neurologic
8. Gangliogliomas, hamartoma
Beberapa faktor predisposisi lain adalah lingkungan tempat pasien
tumbuh besar mungkin mengjalangi perkembangan sosial dan fungsi
intelektualnya. Penyebab atau elemen dari lingkungan ini dapat berupa
proteksi berlebihan dari orangtua, regimen pengobatan yang ketat sehingga
menghalangi pasien untuk beraktivitas (bergaul dan berolahraga).3
Kejadian kejang berulang yang dapat memunculkan stigma sosial,
pembatasan, dan pandangan bias dapat secara bermakna menekan rasa
percaya diri dan membatasi pasien dalam bidang akademik, pekerjaan, dan
kegiatan sosial. Gangguan emosional seperti keadaan frustasi, tegang,
cemas, takut, eksitasi yang hebat dapat mencetuskan serangan epilepsi dan
memperbanyak jumlah serangan epilepsi. Keadaan ini sering dijumpai
pada pasien epilepsi remaja atau dewasa muda. 3
6
D. Patofisiologi
7
ditemukan data prevalensi psikosis (3,7%) dengan penggunaan topiramate.
Dosis obat tinggi pada awal terapi dan jadwal titrasi yang cepat pada
pasien rentan dengan adanya riwayat psikiatri sebelumnya dan dengan
epilepsi berat disertai frekuensi kejang yang sering sangat berhubungan
dengan resiko tinggi untuk terjadi.2
Namun, ada kemungkinan bahwa epilepsi yang disertai gejala
psikosis dapat terjadi diluar proses etiologi pada umumnya. Temuan
neuropathological, neuroimaging dan abnormalitas genetic pada pasien
dengan skizofrenia dan pasien dengan epilepsy. Pembesaran ventrikel
umum diteukan sebagai akibat episodik psikosis dan epilepsi lobus
temporalis. Adanya defek pada migrasi sel saraf dapat terkait dengan
pembesaran ventrikel dan defek ini berhubungan dengan skizofrenia dan
epilepsi. Dari sudut pandang biologi saraf, deficit area putih dan kelabu
pada lobus temporalis kemungkinan sebagai penyebab epilepsi dengan
psikosis. Defisit tumpang tindih ini juga ditemukan pada skizofrenia,
termasuk struktur medial-temporal tetapi biasanya hingga lateral-tempiral
dan region ekstratemporal.2
Terkait genetik dapat pula berperan berdasarkan mutasi genetic
langka yang dapat menyebabkan epilepsi maupun skizofrenia. Delesi
mikro pada area genomic 15q 13-14 yang terdapat reseptor nikotin yang
berhubungan dengan kejadian skizofrenia atau epilepsi juvenile parsial
autosomal dominan dengan fitur audiotory, dapat pula berperan pada
regulasi transmisi glutaminergik sinapsis, proses yang dapat berkembang
sebagai patofisiologi dari skizofrenia. Kode genetic pada kanal ion dapat
menjadi penyebab. Gangguan pada kanal ion diketehui dapat
menyebabkan epilepso dan menunjukkan variasi gen CACNA1C (subunit
dari tipe-L canal kalsium) yang berhubungan dengan skizofrenia
begitupula depresi dan kelainan afektif bipolar. 2
8
E. Manifestasi Klinis
1. Psikosis Post-Iktal (PPI)
Gejala psikiatri muncul setelah kejang tonik-klonik dengan atau
tanpa kejang parsial komplek. Setelah terjadi kejang post-iktal pasien
akan mengalami kebingungan dan letargi kemudian kondisi pasien
membaik selama beberapa jam (rata-rata 6 jam) sampai beberapa hari
(lucid interval). Selanjutnya muncul gejala psikotik yang berlangsung
selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada beberapa kasus
kebingungan dan delirium muncul bersamaan dengan gejala psikosis.5
Gejala psikosis berupa kombinasi dari gangguan proses pikir,
halusinasi penglihatan dan pendengaran, waham (kebesaran, agama,
kejar), perubahan mood (mania atau depresi) dan agresi. Halusinasi
visual, waham kebesaran dan waham agama serta ilusi lebih sering
dijumpai pada PPI dibandingkan psikosis inter-iktal. Perilaku
kekerasan juga lebih menonjol pada PPI. Kekerasan verbal dan fisik
merupakan masalah yang mengancam jiwa untuk pasien dan orang
disekitarnya. 5
Kerusakan sistem saraf pusat (ensefalitis, trauma kepala,
bilateral interictal epileptiform activity, kecerdasan ambang, and
perlambatan gelombang EEG), epilepsi lobus temporalis, riwayat
keluarga gangguan mood, psikosis, gangguan psikiatri spesifik dan
epilepsi merupakan faktor-faktor resiko terjadinya PPI. 5
Durasi PPI bervariasi mulai dari 12 jam sampai lebih dari dari 3
bulan (rata-rata 9-10 hari). Gangguan fungsi intelektual dan adanya
keluarga yang menderita psikosis merupakan faktor prediktor lamanya
berlangsung gejala psikosis pada PPI. 5
PPI berulang dijumpai pada 12% sampai 50% kasus dan dapat
berkembang menjadi psikosis inter-iktal. Farmakoterapi yang dapat
diberikan pada kasus PPI yaitu kombinasi benzodiazepin dan obat
atipikal antipsikotik. Penanganan dini menghasilkan resolusi yang
cepat pada kasus PPI. 5
9
Tabel 3. Logsdail dan Toone’s Kriteria Diagnosis untuk PPI 5
10
iktal halusinasi yang aneh adalah autoscopic atau out of the body
experiences. 5
Penanganan PI ditujukan pada pengontrolan kejang yang
adekuat. Pada saat serangan, menjaga keselamatan pasien merupakan
fokus utama. Edukasi pasien dan keluaraga mengenai gejala psikiatri
yang muncul merupakan hal penting. 5
4. Alternative Psychosis
11
Fenomena "Forced normalization" atau "psikosis alternatif"
merupakan tipe IIP singkat yang terkait dengan normalisasi EEG
sekunder antikonvulsan (fenitoin, carbamazepine, ethosuximide) tetapi
dengan eksaserbasi gejala psikotik. Paranoid merupakan manifestasi
yang paling sering tanpa kesadaran berkabut dengan bermacam-macam
gejala afektif termasuk depresi, mania, kecemasan, dan berlangsung
selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Landolt adalah orang
pertama yang menggambarkan hubungan terbalik antara psikosis dan
epilepsi: yaitu pada saat epilepsi membaik, berada di bawah kendali
obat anti-epilepsi dan EEG-nya menjadi tanpa fitur epileptiform
interiktal, tetapi status psikiatrik pasien memburuk mencapai tahap
bentuk true psikotik. Psikosis alternatif tidak umum terjadi, prevalensi
diperkirakan sekitar 1% dari kasus.5
5. Psikosis yang berhubungan dengan obat anti kejang dan post temporal
lobektomi
Psikosis yang diinduksi setelah penggunaan obat antiepilepsi
dan membaik setelah obat diganti. Obat-obat antiepilepsi yang dapat
menginduksi psikosis adalah zonisamide, ethosuximide, tiagabine,
topiramate (0,8-12%), levetiracetam (0,7-1,4%) dan Vigabratin
(2,5%).5
Psikosis akibat lobektomi biasanya muncul 1 tahun setalah
operasi. Psikosis post-operasinya biasanya muncul pada early onset
epilepsi dan ciri keperibadian yang abnormal.5
12
F. Penatalaksanaan
1. Obat Anti Epilepsi (AED)
Beberapa obat antiepilepsi dapat menimbulkan efek pada
perilaku. Carbamazepin, valproat, lamotrigin, dan gabapentin
mempunyai efek antimanik dan antidepresan sedang (mungkin melalui
efek mood stabilization). Carbamazepin dan valproat juga dapat
mengurangi perilaku agresif dan tidak terkontrol.7
2. Obat Antipsikotik (OAP)
Harus diperhatikan bahwa beberapa obat antipsikotik dapat
menurunkan ambang kejang. OAP atipikal yang sering digunakan
untuk psikosis epilepsi adalah olanzapine 5-25 mg/hari, risperidone
0.5-6 mg/hari, quetiapine 50-600 mg/hari, ziprasidone 40-160 mg/hari.
Clozapine tidak direkomendasikan karena angka kejadian gelombang
epileptogenik tinggi.7
3. Haloperidol
Haloperidol merupakan OAP tipikal paling aman untuk
mengobati POE, karena hampir tidak mengurangi ambang kejang.
Haloperidol terutama diindikasikan untuk psikotik akut dan berat,
seperti PI dan PPI yang berlarut-larut selama dimonitoring, di mana
penarikan mendadak AED membutuhkan tindakan cepat dan
digunakan untuk periode singkat.7
4. Benzodiazepine
Benzodiazepin memiliki penggunaan yang terbatas, dan
tampaknya menjadi optimal bila diberikan bersama dengan
antipsikotik dalam situasi akut (misalnya dalam psikosis post-ictal)
yaitu : lorazepam 0,5 sampai 2 mg dan klobazam 10 sampai 60 mg.
Dalam pengobatan epilepsi dengan gangguan psikiatri, yang
harus diperhatikan adalah
a. Antikonvulsan (karbamazepin, asam valproat, gabapentin, dan
lamotigine).
b. Antipsikosis
13
c. Potensi terjadinya interaksi obat
d. Operasi 8
Aspek umum, strategi terapi untuk psikosis epilepsi adalah
sebagai berikut :
a. Semua anti psikosis mengurangi epileptogenic threshold (ET) dan
dapat menyebabkan kejang epilepsi.
b. Interaksi farmakokinetik antara AED dan AP dapat mengurangi
efek terapi
c. Efek samping, efek racun dan interaksi farmakokinetik dari AED
dan AP dapat bersifat adiktif
d. Dalam memilih jenis dan dosis obat, menghindari peningkatan dan
penurunan AED secara tiba-tiba, lebih utama ketika terdapat
riwayat psikosis, untuk memeriksa penggunaan terus menerus dari
AP, mencari dosis terendah untuk waktu yang singkat 8
G. Prognosis
14
BAB III
SIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
17
18