Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN November 2019


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

Psikosis pada Pasien Epilepsi

Oleh:
M. Chairil Riskyta Akbar

Pembimbing:
dr. Hawaidah, Sp.KJ (K)

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Psikiatri)

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019

0
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Muhammad Chairil Riskyta Akbar


NIM : 10542062915
Judul Refarat : Psikosis pada Pasien Epilepsi

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Makassar.

Makassar, November 2019


Pembimbing

dr. Hawaidah, Sp.KJ (K)

1
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN………………………………...………….. 1

DAFTAR ISI……………………………………………………………… 2

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi……………………………………………………………...4
2. Epidemiologi………………………………………………………...4
3. Etiologi & Faktor resiko…………………………………………….5
4. Patofisiologi…………………………………………………………6
5. Manifestasi Klinis…………………………………………….…... 8
6. Penatalaksanaan…………………………………………………….12
7. Prognosis...........……………………………………..………….......14

BAB III SIMPULAN…………..…………………………………………..15

Daftar Pustaka………….………………………….……………………….. 16
Lampiran

2
BAB I
PENDAHULUAN

Psikosis merupakan komplikasi berat dari epilepsi meskipun jarang


ditemukan. Keadaan ini disebut dengan psychoses of epilepsy (POE). Psikosis
pada pasien epilepsi digolongkan berdasarkan hubungan temporal gejala itu
dengan kejang. Beberapa penelitian lain memperlihatkan bahwa gejala psikosis
pada pasien epilepsi umum cenderung singkat dan pasien cenderung bingung.

Penelitian memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi


problem psikiatrik diantara pasien-pasien epilepsi dibandingkan pasien tanpa
epilepsi. Diperkirakan terdapat 20-30% penderita epilepsi mengalami
psikopatologi dalam satu waktu, terutama ansietas dan depresi. Prevalensi
psikotik episode psikotik berkisar 4-10 % dan meningkat pada 10–20 % pada
temporal lobe epilepsy, terutama pada lokus sisi kiri atau bilateral.1

Epilepsi merupakan gangguan neurologi yang paling sering dan dapat


menyebabkan kecacatan dan penurunan fungsi. Pasien dengan epilepsi sangat
rentan terhadap gangguan psikiatri. Sekitar 20-30-% dari populasi epilepsi
memiliki beberapa jenis komorbiditas psikiatri. Gangguan psikiatri bisa berupa
episode depresi pada 58% kasus, agorafobia dan gangguan panik pada 32% kasus
serta 13% kasus mengalami psikosis. Psikosis epilepsi (POE) merupakan
sekelompok gangguan psikotik yang mekanisme terjadinya berkaitan erat dengan
kejang. Psikosis iktal kronis dan akut bersamaan dengan post-iktal, 95% dapat
menimbulkan gejala psikotik.2

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Psikosis merupakan keadaan gangguan jiwa yang berat dimana


penderita kehilangan pandangan mengenai realitas. Psikosis merupakan
komplikasi berat dari epilepsi meskipun jarang ditemukan. Keadaan ini
disebut dengan psychoses of epilepsy (POE). Gambaran psikosis yang
sering ditemukan pada pasien epilepsi adalah gambaran paranoid dan
schizophrenia-like. Pada forced normalization yaitu penderita mengalami
gejala psikotik pada saat kejang terkontrol dan justru gejala psikotik
menghilang bila terjadi kejang.1

B. Epidemiologi
Berdasarkan penelitian (Maurice dkk. 2014) terkait prevalensi
psikosis pada epilepsi terdapat 215 penelitian mengenai psikosis pada
epilepsi namun hanya 58 penelitian yang relevan (28%) dan sisanya 157
penelitian dilakukan ekslusi. Berdasarkan data didapatkan hasil prevalensi
gangguan psikosis pada pasien epilepsi 5,6-12 % (Puncak 7%).
Berdasarkan regio, komparasi psikosis epilepsy dan non-epilepsi 4,7% di
Inggris dan 9,7% di wilayah Amerika. Sekitar 30% atau 1/3 pasien
epilepsi yang mengunjungi klinik rawat jalan di Amerika mempunyai
riwayat dirawat inap minimal satu kali karena masalah psikiatri. Dan 18%
pasien epilepsi sedang menggunakan paling tidak satu jenis obat
psikotropika. Kira-kira 60% pasien kejang parsial mengalami fenomena
aura, 15% pasien mengalami disforia. Rasa takut yang meningkat menjadi
panik juga sering terjadi, kira-kira 20% dari pasien epilepsi fokal
mengalami gangguan afek iktal berupa rasa takut, cemas, dan depresi.

4
Berdasarkan penelitian interictal psychosis pada epilepsy sekitar
5,2% dan postictal psychosis pada epilepsy sekitar 2%. Gejala psikosis
paling sering dihubungkan dengan epilepsi lobus temporal kanan.Pada
penelitian temporal lobektomi dimana dilakukan operasi pengangkatan
fokus epileptikum, psikosis terjadi pada 7%-8% pasien bahkan jauh
setelah gejala kejangnya sendiri berhenti. Hal ini mengindikasikan
proporsi 2-3 kali lipat munculnya gangguan psikotik pada pasien epilepsi
dibandingkan dengan populasi umum, khususnya pada pasien epilepsi
dengan fokus temporomediobasal.2

C. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Etiologi terjadinya psikosis pada pasien epilepsi adalah sebagai
berikut:
1. Lesi pada lobus temporalis dan hemisfer kiri dapat mengakibatkan
psikosis skizofreniform.3
2. Aktivitas iktal atau subiktal epileptiform dapat menimbulkan
perubahan perilaku, antara lain dengan cara merubah keseimbangan
antara eksitasi dan inhibisi. Hal tersebut dapat terjadi pada bangkitan
yang berasal dari lobus temporalis ataupun frontalis.3
3. Penurunan fungsi, seperti misalnya hipometabolisme interiktal (yang
dapat dideteksi dengan PET scan) juga dapat menimbulkan perubahan
perilaku. SPECT scan pada pasien epilepsi dengan psikosis
skizofreniform, menunjukkan adanya penurunan aliran darah cerebral
pada regio temporal medial kiri. Bangkitan (seizures) dapat
menimbulkan perubahan neuroendokrin dan neurotransmitter
(misalnya meningkatnya dopamin, penurunan prolaktin, meningkatnya
testosteron, meningkatnya opioid endogen), yang kesemuanya itu
dapat mempengaruhi perilaku.3

5
Faktor predisposisi terjadinya psikosis pada pasien epilepsi adalah
sebagai berikut:
1. Awitan usia muda (pubertas)
2. Kejang berlanjut menahun
3. Perempuan
4. Tipe kejang parsial kompleks, automatisme
5. Frekuensi kejang
6. Lokus fokus epilepsi (temporal)
7. Abnormalitas neurologic
8. Gangliogliomas, hamartoma
Beberapa faktor predisposisi lain adalah lingkungan tempat pasien
tumbuh besar mungkin mengjalangi perkembangan sosial dan fungsi
intelektualnya. Penyebab atau elemen dari lingkungan ini dapat berupa
proteksi berlebihan dari orangtua, regimen pengobatan yang ketat sehingga
menghalangi pasien untuk beraktivitas (bergaul dan berolahraga).3
Kejadian kejang berulang yang dapat memunculkan stigma sosial,
pembatasan, dan pandangan bias dapat secara bermakna menekan rasa
percaya diri dan membatasi pasien dalam bidang akademik, pekerjaan, dan
kegiatan sosial. Gangguan emosional seperti keadaan frustasi, tegang,
cemas, takut, eksitasi yang hebat dapat mencetuskan serangan epilepsi dan
memperbanyak jumlah serangan epilepsi. Keadaan ini sering dijumpai
pada pasien epilepsi remaja atau dewasa muda. 3

6
D. Patofisiologi

Gambar 1. Patofisiologi Gejala Psikosis pada Epilepsi 4

Mekanisme gejala psikosis pada epilepsy dapat dikarenakan efek


neurotoksik yang menjelaskan hubungan antar keduanya. Yang pertama
proses yang disebut ‘kindling’ terkait kejang akut yang dapat
menyebabkan terganggunya fungsi otak baik melalui perubahan fungsi
reseptor maupun aliran darah otak. Kedua ‘forced normalization’ dimana
terdapat hubungan yang berkebalikan antara control kejang dan gejala
psikotik dan yang ketiga terkait aktivitas subiktal pada system limbic yang
tidak terdeteksi oleh EEG tetapi dapat mempengaruhi otak dengan hasil
psikosis.2
Obat-obatan anti epilepsi dapat berperan dalam menimbulkan efek
psikosis khususnya pada penderita dengan faktro resiko seperti riwayat
keluarga dengan keluhan yang sama dan adanya riwayat penyakit
psikiatrik terdahulu. Psikosis tercatat memiliki potensi kuat dengan efek
berlawanan pada berbagai obat antiepilepsi dikarenakan obat-obatan yang
tersedia kurang spesifik. Obat-obatan antiepilepsi termasuk ethosuxamide,
topiramate, vigabatrin, zonisamide dan leviteracetam. Satu kasus

7
ditemukan data prevalensi psikosis (3,7%) dengan penggunaan topiramate.
Dosis obat tinggi pada awal terapi dan jadwal titrasi yang cepat pada
pasien rentan dengan adanya riwayat psikiatri sebelumnya dan dengan
epilepsi berat disertai frekuensi kejang yang sering sangat berhubungan
dengan resiko tinggi untuk terjadi.2
Namun, ada kemungkinan bahwa epilepsi yang disertai gejala
psikosis dapat terjadi diluar proses etiologi pada umumnya. Temuan
neuropathological, neuroimaging dan abnormalitas genetic pada pasien
dengan skizofrenia dan pasien dengan epilepsy. Pembesaran ventrikel
umum diteukan sebagai akibat episodik psikosis dan epilepsi lobus
temporalis. Adanya defek pada migrasi sel saraf dapat terkait dengan
pembesaran ventrikel dan defek ini berhubungan dengan skizofrenia dan
epilepsi. Dari sudut pandang biologi saraf, deficit area putih dan kelabu
pada lobus temporalis kemungkinan sebagai penyebab epilepsi dengan
psikosis. Defisit tumpang tindih ini juga ditemukan pada skizofrenia,
termasuk struktur medial-temporal tetapi biasanya hingga lateral-tempiral
dan region ekstratemporal.2
Terkait genetik dapat pula berperan berdasarkan mutasi genetic
langka yang dapat menyebabkan epilepsi maupun skizofrenia. Delesi
mikro pada area genomic 15q 13-14 yang terdapat reseptor nikotin yang
berhubungan dengan kejadian skizofrenia atau epilepsi juvenile parsial
autosomal dominan dengan fitur audiotory, dapat pula berperan pada
regulasi transmisi glutaminergik sinapsis, proses yang dapat berkembang
sebagai patofisiologi dari skizofrenia. Kode genetic pada kanal ion dapat
menjadi penyebab. Gangguan pada kanal ion diketehui dapat
menyebabkan epilepso dan menunjukkan variasi gen CACNA1C (subunit
dari tipe-L canal kalsium) yang berhubungan dengan skizofrenia
begitupula depresi dan kelainan afektif bipolar. 2

8
E. Manifestasi Klinis
1. Psikosis Post-Iktal (PPI)
Gejala psikiatri muncul setelah kejang tonik-klonik dengan atau
tanpa kejang parsial komplek. Setelah terjadi kejang post-iktal pasien
akan mengalami kebingungan dan letargi kemudian kondisi pasien
membaik selama beberapa jam (rata-rata 6 jam) sampai beberapa hari
(lucid interval). Selanjutnya muncul gejala psikotik yang berlangsung
selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada beberapa kasus
kebingungan dan delirium muncul bersamaan dengan gejala psikosis.5
Gejala psikosis berupa kombinasi dari gangguan proses pikir,
halusinasi penglihatan dan pendengaran, waham (kebesaran, agama,
kejar), perubahan mood (mania atau depresi) dan agresi. Halusinasi
visual, waham kebesaran dan waham agama serta ilusi lebih sering
dijumpai pada PPI dibandingkan psikosis inter-iktal. Perilaku
kekerasan juga lebih menonjol pada PPI. Kekerasan verbal dan fisik
merupakan masalah yang mengancam jiwa untuk pasien dan orang
disekitarnya. 5
Kerusakan sistem saraf pusat (ensefalitis, trauma kepala,
bilateral interictal epileptiform activity, kecerdasan ambang, and
perlambatan gelombang EEG), epilepsi lobus temporalis, riwayat
keluarga gangguan mood, psikosis, gangguan psikiatri spesifik dan
epilepsi merupakan faktor-faktor resiko terjadinya PPI. 5
Durasi PPI bervariasi mulai dari 12 jam sampai lebih dari dari 3
bulan (rata-rata 9-10 hari). Gangguan fungsi intelektual dan adanya
keluarga yang menderita psikosis merupakan faktor prediktor lamanya
berlangsung gejala psikosis pada PPI. 5
PPI berulang dijumpai pada 12% sampai 50% kasus dan dapat
berkembang menjadi psikosis inter-iktal. Farmakoterapi yang dapat
diberikan pada kasus PPI yaitu kombinasi benzodiazepin dan obat
atipikal antipsikotik. Penanganan dini menghasilkan resolusi yang
cepat pada kasus PPI. 5

9
Tabel 3. Logsdail dan Toone’s Kriteria Diagnosis untuk PPI 5

Prognosis PPI biasanya baik, self-remitting condition. Penelitian


menyebutkan 95% kasus PPI membaik dalam waktu 1 bulan.
Walaupun prognosisnya baik, klinisi tetap harus waspada oleh karena
percobaan bunuh diri sering dijumpai pada kasus ini.5

2. Psikosis Iktal (PI)


Gejalanya singkat yaitu dari jam ke hari. Terkadang psikosis
dapat bertahan meskipun terjadi perbaikan dari kejadian iktal.
Manifestasi klinis PI berupa absence (generalized non-convulsive
status) atau kejang psikomotor (komplek partial status epileptikus).
Pasien dengan PI mengalami perpanjangan kondisi twilight dan
kebingungan (continuous form), atau kejang berulang dengan respon
parsial diantara kejang (cyclic form). Lama gejala bervariasi mulai dari
beberapa jam sampai beberapa hari dan EEG menunjukkan adanya
fokus abnormalitas fokal. PI yang berasal dari lobus temporal lebih
dominan gangguan kesadaran dibandingkan dengan ekstra temporal
yang menunjukkan fluktuasi gangguan bicara dan kebingungan.5
Iktal halusinasi biasanya berupa halusinasi penglihatan.
Halusinasi iktal berasal dari insular kortek yang berhubungan dengan
komponen autonomik. Devinsky et al melaporkan, salah satu bentuk

10
iktal halusinasi yang aneh adalah autoscopic atau out of the body
experiences. 5
Penanganan PI ditujukan pada pengontrolan kejang yang
adekuat. Pada saat serangan, menjaga keselamatan pasien merupakan
fokus utama. Edukasi pasien dan keluaraga mengenai gejala psikiatri
yang muncul merupakan hal penting. 5

3. Psikosis Inter-iktal (PII)


PII adalah psikosis yang muncul pada saat kesadaran jernih dan
terjadi pada seseorang yang sudah pernah didiagnosis epilepsi dan
psikosis tidak terjadi pada saat kejang atau segera setelah kejang.
Dikenal juga dengan nama schizophrenia-like psychosis. Prevalensi 2-
10% pasien epilepsi. Pada PII terjadi peningkatan 2-2,5 kali resiko
terjadinya skizofrenia dan schizophrenia-like psychosis. PII ditandai
dengan adanya gejala psikosis yang tidak berhubungan dengan
aktivitas kejang dan gejala ini menetap sampai ≥ 6 bulan, dan
munculnya waham, halusinasi pada saat pasien sadar baik. Gejala yang
paling sering muncul adalah halusinasi dengar dan waham kejar. Pada
pasien juga bisa dijumpai gejala negatif (menarik diri dan afek
tumpul) seperti pada kasus skizofrenia. 5
Riwayat keluarga menderita psikosis serta gangguan fungsi
intelektual merupakan faktor resiko terjadinya PII. Penatalaksanaan
sama seperti skizofrenia, dengan menggunakan neuroleptik dosis
rendah. 5
PII episode berlangsug lebih lama dari PPI, bisa berlangsung
selama berbulan-bulan (1 bulan atau lebih) pada sebagian besar kasus.
Jika dijumpai adanya gangguan proses berpikir dan/atau gejala non-
psikotis ( contoh : penarikkan emosional, depresi, cemas dan iritabel)
episode PII akan memanjang. 5

4. Alternative Psychosis

11
Fenomena "Forced normalization" atau "psikosis alternatif"
merupakan tipe IIP singkat yang terkait dengan normalisasi EEG
sekunder antikonvulsan (fenitoin, carbamazepine, ethosuximide) tetapi
dengan eksaserbasi gejala psikotik. Paranoid merupakan manifestasi
yang paling sering tanpa kesadaran berkabut dengan bermacam-macam
gejala afektif termasuk depresi, mania, kecemasan, dan berlangsung
selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Landolt adalah orang
pertama yang menggambarkan hubungan terbalik antara psikosis dan
epilepsi: yaitu pada saat epilepsi membaik, berada di bawah kendali
obat anti-epilepsi dan EEG-nya menjadi tanpa fitur epileptiform
interiktal, tetapi status psikiatrik pasien memburuk mencapai tahap
bentuk true psikotik. Psikosis alternatif tidak umum terjadi, prevalensi
diperkirakan sekitar 1% dari kasus.5

5. Psikosis yang berhubungan dengan obat anti kejang dan post temporal
lobektomi
Psikosis yang diinduksi setelah penggunaan obat antiepilepsi
dan membaik setelah obat diganti. Obat-obat antiepilepsi yang dapat
menginduksi psikosis adalah zonisamide, ethosuximide, tiagabine,
topiramate (0,8-12%), levetiracetam (0,7-1,4%) dan Vigabratin
(2,5%).5
Psikosis akibat lobektomi biasanya muncul 1 tahun setalah
operasi. Psikosis post-operasinya biasanya muncul pada early onset
epilepsi dan ciri keperibadian yang abnormal.5

Tabel. 3 Manifestasi klinis terkait klasifikasi psikosis pada epilepsi 6

12
F. Penatalaksanaan
1. Obat Anti Epilepsi (AED)
Beberapa obat antiepilepsi dapat menimbulkan efek pada
perilaku. Carbamazepin, valproat, lamotrigin, dan gabapentin
mempunyai efek antimanik dan antidepresan sedang (mungkin melalui
efek mood stabilization). Carbamazepin dan valproat juga dapat
mengurangi perilaku agresif dan tidak terkontrol.7
2. Obat Antipsikotik (OAP)
Harus diperhatikan bahwa beberapa obat antipsikotik dapat
menurunkan ambang kejang. OAP atipikal yang sering digunakan
untuk psikosis epilepsi adalah olanzapine 5-25 mg/hari, risperidone
0.5-6 mg/hari, quetiapine 50-600 mg/hari, ziprasidone 40-160 mg/hari.
Clozapine tidak direkomendasikan karena angka kejadian gelombang
epileptogenik tinggi.7
3. Haloperidol
Haloperidol merupakan OAP tipikal paling aman untuk
mengobati POE, karena hampir tidak mengurangi ambang kejang.
Haloperidol terutama diindikasikan untuk psikotik akut dan berat,
seperti PI dan PPI yang berlarut-larut selama dimonitoring, di mana
penarikan mendadak AED membutuhkan tindakan cepat dan
digunakan untuk periode singkat.7
4. Benzodiazepine
Benzodiazepin memiliki penggunaan yang terbatas, dan
tampaknya menjadi optimal bila diberikan bersama dengan
antipsikotik dalam situasi akut (misalnya dalam psikosis post-ictal)
yaitu : lorazepam 0,5 sampai 2 mg dan klobazam 10 sampai 60 mg.
Dalam pengobatan epilepsi dengan gangguan psikiatri, yang
harus diperhatikan adalah
a. Antikonvulsan (karbamazepin, asam valproat, gabapentin, dan
lamotigine).
b. Antipsikosis

13
c. Potensi terjadinya interaksi obat
d. Operasi 8
Aspek umum, strategi terapi untuk psikosis epilepsi adalah
sebagai berikut :
a. Semua anti psikosis mengurangi epileptogenic threshold (ET) dan
dapat menyebabkan kejang epilepsi.
b. Interaksi farmakokinetik antara AED dan AP dapat mengurangi
efek terapi
c. Efek samping, efek racun dan interaksi farmakokinetik dari AED
dan AP dapat bersifat adiktif
d. Dalam memilih jenis dan dosis obat, menghindari peningkatan dan
penurunan AED secara tiba-tiba, lebih utama ketika terdapat
riwayat psikosis, untuk memeriksa penggunaan terus menerus dari
AP, mencari dosis terendah untuk waktu yang singkat 8

G. Prognosis

Prognosis baik bila kejang dapat dikontrol dengan antikonvulsan .9

14
BAB III
SIMPULAN

POE are essentially classified by their temporal relation with epileptic


events, as the clinical presentation can be usually pleomorphic and hardly
distinguishable. Regarding the pharmacological treatment, one of the limitations
of this study was the non-controlled nature of the clinical observations. Therefore,
recommendations to use this or that AP should always be interpreted cautiously.
Other aspect was that almost all studies which assessed the risk of convulsions
induced by AP were performed with psychiatric patients without epilepsy.
Therefore, we believe that future investigations should include controlled studies
and preferentially be performed with subjects with epilepsy and psychiatric
comorbidity. 10

The pharmacological treatment of POE has particularities, not only due to


the AP/AED interaction, but also because psychosis can suffer the influence of an
epileptic syndrome. Therefore, a sudden change in the pharmacological treatment
of epilepsy (reduction, increase or substitution of AED) should be avoided,
mainly in cases in which there is history of psychoses. Although the AP/DAE
interactions are not yet totally understood, mainly regarding novel drugs, the
knowledge on some aspects of the utilization of AP in epilepsy, such as their
propensity to alter the ET and interactions with the AED, can be reflected in the
therapeutic success. 11

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Epilepsy.com. (2013, 22 Agustus). Psychosis. Accessed on 20 November


2019. 20:20 WITA. Cited from https://www.epilepsy.com/learn/challenges-
epilepsy/moods-and-behavior/mood-and-behavior-101/psychosis
2. Clancy, M.J., Clarke, M.C., Connor, D.J. et al. The prevalence of psychosis in
epilepsy; a systematic review and meta-analysis. BMC Psychiatry 14, 75 (2014)
doi:10.1186/1471-244X-14-75
3. TOONE BK. The psychoses of epilepsy. Journal of Neurology, Neurosurgery
& Psychiatry 2000;69:1-3.
4. Mahadewi, N.P.A.P., Marita, A., Ariani, N.K.P. 2018. Gangguan mental
organik pada epilepsi. Medicina 49(2): 217-221.
DOI:10.15562/medi.v49i2.248
5. David AS, Fleminger S, Kopelman MD, Lovestone S, Mellers JDC: Lishman's
Organic Psychiatry. 2010, Oxford: Wiley-Blackwell, Fourth
6. Fazel S, Lichtenstein P, Grann M, Goodwin GM, Langstrom N: Bipolar
disorder and violent crime: new evidence from population-based longitudinal
studies and systematic review. Arch Gen Psychiatry. 2010, 67 (9): 931-938.
10.1001/archgenpsychiatry.2010.97.
7. Kanemoto, K., Tadokoro, Y., & Oshima, T. (2012). Psychotic illness in
patients with epilepsy. Therapeutic advances in neurological disorders, 5(6),
321–334. doi:10.1177/1756285612454180
8. Agrawal, N., & Mula, M. (2019). Treatment of psychoses in patients with
epilepsy: an update. Therapeutic Advances in Psychopharmacology.
https://doi.org/10.1177/2045125319862968
9. Wati, Shinta & Zakiyah, Rima. (2017). Post ictal psikosis berulang pada
penderita epilepsi (Laporan Kasus). Journal of Islamic Studies. Volume 1.
Pages: 96 – 102.
10. Elliott B, Joyce E, Shorvon S: Delusions, illusions and hallucinations in
epilepsy: 2. Complex phenomena and psychosis. Epilepsy Res. 2009, 85 (2–
3): 172-186.
11. Adachi N., Akanuma N., Ito M., Kato M., Hara T., Oana Y., et al. (2010)
Epileptic, organic and genetic vulnerabilities for timing of the development of
interictal psychosis. Br J Psych 196: 212–216 [PubMed] [Google Scholar]

16
LAMPIRAN

17
18

Anda mungkin juga menyukai