Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA Referat

FAKULTAS KEDOKTERAN Juli 2020


UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT : PERILAKU MELUKAI DIRI TERKAIT DEPRESI

Disusun Oleh:
Achmad Billy Hakiem
XC064191014

Residen Pembimbing :
dr. Musfiqoh Tusholehah

Supervisor Pembimbing :
dr. Kristian Liaury, Sp.KJ, Ph.D

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Achmad Billy Hakiem
Stambuk : XC064191014
Judul Referat : Perilaku Melukai Diri Terkait Depresi

Adalah benar telah menyelesaikan referat dan laporan kasus yang telah disetujui
serta telah dibacakan dihadapan pembimbing dan supervisor dalam rangka
kepaniteraan klinik pada bagian ILMU KEDOKTERAN JIWA Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Juli 2020

Supervisor Pembimbing, Residen Pembimbing,

dr. Kristian Liaury, Sp. KJ Ph.D dr. Musfiqoh Tusholeha

2
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan...............................................................................................i
Daftar Isi................................................................................................................2
Contoh Kasus…………………………………………………………………….3
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................4
1.1 Latar Belakang.....................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................5
2.1 Definisi................................................................................................5
2.2 Epidemiologi.......................................................................................6
2.3 Tanda dan Gejala ................................................................................7
2.4 Penyebab perilaku melukai diri terkait depresi...................................8
2.5 Perilaku bunuh diri …………………………………………………..9
2.6 Diagnostik ...........................................................................................10
2.7 Tatalaksana Depresi.............................................................................11
BAB III PENUTUP ..............................................................................................15
3.1 Kesimpulan..........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................16

3
CONTOH KASUS
Seorang lelaki berusia 52 tahun, yang sebelumnya beradaptasi dengan baik tanpa
riwayat depresi pada masa lalu dan riwayat keluarga dengan penyakit mental yang
datang ke unit gawat darurat dengan cedera tembak. Riwayat mengungkapkan
bahwa pasien dalam kondisi baik 3 minggu yang lalu, ketika dia pergi ke
pertemuan sosial, di mana dia datang dalam kontak dan berinteraksi dengan salah
satu temannya, yang baru saja kembali dari luar negeri. Setelah 3-4 hari, pasien
datang untuk mengetahui bahwa temannya telah didiagnosis sebagai salah satu
positif COVID-19. Saat ini, dia mulai khawatir, bahwa ia mungkin juga telah
terinfeksi dan sudah mulai tertekan dengan pikiran terinfeksi dengan COVID-19.
Dia dilacak oleh petugas kesehatan otoritas di daerahnya dan diminta untuk tetap
dalam isolasi diri. Dia diminta untuk memberi tahu petugas kesehatan jika dia
mengalami gejala apa pun terkait infeksi COVID-19 (yang telah dijelaskan
dengan baik kepada dia). Dia segera mengisolasi dirinya sendiri, karena takut
menyebarkan infeksi pada anggota keluarganya. Selama periode 2 minggu ke
depan, sementara di isolasi, secara bertahap ia mulai ada gejala depresi dalam
bentuk kesedihan suasana hati, anhedonia, lesu, nafsu makan menurun dan
kesusahan tidur. Dia terus mengikuti berita COVID-19 dan belajar bahwa itu
mengarah pada kematian yang menyakitkan. Dia tetap sangat cemas dan
disibukkan dengan pemikiran bahwa dia akan segera mati, menjadi putus asa dan
menganggap dirinya tidak berharga. Dia memberikan semua hartanya untuk
anggota keluarganya. Setelah onset sekitar 10-12 hari dari gejala depresi, dia
sering mulai memiliki ide bunuh diri dan akhirnya dia menembak dirinya sendiri
dengan senjatanya di bagian atas kiri perutnya berpikir bahwa dia akan tetap mati
karena COVID-19. Dia menembak dirinya sendiri untuk menghindari kematian
yang menyakitkan karena infeksi. Tidak ada riwayat batuk maupun batuk
berdahak, pilek, demam dan gejala depresi lainnya selama masa ini. Dia segera
dibawa ke layanan trauma rumah sakit kami, dioperasikan (hanya masuk luka
tembak) dan stabil secara medis. Kemudian ia mengalami delirium karena
komplikasi medico-bedah dan ditangani dengan melatonin. Ia membaik dengan
melatonin selama 24 jam berikutnya stabil secara medis. Diagnosis depresi berat
tanpa gejala psikotik dianggap setelah menyingkirkan delirium. Kemudian dia

4
direncanakan untuk memulai terapi antidepresan dan psikoterapi suportif langkah-
langkah dimulai dan dilanjutkan9.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Depresi seringkali disebut sebagai gangguan kejiwaan yang paling
umum terjadi karena memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi.
Setidaknya sekitar 350 juta orang di dunia mengalami depresi dalam
hidupnya, di antaranya hanya 17% pasien yang memeriksakan dirinya ke
psikiater10, sementara masih sangat banyak penderita depresi yang tidak
tertangani akibat kurangnya kesadaran akan hal ini11.
Menurut WHO (2013), depresi merupakan gangguan psikologis
terbesar ketiga yang diperkirakan terjadi pada 5% penduduk di dunia.
Penelitian yang dilakukan oleh Pracheth dkk (2013) di India, memberikan
hasil dari 218 lanjut usia yang diteliti, terdapat 64 orang (29,36%) yang
mengalami depresi. Di Indonesia, belum ada penelitian yang menyebutkan
secara pasti tentang jumlah prevalensi lanjut usia yang mengalami depresi.
Namun peningkatan jumlah penderita depresi dapat diamati bertambah dari
waktu ke waktu melalui peningkatan jumlah kunjungan pasien yang berobat
ke pelayanan kesehatan maupun peningkatan obat psikofarmaka yang
diresepkan oleh dokter11.
Depresi merupakan gangguan kesehatan jiwa yang menjadi beban
kesehatan terbesar di dunia. Depresi menjadi penyebab disabilitas terbesar di
seluruh penjuru dunia serta menyumbang beban ekonomi yang besar bagi
negara3,12.
Beban kesehatan yang dibawa oleh depresi menjadikan depresi isu
kesehatan masyarakat yang penting bagi Indonesia sebagai negara
berkembang karena dapat menghalangi pertumbuhan negara. Mengetahui
prevalensi depresi di Indonesia menjadi penting untuk memahami kebutuhan
masyarakat akan pelayanan kesehatan serta penyusunan kebijakan. Hal ini

5
membuktikan bahwa depresi merupakan salah satu gangguan yang dapat
mengancam siapa saja1.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Melukai diri sendiri di definisikan sebagai setiap tindakan meracuni diri
atau mencederai diri sendiri yang dilakukan oleh seorang individu terlepas
dari motivasi. Ini sulit untuk dilihat karena kebanyakan tindakan
mencelakakan diri tidak menghasilkan presentasi untuk perhatian medis.
Melukai diri sendiri lebih sering terjadi pada wanita dan 16,7% wanita akan
melukai diri sendiri dalam hidup mereka dibandingkan dengan angka 4,8%
pada pria. Ada peningkatan jumlah wanita yang datang rumah sakit setelah
melukai diri sendiri terkait dengan alkohol dan penyalahgunaan narkoba. Ini
sering disebabkan oleh perubahan umum dalam pola mengkonsumsi alkohol,
yang mengkhawatirkan karena orang yang melakukan perilaku
membahayakan diri sendiri dapat lebih mungkin terjadi setelah mengonsumsi
alkohol.13
Banyak orang yang mengelola kesusahan mereka menggunakan melukai
diri sendiri, terutama memotong diri sendiri, dilaporkan bahwa tindakan
mereka tidak memiliki niat bunuh diri. Beberapa melaporkan bahwa melukai
diri mereka adalah cara mempertahankan kehidupan mereka dan memperbaiki
pikiran, ide atau bunuh diri bunuh diri lebih lanjut.13
Alasan paling umum mengapa remaja berpartisipasi dalam cedera diri
adalah; sebagai mekanisme koping, sarana kelegaan, untuk pengaturan
perasaan, hukuman diri sendiri, pencarian perhatian dan pencarian sensasi5.
Keinginan untuk melukai diri sendiri adalah gejala umum dari beberapa
gangguan kepribadian. Orang-orang dengan gangguan mental lain juga dapat
melukai diri sendiri, termasuk mereka yang mengalami depresi, gangguan

6
kecemasan, penyalahgunaan zat, gangguan makan, gangguan stres
pascatrauma, skizofrenia, dan gangguan disosiatif.5

2.2 Epidemiology
Menurut WHO prevalensi penduduk dunia mengenai gangguan depresi
cukuplah tinggi yaitu sekitar 4,4% dari seluruh penduduk dunia pada tahun
20153.
Perilaku menyakiti diri sendiri paling umum di kalangan remaja dan orang
dewasa. Rasio dalam populasi ini adalah sekitar 15% hingga 20%, dan onset
biasanya terjadi sekitar usia 13 atau 14. Sebaliknya, sekitar 6% orang dewasa
melaporkan riwayat perilaku ini. Tidak jelas apakah tingkat kehidupan yang
lebih rendah pada orang dewasa mencerminkan peningkatan perilaku melukai
diri di antara remaja baru-baru ini atau dimana sebagian besar orang dewasa
yang mengalami perilaku melukai diri sendiri sebagai remaja tidak mengingat
kejadian mereka. Umumnya, tingkat perilaku melukai diri sendiri tampaknya
serupa di berbagai berbeda negara. Baik pada remaja maupun dewasa, tingkat
perilaku melukai diri paling tinggi di antara populasi psikiatris, terutama
orang-orang yang melaporkan karakteristik yang terkait dengan tekanan
emosional,seperti emosi negatif, depresi, kecemasan, dan disregulasi emosi.
Perilaku melukai diri sendiri sangat umum pada orang yang cenderung
mengarahkan emosi negatif dan kritik diri. Menariknya, sementara itu umum
bagi orang untuk berasumsi bahwa perilaku ini lebih sering terjadi pada
wanita, populasi umum penelitian menemukan tingkat yang setara antara pria
dan wanita. Namun, tampaknya ada perbedaan jenis kelamin mengenai
metode perilaku melukai diri yang digunakan; khususnya, wanita lebih banyak
cenderung dengan cara pemotongan, sedangkan pria lebih cenderung dengan
cara memukul atau terbakar. Akhirnya, ada 2 kecenderungan sosiodemografi
lainnya telah berulang kali dicatat. Perilaku melukai diri sendiri tampaknya
lebih umum di antara orang yang melaporkan orientasi non-heteroseksual
(untuk contoh, homoseksual, biseksual), dan di antara Kaukasia daripada non-
Kaukasia.14

7
Di Indonesia menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun
2018 prevalensi gangguan depresi pada penduduk umur ≥15 tahun adalah
sebesar 6,1%4. Menurut riset tersebut juga ditemukan perbedaan dari setiap
provinsi diseluruh Indonesia. Tecatat Sulawesi Tengah memiliki angka
kejadian tertinggi yaitu sebesar 12,3% dan berikutnya adalah Gorontalo yaitu
sebesar 10%4. Berdasarkan angka tersebut ditemukan bahwa hanya 9% pasien
gangguan depresi yang minum obat atau menjalani pengobatan medis4.
Depresi sering terjadi pada wanita, dan puncaknya pada masa hamil.
Faktor sosial seperti stres dari masalah keluarga dan pekerjaan. Hal ini
disebabkan karena harapan hidup pada wanita lebih tinggi, kematian pasangan
mungkin juga menyebabkan angka yang tinggi untuk wanita tua mengalami
depresi.
Penilaian gejala depresi seperti perasaan sedih atau kekecewaan yang kuat
dan terus menerus yang mempengaruhi aktivitas normal, menunjukan
prevalensi seumur hidup sebanyak 9-20%. Pada kriteria lain yang digunakan
pada depresi berat, prevalensi depresi 3% untuk pria dan 4-9% untuk wanita.
Resiko seumur hidup 8-12% untuk pria dan 20-28% untuk wanita. Sekitar 12-
20% pada orang yang mengalami episode akut berkembang menjadi sindrom
depresi kronis, dan diatas 15% pasien yang mengalami depresi lebih dari 1
bulan dapat melakukan bunuh diri.

2.3 Tanda dan Gejala


Ada banyak cara yang dapat dilakukan orang dengan sengaja melukai diri
sendiri, seperti8:

-memotong atau membakar kulit mereka


-meninju atau memukul diri mereka sendiri
-meracuni diri sendiri dengan tablet atau bahan kimia beracun
-alkohol atau obat-obatan terlarang
-sengaja kelaparan sendiri (anoreksia nervosa) atau pesta makan berlebihan
(bulimia nervosa)
-berolahraga secara berlebihan

8
Orang-orang sering mencoba merahasiakan melukai diri sendiri karena
malu atau takut kelihatan. Mereka mungkin menutupi kulit mereka dan
menghindari mendiskusikan masalahnya.
Sering kali keluarga dan teman dekat untuk memperhatikan ketika
seseorang melukai diri sendiri. Mereka harus mendekati subjek dengan hati-
hati dan pengertian.
Ini juga dapat mencakup perilaku yang memiliki tingkat niat bunuh diri,
seperti overdosis.

Ada beberapa tanda yang kita bisa di amati untuk menjadi indikasi seseorang
dengan perilaku melukai diri sendiri, seperti8 :
-luka yang tidak dapat dijelaskan, memar atau luka bakar rokok - biasanya di
pergelangan tangan, lengan, paha, dan dada
-menjaga diri mereka tertutup sepenuhnya setiap saat, bahkan dalam cuaca
panas
-mencabut rambut mereka
-penyalahgunaan alkohol atau narkoba
-membenci diri sendiri dan mengekspresikan keinginan untuk menghukum
diri mereka sendiri
-berbicara tentang tidak ingin melanjutkan dan ingin mengakhiri semuanya
-menjadi sangat menarik diri dan tidak berbicara kepada orang lain
-perubahan kebiasaan makan atau menjadi tertutup tentang makan
-penurunan berat badan yang tidak biasa atau kenaikan berat badan
-tanda-tanda harga diri rendah, seperti menyalahkan diri sendiri untuk masalah
apa pun atau berpikir mereka tidak cukup baik untuk sesuatu
-tanda-tanda depresi, seperti suasana hati yang rendah, menangis atau
kurangnya motivasi atau minat pada apa pun.
2.4 Penyebab seseorang melukai diri sendiri
Tidak ada satu pun penyebab tunggal atau sederhana yang menyebabkan
seseorang melukai diri sendiri. Secara umum, mencederai diri sendiri dapat
terjadi akibat5:

9
-Keterampilan koping yang buruk. Melukai diri biasanya merupakan
hasil dari ketidakmampuan untuk mengatasi secara sehat pada rasa sakit
psikologis.
-Kesulitan mengelola emosi. Orang tersebut kesulitan mengatur,
mengekspresikan atau memahami emosi. Gabungan emosi yang memicu
cedera diri kompleks. Misalnya, mungkin ada perasaan tidak berharga,
kesepian, panik, marah, bersalah, penolakan, kebencian terhadap diri sendiri
atau seksualitas yang membingungkan.5
Perilaku melukai diri sendiri di kalangan remaja telah menjadi masalah
yang semakin penting di Amerika. Berbagai metode melukai diri sendiri sering
dilakukan oleh siswa dan dapat dilakukan beberapa kali selama berbulan-bulan,
teknik yang digunakan sangat bervariasi.5
Beberapa gangguan jiwa yang terkait erat dengan perilaku melukai diri
sendiri yaitu gangguan kepribadian ambang (Borderline personality disorder),
gangguan depresi, gangguan bipolar, dan skizofrenia. Perilaku self-harm
sendiri sebenarnya bukanlah sebuah gangguan jiwa, namun merupakan
kegagalan seseorang dalam melakukan coping dalam menghadapi stress. Meski
tidak semua orang dengan perilaku melukai diri sendiri akan selalu berlanjut
menjadi bunuh diri, namun orang dengan perilaku ini memiliki resiko 1.68 kali
lipat untuk melakukan bunuh diri6.
2.6 Perilaku bunuh diri
Bunuh diri adalah tindakan sengaja membunuh diri sendiri. Ada bukti kuat
untuk menunjukkan bahwa risiko bunuh diri di antara mereka yang memiliki
melukai diri sendiri jauh lebih besar daripada populasi umum, sebagaimana
adanya risiko kematian dini. Hampir setengah dari populasi umum dan lebih
dari separuh anak muda yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,
sebelumnya telah dirugikan sendiri. Dua studi baru menunjukkan skala itu, atau
ketergantungan yang berlebihan pada identifikasi faktor resiko dalam praktik
klinis, tidak aman dan tidak boleh lagi digunakan untuk memprediksi bunuh
diri setelah melukai diri sendiri. Timbangan dapat memberikan jaminan palsu
dan seharusnya tidak menggantikan pasien yang menerima penilaian
psikososial komprehensif individu pada situasi, risiko dan kebutuhan mereka,
serta aset dan kekuatan mereka.

10
Bunuh diri setelah melukai diri sendiri non-fatal dikaitkan dengan penggunaan
beberapa metode melukai diri sendiri dan dengan pengulangan non-fatal dini.
Disarankan kombinasi ini harus dipertimbangkan indikator ‘risiko merah' atau
risiko bunuh diri. Identifikasi awal dan Intervensi dapat meminimalkan
kesusahan dan mengurangi kemungkinan penanganan maladaptif seperti
mekanisme menjadi mapan dan mengakar. Karena itu sangat penting bahwa
siapa pun yang melukai diri sendiri didukung untuk menyusun rencana
keselamatan. Tenaga kesehatan perlu mewaspadai dampak stigma dan negatif
dari itu, meski seringkali tidak disadari, merugikan pasien dan pengasuh
mereka. Penggunaan bahasa secara hati-hati di sekitar orang yang pernah
melukai diri sendiri sangat penting untuk keterlibatan terapeutik. Sebagai
contoh, istilah 'melukai diri sendiri' harus dihindari. Itu menyiratkan seseorang
memiliki pikiran sadar untuk melukai diri sendiri. Ini mempromosikan pikiran
negatif dan menstigma sikap dan istilah yang disukai adalah 'merugikan diri
sendiri'. Melukai diri sendiri tampaknya terkait dengan kesulitan dalam
pemecahan masalah dan koping terutama ketika dikaitkan dengan suatu
masalah. Orang yang bunuh diri biasanya berada dalam rasa sakit emosional
yang ekstrem dan sering ambivalen tentang kematian. Perilaku melukai diri
sendiri sebelumnya digunakan sebagai metode mengelola psikologis rasa sakit,
terutama jika orang tersebut tidak memiliki strategi lain, dapat, dalam konteks
tekanan yang tak tertahankan, meningkat dan mengakibatkan kematian. Risiko
bunuh diri meningkat antara 30 dan 100 kali lipat pada tahun berikutnya
episode kerusakan diri, dibandingkan dengan populasi umum. 20% orang yang
datang ke rumah sakit setelah melukai diri sendiri mengulangi perilaku ini
dalam setahun, banyak yang kembali ke rumah sakit yang sama. Satu dari 50
pasien yang dirawat di rumah sakit setelah melukai diri sendiri akan meninggal
karena bunuh diri dalam satu tahun dan satu dari 15 dalam sembilan tahun.
Lebih dari 50% orang yang meninggal karena bunuh diri telah melukai diri
sendiri, 15% dalam tahun sebelumnya. Orang-orang yang melukai diri sendiri
juga memiliki tingkat kematian yang semuanya lebih tinggi, yaitu tidak hanya
dari bunuh diri13.

2.5 Diagnostik

11
Untuk mendiagnosis seseorang terkait perilaku melukai/menyakiti diri dapat di
tunjukan dengan mendiagnosis gangguan jiwa nya dan bisa mengamati tanda
tanda pada tubuh pasien.

2.6 Tatalaksana
FARMAKOTERAPI
Penggunaan farmakoterapi spesifik kurang lebih menggandakan peluang bahwa
pasien yang depresi akan pulih dalam 1 bulan. Semua saat ini antidepresan yang
tersedia mungkin memakan waktu hingga 3 hingga 4 minggu untuk memberikan
efek terapi yang signifikan, meskipun mereka mungkin mulai menunjukkan
efeknya sebelumnya.7

12
PSIKOTERAPI
Cognitive Therapy
Terapi kognitif, awalnya dikembangkan oleh Aaron Beck, berfokus pada distorsi
kognitif yang didalilkan hadir pada gangguan depresi mayor. Seperti it distorsi
termasuk perhatian selektif terhadap aspek negatif dari keadaan dan kesimpulan
yang tidak realistis tentang konsekuensi. Misalnya apatis dan energi rendah hasil
dari harapan pasien akan kegagalan di semua area. Tujuan terapi kognitif adalah
untuk mengurangi episode depresi dan mencegah kekambuhan mereka dengan

13
membantu pasien mengidentifikasi dan uji kognisi negatif; mengembangkan cara
berpikir alternatif, fleksibel, dan positif; dan latih respons kognitif dan perilaku
baru. Studi telah menunjukkan bahwa terapi kognitif efektif dalam pengobatan
utama gangguan depresi. Sebagian besar penelitian menemukan bahwa terapi
kognitif memiliki kesamaan dalam farmakoterapi dan dikaitkan dengan efek
samping yang lebih sedikit dan tindak lanjut yang lebih baik daripada
farmakoterapi. Beberapa studi terkontrol terbaik menunjukkan kombinasi itu
terapi kognitif dan farmakoterapi lebih efisien daripada satu terapi saja, meskipun
penelitian lain belum menemukan efek aditif itu. Setidaknya satu studi, NIMH
Perawatan Program Penelitian Kolaborasi Depresi, menemukan farmakoterapi itu,
baik sendiri atau dengan psikoterapi, mungkin merupakan pengobatan pilihan
untuk pasien dengan episode depresi mayor yang parah.7
Interpersonal Therapy
Terapi interpersonal, yang dikembangkan oleh Gerald Klerman, berfokus pada
satu atau dua masalah interpersonal pasien saat ini. Terapi ini didasarkan pada dua
asumsi. Pertama, masalah interpersonal saat ini cenderung berakar pada awal
hubungan disfungsional. Kedua, masalah interpersonal saat ini mungkin terjadi
terlibat dalam mengendapkan atau mengabadikan gejala depresi saat ini. Uji coba
terkontrol telah menunjukkan bahwa terapi interpersonal efektif dalam
pengobatan depresi berat dan, tidak mengherankan, mungkin secara khusus
membantu dalam menangani interpersonal masalah. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terapi interpersonal mungkin yang paling efektif metode
untuk episode depresi mayor berat ketika pilihan pengobatan adalah psikoterapi
saja. Program terapi interpersonal biasanya terdiri dari 12 hingga 16 sesi
mingguan dan sedang ditandai dengan pendekatan terapi aktif. Fenomena
intrapsikis, seperti pertahanan mekanisme dan konflik internal, tidak ditangani.
Perilaku diskrit — seperti kurangnya perilaku ketegasan, gangguan keterampilan
sosial, dan pemikiran yang menyimpang — dapat diatasi tetapi hanya di konteks
maknanya saja, atau pengaruhnya terhadap, hubungan interpersonal.7
Behavior Therapy
Behavior Therapy Terapi perilaku sangat membantu untuk gangguan yang terkait
dengan pola perilaku abnormal yang membutuhkan koreksi.gangguan termasuk
alkohol dan gangguan penggunaan narkoba, gangguan makan, gangguan

14
kecemasan, fobia, dan perilaku obsesif-kompulsif. Pengetahuan tentang prinsip-
prinsip behaviorisme mungkin berguna dalam berurusan dengan berbagai pasien,
termasuk pasien dengan demensia, psikosis, gangguan penyesuaian, gangguan
masa kecil, dan gangguan kepribadian. Terapi perilaku untuk gangguan depresi
mayor belum menjadi subjek pada banyak orang pada studi terkontrol. Data yang
terbatas menunjukkan bahwa itu adalah pengobatan yang efektif untuk gangguan
depresi.7
Dialectic Behavior Therapy
Terapi perilaku dialektis (DBT) adalah pengobatan dengan pendekatan kognitif-
perilaku yang menekankan aspek psikososial. Teori di balik pendekatan ini adalah
bahwa beberapa orang cenderung untuk bereaksi dengan cara yang lebih intens
dan luar biasa terhadap situasi emosional tertentu, terutama yang terkait yang
terkait dengan romantis, keluarga dan hubungan teman. Teori DBT menunjukkan
bahwa tingkat gairah beberapa orang dalam situasi seperti ini dapat
meningkatkan jauh lebih cepat daripada rata-rata orang, mencapai tingkat yang
lebih tinggi rangsangan emosional, dan dan memerlukan banyak waktu untuk
kembali ke tingkat gairah awal.8
Transcranial Magnetic Stimulation
TMS (Transcranial Magnetic Stimulation) menunjukkan janji sebagai pengobatan
untuk depresi. Itu melibatkan penggunaan energi magnetik pulsa yang sangat
singkat untuk merangsang sel-sel saraf di otak. Secara khusus ditunjukkan untuk
pengobatan depresi pada pasien dewasa yang memiliki gagal mencapai
peningkatan yang memuaskan dari satu obat antidepresan sebelumnya di atau di
atas dosis efektif minimum dan durasi dalam episode saat ini. Stimulasi magnetik
transkranial berulang (rTMS) menghasilkan listrik sekunder fokal stimulasi
daerah kortikal yang ditargetkan. TMS ini tidak konvulsif, tidak memerlukan
anestesi, memiliki profil efek samping yang aman, dan tidak terkait dengan efek
samping kognitif. Pasien tidak memerlukan anestesi atau sedasi dan tetap terjaga
dan waspada. Itu adalah 40-menit prosedur rawat jalan yang diresepkan oleh
psikiater dan dilakukan di psikiater. Perawatan biasanya diberikan setiap hari
selama 4 hingga 6 minggu. efek samping yang paling umum terkait dengan
pengobatan adalah sakit kepala atau ketidaknyamanan. Terapi TMS

15
dikontraindikasikan pada pasien dengan perangkat logam implan atau benda
logam yang tidak bisa dilepas di atau sekitar kepala.7
Electroconvulsive Therapy
ECT digunakan hampir secara eksklusif untuk pengobatan gangguan mood dan
umumnya dicadangkan untuk pasien yang gagal merespons antidepresan obat-
obatan atau agen antimanik, katatonik, atau dilemahkan oleh kegagalan mereka
untuk mengambil makanan dan cairan yang memadai. Pasien dengan risiko tinggi
untuk bunuh diri dan membutuhkan perawatan cepat juga dianjurkan untuk ECT
karena cenderung bekerja lebih cepat daripada antidepresan pengobatan. Ada
bukti yang berkembang bahwa kombinasi ECT dengan obat antidepresan
menghasilkan respons yang lebih kuat daripada pengobatan saja.7
Selain terapi di atas sangat tidak menutup kemungkinan dibutuhkannya
intervensi psikososial. Kita bisa menawarkan support kepada pasien, atau
psikososial support yang aktif misalnya dari kerabat, keluarga terdekat dari
pasien. Support emosional pada orang terdekat atau keluarga pasien juga
dibutuhkan karena pada umunya keluarga atau orang terdekat dari pasien bisa
menderita stress yang berkelanjutan.15
Seseorang sering belajar tentang perilaku berdasarkan rekomendasi atau
pengamatan dari yang lain. Penelitian telah menunjukkan bahwa ketika seorang
individu yang terlibat dalam perilaku melukai diri sendiri dirawat di unit rawat
inap, orang lain mungkin mulai terlibat dalam tingkah laku tersebut.13

BAB III

PENUTUP

16
Kesimpulan
Depresi merupakan gangguan mental yang serius yang ditandai dengan perasaan
sedih dan cemas. Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam beberapa hari
tetapi dapat juga berkelanjutan yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari.
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan
munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan
bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, dan penurunan
konsentrasi.3
Melukai diri sendiri bukanlah penyakit mental, tetapi perilaku yang
menunjukkan perlunya koping yang lebih baik. Beberapa penyakit berhubungan
dengan itu, termasuk gangguan kepribadian ambang, depresi, gangguan makan,
kecemasan atau gangguan tekanan pascatrauma.8
Keinginan untuk menyakiti diri sendiri mungkin dimulai dengan
kemarahan, frustrasi, atau rasa sakit yang luar biasa. Ketika seseorang tidak yakin
bagaimana menghadapi emosi, atau belajar sebagai anak untuk menyembunyikan
emosi, melukai diri mungkin seperti pelampiasan. Kadang-kadang, melukai diri
sendiri merangsang endorfin tubuh atau hormon penghilang rasa sakit, sehingga
meningkatkan mood mereka. Atau jika seseorang tidak merasakan banyak emosi,
mereka mungkin menyebabkan dirinya sendiri sakit untuk merasakan sesuatu
yang "nyata" untuk menggantikan rasa emosional yang mati.
Begitu seseorang melukai dirinya sendiri, mereka mungkin mengalami
rasa malu dan bersalah. Jika rasa malu mengarah pada perasaan negatif yang kuat,
orang itu mungkin melukai dirinya sendiri lagi. Perilaku demikian bisa menjadi
siklus berbahaya dan kebiasaan lama. Beberapa orang bahkan membuat ritual di
sekitarnya.
Melukai diri sendiri tidak sama dengan mencoba bunuh diri. Namun, itu
adalah gejala rasa sakit emosional yang harus dianggap serius. Jika seseorang
menyakiti diri mereka sendiri, mereka mungkin berisiko lebih tinggi untuk merasa
ingin bunuh diri. Penting untuk menemukan perawatan untuk emosi yang
mendasarinya.8
DAFTAR PUSTAKA

1. Utama, H., 2013. Buku Ajar Psikiatri, Edisi 2.

17
3. Depression, W.H.O., 2017. Other common mental disorders: global health

estimates. Geneva: World Health Organization, pp.1-24.

4. Riskesdas, L.N., 2018. Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan.

5. Hendrick, M.T., 2016. Depression’s Connection to Self-Harming Behavior in

Adolescents..

6. Kusumadewi, A. F., Yoga, B. H., Sumarni, S., & Ismanto, S. H., 2019. Self-

Harm Inventory (SHI) Versi Indonesia Sebagai Instrumen Deteksi Dini

Perilaku Self-Harm. Jurnal Psikiatri Surabaya, 8(1), 20-25.

7. Sadock, B. J., 2014. Ruiz P. kaplan and sadock's synopsis of psychiatry

behavioral sciences. Clinical Psychiatry. 11th ed. Wolters Kluwer Health.

8. “Self Harm”, National Alliance on Mental Illness. (Online).

<https://www.nami.org/About-Mental-Illness/Common-with-Mental-

Illness/Self-harm> diakses pada 23 Juli 2020

9. Sahoo, S., Bharadwaj, S., Parveen, S., Singh, A. P., Tandup, C., Mehra, A., ...

& Grover, S., 2020. Self-harm and COVID-19 Pandemic: An emerging

concern–A report of 2 cases from India. Asian journal of psychiatry.

10. World Health Organization., 2012. [Online] Available at :

https://www.google.com/search?

q=prevalensi+lansia+menurt+who&ie=utf-8&oe=utf-

8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&channel=fflb

11. Hawari., 2011. Manajemen Stres, Cemas dan Depresi., Jakarta

12. Evans-Lacko, S., & Knapp, M., 2016. Global patterns of workplace

productivity for people with depression: absenteeism and presenteeism

18
costs across eight diverse countries. Social psychiatry and psychiatric

epidemiology, 51(11), 1525-1537.

13. Royal College of Psychiatrist., 2020. Final report of the Patient Safety Group:

Self-Harm and Suicide in adults. London

14. Klonsky, E.D., Victor, S.E. and Saffer, B.Y., 2014. Nonsuicidal self-injury:

What we know, and what we need to know.

15. Keynejad, R.C., Dua, T., Barbui, C. and Thornicroft, G., 2018. WHO Mental

Health Gap Action Programme (mhGAP) Intervention Guide: a systematic

review of evidence from low and middle-income countries. Evidence-

based mental health, 21(1), pp.30-34.

19

Anda mungkin juga menyukai