Anda di halaman 1dari 27

FAKULTAS KEDOKTERAN Referat

UNIVERSITAS HASANUDDIN Agustus 2020

PATOGENESIS ERITRODERMA (3B)

Disusun Oleh:

Andi Astri Annisa Sari XC064191010


Tria Okta Tanasa XC064191011
Achmad Billy Hakiem XC064191014
Aaron Sebastian Surya XC064191015
Dolly Milan Wiranegoro XC064191020
Antonius Susanto XC064191021

Residen Pembimbing:
dr. Timothy Yusuf Sangian

Supervisor Pembimbing:
dr. Suci Budhiani, Sp.KK, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:


Nama:
1. Andi Astri Annisa Sari XC064191010
2. Tria Okta Tanasa XC064191011
3. Achmad Billy Hakiem XC064191014
4. Aaron Sebastian Surya XC064191015
5. Dolly Milan Wiranegoro XC064191020
6. Antonius Susanto XC064191021

Judul Referat: PATOGENESIS ERITRODERMA (3B)

adalah benar telah didiskusikan dan disetujui untuk dipresentasikan tugas referat
ini dengan judul di atas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,
Makassar.

Makassar, 10 Agustus 2020

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

dr. Suci Budhiani, Sp.KK, M.Kes dr. Timothy Yusuf Sangian

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. 2


DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4
1. Epidemiologi ............................................................................................... 4
2. Gambaran Klinis ........................................................................................ 5
3. Diagnosis ..................................................................................................... 7
4. Terapi .......................................................................................................... 8
BAB II PATOGENESIS ERITRODERMA ..................................................... 10
1. Etiologi ...................................................................................................... 10
2. Patofisiologi............................................................................................... 11
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 25
REFERENSI ........................................................................................................ 26

3
BAB I
PENDAHULUAN

Eritroderma atau dermatitis eksfoliatif (DE) didefinisikan sebagai eritema


yang menyebar dengan ciri kulit yang terkelupas dan melibatkan lebih dari 90%
dari total luas permukaan kulit.1 Dermatitis eksfoliatif juga dikenal sebagai
dermatitis eksfoliativa, pitiriasis rubra (Hebra), dan eritroderma (Wilson-Brocq).2
Pada sebagian besar kasus, eritroderma adalah proses sekunder. Keadaan
iritasi kulit yang ekstrem yang mengakibatkan eritema yang luas pada beberapa
gangguan kulit yang akhirnya dapat berujung pada eritroderma atau dermatitis
eksfoliatif. Oleh karena itu, penentuan penyebabnya diperlukan untuk diagnosis
dan terapi yang tepat. Beberapa faktor mungkin bertanggung jawab atas penyebab
gangguan kulit yang luas ini. Maka, riwayat yang rinci dari pasien menjadi
penting untuk memperoleh kemungkinan peristiwa pemicu, di antara lain infeksi,
konsumsi obat, aplikasi obat-obat tipikal, dan paparan sinar matahari.3
Kelompok pasien eritrodermik terbesar adalah mereka yang memiliki
kelainan kulit yang telah ada sebelumnya, seperti dermatitis atopik, dermatitis
aktinik kronis, psoriasis, dermatitis seboroik, dan dermatitis kontak alergi. Erupsi
obat umumnya merupakan kelompok paling umum berikutnya, diikuti oleh kasus
idiopatik, limfoma sel T kulit, eritroderma paraneoplastik, dan leukemia kutis.2

1. Epidemiologi
Beberapa penelitian besar melaporkan bahwa kejadian eritroderma sangat
bervariasi mulai dari 0,9-71,0 per 100.000 pasien rawat jalan.1 Beberapa
penelitian telah mencatat kejadian eritroderma dalam berbagai pengaturan klinis.
Dalam satu studi dari India, misalnya, kejadian eritroderma di bagian dermatologi
rawat jalan adalah 35 per 100.000 pasien (0,035%), sementara studi lain di
Portugal menunjukkan kejadian eritroderma pada pasien rawat inap menjadi
11,9%. Namun penelitian lain menunjukkan kejadian 1-2 pasien per 100.000.
Secara umum, eritroderma memiliki kecenderungan laki-laki terhadap perempuan
yang bervariasi antara 2-4:1 dan usia awitan rata-rata antara 40 dan 60 tahun.5

4
2. Gambaran Klinis
Eritroderma memiliki awitan bertahap dan berbahaya, kecuali untuk kasus
yang diinduksi obat. Kondisi ini dimulai sebagai bercak eritema yang membesar
dan menyatu yang akhirnya mempengaruhi sebagian besar permukaan kulit yang
umumnya muncul 2-6 hari setelah timbulnya eritema. Kulit biasanya berwarna
merah cerah, kering, dan hangat. Sebagian besar pasien mengeluh nyeri pada kulit
atau pruritus. Pada fase akut, sisik-sisik mungkin tampak besar dan berkulit,
sedangkan pada kondisi kronis cenderung lebih kecil dan kering. Jenis sisik pada
eritroderma berdasarkan etiologi yang mendasari: sisik halus biasanya ditemukan
dalam kondisi eksematosa, sisik berkrusta pada penyakit imunobullus, sisik
eksfoliatif dalam reaksi obat dan sisik mirip dedak pada dermatitis seboroik.6
Pada eritroderma kronis, pasien dapat mengalami erosi berkerak dan
likenifikasi sekunder karena eksoriasi yang parah; hiper atau hipopigmentasi juga
bisa terjadi. Kuku bisa menjadi tebal, kering, rapuh, berkilau, dan menunjukkan
tonjolan. Sebuah studi klinis melaporkan perubahan kuku pada pasien eritroderma
adalah sebagai berikut: perubahan warna, ridges, pitting, onikolisis, kuku
mengkilap dan paronikia. Keratoderma palmoplantar muncul pada sekitar 30%
kasus. Secara klasik, keratoderma yang ditandai berhubungan dengan pitiriasis
rubra pilaris, namun beberapa laporan telah menemukan bahwa keratoderma dan
perubahan kuku palmoplantar adalah tanda-tanda klinis prediktif psoriasis.6

Gambar 1. Gambaran eritroderma yang meliputi 90% luas permukaan kulit

5
Gambar 2. Keterlibatan regio palmoplantar

Gambar 3. Psoriasis kuku

Gejala menggigil dan merasa dingin sering dikeluhkan pada pasien yang
menderita eritroderma, tetapi pruritus adalah gejala yang paling umum.
Limfadenopati perifer menyeluruh dapat terjadi, mendorong pemeriksaan
histologis dan molekuler untuk menyingkirkan keganasan hematologis. Fitur lain
yang dijelaskan dalam kondisi ini termasuk edema wajah, pedis atau pretibial,
hipotermia, kakeksia, hepatomegali, splenomegali, dan demam pada sekitar
setengah dari semua kasus.6
Manifestasi sistemik yang berpotensi menyulitkan perkembangan penyakit
harus diketahui. Eritroderma dapat menyebabkan komplikasi sistemik termasuk
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gagal jantung output tinggi, sindrom
gangguan pernapasan akut, dan infeksi sekunder (kulit eritrodermik umumnya
dikolonisasi oleh Staphylococcus aureus). Sepsis stafilokokus dapat terjadi karena

6
kulit yang meradang dan terekskoriasi, terutama pada pasien HIV-positif atau
dengan keganasan hematologis yang mendasarinya.6

3. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Pada pasien eritrodermik, biopsi kulit adalah langkah pertama yang wajib
dilakukan dalam pemeriksaan. Korelasi klinis dan histopatologis mungkin sulit
dicapai, namun ahli patologi yang terlatih dapat memberikan diagnosis yang tepat.
Sampel kulit biasanya diperoleh dengan punch biopsy 4 mm dan laporan seri
sebelumnya bahwa beberapa biopsi dari waktu ke waktu dapat meningkatkan
akurasi diagnostik. Studi sebelumnya melaporkan biopsi kulit bermanfaat pada
53-66% kasus eritroderma. Temuan histopatologis yang sering pada eritroderma
termasuk hiperkeratosis, akantosis, spongiosis, dan infiltrat inflamasi perivaskular.
Sebagian besar penelitian melaporkan bahwa biopsi nodal sering menunjukkan
limfadenopati dermatopatik, namun biopsi kelenjar getah bening mungkin
menjadi kunci untuk menyingkirkan diagnosis limfoma. Kehadiran limfosit
atipikal harus segera dilakukan. Imunofluoresensi harus dipertimbangkan jika
histopatologi menunjukkan penyakit imunobullus, penyakit graft-vs-host, dan
gangguan jaringan ikat.6
Temuan laboratorium pasien eritrodermik seringkali tidak spesifik.
Kelainan laboratorium umum yang dijelaskan meliputi peningkatan tingkat
sedimentasi eritrosit, leukositosis, eosinofilia, dan anemia. Tes fungsi hati dan
ginjal dapat dilakukan pada eritroderma yang terkait dengan reaksi obat yang
berat. Tes khusus untuk mendiagnosis sindrom Sézary meliputi analisis jumlah sel
Sézary. Tes skrining dapat dilakukan untuk penyakit jaringan ikat. Tes virus HIV
dilakukan pada pasien yang dicurigai positif HIV dengan eritroderma.
Pemeriksaan penunjang seperti foto toraks, CT-scan, dan MRI dapat membantu
dalam diagnosis eritroderma paraneoplastik.
Diagnosis banding yang paling umum untuk eritroderma merupakan
DRESS dan SJS/TEN karena berdampak luas pada kulit tubuh. Faktor yang
membedakan adalah keterlibatan mukokutan terdapat pada SJS/TEN, sedangkan

7
eritroderma tidak melibatkan mukosa. Untuk DRESS ada peningkatan eosinophil,
sedangkan pada eritroderma tidak, tergantung penyakit yang mendasarinya 6

4. Terapi
Eritroderma dapat menjadi ancaman medis yang serius, oleh karena itu
rawat inap mungkin diperlukan. Terlepas dari penyakit yang mendasarinya,
manajemen awal terdiri dari penilaian gizi, koreksi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, pencegahan hipotermia, serta pencegahan dan pengobatan infeksi
sekunder. Antihistamin oral dapat meringankan pruritus yang parah.
Kortikosteroid sistemik mungkin diperlukan pada eritroderma idiopatik dan reaksi
obat. Umumnya kortikosteroid yang diberikan adalah prednison dengan dosis
awal 1-2 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 0,5 mg/kg/hari atau kurang.
Penurunan dosis obat harus dilakukan secara hati-hati, karena kekambuhan dapat
terjadi. Terapi topikal meliputi open wet dressing dan emolien atau salep
kortikosteroid potensi lemah. Kortikosteroid topikal potensi kuat harus disediakan
untuk area likenifikasi, dan karena tingginya penyerapan transkutan melalui kulit
eritrodermik, aplikasi untuk gejala kronis dan ekstensif harus dihindari.7
Pada neonatus dan anak-anak dengan eritroderma, penatalaksanaan cairan
dan keseimbangan elektrolit sangat penting untuk mencegah hipernatremia dan
dehidrasi. Emolien, antibiotik topikal dan antibiotik sistemik boleh digunakan,
tergantung pada tingkat dan keparahan infeksi sekunder. Karena peningkatan
penyerapan transkutan, salisilik topikal dan asam laktat harus dihindari. Dalam
kasus eritroderma psoriatik, pemberian metotreksat, asitretin, siklosporin atau
target imunomodulator (agen biologis) lebih diminati daripada kortikosteroid
sistemik. Untuk reaksi obat, penghentian semua obat–obatan yang tidak
diperlukan dan obat yang dicurigai membuat reaksi dapat memberikan perbaikan
sekitar 2-6 minggu, dengan pengecualian pada beberapa kasus seperti drug
reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) atau drug-induced
hypersensitivity syndrome (DIHS). Namun, prednison sistemik atau bahkan
pemberian intravenous immunoglobulin (IVIg) mungkin berguna dalam kasus
yang parah. Setelah meneliti kembali penyebab yang mendasarinya, eritroderma

8
idiopatik dapat diobati dengan kortikosteroid topikal potensi lemah dan
antihistamin oral. Dalam beberapa kasus, siklosporin telah berhasil digunakan,
dengan dosis awal 5 mg/kg/hari, dan selanjutnya diturunkan menjadi 1-3
mg/kg/hari. Kortikosteroid sparing agent seperti metotreksat, azatioprin dan
mikofenolat mofetil dapat pula diberikan.7

9
BAB II
PATOGENESIS ERITRODERMA

1. Etiologi
Eritroderma dapat disebabkan akibat perluasan penyakit kulit, alergi obat
secara sistemik, dan penyakit sistemik termasuk keganasan. Pada banyak kasus,
eritroderma umumnya disebabkan oleh kelainan kulit yang telah ada sebelumnya,
misalnya psoriasis atau dermatitis atopik, cutaneous T-cell lymphoma (CTCL)
atau reaksi obat.5
Secara morfologis gambaran eritroderma menyerupai beberapa kelainan
kulit dan penyakit sistemik, begitu pula akibat alergi obat-obatan tertentu, berikut
ini adalah klasifikasi eritroderma:
 Eritroderma yang disebabkan oleh perluasan penyakit kulit.
Eritroderma et causa psoriasis, merupakan eritroderma yang paling banyak
ditemukan dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis.5 Dermatitis
seboroik pada bayi juga dapat menyebabkan eritroderma yang juga dikenal
sebagai penyakit Leiner. Etiologinya belum diketahui secara pasti, dan
usia penderita berkisar 4-20 minggu. Keadaan umumnya baik, biasanya
tanpa keluhan. Kelainan kulit berupa eritema universal disertai skuama
yang kasar.8
 Eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik.
Pengertian alergi obat secara sistemik ini adalah masuknya obat ke dalam
tubuh dengan berbagai akses, misalnya melalui mulut, hidung, rektum dan
vagina, serta dengan cara suntikan atau infus. Selain itu, alergi dapat pula
terjadi karena obat mata, obat kumur, pasta gigi dan melalui kulit sebagai
obat luar. Ketika obat pertama kali masuk ke dalam tubuh hingga timbul
penyakit sangat bervariasi, dapat terjadi dengan segera hingga 2 minggu.
Gambaran klinisnya adalah eritema universal. Bila obat yang masuk ke
dalam tubuh lebih dari satu, maka diduga penyebabnya adalah obat yang
paling sering menyebabkan alergi.8

Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan.

10
Berbagai penyakit atau kelainan organ internal tubuh, termasuk infeksi
fokal, dapat memberi kelainan kulit berupa eritroderma. Setiap kasus
eritroderma yang tidak termasuk akibat alergi obat dan akibat perluasan
penyakit kulit harus dicari penyebabnya, yang berarti perlu pemeriksaan
menyeluruh (termasuk pemeriksaan laboratorium dan X-ray toraks), untuk
melihat adanya infeksi penyakit pada organ internal dan infeksi fokal. Ada
kalanya terdapat leukositosis namun tidak ditemukan penyebabnya, jadi
terdapat infeksi bakterial yang tersembunyi (occult infection) yang perlu
diobati.8

2. Patofisiologi
Jalur-jalur yang terlibat dalam genesis de novo eritroderma atau
generalisasi lesi kulit yang sudah ada sebelumnya bergantung pada penyakit yang
mendasarinya, yang dipercaya diperankan oleh molekul adhesi, sitokin, dan
interaksi imunologis. Hubungan antara molekul adhesi dan ligan juga
mempengaruhi proses inflamasi dan respons imunologis. Jumlah keratinosit
germinatif serta laju mitosisnya meningkat pada kulit eritrodermik, dan waktu
transit sel melalui epidermis dipersingkat. Akibatnya, sisik-sisik terdiri dari bahan
yang biasanya disimpan oleh kulit terlarut, dan kehilangan sisik harian meningkat
dari 500-1000 mg menjadi 20-30 g. Pada eritroderma akut, bahan yang
dideskuamasi biasanya memiliki signifikansi metabolik yang marginal, tetapi pada
eritroderma kronis kehilangan protein dapat menjadi signifikan, menyebabkan
hipoalbuminemia dan berkontribusi terhadap anemia penyakit kronis.
Pengelupasan kulit pada eritroderma merupakan cerminan dari penurunan waktu
transit melalui epidermis dan mengarah pada kehilangan protein, asam amino, dan
asam nukleat yang signifikan. Mengingat bahwa puncak usia onset adalah pada 6-
7 dekade kehidupan, ada kemungkinan bahwa penuaan kekebalan terkait usia
merupakan faktor yang berkontribusi dalam pengembangan eritroderma idiopatik.
Demikian juga, presentasi eritroderma pada anak dengan imunodefisiensi
mendukung peran disregulasi imun.7

11
Tabel 1. Mekanisme yang diimplikasikan dalam patogenesis eritroderma9

Proses patofisiologis utama dari eritroderma adalah adanya peningkatan


turnover epidermis, yang khususnya disebabkan oleh sitokin inflamatorik seperti
interleukin (IL)-1, IL-2, dan IL-8. Selain sitkoin, interaksi dengan mekanisme
hipersensitivitas serta peningkatan adhesi seluler berperan dengan respons
inflamasi meluas, yang dilihat pada eritroderma. Respon inflamasi luas ini
ditandai oleh vasodilatasi dan peningkatan aliran darah di kulit yang terdampak.
Hal ini menyebabkan menggigil dan rasa kedinginan, pertanda adanya gangguan
pengaturan suhu tubuh. Hipotermia merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.
Peningkatan penguapan terjadi oleh karena aliran darah yang meningkat serta
kerusakan barier epidermis oleh karena inflamasi epidermis, yang kemudian
menyebabkan dehidrasi dan ketidakseimbangan cairan. Kehilangan protein dalam
bentuk deskuamasi dan eksudasi sangat signifkan, sehingga mengakitbatkan
hipoproteinemia. Sesuai dengan etiologi eritroderma, patogenesis dapat
diklasifikasikan menjadi eritroderma yang disebabkan oleh perluasan penyakit
kulit, reaksi obat secara sistemik, dan penyakit sistemik termasuk keganasan.1, 9

 Perluasan penyakit kulit:


1. Psoriasis
Eritroderma yang disebabkan oleh psoriasis memengaruhi semua lokasi tubuh,
termasuk wajah, tangan, kaki, kuku, aksial, dan ekstremitas. Meskipun semua
gejala psoriasis nampak, eritema adalah ciri yang paling menonjol, dan
pengelupasan kulit yang terjadi berbeda dibandingkan dengan psoriasis kronis.
Pasien dengan psoriasis eritroderma juga kehilangan panas yang berlebihan

12
karena vasodilatasi, dan proses ini dapat menyebabkan hipotermia. Kulit psoriatik
sering mengalami hipohidrosis karena penyumbatan saluran keringat.4
Patogenesis psoriasis dengan eritroderma dimulai oleh interaksi antara faktor
genetik intrinsik dan faktor lingkungan eksternal, dengan sistem kekebalan kulit
memainkan peran sentral. Inisiasi (pemicu) lesi psoriasis dapat terjadi di kulit.
Pada awalnya sel dendrit (DC) diaktifkan oleh stressed signal yang dilepaskan
oleh keratinosit yang rusak melalui produk yang dikeluarkan seperti
lipopolisakarida dan sitokin proinflamasi. Melalui sekresi sitokin IL-12 dan IL-23,
DC yang telah diaktifkan mendorong polarisasi dan perluasan limfosit T1 (T
helper 1 dan Tc1), T17 (Th17 dan Tc17), yang memperoleh properti skin-homing.
Sel T1 dan T17 yang teraktivasi mengeluarkan mediator pro-inflamasi termasuk
interferon (IFN)-γ, tumor necrosis factor (TNF)-α, IL-22, dan IL-17, yang
bertindak secara sinergis untuk memperkuat respons keratinosit.4
Untuk tujuan ini, keratinosit meningkatkan produksi mediator inflamasi
mereka, termasuk IL-1, IL-36, dan sejumlah kemokin, termasuk IL-8 (CXCL8),
CXCL9, dan CXCL10. Keratinosit yang diaktivasi sitokin juga melepaskan
sejumlah besar danger signal seperti protein S100, cathelicidins, dan β-defensins,
yang banyak di antaranya juga memiliki sifat antimikroba dan kemotaktik. Sirkuit
inflamasi yang diperkuat ini merekrut kemotaksis dan sel-sel inflamasi lainnya,
termasuk makrofag, DC, neutrofil, dan subset sel T lainnya, yang bertindak secara
sinergi untuk mempertahankan proses penyakit. Keratinosit yang terluka juga
menghasilkan faktor pertumbuhan seperti TGF-α, amfiregulin (AREG), faktor
pertumbuhan fibroblast (FGF), dan faktor pertumbuhan saraf (NGF) untuk
meningkatkan integritas struktural, serta faktor pertumbuhan sel T, termasuk IL-7
dan IL-15. Sinyal-sinyal tersebut menstimulasi keratinosit untuk melakukan
pembelahan dan mengeluarkan mediator lebih lanjut sebagai respon inflamasi.4
Di sisi lain, sebagai contoh, sebuah studi yang baru-baru ini melibatkan 16
pasien psoriasis eritrodermik (EP) menemukan tiga penemuan penting mengenai
patogenesis EP: pertama, rasio Th1/Th2 secara dramatis lebih rendah pada EP
dibandingkan dengan pasien psoriasis vulgaris (PV). Kedua, tingkat IL-4 dan IL-
10 secara signifikan lebih tinggi pada pasien EP dibandingkan PV dan pasien

13
sehat dan yang ketiga, rasio IFN-γ/IL-4 yang diekspresikan dalam sel-T/GATA-
binding protein-3 (GATA-3) pada pasien EP keduanya <1,0, jika dibandingkan
dengan kelompok lainnya. Tingkat faktor transkripsi GATA-3, yaitu pengatur
utama perkembangan Th2, dan IL-4 yang tinggi mengindikasikan dominasi Th2
pada pasien EP. Para penulis juga mencatat bahwa dibandingkan dengan kontrol
yang sehat, pasien EP memiliki tingkat serum yang lebih tinggi pada sitokin Th1,
IFN-γ, dan IL-2 serta sitokin Th2, IL-4, dan IL-10.10
Secara keseluruhan, proses ini menghasilkan akumulasi sel imun dan
membentuk peradangan epidermis yang semakin menebal. Dalam konteks
psoriasis dan eritroderma, semua sitokin ini mendorong peradangan kronis dan
kerusakan jaringan karena aktivasi dan proliferasi keratinosit yang berlebihan.
Selain itu, karena sel-sel tersebut tidak memiliki ikatan yang kuat satu sama lain,
maka akan menyebabkan pengelupasan kulit yang abnormal.4

14
Gambar 4. Patogenesis psoriasis

2. Dermatitis atopik
Patogenesis dermatitis atopik (AD) dapat dibagi menjadi tiga kategori
utama: (1) disfungsi barier epidermal; (2) disregulasi imun; dan (3) perubahan
mikrobioma. Masing-masing dapat dimodulasi oleh faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik berkontribusi sebesar ~90% pada kerentanan terhadap
dermatitis atopik. Gen yang menghasilkan protein untuk barier epidermis dan
fungsi imunologis terkait erat dalam patogenesis AD, yang mengakibatkan
kerusakan permeabilitas barier epidermis. Transepidermal water loss (TEWL)
yang lebih tinggi pada hari ke 2 kehidupan memprediksi peningkatan risiko AD
pada usia 1 tahun. Selain itu, tingkat TEWL di kulit yang normal pada anak-anak

15
dengan AD berkorelasi dengan keparahan penyakit. Disfungsi barier epidermis
mempermudah iritan, alergen, dan mikroba untuk masuk ke lapisan kulit, yang
memicu respons imun yang mencakup pelepasan sitokin proinflamasi. Filaggrin
(FLG) adalah protein agregat filamen keratin yang berfungsi sebagai komponen
struktural utama stratum korneum. Mutasi FLG yang hilang fungsinya mewakili
faktor risiko genetik terkuat yang diketahui untuk AD dan juga bertanggung jawab
atas ichthyosis vulgaris. Sekitar 20-50% anak-anak Eropa dan Asia dengan AD
derajat moderate-to-severe memiliki setidaknya satu mutasi FLG. Hal ini
berimplikasi pada disfungsi barier epidermal, yang diikuti oleh perkembangan
respon imun yang didominasi oleh Th2. Komposisi, organisasi, dan proses
biokimia lipid di stratum korneum sangat penting untuk fungsi barier epidermis.
Kerangka sitoskeletal yang kekurangan filaggrin berkontribusi terhadap pemuatan
dan sekresi lamellar bodies yang abnormal, yang diikuti oleh defek pada
organisasi dan pemrosesan lipid pasca-sekretori. Kulit yang terdampak
menunjukkan peningkatan kadar protease serin endogen, misalnya kallikrein 5
dan 7 (KLK5/7), karena ketidakseimbangan dalam aktivitas enzim proteolitik dan
inhibitor protease.7
Sistem imun bawaan dan adaptif memainkan peran dinamis yang saling
terkait. Lesi dermatitis atopik akut memiliki dominasi sitokin Th2, tetapi ada
perubahan selanjutnya ke fase kronis yang ditandai dengan profil sitokin Th1 dan
Th22, serta tingkat variabel sitokin Th17 pada dermatitis atopik akut dan kronis.
Thymic stromal lymphopoietin (TSLP) adalah sitokin yang mirip dengan IL-7,
dikenal sebagai "master-switch" untuk inflamasi alergi karena peran sentralnya
dalam membangkitkan respons Th2 melalui aktivasi DC. IL-4 memiliki peran
kunci dalam mendorong diferensiasi sel Th2, produksi IgE, dan rekrutmen
eosinofil. Studi pada subjek manusia dan garis sel keratinosit manusia mendukung
peran IL-13 yang independen dalam patogenesis dermatitis atopik.7
Mikrobioma kulit merupakan komunitas kompleks dan beragam, terdiri
dari bakteri patogenik dan komensal, jamur, dan virus, yang memainkan peran
penting dalam homeostasis epidermis. Kolonisasi kulit dengan S. aureus dilihat
pada lebih dari 90% pasien dengan AD, dibandingkan dengan sekitar 5% individu

16
yang tidak terpengaruh. Hal ini mencerminkan lapisan asam yang terganggu,
penurunan peptida antimikroba, dan perubahan lingkungan sitokin kulit.
Superantigens dapat berkontribusi pada pengembangan respons imun Th2, dan
exotoxin dengan ciri tersebut diproduksi hingga 65% dari S. aureus yang
mengkolonisasi kulit pasien AD. Selain itu, S.aureusδ-toxin dapat menstimulasi
degranulasi sel mast dan inflamasi Th2 7

Gambar 5. Patogenesis dermatitis atopik: disfungsi sawar epidermal,


disregulasi imun, dan pengaruh lingkungan

3. Dermatitis seboroik
Meskipun patofisiologi dermatitis seboroik tidak sepenuhnya dipahami,
mekanisme terapi yang efektif ditambah dengan hasil studi biomolekuler baru-
baru ini memberikan petunjuk tentang penyebabnya. Kemerahan, gatal, dan sisik-
sisik yang berhubungan dengan dermatitis seboroik disebabkan oleh perubahan
fungsi sel kulit. Malassezia tampaknya menyebabkan respon imun spesifik yang
memulai perubahan cascade of skin yang terjadi pada dermatitis seboroik.

17
Malassezia adalah komponen normal flora kulit, tetapi pada orang dengan
dermatitis seboroik, jamur menyerang stratum korneum, melepaskan lipase yang
menghasilkan pembentukan asam lemak bebas dan menyebabkan proses inflamasi
dimulai. Malassezia tumbuh subur di lingkungan dengan kadar lemak yang tinggi,
sehingga keberadaan asam lemak bebas meningkatkan pertumbuhan jamur.
Peradangan menyebabkan hiperproliferasi stratum korneum dan diferensiasi
korneosit yang tidak lengkap, yang mengubah barier stratum korneum dan
merusak fungsinya, sehingga meningkatkan akses untuk Malassezia dan
memungkinkan air untuk lebih mudah meninggalkan sel.11
Berdasarkan pemahaman patofisiologi kondisi saat ini, perawatan untuk
dermatitis seboroik masuk akal secara biologis. Keratolitik (sulfur dan asam
salisilat) membantu menghilangkan lapisan luar stratum korneum yang
hiperproliferasi. Coal tar dianggap mengurangi tingkat produksi stratum korneum.
Antijamur mengurangi populasi Malassezia, sedangkan anti-inflamasi seperti
kortikosteroid dan penghambat kalsineurin mengurangi respons inflamasi. Banyak
perawatan saat ini untuk dermatitis seboroik memiliki beberapa efek, seperti
antijamur, anti-inflamasi, regulasi produksi stratum korneum, sehingga
memerangi perubahan kulit pada berbagai tingkatan. Tingkat keparahan gejala
dapat dipengaruhi oleh stres dan paparan sinar matahari, dan seringkali memiliki
perjalanan yang bervariasi meskipun ada pengobatan.11

 Alergi obat secara sistemik:


Reaksi kulit yang diinduksi obat dimediasi oleh mekanisme imunologis
atau non imunologis. Untuk mekanisme imunologis, obat-obatan atau
metabolitnya bertindak sebagai hapten, sehingga menginduksi respons yang
dimediasi sel atau humoral. Pada mekanisme non-imunologis, beberapa reaksi
dapat diprediksi mengingat adanya hubungan dosis dan/atau sifat farmakologis
obat. Namun, patofisiologi yang bertanggung jawab mungkin sulit untuk
diidentifikasi hanya berdasarkan penampilan klinis, karena kulit merespon
berbagai rangsangan melalui sejumlah pola reaksi morfologis yang terbatas. Hal

18
ini mungkin menjelaskan mengapa mekanisme yang mendasari banyak erupsi
obat pada kulit masih belum diketahui.7

Tabel 2. Mekanisme reaksi kulit yang diinduksikan obat

Secara imunologis, mekanisme alergi obat dapat dibagi sebagai berikut:


 Reaksi obat yang tergantung IgE (sebelumnya tipe I, klasifikasi Gell-
Coombs): urtikaria, angioedema, dan anafilaksis.
 Reaksi yang diinduksi obat sitotoksik (antibodi terhadap antigen tetap;
sebelumnya tipe II): petekia sekunder akibat trombositopenia yang
diinduksi obat.
 Reaksi obat yang tergantung pada imun kompleks (sebelumnya tipe III):
vaskulitis, serum sickness, dan urtikaria jenis tertentu.
 Reaksi obat tipe mediasi sel yang tertunda (aktivasi sel T CD4+ dan
CD8+; sebelumnya tipe IV): erupsi obat eksantematosa, tetap, dan
likenoid, serta sindrom Stevens-Johnson (SJS) dan nekrolisis epidermal
toksik (TEN).

19
Beberapa mekanisme imunologis telah diusulkan untuk menjelaskan reaksi
obat termasuk: (1) konsep hapten/pro-hapten - obat atau metabolitnya secara
kovalen berikatan dengan peptida endogen dan hapten yang dihasilkan dkenali
oleh major histocompatibility complex (MHC); (2) reaksi farmakoimun - obat
menginduksi pembentukan kompleks human leukocyte antigen (HLA)-obat yang
secara langsung dapat mengaktifkan respon imun sel-T tanpa memerlukan ligan
peptida spesifik; dan (3) interaksi langsung HLA-obat - obat-obatan tertentu
seperti karbamazepin, abakavir dan sulfametoksazol mengikat secara non-kovalen
dalam alur peptida dari HLA spesifik dan memodifikasi celah pengikatan antigen,
sehingga mengubah peptida endogen.7
Peningkatan dalam kasus yang diinduksi obat berbanding lurus dengan
pemberian obat baru. Daftar obat-obatan yang menyebabkan eritroderma semakin
meningkat, namun yang paling umum ditunjukkan pada tabel dibawah ini:

Tabel 3. Daftar obat yang dapat menyebabkan eritroderma pada dewasa

20
Eritroderma yang diinduksi oleh obat dua kali lebih umum pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Hal ini lebih lazim di antara orang tua. Berbeda dengan
penyebab lain, eritroderma yang diinduksi oleh obat ditandai dengan awitan yang
cepat, diikuti dengan perkembangan, dan resolusi. Beberapa erupsi obat terjadi
dalam bentuk morbilliform, likenoid, atau urtikaria yang mungkin sering
berkembang menjadi eritma luas dan pengelupasan kulit. Leukonikia juga bisa
diamati pada pasien yang menunjukkan eritroderma yang diinduksi obat.11

Gambar 6. Pasien dengan eritroderma yang disebabkan oleh erupsi


obat

Mekanisme non imunologis terdiri dari overdosis, efek samping


farmakologis, toksisitas kumulatif, toksisitas tertunda, interaksi obat-obat,
perubahan metabolism, dan eksaserbasi penyakit. Manifestasi klinis dari overdosis
obat dapat diprediksi dan mewakili efek farmakologis obat yang berlebihan. Hal
ini dapat terjadi sebagai akibat dari kesalahan resep, kelebihan yang disengaja
oleh pasien, atau perubahan penyerapan, metabolisme atau ekskresi. Efek samping
obat termasuk efek yang tidak diinginkan atau toksik yang tidak dapat dipisahkan

21
dari efek farmakologis yang diinginkan dari obat. Contohnya adalah alopesia dan
mukositis karena obat kemoterapi yang menargetkan sel yang berproliferasi lebih
cepat. Kontak yang terlalu lama dengan obat-obatan atau metabolitnya dapat
menyebabkan toksisitas kumulatif. Sebagai contoh, metotreksat dapat
menyebabkan fibrosis hepar dan akumulasi minosiklin atau amiodaron di dalam
kulit dapat menyebabkan perubahan warna kulit. Toksisitas tertunda merujuk
kepada efek toksik yang tergantung dosis yang terjadi berbulan-bulan hingga
bertahun-tahun setelah penghentian pengobatan. Contohnya termasuk karsinoma
sel skuamosa dan keratosis palmoplantar setelah terpapar arsenik dan leukemia
akut akibat agen alkilasi. Interaksi antara dua atau lebih obat yang diberikan
secara bersamaan dapat terjadi pada beberapa langkah berbeda: (1) interaksi obat
usus; (2) perpindahan dari protein yang mengikat atau situs reseptor; (3) stimulasi
atau penghambatan enzim; dan (4) mengubah ekskresi obat. Contoh masing-
masing termasuk interaksi antara tetrasiklin dan kalsium, metotreksat dan
sulfonamida, siklosporin dan azol, dan metotreksat dan probenesid. Obat-obatan
dapat menyebabkan perubahan kulit dengan efeknya pada status gizi atau
metabolisme pasien. Berbagai obat dapat memperburuk penyakit dermatologis
yang sudah ada sebelumnya, seperti androgen pada pasien dengan akne vulgaris
atau litium dan interferon pada pasien dengan psoriasis.7
Beberapa pasien dapat mengembangkan eritroderma sebagai akibat
DRESS atau DIHS. Selain eritroderma, DRESS dapat dikaitkan dengan
pembesaran visera disertai dengan demam, hepatitis, limfadenopati, ruam, dan
leukositosis yang dapat mengancam jiwa pasien. Lesi kulit umumnya berupa
makula dan papul eritematosa yang konfluen dan pruritik. Dalam beberapa kasus,
lesi juga bisa hemoragik, targetoid, dan eritrodermik. Pada pasien dengan
eritroderma, perhatian harus diberikan pada kemungkinan keterlibatan visera,
karena eritroderma mungkin terbukti menjadi salah satu tanda DRESS.11
Eritroderma yang diinduksi oleh obat karena hipersensitivitas obat dapson
atau antilepra mungkin sering meniru limfoma sel T kulit dalam segi manifestasi
klinis dan histopatologi. Untungnya, hipersensitivitas obat dapat sembuh setelah
penarikan obat dan dengan pemberian terapi suportif. Selain itu, banyak obat

22
dapat menyebabkan sindrom pseudo-Sézary termasuk enalapril, amilorid,
fosinopril, hidroklorotiazid, karbamazepin, fenobarbital, dan fenitoin. Selain itu,
flow cytometry menunjukkan populasi sel T CD4 + "Sézary" dalam darah tepi.
Biopsi kulit menunjukkan banyak limfosit atipikal dan epidermotropik. Erupsi
obat sepenuhnya dihentikan setelah penghentian obat antihipertensi. Eritroderma
yang diinduksi obat pada anak-anak biasanya diamati dengan sulfonamida,
isoniazid, streptomisin, obat antiinflamasi non-steroid, dan obat antiepilepsi.11

 Penyakit sistemik termasuk keganasan:

Gambar 7. Penyakit mendasar berpotensial yang diasosiasikan dengan eritroderma

Selain dari kondisi dermatologis yang terbatas pada epidermis, hingga


yang melibatkan dermis dan jaringan subkutan, eritroderma juga dapat disebabkan
oleh penyakit sistemik di mana eritroderma dapat menjadi manifestasi kulit.
Kategori umum penyakit lain yang dapat bermanifestasi sebagai eritroderma
adalah keganasan kulit dan keganasan internal, seperti mikosis fungoides dan
kanker saluran gastrointestinal.9

23
 Limfoma sel-T kulit
Pada kulit yang sehat, efektor memori, CD4 + merespons cedera pada
kulit. Ketika peradangan diinduksi, antigen-presenting cells aktif merekrut sel T
memori ke tempat peradangan terjadi. Efektor memori T sel mengekspresikan
cutaneous lymphocyte antigen (CLA), reseptor sinyal kulit yang berikatan dengan
E-selectin pada venula post-kapiler, serta reseptor CC-chemokine 4 (CCR4), yang
berikatan dengan kemokin. Sel T ganas dari mikosis fungoides (MF)
mengekspresikan CLA dan CCR4, menunjukkan bahwa MF adalah keganasan
dari memori efektor sel T. Histologi mikosis fungoides menunjukkan infiltrasi sel
CD4+ ganas dan sel CD8+ reaktif. Selain itu, sitokin Th1 mendominasi pada awal
mikosis fungoides (IL-2, IL-12, dan IFN-γ), yang faktanya bahwa sel-sel ganas
sering mewakili sebagian kecil dari infiltrat yang didominasi oleh sel-sel T, Th1.
Tidak seperti sel-sel ganas dari MF, sindrom Sézary mengekspresikan molekul
kelenjar getah bening CCR7 dan L-selectin, konsisten dengan fenotip sel T
memori pusat, menunjukkan bahwa sel T ganas berbeda antara leukemia dan skin-
limited disease. Seiring perkembangan MF, CCR7 meningkat yang berkorelasi
dengan hilangnya epidermotropisme dan peningkatan kecenderungan untuk
keterlibatan di luar kulit. Oleh karena itu, ada juga pergeseran serupa dalam MF
dan sindrom Sézary ke sitokin Th2 (IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13). Pergeseran
sitokin ini berkorelasi dengan penurunan sel reaktif CD8+ serta imunosupresi
klinis dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri yang terlihat pada MF
atau sindrom Sézary tahap lanjut. Mekanisme di mana migrasi sel T didorong ke
epidermis masih kurang jelas. Limfosit maligna epidermotropik berhubungan
dengan DC, menunjukkan bahwa sel Langherans berhubungan dengan sel T ganas
penting dalam perkembangan penyakit.12

24
BAB III
KESIMPULAN

Eritroderma merupakan kelainan inflamasi kulit yang ditandai dengan


eritema generalisata dan skuama yang luas melibatkan 90% total luas permukaan
kulit tubuh. Gambaran klinis umumnya berupa eritema luas dan kerak yang pada
akhirnya mengakibatkan seluruh permukaan tubuh berwarna merah kusam dan
ditutupi oleh sisik-sisik kecil berlaminasi yang terkelupas secara masif. Adapun
epidemiologi terjadinya eritroderma belum diketahui secara jelas, namun beberapa
studi telah menunjukkan kecenderungan khusus pada komunitas yang menjadi
objek penelitian.
Apabila ditilik berdasarkan etiologinya, ditemukan bahwa eritroderma
banyak disebabkan oleh perluasan penyakit kulit, alergi obat secara sistemik,
maupun penyakit sistemik termasuk keganasan. Dilihat dari patogenesis
eritroderma, terjadinya proses tersebut pada kulit juga belum dapat dipahami
secara menyeluruh, sebab hal ini sangat bergantung pada penyebab atau penyakit
yang mendasari terjadinya eritroderma. Beberapa telah mendalilkan bahwa
peningkatan ekspresi molekul adhesi dalam sel epitel akhirnya meningkatkan
peradangan kulit dan proliferasi epidermis. Peningkatan mitosis menyebabkan
peningkatan jumlah sel epidermis secara keseluruhan, peningkatan pergantian sel,
dan penurunan waktu transit melalui epidermis. Kondisi ini memanifestasikan
dirinya sebagai karakteristik pengelupasan dramatis yang terlihat pada kasus-
kasus eritroderma.

25
REFERENSI

1. Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell D, Wolff K.


Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. McGraw-Hill
Education; 2012.
2. James WD, Berger TG, Dirk M Elston. Andrew’s Diseases of The Skin.
11th ed. Elsevier; 2011.
3. Wolf R, Parish LC, Parish JL. Emergency Dermatology, Second Edition.
Cambridge University Press; 2017. doi:10.1201/9781315160498
4. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, et al. Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed.
McGraw-Hill Education; 2019. doi:10.1017/CBO9781107415324.004
5. Austad SS, Athalye L. Exfoliative Dermatitis - Erythroderma. In: StatPearls
Publishing; 2020. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554568/
6. Alfonso Maldonado-García C, Paula Orozco-Anahuati A. Articulos de
Revisión Diagnostic Approach of Erythroderma in the Adult.; 2017.
7. Bolognia JL, Schaffer J V, Cerroni L. Dermatology 2: Volume Set, 4th
Edition. Elsevier; 2018.
8. Djuanda A. Pioderma. In: Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 7th ed.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.
9. Jadotte YT, Schwartz RA, Karimkhani C, Boyers LN, Patel SS. Drug
eruptions and erythroderma. In: Cutaneous Drug Eruptions: Diagnosis,
Histopathology and Therapy. Springer; 2015. doi:10.1007/978-1-4471-
6729-7_23
10. Liao W, Singh R, Lee K, et al. Erythrodermic psoriasis: pathophysiology
and current treatment perspectives. Psoriasis Targets Ther. Published
online 2016. doi:10.2147/ptt.s101232
11. Clark GW, Pope SM, Jaboori KA. Diagnosis and treatment of seborrheic
dermatitis. Am Fam Physician. Published online 2015.
https://www.aafp.org/afp/2015/0201/p185.html
12. Dulmage BO, Kong BY, Holzem K, Guitart J. What Is New in CTCL—
Pathogenesis, Diagnosis, and Treatments. Curr Dermatol Rep. Published

26
online 2018. doi:10.1007/s13671-018-0214-0

27

Anda mungkin juga menyukai