Anda di halaman 1dari 23

REFERAT PATOLOGI ANATOMI

BLOK NEUROLOGY AND SPECIFIC SENSE


XEROPHTHALMIA

Disusun oleh:
Kelompok 25
Juwita Retnoningtyas

G1A013048

Kartika Kencana Putri

G1A013079

Karunia Putri Amalia Sumarno G1A013117

Asisten:
Muthia Kamal Putri
G1A012129

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO
2016

DAFTAR ISI
Halaman Judul...1
Daftar Isi....2
Kata Pengantar...3
Bab I Pendahuluan.4
Bab II Tinjauan Pustaka
A. Definisi....6
B. Etiologi....6
C. Epidemiologi........6
D. Faktor risiko.....8
E. Tanda dan Gejala.....9
F. Penegakan Diagnosis.10
G. Pathogenesis......14
H. Patofisiologi...15
I. Gambaran Histopatologi17
J. Penatalaksanaan.17
K. Komplikasi.20
L. Prognosis21
Bab III Kesimpulan..22
Daftar Pustaka..23

KATA PENGANTAR
Dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat, rahmat, dan petunjuk yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat mengenai Abses Paru.
Tujuan penulis membuat referat ini adalah untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam mengikuti ujian identifikasi laboratorium Patologi Anatomi blok
Neurology and Specific Sense pada Jurusan Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Dalam referat ini telah dipaparkan pula
tinjauan pustaka dari berbagai sumber mengenai xerophthalmia.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, mengingat
terbatasnya kemampuan dan waktu yang ada. Oleh karena itu penulis mengharapkan
saran dan kritik yang kiranya dapat membangun. Besar harapan penulis agar referat
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Akhir kata penulis mohon maaf karena masih terdapat banyak kekurangan
dalam penulisan referat ini.
Purwokerto, Maret 2016

Penulis

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar di
seluruh dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada
semua umur terutama pada masa pertumbuhan. KVA dalam tubuh dapat
menimbulkan berbagai jenis penyakit yang merupakan Nutrition Related Diseases
yang dapat mengenai berbagai macam anatomi dan fungsi dari organ
tubuh seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme
sel-selkulit. Salah satu dampak kurang vitamin A adalah kelainan pada mata yang
umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan - 4 tahun yang menjadi penyebab utama
kebutaan di negara berkembang (Priscilia, 2012).
KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi
Protein (KEP) atau Gizi buruk sebagai akibat asupan zat gizi yang sangat kurang,
termasuk zat gizi mikro seperti vitamin A. anak yang menderita KVA mudah
sekali terserang infeksi lain karena faya tahan anak tersebut menurun. Namun
masalah KVA dapat juga terjadi pada keluarga dengan penghasilan cukup. Hal ini
terjadi karena kurangnya pengetahuan orang tua tentang gizi yang baik. Gangguan
penyerapan usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun ini sangat jarang
terjadi. Kurangnya konsumsi makanan (<80% AKG) yang berkepanjangan akan
menyebabkan anak menderita KVA, yang umumnya terjadi karena kemiskinan,
dimana keluarga tidak mampu memberikan makan yang cukup (Priscilia, 2012).
Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih menunjukkan perhatian
yang serius. Meskipun hasil survey Xeroftalmia (1992) menunjukkan bahwa
berdasarkan kriteria WHO secara klinis KVA di Indonesia sudah tidak menjadi
masalah kesehatan masyarakat (< 0,5%). Namun pada survey yang sama
menunjukkan bahwa 50% balita masih menderita KVA SubKlinis (serum retinol <
20 ug/dl). Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan
tahun 1997, dimana terjadi peningkatan kasus gizi buruk di berbagai daerah
mengakibatkan masalah KVA muncul kembali. Berdasarkan laporan dari

beberapa provinsi (Priscilia, 2012).


Xeroftalmia mulai dari tingkat ringan sampai berat bahkan menyebabkan
kebutaan. Ibarat fenomena gunung es dikhawatirkan kasus xeroftalmmia masih
banyak di masyarakat yang belum ditemukan dan dilaporkan oleh tenaga
kesehatan. Oleh karena itu, penting sekali untuk mendeteksi secara dini dan
menangani kasus xeroftalmia ini dengan cepat dan tepat agar tidak terjadi
kebutaan seumur hidup yang berakibat menurunnya kualitas Sumber Daya
Manusia (Priscilia, 2012).
B. Tujuan
1. Penyusunan referat ini bertujuan untuk mengetahui definisi dan etiologi pada
2.
3.
4.
5.

penyakit xerophthalmia.
Mengetahui faktor risiko pada penyakit xerophthalmia.
Mengetahui gejala klinis pada penyakit xerophthalmia.
Mengetahui penatalaksanaan yang diberikan untuk penderita xerophthalmia.
Mengetahui prognosis dari penyakit xerophthalmia.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi
Xerophtalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan
vitamin A termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi
sel retina yang dapat berakibat kebutaan. Xerophtalmia berasal dari bahasa
Yunani (xeros=kering; ophtalmos= mata) yang berarti kekeringan pada mata
akibat mata gagal memproduksi air mata atau yang dikenal dengan dry eye yang
mengakibatkan konjungtiva dan kornea kering (Ilyas, 2011).
B. Etiologi
Penyebab terjadinya xerophthalmia adalah karena kurangnya Vitamin A.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab tingginya kasus xerophthalmia di Indonesia
adalah (Ilyas, 2011):
1. Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup vitamin A atau Pro
Vitamin A untuk jangka waktu yang lama.
2. Bayi tidak diberikan ASI eksklusif.
3. Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein, Zn/seng
atau zat gizi lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan Vitamin A
dalam tubuh.
4. Adanya gangguan penyerapan Vitamin A atau Pro Vitamin A seperti
pada penyakit-penyakit antara lain, diare kronik, KEP dan lain-lain.
5. Adanya kerusakan hati seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronis,
menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein)
dan pre-albumin yang penting dalam penyerapan Vitamin A.
C. Epidemiologi
Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan
vitamin A pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan
gangguan fungsi sel retina yang berakibat kebutaan. Kurang Vitamin A (KVA)

masih merupakan masalah yang tersebar di seluruh dunia terutama di negara


berkembang seperti Indonesia dan dapat terjadi pada semua umur terutama pada
masa pertumbuhan. Hasil survei menunjukkan kasus defisiensi vitamin A
subklinis masih tinggi yang ditunjukkan lebih dari 50 persen balita mempunyai
kadar retinol serum < 20 mcg/dl. Data terbaru menunjukkan masih ditemukan
kasus xeropthalmia 0,13 persen dan indeks retinol serum 14,6 persen, serta terjadi
penurunancakupan suplementasi vitamin A secara nasional (Dwiyanti dkk, 2013).
Awalnya pada tahun 1992, hasil survei Xeroftalmia berdasarkan kriteria
WHO secara Klinis KVA di Indonesia sudah tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat (<0,5%). Pada tahun 1994 Pemerintah Indonesia mendapat
penghargaan Helen Keller Award, karena mampu menurunkan prevalensi
xeroftalmia sampai 0,3%. Keberhasilan tersebut berkat upaya program
penanggulangan KVA dengan suplemen kapsul vitamin A dosis tinggi 200.000 SI
(merah) sebanyak 2 kali setahun pada bulan Februari dan Agustus yang ditujukan
kepada anak balita (1-5 tahun) dan 1 kapsul pada ibu nifas (< 30 hari sehabis
melahirkan). Setelah tahun 1997 kemudian sasaran diperluas kepada bayi umur 6
11 bulan dengan pemberian kapsul vitamin A dosis 100.000 SI (biru) (Depkes
RI, 2007).
Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun
1997, dimana terjadi peningkatan kasus gizi buruk di berbagai daerah
mengakibatkan masalah KVA muncul kembali. Berdasarkan laporan dari
beberapa propinsi antara lain dari NTB dan Sumatera Selatan menunjukkan
munculnya kembali kasus Xeroftalmia mulai dari tingkat ringan sampai berat
bahkan menyebabkan kebutaan. Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih
membutuhkan perhatian yang serius. Data laporan baik dari SP2TP maupun data
dari survei tidak mendukung, karena selama ini kasus xeroftalmia tidak
dilaporkan secara khusus dan dianggap sudah bukan menjadi prioritas masalah
kesehatan di Indonesia (Samosir, 2015).

D. Faktor Risiko
Faktor resiko terjadinya xeroftalmia dapat dipengaruhi oleh tiga faktor berikut
(Depkes RI, 2007):
1. Faktor Sosial budaya dan lingkungan dan pelayanan kesehatan
a. Ketersediaan pangan sumber vitamin A
b. Pola makan dan cara makan
c. Adanya paceklik atau rawan pangan
d. Adanya tabu atau pantangan terhadap makanan tertentu terutama yang
merupakan sumber Vit A.
e. Cakupan imunisasi, angka kesakitan dan angka kematian karena penyakit
campak dan diare
f. Sarana pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau
g. Kurang tersedianya air bersih dan sanitasi lingkungan yang kurang sehat
h. Keadaan darurat antara lain bencana alam, perang dan kerusuhan
2. Faktor Keluarga
a. Pendidikan orang tua yang rendah akan berisiko lebih tinggi kemungkinan
anaknya menderita KVA karena pendidikan yang rendah biasanya disertai
dengan keadaan sosial ekonomi dan pengetahuan gizi yang kurang.
b. Penghasilan keluarga yang rendah akan lebih berisiko mengalami KVA.
Walaupun demikian besarnya penghasilan keluarga tidak menjamin
anaknya tidak mengalami KVA, karena harus diimbangi dengan
pengetahuan gizi yang cukup sehingga dapat memberikan makanan kaya
vitamin A.
c. Jumlah anak dalam keluarga jika semakin banyak anak semakin kurang
perhatian orang tua dalam mengasuh anaknya.
d. Pola asuh anak yang mengarah pada kurangnya perhatian keluarga
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak seperti pasangan suami
istri (pasutri) yang bekerja dan perceraian.
3. Faktor individu
a. Anak dengan Berat Badan Lahir Rendah (BB < 2,5 kg).
b. Anak yang tidak mendapat ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia
2 tahun.
c. Anak yang tidak mendapat MP-ASI yang cukup baik kualitas maupun
kuantitas
d. Anak kurang gizi atau dibawah garis merah (BGM) dalam KMS.
e. Anak yang menderita penyakit infeksi (campak, diare, Tuberkulosis
(TBC), Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), pneumonia dan

kecacingan.
f. Frekuensi kunjungan ke posyandu, puskesmas atau pelayanan kesehatan
(untuk mendapatkan kapsul vitamin A dan imunisasi).
E. Tanda dan Gejala
Xeroftalmia biasanya merupakan akibat dari KVA yang progressif. KVA
dapat menyebabkan kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel dari
organ-organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ lain, akan
tetapi gambaran yang karakteristik langsung terlihat pada mata. Kelainan kulit
umumnya terlihat pada tungkai bawah bagian depan dan lengan atas bagian
belakang, kulit tampak kering dan bersisik seperti sisik ikan. Kelainan ini selain
disebabkan karena KVA dapat juga disebabkan karena kekurangan asam lemak
essensial, kurang vitamin golongan B atau Kurang Energi Protein (KEP) tingkat
berat atau gizi buruk (Samosir dkk, 2015).
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA
yang telah berlangsung lama. Gejala tersebut akan lebih cepat timbul bila anak
menderita penyakit campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya. Tandatanda dan gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO/USAID
UNICEF/HKI/ IVACG, 1996 sebagai berikut:
1. XN

: buta senja (hemeralopia, nyctalopia)

2. XIA

: xerosis konjungtiva

3. XIB

: xerosis konjungtiva disertai bercak bitot

4. X2

: xerosis kornea

5. X3A

: keratomalasia atau ulserasi kornea kurang dari 1/3 permukaan

kornea.
6. X3B

: keratomalasia atau ulserasi sama atau lebih dari 1/3 permukaan

kornea
7. XS

: jaringan parut kornea (sikatriks/scar)

8. XF

: fundus xeroftalmia.
XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan

pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang

10

harus segera diobatikarena dalam beberapa hari bias berubah menjadi X3. X3A
dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang
bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan) pada kornea cukup
luas sehingga menutupi seluruh kornea (optic zone cornea) (Kurihayashi dkk,
2015).
F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis xeroftalmia ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan khusus. Pemeksisaan laboratorium dapat digunakan untuk
mendukung diagnose kekurangan vitamin A, bila secara klinis tidak ditemukan
tanda-tanda khas KVA, namun hasil pemeriksaan lain menunjukkan bahwa anak
tersebut risiko tinggi untuk menderita KVA. Pemeriksaan laboratorium lain dapat
dilakukan untuk mengetahui penyakit lain yang dapat memperparah seperti pada
penderita malaria, TBC, Pneumonia dan gangguan funsi hati. Pemeriksaan
laboratorium dapat dilakukan di Puskesmas, Rumah Sakit / Labkesda atau
BKMM, sesuai dengan ketersediaan sarana laboratorium (Samosir, 2015).
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mengetahui faktor risiko tinggi yang
menyebabkan anak rentan menderita xeroftalmia. Secara lengkapnya,
anamnesis yang perlu ditanyakan kepada penderita atau keluarga penderita
adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2007):
a. Identitas penderita dan orang tua
1) Nama
2) Umur
3) Jenis kelamin
4) Jumlah saudara dalam keluarga
5) Jumlah saudara balita dalam keluarga
6) Anak ke berapa
7) Berat Lahir : Normal/BBLR
8) Nama ayah/ibu
9) Alamat/tempat tinggal
10) Pendidikan
11) Pekerjaan
12) Status Perkawinan
b. Keluhan Penderita
1) Keluhan Utama: Ibu mengeluh anaknya tidak bisa melihat pada sore
hari (buta senja) atau ada kelainan pada matanya. Kadang-kadang

11

keluhan utama tidak berhubungan dengan kelainan pada mata seperti


demam.
2) Keluhan Tambahan: Tanyakan keluhan lain pada mata tersebut dan
kapan terjadinya. Lalu upaya apa yang telah dilakukan untuk
pengobatannya.
c. Riwayat penyakit yang diderita sebelumnya
1) Apakah pernah menderita Campak dalam waktu < 3 bulan?
2) Apakah anak sering menderita diare dan atau ISPA?
3) Apakah anak pernah menderita Pneumonia?
4) Apakah anak pernah menderita infeksi cacingan?
5) Apakah anak pernah menderita Tuberkulosis?
d. Kontak dengan pelayanan kesehatan
Tanyakan apakah anak ditimbang secara teratur mendapatkan
imunisasi, mendapat suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi dan
memeriksakan kesehatan baik di posyandu atau puskesmas (cek dalam
buku KIA/KMS anak).
e. Riwayat pola makan anak
1) Apakah anak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan?
2) Apakah anak mendapatkan MP-ASI setelah umur 6 bulan? Sebutkan
jenis dan frekuensi pemberiannya
3) Bagaimana cara memberikan makan kepada anak: Sendiri / Disuapi.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda atau gejala
klinis dan menentukan

diagnosis serta pengobatannya, terdiri dari

pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus atau pemeriksaan mata.


Pemeriksaan umum dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit
yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia
seperti gizi buruk, penyakit infeksi, dan kelainan fungsi hati. Pemeriksaan
mata untuk melihat tanda Xeroftalmia dengan menggunakan senter yang
terang (loop) (Kurihayashi, 2015).
Pemeriksaan umum meliputi pengukuran berat badan dan tinggi badan
(Antropometri) dan penilaian Status gizi untuk mengetahui apakah anak
menderita gizi kurang atau gizi buruk. Sedangkan pemeriksaan khusus
dilakukan dengan cara memeriksa adanya tanda-tanda xeroftalmia seperti

12

kulit kering atau bersisik. Pemeriksaan mata digunakan untuk melihat tanda
Xeroftalmia dengan menggunakan senter yang terang (loop). Pada
pemeriksaan mata perlu diperhatikan hal-hal berikut (Samosir, 2015):
a. Apakah ada tanda kekeringan pada konjungtiva (X1A)
b. Apakah ada bercak bitot (X1B)
c. Apakah ada tanda-tanda xerosis kornea (X2)
d. Apakah ada tanda-tanda ulkus kornea dan keratomalasia (X3A/X3B)
e. Apakah ada tanda-tanda sikatriks akibat xeroftalmia (XS)
f. Apakah ada gambaran seperti cendol pada fundus oculi dengan
opthalmoscope (XF)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Serum retinol merupakan pengukuran yang mahal tetapi langsung
menggunakan cairan kromatografi kinerja tinggi. Nilai kurang dari 0,7
mg/L pada anak-anak usia 12 tahun dianggap rendah (Gomes, Saunders,
Ramalho, 2009).
b. Pada penelitian serum retinol binding protein (RBP) lebih mudah untuk
dilakukan dan lebih murah dibandingkan serum retinol, karena RBP
adalah protein dan dapat dideteksi oleh tes imunologi. RBP juga senyawa
yang lebih stabil dari retinol sehubungan dengan cahaya dan suhu.
Namun, tingkat keakuratan RBP kurang akurat, karena dipengaruhi oleh
konsentrasi proein serum dan karena jenis RBP tidak dapat dibedakan
(Gorstein, Dary, Pongtorn, et al., 2008).
c. Uji adaptasi gelap (Garcia, Schwab, 2007).
d. Sitologi impresi konjungtiva. Dari pemeriksaan sitologi konjungtiva
didapatkan keberadaan sel goblet dan sel-sel epitel abnormal yang
mengalami keratinisasi (Garcia, Schwab, 2007).
e. Uji Schirmer. Untuk menilai kualitas air mata, menilai kecepatan sekresi
air mata dengan memakai kertas filter Whatman 41 bergaris 5mm-30mm
dan salah satu ujungnya berlekuk berjarak 5 mm dari ujung kertas (Garcia,
Schwab, 2007).
f. Pada anak-anak, film radiografi dari tulang panjang berguna saat evaluasi
untuk melihat pertumbuhan tulang dan untuk deposisi berlebihan tulang
peiosteal (Ansstas, 2014).

13

g. Kadar albumin <2,5 mcg/dl, tetapi kadar albumin tidak bisa mengukur
secara langsung kadar vitamin A (Ansstas, 2014).
h. Uji fungsi evaluasi elektrolit harus dilakukan untuk mengevaluasi status
gizi dan volum elektrolit (Ansstas, 2014).

G. Patogenesis
Vitamin A merupakan body regulators dan berhubungan erat dengan
proses-proses metabolisme. Fungsi yang berhubungan dengan penglihatan
dijelaskan melalui mekanisme Rods yang ada di retina yang sensitif terhadap
cahaya dengan intensitas yang rendah, sedang Cones untuk cahaya dengan
intensitas yang tinggi dan untuk menangkap cahaya berwarna. Pigment yang
sensitif terhadap cahaya dari Rods disebut sebagai Rhodopsin, yang merupakan
kombinasi dari Retinal dan protein opsin (Silva dkk, 2015).
Sel reseptor pada retina, yaitu sel kerucut (sel konus) yang berisi pigmen
lembayung dan sel batang (sel basilus) yang berisi pigmen ungu akan terurai
pigmennya bila terkena sinar, terutama pigmen ungu yang terdapat pada sel
batang. Pigmen ungu yang terdapat pada sel basilus disebut rodopsin, yaitu suatu
senyawa protein dan vitamin A. Apabila terkena sinar, misalnya sinar matahari,
maka rodopsin akan terurai menjadi protein dan vitamin A. (Kurihayashi dkk,
2015).
Fungsi vitamin A bagi mata terutama pada proses penglihatan dimana
vitamin A berperan dalam membantu proses adaptasi dari tempat yang terang ke
tempat yang gelap. Selain itu vitamin A berguna bagi sel-sel epitel termasuk selsel epitel pada selaput lendir mata untuk proses metabolisme. Efek lain dari
vitamin A pada penglihatan yang berpengaruh secara tidak langsung ialah pada
epitel kornea dan konjungtiva (Dwiyanti dkk, 2013).
Pada keadaan defisiensi vitamin A, epitel menjadi kering dan terjadi
keratinisasi seperti tampak pada gambaran Xerophthalmia. Kelainan tersebut
bermula setelah terjadinya proses metaplasi sel-sel epitel, sehingga kelenjar tidak
memproduksi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada mata,

14

disebut xerosis konjungtiva. Bila kondisi ini berlanjut akan terjadi yang disebut
bercak Bitot (Bitot Spot). Xeroftalmia merupakan mata kering yang terjadi pada
selaput lendir (konjungtiva) dan kornea (selaput bening) mata. Xeroftalmia yang
tidak segera diobati dapat menyebabkan kebutaan (Silva dkk, 2015).
H. Patofisiologi
Terjadinya defisiensi vitamin A berkaitan dengan berbagai faktor
dalam hubungan yang komplek seperti halnya dengan masalah kekurangan
kalori protein (KKP). Makanan yang rendah dalam vitamin A biasanya juga
rendah dalam protein, lemak dan hubungannya antar hal-hal ini merupakan
faktor penting dalam terjadinya defisiensi vitamin A. Setelah dicerna, vitamin
pro A dilepaskan dari protein dalam lambung. ester retinil ini kemudian
dihidrolisis untuk retinol dalam usus kecil, karena retinol lebih efisien diserap.
Karotenoid yang dibelah di mukosa usus menjadi molekul retinaldehid, yang
kemudian diubah menjadi retinol dan kemudian diesterifikasi untuk menjadi
ester retinil. Ester retinil dari retinoid dan asal karotenoid diangkut melalui
misel dalam drainase limfatik dari usus ke dalam darah dan kemudian ke hati
sebagai komponen dari kilomikron. Di dalam tubuh, 50-80% dari vitamin A
disimpan di hati, dimana ia terikat pada RBP selular. Vitamin A yang tersisa
disimpan ke dalam jaringan adiposa, paru-paru, dan ginjal sebagai ester
retinil, paling sering sebagai retinyl palmitate (Ansstas, 2014).
Retinyl palmitate kemudian berjalan melalui sistem limfatik ke hati
untuk disimpan. Dengan adanya kebutuhan metabolik untuk vitamin A,
retinyl palmitate dihidrolisis dan retinol yang dibentuk kembali mengalami
perjalanan melalui aliran darah, yang melekat pada retinol binding protein
(RBP) untuk jaringan tempat yang membutuhkan. Penyimpanan zat didalam
tubuh yang memadai berupa Zn dan protein diperlukan untuk pembentukan
RBP, tanpa RBP, vitamin A tidak dapat diangkut ke jaringan target (Ansstas,
2014).
Vitamin A merupakan body regulators dan berhubungan erat dengan

15

proses-proses metabolisme. Secara umum fungsi tersebut dapat dibagi dua (1)
berhubungan dengan penglihatan dan (2) tidak berhubungan dengan
penglihatan. Fungsi yang berhubungan dengan penglihatan dijelaskan melalui
mekanisme Rods yang ada di retina yang sensitif terhadap cahaya dengan
intensitas yang rendah, sedang Cones untuk cahaya dengan intensitas yang
tinggi dan untuk menangkap cahaya berwarna. Pigmen yang sensitif terhadap
cahaya dari Rods disebut sebagai Rhodopsin, yang merupakan kombinasi dari
Retinal dan protein opsin. Ada dua macam sel reseptor pada retina, yaitu sel
kerucut (sel konus) dan sel batang (sel basilus). Sel konus berisi pigmen
lembayung dan sel batang berisi pigmen ungu. Kedua macam pigmen akan
terurai bila terkena sinar, terutama pigmen ungu yang terdapat pada sel
batang. Oleh karena itu, pigmen pada sel basilus berfungsi untuk situasi
kurang terang, sedangkan pigmen dari sel konus berfungsi lebih pada suasana
terang yaitu untuk membedakan warna, makin ke tengah maka jumlah sel
batang makin berkurang sehingga di daerah bintik kuning hanya ada sel konus
saja (Ansstas, 2014).
Pigmen ungu yang terdapat pada sel basilus disebut rodopsin, yaitu
suatu senyawa protein dan vitamin A. Apabila terkena sinar, misalnya sinar
matahari, maka rodopsin akan terurai menjadi protein dan vitamin A.
Pembentukan kembali pigmen terjadi dalam keadaan gelap. Untuk
pembentukan kembali memerlukan waktu yang disebut adaptasi gelap
(disebut juga adaptasi rodopsin). Pada waktu adaptasi, mata sulit untuk
melihat. Pigmen lembayung dari sel konus merupakan senyawa iodopsin yang
merupakan gabungan antara retinin dan opsin. Ada tiga macam sel konus,
yaitu sel yang peka terhadap warna merah, hijau, dan biru. Dengan ketiga
macam sel konus tersebut mata dapat menangkap spektrum warna. Kerusakan
salah satu sel konus akan menyebabkan buta warna (Ansstas, 2014).
Efek lain dari vitamin A pada penglihatan yang berpengaruh secara
tidak langsung ialah pada epitel kornea dan konjungtiva. Pada keadaan
defisiensi, epitel menjadi kering dan terjadi keratinisasi seperti tampak pada

16

gambaran Xerophthalmia. Xeroftalmia merupakan mata kering yang terjadi


pada selaput lendir (konjungtiva) dan kornea (selaput bening) mata.
Xeroftalmia yang tidak segera diobati dapat menyebabkan kebutaan.
Xeroftalmia terjadi akibat kurangnya konsumsi vitamin A pada bayi, anakanak, ibu hamil, dan menyusui (Ansstas, 2014).
I. Gambaran Histopatologi

Gambar 2.1 Gambaran histopatologi Xerophthalmia (WHO, 1995)

Gambar 2.2 Makroskopis Xerophthalmia (WHO, 1995)

J. Penatalaksanaan

17

1. Terapi Lama
Pemberian Vitamin A rekomendasi WHO (1995)

Waktu
Segera setelah

Dosis
110 mg retinyl palmitate atau 66 mg

diagnosis
Hari berikutnya

retinyl acetate 200.000 IU) per oral


110 mg retinyl palmitate atau 66 mg

1-4 minggu, atau jika

retinyl acetate 200.000 IU) per oral


110 mg retinyl palmitate atau 66 mg

kerusakan klinis terjadi, retinyl acetate 200.000 IU) per oral


atau 2-4 minggu
kemudian
Tabel 2.1 Pemberian vitamin A (WHO, 1995).
Untuk penderita <1 tahun atau BB <8 kg dosis 100.000 IU, dan
untuk usia <6 bulan dosisnya 50000 IU.
2. Terapi Baru

Tabel 2.2 Jadwal dan dosis pemberian kapsul vitamin A (Nurvalinda,


2012).

18

a. Pemberian Obat Mata


Obat tetes/ salep mata antibiotik tanpa kortikosteroid
(tetrasiklin 1%, Kloramfenikol 0.25-1% dan gentamisin 0.3%)
diberikan pada penderita X2,X3A,X3B dengan dosis 4 x 1 tetes/hari
dan berikan juga tetes mata atropin 1% 3 x 1 tetes/hari. Pengobatan
dilakukan sekurang-kurangnya 7 hari sampai semua gejala pada mata
menghilang. Mata yang terganggu harus ditutup dengan kasa selama
3-5 hari hingga peradangan dan iritasi mereda. Gunakan kasa yang
telah dicelupkan kedalam larutan Nacl 0,26 dan gantilah kasa setiap
kali dilakukan pengobatan. Lakukan tindakan pemeriksaan dan
pengobatan dengan sangat berhati-hati. Selalu mencuci tangan pada
saat mengobati mata untuk menghindari infeksi sekunder, Segera rujuk
ke dokter spesialis mata untuk mendapat pengobatan lebih lanjut
(Nurvalinda, 2012).
b. Terapi Gizi
1) Energi
Pada kasus gizi buruk, diberikan bertahap mengikuti fase
stabilisasi, transisi dan rehabilitasi, yaitu 80-100 kalori/kg BB, 150
kalori/ kg BB dan 200 kalori/ kg BB (Oetama, Djaeni, 2008).
2) Protein
Protein diberikan tinggi, mengingat peranannya dalam
pembentukan Retinol Binding Protein dan Rodopsin. Pada gizi
buruk diberikan bertahap yaitu: 1 - 1,5 gram/ kg BB / hari ; 2 - 3
gram/ kg BB / hari dan 3 - 4 gram/ kg BB / hari (Oetama, Djaeni,
2008).
3) Lemak
Lemak diberikan cukup agar penyerapan vitamin A optimal.
Pemberian minyak kelapa yang kaya akan asam lemak rantai
sedang (MCT=Medium Chain Tryglycerides). Penggunaan minyak
kelapa sawit yang berwarna merah dianjurkan, tetapi rasanya
kurang enak (Oetama, Djaeni, 2008).
c. Pemantauan dan Respon Pengobatan dengan kapsul vitamin A
XN

: Reaksi pengobatan terlihat dalam 1-2 hari setelah

19

diberikan kapsul vitamin A


XIA & XIB

: Tampak perbaikan dalam 2-3 hari, dan gejala-gejala


menghilang dalam waktu 2 minggu

X2

: Tampak perbaikan dalam 2-5 hari, dan gejala-gejala


menghilang dalam waktu 2-3 minggu

X3A & X3B : Penyembuhan lama dan meninggalkan cacat mata.


Pada tahap ini penderita harus berkonsultasi ke
dokter spesialis mata Rumah Sakit/BKMM agar
tidak terjadi kebutaan
d. Rujukan
1) Anak segera dirujuk ke puskesmas bila ditemukan tanda-tanda
kelainan XN, X1A, X1B, X2.
2) Anak

segera

dirujuk

ke

dokter

Rumah

Sakit/

Spesialis

Mata/BKMM bila ditemukan tanda-tanda kelainan mata X3A,


X3B, XS.
e. Tindakan Operatif
Tindakan operatif pada xeroftalmia berupa pemasangan
sumbatan di punctum yang bersifat temporer (kolagen) atau untuk
waktu yang lebih lama (silicon). Tindakan ini untuk menahan sekret
air mata. Penutupan puncta dan kanalikuli secara permanen dapat
dilakukan dengan terapi termal (panas), kauter listrik, atau dengan
laser (Priscilia et al, 2012).
K. Komplikasi
Pada awal perjalanan xeroftalmia, penglihatan sedikit terganggu. Pada
kasus lanjut dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea dan perforasi.
Sesekali dapat terjadi infeksi bakteri sekunder dan berakibat jaringan parut
serta vaskularisasi pada kornea yang memperberat penurunan penglihatan.
Untuk komplikasi infeksi bakteri sekunder diberikan antibiotik berupa topikal
maupun

sistemik.

Antibiotik

topikal

yang

dapat

diberikan

seperti

20

ciprofloxacin (0.3%) atau ofloxacin (0.3%). Sedangkan antibiotik sisitemik


yang dapat diberikan seperti ciprofloxacin 750 mg dua kali dalam sehari atau
sefalosporin (Priscilia et al, 2012).
L. Prognosis
Jika pasien masih tahap xerosis kornea (X2), pengobatan yang tepat
dapat menyembuhkan sepenuhnya dalam beberapa minggu. Penyembahan
sempurna biasanya terjadi dengan pengobatan setiap hari. Gejala dan tanda
KVA biasanya menghilang dalam waktu 1 minggu setelah pemberian vitamin
A dihentikan. Lesi pada mata akan mengancam penglihatan (25% benar-benar
buta, dan sisanya sebagian buta). Mortalitas pada kasus-kasus yang berat
mencapai 50% atau lebih karena sering disertai oleh malnutrisi yang berat
(Ilyas, 2011).

21

III. KESIMPULAN
1. Xerophtalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan vitamin A
termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi sel retina
yang dapat berakibat kebutaan.
2. Penyebab terjadinya xerophthalmia adalah karena kurangnya Vitamin A.
3. Tanda dan gejala klinis yang dialami adalah adanya xerosis konjungtiva, xerosis
kornea, ulserasi kornea, jaringan parut kornea, serta fundus xeroftalmia.
4. Terapi untuk xeroftalmia adalah dengan pemberian vitamin A, obat tetes mata
antibiotic tanpa kortikosteroid, terapi gizi, ataupun tindakan operatif.
5. Jika ditangani dengan tepat dan baik prognosis xeroftalmia akan baik.

22

DAFTAR PUSTAKA
Ansstas, G. 2014. Vitamin A Deficiency Treatment & Management. Attending
Physician in Leukemia and Bone Marrow Transplant and Oncology,
Washington
University
School
of
Medicine.
Available
at
http://emedicine.medscape.com/article/126004-treatment (diakses pada Sabtu
12 Maret 2016).
Depkes Kesehatan RI. 2007. Deteksi dan Tatalaksana Kasus Xeroftalmia: Pedoman
Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta.
Dwiyanti, H., Riyadi, H., Rimbawan, R., Damayanthi, E., Sulaeman, A. And
Handharyani, E., 2013. Efek Pemberian Gula Kelapa Yang Diperkaya Minyak
Sawit Merah Terhadap Peningkatan Berat Badan Dan Kadar Retinol Serum
Tikus Defisien Vitamin A (Effect Of The Feeding Of Brown Sugar Enriched
With Red Palm Oil On Body Weight Gain And Serum Retinol
Levels. Penelitian Gizi Dan Makanan (The Journal of Nutrition And Food
Research), 36(1), Pp.73-81.
Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR. 2007. Konjungtiva dalam Vaughan & Asbury
Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta. EGC. Hal 97-123
Gomes MM, Saunders C, Ramalho A. 2009. Placenta: a possible predictor of vitamin
A deficiency. Br J Nutr.
Gorstein JL, Dary O, Pongtorn, et al. 2008. Feasibility of using retinol-binding
protein from capillary blood specimens to estimate serum retinol
concentrations and the prevalence of vitamin A deficiency in low-resource
settings. Public Health Nutr. 11(5):513-20.
Gumus Koray, Cavanagh DH. 2009. The Role of Inflammation and antiinflammation
Therapiesin Keratokonjunctivitis Sicca. Clinical Ophthalmology. Dallas. Dove
Medical Press Ltd. Hal 57-67.
Ilyas, Sidarta. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Kurihayashi, A.Y., Augusto, R.A., Escaldelai, F.M.D. and Martini, L.A., 2015.
Vitamin A and D status among child participants in a food supplementation
program. Cadernos de Sade Pblica, 31(3), pp.531-542.
Oetama, S, Djaeni, A. 2008. Vitamin dalam Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi.
Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. Hal. 111-112.

23

Priscilia et al. 2012. Referat Xeroftalmia. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen


Indonesia. Available at https://www.scribd.com/doc/98074258/ReferatXeroftalmia-Dr-Jannes (diakses pada Sabtu 12 Maret 2016).
Samosir, H., 2015. Hubungan Pengetahuan Bidan Tentang Vitamin A Dengan
Cakupan Pemberian Vitamin A Pada Ibu Nifas di BPS Wilayah Kerja
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2013.
Silva, M.A., Carvalho, C.A.D., Fonsca, P.C.D.A., Vieira, S.A., Ribeiro, A.Q., Priore,
S.E. and Franceschini, S.D.C.C., 2015. Iron-deficiency anemia and vitamin A
deficiency prevalence and associated factors among children under one
year. Cadernos Sade Coletiva, 23(4), pp.362-367.
WHO. 1995. Vitamin A Deficiency and Its Consequences. Available at
http://www.who.int/nutrition/publications/vad_consequences.pdf
(diakses
pada Sabtu 12 Maret 2016).

Anda mungkin juga menyukai