Perilaku Destruktif
Valencia Suwardi
11 2018 015
1
Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya
sehingga referat yang berjudul “Perilaku Destruktif” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Referat ini merupakan salah satu pemenuhan syarat kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana.
Terima kasih penyusun ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam
penyusunan referat ini, khususnya kepada dr.Ratna Mardiati, SpKJ sebagai pembimbing yang
telah memberikan saran, bimbingan, serta dukungan dalam penyusunan referat ini. Penyusun
juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang banyak
membantu dalam penyusunan referat ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk perbaikan demi
kesempurnaan referat ini. Semoga karya ini bisa bermanfaat untuk para pembaca.
Penyusun
2
Daftar Isi
Daftar isi................................................................................................................................. 3
BAB I : Pendahuluan
BAB II : Pembahasan
a. Definisi ................................................................................................................. 5
b. Etiologi ................................................................................................................. 7
c. Hubungan gangguan jiwa dengan perilaku destruktif......................................... 9
d. Tingkatan Dalam Perilaku Destruktif................................................................. 12
e. Keselamatan Pribadi............................................................................................ 13
f. Evaluasi & Management Pasien dengan Perilaku Destruktif ..............................14
g. Terapi Psikofarmaka untuk Perilaku Destruktif................................................. 16
Kesimpulan ............................................................................................................................ 18
3
Pendahuluan
a. Latar belakang
Perilaku destruktif adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif.1
Perilaku destruktif merupakan masalah kesehatan yang masyarakat yang
penting. Di Amerika Serikat, homicide merupakan penyebab kematian ke-13 pada tahun
1997. Beberapa diagnosis psikiatri termasuk gangguan mood, penyalahgunaan zat dan
psikosis berhubungan dengan peningkatan prilaku destruktif.
Perilaku destruktif adalah suatu bentuk penyerangan fisik yang dilakukan
seseorang kepada orang lain. Apabila hal itu dilakukan secara langsung kepada diri
sendiri, hal itu disebut mutilasi diri sendiri atau prilaku bunuh diri. Perilaku destruktif
dapat terjadi pada gangguan psikiatri dan dapat juga terjadi pada orang normal yang tidak
dapat mengatasi tekanan hidup. Perilaku destruktif sering sekali menjadi sebab seseorang
dibawa ke unit gawat darurat psikiatri. Dokter dan perawat harus tahu bagaimana
prosedur yang tepat untuk mengatasi keadaan ini. Prosedur ini meliputi intervensi
perilaku, farmakologi, dan psikososial.2,3
Pasien dengan perilaku destruktif adalah salah satu kasus dalam bidang psikiatri
yang tidak jarang ditemui, dan ini telah menjadi salah satu masalah untuk para psikiater
dalam menindak lanjuti pasien tersebut. Umumnya klien dengan perilaku destruktif
dibawa dengan paksa ke rumah sakit jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak
manusiawi disertai bentakan dan “pengawalan” oleh sejumlah anggota keluarga bahkan
polisi.
Perilaku destruktif seperti memukul anggota keluarga/ orang lain, merusak alat
rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling banyak
dikemukakan oleh keluarga. Penanganan yang dilakukan oleh keluarga belum memadai
sehingga selama perawatan klien seyogyanya sekeluarga mendapat pendidikan kesehatan
tentang cara merawat klien (manajemen perilaku destruktif).
4
b. Epidemiologi
Prevalensi gangguan jiwa pada populasi penduduk dunia menurut World Health
Organization (WHO) pada tahun 2000 memperoleh data gangguan mental sebesar 450
juta orang, 12% tahun 2001 meningkat menjadi 13%. Sedangkan pada negara-negara
berkembang prevalensinya lebih tinggi. Prevalensi gangguan mental di negara Amerika
Serikat (6%-9%), Brazil (22,7%), Chili (26,7%), Pakistan (28,8%), sedangkan di
Indonesia hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, yyang menggunakan
SRQ untuk menilai kesehatan jiwa penduduk, prevalensi gangguan mental emosional
pada penduduk Indonesia yang berumur lebih dari 15 tahun sebesar 11,6%.
Menurut national institute of mental health gangguan jiwa mencapai 13% dari
penyakit secara keseluruhan dan dierkirakan akan berkembang menjadi 25% ditahun
2030. Kejadian tersebut akan memberikan andil meningkatnya prevalensi gangguan jiwa
dari tahun ke tahun di berbagai negara. Berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika
Serikat tahun 2004, diperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18-30 tahun akan lebih
mengalami gangguan jiwa. 4
Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi daerah
Ibukota Jakarta (24,3%), diikuti Nanggroe Aceh Darusallam (18,5%), Sumatra Barat
(17,7%), NTB (10,9%), Sumatra Selatan (9,2%), dan Jawa Tengah (6,8%) 5. Berdasarkan
data Riset Kesehatan Dasar (2007), menunjukkan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat
secara nasional mencapai 0,46% dari jumlah penduduk, dengan kata lain menunjukkan
bahwa pada setiap 1000 orang penduduk terdapat empat sampai lima orang menderita
gangguan jiwa. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat di seluruh dunia adalah
gangguan jiwa berat yaitu skizofrenia.
Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, perilaku yang aneh dan
tergangggu 6
Pembahasan
A. Definisi
5
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif.1 Perilaku destruktif sukar diprediksi. Perilaku destruktif atau
agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara
fisik maupun psikologis.
Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun perilaku yang dimanifestasikan
oleh perasaan marah dapat berfluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif.
Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan
diri atau respon melawan dan menantang. Respon melawan dan menantang merupakan
respon yang maladaptif, yaitu agresif -destruktif perilaku yang menampakkan mulai
dari yang rendah sampai yang tinggi, yaitu:
Asertif : mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan
merasa lega.
Frustasi : Merasa gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak
realistis.
Pasif : Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
sedang dialami.
Agresif: memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang
lain dengan ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai.
Umumnya klien masih dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai orang
lain.
Kekerasan: sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku destruktif
ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan, memberi kata-kata
ancaman ancaman, melukai disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang
paling berat adalah melukai/ merusak secara serius. Klien tidak mampu
mengendalikan diri.
6
Gambar 1. Rentang Respon Marah
B. Etiologi
Kondisi psikiatri yang paling sering berhubungan dengan perilaku destruktif adalah
gangguan psikotik seperti skizofrenia dan mania (terutama pada pasien paranoid atau
yang mengalami halusinasi tipe : commanding), intoksikasi alkohol dan obat-obatan,
putus alkohol dan obat hipnotik sedatif, kegelisahan katatonik, depresi yang teragitasi,
gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan pengontrolan impuls yang
buruk (contohnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial ), dan gangguan organik
(terutama yang menyangkut keterlibatan lobus frontal dan temporal). Diagnosis yang
berhubungan dengan perilaku destruktif :
1. Gangguan psikotik
a. Skizofrenia (terutama paranoid dan katatonik )
b. Mania
c. Gangguan paranoid
d. Psikosis post partum
2. Gangguan mental organik
a. Delirium
b. Intoksikasi atau putus obat
3. Gangguan kepribadian
a. Antisosial
7
b. Paranoid
4. Masalah situasional
a. Pertengkaran dalam rumah tangga (destruktif oleh pasangan )
b. Penganiayaan anak
c. “Homosexual panic"
5. Gangguan otak
a. gangguan epilepsy
b. kerusakan struktural (akibat trauma atau ensefalitis )
c. Retardasi mental dan disfungsi minimal otak
Perilaku destruktif juga bisa disebabkan adanya gangguan harga diri, meliputi :
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit
(rambut botak karena terapi)
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
3. Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
8
4. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
5. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya. )
Karena agresi impulsif memainkan peranan yang besar terhadap insidens perilaku
destruktif maka mengetahui hubungan antara perilaku dengan gangguan kepribadian
sangatlah penting.
10
Skizofrenia dengan perilaku destruktif
Pasien dengan skizofrenia yang hidup di komunitas biasanya tidak akan jatuh pada
kategori perilaku destruktif yang persisten tetapi mereka dapat menunjukkan perilaku
destruktif dan agresif yang akut. Hal ini mungkin merupakan dekompensasi akut sekunder
pada ketidakpatuhan pasien minum obat. Dekompensasi juga dapat berhubungan dengan
kegagalan regimen pengobatan.Gambaran klinis seperti halusinasi commanding mengalami
perburukan. Penelitian melaporkan bahwa 24-44% perilaku destruktif dilakukan oleh
individu dengan skizofrenia selama fase akut dalam penyakitnya. Kadar neuroleptik dalam
darah berkorelasi terbalik dengan kejadian berbahaya pada pasien skizofrenia yang
dirawat.8
Banyak penelitian yang menyelidiki efektifitas dari obat antipsikotik terbaru dalam
menurunkan perilaku destruktif pada pasien yang dirawat. Banyak penelitian yang
melaporkan terdapat pengurangan tindakan seklusi dan restraint sejak diperkenalkannya
clozapine. Perbandingan yang sama juga terdapat pada penggunaan risperidone yang
mengurangi serangan fisik, seklusi dan restraint. Pada suatu studi dibandingkan terapi
dengan haloperidol, risperidone, dan plasebo yang menunjukkan bahwa penggunaan
risperidone menurunkan perilaku destruktif dua kali lebih besar dibandingkan dengan
haloperidol dan plasebo. Olanzapine dapat mengurangi perilaku agresi pada pasien dengan
mania akut dan juga pada pasien dengan skizofrenia.7
11
Penyalahgunaan zat di rumah menjadi faktor prediktor yang kuat untuk timbulnya
destruktif domestik. Disregulasi dari sistem serotonin menjadi faktor penyebab munculnya
agresi dan perilaku destruktif, di mana sistem serotonin ini juga termasuk dalam gangguan
penyalahgunaan zat, terutama alkohol. Alkohol mengurangi sintesis serotonin, penurunan
serotonin ini menyebabkan munculnya perilaku destruktif.7
Faktor resiko lain dari perilaku destruktif termasuk pernyataan keinginan, rencana
yang spesifik,ketersediaan alat untuk melakukan perilaku destruktif, laki-laki, usia muda
(15-24 tahun) , status ekonomi yang rendah, sistem dukungan sosial yang buruk, riwayat
perilaku destruktif sebelumnya, sikap antisosial, pengontrolan impuls yang jelek, riwayat
percobaan bunuh diri,stresor yang baru. Riwayat perilaku destruktif sebelumnya merupakan
prediktor terbaik dari perilaku destruktif. Faktor tambahan lainnya adalah : riwayat sebagai
korban perilaku destruktif pada masa kecil, triad riwayat masa kecil yaitu : ngompol,
membakar, kejam terhadap binatang, catatan kriminal, bertugas sebagai polisi atau ABRI,
mengemudi ugal-ugalan, riwayat keluarga dengan perilaku destruktif. Tujuan pertama dari
penanganan pasien dengan potensial terjadinya perilaku destruktif adalah pencegahan
terjadinya perilaku destruktif yang segera. Tujuan selanjutnya adalah membuat diagnosis
yang akan mengarahkan pada rencana terapi yang akan dilakukan.
12
mulai mengepal tanganya bersiap untuk melakukan tindak destruktif.
Ketika pasien dalam kondisi seperti ini, sebaiknya dokter melakukan
intervensi dengan melakukan interview yang menenangkan dan
menyenangkan, yang dimulai dengan berjabat tangan serta menjaga jarak
pukulan dengan pasien.
Emergence violence
Adalah ketika tindak destruktif telah dilakukan saat ini. Pada saat
ini dokter atau perawat yang sedang berhadapan dengan pasien tersebut
disarankan untuk langsung memeluk pasien seperti pemain tinju yang
saling memeluk untuk menghindari pukulan, langkah selanjutnya meminta
pertolongan untuk melakukan pengikatan (restraint) pada pasien tersebut.
E. Keselamatan Pribadi
Saat seorang dokter dihadapkan dengan pasien agresif atau yang berpotensi dalam
tindak destruktif, keselamatan pribadi adalah hal terutama yang harus didahulukan.
Namun cara seorang dokter menghadapi pasien juga dipengaruhi oleh perilaku dan
pengalaman dari dokter itu sendiri. Pelatihan dan supervisi kepada dokter-dokter sangat
disarankan untuk menghindari kejadian destruktif dari pasien.
Seorang psikiater harus memiliki perilaku yang benar dalam menangani pasien
yang agresif untuk bisa menjaga keselamatan pribadinya. Dalam menjalankan tugasnya
sebagai dokter yang harus menyelamatkan jiwa, tentunya seorang dokter harus terlebih
dahulu selamat dari bahaya. Seorang dokter yang memimpin timnya harus memberitakan
kepada seluruh psikiater dalam menjalankan tugasnya, untuk tidak lupa menjaga dirinya
sendiri dari bahaya yang diakibatkan oleh tindak destruktif pasien yang agresif. Seorang
psikiater dalam hal melindungi keselamatan diri harus selalu bersiap siaga dalam kondisi
agresif dari pasien tanpa berpikir paranoid dan cemas dari destruktif yang akan terjadi.
Dalam manajemen pasien agresif yang tidak/belum melakukan destruktif,
intervensi harus dilakukan untuk mencegah tindak destruktif. Intervensi terhadap pasien
agresi ringan (least aggressive) harus dilakukan karena penting untuk menghindari tindak
destruktif yang mungkin akan terjadi.
13
Manifestasi dari pasien agresi ringan termasuk kewaspadaan, kecemasan, perilaku
yang eksploratif dan rasa penasaran. Pada tingkat agresi ringan pasien diikuti dengan sifat
asertif yang artinya meningkatkan atau mempertahankan integritas diri sendiri tanpa
mempengaruhi teritori orang lain. Pada tingkatan agresi selanjutnya pasien diikuti dengan
sifat dominan, yang artinya memiliki kapasitas untuk mempengaruhi teritori orang lain.
Pada tingkatan selanjutnya pasien akan diikuti dengan sifat permusuhan (hostility) yang
diikuti dengan tindak destruktif pasien. Salah satu contoh pasien yang memiliki tingkat
agresi permusuhan adalah melukai atau mengancam dokter secara fisik untuk
mendapatkan obat narkotika. Tingkatan selanjutnya adalah kebencian, yang artinya
permusuhan kepada seseorang yang tidak ada hentinya.
14
mengepalkan tinju, ancaman verbal, senjata atau benda yang kemungkinan dapat
digunakan sebagai senjata ( seperti garpu, pemecah es, asbak ), agitasi psikomotor,
intoksikasi alkohol dan obat, waham paranoid,halusinasi bentuk : ”commanding”
3. Yakinkan bahwa perawat telah siap melakukan pengekangan fisik yang aman
terhadap pasien.Panggillah anggota staf yang lain sebelum perilaku destruktif yang
terjadi menghebat. Sering sekali dengan menghadirkan banyak anggota staf di
ruangan dapat mencegah terjadinya perilaku destruktif ( Show of force).
4. Pengekangan fisik hanya dilakukan oleh petugas yang terlatih. Dengan pasien yang
dicurigai intoksikasi phencyclidine (PCP), pengekangan fisik terutama daerah tungkai
harus dihindari.Biasanya obat benzodiazepin dan anti psikotik diberikan dengan
segera setelah dilakukan pengekangan fisik untuk memberikan pengekangan secara
kimiawi, tetapi pilihan obat tergantung kepada diagnosis. Sediakan suatu
lingkungan yang memiliki stimulus yang minimal.
5. Buatlah evaluasi diagnostik yang pasti, termasuk tanda vital, pemeriksaan fisik,
riwayat psikiatri sebelumnya. Evaluasi kemungkinan pasien melakukan tindakan
bunuh diri. Buat rencana terapi untuk managemen kemungkinan terjadi perilaku
destruktif lanjutan. Tanda-tanda vital yang meningkat menunjukkan kemungkinan
adanya withdrawal akibat alkohol atau obat hipnotik sedatif
6. Coba gali lebih dalam intervensi sosial yang mungkin dapat dilakukan untuk
mengurangi resiko perilaku destruktif. Apabila perilaku destruktif berhubungan
dengan situasi spesifik atau orang, cobalah untuk memisahkan pasien dari situasi dan
orang tersebut. Coba untuk melakukan intervensi keluarga dan manipulasi lingkungan
lainnya. Apakah pasien akan tetap potensial perilaku destruktif apabila dia tinggal
bersama dengan keluarganya?
7. Merawat pasien perlu dilakukan untuk menahan dan mencegah pasien melakukan
perilaku destruktif. Observasi yang terus menerus harus dilakukan bahkan pada
pasien yang dirawat di sel isolasi yang terkunci.
8. Apabila tindakan psikiatri tidak membantu, kita dapat melibatkan polisi atau aparat
lainnya.
9. Calon korban destruktif harus diberikan peringatan tentang bahaya yang masih
mungkin terjadi apabila pasien tidak dirawat
15
G. Terapi Psikofarmaka untuk Perilaku Destruktif
Obat-obatan sering digunakan untuk mengatasi perilaku destruktif dan strategi
pengobatan psikofarmakologi yang sekarang memasukkan pengobatan terhadap perilaku
destruktif sebagai salah satu sindrom yang khusus. Tujuan dari terapi kasus yang akut
adalah untuk menenangkan pasien sedangkan tujuan terapi kasus yang kronis adalah
mengurangi frekuensi dan intensitas setiap episode perilaku destruktif. Pengobatan
jangka panjang dilakukan apabila ada penyakit yang mendasarinya. Pengobatan
tambahan mungkin diperlukan apabila pendekatan terapi yang standar tidak efektif.
Setiap pasien yang melakukan perilaku destruktif harus diberikan pengobatan sesegera
mungkin. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa faktor, sangat tergantung pada
riwayat dan pemeriksaan pasien, meskipun mungkin hanya sedikit waktu yang tersedia
untuk memeriksa pasien karena pasien sangat berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang
lain. Kondisi medis (infeksi, toksik, fisiologik, dan metabolik ) seharusnya bisa
diidentifikasi karena membutuhkan terapi dan mungkin mempengaruhi pengobatan
psikofarmakologik.
Benzodiazepine
Lorazepam adalah pilihan yang baik digunakan untuk mengobati pasien dengan
agitasi dan perilaku destruktif secara khusus apabila etiologi masih belum jelas. Obat ini
aman dan efektif.Obat ini adalah satu-satunya obat benzodiazepine yang diserap dengan
baik apabila diberikan intramuskular. Lorazepam juga dapat diberikan secara oral,
sublingual, atau intravaskular.Pemberian obat ini harus hati-hati karena dapat
menimbulkan depresi pernapasan. Pemberian Lorazepam juga dapat menimbulkan reaksi
paradoksial. Benzodiazepine juga memiliki resiko disalahgunakan karena itu
sebaiknya tidak diberikan secara regular.Antipsikotik Generasi pertama. obat neuroleptik
menyebabkan efek sedasi ketika diberikan dengan dosis yang tinggi. Haloperidol dapat
diberikan secara intramuskular untuk mengatasi agitasi dan prilaku destruktif pada pasien
dengan variasi penyebab yang luas. Haloperidol tidak terlalu menyebabkan hipotensi dan
hanya memiliki efek antikolinergik yang kecil dibandingkan dengan neuroleptik yang
‘low potency’ seperti Chlorpromazine. Tetapi kadang-kadang neuroleptik ‘low potency’
kadang-kadang digunakan karena dokter menginginkan efek sedasinya. Dengan
16
mengobati psikosis yang menjadi penyebabnya, neuroleptik dapat memberikan efek
jangka panjang terhadap agitasi dan prilaku destruktifnya. Mania akut dapat dengan cepat
dan efektif diatasi dengan obat neuroleptik ini dan obat-obatan ini digunakan untuk
mengatasi prilaku destruktif yang terjadi. Meskipun demikian obat neuroleptik dosis
tinggi dapat menyebabkan efek samping seperti akatisia (tidak dapat duduk dengan
tenang)
Generasi kedua / obat antipsikotik atipikal. Obat ini sekarang menjadi pilihan
yang penting dalam penanganan perilaku destruktif pada pasien psikosis. Obat-obat ini
mempunyai efek samping yang lebih rendah dalam hal efek ekstrapiramidal, akatisia, dan
tardive diskinesia ( repetitive, purposeless, involuntary movement), dan obat-obat ini
memiliki efek antiagresif yang spesifik. obat antipsikotik yang digunakan termasuk
Miprasidone, Clozapine, Risperidone,dan Olanzapine. Antipsikotik tidak dianjurkan
diberikan pada pasien tanpa gangguan psikotik atau bipolar. Dalam hal ini Lorazepam
dan obat sedatif non spesifik lain dapat diberikan. Suatu studi oleh Doskoch tahun 2001
menunjukkan bahwa Clozapine dapat mengurangi perilaku destruktif dan pengideraan
diri sendiri pada pasien dengan retardasi mental.
Antidepresan
Antidepresan dapat mengurangi ketakutan, irritabilitas, dan kecemasan. Emosi ini
memiliki spektrum yang sama dengan agitasi. Penemuan sekarang menunjukkan bahwa
obat ini dapat menurunkan mood yang negatif dan perilaku destruktif seperti juga
perubahan positif pada kepribadian. Pasien dengan gangguan kepribadian yang diberikan
obat antidepresan serotonin ini dapat berkurang irritabilitas dan perilaku destruktifnya.
Pasien dengan agitasi post traumatik memiliki respon terhadap pemberian Amitriptilin.
Mood Stabilizer
Mood stabilizer digunakan untuk menangani pasien dengan gangguan bipolar dan
sebagai terapi tambahan pada skizofrenia. Obat-obat ini digunakan juga untuk mengatasi
perilaku destruktif meskipun bukan merupakan protitipe untuk tujuan ini. Valproate
(Depakene) banyak digunakan untuk mengontrol perilaku destruktif pada beberapa
keadaan psikiatri seperti demensia, gangguan kepribadian ambang, sindrom mood
17
organik, gangguan bipolar, skizofrenia, gangguan skizoafektif, dan retardasi mental.
Divalproex (Depakote ) dan Carbamazepine digunakan secara luas untuk mengatasi
impulsitas dan perilaku destruktif. Sayangnya Carbamazepine mempunyai efek samping
seperti pusing, ataksia, kebingungan, agranulositosis dan hepatotoksis
sehingga penggunaannya terbatas. Divalproex memiliki sedikit efek samping dan
interaksi obat yang sedikit sehingga banyak digunakan sebagai mood stabilizer pada
pasien demensia. Berkurangnya perilaku destruktif pada episode manik merupakan peran
yang penting dari Lithium Carbonate.Lithium juga digunakan untuk mengatasi perilaku
destruktif pada pasien dengan retardasi mental.Lithium juga digunakan untuk mengurangi
prilaku destruktif pada tahanan yang mengamuk.meskipun efektif tetapi karena masalah
tolerabilitasnya maka penggunaannya terbatas.
Beta Blocker
Beta adrenergik blocker khususnya Propranolol digunakan untuk mengatasi
perilaku destruktif pada banyak diagnosis termasuk retardasi mental, autisme, sindrom
otak post traumatik, demensia, Huntington disease, Wilson disease, psikosis post
ensefalitis, disfungsi sistem saraf pusat kronik yang ditandai ‘soft neurologic signs’,
EEG abnormal atau epilepsi. Propranolol juga digunakan sebagai terapi tambahan untuk
mengurangi gejala prilaku destruktif pada pasien skizofrenia.masalah utama yang timbul
pada penggunaan propranolol untuk prilaku destruktif adalah terjadinya gangguan
kardiovaskular yang sering. Beta blocker yang lain yang digunakan untuk terapi perilaku
destruktif adalah Pindolol, Metoprolol, dan Nadolol.
18
Kesimpulan
Pasien dengan perilaku destruktif dapat diakibatkan oleh banyak hal dan dengan tingkat
agresifitas yang berbeda-beda. Kita harus selalu siap menghadapi pasien dengan perilaku
destruktif karena kegawatdaruratan ini bisa muncuk pada berbagai gangguan jiwa. Dengan
mengetahui penatalaksanaan yang tepat maka kita dapat menghadapi pasien dengan
perilaku destruktif dengan baik dan aman. Kombinasi penatalaksanaan dengan
psikofarmaka juga [penting untuk dikuasai psikiater dan staf yang menangani pasien.
19
Daftar pustaka
1. Stuart GW, Sundeen, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis
Mosby Year Book, 1995
2. Kaplan HI, Sadock BJ. Pocket handbook of Emergency Psychiatric Medicine, Violence,
Maryland, USA, 1997: 369-372
3. Iverson GL, Hughes R. Monitoring Aggression and Problem Behaviours in Inpatient
Neuropsychiatric Unit. Psychiatric Service Agust 2000 Vol 51: 1040-1042
4. NIMH. (2011). National Institiut of Mental Health :USA
5. http://www.litbang.depkes.go.id/bl_riskesdas2007.
6. Videbeck, 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Alih bahasa oleh Renata Komalasari &
Atrina Hanny. EGC. Jakarta.
7. Brady KT. The Treatment and Prevention of Violence. Available at :
http://www.medscape.com/viewarticle Accessed February 1, 2008
8. Citrome LL. Aggression Available at: http://www.medscape.com/viewarticle Accessed
February 1, 2008
9. Ramadan MI. Managing Psychiatric Emegercies. The Internet Journal of Emergency
Medicine 2007. Volume 4 number 1. USA
20