Anda di halaman 1dari 39

Tinjauan Pustaka 1

EVALUASI PERIOPERATIV

Oleh :

Baihaki

Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anesthesiologi FKUI


Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo

Pembimbing

Dr. Arif Marsaban, SpAnK

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

1
EVALUASI PERIOPERATIV

I. PENDAHULUAN
Istilah perioperativ berarti sekitar operasi, terminologi ini biasanya digunakan
untuk periode/waktu sebelum (preoperasi), selama (intraoperasi) dan setelah
(postoperasi) prosedur bedah1. Dalam periode perioperativ melibatkan beberapa
keahlian spesialistic di dalam manajemen pasien yang akan menjalani operasi, di
antaranya bedah, internal, anesthesi, dan mungkin bidang keahlian lain, yang
berdasarkan keahliannya masing-masing memberikan kontribusi terhadap
penyelesaian masalah pasien, prosedur bedah, dan implikasi post operativ 1,2
Hampir 60 % pasien-pasien yang akan menjalani pembedahan mempunyai
gejala dan tanda dari penyakit sistemik yang dideritanya, bahkan lebih tinggi
prevalensinya pada usia tua. Kebanyakan diantaranya karena penyakit kardiovascular,
respirasi dan metabolik.1 Bagaimanapun juga pasien dengan permasalahan medis yang
kompleks membutuhkan pengetahuan khusus untuk melakukan penilaian yang
menyeluruh terhadap kondisi kesehatan dan pembedahan sehingga bisa
2,9
mengurangi/menurunkan resiko perioperativ.
Penilaian medis sebelum operasi paling baik dilakukan oleh ahli anesthesi.
Dokter lain mungkin dapat menganjurkan jenis terapi untuk perbaikan fungsi
fisiologis, tetapi ahli anesthesi adalah dokter yang paling tepat untuk menilai efek
anesthesia dan pembedahan terhadap pasien. Dokter ahli anesthesia menjadi dokter
yang paling dominan dalam menentukan keseluruhan persyaratan terhadap perawatan
peroperativ.2,8
Evaluasi pre operativ merupakan komponen penting dari manajemen
perioperativ.5 Dalam periode pre operativ meliputi penyaringan dan penilaian serta
pengobatan terhadap masalah medis yang cukup penting yang berdampak potensial
terhadap pasien intra dan post operasi, sehingga periode ini penting dalam

2
membentuk perencanaan anesthesia yang aman berdasarkan kebutuhan dan masalah
pasien.2
Tujuan utama dari evaluasi dan penilaian pre operativ adalah menurunkan
angka morbiditas, meningkatkan kewaspadaan ahli anesthesia terhadap abnormalitas
kondisi medis pasien, mengembalikan pasien ke fungsi yang diinginkan secepat
mungkin serta mengurangi biaya perawatan perioperativ.2,3,6 Oleh karena itu evaluasi
preoperativ berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan apakah pasien dalam
kondisi optimal ?, dapat atau haruskah kondisi mental atau fisik pasien ditingkatkan
sebelum operasi ?, apakah pasien mempunyai problem kesehatan atau menggunakan
obat-obatan yang mempunyai pengaruh yang tidak diharapkan dalam masa
perioperativ ? 3
Salah satu tanggung jawab utama ahli anesthesia adalah menjaga/memantau
pasien yang dianesthesi selama pembedahan (intraoperasi). Tindakan anesthesia yang
mengandung resiko harus dinilai dengan cermat dan teratur. Penurunan keadaan
pasien harus dideteksi sejak dini sehingga usaha perbaikan dapat dimulai secepat
mungkin. Beberapa pengamatan dilakukan secara terus menerus dan yang lainnya
secara berkala.4,8
Monitoring memberikan peringatan awal dari perubahan yang buruk sebelum
kerusakan yang irreversible terjadi. Monitor yang paling penting dikamar operasi
adalah kewaspadaan ahli anesthesia terhadap pasien yang dianesthesi.6
Pemulihan dari anesthesia pada kebanyakan pasien adalah proses yang aman,
tanpa kegawatan dan komplikasi, yang diawali dengan penghentian pemberian obat-
3,6
obatan anesthesia dan extubasi traheal di dalam kamar operasi. Bagaimanapun
pada beberapa kasus masa pemulihan dari anesthesi dapat menjadi proses yang
mengancam nyawa yang memerlukan penanganan yang tepat oleh tenaga medis yang
ahli.3
Tanggung-jawab ahli anesthesi tidak hanya sampai pada batas pasien sudah
sepenuhnya bangun dari pengaruh obat-obatan anesthesia, tapi sampai pada post

3
anesthesia care unit (PACU) hingga tanda-tanda vital dan kondisi pasien dianggap
stabil.2,4

II. Evaluasi Preoperativ


Pendekatan dasar untuk penilaian pasien preoperativ dapat dibedakan dalam 4
bagian yang meliputi : diagnosis medis yang menyertai, optimalisasi terhadap
masalah medis tersebut, penilaian resiko, pertimbangan perencanaan periode
perioperativ.9
Evaluasi pre operativ dan persiapan untuk anesthesia dimulai ketika ahli
anesthesia memeriksa rekam medis dan mengunjungi pasien. Aspek-aspek penting
dalam evaluasi pre operativ termasuk : history /riwayat, penggunaan obat,
pemeriksaan fisik, dan interpretasi data laboratorium, yang kesemuanya itu
mempengaruhi klasifikasi status pasien.

Tabel Klasifikasi Status pasien menurut ASA


Klasifikasi
Keterangan
Status Fisik
ASA-1 Pasien normal
ASA-2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan dengan tidak ada keterbatasan fungsi.
Contoh : Hipertensi, Diabetes Mellitus, Bronktitis Kronik, Obesitas, Usia
Lanjut.
ASA-3 Pasien dengan penyakit sistemik berat dengan keterbatasan dalam fungsi.
Contoh : Hipertensi yang tidak terkontrol, Diabetes Mellitus dengan
komplikasi Vaskuler, Angina Pectoris, Penyakit Paru dengan
aktivitas yang terbatas
ASA-4 Pasien dengan penyakit sistemik berat dengan ancaman yang menetap terhadap
kehidupan
Contoh : Gagal Jantung Congestiv, Unstabel Angina Pectoris, Penyakit Paru,
Ginjal dan Hati yang lanjut
ASA-5 Pasien hampir meninggal yang tidak diharapkan hidup tanpa operasi
Operasi Semua pasien yang memerlukan operasi emergensi
Emergensi (E)

Lagasse, mendapatkan angka kematian perioperatif (kematian yang terjadi


dalam 2 hari setelah operasi), sebanyak 347 dari 184.472 kasus. Kematian karena
kesalahan anestasia 1 dalam tiap 12.641 kasus di sub-urban University Hospital dan 1

4
tiap 13.322 kasus di urban University Hospital. Angka kematian jelas meningkat
dengan peningkatan status fisik ASA pasien.

A. Riwayat
Pendekatan terhadap pasien selalu dimulai dengan riwayat, yang seringkali
sudah cukup sebelum dilakukan prosedur bedah tertentu. Schein melaporkan
2.800 pasien yang akan menjalani operasi cataract, secara random di pisahkan
dan didapatkan tidak ada perbedaan outcome diantara pasien yang dilakukan
laborarotium rutin dengan yang tidak.5
Pengumpulan informasi preoperativ harus detail mengenai riwayat
anesthesia dan pembedahan sebelumnya, serta perubahan fungsi organ karena
penyakit yang sedang diderita. Beberapa pertanyaan langsung yang dapat
digunakan untuk memperoleh informasi penting mengenai kesehatan secara
umum diantaranya :
 Apakah anda menderita rasa tidak enak badan, batuk nyeri tenggorokan?
 Apakah anda pernah sesak napas ketika menaiki tangga ?
 Apakah anda berbaring dengan menggunakan bantal ?
 Apakah anda menderita pembengkakan di pergelangan kaki ?
 Apakah anda menderita nyeri dada.

5
 Apakah anda menderita rasa berdebar-debar ?
 Apakah anda dan keluarga pernah mengalami masalah dengan anesthesia ?
 Apakah anda menderita demam rematic ?
 Apakah anda sedang minum obat atau di obati ?
 Apakah anda alergi terhadap sesuatu ?
 Apakah anda merokok ?
 Apakah anda minum alcohol ?
 Apakah anda pernah sakit kuning ?
 Apakah ada arthritis atau gangguan lain yang menghambat gerakan leher
atau kemampuan membuka mulut ?
 Apakah ada nyeri hulu hati atau muntah yang dapat masuk ke tenggorokan
anda ?
 Apakah anda hamil ?
Jika terdapat jawaban “Ya” maka penundaan pembedahan elektiv dan
pemeriksaan lebih lanjut atau perubahan teknik anesthesia perlu dilakukan.3,5,7

B. Penggunaan Obat-Obatan 6
Riwayat penggunaan obat-obatan di periksa secara hati-hati selama
evaluasi pre operativ, karena interaksi yang merugikan dengan obat-obat yang
akan diberikan dalam masa perioperativ.

Tabel. Obat-Obatan dan Interaksinya Dengan Obat-Obat Yang Diberikan


Dalam Masa Perioperativ

Obat Efek Samping


Alcohol Toleransi terhadap obat anestesi
Antibiotik Memperlama efek dari obat pelumpuh otot
Anti Hipertensi Merusak respon sistem saraf simpatis
Aspirin Kecenderungan perdarahan
Benzodiazepine Toleransi terhadap obat anestesi

6
Beta antagonis Bradicardia
Bronchospasme
Mengganggu respon sistem saraf simpatis
Depresi otot jantung
Calcium channel blocker Hipotensi
Digitalis Menggangu irama dan sistem konduksi jantung
Diuretic Hipokalemia
Hipovolemia
Monoamine oxidase Respon yang berlebihan terhadap obat simpatomimetik
inhibitor
Tricyclic antidepressant Respon yang berlebihan terhadap obat simpatomimetik

C. Pemeriksaan Fisik5,6
Pemeriksaan fisik dilakukan oleh ahli anesthesi terutama menyangkut
fungsi sistem saraf pusat, Cardiovaskuler, paru, saluran pernapasan atas, dan
fungsi coagulasi.

Tabel. Cakupan Hal Yang Khusus Dinilai


Selama Pemeriksaan Fisik

Sistem Saraf Pusat


Derajat kesadaran
Kekuatan otot dan saraf perifer

Sistem Cardiovascular
Auscultasi jantung (denyut jantung, irama, murmur)
Tekanan darah sistemik (berbaring dan berdiri)
Puls perifer (tempat kanulasi arteri)
Vena (tempat akses vena)
Udem perifer

Paru
Auscultasi paru (rales, wheezes)
Pola napas
Anatomi dada (emphisema)

Saluran napas atas


Gerakan tulang leher
Temporomandibular mobility
Tracheal mobility
Prominent central incisors
Penyakit dan gigi palsu
Kemampuan memperlihatkan uvula
Thyromental distance

7
Koagulasi
Bruising
Petechiae

D. Data Laboratorium
Dalam usaha untuk menentukan pilihan optimal untuk pemeriksaan
laboratorium preoperative, penting untuk memahami interpretasi dari hasil test.
Idealnya sebuah test akan mengkonfirmasi atau menyingkirkan ada tidaknya
suatu penyakit. Permintaan yang sembarangan untuk sebuah test laboratorium
tanpa indikasi berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik adalah tidak bijak dan
menelan biaya besar. Sekitar 5% dari individu yang normal mempunyai hasil
test lab abnormal. Idealnya sebuah test labotarium diindikasikan berdasarkan
situasi klinis (riwayat & pemeriksaan fisik).5,6
1. Konsentrasi Hemoglobin
Pemeriksaan kadar Hb menjadi satu-satunya test yang disarankan
pada kebanyakan pasien yang akan menjalani operasi terencana, meskipun
standar minimal masih dipertanyakan. Secara tradisional, kadar Hb
minimum adalah 10 g/dl, namun demikian National Blood Resource
Education Committee merekomendasikan kadar Hb 7 gr/dl dapat diterima
pada pasien-pasien tanpa penyakit sistemic.7
Tidak ada data yang menjelaskan bahwa pengobatan/koreksi
moderate normovolemic anemia akan meningkatkan hasil perioperativ.
Renstren, mendapatkan, tidak ada perbedaan dalam komplikasi
perioperatif diantara 145 pasien dengan Hb kurang dari 10 gr/dl dengan
group kontrol 412 pasien bedah yang Hbnya normal. Study yang dilakukan
oleh Carson et all terhadap 125 pasien yang menolak transfusi darah,
didapatkan bahwa angka kematian tidak berhubungan dengan kadar Hb ≤
10 gr/dl, tetapi memperlihatkan hubungan antara angka kematian dan
kehilangan darah saat operasi.1,2,6

8
Sangat jelas bahwa menentukan kadar Hb sebelum operasi
diperlukan terutama prosedur pembedahan dengan resiko kehilangan darah
yang banyak.1,6

2. Kimia darah
Pemeriksaan kimia darah rutin pada pasient yang asimptomatik tidak
diperlukan, mahal dan menghasilkan data abnormal yang bisa
mengarahkan pada pemeriksaan lebih lanjut yang tidak diperlukan pada
2,5 – 7,5% pasien, bahkan lebih tinggi pada usia lebih dari 60 tahun.
Permintaan pemeriksaan kimia darah pada masa preoperative harus
spesific berdasarkan pada riwayat, pemeriksaan fisik dan tipe dari
pembedahan (2,6).
Beberapa pemeriksaan kimia darah yang sering dilakukan :
a. Glukosa
Indikasi pemeriksaan gula darah : 2,5
- Prosedur intracranial dan cardiac
- Obesitas dan umur > 60 tahun
- Infeksi jaringan lunak
- Pasien dengan medikasi pasien dengan pengobatan steroid sistemik
- Labour and delivery
Tidak ada bukti yang mendukung bahwa teori pengontrolan ketat kadar
gula darah di ruang operasi akan meningkatkan outcome perioperative
pada kebanyakan pembedahan. Bagaimanapun pada bedah jantung
terbuka dan intracranial menjaga kadar glukosa pada level 200 s/d 250
mg/dl menunjukkan peningkatan outcome.2
Sangat penting untuk menghindari terjadinya hipoglikemia yang berat
(GD < 50 mg/dl) karena bisa menyebabkan kerusakan otak yang
menetap. Oleh karena itu manajemen perioperative terhadap pasien

9
diabetes adalah dengan hiperglicemia ringan dengan GD 200-300
mg/dl, walaupun tidak ideal.9

b. Kreatinin1,2
Kreatinin adalah penanda paling bagus untuk menilai glomelular
filtration rate dibandingkan dengan blood urea nitrogen. Nilai
kreatinin tidak akan meningkat, sampai 50% dari fungsi ginjal telah
hilang.
Kaplan et.all, mendapatkan prevalensi renal insufisiensi pada pasien-
pasien yang asimtomatic dengan tidak ada riwayat penyakit ginjal
hanya sekitar 0,2%.
Indikasi pemeriksaan kreatinin :
- Operasi dengan resiko perioperative renal ischemic
- Penyakit dengan peningkatan prevalensi disfungsi ginjal seperti
DM, hipertensi
- Riwayat penggunaan obat-obat yang bersifat toksik terhadap ginjal
seperti : IV contrast, aminoglycosida, ACE inhibitor, tanpa
petunjuk creatinin sebelumnya.

c. Elektrolit2,5
Pada pasien yang sehat tidak diperlukan pemeriksaan Na, K, HCO3-,
Cl- atau Mg level. Insiden abnormalitas yang bermakna pada pasien
yang sehat sangat rendah dan tidak ada bukti bahwa nilai abnormalitas
yang ringan mempengaruhi out come perioperative. Vitez at.all,
mendapatkan sedikit masalah perioperative pada pasien Hipokalemia
lebih dari 2,5 meq/l tanpa terapi digoxyin atau riwayat aritmia.

10
Magnesium harus diperiksa pada pasien-pasien dengan
hipokalemia atau ada riwayat aritmia.

Beberapa indikasi pemeriksaan kalium :


- Pemakaian diuretik, digoksin, amphoteresin
- Gangguan fungsi ginjal
- Riwayat aritmia yang serius
- Hipertensi sedang dan berat

d. Tes Fungsi Hati1,2


Penentuan enzim hati penting dalam mendeteksi penyakit-penyakit
hati yang mempengaruhi metabolisme obat-obat anesthesia,
peningkatan toksisitas dan fungsi coagulasi. Sejak pemakaian
halothane semakin jarang dan insiden peningkatan enzim hati yang
bermakna pada pasien yang asymptomatik rendah, pemeriksaan enzim
hati normalnya tidak diindikasikan.

Pemeriksaan SGOT dilakukan pada :


- Bedah abdomen bagian atas
- Pasien dengan peningkatan resiko hepatitis
- Pasien dengan riwayat paparan dengan bahan / obat yang merusak
fungsi hati
Bila nilai SGOT lebih besar dari 2 kali nilai normal memerlukan
investigasi lebih lanjut terhadap enzim hati yang lain, seperti bilirubin,
SGPT dan hepatitis panel.

e. Fungsi Koagulasi1,2,5,6

11
Bila tidak ada riwayat atau pemeriksaan fisik yang mengarah pada
kemungkinan atau abnormalitas coagulasi, maka pemeriksaan
protrombin time, partial tromboplastin time, bleeding time tidak
diperlukan. Barber at.all, tidak mendapatkan hubungan langsung antara
perdarahan intraoperatif dengan abnormal bleeding time.
Pemeriksaan koagulasi diindikasikan pada :
- Riwayat pemakaian anti koagulan
- Sangkaan adanya penyakit hati
- Perdarahan aktif
- Riwayat gangguan perdarahan

f. Urinalisis5
Pemeriksaan rutin urinalisis sebagai penyaringan sebelum anestesia
untuk bedah elective memberikan sedikit atau tidak informative, dan
pada kebanyakan hal mencerminkan pengukuran kimia darah. (1,2,5,6)

g. Tes Kehamilan6
Pemeriksaan rutin kehamilan pada wanita, masih kontroversial.
Rasionalitas merekomendasikan pemeriksaan ini adalah kemungkinan
untuk menghindari obat-obat tertentu dan apakah bedah terencana bisa
ditunda.
Sebagai pengganti, mengetahui riwayat menstruasi yang terakhir dapat
menolong menentukan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak.

3. Elektrocardiogram (EKG)
Penyakit jantung adalah penyebab paling sering terhadap morbiditas
dan mortalitas post operative. Preoperativ EKG digunakan untuk menilai
resiko komplikasi jantung, mengarahkan manajemen dalam usaha untuk

12
meringankan komplikasi dan menyediakan acuan sebagai pembanding bila
muncul problem setelah pembedahan.1
Diperkirakan 30% dari Infark myocard tidak menampakkan keluhan
dan hanya bisa dideteksi dengan rutin EKG, dengan insiden lebih tinggi
pada pasien dengan diabetes dan hipertensi. Tidak terdapatnya Q waves
pada EKG tidak menyingkirkan adanya Infark myocard sebelumnya,
karena Q waves mungkin tidak muncul pada periode lebih dari 10 tahun.
Namun demikian, bila tidak ada data klinis berdasarkan riwayat dan
pemeriksaan fisik, EKG rutin untuk bedah terencana tidak diperlukan pada
pasien lebih muda dari 40 tahun .5,6.
Ada lima faktor yang berhubungan dengan resiko tinggi untuk
timbulnya Infark myocard postoperative :1
- Umur lebih dari 70 th
- Riwayat Dispneu, Ortopneu, edema
- Murmur dari mitral regurgitasi
- Lebih dari 5x ventricular extra systole
- Kalsifikasi aorta pada photo thorax

Pre operatif 12 lead EKG menyediakan informasi tentang keadaan otot


jantung dan sirkulasi koroner. Bukti adanya aktif Ischemia dapat dideteksi
dan biasanya membutuhkan perubahan minimal 2 leads. Sensitifitas EKG
12 lead sebagai penanda abnormalitas untuk penyakit jantung tergantung
pada populasi pasien. Abnormal Q wave pada pasien yang beresiko tinggi,
adanya dugaan MCI yang lalu lebih tinggi. 5
Bebarapa indikasi untuk melakukan preoperatif EKG :
- Pasien dengan riwayat dan pemeriksaan fisik dicurigai adanya
penyakit kardiovaskular

13
- Pasien dengan penyakit sistemik yang berhubungan dengan penyakit
jantung seperti hipertensi dan DM.
- Pasien dalam terapi obat-obatan yang bersifat toksik terhadap jantung
- Gangguan elektrolit
- Operasi mayor
- Umur lebih dari 40 tahun pada pria dan lebih dari 55 tahun pada wanita

4. Photo rontagen dada


Tidak ada alasan untuk melakukan photo rontagen dada sebelum
anestesia untuk bedah terencana pada pasien kurang dari 40 tahun dengan
tidak ada bukti chest disease dari riwayat dan pemeriksaan fisik. 1,6
Studi yang dilakukan oleh Royall Colleague Of Radiologist tahun
1979, bahwa tidak ada bukti photo rontagen dada, bahkan pada pasien
resiko tinggi merubah manajemen perioperatif atau memprediksi
komplikasi kardiopulmonal. Beberapa keadaan dimana photo rontagen
dada preoperatif di indikasikan adalah : 1,2
- Kemungkinan Pneumonia pada pasien dengan Charonic Obstruktif
Pulmonary Disease (COPD) yang parah
- Menilai adanya Cardiomegali
- Menilai adanya Metastasis pada proses keganasan.
- Usia 60 th atau lebih, perokok, obesitas
- Intrathoracix prosedure.
5. Tes Fungsi Paru5
Tes fungsi paru tidak penting bila tidak didasari oleh riwayat klinis dan
pemeriksaan fisik pada pasien – pasien yang akan menjalani bedah
terencana, kecuali procedure thorax. Ada dua kategori test fungsi paru :
Spirometri dan analisa gas darah. Spirometri dapat memberikan informasi
tentang FVC, FEV1, rasio, FEV1/FVC, dan rata – rata FEV sekitar 25 – 75

14
%. Dengan adanya pulse oxymeter, sampling AGD menjadi kurang
penting tapi masih di indikasi untuk menentukan acuan tekanan parsial
CO2, bicarbonat dan konsentrasi oxigen.

III. Monitoring Intra Operativ


Monitoring mencerminkan suatu proses dimana ahli anesthesi mengenali dan
mengevaluasi masalah fisioiologis yang potensial untuk menentukan kecenderungan
prognosis pasien dalam waktu yang tepat. Monitoring yang efektif menurunkan
potensi outcome yang jelek dengan mengidentifikasi abnormalitas sebelum berakhir
ke hal yang serius dan irreversible.5
Standar untuk monitoring dasar anestesi sudah diadopsi dari ASA dengan
“kewaspadaan” merupakan motto dari organisasi ini. Kewaspadaan yang terus
menerus dari ahli anesthesi diperluas dan ditingkatkan dengan menggunakan
peralatan monitoring yang di ciptakan untuk menyediakan data objektif yang relevan
dari pasien yang di anesthesi.4,5,6

A. Monitor Jantung
1. Tekanan Darah Arteri
Pengukuran tekanan darah arteri selama operasi adalah sebagai
indikator penting adequatnya sirkulasi. Perubahan di dalam tekanan darah
sistolic dan diastolic berhubungan dengan perubahan kebutuhan otot
jantung dan tekanan perfusi arteri coroner. Mean Arterial Presssure
(MAP) mencerminkan tekanan hydrostatic sebagai tenaga untuk fungsi
difusi dan filtrasi.5
Pengukuran tekanan darah Arteri sangat dipengaruhi oleh tempat
pengukuran, pengukuran di arteri radialis biasanya lebih tinggi dari
tekanan sistolic aorta.4

15
a. Tekanan Darah Arteri non invasif 3,4,5
Anesthesia umum dan regional merupakan indikasi absolut untuk
melakukan pengukuran tekanan darah. Teknik dan frekuensi
pengukuran sangat tergantung pada kondisi pasien dan tipe
pembedahan.
- Palpasi
Teknik ini cenderung mengukur tekanan darah sistolic lebih rendah
dan tidak bisa mengukur tekanan darah diastolic serta MAP.
- Auscultasi
Insuflasi tekanan ke dalam cuff diantara tekanan sistolic dan
diastolic akan menyebabkan colaps parsial dari arteri di bawahnya
yang menghasilkan aliran turbulent dan bunyi khas korotkoff
sound. Tekanan sistolick diukur bersamaan dengan munculnya
bunyi korotkoff dan tekanan diastolic diukur pada saat bunyinya
hilang.
- Oscillometer

Pulsasi arterial menyebabkan oscilasy di dalam cuff. Osilasi kecil bila


cuff diberi tekanan diatas tekanan sistolic, ketika tekanan turun ke tekanan sistolic pulsasi
akan melewati cuff dan osilasi meningkat secara nyata. Maksimal osilasi terjadi pada saat
MAP dan setelahnya menurun sampai menjadi lemah yang diukur sebagai tekanan
diastolik.

16
- Doppler Probe
Ketika Doppler probe mengganti jari ahli anesthesi,
pengukuran tekanan darah menjadi cukup sensitif untuk
digunakan pada pasien gemuk, anak-anak, dan pasien-
pasien yang shock. Doppler efek adalah pergeseran
frekuensi yang nyata dari gelombang suara ketika
sumbernya bergerak relatif terhadap pendengar. Hanya
tekanan darah sistolic yang dapat di tentukan dengan cara
ini.

b. Tekanan darah arteri invasif 4


Indikasi untuk pemeriksaan ini termasuk teknik hipotensi,
antisipasi terhadap penurunan tekanan darah intraoperatif yang dalam,
end organ disease, kebutuhan untuk Analisa Gas Darah (AGD) serial.
Beberapa arteri bisa dipilih untuk percutaneus cateter diantaranya a.
radialis, ulnaris, brakialis, femoralis, dorsalispedis, posterior tibia, dan
axillary.
Komplikasi dari monitoring ini termasuk hematoma, perdarahan,
vasospasm, trombosis, emboli, kerusakan saraf, infeksi, suntikan obat
kedalam arteri. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingginya
angka komplikasi termasuk kanulasi yang lama, hiperlipidemia,
tindakan yang berulang, wanita. Resiko bisa diminimalkan dengan
penggunaan cateter yang lebih kecil, heparinisasi, aseptic teknik,
flushing cateter dibatasi.

2. Elektrocardiogram (EKG) 4,6

17
EKG adalah rekaman potensial elektrik yang ditimbulkan oleh sel-sel
otot jantung. Semua pasien harus mempunyai EKG Intraoperatif, karena
ini sudah menjadi standar pada pasien – pasien yang akan menjalani
operasi. EKG informatif untuk mendeteksi cardiac dysrhitmia, myocardial
ischemia, elektrolite change, Conduction abnormality, pacemaker
mulfunction.
Pemilihan lead menentukan sensitifitas diagnostik dari EKG. Lead II
paling sering digunakan untuk mendeteksi dysrhitmia dan myocardial
ischemia. Lead V5 paling sensitif untuk menilai adanya ischemia
anterolateral wall.
Artefact tetap menjadi masalah pada monitoring EKG, pasien atau
lead wire movement, elektrocauter unit, elektroda yang salah bisa muncul
seperti dysrhitmia.

3. Kateter Vena Sentral 4,6


Kateter vena sentral di indikasikan untuk monitoring tekanan vena
sentral untuk manajemen cairan pada hipovolemia dan shock, parenteral
nutrisi, aspirasi emboli udara, akses vena pada pasien dengan vena periver
yang colaps. Kontra indikasi pemakaian Kateter vena sentral termasuk
expansi sel tumor ginjal ke atrium kanan, anticoagulant terapi, carotid end
arterectomy.
Normalnya fungsi jantung memerlukan pengisian ventrikel yang
adequat oleh darah vena. CVP memperkirakan tekanan atrium kanan yang
merupakan determinan penting end diastolic volume ventrikal kanan. Pada
jantung yang sehat, performance ventrikal kanan dan kiri paralel sehingga
pengisian ventrikel kiri bisa dinilai dengan Kateter vena sentral. Pemilihan
tempat pemasangan mempunyai keuntungan dan kerugian tersendiri.

18
Tabel. Tempat Pemasangan Kateter Vena Sentral

Pembuluh darah Keuntungan Kerugian


Vena jugular internal kanan Marker jelas Menembus arteri karotis
Bentuk anatomi bisa diprediksi Cedra pada plexus brachial
Vena jugular internal kiri sda sda
Subclavia Marker jelas Pneumothorax
Tetap paten meskipun hipovolemia
Pasien nyaman saat bangun
Superfisial
Vena jugular eksternal Kesulitan memasukan kateter
Aman kedalam sirkulasi sentral
Vena antecubiti Sda

B. Monitor Pernapasan4,6
1. Stethoscope
Informasi yang bisa diperoleh termasuk konfirmasi ventilasi, kualitas
suara nafas, irama jantung.
2. Pulse Oximetry
Dalam hal saturasi O2, pulse Oximetry memberi petunjuk tentang
perfusi jaringan dan mengukur denyut jantung. Tergantung pada kurva
disosiasi oxy-Hb, saturasi 90% menunjukkan Pa02 kurang dari 65 mmHg.
Bandingkan dengan sianosis yang bisa dideteksi secara klinis yang
membutuhkan desaturasi Hb sampai dengan 5 gr % biasanya sesuai
dengan SpO2 kurang dari 80%. Intubasi kedalam bronchus tidak akan
terdeteksi oleh pulse oximetry pada keadaan tidak adanya penyakit paru
atau konsentrasi oksigen inspirasi yang rendah.
Ear probe mendeteksi perubahan saturasi lebih cepat dari finger
probe. Penyebab lain artefak pulse oximetry termasuk ambient light,
motion, methilen blue dye, perfusi yang rendah (penurunan curah jantung,
penurunan Hb, Hypothermia, peningkatan tahanan vaskuler sistemik),

19
malposisi sensor, leakage sinar. Namun demikian pulse oximetry dapat
bermakna menolong untuk antisipasi yang cepat dari hipoksia, monitoring
oksigen delivery, mengidentifikasi masalah pernapasan post operatif
seperti hypoventilasi, bronchospasm, atelektasis.
3. Capnograf6
Penentuan konsentrasi End tidal CO2 untuk konfirmasi ventilasi
yang adequat digunakan dalam semua teknik anesthesia. Capnograf adalah
pengukuran yang terus menerus terhadap konsentrasi CO2 respirasi pasien.

Tabel. Penyebab Perubahan Konsentrasi Exhalasi Carbon Dioksida


Meningkat Menurun
Hipoventilasi Hyperventilasi
Malignant hyperthermia Hipothermia
Sepsis Cardiac Ouput yang rendah
Rebreathing Emboli paru
Pemberian Bicarbonate Diskonneksi atau tracheal extubation
Insufflasi carbon dioxisida selama Henti jantung
laparoscopy

Dua tipe capnography yang biasa digunakan berdasarkan pada absorbsi


sinar infra merah oleh CO2 dengan metode ini berkas sinar infra merah
diproyeksikan melalui gas sample dan intensitas sinar yang ditransmisikan
diukur. C02 mengabsorbsi sinar infra merah dengan panjang gelombang
mendekati 4.300 nm.
Beberapa molekul lain seperti gas anesthesia (terutama N2O), uap air,
CO dan O2 juga mengabsorbsi sinar dalam spektrum ini sehingga dapat
mengganggu pengukuran kadar CO2. Tetapi dalam praktek adanya gas
sampling sel, sumber sinar infra merah dengan panjang gelombang yang
tetap, kemudian elektronik sirkuit kompensating secara otomatis akan
mengoreksi interferensi dari gas lain.
Display bentuk gelombang Capnography lebih informatif dibanding
dengan pencatatan digital dari konsentrasi CO2.

20
4. Analisa Gas Darah10
Beberapa dekade yang lalu pengukuran konsentrasi ion H+ sulit dan
membutuhkan waktu yang lama, sekarang ini beberapa analyzer sudah
tersedia sehingga penilaian terhadap gangguan asam basa menjadi cepat,
mudah dan dapat dipercaya.
Bila gas respirasi tidak dapat monitor secara kontinyu, dalam setting
ruang operasi modern secara serial dilakukan pemeriksaan darah arteri
untuk menilai adequatnya oksigenasi. Dalam rutin anesthesia sulit untuk
menentukan kapan pemeriksaan harus dilakukan. Gravenstein at all,
menganjurkan bila ada tanda – tanda klinis menunjukkan adanya bukti in
adequat atau excecive ventilasi.
Tanda-tanda inadequat ventilasi diantaranya warna biru kehitaman
pada darah, mucous membrane, kulit, kuku, penurunan atau peningkatan
tekanan nadi dan MAP serta penurunan denyut jantung. Berkeringat,
tekanan nadi yang lebar, peningkatan tekanan sistolic, takicardia sering

21
muncul dengan hipercarbia. Aritmia mungkin dipicu oleh hipoksemia atau
hiperkarbia.

C. Monitor Sistem Saraf


1. Elektroensefalogram (EEG)3,4
Elektroensefalogram (EEG) adalah monitor fungsi serebral yang dapat
menunjukkan adanya bukti iskemia selama prosedure endarterectomi,
Cardiopulmonar bypass, controled hypotention. EEG juga disarankan
untuk memonitor kedalaman anesthesia.
Selama periode iskemia serebral atau pasien dalam anesthesia umum
aktivitas EEG kemungkinan menurun baik amplitudo dan frekwensinya.
EEG merekam potensial elektrik yang ditimbulkan oleh sel – sel dari
corteks serebri. Posisi elektroda (Montage) 10 – 20 system international
dianjurkan dalam hal ini. Perbedaan potensial elektrik diantara kombinasi
elektroda disaring, diperkuat dan dimunculkan dengan osiloscope atau pen
perekam.
Sinyal elektrik sukar untuk diukur dan dievaluasi secara akurat di
ruang operasi karena low voltage (10-100 mv, yang 1000x < dari EKG)
dan variasi dari frekwensi (1- 30 Hz). Karena kompleksitas dari EEG dan
interpretasinya, kejadian-kejadian fisiologis yang tidak bisa diprediksi
(perubahan suhu tubuh, PaCO2) serta pengaruh obat-obat anesthesi
membuat EEG jarang digunakan untuk monitoring.
2. Bispectral Index (BIS)4,5,6
BIS mengambil data yang diproses oleh EEG dan melalui sejumlah
langkah perhitungan menjadi angka pada level 0 – 100, yang menunjukkan
efek sedatif dan hipnotif dari obat – obat anesthesi terhadap sistem saraf
pusat. Angka kurang dari 60 sesuai dengan unresponsive selama operasi
dan rendahnya kemungkinan untuk sadar selama operasi.

22
Titrasi konsentrasi gas anesthesi dan kecepatan infus dari obat-obat
injeksi untuk menjaga BIS pada nilai sekitar 60 menghasilkan penurunan
jumlah total obat yang digunakan serta pulih sadar yang lebih cepat.
Artefak dan biaya masih menjadi masalah pada monitoring ini.
Beberapa kasus pernah dilaporkan sadar atau terbangun intraoperative
dengan nilai BIS < 65, sehingga masih dipertanyakan apakah teknik ini
akan menjadi standar monitor di masa mendatang.

3. Evoked Potensial (EP) 4,5


Evoked Potensial adalah respon elektrofisiologis dari sistem saraf
terhadap rangsangan (somatic, auditoriy, visual) sehingga dapat menilai
integritas fungsional dari neural pathway selama anesthesi.
Monitoring ini diindikasi pada prosedur bedah yang berhubungan
dengan kemungkinan cedera saraf seperti cardiopulmonary by pass,
carotid end arterectomi, spinal fution dengan Hurrington rods, thoraco
abdominal aortic anurisma repair, dan craniotomi. Global iskemia karena
hipoksia dan overdose anesthetic dapat dideteksi.

23
Evoked potensial diubah oleh beberapa variabel lain selain kerusakan
saraf, volatille anesthetic, hypothermia, akan menimbulkan perubahan
dalam periode latin dan amplitudo dari EP yang dapat menyerupai
perubahan yang dihasilkan oleh neural iskemia. Oleh karena itu keadaan –
keadaaan fisiologis seperti tekanan darah, suhu, O2 saturasi dan faktor –
faktor farmakologic harus dijaga tetap konstan.
EP diukur dengan meletakkan elektroda pada scalp. Bila intervening
pathway intact, EP akan ditransmisikan ke contralateral sensory cortek.
EP digambarkan dalam hubungan voltage dan waktu, yang bentuk
gelombangnya terdiri dari poststimulus latency (waktu antara stimulasi dan
deteksi potensial) dan peak amplitudo. Bentuk gelombang ini kemudian
dibandingkan dengan baseline. Banyak senter mendefinisikan bahwa
penurunan amplitudo lebih dari 50% dan pemanjangan fase laten lebih dari
10% secara klinis signifikan terhadap perubahan EP. Kehilangan yang
menetap dari EP diperkirakan adanya defisiensi neurologic post operativ.

D. Monitor tambahan
1. Temperatur3,4
Suhu pasien-pasien yang akan menjalani anesthesia umum harus
dimonitor, mungkin prosedur yang singkat (kurang dari 15 menit)
pengecualian untuk tindakan ini. Selama operasi biasanya suhu diukur
dengan menggunakan thermistor atau thermocouple. Thermistor adalah
suatu bahan semi konduktor yang resistensinya menurun dengan
pemanasan atau peningkatan suhu. Thermocouple adalah sircuit dari
gabungan 2 metal yang perbedaan potensialnya ditimbulkan ketika metal
berada dalam temperatur yang berbeda.
Hypothermia didefinisikan suhu tubuh kurang dari 360C yang sering
terjadi selama anesthesia dan pembedahan. Perioperatif hypothermia
berhubungan dengan meningkatnya angka kematian.

24
Tabel. Efek Yang Membahayakan Dari Hipotermia
Gangguan irama jantung
Meningkatkan tahanan pembuluh darah perifer
Menggeser kurva disosiasi Hb-O2 ke kiri
Gangguan coagulasi
Katabolisme protein dan stress response postoperative
Perubahan status mental
Merusak fungsi ginjal
Menurunkan metabolisme obat
Memperlama penyembuhan luka

Core temperatur biasanya turun sampai 1-20C selama jam pertama


general anesthesia (fase 1) diikuti dengan penurunan yang lebih gradual
selama 3-4 jam berikutnya (fase 2) dan akhirnya mencapai point steady
state.

Normalnya hypothalamus menjaga temperatur inti tubuh dalam batas yang


sempit. Peningkatan suhu tubuh akan menimbulkan keringat dan
vasedilatasi, penurunan suhu tubuh akan mencetus vasokonstriksi dan

25
menggigil. Selama anesthesia umum tubuh tidak bisa mengkompensasi
terhadap hypothermia karena tindakan anesthesia menghambat kontrol
thermoregulasi dengan menganggu fungsi hypothalamus. Spinal dan
epidural anesthesia juga menyebabkan hipotermia karena vasodilatasi dan
internal redistrubusi dari panas.

2. Produksi Urin4,6
Kateterisasi urin dari kandung kemih adalah satu-satunya metode yang
bisa dipercaya untuk monitoring produksi urin. Produksi Urin
mencerminkan perfusi dan fungsi ginjal sehingga merupakan indikator
dari kondisi ginjal, Kardiovaskuler, dan status volume cairan.
Produksi urin yang tidak adequat (oliguria) didefinisikan dengan
jumlah kencing yang keluar kurang dari 0,5 CC/kg BB/jam, tapi itu
sebenarnya adalah sebagai fungsi dari pemekatan urine dan beban osmotic.
Pemakaian kateter urine diindikasikan pada pasien-pasien dengan
gagal jantung, gagal ginjal, penyakit hati lanjut, dan Shock. Kateterisasi
juga rutin dilakukan pada prosedur bedah seperti operasi jantung, bedah
vaskuler aorta atau ginjal, prosedur bedah dengan kemungkinan
pergeseran cairan yang besar, pemberian diuretic intra operatif dan
prosedur yang lama.

3. Stimulasi Saraf Periver4,6


Karena sensitifitas pasien terhadap relaxant bervariasi maka fungsi
neoromuscular harus dimonitor.4,6 Dalam hal ini stimulasi saraf periver
sangat menolong menilai paralisis selama rapid induction, melokalisasi
saraf yang terblok oleh anesthesia regional, dan menentukan luasnya
blockade sensory.

26
Peripheral nerve stimulator mengirimkan arus dengan frekwensi dan
amplitudo yang bervariasi ke sepasang electroda yang diletakkan di atas
saraf motorik perifer. Timbulnya respons mekanik atau electric dari otot
yang di inervasi di amati.
Pola electrikal nerve stimulator yang sering digunakan untuk menilai
fungsi neuromuscular adalah single twitch, train of four, tetanic, post
tetanic count, dan double burst stimulation.

IV. Evaluasi post operative


Pemulihan dari anesthesia umum atau regional dapat menganggu keadaan
fisiologis yang bermakna pada kebanyakan pasien. Sebelum adanya ruang
pemulihan/recovery room, banyak kematian di awal periode post operativ terjadi
segera atau dalam waktu yang cepat setelah anesthesia dan pembedahan. Kebanyakan
dari kematian ini bisa dicegah dan kenyataan ini mendorong untuk membangun Post
Anesthesia Care Unit (PACU) yang modern. Periode emergency pulih dari anesthesia
berhubungan dengan tingginya insiden mengancam nyawa, sirkulasi, dan problem
pernapasan sehingga masalah seperti ini harus dicegah dan diterapi oleh staf recovery
room yang berpengalaman.2,6
Sampai saat ini studi di PACU masih jarang, satu studi yang dilakukan pada 18.473
pasien yang masuk ke PACU 23,7% nya mempunyai komplikasi.6

27
a. Komplikasi Pernapasan2,4
1. Sumbatan jalan napas.
Penyebab paling utama sumbatan jalan napas adalah jatuhnya lidah ke
posterior pharynx. Kondisi ini ditandai dengan tidak adanya suara nafas,
retraksi, interkostal dan suprasternal, paradoxical chest movement.
Metode paling efektive untuk menghilangkan sumbatan adalah dengan
extensi kepala, dengan atau tanpa dorong mandibula dan pemberian
oksigen murni dengan sungkup muka.
Laringospasme adalah penyebab lain dari sumbatan jalan nafas yang
dipicu oleh secret atau darah di jalan nafas. Exstensi kepala dan dorong
mandibula serta oksigen murni dengan ventilasi positif sangat memuaskan
pada laringospasme yang inkomplit. Pada komplit laringopasme disamping
manuver tadi pasien harus segera diberikan succinil choline 10 mg iv.
Sumbatan jalan nafas karena laringeal edema bisa diterapi dengan
humydifier inhaled gas, pemberian nebulize rasemic epinefrine (0,25-0,5
ml dari 2,25% epinefrine dalam 5 CC air atau normal saline). Pemberian
dexamthasone 0,15 mg/kg BB iv sudah digunakan untuk terapi laringeal
edema, tapi manfaat dari terapi ini masih dipertanyakan.
Tindakan operasi harus dipikirkan sebagai salah satu penyebab
sumbatan jalan napas seperti hematoma dan vocal cord paralisis.
2. Hipoventilasi
Hipoventilasi yang akan menyebabkan hipercarbia sangat mungkin
terjadi di awal periode post operative.

Tabel. Faktor Yang Menyebabkan Hipoventilasi Postoperatif


Obat-obatan (gas anesthesi, opioids, relaxant)
Suboptimal ventilatory muscle mechanics
Peningkatan produksi CO2
Penyakit paru obstruktif

28
Diagnosa hipoventilasi memerlukan pengukuran PaCO2 (lebih dari 45
mm Hg) dengan tanda-tanda retensi CO2 seperti tachicardia, somnolen
yang dalam, dan pada keadaan yang lanjut bisa muncul cardiac irritabel
serta depresi sirkulasi.
Pemberian naloxone 20-40 µg tiap 2 menit sampai dengan 200 µg
secara hati-hati untuk menghilangkan efek narkotik, flumazenil digunakan
untuk mengantagonis efek benzodiazepin. Pada kasus inkomplit reversal
relaksant dan ekstrim sensitivity terhadap pelumpuh otot intubasi trakhea
tetap dipertahankan sampai pasien menunjukkan kekuatan otot yang
adequat dengan tanda bisa mengeluarkan lidah atau mengangkat kepala
paling kurang 5 detik serta menggerakkan tangan secara kasar. Diberikan
antikholinesterase tambahan sampai efek dari pelumpuh otot menghilang.

3. Hipoksemia
Hipoksemia darah arteri (PaO2 < 60 mmhg) pada periode awal
postoperative paling mungkin karena pengaruh dari obat – obat anesthesi
atau pembedahan, terutama upper abdominal surgery (PaO2 bisa turun
sampai dengan 20mmhg).

Tabel. Faktor Yang Menyebabkan Hipoksemia Postoperativ


Right – to – left intrapulmonary shunt (atelectasis)
Mismatching of ventilation – to – perfusion (decreased functional residual
capacity)
Penurunan curah jantung
Alveolar hypoventilation (efek sisa dari obat anesthesi dan/atau neuromuscular
block)
Aspirasi
Emboli paru
Pneumothorax
Posthyperventilation hypoxia
Peningkatan komsumsi oksigen (shivering)
Umur lanjut
Obsesitas

29
Saturasi Hb < 90 % yang sebanding dengan PaO2 < 60 mmhg bisa terjadi
pada awal penurunan oxygen. Tanda – tanda lain seperti hypertensi,
hypotensi, takikardi, bradikardia, gangguan irama jantung, agitasi sifatnya
tidak spesific. Sianosis bisa timbul bila kadar Hb sangat turun.
Hipoksemia arteri di PACU diterapi dengan supplementasi O2, dan
harus diingat ini tidak menghilangkan masalah tapi hanya mengurangi
gejala klinis sambil koreksi yang causativ dikerjakan. Sebagai contoh bila
hipoksemia karena hypoventilasi oleh efek opioid maka pemberian
naloxone dipertimbangkan.
Bila Hipoxemia menetap meskipun sudah dilakukan pemberian Oxigen
100% atau bila Hipercapnia muncul pasien harus diintubasi dan ventilasi
mekanik dilakukan. Pada pasien sepertin ini ventilasi paru dengan
menggunakan PEEP akan meningkatkan FRC dan PaO2. tidak jelas harus
berapa lama pemberian oksigen dilakukan di PACU tapi petunjuknya
adalah bila saturasi O2 lebih dari 94 % dalam waktu lebih dari 15 menit di
PACU.

b. Komplikasi Cardiovaskuler
1. Hipotensi2,4
Penyebab paling umum dari hipotensi pada masa postoperative adalah
hipovolemia.

Tabel. Factor penyebab hipotensi postoperativ


Hipoksemia arteri
Hipovolemia (penyebab paling sering)
Penurunan kontraktilitas otot jantung
Penurunan tahanan vaskuler sistemik
Cardiac dysrhytmias
Pulmonary embolus
Pneumothorax
Cardiac tamponade
Sebelum memulai terapi harus diyakini bahwa hipotensi bukan karena
kesalahan pengukuran. Oliguria (produksi urine < 0.5 cc/kg/jam) bisa
menjadi petunjuk adanya Hipovolemia. Nilai Hematokrit yang rendah

30
ditambah dengan bukti pendarahan pada tempat operasi menduga adanya
hemostasis bedah yang tidak adequat.
Pengobatan diarahkan untuk mengoreksi penyebab yang mendasari
hipotensi. Kateter vena sentral dan arteri pulmonar diperlukan untuk
mendiagnosa etiologi dan terapi yang sesuai untuk hipotensi. Dalam hal
hipovolemia, koreksi dengan kristaloid, koloid atau darah digunakan untuk
menggantikan volume vaskuler. Kaki bisa ditinggikan untuk mendapatkan
efek autotransfusi ke sirkulasi sentral. Vasopresor seperti efedrin (5-10 mg
iv) dan fenilefrine (25-50 µg iv) dibenarkan penggunaannya tapi tidak bisa
menggantikan fungsi resusitasi cairan.
2. Hipertensi4
Hipertensi sering terjadi di PACU dengan berbagai penyebab.

Tabel. Faktor Yang Menyebabkan Hipertensi Postoperativ

Hipoksemia
meningkatnya aktivitas saraf simpatik (nyeri, distensi lambung,
distensi kandung kemih)
hipertensi preoperativ
Hipervolemia

Sebelum memulai terapi sangat penting untuk memastikan bahwa tidak


ada kesalahan pengukuran. Bila nyeri sebagai penyebab maka pemberian
segera opioid (morfin 0.5–3 mg, fentanil 15-50 µg atau sulfentanil 3-15
µg) dan NSAID Ketorolac (0.4 mg/kg berat badan) sampai adequat pain
relief dicapai.
Hipertensi yang menetap dengan penyebab yang tidak jelas sering
diterapi dengan continous infusion vasodilator seperti nitroprusid (sampai
10 µg/kgbb/mnt atau total dose 1.5 µg/kgbb untuk 1-3 jam pemberian).
3. Gangguan Irama Jantung2,4

31
Gangguan irama jantung pada awal periode post operasi mempunyai
penyebab yang bermacam.

Tabel. Faktor Yang Menyebabkan Gangguan


Irama Jantung Postoperativ
Hipoxemia
Hipovolemia
Nyeri
Hipothemia
Anticholinesterase
Myocardial Ischemia
Gangguan Electrolite
Hipokalemia
Hipocalcemia
Asidosis respirasi
Hipertensi
Keracunan digitalis
Gangguan irama jantung preoperativ

Prioritas utama dalam penanganan gangguan irama jantung adalah


menjamin patensi jalan nafas dan oksigenasi arterial yang adequat.
Beberapa obat yang digunakan termasuk atropin (3-6 µg/kgbb iv) untuk
meningkatkan denyut jantung, verapamil (75-150 µg/kgbb iv infused lebih
dari 1-3 mnt) untuk menurunkan denyut jantung, lidokain (1-1.5 mg/kgbb)
untuk menekan prematur contraction. Cardioversi diperlukan apabila
atrial atau ventrikular tachydysrhytmia tidak respon dengan terapi obat.
4. Myocardial Ischemia (MCI)2,4
Deteksi dan terapi MCI di PACU sangat penting, karena perioperativ
MCI mempunyai angka kematian yang tinggi dibandingkan dengan yang
terjadi di situasi lain. Diagnosis bisa ditegakkan dengan EKG disertai
dengan adanya keluhan nyeri substernal, peningkatan tekanan diastolik
arteri pulmonar juga mendukung untuk adanya Ischemia. Echocardiografi
lebih sensitif untuk konfirmasi adanya Ischemia.

32
Penatalaksaan, termasuk mengatur balans antara kebutuhan O2 dan
suplai. Suplai dapat ditingkatkan dengan pemberian Oksigen dan menjaga
sirkulasi volume darah yang adequat. Nitrogliserin iv dengan dosis awal
0.25 µg/kgbb/mnt akan menimbulkan vasodilatasi coroner.
Demand dapat diturunkan dengan menurunkan preload, afterload, dan
denyut jantung tanpa menimbulkan hipotensi. Nitrogliserin mungkin
menolong menurunkan preload, hidralazin dapat menurunkan afterload.
Denyut jantung bisa diturunkan dengan betablocker, short acting seperti
esmolol merupakan pilihan.

c. Hipotermia2,4
Sering dijumpai pada masa post operatif karena kehilangan panas.
Kehilangan panas intraoperatif bisa diminimalkan dengan mengatur suhu
ruangan +21o C dan penghangatan gas inhalasi. Hipotermia yang parah dapat
memacu timbulnya ventricular dysrhytmia dan bahkan mild hipotermia dapat
memperpanjang emergence dari anesthesia umum.
Shivvering dapat meningkatkan O2 Consumption sampai 300-400 %
sehingga sangat memungkinkan pasien-pasien dengan CAD sangat beresiko
untuk timbulnya MCI. Suplementasi O2, meperidine 25 mg iv dan penghangatan
permukaan dianjurkan untuk terapi shivvering post operasi.

d. Mual dan Muntah2,4


Merupakan masalah yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien di
PACU. Meskipun jarang menyebabkan masalah serius, muntah yang menetap
dapat memperlama pemindahan pasien dari PACU.

Tabel. Faktor Yang Berhubungan Dengan Meningkatnya


Insiden Mual dan Muntah Postoperativ

Riwayat muntah postoperativ pada anesthesia dan pembedahan sebelumnya


Jenis kelamin wanita

33
Obesitas
Nyeri postoperativ
Tipe pembedahan
Obat anesthetic (opiods, nitrous oxide[?])
Distensi lambung

Pemberian obat-obat prophilactic antiemetic seperti perphenazin 5 mg iv,


droperidol 1.2 mg iv, Odansetron 4-8 mg iv, promethazin 12.5-25 mg iv
diindikasikan. Manfaat anti emetic metoclopramida (10-20 mg iv) kurang jika
dibandingkan dengan droperidol.

e. Oliguria2,4
Oliguria (produksi urin kurang dari 0.5 cc/kgbb/jam) yang muncul di
PACU paling mungkin mencerminkan penurunan aliran darah ke ginjal karena
hipovolemia atau penurunan curah jantung.
Indwelling urinary cateter penting untuk mengetahui dengan cepat oliguria
post operatif pada pasien-pasien beresiko tinggi untuk gagal ginjal.

Tabel. Pasien Dengan Resiko Tinggi Disfungsi Ginjal Postoperativ

Co – Existing penyakit ginjal


Major trauma
Sepsis
Umur lanjut
Transfusi darah intraoperativ
Teknik hipotensi yang lama
Operasi jantung atau pembuluh darah
Operasi saluran empedu

Adanya retensi urine, kingking cateter harus disingkirkan sebelum


pemberian cairan dimulai. Pemberian diuretic untuk meningkatkan produksi
urine pada keadaan hipovolemia berbahaya, dan dapat mempresipitasi
kerusakan ginjal yang lebih lanjut.
Bila menyebabnya tidak jelas, investigasi laboratorium harus dilakukan
seperti elektrolit, kreatinin urine, osmolaritas urine, urine spesific gravity, dan
kadar kreatinin plasma.

34
f. Agitasi2,4
Sebagian kecil pasien yang baru pulih dari anesthesia berada dalam
keadaan agitativ. Kejadian ini lebih sering pada usia muda, hipoxemia,
hipercapnia, unrecognized gastric dilation, retensi urin sebagai penyebab yang
umum terjadi. Persepsi terhadap nyeri pada pasien yang belum sepenuhnya
sadar mungkin muncul dalam bentuk agitasi. Insiden agitasi post operatif juga
sering pada pasien yang mendapat scopolamin sebagai bagian dari premedikasi,
terutama bila obat ini diberikan tanpa opioid.
g. Pulih Sadar Yang Terlambat2,4
Kecepatan bangun/sadar dari pengaruh obat inhalasi berhubungan
langsung secara proporsional dengan alveolar ventilasi dan tidak berhubungan
langsung dengan kelarutan obat dalam darah. Bila durasi anesthesia bertambah
faktor-faktor lain seperti tissue uptake, konsentrasi rata-rata obat yang
digunakan menjadi penting. Sehingga anesthesia yang dalam dan lama dengan
halothan yang relatif soluble agent akan berdampak pada bangun yang lama.
Pengaruh obat-obat intravena tergantung pada farmakokinetik (redistribusi
dan elemination half live) akibatnya penyakit hati, ginjal, umur tua dapat
menyebabkan bangun/sadar yang lama.

Tabel. Penjelasan Yang Mungkin Lamanya Pulih Sadar di PACU


Efek sisa obat (opioids, benzodiazepines, anticholinergics)
Hipothermia
Hipoglicemia
Abnormalitas electroit
Hipoxemia arteri
Peningkatan tekanan intracranial
Emboli udara
Histeria

Bila sisa efek dari opioid mungkin sebagai penyebab, pemberian naloxone
adalah sesuai. Physostigmine (15-45 µg/kgbb iv) efektif untuk menghilangkan

35
efek sistem saraf pusat dari obat anti colinergic (khususnya scopolamine) yang
mempunyai kontribusi terhadap sedasi. Flumazenil (8-15 µg/kgbb iv merupakan
antagonis spesific untuk benzodiazepin.
Bila tidak ada efek farmakologic obat yang dapat menjelaskan tentang
pulih sadar/bangun yang terlambat, penting untuk mempertimbangkan penyebab
lain seperti hipotermia, hipoglicemia, atau peningkatan tekanan intracranial.

h. Kriteria Pemindahan Pasien2,4


Sebelum dilakukan pemindahan pasien dari PACU, pasien dievaluasi oleh
dokter (anesthesiologist) untuk menjamin kontinuitas keselamatan, pasien harus
respon dengan stimuli verbal, full oriented, dapat menjaga jalan nafas,
hemodinamic yang stabil dan tidak ada pendarahan.
Meskipun kriteria untuk discharge dari PACU tidak ada yang standar,
acuan yang paling sering digunakan adalah sistem scoring (Aldrete Score).
Idealnya pasien bisa dipindahkan dari PACU bila total skor 9-10.

Tabel. Kriteria Untuk Menentukan Pemindahan Pasien


Dari PACU
Variabel Yang Dinilai Skor
Aktivitas
Mampu menggerakkan empat extremitas dengan perintah 2
Mampu menggerakkan dua extremitas dengan perintah 1
Tidak ada respon 0
Pernapasan
Mampu untuk bernapas dalam dan batuk secara bebas 2
Dyspnea 1
Apnea 0
Sirkulasi
Tekanan darah sistemik ± 20% dari level preanesthesia 2
Tekanan darah sistemik ± 20% - 49% dari level preanesthesia 1
Tekanan darah sistemik + 50% dari level preanesthesia
Kesadaran 0
Sadar penuh
Dapat dibangunkan 2
Tidak respon 1
Saturasi oksigen (pulse oximetry) 0
> 92% bernapas dengan udara kamar
Needs Supplemental oxgen to maintain saturation 2
> 90% 1

36
< 90% dengan supplementasi oksigen 0

V. Kesimpulan
- Evaluasi Perioperative yang baik sangat diperlukan untuk mempersiapkan
pasien dalam kondisi optimal sebelum operasi, pengelolaan pasien intraoperasi
dan memprediksi kemungkinan resiko perioperative.
- Peranan Dokter Anesthesi sangat penting dalam pengelolaan pasien selama
periode perioperative.

37
DAFTAR PUSTAKA
1. Goldman DR, Brown FH, Guarnieri DM. Perioperative Medicine. 2rded. New
York; McGraw–Hill, 1994; 3-21.
2. Stone DJ, Mathes DD, Leisure GS. Perioperative Care. 1rd ed. St. Louis;
Mosby-year book, 1998; 3-8, 523–542, 713–725
3. Fleisher LA, Royzen MF, James at all. Miller’s Anesthesia. 6rd. Philadelphia;
Churchill Livingstone, 2004; 893–923, 1191–1227.
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology; Patient Monitors.
3rd ed, New York; McGraw-Hill, 2002; 86-125.
5. Barash PG, Stoelting RK, Fleisher LA. Clinical Anesthesia; Preoperative
Evaluation. 4rd ed. Philadelphia; Lippincott Williaws & Wilkins, 2001;
473-487.
6. Stoelting RK, Miller RD. Basics of Anesthesia. 4rd ed. Philadelphia; Churchill
Livingstone, 2000; 108 – 117, 209 – 221.
7. Boulton TB, Blogg CE. Ostlere & Bryce Smith’s Anesthestic for Medical
Students. 10rd ed. 1989, Jakarta; EGC, 72-82.
8. Lunn JN. Lecture Notes on Anaesthetics. 4rd ed, 1991 Jakarta; EGC; 5-27, 88-
90.
9. Murray M.D, Coursin DB, Fleisher LA. Preoperative Assessment in Critical Care
Medicine, Perioperative Management. 2rd ed. 2002, Philadelphia;
Lippincott Williams & Wilkins; 1-12.
10. Gravenstein JS, Paulus DA. Monitoring Practice In Clinical Anesthesia. 1 rd ed,
1982. Philadelphia; J.B. Lippincott Company; 1993-1994.

38
39

Anda mungkin juga menyukai