Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

TATALAKSANA ANESTESI PADA APENDEKTOMI APENDISITIS AKUT

Disusun Oleh: Tuti Lisnawati N. Purba 0810713085 Pembimbing: dr. A. Andyk Asmoro, Sp.An

LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG 2013

DAFTAR ISI Judul .......................................................................................................... i Daftar Isi .................................................................................................... ii Bab I Pendahuluan .................................................................................... 1 Bab II Tinjauan Pustaka ............................................................................. 3 Bab III Laporan Kasus ................................................................................ 21 Bab IV Pembahasan .................................................................................. 29 Bab V Penutup ........................................................................................... 36 Daftar Pustaka ........................................................................................... 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan membutuhkan pengobatan operasi pada anak-anak dan dewasa di bawah umur 50 tahun, dengan puncak kejadian pada usia dekade kedua dan ketiga yaitu usia 10-20 tahun. Apendisitis merupakan kasus emergensi obstetrik yang paling sering pada wanita hamil, terjadi sering pada trisemester kedua1. Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan di Negara berkembang yang banyak mengonsumsi makanan berserat. Di Amerika Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan oleh lebih dari 40.000 rumah sakit tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi terjadi apendisitis, dengan rasio laki-laki:perempuan yaitu 1,4:1, dengan resiko seumur hidup apendisitis yaitu pada laki-laki 8.6% dan 6.7% pada perempuan1. Di Indonesia, insiden apendisitis akut jarang dilaporkan. Insidens apendisitis akut pada pria berjumlah 242 sedangkan pada wanita jumlahnya 218 dari keseluruhan 460 kasus. Pada tahun 2008, insiden apendisitis mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena peningkatan konsumsi junk food daripada makanan berserat. Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka diperlukan tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT scan. Tingkat akurasi diagnosis apendisitis akut berkisar 76-92%. Pengobatan untuk apendisitis akut adalah pembedahan, apendiktomi. Sebelum pembedahan, pasien diberikan antibiotik perioperatif yang spectrum luas untuk menekan insiden infeksi luka postoperasi dan pembentukan abses intraabdominal2. Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang tepat, termasuk dalam tindakan apendiktomi kasus apendisitis akut.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka tatalaksana anestesi pada apendiktomi kasus apendisitis akut penting untuk dibahas dalam suatu kajian ilmiah dalam bentuk laporan kasus. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis akut? 1.3 Tujuan Untuk mengetahui tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis akut. 1.4 Manfaat Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis akut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Anestesi Pre-operatif 2.1.1 Penilaian Preoperatif Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan dioperasi. Tujuannya adalah: 1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien 2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu maupun urtikaria). 3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien 4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan) 5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent) kepada pasien. 6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat induksi3. Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan plihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG, foto thorax, dll. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent3.

2.1.1.1 History Taking History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan dan suhu, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis. 2.1.1.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional. Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal. Skoring Mallampati: I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula IV. Hanya terlihat palatum durum

Gambar 2.1. Kriteria Mallampati Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring4. Tabel 2.1 Klasifikasi ASA Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV Kelas V Kelas VI E Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri. Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari. Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal. Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun tanpa operasi. Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan operasi sebagai upaya resusitasi. Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil untuk tujuan donor Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I VI diatas.

2.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang

Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari prosedur bedah yang direncanakan. Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan Pemeriksaan rutin Urinalisis FBC Ureum, Creatinin, Elektrolit ECG Foto Torak Tes fungsi hati (Liver Function Test) Indikasi Pada semua pasien (periksa konsentrasi glukosa darah jika glukosa urine positif) Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua bedah mayor Bedah mayor Umur > 50 tahun Umur > 60 tahun Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.

Tabel 2.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya: No 1 Test Darah Lengkap Indikasi Anemia dan penyakit hematologik lainnya Penyakit ginjal Pasien yang menjalani kemoterapi Penyakit ginjal Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus Nutrisi abnormal Riwayat diare, muntah Obat-obatan yang merubah keseimbangan elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik, diuretic, antihipertensi, kortikosteroid, hipoglikemik agent. Diabetes Mellitus Penyakit hati yang berat Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru kronik Diabetes Mellitus Penyakit respirasi Penyakit kardiovaskuler Pasien sepsis Penyakit paru Pasien dengan kesulitan respirasi Pasien obesitas Pasien yang akan thorakotomi Pasien yang akan operasi thorakotomi Penyakit paru sedang sampai berat seperti

Ureum, creatinin dan konsentrasi elektrolit

3 4

Konsentrasi glukosa darah Elektrokardiografi

5 6

Chest X-ray Arterial blood gases

Test fungsi paru

Skreen koagulasi

Test fungsi hati

10

Tes fungsi thyroid

COPD, bronchiectasis Penyakit hematologic Penyakit hati yang berat Koagulopati Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral (warfarin) atau heparin Penyakit hepatobilier Riwayat penyahgunaan alcohol Tumor dengan metastase ke hepar Bedah thyroid Riwayat penyakit thyroid Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor pituitari

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam keadaan berikut; Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk

hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati. 2.1.1.4 Informed Consent Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent. Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya. 2.1.2 Masukan Oral Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.

Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist, 2011)5 Usia pasien < 6 bln Intake oral Clear fluid Breast milk Formula milk Clear fluid Formula milk Solid Clear fluid Solid Clear fuid Solid Clear fluid Solid Lama puasa (jam) puasa yg diberikan 2 20 cc/kg 3 4 2 10 cc/kg 4 6 2 10 cc/kg 6 2 Puasa mulai jam 12 mlm 2 Puasa mulai jam 8 pagi

6 bln 5 thn

>5 thn Adult, op. pagi Adult, op. siang

2.1.3 Terapi Cairan Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah: Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal (Morgan, 2006)6 Berat Badan 10kg pertama 10kg berikutnya Tiap kg di atas 20kg Jumlah 4 mL/kg/jam + 2 mL/kg/jam + 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa. 2.1.4 Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya: Meredakan kecemasan dan ketakutan Memperlancar induksi anesthesia Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus Meminimalkan jumlah obat anestetik Mengurangi mual muntah pasca bedah Menciptakan amnesia Mengurangi isi cairan lambung Mengurangi reflek yang membahayakan

Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi No. Jenis Obat 1 Sedatif: Diazepam Difenhidramin Promethazin Midazolam 2 Analgetik Opiat Petidin Morfin Fentanil Analgetik non opiat 3 Antikholinergik: Sulfas atropine 4 Antiemetik: Ondansetron Metoklopramid 5 Profilaksis aspirasi Cimetidin Ranitidine Antasid Pemberian premedikasi dapat Dosis (Dewasa) 5-10 mg 1 mg/kgBB 1 mg/kgBB 0,1-0,2 mg/kgBB 1-2 mg/kgBB 0,1-0,2 mg/kgBB 1-2 g/kgBB Disesuaikan 0,1 mg/kgBB 4-8 mg (iv) dewasa 10 mg (iv) dewasa Dosis disesuaikan

diberikan

secara

(a)

suntikan

intramuskuler, diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan 5-10 menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis

obat premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien7. 2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah: a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya c. Alat-alat resusitasi (STATICS) d. Obat-obat anestesia yang diperlukan. e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat dan lain-lainnya. f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya. g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang. h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; Pulse Oxymeter dan Capnograf. i. j. Kartu catatan medic anestesia Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua. Tabel 2.7 Komponen STATICS S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang. Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed). Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas. Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut. Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan. Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia. Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

T A

Tubes Airways

T I

Tapes Introducer

C S

Connector Suction

2.2 Pemilihan Teknik Anestesi

Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini adalah: 1. Usia pasien Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada pasien dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipemukaan dapat dilakukan teknik anestesi lokal atau umum. 2. Status fisik pasien a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami saat itu. Pertanyaa mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus menajadi suatu perhatian saat pasien memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai adanya penyakit neuromuskular, antaralain poliomielitis dan miastenia gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien dengan neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk gejala yang telah ada. b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal atau regional. c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum. d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional, spinal, atau anestesi umum ndotrakeal.

3. Posisi pembedahan Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga dengan pembedahan yang berlangsung lama. 4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah

Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah plastik, dna lain-lain. 5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan. 6. Keinginan pasien Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak membahayakan keberhasilan operasi. 7. Bahaya kebakaran dan ledakan Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter. 8. Pendidikan Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup3. Anastesi Regional dengan Sub-arachnoid Block Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh August Bier (1898) pada praktis klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilikus. Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal8. Anestesi regional meliputi 2 cara yaitu blok sentral yang meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal. Yang kedua adalah blok perifer seperti blok pleksus brachialis, aksiler, anestesi regional intravena, dan lainnya. Anestesi spinal adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi

spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radix anterior dan posterior, radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom3. Tabel 2.8 Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal Indikasi/Kontraindikasi/Komplikasi Keterangan Transurethral prostatectomy (blok pada T10 diperlukan karena terdapat inervasi pada buli buli kencing) Hysterectomy Caesarean section (T6) Evakuasi alat KB yang tertinggal Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian bawah seperti arthroplasty Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal Pasien menolak Deformitas pada lokasi injeksi Hipovolemia berat Sedang dalam terapi antikoagulan Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta Peningkatan tekana intrakranial. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia) Infeksi sekitar tempat penyuntikan Kelainan neurologis Kelainan psikis Bedah lama Penyakit jantung Hipovolemia ringan Nyeri punggung kronis Hipotensi berat Bradikardia Hipoventilasi Trauma pembuluh darah Trauma saraf Mual muntah Gangguan pendengaran Blok spinal tinggi, atau spinal total Nyeri tempat suntikan Nyeri punggung

Indikasi

Indikasi Kontra Absolut

Indikasi Kontra Relatif

Komplikasi Tindakan

Komplikasi Pasca Tindakan

Nyeri kepala karena kebocoran likuor Retensio urine Meningitis Persiapan untuk anestesi spinal pada dasarnya sama dengan persiapan pada anestesi umum. Adapun yang perlu diperhatikan adalah adanya informed consent dari pasien, pemeriksaan fisik (lebih diperhatikan terhadap kemungkinan kelainan spesifik seperti kelainan tulang belakang, kondisi pasien yang gemuk sehingga sulit identifikasi prosesus spinosus, dan lainnya), serta pemeriksaan laboratorium anjuran seperti hemoglobin, hematokrit, PT, dan PTT. Peralatan yag diperlukan dalam anestesi spinal ini terdiri atas peralatan monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetri, dan EKG; peralatan resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point, Whitecare). Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid: 1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

Gambar 2.2 Posisi anestesi spinal 2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukannya, misalnya

L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma medulla spinalis. 3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol. 4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml. 5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G, 23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37C adalah 1,0031,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi3. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi blokade saraf pada pemberian anestesi spinal. Faktor tersebut antara lain barisitas, posisi pasien selama dan sesaat setelah injeksi, serta dosis obat. Pada umumnya makin tinggi dosis dan posisi injeksi, maka level anestesi akan semakin tinggi. Oleh karena itu pada posisi supine head down, cairan hiperbarik akan menyebar ke arah kepala dan cairan hipobarik menyebar ke kaudal dan sebaliknya pada posisi head up. Sementara pada posisi lateral, cairan spinal hiperbarik akan berefek pada bagian yang lebih rendah dan cairan hipobarik akan mencapai daerah yang lebih tinggi6. Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah bupivacaine hiperbarik dan tetrakain. Toksisitas bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam)

dibandingkan lidocain (1-2 jam). Penggunaan lidocain harus diperhatikan karena seringkali menyebabkan transient neurological symptoms (TNS) dan cauda equine sindrom. Namun ada ahli yang menyatakan penggunaan lidokain ini aman pada anestesi spinal dengan dosis terbatas 60 mg dan diencerkan 2.5%. Oleh karena itu penggunaan bupivacaine lebih aman dan lebih efektif6. 2.3 Durante Operasi dan Monitoring Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler6. Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement. Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang6. Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan estimated blood volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi hanya apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu yang tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk menurunkan hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut:

1.

Estimate Blood Volume Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70 cc/kgBB. Tetapi ada sumber yang menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgBB dan wanita 65 cc/kgBB.

2. 3. 4. 5.

Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume darah normal telah dicapai. Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit 30% dengan cara RBCVlost = RBCVpreop RBCV30%. Kehilangan darah yang terjadi = RBCVlost x 3. Kehilangan cairan tambahan diperhitungkan sesuai dengan jenis operasi

apakah ringan, sedang atau berat6. Tabel 2.9 Kebutuhan cairan berdasarkan derajat trauma Derajat Trauma Ringan (herniorrhaphy) Sedang (cholecystectomy) Berat (bowel resection) Kebutuhan cairan tambahan 0-2 ml/kg 2-4 ml/kg 4-8 ml/kg

Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic Monitoring. Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standar ini ditujukan hanya tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan klinis selanjutnya. Standard I Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi. Standard II Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan

temperature pasien harus dievalusi terus menerus.

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah: - Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter - Heart rate, nadi, dan kualitasnya - Warna membran mukosa, dan capillary refill time - Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra) - Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi - Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu. 2.4 Manajemen Anestesi Post Operasi 2.4.1 Recovery dari Regional Anastesi Pasien yang dilakukan regional anestesi, lebih mudah mengalami recovery dibandingkan dengan general anestesi. Hal ini dikarenakan pasien dalam posisi sadar, sehingga komplikasi yang terkait airway, breathing, dan circulation lebih minimal. Meskipun demikian, tetap harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas sampai pasien benar-benar stabil. Fungsi neuromuskuler harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan. 2.5.2 Kriteria Discharge dari PACU Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa. Tabel 2.10 Aldrete Skor9 Obyek Aktivitas Kriteria 1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas 2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas Respirasi 3. Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 1. Mampu nafas dalam dan batuk 2. Sesak atau pernafasan terbatas Tekanan darah 3. Henti nafas 1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah Nilai 2 1 0 2 1 0 2

2. Berubah 20-50% dari pra bedah Kesadaran 3. Berubah > 50% dari pra bedah 1. Sadar baik dan orientasi baik 2. Sadar setelah dipanggil Warna kulit 3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang 1. Kemerahan 2. Pucat agak suram 3. Sianosis Nilai Total

1 0 2 1 0 2 1 0

Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9, tanpa ada nilai 0 pada kriteria penilaian objektif. 2.5.3 Kunjungan Post-Operatif Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 2448 jam setelah operasi dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari rekam medis, anamnesa terkair perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan kemungkinan komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cidera saraf, cidera okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut10.

BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Nama Usia Jenis Kelamin Alamat Agama Suku Kewarganegaraan Pekerjaan Status Pernikahan Tanggal MRS No. RM Berat Badan Tinggi Badan : Nn. L : 19 tahun : Perempuan : Lowokwaru, Malang : Islam : Jawa : Indonesia : Tidak Bekerja : Menikah : 10 April 2013 : 11106xxx : 45 kg : 154 cm

3.2 Pre-Operasi 3.2.1 Anamnesa Kunjungan Pre-Operasi (10 April 2013) A (Alergy): tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan, alergi makanan, maupun asma. M (Medication): tidak sedang menjalani pengobatan apapun. P (Past Medical History): tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas akibat sesak dan tidak ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien memiliki riwayat BAB tidak lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari. Riwayat anastesi dan anastesi sebelumnya belum ada. Operasi ini merupakan pengalaman pertama pasien mengalami pembedahan anastesi. Merokok (-), konsumsi minuman beralkohol (-). Keadaan psikis: kesan tenang. L (Last Meal): pasien terakhir makan pukul 07.00

E (Elicit History): pasien mengeluh nyeri perut di tengah sejak 3 hari. Nyeri perut kemudian terasa juga di perut bagian kanan dan kiri. Pasien mengeluhkan perut sakit jika digunakan berjalan. Pasien juga mengeluhkan tidak BAB sejak 5 hari yang lalu dan demam yang dirasakan 1 minggu yang lalu. BAK dalam batas normal.

3.2.2 Pemeriksaan Fisik Pre-Operasi B1-Breathing o o Airway paten, nafas spontan, RR 20 kali/menit Wajah dan rongga mulut: bentuk wajah dalam batas normal, buka mulut lebih dari 3 jari, mallampati 1, gigi utuh dan baik, kebersihan rongga mulut baik. o o o Hidung: perdarahan (-), deviasi septum (-), polip (-), PCH (-) Leher: leher gemuk (-), leher ekstensi bebas, trakea di tengah, massa regio colli (-) Paru: suara paru vesikuler, rhonki |, wheezing |

B2-Blood o Akral hangat, merah, dan kering. Nadi 88 kali/menit, regular, dan kuat. TD 130/80 mmHg, JVP tidak meningkat, ictus kordis tidak terlihat, ictus kordis teraba pada ICS V MCL sinistra, batas jantung kanan atas ICS II PSL dextra, batas jantung kanan bawah ICS IV PSL dextra, batas jantung kiri atas ICS II PSL sinistra, batas jantung kiri bawah ICS IV MCL sinistra, S1S2 tunggal, murmur negatif, gallop negatif.

B3-Brain Compos mentis, GCS 456, pupil bulat isokor 3mm | 3mm, refleks cahaya +|+.

B4-Bladder BAK menggunakan kateter, produksi urin ditampung +40cc/jam, kuning jernih.

B5-Bowel Flat, soefl, bising usus (+) menurun, nyeri tekan (+) McBurney B6-Bone/Body

Mobilitas (+), edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=, CRT <2 detik, skoliosis (-), lordosis (-), hemiparesis (-), distrofi otot (-), motorik dan sensorik normal. 3.2.3 Pemeriksaan Penunjang Pre-Operasi 3.2.3.1 USG Color Doppler Pemeriksaan pada tanggal 09 April 2013: Uterus: ukuran normal, posisi anteversi. Tampak endometrial line menebal. Mc.Burney: Tidak tampak struktur tubuler blunt end yang mengesankan appendix edematous, tidak tampak fat stranding/dilatasi caecum, nyeri tekan probe (+) di R.Mc.Burney dan suprapubic. Tampak lesi heterogen batas tidak tegas disertai struktur menyerupai GS di dextro-craniolateral uterus diameter +1,2 cm. Dengan color Doppler tidak jelas gambaran ring of fire. Tampak echo cairan bebas di fossa hepatorenal, splenorenal, perivesical dan cavum douglass. 3.2.3.2 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan tanggal 10 April 2013 Nilai Darah Lengkap Hemoglobin Eritrosit Leukosit Hematokrit Trombosit MCV MCH MCHC RDW Faal Hemostasis PPT INR APTT Elektrolit Serum Natrium (Na) Kalium (K) 138 3.51 Mmol/L Mmol/L 136 145 3.5 5.0 Normal Normal 11.4 0.98 26.4 Detik 28.2 Normal Detik 11.8 Normal 12.70 4.82 6.64 37.80 164 78.40 26.80 34.10 14.00 g/dL 106/mm % 103/mm fL Pg gr% %
3 3

Satuan

Nilai Rujukan 11.4-15.1 4.0 5.0 4,7-11,3 38 - 42 142 424 80 93 27 31 32 36 11,5 - 14,5

Kesan Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal

103/mm3

Klorida (Cl) Urinalisis Kekeruhan Warna pH Glukosa Protein Lekosit Darah Bakteri Pregnancy Test Test Kehamilan 3.2.4 Planning

108 Jernih Kuning 8.0 Negatif Negatif Trace +1 63.9 Negatif

Mmol/L

98 - 106

Normal

4.5 - 8.0 Negatif Negatif Negatif Negatif 10 /mL


3

Normal Normal Normal Normal Normal

93x10 /mL

Normal

Tanggal dilakukan anestesi : 10 April 2013 Jenis anastesi Jenis pembedahan : Regional Anastesia-Subarachnoid Block : Appendiktomi

3.2.5 Persiapan Pre-Operasi Surat persetujuan operasi dan anastesi Puasa mulai jam 07.00 IVFD RL 1500 cc Premedikasi: Inj. Ceftriaxone 1 g, Inj. Ranitidine 50 mg iv, Inj. Metoclopramid 10 mg iv 3.3 Durante Operasi Lama operasi Lama anastesi Medikasi o o o : 22.30-23.30 : 22.00-01.00 :

Inj. Midazolam 2,5 mg Inj. Metocloperamide 1x10mg Inj. Tramadol 50 mg dalam 50 cc NS

Langkah Tindakan Anastesi: Persiapan:

1. Menyiapkan meja operasi dan asesorisnya 2. Menyiapkan mesin dan alat anestesi 3. Menyiapkan komponen STATICS: a. Scope: stetoskop, laringoskop b. Tubes: ETT cuffed sized 7,0 kink fix c. Airway: orotracheal airway d. Tape: plester untuk fiksasi e. Introducer: untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan f. Connector: penyambung antara pipa dana alat anestesi g. Suction: memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction 4. Menyiapkan obat-obat anastesia yang diperlukan. 5. Menyiapkan obat-obat resusitasi: adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat, dan lain-lainnya. 6. Menyiapkan tiang infuse, plester, dan lain-lainnya. 7. Memasang monitor, saturasi O2, tekanan darah, nadi, dan EKG Teknik Anastesi: 8. Menyiapkan pasien di atas meja operasi dengan posisi miring ke kanan dan membungkuk. 9. Menentukan atau L4-L5. 10. Mensterilkan tempat tusukan dengan savlon dan memasang doek steril. 11. Memberikan infiltrasi local pada tempat tusukan, yaitu dengan lidokain 2% secukupnya. 12. Dilakukan penyuntikan jarum spinal 27G di tempat penusukan pada bidang medial dengan sudut 10-30% terhadap bidang horizontal kearah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum flavum, anastetik supraspinosum, sehingga cairan ligamentum interspinosum, akan ligamentum Obat tempat tusukan dari perpotongan garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung, yaitu L4

lapisan durameter, dan lapisan subarachnoid. Stilet kemudian dicabut, serebrospinal keluar. (Bupivacaine 0.5% H 15 mg + morfin 0.1 mg) yang telah disiapkan disuntikkan ke dalam ruang subarachnoid. 13. Tempat penyuntikkan ditutup dengan plester.

14. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine dan pasien ditanya apakah kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit untuk digerakkan dan ditanyakan apa ada keluhan mual-muntah, nyeri kepala, dan sesak. 15. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal. Monitoring o o Pernafasan: O2 nasal canule, 3 lpm Cairan Masuk: o Pre operasi Durante operasi : RL 1500cc : NS 450cc

Cairan Keluar: Pre operasi Durante operasi : urin 200 cc (dibuang) :

Perdarahan: Kassa 100 cc Urin: 100 cc o o o o Estimate Blood Volume: 2925 cc Allowed Blood Loss: 1082 cc Maintenance: 85 cc/jam O4: 180cc

3.4 Laporan Anastesi Post-Operasi 3.4.1 Laporan Anastesi Post-Operasi di Post Anesthesi Care Unit (PACU) (11 April 2013) Pasien masuk pukul 00.00 Keluhan: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-) Pemeriksaan fisik: o B1: airway paten, nafas spontan, RR 18x/menit, rhonki |, wheezing | o B2: akral hangat, kering, kemerahan, N:90x/menit, TD 110/80 mmHg, S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-) o B3: GCS 456, pupil bulat isokor 3mm | 3mm, refleks cahaya +|+ o B4: terpasang kateter 16F, urine warna kuning jernih (+), produksi urin 100 cc. o B5: flat, soefl, bising usus (+), luka operasi bersih.

o B6: mobilitas (-), mampu menggerakkan keempat ekstremitas secara spontan, edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=, CRT<2 detik. Aldrete score: 10 pasien dapat dipindahkan ke ruangan. Terapi Pasca Bedah: o O2 nasal canul 2 lpm o Infus RL/NS 95 cc/jam o Antibiotika: sesuai TS bedah o Inj. Ranitidin 2x50 mg o Inj. Ketorolac 3x30 mg o Bila mual/muntah: kepala dimiringkan, head down, k/p di suction, Inj. Ondansentron 4 mg o Bila kesakitan: Inj. Tramadol 100 mg o Minum makan: bila tidak ada mual/muntah Monitoring: Cek vital sign tiap 15 menit selama 2 jam o Bila RR <10x/menit, berikan O2 NRBM 10 lpm o Bila nadi <50x/menit, berikan sulfas atropine 0.5 mg iv o Jika tekanan darah systole <90mmHg, berikan RL 500 cc dalam 30 menit (efedrin 5 mg iv) o Pindah ruangan jika aldrete score >8 o Makan dan minum, bertahap bila pasien tidak mual dan muntah. 3.4.2 Laporan Anastesi Post-Operasi di Ruang 18 (11 April 2013) Keluhan: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-) Pemeriksaan fisik: o B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit, rhonki |, wheezing |. o B2 : akral hangat, kering, kemerahan, nadi 88x/menit, TD 120/80, S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-) o B3 : GCS 456, pupil bulat isokor 3mm | 3mm, refleks cahaya + | + o B4 : terpasang kateter 16 fr, urin warna kuning jernih (+), produksi urin 1000cc. o B5 : flat, BU (+), luka operasi bersih. o B6 : edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=, CRT<2 detik.

Terapi: o IVFD RL/D5 : Aminofusin= 2:1 o Inf. Ciprofloxacin 2x450 mg iv o Inj. Ranitidin 2x50 mg iv o Inj. Ketorolac 3x30 mg iv o Bila mual kepala head up lapor PPDS anestesi. o Bila muntah: kepala dimiringkan, head down, k/p suction aktif lapor PPDS anestesi.

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Preoperatif 4.1.1 Penilaian Preoperatif 4.1.1.1 History Taking Berdasarkan history taking dengan metode AMPLE pada kunjungan preoperative tanggal 10 April 2013, didapatkan bahwa tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan, alergi makanan, maupun penyakit asma. Pasien tidak sedang menjalani pengobatan apapun. Pasien tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas akibat sesak dan tidak ada gangguan pada aktifitas seharihari. Pasien memiliki riwayat BAB tidak lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari. Riwayat anastesi dan anastesi sebelumnya belum ada. Operasi ini merupakan pengalaman pertama pasien mengalami pembedahan anastesi. Pasien tidak merokok, tidak konsumsi minuman beralkohol. Pasien terakhir makan pukul 07.00 dan sedang berpuasa. 4.1.1.2 Pemeriksaan Fisik B1 Breathing Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak ditemukan dan dalam batas normal. B2 Blood Pada blood, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak ditemukan. Lain-lain dalam blood dalam batas normal; TD normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan anatomis dan fungsional dari sistem sirkulasi. B3 Brain Dalam batas normal. B4 Bladder BAK dengan kateter, produksi urin ditampung +40 cc/jam ~ +0.88 cc/kgBB/ jam, kuning jernih. Berdasarkan rata-rata produksi urin yang dapat diperiksa, didapatkan bahwa jumlah dan kejernihan produksi urin dalam batas normal.

B5 Bowel Pada bowel, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak ditemukan.

B6 Bone/Body Dalam batas normal.

4.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang Luas cakupan pemeriksaan preanestesi telah sesuai dengan keadaan dan kebuthan pasien, kondisi co-morbid saat ini, dan prosedur bedah yang direncanakan. Hasil pemeriksaan masih dianggap valid sesuai periode waktu untuk masing-masing jenis pemeriksaan tambahan, yakni rentang 1 minggu untuk FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah; pada pasien ini dalam rentang beberapa jam sebelum operasi, sampai 6 bulan chest X-ray, USG color doppler, dan BNO IVP; pada pasien ini rentang 1 hari sebelum hari operasi. Dapat disimpulkan hasil pemeriksaan dalam batas normal. 4.1.1.4 Kesimpulan Penilaian Preoperatif Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien tidak menderita penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari, sehingga diklasifikasikan dengan ASA-1 - dengan apendisitis akut. 4.1.2 Masukan Oral Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah menjalani puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi, makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam preoperasi, dimana pasien telah berpuasa tidak mengkonsumsi makanan jam 07.00. 4.1.3 Terapi Cairan

Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari pasien ini (berat badan +45 kg): Berat Badan Jumlah Perhitungan untuk pasien ini 40 mL/jam + 20 mL/jam + 25 mL/jam 85 mL/jam

10kg pertama 4 mL/kg/jam 10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam Total kebutuhan cairan maintenance pasien ini:

Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa. Pada pasien ini untuk operasi tanggal 10 April 2013 pukul 22.30 (15,5 jam puasa) maka kebutuhan cairan untuk memenuhi defisit cairan sebelum operasi: 15,5 x 85 ml/jam = 1317,5 ml. Pada pasien diberikan RL sebagai cairan maintenance sebanyak 1500cc sampai dengan operasi. 4.1.4 Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya: Meredakan kecemasan dan ketakutan Memperlancar induksi anestesi Mengontrol nyeri post operasi Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus Meminimalkan jumlah obat anestesi Mengurangi mual muntah pasca operasi Menciptakan amnesia Mengurangi resiko aspirasi isi lambung Pada pasien ini diberikan 4 jam sebelum operasi, dengan obat premedikasi berupa inj. Metoclopramide 10 mg, inj. Ranitidine 50 mg, dan . Metoclopramide dan ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV (post operatif nausea vomiting). Metoclopramide digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan metoclopramide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian bawah, mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-

efek ini akan meminimalisir terjadinya pnemonia aspirasi. Metoclopramide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu metoclopramide juga berefek memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor triggerzone pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi. Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko pnemonia aspirasi. 4.2 Manajemen Anastesi Durante Operasi 4.2.1 Pemilihan Teknik Anastesi Pada pasien ini dilakukan regional anestesi. Pemilihan anestesi regional sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi appendiktomi sehingga pasien memerlukan blockade pada regio abdomen bawah untuk mempermudah operator dalam melakukan operasi. Teknik ini umumnya sederhana, cukup efektif, dan mudah digunakan. Saat sebelum operasi dimulai, pasien diposisikan supine, selanjutnya pasien diberi Ranitidine yang merupakan H2 receptor antagonist yang berfungsi mengurangi produksi asam lambung sehingga mencegah stress ulcer akibat penigkatan asam lambung yang berlebihan pre operasi. Sedangkan metoclopramide digunakan sebagai anti emetic untuk mencegah pasien mual. Setelah itu, pasien diposisikan miring ke kanan untuk mengekspose area lumbal yang akan dilakukan anestesi. Setelah memberi tanda pada L5 atau S1, kemudian tempat tusukan ditentukan. Setelah itu, area tersebut disterilkan dengan betadin atau alkohol. Anestetik local dengan lidokain 1-2% diberikan pada tempat tusukan. Teknik anestesi regional pada pasien ini dengan menggunakan jarum 27 G dan dibantu dengan introducer (penuntun jarum). Setelah introduser disuntikkan sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian jarum spinal berikut mandrinnya dimasukkan ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor. Setelah terjadi barbotage, yaitu keluarnya cairan serebrospinal tanpa disertai keluarnya darah, maka pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-

pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Pada pasien ini diberikan obat anestesi bupivacain dikarenakan toksisitas bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam). Selain itu diberikan morphine 0,1 mg dengan tujuan untuk memperpanjang waktu kerja obat anestesi dan sebagai analgetik. Meskipun demikian, perlu diwaspadai efek samping hipotensi akibat pemakaian obat ini. 4.2.2 Terapi Cairan Durante Operasi Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler6. Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement6. Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga 4 kali jumlah volume darah yang hilang6. Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual

memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah, namun pada operasi pasien ini tidak dilakukan. Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan dari kassa 100 cc. Pemberian input cairan preoperatif maupun durante operasi sangat penting dalam keseimbangan hemodinamik pasien saat operasi berlangsung. Dengan menghitung estimated blood volume (EBV) = berat badan x average

blood volume = 45 kg x 65 ml/kgBB = 2925 ml, allowed blood loss (ABL) = EBV,

= hemoglobin inisial (hi) hemoglobin terendah yang diperbolehkan.

Pada kasus kegananasan hemoglobin terendah yang diperbolehkan adalah 10 g/dL. Maka ABL pasien ini adalah = x 2925 = 1082,48 ~ 1082 ml,

kebutuhan cairan maintenance = 85 cc/jam, maka dapat diperkirakan jumlah cairan yang masuk tiap jamnya demi mempertahankan keseimbangan hemodinamik cairan selama operasi berlangsung. Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan , yaitu : 6-8 ml/kg untuk bedah besar 4-6 ml/kg untuk bedah sedang 2-4 ml/kg untuk bedah kecil Operasi ini termasuk bedah kecil sehingga menggunakan rumus cairan 4 ml/kg. Sehingga O4 x berat badan pasien adalah 180 cc. Jadi setiap jam nya selama operasi pasien mendapat cairan 265 cc/jam (M+O4 = 85 cc + 180 cc = 265 cc). Oleh karena operasi berlangsung selama 1 jam, maka kebutuhan cairan selama operasi adalah: Kebutuhan cairan rumatan/maintanance Jumlah produksi urine durante operasi : 85 cc/jam x 1 jam : = 85 cc = 100 cc

Jumlah darah yang hilang

= 100 cc + 285 cc

Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi: NS : 400 cc

4.2.3 Monitoring Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pesien tidak pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S: 110-120, D: 70-80), nadi antara 60-80x/menit. RR: 14-18x/menit. 4.3 Manajemen Anastesi Post Operasi 4.3.1 Recovery dari Regional Anastesi Pada pasien ini, rencana operasi berjalan sesuai rencana dari pukul 22.30 - 23.30. Dengan berjalannya operasi sesuai rencana maka recovery pada pasien ini juga cepat karena pasien menggunakan teknik anestesi regional. 4.3.2 Kriteria Discharge dari PACU Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini didapatkan: Obyek Aktivitas Respirasi Tekanan darah Kesadaran Warna kulit Kriteria Mampu menggerakkan 4 ekstremitas Mampu nafas dalam dan batuk Berubah sampai 20 % dari pra bedah Sadar baik dan orientasi baik Kemerahan Nilai Total Nilai 2 2 2 2 2 10

Dengan nilai total aldrete score pasien kemudian dipindahkan ke ruang 18 dengan rencana monitoring yang dilakukan sudah benar dan sesuai kebutuhan pasien. 4.3.3 Kunjungan Postoperatif Evaluasi post operatif dilakukan dalam 24 setelah operasi dan telah dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini meliputi review dari rekam medis, anamnesa terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik serta penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap post operasi. Pada kunjungan postoperatif pasien ini dari anamnesa tidak didapatkan keluhan dan pada pemeriksaan fisik dan penunjang secara keseluruhan dalam batas normal. Terapi PONV dan management nyeri dilakukan dengan baik.

BAB V PENUTUP Pasien adalah perempuan usia 19 tahun dengan apendisitis akut, yang dilakukan operasi apendiktomi pada tanggal 10 April 2013. Tindakan anestesi yang dilakukan adalah anestesi regional dengan blok subarachnoid. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi anestesi regional. Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi regional. Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif stabil sampai operasi selesai. Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak didapatkan keluhan. Selama di PACU (Post Anesthesy Care Unit) pasien cukup stabil dengan Aldrete Score bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat biasa (R.18).

DAFTAR PUSTAKA 1. Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based Management of Suspected Appendicitis In The Emergency Department Vol.13 Number 10. 2011:1-32 2. 3. Humes DJ, Simpson J, Acute Appendicitis. BMJ. 2006;333;530-534 Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI 4. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins. 5. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures: An Updated Report by The American Society of Anesthesiologists Committee on Standards and Practice parameters. USA: Lippincott Williams & Wilkins. 6. 7. 8. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Millers Anesthesia 7th ed. US : Elsevier Universitas Sumatera Utara (USU). 2011. Anestesi Spinal. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22847/4/Chapter%20II.pdf. Diakses pada 10 April 2013 pk.19.00 9. Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89. 10. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison, Jean Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The Massachusets General Hospital 7th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai