Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Tujuan pembangunan tersebut dapat
dicapai dengan menyelenggarakan program pembangunan nasional secara berkelanjutan,
terencana dan terarah. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional. Visi pembangunan nasional yang ingin dicapai melalui
pembangunan kesehatan adalah mewujudkan Indonesia sehat tahun 2010. Tujuan
diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang optimal. (Depkes RI, 2004).
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia
kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, dan disfungsi
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.
Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai adanya hiperglikemia
yang disebabkan karena defek sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya.
Di Indonesia, prevalensi DM mencapai 15,9-32,73%, dimana diperkirakan sekitar 5
juta lebih penduduk Indonesia menderita DM. Di masa mendatang, diantara penyakit
degeneratif diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan
meningkat jumlahnya di masa mendatang. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun
2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan
dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025 jumlah tersebut akan
membengkak menjadi 300 juta orang (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, 2006).
I.2 Pernyataan Masalah
Prevalensi diabetes melitus makin meningkat pada usia lanjut. Di Indonesia,
prevalensi DM mencapai 15,9-32,73%, dimana diperkirakan sekitar 5 juta lebih
penduduk Indonesia menderita diabetes melitus. Menurut penelitian epidemiologi yang
sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar
antara 1,4 dengan 1,6%. Terjadi tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global
terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka
dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun
waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat
dengan drastis. Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah
pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding
tahun 1995.
Menurut penjelasan di buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Bab Diabetes Melitus
di Indonesia, dikatakan bahwa dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan
naik sebesar 40% dengan peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar
yaitu 86-138% yang disebabkan oleh karena :

a) faktor demografi
b) gaya hidup yang kebarat-baratan
c) berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
d) meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes semakin panjang

Mengingat jumlah pasien yang akan membengkak dan besarnya biaya perawatan
diabetes yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang baik
adalah pencegahan. Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada
tiga jenis, antara lain :

a) Pencegahan primer. Semua aktivitas yang digunakan untuk mencegah timbulnya


hiperglikemia pada inividu yang beresiko mengidap diabetes melitus atau pada
populasi.
b) Pencegahan sekunder. Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan
screening. Dengan demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis
dapat terjaring.
c) Pencegahan tersier. Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan
akibat komplikasi tersebut.

Strategi pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan melalui pendekatan


masyarakat yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum dan pendekatan
individu beresiko tinggi yang dilakukan pada individu yang beresiko mengidap diabetes
(Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, 2006).

I.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai pada mini project ini, meliputi:
1. Mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bekasi
Jaya terhadap diabetes melitus sehingga dapat dilakukan promosi kesehatan sebagai
pencegahan primer atau sekunder bagi masyarakat yang tidak menderita diabetes
melitus tetapi memiliki faktor resiko ataupun untuk masyarakat yang menderita
diabetes melitus tetapi tidak berobat rutin
2. Mengetahui pola aktivitas dan makan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Bekasi Jaya yang menjadi faktor resiko diabetes melitus sehingga dapat dilakukan
promosi kesehatan terutama secara individual.

I.4 Manfaat
1. Bagi penulis, mini project ini menjadi pengalaman yang berguna dalam
menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh sebelum internship.
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
tentang pentingnya pencegahan diabetes melitus dan perlunya mengenali diabetes
melitus lebih dini untuk menekan prevalensi penyakit diabetes melitus di
masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus


2.2.1. Definisi
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal,
saraf, jantung, dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya
telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam
satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu
kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana
didapatkan defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.9
2.2.2. Patofisiologi
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Diketahui bahwa kegagalan sel
beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain
otot, hati dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), organ – organ tersebut ikut
berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.
Organ – organ (Ominous Octet) yang mempengaruhi toleransi glukosa tesebut penting
dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang10:
 Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan
hanya untuk menurunkan HbA1c.
 Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
 Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan
toleransi glukosa.10
Gambar 2.1. Delapan organ (Ominous Octet) yang berperan dalam toleransi
glukosa10
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut :
 Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi
sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, Glucagon-Like Peptide-1 (GLP-1) dan
Dipeptidyl Peptidase-4 Inhibitor (DPP-4 inhibitor).10
 Hati:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh
hati (Hepatic Glucose Production=HGP) meningkat. Obat yang bekerja melalui
jalur ini adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.10

 Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang


multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin,
dan tiazolidindion.10

 Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di hati dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini
disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.10

 Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan
Glucose-Dependent Insulinotrophic Polypeptide atau disebut juga Gastric
Inhibitory Polypeptide (GIP). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera
dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4
inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida
menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.10
 Sel Alpha Pancreas:
Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam
keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan
amylin.10
 Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis
DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. 90% dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran Sodium Glucose co-
Transporter (SGLT-2) pada bagian tubulus proksimal. Sedangkan 10%
sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal
sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.10 

 Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin.10
2.2.3. Klasifikasi
Klasifikasi DM dibagi menjadi beberapa tipe:
1 Diabetes Melitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM):
diabetes yang terjadi akibat kerusakan dari sel beta pankreas karena proses
autoimun atau idiopatik. Pada DM tipe 1, tubuh mengalami defisiensi insulin
absolut sehingga sangat rentan untuk terjadinya ketoasidosis. DM tipe 1
biasanya didiagnosis pada anak-anak dan dewasa muda.
2 Diabetes Melitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM):
diabetes yang terjadi akibat predominan resistensi insulin disertai defisiensi
relatif sampai defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.
3 Diabetes Melitus Tipe lain: diabetes yang terjadi akibat defek genetik dari fungsi
sel beta, penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, trauma/pankreotomi, fibrosis
kistik, hemokromatosis), endokrinopati (sindroma cushing, akromegali,
foekromositoma), dapat juga terjadi karena obat-obatan dan infeksi serta
sindroma genetik lain.
4 Diabetes Melitus Gestasional: diabetes yang timbul atau didiagnosa pertama kali
pada saat kehamilan.11
2.2.4. Faktor Risiko Diabetes Mellitus
Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2, berkaitan dengan
beberapa faktor yang dapat dikelompokkan menjadi dua faktor risiko yaitu faktor risiko
yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.10
A. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
 Berat badan lebih (Obesitas)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada
derajat kegemukan dengan IMT >23 atau berdasarkan lingkar perut ≥80 cm
pada wanita dan ≥90 cm pada pria.10
 Hipertensi (>140/90 mmHg)
Berhubungan erat dengan tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau
meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah
perifer.10
 Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida >250 mg/dl)
Hal ini didasari atas terdapatnya hubungan antara kenaikan plasma insulin
dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) yang sering ditemui pada pasien
Diabetes Mellitus.10
 Diet tak sehat (unhealthy diet).
Diet dengan tinggi glukosa dan rendah serat akan meningkatkan risiko
menderita prediabetes / intoleransi glukosa dan Diabetes Mellitus.10
B. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
 Ras dan etnik
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang
dewasanya.9
 Riwayat keluarga dengan Diabetes Mellitus.
 Usia
Risiko untuk menderita intolerasi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia >45 tahun adalah usia risiko tinggi menderita
Diabetes Mellitus.10
 Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000
gram yang disebut juga diabetes gestasional.10
 Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.
Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi
dibanding dengan bayi yang lahir dengan BB normal.10
Selain itu diketahui juga terdapat faktor lain yang termasuk faktor resiko terjadinya
Diabetes Mellitus. Faktor-faktor tersebut adalah:
 Wanita dengan Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin.10
 Penderita sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.
Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, penyakit
jantung kroroner, atau Peripheral Arterial Diseases.10
2.2.5. Tanda dan Gejala
Kecurigaan adanya DM perlu ditegakkan apabila terdapat keluhan
1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
ang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain: badan lemas, kesemutan, gatal, pandangan kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria serta pruritus atau gatal pada vulva.10
2.2.6. Diagnosa Diabetes Mellitus
Diagnosis DM tipe 2 harus didasarkan atas pemeriksaan dari konsentrasi kadar gula
darah. Dalam menentukan diagnosis DM tipe 2 perlu diperhatikan asal bahan darah
yang diambil. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
dengan glukometer.10
Kriteria diagnosis DM tipe 2:
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL. Glukosa plasma
sewaktu merupakan hasil peeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa diartikan pasien
tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
3. Glukosa plasma 2 jam pada Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL.
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 gram glukosa yang dilarutkan ke dalam air.
4. Pemeriksaan HbA1C ≥ 6,5 % dengan pemeriksaan yang telah distandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).10
Hasil pemeriksan yang tidak memenuhi kriteria normal maupun DM dapat digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes yang melipputi: Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).10
1. GDPT apabila hasil pemeriksaan glukosa darah puasa antara 100 – 125 mg/dL
dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam <140 mg/dL.
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) apabila hasil pemeriksaan glukosa plasma
2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg.dl dan glukosa plasma puasa < 100
mg/dl
3. Didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes ditegakkan apabila hasil pemeriksaan HbA1C antara 5,7 –
6,4%.10
Tabel 2.1. Kadar tes laboratorium untuk diagnosis diabetes dan
prediabetes10
HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma 2
puasa (mg/dL) jam setelah TTGO
(mg/dL)
Diabetes ≥6,5 ≥126 ≥200
Prediabetes 5,7 – 6,4 100 – 125 140 - 199
Normal <5,7 <100 <140

2.2.7. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang
DM tipe 2. Tujuan penatalaksaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian kadar glukosa
darah, tekanan darah, bereat badan, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.10

2.2.7.1. Tatalaksana Non Farmako


2.2.7.1.1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari
upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM tipe
2 secara holistik.10 Topik edukasi terpenting adalah memantau kadar gula darah secara
mandiri, pencegahan dan penanganan hipoglikemi, aktivitas fisik dan nutrisi.
2.2.7.1.2. Gizi
Terapi gizi merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DM tipe 2 secara
komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).
Terapi gizi dapat mencakup Index Glicemic (IG), Carbohydrate Counting (CH
Counting), protein, lemak, serta vitamin dan mineral.12
Index Glicemic digunakan untuk membandingkan efek fisiologis dari karbohidrat
yang dikonsumsi terhadap kadar gula darah. Carbohydrate Counting adalah suatu
perencanaan makanan tentang asupan karbohidrat dalam satu kali makan dimana satu
CH Counting (satu sajian) sama dengan 15 gram. Pada pasien DM tipe 2 dalam satu kali
makan dapat mengkonsumsi 45 – 60 gram karbohidrat (empat sajian CH Counting).
Untuk asupan lemak dapat diberikan 20 – 30% dari kebutuhan. Selanjutnya penderita
DM juga harus mengkonsumsi serat sebesar 25 – 30 gram/hari.12
2.2.7.1.3. Aktivitas Fisik
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Latihan
jasmani bukan hanya untuk menjaga kebugaran namun juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik dengan intensitas sedang seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan
berenang.10
Prinsip latihan jasmani bagi penderita diabetes umumnya sama dengan prnsip
latihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal, seperti frekuensi, intensitas,
dan durasi.10
 Frekuensi : jumlah olahraga per minggu sebaiknya dilakukan secara teratur 3- 5
kali/minggu.
 Intensitas : ringan dan sedang
 Durasi : 30 – 60 menit
 Jenis : latihan jasmani bersifat aerobik seperti jalan, jogging, berenang dan
bersepeda.
2.2.7.1.4. Senam Kaki Diabetes
Senam kaki diabetes merupakan suatu aktifitas yang dapat membantu memperbaiki
sirkulasi darah, memperkuat otot -otot kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan
bentuk kaki.13
Latihan senam kaki dapat dilakukan dengan posisi berdir, duduk, dan tidur.
Selanjutnya senam kaki dapat berupa menggerakkan kaki dan sendi – sendi kaki
misalnya berdiri dengan kedua tumit diangkat, mengangkak kaki dan menurunkan kaki,
gerakan menekuk, meluruskan, mengangkat memutar keluar atau kedalam. Selain itu
gerakan mencengkram dan meluruskan jari – jari kaki juga menjadi bagian dari senam
kaki diabetes.13
Latihan senam kaki diabetes dapat dilakukan setiap hari secara teratur, dimana saja.
Dan dapat dilakukan ketika berkumpul bersama keluarga, maupun menonton televisi.
Ketika kaki terasa dingin lakukan senam kaki diabetes.13
1.2.2. Tatalaksana Farmako
Obat Antihiperglikemi Oral (OHO) dapat diberikan bersama dengan pengaturan pola
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat
oral dan bentuk suntikan insulin. Jika kadar HbA1c >9%, segera diberikan kombinasi
OHO atau suntikan insulin.14
 Obat Antihiperglikemi Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
1. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid
a. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi insulin oleh
sel beta pankreas.
b. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat
ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.10

2. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindione


(TZD).
a. Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus
DMT2.
b. Tiazolidindione (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti termasuk di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati,
dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang
termasuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.10
3. Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan bila GFR ≤30ml/mnt/1,73m2,
gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome.10
4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glukagon yang bergantung pada kadar glukosa
darah (glucose dependent).10
5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis
baru yang menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal dengan
cara menghambat transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk dalam
golongan ini antara lain Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin dan
Ipragliflozin.10
 Obat Antihiperglikemi Suntik
1. Insulin
Tabel 2.2. Jenis insulin menurut cara kerja10

Jenis insulin Awitan Puncak Lama Kemasaan


(onset) Efek kerja
Insulin analog kerja cepat (Rapid acting)
Insulin Lispro (Humalog) 5-15 1-2 jam 4-6 jam Pen / Cartridge
Insulin Aspart (Novorapid) menit pen, vial pen
Insulin Glulisin (Apidra)
Insulin manusia kerja pendek = Insulin Regular (Short-Acting)
Humulin R 30-60 2-4 jam 6-8 jam Vial, pen/
Actrapid menit cartridge
Insulin manusia kerja menengah = NPH (Intermediate-Acting)

Humulin N 1,5-4 4-10 jam 8-12 jam Vial, pen/


Insulatard jam catridge
Insuman basal
Insulin analog kerja panjang (Long-Acting)

Insulin Glargine (Lantus) 1-3 jam Hampir 12-24 jam Pen


Insulin Detemir (Levemir) tanpa
Lantus 300 puncak
Insulin analog kerja ultra panjang (Ultra Long-Acting)

Degludec (Tresiba) 30-60 Hampir Sampai


menit tanpa 48 jam
puncak
75/25 Humalogmix (75% 12-30 1-4 jam
protamin lispro, 25% lispro) menit
Gambar 2.2. Algoritme Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia10

2.2.8. Komplikasi
Hiperglikemi berkelanjutan dari waktu ke waktu dapat menyebablan kerusakan berbagai
sistem tubuh terutama saraf dan pembuluh darah. Beberapa komplikasi yang sering
terjadi adalah:
 Meningkatnya risiko penyakit jantung dan stroke.
 Neuropati (kerusakan saraf) dikaki yang meningkatkan keadian ulkus kaki,
infeksi, dan bahkan keharusan untuk amputasi kaki.
 Retinopati diabetikum, merupakan salah satu dari penyebab utama kebutaan,
terjadi akibat kerusakan pembuluh darah kecil di retina.10
Komplikasi yang juga sering terjadi adalah hipoglikemi, hipoglikemi ditandai
dengan menurunnya kadar glukosa darah <60mg/dL. Hipoglikemi adalah penuurunan
glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala – gejala sistem otonom, seperti adanya
whipple’s triad:
 Terdapat gejala – gejala hipoglikemi.
 Kadar glukosa darah yang rendah.
 Gejala berkurang dengan pengobatan.
Hipoglikemi memiliki tanda dan gejala seperti rasa lapar, berkeringat, gelisah,
pucat, takikardia, lemah, lesu, pandangan kabur, hipotermi, hingga kejang sampai
koma.10
2.3.Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis)
2.3.1. Definisi
Program pengelolaan penyakit kronis (Prolanis) adalah suatu sistem pelayanan
kesehatan dan pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintergrasi yang
melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosisal
(BPJS) Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan
yang menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang terjamin dengan
biaya pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.4
2.3.2. Tujuan
Mendorong peserta yang menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup
optimal. Pada penyakit DM Tipe 2 dan hipertensi harus mendapatkan hasil “baik”
minimal 75% peserta yang terdaftar yang berkunjung ke Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi penyakit.4
2.3.3. Sasaran
Seluruh peserta BPJS Kesehatan penyandang penyakit kronis (Diabetes mellitus Tipe 2
dan Hipertensi).4
2.3.4. Bentuk Pelaksanaan
Bentuk aktifitas dalam Prolanis meliputi:
1. Konsultasi medis / edukasi
Konsultasi medis peserta prolanis: jadwal konsultasi disepakati bersama antara
peserta dengan Fasilitas Kesehatan Pengelola.
2. Aktifitas klub
Suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan dalam upaya
memulihkan penyakit dan mencegah timbulnya kembali penyakit serta
meningkatkan status kesehatan bagi peserta Prolanis.
3. Reminder
Suatu kegiatan untuk memotivasi peserta untuk selalu melakukan kunjungan
rutin ke Fasilitas Kesehatan.
4. Home visit
Kegiatan pelayanan kunjungan ke rumah peserta Prolanis untuk pemberian
informasi/edukasi kesehatan diri dan lingkungan bagi peserta Prolanis dan
keluarga.
5. Pemantauan status kesehatan.4
2.4. Kerangka Teori

eFaktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
 Ras  Pola makan
 Umur  Berat badan berlebih
 Jenis kelamin  Kurangnya aktivitas fisik
 Riwayat keluarga dengan Diabetes  Merokok
Mellitus
 Wanita dengan riwayat melahirkan
bayi dengan berat badan >4000
gram (DM Gestasional)

Diabetes Mellitus

Komplikasi
 Hipoglikemi
 Meningkatnya risiko penyakit jantung
 Stroke
 Gagal ginjal
 Neuropati (kerusakan saraf)
 Retinopati Diabetikum

Gambar 2.4. Kerangka teori


BAB III
METODE MINI PROJECT

3.1. Rancangan Mini proyek


Mini proyek ini dilakukan dengan pengumpulan data melalui data rekam medis
elektronik maupun fisik pasien penderita diabetes melitus baik kasus baru maupun kasus
lama yang berobat di Puskesmas Bekasi Jaya selama periode Januari 2020 - Juni 2020.

3.2. Waktu dan Tempat Mini proyek


Mini proyek ini dilaksanakan pada bulan Januari 2020 - Juni 2020 di Lingkungan
Puskesmas Kelurahan Bekasi Jaya.

3.3.Populasi Mini proyek


Populasi mini proyek adalah masyarakat umum dan penderita diabetes mellitus yang
berkunjung untuk berobat ke Puskesmas Bekasi Jaya selama periode Januari 2020 - Juni
2020.

3.4.Subjek Mini proyek

Subjek mini proyek adalah Penderita Diabetes Mellitus yang berobat ke Puskesmas
Bekasi Jaya selama periode Januari 2020 - Juni 2020.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Populasi mini proyek adalah masyarakat umum dan penderita diabetes mellitus yang
berkunjung untuk berobat ke Puskesmas Bekasi Jaya selama periode Januari 2020 - Juni
2020.

4.1 Jumlah Kasus Diabetes Melitus Baru Berdasarkan Usia Periode Januari 2020-Juni
2020

Periode Jumlah kasus baru menurut golongan umur Jumlah


10-14 15-19 20-44 45-54 55-59 60-69 >70 kasus
baru
Januari 0 0 3 5 3 6 3 20
Februari 0 0 2 2 6 5 1 16
Maret 0 0 1 4 6 6 2 19
April 0 0 1 3 1 2 0 7
Mei 0 0 2 3 1 0 0 6
Juni 0 0 1 1 6 1 1 10
Total 0 0 10 18 23 20 7 78

Tabel 4.1. Jumlah Kasus Diabetes Melitus Baru Periode Januari 2020- Juni 2020

Berdasarkan tabel diatas pada bulan Januari 2020 didapatkan 3 kasus bari dari kelompok
usia 20-44 tahun, 5 kasus dari kelompok usia 45-54 tahun, 3 kasus dari kelompok usia 55-59
tahun, 6 kasus dari kelompok usia 60-69 tahun dan 3 kasus dadri kelompok usia lebih dari 70
tahun. Dengan total kasus baru sebanyak 20 kasus. Pada bulan Februari 2020 didapatkan 2
kasus bari dari kelompok usia 20-44 tahun, 2 kasus dari kelompok usia 45-54 tahun, 6 kasus
dari kelompok usia 55-59 tahun, 5 kasus dari kelompok usia 60-69 tahun dan 1 kasus dadri
kelompok usia lebih dari 70 tahun. Dengan total kasus baru sebanyak 16 kasus. Pada bulan
Maret 2020 didapatkan 1 kasus bari dari kelompok usia 20-44 tahun, 4 kasus dari kelompok
usia 45-54 tahun, 6 kasus dari kelompok usia 55-59 tahun, 6 kasus dari kelompok usia 60-69
tahun dan 2 kasus dadri kelompok usia lebih dari 70 tahun. Dengan total kasus baru sebanyak
19 kasus. Bulan April 2020 didapatkan 1 kasus bari dari kelompok usia 20-44 tahun, 3 kasus
dari kelompok usia 45-54 tahun, 1 kasus dari kelompok usia 55-59 tahun, 2 kasus dari
kelompok usia 60-69 tahun dan 0 kasus dadri kelompok usia lebih dari 70 tahun. Dengan
total kasus baru sebanyak 7 kasus. Bulan Mei 2020 didapatkan 2 kasus bari dari kelompok
usia 20-44 tahun, 3 kasus dari kelompok usia 45-54 tahun, 1 kasus dari kelompok usia 55-59
tahun, tidak ada kasus baru dari kelompok usia 60-69 tahun dan tidak ada kasus baru dari
kelompok usia lebih dari 70 tahun. Sehingga total kasus baru sebanyak 6 kasus. Bulan Juni
2020 didapatkan 1 kasus bari dari kelompok usia 20-44 tahun, 1 kasus dari kelompok usia
45-54 tahun, 6 kasus dari kelompok usia 55-59 tahun, 1 kasus dari kelompok usia 60-69
tahun dan 1 kasus dadri kelompok usia lebih dari 70 tahun. Dengan total kasus baru sebanyak
10 kasus. Dan dapat diperhatikan bahwa tidak didapatkan kasus baru dri kelompok usia 10-14
tahun dan 15-19 tahun selama periode Januari 2020 - Juni 2020.

Gambar 4.1. Kasus Baru Diabetes Melitus Berdasarkan Kelompok Usia Periode Januari
2020 – Juni 2020

Bila melihat grafik diatas dapat disimpulkan bahwa semakin bertambabhnya usia maka
semakin banyak jumlah kasus baru penderita penyakit Diabetes Melitus. Hal ini sesuai,
berdasarkan faktor risiko untuk menderita intoleransi glukosa aan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Terutama bagi yang berusia 45 tahun keatas. WHO membuatperkiraan
bahwa pada tahun 2000 pederita diabetes usia lebih dari 20 tahun adalah sebanyak 150 juta
orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudia, yakni tahun 2025 jumlahnya akan
meningkat menjadi 300 juta orang.
Gambar 4.2. Jumlah Kasus Baru Perbulan Selama Periode Januari 2020- Juni 2020

Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa jumlah kasus diabetes melitus baru pada
bulan Januari 2020 sebanyak 20 pasien, pada bulan Februari 2020 sebanyak 16 kasus baru,
pada bulan Maret 2020 19 kasus, dan pada bulan April 2020 terjadi penurun kasus baru
menjadi 7 kasus, pada bulan Mei 2020 didapatkan 6 kasus baru dan pada bulan Juni 2020
didapatkan 10 kasus baru.
Penurunan yang terjadi merupakan dampak dari penurunan pengunjung ke Puskesmas
Bekasi Jaya dikarenakan oleh terjadinya pandemi COVID-19, sehingga prioritas pasien yang
berkunjung pun berubah dan mengurangi kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan karena
merupakan tempat yang berisiko tinggi. Dampaknya terjadi penurunan yang bermakna pada
temuan kasus baru diabetes melitus, sehingga memungkinkan ada banyak pasien yang
kemungkinan sudah mengidap diabetes melitus tidak terdeteksi dan tidak bisa segera
mendapatkan penanganan.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Berdasarkan pendataan pengunjung yang datang berobat ke Puskemas Bekasi Jaya


selama periode Januari 2020- Juni 2020 didapatkan total 78 kasus diabetes melitus
baru yang terdiri dali bulan januari 20 kasus baru, februari 16 kasus baru, maret 19
kasus baru, april 7 kasus baru, mei 6 kasus dan juni 10 kasus baru.
2. Diketahui bahwa seiring bertambahnya usia maka semakin besar faktor risiko
terjadinya intoleransi glukosa terutama diusia 45 tahun keatas. Sesuai data yang kami
dapatkan yakni, pada usia 10-14 dan 15-19 tahun didapatkan 0 kasus baru, kelompok
usia 20 -44 tahun didapatkan 10 kasus baru, kelompok usia 45-54 tahun didapatkan
18 kasus baru, kelompok usia 55-59 tahun 23 kasus baru, kelompok usuia 60-69
tahun 20 kasus baru dan usia diatas 70 tahun didapatkan 7 kasus baru.
3. Kurangnya tenaga kesehatan di puskesmas sehingga menyebabkan kurangnya
penyuluhan dan monitoring penyakit Diabetes Mellitus.

5.2 Saran

1. Saran bagi Dinas Kesehatan Kota Bekasi


Faktor resiko penyakit tidak menular akan mempengaruhi pada usia produktif termasuk
siswa remaja maka untuk dinas kesehatan kota Bekasi perlu melakukan upaya-upaya
sebagai berikut:
a. Perlunya memberi pemahaman tentang penyakit Diabetes Mellitus mulai dari
gejala diabetes mellitus, penyebab diabetes mellitus, factor resiko diabetes mellitus,
hingga dampak diabetes mellitus kepada siswa melalui berbagai seminar,
penyuluhan ke sekolah, konseling dan media.
b. Perlunya memberikan pemahaman tentang jenis makanan dan aktivitas apa saja
yang dapat mencegah terjadinya penyakit diabetes mellitus.
c. Mengusulkan kepada pemerintah kota Bekasi agar meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam meningkatkan pemahaman dan kesadaran dalam bidang
kesehatan.
d. Menggiatkan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat untuk meningkatkan
pengetahuan tentang diabetes mellitus.

Perlu menjaga dan meningkatkan pengetahuan masyarakatnya mengenai diabetes


mellitus dengan cara:
a. Petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan yang baik mengenai
penyakit diabetes mellitus dan kemampuan konseling dan menyuluh.
b. Melakukan evaluasi ke setiap sekolah mengenai kejadian diabetes mellitus dengan
cara melakukan pemeriksaan gula darah secara rutin sebagai skrining awal
penyakit diabetes mellitus.
c. Diharapkan puskesmas meningkatkan sarana dan prasarana yang
berhubungan
dengan pemeriksaan jenis diabetes mellitus.

2. Bagi Puskesmas Bekasi Jaya


A. Melanjutkan atau semakin ditingkatkan kegiatan penyuluhan untuk pasien diabetes
melitus, serta mengoptimalkan kembali kegiatan posyandu untuk lansia sehingga
pasin dapat benar-benar mengetahui tentang penyakit yang dimilikinya dntata cara
berobatnya.
B. Mengadakan senam diabetes rutin di posyandu seteiap bulan
C. Melatih dan memberikan pengarahan kepada para kader agar dapat membantu
memberikan pengetahuan dan arahan tentang diabetes melitus
D. Diakan kegiatan prolanis agar pasien dapat berobt secara teratur
E. Lakukan screening DM menggunakan standard GDS > 200mg/dl setiap kegiatan
posyandu agar dapat membantu lebih banyak pasien yang tiddak mengetahui bahwa
dirinya sudah mengidap diabetes melitus.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian selanjutnya dapat menjadikan penelitian ini sebagai referensi yang relevan
dan membantu penelitian sejenis terkait dengan kejadian diabetes mellitus. Penelitian
DAFTAR PUSTAKA

1. Herqutanto, Werdhani RA. Buku keterampilan klinis ilmu kedokteran


komunitas. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
2. World Health Organization. Global report on diabetes. vol. 978. United
Kingdom: 2016. DOI:978 92 4 156525 7.
3. Florkowski C. HbA1c as a diagnostic test for diabetes mellitus - Reviewing the
evidence. Clin Biochem Rev 2013;34.
4. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Panduan praktis PROLANIS (Program
Pengelolaan Penyakit Kronis). Edisi 1. Jakarta: Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial; 2014.
5. Karuranga S, Fernandes J, Huang Y, Malanda B. IDF diabetes atlas 2017. 8th
Ed. United Kingdom: International Diabetes Federation; 2017.
6. World Health Organization. Diabetes fakta dan angka. Jakarta: WHO South
East Asia Regional Office; 2016.
7. Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Profil kesehatan kabupaten tangerang
tahun 2014. Tangerang: 2014.
8. Puskesmas Bekasi Jaya. Laporan puskesmas Bekasi Jaya 2017. Tangerang:
Puskesmas Bekasi Jaya; 2017.
9. Purnamasari D. Diagnosis dan klasifikasi diabetes mellitus. In: Setiawati S,
Alwi I, Sudoyo A, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi VI, Jakarta: Interna Publishing; 2015, p. 2323.
10. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A.
Konsensus pengendalian dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia
2015. Indonesia: PB. PERKENI; 2015.
DOI:10.1017/CBO9781107415324.004.
11. American Diabetes Association. Classification and diagnosis of diabetes.
Diabetes Care 2015. 2015;38. DOI:10.2337/dc15-S005.
12. Marion F, Alison E. Medical nutrition therapy for diabetes mellitus and
hypoglycemia of nondiabetic origin. In: Mahan K, Raymond J, editors.
Krause’s Food Nutr. Care Process. 14th Ed, Canada: ELSEVIER; 2017, p.
595–7.
13. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Senam kaki diabetes [Internet].
Kemenkes RI 2017. Accessed 6 February 2018. Available from:
http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/diabetes-melitus-dan-gangguan-
metabolik/senam-kaki-diabetes.
14. Justice T, Makedonov I. Disorders of glucose metabolism. In: Merali Z,
Woodfine J, editors. Toronto Notes 2016. 32nd Ed, Canada: Medical Doctor
Program University of Toronto; 2016, p. 252.

Anda mungkin juga menyukai