PENDAHULUAN
a) faktor demografi
b) gaya hidup yang kebarat-baratan
c) berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
d) meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes semakin panjang
Mengingat jumlah pasien yang akan membengkak dan besarnya biaya perawatan
diabetes yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang baik
adalah pencegahan. Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada
tiga jenis, antara lain :
I.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai pada mini project ini, meliputi:
1. Mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bekasi
Jaya terhadap diabetes melitus sehingga dapat dilakukan promosi kesehatan sebagai
pencegahan primer atau sekunder bagi masyarakat yang tidak menderita diabetes
melitus tetapi memiliki faktor resiko ataupun untuk masyarakat yang menderita
diabetes melitus tetapi tidak berobat rutin
2. Mengetahui pola aktivitas dan makan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Bekasi Jaya yang menjadi faktor resiko diabetes melitus sehingga dapat dilakukan
promosi kesehatan terutama secara individual.
I.4 Manfaat
1. Bagi penulis, mini project ini menjadi pengalaman yang berguna dalam
menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh sebelum internship.
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
tentang pentingnya pencegahan diabetes melitus dan perlunya mengenali diabetes
melitus lebih dini untuk menekan prevalensi penyakit diabetes melitus di
masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di hati dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini
disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.10
Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan
Glucose-Dependent Insulinotrophic Polypeptide atau disebut juga Gastric
Inhibitory Polypeptide (GIP). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera
dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4
inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida
menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.10
Sel Alpha Pancreas:
Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam
keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan
amylin.10
Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis
DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. 90% dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran Sodium Glucose co-
Transporter (SGLT-2) pada bagian tubulus proksimal. Sedangkan 10%
sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal
sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.10
Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin.10
2.2.3. Klasifikasi
Klasifikasi DM dibagi menjadi beberapa tipe:
1 Diabetes Melitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM):
diabetes yang terjadi akibat kerusakan dari sel beta pankreas karena proses
autoimun atau idiopatik. Pada DM tipe 1, tubuh mengalami defisiensi insulin
absolut sehingga sangat rentan untuk terjadinya ketoasidosis. DM tipe 1
biasanya didiagnosis pada anak-anak dan dewasa muda.
2 Diabetes Melitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM):
diabetes yang terjadi akibat predominan resistensi insulin disertai defisiensi
relatif sampai defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.
3 Diabetes Melitus Tipe lain: diabetes yang terjadi akibat defek genetik dari fungsi
sel beta, penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, trauma/pankreotomi, fibrosis
kistik, hemokromatosis), endokrinopati (sindroma cushing, akromegali,
foekromositoma), dapat juga terjadi karena obat-obatan dan infeksi serta
sindroma genetik lain.
4 Diabetes Melitus Gestasional: diabetes yang timbul atau didiagnosa pertama kali
pada saat kehamilan.11
2.2.4. Faktor Risiko Diabetes Mellitus
Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2, berkaitan dengan
beberapa faktor yang dapat dikelompokkan menjadi dua faktor risiko yaitu faktor risiko
yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.10
A. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
Berat badan lebih (Obesitas)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada
derajat kegemukan dengan IMT >23 atau berdasarkan lingkar perut ≥80 cm
pada wanita dan ≥90 cm pada pria.10
Hipertensi (>140/90 mmHg)
Berhubungan erat dengan tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau
meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah
perifer.10
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida >250 mg/dl)
Hal ini didasari atas terdapatnya hubungan antara kenaikan plasma insulin
dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) yang sering ditemui pada pasien
Diabetes Mellitus.10
Diet tak sehat (unhealthy diet).
Diet dengan tinggi glukosa dan rendah serat akan meningkatkan risiko
menderita prediabetes / intoleransi glukosa dan Diabetes Mellitus.10
B. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Ras dan etnik
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang
dewasanya.9
Riwayat keluarga dengan Diabetes Mellitus.
Usia
Risiko untuk menderita intolerasi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia >45 tahun adalah usia risiko tinggi menderita
Diabetes Mellitus.10
Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000
gram yang disebut juga diabetes gestasional.10
Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.
Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi
dibanding dengan bayi yang lahir dengan BB normal.10
Selain itu diketahui juga terdapat faktor lain yang termasuk faktor resiko terjadinya
Diabetes Mellitus. Faktor-faktor tersebut adalah:
Wanita dengan Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin.10
Penderita sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.
Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, penyakit
jantung kroroner, atau Peripheral Arterial Diseases.10
2.2.5. Tanda dan Gejala
Kecurigaan adanya DM perlu ditegakkan apabila terdapat keluhan
1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
ang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain: badan lemas, kesemutan, gatal, pandangan kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria serta pruritus atau gatal pada vulva.10
2.2.6. Diagnosa Diabetes Mellitus
Diagnosis DM tipe 2 harus didasarkan atas pemeriksaan dari konsentrasi kadar gula
darah. Dalam menentukan diagnosis DM tipe 2 perlu diperhatikan asal bahan darah
yang diambil. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
dengan glukometer.10
Kriteria diagnosis DM tipe 2:
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL. Glukosa plasma
sewaktu merupakan hasil peeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa diartikan pasien
tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
3. Glukosa plasma 2 jam pada Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL.
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 gram glukosa yang dilarutkan ke dalam air.
4. Pemeriksaan HbA1C ≥ 6,5 % dengan pemeriksaan yang telah distandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).10
Hasil pemeriksan yang tidak memenuhi kriteria normal maupun DM dapat digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes yang melipputi: Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).10
1. GDPT apabila hasil pemeriksaan glukosa darah puasa antara 100 – 125 mg/dL
dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam <140 mg/dL.
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) apabila hasil pemeriksaan glukosa plasma
2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg.dl dan glukosa plasma puasa < 100
mg/dl
3. Didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes ditegakkan apabila hasil pemeriksaan HbA1C antara 5,7 –
6,4%.10
Tabel 2.1. Kadar tes laboratorium untuk diagnosis diabetes dan
prediabetes10
HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma 2
puasa (mg/dL) jam setelah TTGO
(mg/dL)
Diabetes ≥6,5 ≥126 ≥200
Prediabetes 5,7 – 6,4 100 – 125 140 - 199
Normal <5,7 <100 <140
2.2.7. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang
DM tipe 2. Tujuan penatalaksaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian kadar glukosa
darah, tekanan darah, bereat badan, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.10
2.2.8. Komplikasi
Hiperglikemi berkelanjutan dari waktu ke waktu dapat menyebablan kerusakan berbagai
sistem tubuh terutama saraf dan pembuluh darah. Beberapa komplikasi yang sering
terjadi adalah:
Meningkatnya risiko penyakit jantung dan stroke.
Neuropati (kerusakan saraf) dikaki yang meningkatkan keadian ulkus kaki,
infeksi, dan bahkan keharusan untuk amputasi kaki.
Retinopati diabetikum, merupakan salah satu dari penyebab utama kebutaan,
terjadi akibat kerusakan pembuluh darah kecil di retina.10
Komplikasi yang juga sering terjadi adalah hipoglikemi, hipoglikemi ditandai
dengan menurunnya kadar glukosa darah <60mg/dL. Hipoglikemi adalah penuurunan
glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala – gejala sistem otonom, seperti adanya
whipple’s triad:
Terdapat gejala – gejala hipoglikemi.
Kadar glukosa darah yang rendah.
Gejala berkurang dengan pengobatan.
Hipoglikemi memiliki tanda dan gejala seperti rasa lapar, berkeringat, gelisah,
pucat, takikardia, lemah, lesu, pandangan kabur, hipotermi, hingga kejang sampai
koma.10
2.3.Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis)
2.3.1. Definisi
Program pengelolaan penyakit kronis (Prolanis) adalah suatu sistem pelayanan
kesehatan dan pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintergrasi yang
melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosisal
(BPJS) Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan
yang menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang terjamin dengan
biaya pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.4
2.3.2. Tujuan
Mendorong peserta yang menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup
optimal. Pada penyakit DM Tipe 2 dan hipertensi harus mendapatkan hasil “baik”
minimal 75% peserta yang terdaftar yang berkunjung ke Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi penyakit.4
2.3.3. Sasaran
Seluruh peserta BPJS Kesehatan penyandang penyakit kronis (Diabetes mellitus Tipe 2
dan Hipertensi).4
2.3.4. Bentuk Pelaksanaan
Bentuk aktifitas dalam Prolanis meliputi:
1. Konsultasi medis / edukasi
Konsultasi medis peserta prolanis: jadwal konsultasi disepakati bersama antara
peserta dengan Fasilitas Kesehatan Pengelola.
2. Aktifitas klub
Suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan dalam upaya
memulihkan penyakit dan mencegah timbulnya kembali penyakit serta
meningkatkan status kesehatan bagi peserta Prolanis.
3. Reminder
Suatu kegiatan untuk memotivasi peserta untuk selalu melakukan kunjungan
rutin ke Fasilitas Kesehatan.
4. Home visit
Kegiatan pelayanan kunjungan ke rumah peserta Prolanis untuk pemberian
informasi/edukasi kesehatan diri dan lingkungan bagi peserta Prolanis dan
keluarga.
5. Pemantauan status kesehatan.4
2.4. Kerangka Teori
eFaktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
Ras Pola makan
Umur Berat badan berlebih
Jenis kelamin Kurangnya aktivitas fisik
Riwayat keluarga dengan Diabetes Merokok
Mellitus
Wanita dengan riwayat melahirkan
bayi dengan berat badan >4000
gram (DM Gestasional)
Diabetes Mellitus
Komplikasi
Hipoglikemi
Meningkatnya risiko penyakit jantung
Stroke
Gagal ginjal
Neuropati (kerusakan saraf)
Retinopati Diabetikum
Subjek mini proyek adalah Penderita Diabetes Mellitus yang berobat ke Puskesmas
Bekasi Jaya selama periode Januari 2020 - Juni 2020.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Populasi mini proyek adalah masyarakat umum dan penderita diabetes mellitus yang
berkunjung untuk berobat ke Puskesmas Bekasi Jaya selama periode Januari 2020 - Juni
2020.
4.1 Jumlah Kasus Diabetes Melitus Baru Berdasarkan Usia Periode Januari 2020-Juni
2020
Tabel 4.1. Jumlah Kasus Diabetes Melitus Baru Periode Januari 2020- Juni 2020
Berdasarkan tabel diatas pada bulan Januari 2020 didapatkan 3 kasus bari dari kelompok
usia 20-44 tahun, 5 kasus dari kelompok usia 45-54 tahun, 3 kasus dari kelompok usia 55-59
tahun, 6 kasus dari kelompok usia 60-69 tahun dan 3 kasus dadri kelompok usia lebih dari 70
tahun. Dengan total kasus baru sebanyak 20 kasus. Pada bulan Februari 2020 didapatkan 2
kasus bari dari kelompok usia 20-44 tahun, 2 kasus dari kelompok usia 45-54 tahun, 6 kasus
dari kelompok usia 55-59 tahun, 5 kasus dari kelompok usia 60-69 tahun dan 1 kasus dadri
kelompok usia lebih dari 70 tahun. Dengan total kasus baru sebanyak 16 kasus. Pada bulan
Maret 2020 didapatkan 1 kasus bari dari kelompok usia 20-44 tahun, 4 kasus dari kelompok
usia 45-54 tahun, 6 kasus dari kelompok usia 55-59 tahun, 6 kasus dari kelompok usia 60-69
tahun dan 2 kasus dadri kelompok usia lebih dari 70 tahun. Dengan total kasus baru sebanyak
19 kasus. Bulan April 2020 didapatkan 1 kasus bari dari kelompok usia 20-44 tahun, 3 kasus
dari kelompok usia 45-54 tahun, 1 kasus dari kelompok usia 55-59 tahun, 2 kasus dari
kelompok usia 60-69 tahun dan 0 kasus dadri kelompok usia lebih dari 70 tahun. Dengan
total kasus baru sebanyak 7 kasus. Bulan Mei 2020 didapatkan 2 kasus bari dari kelompok
usia 20-44 tahun, 3 kasus dari kelompok usia 45-54 tahun, 1 kasus dari kelompok usia 55-59
tahun, tidak ada kasus baru dari kelompok usia 60-69 tahun dan tidak ada kasus baru dari
kelompok usia lebih dari 70 tahun. Sehingga total kasus baru sebanyak 6 kasus. Bulan Juni
2020 didapatkan 1 kasus bari dari kelompok usia 20-44 tahun, 1 kasus dari kelompok usia
45-54 tahun, 6 kasus dari kelompok usia 55-59 tahun, 1 kasus dari kelompok usia 60-69
tahun dan 1 kasus dadri kelompok usia lebih dari 70 tahun. Dengan total kasus baru sebanyak
10 kasus. Dan dapat diperhatikan bahwa tidak didapatkan kasus baru dri kelompok usia 10-14
tahun dan 15-19 tahun selama periode Januari 2020 - Juni 2020.
Gambar 4.1. Kasus Baru Diabetes Melitus Berdasarkan Kelompok Usia Periode Januari
2020 – Juni 2020
Bila melihat grafik diatas dapat disimpulkan bahwa semakin bertambabhnya usia maka
semakin banyak jumlah kasus baru penderita penyakit Diabetes Melitus. Hal ini sesuai,
berdasarkan faktor risiko untuk menderita intoleransi glukosa aan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Terutama bagi yang berusia 45 tahun keatas. WHO membuatperkiraan
bahwa pada tahun 2000 pederita diabetes usia lebih dari 20 tahun adalah sebanyak 150 juta
orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudia, yakni tahun 2025 jumlahnya akan
meningkat menjadi 300 juta orang.
Gambar 4.2. Jumlah Kasus Baru Perbulan Selama Periode Januari 2020- Juni 2020
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa jumlah kasus diabetes melitus baru pada
bulan Januari 2020 sebanyak 20 pasien, pada bulan Februari 2020 sebanyak 16 kasus baru,
pada bulan Maret 2020 19 kasus, dan pada bulan April 2020 terjadi penurun kasus baru
menjadi 7 kasus, pada bulan Mei 2020 didapatkan 6 kasus baru dan pada bulan Juni 2020
didapatkan 10 kasus baru.
Penurunan yang terjadi merupakan dampak dari penurunan pengunjung ke Puskesmas
Bekasi Jaya dikarenakan oleh terjadinya pandemi COVID-19, sehingga prioritas pasien yang
berkunjung pun berubah dan mengurangi kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan karena
merupakan tempat yang berisiko tinggi. Dampaknya terjadi penurunan yang bermakna pada
temuan kasus baru diabetes melitus, sehingga memungkinkan ada banyak pasien yang
kemungkinan sudah mengidap diabetes melitus tidak terdeteksi dan tidak bisa segera
mendapatkan penanganan.
BAB V
5.1 Simpulan
5.2 Saran