Anda di halaman 1dari 29

Case Report Session

Apendisitis Akut

Oleh:
Suciliani Deyosky
1740312438

Preseptor:
dr. Anbiar Manjas Sp.B-KBD

BAGIAN ILMU BEDAH RSUD ACHMAD MOCHTAR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Apendisitis akut

merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja.

Semua kasus apendisitis memerlukan tindakan pengangkatan dari apendiks yang

terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan

tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis

dan shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa

Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh

dunia 3.

Appendisitis yang bersifat akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Appendisitis

dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kuarng dari 1 tahun jarang dilaporkan.

Insiden tertinggi terjadi pada usia 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insiden pada laki-laki

sebanding dengan perempuan.3

Appendisitis akut yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan appendisitis

perforasi. Perforasi pada appendiks dapat menyebabkan terbentuknya kavitas dengan abses yang

berisis pus, yang dapat pecah dan menyebabkan peritonitis. Pada kasus seperti ini, laparotomi

emergensi dan irigasi dari rongga peritoneal sangat penting untuk dilakukan. Bila tidak segera

dilakukan operasi, dapat menyebabkan kematian pada pasien.5


1.2 Tujuan Penelitian

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang

\appendisitis perforasi.

1.3 Rumusan Masalah

Makalah ini membahas tentang:

 Anatomi, definisi, etiologi, pathogenesis, diagnosis dan manifestasi klinis,

penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis appendisitis perforasi

1.4 Metode Penelitian

Penulisan makalah ini menggunakan metode penulisan tinjauan pustaka yang merujuk

pada berbagai literature.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Apendisitis

Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi dari negara berkembang. Namun,

dalam 3-4 dasawarsa terakhir angka kejadian menurun secara bermakna. Hal ini diduga

disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.

Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, namun insiden pada anak kurang dari 1 tahun

jarang dilaporkan. 1 Apendisitis pada neonatus pada umumnya disebabkan oleh adanya neonatal

necrotizing enterocolitis, kistik fibrosis, hirschsprung disease, atau bakteremia.

Apendisitis merupakan kelainan abdomen pada bagian bedah yang paling umum

ditemukan pada anak-anak di atas usia 2 tahun. Apendisitis terdiagnosa hanya 1-8 % dari seluruh

pasien anak-anak yang datang ke instalasi gawat darurat. Angka kejadian terbesar berada pada

rentang usia 6-10 tahun. Di Amerika Serikat angka insiden berkisar 1-2 kasus per 10.000 anak

pertahun pada usia 0-4 tahun, 4 kasus per 1.000 anak pertahun pada usia 6-10 tahun, dan pada

usia 10-17 tahun berkisar 25 kasus per 10.000 anak pertahun. Resiko perforasi sekitar 17-40%,

dan semakin meningkat pada anak yang berusia lebih muda yakni 50-85%. Angka mortalitas

pada anak berkisar 0,1-1%. Pada bayi, apendisitis jarang terjadi karena perbedaan struktur

anatomi, namun apabila terjadi apendisitis diagnosa sulit ditegakkan sehingga sering terjadi

perforasi.2,7

2.2 Embriologi

Apendiks berasal dari sekum dan menjadi matur pada trimester kedua. Sekum mulai

berkembang pada minggu ke lima janin, tumbuh sebagai divertikulum dari distal primitive
9
intestinal loop sebelum berdiferensiasi menjadi usus besar dan usus kecil. Distal primitive

intestinal loop merupakan bagian dari midgut. Karakteristik perkembangan usus tengah berupa
10
elongasi cepat dari usus dan mesentriumnya, menghasilkan primary intestinal loop. Bagian

apeks dari distal primitive intestinal loop kemudian berkembang menjadi distal dari duodenum,

jejunum dan ileum, sementara bagian kaudal menjadi bagian bawah dari ileum, sekum, apendiks,

kolon asendens dan 2/3 bagian proksimal dari kolon transversal. 10

Gambar 2.1 Rotasi Primary intestinal loop

Primary intestinal loop kemudian akan mengalami pertambahan panjang yang cepat

terutama di bagian kranial. Pertumbuhan yang cepat dan membesarnya hati yang terjadi serentak

menyebabkan rongga perut sementara menjadi terlampau kecil untuk menampung semua usus

dan gelung usus akan masuk ke rongga selom ekstraembrional di dalam tali pusat selama

perkembangan minggu ke enam (Hernia umbilikalis fisiologis). Pada minggu ke sepuluh, gelung

usus yang mengalami herniasi, kembali ke dalam rongga abdomen. Bagian proksimal dari

jejunum merupakan bagian pertama yang masuk kembali ke rongga abdomen dan terletak di sisi

kiri. Bagian dari gelung usus yang masuk setelahnya akan terletak semakain ke kanan. Tunas

sekum, yang tampak pada minggu ke enam sebagai pelebaran kecil berbentuk kerucut di bagian
kaudal primary intestinal loop, merupakan bagian yang terakhir masuk ke rongga abdomen,

terletak pada kuadran kanan bagian atas, di bawah bagian kanan dari hepar. 10

Gambar 2.2 Urutan tahap perkembangan sekum dan apendiks

Bagian tunas sekum kemudian bergerak turun menuju ke dalam fossa iliaka kanan dan

membentuk kolon asendens dan fleksura hepatika pada bagian kanan dari rongga abdomen.

Selama proses ini, bagian ujung distal dari tunas sekum membentuk divertikulum sempit yaitu

apendiks primitif. Apendiks berkembang saat perkembangan kolon asendens, sehingga posisi

akhir dari apendiks pada umumnya terletak posterior dari sekum atau kolon, yaitu

retrosekalis/retrokolika. 10

2.3 Anatomi Apendiks

Apendiks adalah suatu kantong yang terbentuk dari sekum dan terletak di inferior

ileocecal jungtion. Pada neonatus panjang apendiks sekitar 4,5 cm dan pada dewasa sekitar 9,5

cm, dengan diameter dinding terluar 2-8 mm dan diameter lumen 1-3 mm. Pada neonatus dan

bayi bentuknya seperti kerucut, sehingga memperkecil kemungkinan untuk terjadinya obstruksi,

semakin bertambahnya usia bentuknya akan berubah menjadi seperti tabung. Ujung dari

apendiks biasanya terletak pada kuadran kanan bawah rongga pelvis, namun juga dapat

bervariasi. Pada 65% kasus apendiks terletak intra peritoneal, karena letak tersebut
memungkinkan apendiks untuk bergerak dan ruang geraknya tergantung pada panjang

mesoapendiks penggantungnya. Pada 45% kasus apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di

belakang sekum, dibelakang kolon asendens atau tepi lateral kolon asenden. Gejala klinis

apendiks ditentukan oleh letak apendiks.4

Gambar 2.4 Posisi Apendiks

Persarafan apendiks berupa saraf simpatis dan parasimpatis. Persarafan parasimpatis

berasal dari cabang nervus vagus yang berasal dari pleksus mesentrika superior yang mengikuti

arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari

nervus thorakalis X oleh karena itu nyeri viseral pada apendiks bermula disekitar umbilikus.

Perdarahan apendiks berasal dari areteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.

Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami

gangren. Apendiks memiliki lebih dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendik menuju ke nodus

limfe ileocaecal. 1,11

2.5 Patofisiologi
Fungsi apendiks dalam tubuh manusia sampai saat ini masih belum sepenuhnya

dipahami. Salah satu yang dikatakan pentik adalah terjadi produksi imunglobulin oleh Gut

Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang menghasilkan IgA. GALT ini sama dengan lapisan

pada sepanjang saluran cerna lainnya. Karena jumlahnya yang sedikit dan minimal,

pengangkatan apendiks dikatakan tidak mempengaruhi sistem perhanan mukosa saluran cerna.

Apendiks juga menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL setiap harinya. Aliran ini akan dialirkan ke

sekum dan berperan untuk menjaga kestabilan mukosa apendiks. Apendisitis seringkali terjadi

karena gangguan aliran cairan apendiks ini. 11

Apendisitis akut secara umum terjadi karena proses inflamasi pada apendiks akibat

infeksi. Penyebab utama terjadinya infeksi adalah karena terdapat obstruksi. Obstruksi yang

terjadi mengganggu fisiologi dari aliran lendir apendiks, dimana menyebakan tekanan intralumen

meningkat, apendiks memiliki kapasitas lumen sekitar 0,1 ml jika sekresi sekitar 0,5 % dapat

meningkatkan tekanan intralumen sekitar 60 cmH2O. Tekanan yang meningkat tersebut akan

menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, menghambat drainase aliran limfe, terjadi ulserasi

mukosa, dan terjadi kolonisasi bakteri yang dapat menimbulkan infeksi pada daerah tersebut.

Infeksi pada apendiks menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah dan semakin iskemik

karena terjadi trombosis pembuluh dara intramural. Pada saat ini terjasi apendisitis akut fokal

yang ditandai oleh nyeri epigastrium. 1

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekana akan terus meningkat. Hal tersebut akan

menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.

Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di

daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. 1
Bila sekresi teleh menymbat arteri, akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti

dengan gangren. Stadium ini dikenal dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang rapuh

tersebut pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila proses yang telah dijelaskan sebelumnya

berjalan lambat, omentum dan usus akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa

lokal yang disebut infiltrate apendikularis, peradangan yang ada sebelumnya dapat menjadi abses

atau menghilang. Pada infilitrat apendiks, terdapat jaringan nekrotik yang dapat saja terbentuk

menjadi abses sehingga menimbulkan risiko perforasi yang berbahaya pada pasien apendisits.

Pada sebagian kasus, apendisitis dapat melewati fase akut tanpa perlu dilakukannya operasi.

Akan tetapi, nyeri akan seringkali berulang dan menyebabkan eksaserbasi akut sewaktu-waktu

dan dapat langsung berujung pada komplikasi perforasi. Pada anak-anak dan geriatri, daya tahan

tubuh yang rendah dapat meyebabkan sulitnya terbentuk infiltrat apendisitis sehingga risiko

perforasi lebih besar. 1,11

2.6 Gejala Klinis

Gejala klasik apendisitis yang pertama adalah nyeri daerah paraumbilikus yang diikuti mual,

nyeri perut kanan bawah, dan muntah disertai demam pada tahap lanjut. Namun gejala ini hanya

ditemukan pada 50% pasien dewasa dan sangat sedikit pada anak-anak. Kebanyakan gejala klinis

tergantung umur, pengetahuan mengeai gejala klinis tersebut akan lebih menunjang akurasi diagnosa.

Untuk kasus neonatus, gejala klinis umunya tidak spesifik seperti letargi, distensi abdomen, muntah,

tidak nafsu makan yang hal tersebut mirip dengan kelainan abdomen lain pada neonatus. Pada anak

usia sekolah, penemuan apendisitis meningkat yang didukung dari anamnesa dan pemeriksaan fisik

yang lebih reliabel. Anak dapat mendeskripsikan onset dari nyeri serta perpindahan nyeri kuadran

kanan bawah. 2,3,4,7

 Nyeri Perut
Nyeri perut merupakan keluhan utama yang biasanya dirasakan pasien dengan apendisitis

akut. Karakteristik nyeri perut penting untuk diperhatikan klinisi karena nyeri perut pada

apendisitis memiliki ciri-ciri dan perjalanan penyakit yang cukup jelas.

Nyeri pada apendisitis muncul mendadak (sebagai salah satu jenis dari akut abdomen) yang

kemudian nyeri dirasakan samar-samar dan tumpul. Nyeri merupakan suatu nyeri viseral yang

dirasakan biasanya pada daerah epigastrium atau periumbilikus. Nyeri viseral terjadi terus

menerus kemudian nyeri berubah menjadi nyeri somatik dalam beberapa jam. Lokasi nyeri

somatik umumnya berada di titik McBurney, yaitu pada 1/3 lateral dari garis khayalan dari spina

iliaka anterior superior (SIAS) dan umbilikus. Nyeri somatik dirasakan lebih tajam, dengan

intesitas sedang sampai berat. Pada suatu metaanalisis, ditemukan bahwa neyri perut yang

berpindah dan berubah dari viseral menjadi somatik merupakan salah satu bukti kuat untuk

menegakkan diagnosis apendisitis. 2,3

Sesuai dengan anatomi apendiks, pada beberapa manusia letak apendiks berada retrosekal

atau berada pada rongga retroperitoneal. Keberadaan apendiks retrosekal menimbulkan gejala

nyeri perut yang tidak khas apendisitis karena terlindungi sekum sehingga rangsangan ke

peritoneum minimal. Nyeri perut pada apendisitis jenis ini biasanya muncul apabila pasien

berjalan dan terdapat kontraksi musculus psoas mayor secara dorsal. 2,3

 Mual dan Muntah

Gejala mual dan muntah sering menyertai pasien apendisitis. Nafsu makan atau anoreksia

merupakan tanda-tanda awal terjadinya apendisitis. 2,3

 Gejala Gastrointestinal

Pada pasien apendisitis akut, keluhan gastrointestinal dapat terjadi baik dalam bentuk diare

maupun konstipasi. Pada awal terjadinya penyakit, sering ditemukan adanya diare 1-2 kali akibat
respons dari nyeri viseral. Diare terjadi karena perangsangan dinding rektum oleh peradangan

pada apendiks pelvis atau perangsangan ileum terminalis oleh peradangan apendiks retrosekal.

Akan tetapi, apabila diare terjadi terus menerus perlu dipikirkan terdapat penyakit penyerta lain.

Konstipasi juga seringkali terjadi pada pasien apendisitis, terutama dilaporkan ketika pasien

sudah mengalami nyeri somatik. 2,3

 Keadaan Umum

Secara umum, pasien apendisitis akut memiliki tanda-tanda pasien dengan radang atau nyeri

akut. Takikardia dan demam ringan-sedang sering ditemukan. Demam pada apendisitis

umumnya sekitar 37,5 – 38,5°C. Demam yang terus memberat dan mencapai demam tinggi perlu

dipikirkan sudah terjadinya perforasi. 2,3

 Keadaan Lokal

Pada apendisitis, tanda-tanda yang ditemukan adalah karena perangsangan langsung pada

peritoneum oleh apendiks atau perangsangan tidak langsung. Perangsangan langsung

menyebabkan ditemukannya nyeri tekan dan nyeri lepas pada perut kanan bawah, terutama pada

titik McBurney. Selain itu pada inspeksi dan palpasi abdomen akan mudah dilihat terdapat

deffense muscular sebagai respons dari nyeri somatik yang terjadi secara lokal.

Perangsangan tidak langsung ditunjukkan oleh beberapa tanda, antara lain Rovsing sign yang

menandakan nyeri pada perut kiri bawah apabila dilakukan penekanan pada titik McBurney.

Begitupula Blumberg sign adalah nyeri pada perut kiri bawah apabila dilakukan pelepasan pada

titik McBurney. 2,3

Pada apendisitis retrosekal, tanda-tanda umum di atas seringkali tidak muncul akan tetapi

dapat cukup khas ditegakkan dengan Psoas sign dan Obturator sign. Tanda psoas adalah nyeri

timbul apabila pasien melakukan ekstensi maksimal untuk meregangkan otot psoas. Secara
praktis adalah dengan fleksi aktif sendi panggul kanan kemudian paha kanan diberikan tahanan.

Hal ini akan menimbulkan rangsangan langsung antara apendiks dengan otot psoas sehingga

timbul nyeri. Tanda obturator muncul apabila dilakukan fleksi dan endorotasi sendi panggul yang

menyebabkan apendiks bersentuhan langsung dengan muskulus obturator internus. Biasanya untuk

mengetahui terdapat tanda psoas maupun obturator, dapat pula diperdalam mengenai timbulnya nyeri

saat berjalan, bernafas, dan beraktivitas berat.

2.7 Diagnosis

Diagnosis apendisitis bergantung pada penemuan klinis, yaitu dari anamnesis mengenai

gejala-gejala dan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda-tanda yang khas pada apendisitis.

Anamnesis mengenai gejala nyeri perut beserta perjalanan penyakitnya, gejala penyerta seperti

mual-muntah-anoreksia, dan ada tidaknya gejala gastrointestinal.

Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh karena tanda-tanda vital juga sudah dapat

mengarah ke diagnosis apendisitis. Takikardia dan demam sedang merupakan tanda-tanda yang

sering ditemukan. Pada pemeriksaan gigi dan mulut, sering ditemukana adanya lidah kering dan

terdapat fethor oris. Pada pemeriksaan abdomen dilakukan cermat pada tiap tahap. Dari

auskultasi sering ditemukan bising usus menurun karena terjadi ileus paralitik. Pada inspeksi,

dapat ditemukan bahwa dinding perut terlihat kaku dan kemudian dikonfirmasi dengan palpasi.

Pada palpasi, ditemukan nyeri tekan dan nyeri lepas serta terdapat tahanan (deffense muscular).

Palpasi dilakukan pada beberapa titik diagnostik apendisitis yaitu titik McBurney, uji Rovsig,

dan uji Blomberg. Uji psoas dan uji obturator juga dapat dilakukan terutama pada kecurigaan

apendisitis yang terjadi secara retrosekal. 1,12

Pemeriksaan penunjang kurang bermakna pada diagnosis apendisitis karena penegakan

diagnosis umumnya cukup berasal dari penemuan klinis. Pemeriksaan urin dan darah perifer
lengkap dapat membantu dengan menunjukkan adanya tanda-tanda inflamasi secara umum, yaitu

adanya leukositosis.

Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat digunakan suatu alat bantu

untuk diagnosis apendisitis akut, yaitu Alvarado Score. Dengan memperoleh nilai lebih dari 7,

maka apendisitis akut sudah umumnya dapat ditegakkan.5 Komponen Alvarado Score adalah :

Tabel 2.1 Alvarado Score

Periksaan Laboratorium2,7

Pemriksaan laboratorium dapat meningkatkan kecurigaan apendisitis, tapi bukan untuk

diagnosis pasti. Pada pemeriksaan darah rutin jumlah leukosit meningkat 70-90% kasus

apendisitis, namun juga dapat meningkat pada kondisi lainnya. Jumlah leukosit >15.000/mm3

kemungkinan besar sudah terh=jadi perforasi. Pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk melihat

kemungkinan infeksi saluran kemih atau batu.

Pemeriksaan Radiologi 2,7,8

Rontgen abdomen jarang membantu menegakkan diagnosis apendisitis. Banyak kasus

apendisitis ditemukan gambarab radiologis yang normal. Tnada yang dapat ditemukan seperti

gambaran psos line kanan yang kabur, air fluid level pada perut kanan bawah, dan gambaran
udara pada apendiks. USG merupakan salahsatu pilihan untuk mengevaluasi apendisitis pada

anak. Beberapa tanda yang dijumpai pada USG adalah dilatasi apendiks, pada perforasi

ditemukan formasi abses, terdapat cairan di lumen apendiks dan diameter transversum apendiks

> 6 mm.

2.8 Penatalaksanaan

Setelah penegakan diagnosis apendisitis dilakukan, tata laksana utama pada apendisitis

adalah Apendektomi. Tata laksana mulai diarahkan untuk persiapan operasi untuk mengurangi

komplikasi pasca-operasi dan meningkatkan keberhasilan operasi.

 Medikamentosa

Persiapan operasi dilakukan dengan pemberian medikamentosa berupa analgetik dan

antibiotik spektrum luas, dan resusitasi cairan yang adekuat. Pasien apendisitis seringkali datang

dengan kondisi yang tidak stabil karena nyeri hebat sehingga analgetik perlu diberikan.

Antibiotik diberikan untuk profilaksis, dengan cara diberikan dosis tinggi, 1-3 kali dosis

biasanya. Antibiotik yang umum diberikan adalah cephalosporin generasi 2 / generasi 3 dan

Metronidazole. Hal ini secara ilmiah telah dibuktikan mengurangi terjadinya komplikasi post

operasi seperti infeksi luka dan pembentukan abses intraabdominal. 1,12

Pilihan antibiotik lainnya adalah ampicilin-sulbactam, ampicilin-asam klavulanat,

imipenem, aminoglikosida, dan lain sebagainya. Waktu pemberian antibiotik juga masih diteliti.

Akan tetapi beberapa protokol mengajukan apendisitis akut diberikan dalam waktu 48 jam saja.

Apendisitis dengan perforasi memerlukan administrasi antibiotik 7-10 hari. 13

 Apendektomi
Sampai saat ini, penentuan waktu untuk dilakukannya apendektomi yang diterapkan adalah

segera setelah diagnosis ditegakkan karena merupakan suatu kasus gawat-darurat. Beberapa

penelitian retrospektif yang dilakukan sebenarnya menemukan operasi yang dilakukan dini

(kurang dari 12 jam setelah nyeri dirasakan) tidak bermakna menurunkan komplikasi post-

operasi dibanding yang dilakukan biasa (12-24 jam). Akan tetapi ditemukan bahwa setiap

penundaan 12 jam waktu operasi, terdapat penambahan risiko 5% terjadinya perforasi.

Teknik yang digunakan dapat berupa, (1) operasi terbuka, dan (2) dengan Laparoskopi.

Operasi terbuka dilakukan dengan :

1. Insisi gridiron, insisi pada titik McBurney yang dilakukan tegak lurus terhadap garis

khayalan antara SIAS dan umbilikus. Di bawah pengaruh anestesi, dapat dilakukan

palpasi untuk menemukan massa yang membesar. Setelah dilakukan insisi,

pemebdahan dilakukan dengan identiifkasi sekum kemudian dilakukan palpasi ke

arah posteromedial untuk menemukan apendisitis posisi pelvik. Mesoapendiks

diligasi dan dipisahkan. Basis apendiks kemudian dilakukan ligasi dan transeksi.

2. Lanz transverse insicion, insisi diakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal

pada garis mid klavikula sampai mid inguinal. Insisi iini memiliki keuntungan

kosmetik lebih baik dibandingkan insisi gridiron.

3. Insisi paramedian kanan bawah, insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di

bawah umbilikus sampai dia atas pubis

4. Insisi suprainguinal, insis perluasan dari insisi di titik Mc Burney, insisi ini dilakukan

pada apendiks terletak di retrosekal dan terfiksir.

Apendektomi dengan bantuan laparoskopi mulai umum dilakukan saat ini walaupun

belum ada bukti yang menyatakan bahwa metode ini memberikan hasil operasi dan pengurangan
kejadian komplikasi post-operasi. Apendekotmi laparoskopi harus dilakukan apabila diagnosis

masih belum yakin ditegakkan karena laparoskopi dapat sekaligus menjadi prosedur diagnostik.

Sampai saat ini penelitian-penelitian yang dilakukan masih mengatakan keunggulan dari metode

ini adalah meningkatkan kualitas hidup pasien. Perbaikan infeksi luka tidak terlalu berpengaruh

karena insisi pada operasi terbuka juga sudah dilakukan dengan sangat minimal. 1,12

Komplikasi pasca-operasi dari apendektomi adalah terjadinya infeksi luka dan abses

inttraabdomen. Infeksi luka umumnya sudah dapat dicegah dengan pemberian antibiotik

perioperatif. Abses intra-abdomen dapat muncul akibat kontaminasi rongga peritoneum. 12

2.9 Komplikasi

Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak dilakuka penanganan

segera adalah perforasi. Sebelum terjadinya perforasi, biasanya diawali dengan adanya masa

periapendikuler terlebih dahulu. Masa periapendikuler terjadi apabila gangren apendiks masih

berupa penutupan lekuk usus halus. Sebenarnya pada beberapa kasus masa ini dapat diremisi

oleh tubuh setelah inflamasi akut sudah tidak terjadi. Akan tetapi, risiko terjadinya abses dan

penyebaran pus dalam infilitrat dapat terjadei sewaktu-waktu sehingga massa periapendikuler ini

adalah target dari operasi apendektomi.

Perforasi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada apendisitis karena selain

angka morbiditas yang tinggi, penanganan akan menjadi semakin kompleks. Perforasi dapat

menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai nyeri hebat seluruh perut, demam tinggi, dan

gejala kembung pada perut. Bisis usus dapat menurun atau bahkan menghilang karena ileus

paralitik yang terjadi. Pus yang menyebar dapat menjadi abses inttraabdomen yang paling umum

dijumpai pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tata laksana yang dilakukan pada kondisi berat

ini adalah laparotomi eksploratif untuk membersihkan pus-pus yang ada. Sekarang ini sudah
dikembangkan teknologi drainase pus dengan laparoskopi sehingga pembilasan dilakukan lebih

mudah. 1

2.10 Prognosis

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas

penyalit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas

bila terjadi komplikasi. Serangan berulang akan sering terjasi bila apendiks tidak diangkat. 1

2.1 Appendiks

Apendiks (umbai cacing) merupakan organ digestif yang terletak pada rongga abdomen

bagian kanan bawah. Apendiks berbentuk tabung dengan panjang ±10 cm dan berpangkal di

sekum. Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar di distal. Sedangkan pada bayi,

apendiks berbentuk kerucut yaitu melebar di proksimal dan menyempit di distal. Apendiks

memiliki beberapa kemungkinan posisi, yang didasarkan pada letak terhadap struktur-struktur

sekitarnya yaitu retrosekal, retroileal, ileosekal dan di rongga pelvis1,2. Apendiks dipersarafi oleh

persarafan otonom parasimpatis dari nervus vagus dan persarafan simpatis dari nervus torakalis

X. Persarafan ini yang menyebabkan radang pada apendiks akan dirasakan periumbilikal.

Vaskularisasi apendiks adalah oleh arteri apendikularis yang tidak memiliki kolateral.3
Gambar 2.3 Variasi Posisi Appendix4

Fungsi appendiks dalam tubuh manusia sampai saat ini masih belum sepenuhnya

dipahami. Salah satu yang dikatakan penting adalah terjadi produksi imunglobulin oleh Gut

Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang menghasilkan IgA. GALT ini sama dengan lapisan

pada sepanjang saluran cerna lainnya. Karena jumlahnya yang sedikit dan minimal,pengangkatan

apendiks dikatakan tidak mempengaruhi sistem perhanan mukosa saluran cerna. Appendiks juga

menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL setiap harinya. Aliran ini akan dialirkan ke sekum dan

berperan untuk menjaga kestabilan mukosa apendiks. Appendisitis seringkali terjadi karena

gangguan aliran cairan appendiks ini.3


Gambar 2.4 Gambaran histologis apendiks vermiform4

BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : An. QA

Usia : 14 tahun 9 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Perkawinan : Belum menikah


Alamat : Lasi, Bukittinggi

3.2 Anamnesa

Keluhan Utama

Nyeri perut sebelah kanan bawah sejak 18 jam sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang

 Nyeri perut sebelah kanan bawah sejak 18 jam sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya nyeri di rasakan sekitar pusat kemudian nyeri berpindah ke perut kanan
bawah. Nyeri perut hilang timbul ada sejak seminggu SMRS, kemudian nyeri
dirasakan terus menerus sejak 18 jam SMRS. Nyeri perut seperti di tekan
dirasakan terus menerus, nyeri meningkat saat bergerak. Pasien mengaku belum
berobat ke dokter, hanya minum obat maag tapi nyeri perut kanan bawah tetap
dirasakan.
 Demam 1 hari sebelum masuk rumah sakit
 Batuk tidak ada, sesak tidak ada.
 Pasien mengeluhkan mual
 Muntah 1 kali, isi apa yang dimakan.
 BAK (+) normal, BAB belum ada sejak pagi sebelum masuk rumah sakit.
 Nafsu makan menurun (+)
 Haid terakhir + 1 bulan SMRS. Tidak mengalami keputihan.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal pasien.

 Riwayat gastritis (-)

 Riwayat operasi sebelumnya (-)

Riwayat Pengobatan

 Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan secara rutin


Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada riwayat penyakit seperti ini maupun keganasan pada keluarga pasien

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi,

 Pasien merupakan seorang pelajar

Riwayat Alergi

 Alergi ikan laut. Pada hari pertama rawatan, di lakukan skin test, pasien alergi
ceftrixin dan ranitidine.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik Umum

 Keadaan umum : Sakit sedang


 Kesadaran : Komposmentis kooperatif
 Nadi : 80 kali/menit
 Nafas : 20x/menit
 Suhu : 37,5 C
 Tekanan Darah : 100/60 mmHg
 Tinggi Badan : 155 cm
 Berat Badan : 47 kg
 IMT :

Status Interna

 Kepala, Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut


 Kulit dan kuku : Turgor kulit baik, tidak sianosis
 KGB : Tidak ditemukan pembesaran KGB
 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
 Hidung : Tidak ditemukan kelainan
 Telinga : Tidak ditemukan kelainan
 Leher : Tidak ditemukan kelainan
 Paru
 Inspeksi : Dinding dada dan pergerakannya simetris kanan-kiri
 Palpasi : Fremitus sama kanan-kiri
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
 Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari media linea midclavicula sinistra RIC V
 Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : Bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-)
 Punggung
 Inspeksi : Dinding dada dan pergerakannya simetris kanan-kiri
 Palpasi : Fremitus sama kanan-kiri
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
 Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik

Status Lokalis Abdomen

 Inspeksi : Distensi (-), Darm contour (-), Darm steifung (-).


 Auskultasi : Bising usus (+) normal.
 Palpasi : Nyeri tekan (+) di regio kanan bawah di titik McBurney, Nyeri
lepas (+), defans muscular (-), psoas sign (+), blumberg sign (+) pada kuadran kanan
bawah, rovsing sign (+), obturator sign (+).
 Perkusi : Timpani

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

 Hemoglobin : 12,8 mg/dl


 Hematokrit : 38,2 %
 Leukosit : 18.940 /mm3
 Trombosit : 267.000 /mm3
 Eritrosit : 4,48 juta
 PT : 11 sec
 APTT : 40,7 sec
 INR : 1,01

Pemeriksaan Anjuran

- USG Abdomen

3.5 Diagnosis Kerja

Appendisitis akut

3.6 Diagnosis Banding

Ureterolitiasis

Divertikulitis

Peritonitis

3.7 Tatalaksana

Pre Op

 Pasien dipuasakan
 Rehidrasi : IVFD RL 12 jam/ kolff
 Terapi medikamentosa
 Ceftazidime 2 x 1 gram (iv)
 Omeprazol 2 x 1 gram (iv)
 Ketorolac 3 x 1 gram (iv)
 Paracetamol infuse 3 x 2,5 (iv)

Laparoscopy Apendektomi

Tampak apendik hiperemis dan erektil, dengan panjang 10 cm.

Post op

 Omeprazol 2 x 1 gr (iv)
 Ceftazidim 2 x 1 gr (iv)
 Ketorolac 3 x 1 gr (iv)
BAB 4
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien perempuan berusia 14 tahun di bangsal bedah dengan

diagnosis Appendisitis Akut. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik.

Awalnya, dari hasil anamnesis ditemukan keluhan utama pasien adalah Awalnya nyeri di rasakan

sekitar pusat kemudian nyeri berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri perut hilang timbul ada

sejak seminggu SMRS, kemudian nyeri dirasakan terus menerus sejak 18 jam SMRS. Nyeri

perut seperti di tekan dirasakan terus menerus, nyeri meningkat saat bergerak. Nyeri yang

dialami pasien tersebut merupakan gejala khas nyeri perut pada penyakit appendisitis.

Appendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendiks vermiformis.

Peradangan terjadi akibat adanya obstruksi lumen yang biasanya disebabkan oleh adanya fecolith

sehingga meningkatkan sekresi mukus.Hal iniakan menyebabkan tekanan intralumen appendiks

meningkat sehingga dapat mengganggu aliran limfatik yang selanjutnya dapat menjadi faktor

resiko infeksi di lumen tersebut. Mulanya peradangan dimulai dari mukosa, serosa dan ketika

sudah sampai di peritoneum viseral maka akan terasa nyeri di sekitar umbilikus akibat adanya

saraf otonom nervus torakal X di daerah tersebut. Bila peradangan telah sampai ke peritoneum

parietal, maka nyeri menjadi somatik dan berpindah menjadi nyeri di iliaka kanan bawah.

Apabila hal ini terus berlanjut, maka proses peradangan akan mengenai arteri pada appendiks

sehingga menyebabkan nekrosis yang dapat mengalami perforasi. Sel-sel radang akan keluar dan

memenuhi rongga peritoneal yang akan bermanifestasi menjadi nyeri di seluruh lapangan perut

dan distensi.

Pada pemeriksaan fisik, pasien demam suhu tubuh 37,5 C, menandakan adanya proses

radang. Status generalisata dalam batas normal. Status lokalis abdomen pada inspeksi tidak
terlihat adanya distensi, auskultasi bising usus ada dalam batas normal. Pada palpasi ditemukan

nyeri tekan di titik McBurney positif dan nyeri lepas positif. Tidak ditemukan tanda defans

muskular. Pemeriksaan obturator sign positif menandakan kemungkinan letak appendiks di

retrosekal. Psoas signpositif akibat adanya kontak muskulus psoas dengan peritoneum di dekat

appendiks. Rovsing’s sign pada pasien juga ditemukan positif. Pada perkusi didapatkan hasil

timpani.

Pada hasil pemeriksaan penunjang didapatkan pasien mengalami leukositosis dengan

jumlah leukosit 18.960/mm3. Leukositosis menandakan adanya peningkatan produksi sel darah

putih, karena ada proses inflamasi. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan penunjang,

Tatalaksana pada pasien ini adalah laparoscopi apendektomi segera, pre-operasi yang

diberikan pada pasien ini adalah terapi cairan yakni ringer laktat yang diberikan 1 kolff tiap 12

jam. Tatalaksana medikamentosa yang diberikan adalah ceftazidim yang merupakan obat

antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga. Tatalaksana lainnya adalah pemberian

omeprazole termasuk obat Proton Pump Inhibitor (PPI).Obat ini diberikan untuk menurunkan

asam lambung yang berlebihan. Dan diberikan paracetamol infuse untuk mengurangi gejala

demam pada pasien.

Setelah dilakukan operasi, Pasien diberikan antibiotik profilaks golongan sefalosporin

generasi ketiga yakni untuk mengatasi infeksi dan mencegah infeksi bakteri lainnya. Terapi

farmakologis lainnya yang diberikan adalah ketorolak yang merupakan golongan NSAID untuk

menurunkan reaksi inflamasi di sekitar luka bekas operasi. Untuk mengatasi efek ketorolac yang

menurunkan produksi prostaglandin sebagai faktor protektif lambung, diberikan omeprazole

sebagai PPI sebagai protektif lambung.


DAFTAR PUSTAKA

1. Hamami, AH, dkk. Usus Halus Apendiks, kolon, dan anorektum dalam Sjamsuhidrajat R,
De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. EGC : Jakarta. 2010. 755-762.
2. Tucker Jeffry. 2004. Appendicitis. http://www.emedicine.com/ped/topic127 [Diakses 11
April 2016].
3. Sadovsky, Richard. 2005. Diagnosis of acute appendicitis in children.
http://www.aafp.org/afp/20010115/tips8 [Diakses 11 April 2016].
4. Richard E et al. Nelson Textbook of Pediatrics 17 Edition. Philadelphia : Saunders.
2004. Chapter 324.
5. Sola JE, Mc Bride W, Rachadell J. Current Diagnosis and Management og Appendicitis
in Children. Miami : University of Miami. 2000. Volume 15.
6. Stephen et al. The diagnosis of Acute Appendicitis in a Pediatric Population : to CT or
not to CT. Massacussetts : Departement of Pediatric surgery Massacussetts General
Hospital. 2003. Volume 38.
7. Rothrock SG, Pagame J. Acute Appendicitis in Children : Emergency Departement
diagnosis and management. Orlando : Departement of Emergency Medicine, Orlando
Regional Medical Centre. 2004. 39-47.
8. Zinner MJ, Ashley SW. Maingot’s Abdominal operation 11th edition. The McGraw-Hill’s
Companies : 2007. Chapter 21.
9. Fenoglio-Preiser CM, Noffsinger AE, Stammermann GN, et al. Gastrointestinal
pathology: an atlas an text. Edisi 3. Philadelphia: Lippincott –Raven Publishers. 2008.
497-523.
10. Sadler TW. Langman’s Medical Embriology. Edisi ke 10. EGC : Jakarta. 2009. 239-267.
11. Williams, Norman S, Bulstrode, Christoper JK, O’Connel, P. Ronan. The vermiform
appendix. In: Bailey and Love’s Short Paractice of surgery 26 Edition. Boca Raton: CRC
Press. 2013. 1204-1218
12. Tjandra JJ, Clunie GJA, Kaye AH, Smith JA. Textbook of Surgery. 3rd ed. Blackwell
Publishing; 2006. H. 123-127.
13. Morris PJ, Wood WC. Oxford’s Textbook of Surgery. 2nd ed. Oxford. eBook.

Anda mungkin juga menyukai