Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN

Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai

tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan

keselamatan pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup

(resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapiinhalasi dan

penanggulangan nyeri menahun. Anastesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu (1)

anastesi lokal , yaitu hilang rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran, (2) anastesi

umum, yaitu hilang rasa sakit disertai hilang kesadaran. 1 Istilah anestesi berasal

dari Bahasa Yunani an yang artinya tidak, dan aisthesis yang artinya perasaan.

Secara umum anestesi berarti kehilangan perasaan atau sensasi. Walaupun

demikian, istilah ini terutama digunakan untuk kehilangan perasaan nyeri yang

diinduksi untuk memungkinkan dilakukannya pembedahan atau prosedur lain

yang menimbulkan rasa nyeri.2

Anestesi pada semua pasien yang dilakukan operasi itu bertujuan untuk

memudahkan operator dalam melakukan operasi dan hasil akhirnya

diharapkan tujuan operasi tercapai. Adapun target anestesi itu sendiri

yaitu yang lebih dikenal dengan trias anestesia yang meliputi tiga target

hipnotik, anelgesia, relaksasi.

1
Pengelolaan anestesi pada pasien diawali dengan persiapan preoperatif.

Lanjutan dari hasil evaluasi pra operatif khususnya anestesi dan animasi

baik fisik maupun psikis agar pasien siap dan optimal untuk menjalani

prosedur anestesi dan operasi yang meliputi persiapan pasien di rumah atau

diruang perawatan yaitu persiapan psikis dengan cara memberikan penjelasan

rencana anestesi atau operasi yang di rencanakan, berikan obat sedatif pada

pasien yang menderita stress yang berlebihan atau tidak kooferatif atau pasien

prdiatrik. Persiapan fisik yang dilakukan seperti memuasakan pasien. Pemberian

obat-obat yang dipilih untuk tujuan tertentu sebelum induksi mulai. Kedua

macam persiapan ini dinamakan premedikasi. Dengan premedikasi ini

diharapkan bahwa saat memasuki prabedah, pasien akan bebas dari rasa cemas,

cukup mengalami sedasi tetapi mudah dibangunkan dan kooperatif.

Oleh sebab itu, pada referat ini akan dibahas mengenai hal-hal yang perlu

dipersiapkan sebelum operasi terutama pada tahap premedikasi agar operasi

dapat berjalan dengan lancar dan pasien dapat memperoleh penatalaksanaan

anastesi yang sesuai dengan ketentuan yang ada.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Istilah anestesi berasal dari Bahasa Yunani an yang artinya tidak, dan

aisthesis yang artinya perasaan. Secara umum anestesi berarti kehilangan

perasaan atau sensasi. Walaupun demikian, istilah ini terutama digunakan untuk

kehilangan perasaan nyeri yang diinduksi untuk memungkinkan dilakukannya

pembedahan atau prosedur lain yang menimbulkan rasa nyeri.2

2.2 Evaluasi Pre Operatif 3

Evaluasi pre-operasi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesia

yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani tindakan

operatif seperti kunjungan (visite) pra anestesi. Tujuannya adalah untuk

mengetahui status fisik pasien praoperatif, mengetahui dan menganalisis jenis

operasi, memilih jenis atau teknik anestesi yang sesuai, meramalkan penyulit

yang mungkin akan terjadi selama operasi dan atau pasca bedah, mempersiapkan

obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang diramalkan.

Kunjungan pasien sebelum tindakan anestesi dan bedah sangatlah penting

untuk dilakukan. Persiapan dimulai sejak sebelum pasien masuk ke dalam ruang

operasi baik di ruang rawat inap maupun rawat jalan. Tujuan utamanya adalah

3
untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas selama operasi serta

mengembalikan pasien pasca operasi ke fungsi yang diharapkan secepat

mungkin. Tindakan ini dapat mengurangi angka kesakitan saat operasi,

mengurangi biaya pengobatan, dan meningkatkan pelayanan kesehatan.risiko

perioperative seseorang bergantung pada banyak faktor dan secara umum

dipengaruhi oleh kondisi medis pasien sebelum operasi, invasiv atau tidaknya

prosedur yang akan dilakukan, dan jenis obat anestesi yang akan digunakan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam evaluasi pre-operasi :

1. Anamnesa
Riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit

keluarga, riwayat sosial (penggunaan rokok, alcohol, atau obat-obatan yang

illegal), riwayat alergi dan obat-obatan yang sedang digunakan saat ini.
Riwayat operasi, tanyakan jenis anestesi yang digunakan saat itu,

apakah ada yang memerlukan perhatian khusus seperti alergi terhadap zat

anestesi, mual muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak napas pasca bedah.

Bedakan antara alergi dan reaksi obat.


2. Pemeriksaan fisik 5
Nilai kondisi medis secara menyeluruh, tanda vital, status generalis,

hingga status lokalis organ yang akan dioperasi. Pemeriksaan dasar pada

kunjungan pra-anastesi adalah penilaian jalan napas. paru dan jantung.


Untuk pasien yang akan menjalani anastesi umum dan melibatkan

tindakan intubasi, nilai kondisi rongga mulut pasien untuk memperikarakan

kemudahan pemasanagan pipa endotrakeal. Lihat kondisi gigi, apakah

4
terdapat terdapat gigi yang goyang. Nilai luas rongga mulut saat dibuka saat

dibuka dan ukuran lidah. Leher yang pendek dan kaku dapat mempersulit

tindakan intubasi. Untuk memudahkan, dapat diingat dengan singakatan

LEMON :
- L : Look, Lihat karakter yang dapat menyulitkan intubasi seperti

seperti obesitas, mikrognatia, riwayat pembedahan/iradiasi leher

dan kepala, adanya rambut diwajah,. Kelainan gigi (susunan yang

buruk, gigi besar), palatum yang tinggi dan melengkung., leher

pendek.gemuk, dan trauma leher-kepala


- E : Evaluasi aturan 3-3-2, pasien dengan aturan ini memiliki

anatomi yang relatif normal sehingga laringoskopi dapat dilakukan

dengan sukses. Bukaan mulut normal adalah sesuai dengan lebar 3

jari pasien. Dimensi mandibula yang normal adalah lebar 3 jari

antara mentum dan tulang hyoid. Tonjolan kartilago tiroid berada 2

jari dibawah tulang hyoid.


- M : Mallampati. Aturan menyebutkan adanya hubungan antara

apa yang terlihat pada visualisasi faring secara langsung dengan

apa yang terlihat pada laringoskopi. Pemeriksaan dikerjakan

dengan memerintahkan pasien membuka mulut selebar-lebarnya,

mengeluarkan lidah, dan mengatakan ah. Setelah itu periksa

lidah, palatum, ovula, dan tonsil/ Kelas Mallampati dapat dilihat

pada gambar 2.1.

5
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4
grade :
Grade I : Pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas
Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar
faring tidak terlihat
Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
Grade IV : Pilar faring, uvula, dan palatum mole tidak terlihat

Gambar 2.1 Mallampati Score


Sumber : Mangku, 2010

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan hanya ditujukan pada status

pasien medis, terapi obat, atau sifat dari prosedur yang diusulkan dan tidak

secara rutin. pasien tanpa masalah medis penyerta mungkin hanya perlu

sedikit tinjauan. Pasien dengan penyulit medis harus dioptimalkan untuk

melakukan prosedur pemeriksaan penunjang seperti tes laboratorium.

6
konsultasi yang tepat dengan pelayanan medis yang tepat harus diperoleh

untuk meningkatkan kesehatan pasien. Pemeriksaan rutin yang ditujukan

pada pasien untuk oprasi kecil dan sedang meliputi , darah : Hb, Ht, eritrosit,

leukosit dan hitung jenis, trombosit, masa perdarahn adan masa pembekuan.

Urin : pemeriksaan fisik, kimiawi, dan sedimen urin.


4. Puasa
Dari catatan medis pasien , pemeriksaan fisik, dan kunjungan pasien

atau wawancara harus dilakukan sebagai bagian evaluasi pra operasi.

Pemeriksaan dan anamnesa harus mencakup penilaian penyakit

gastroesophageal refluks, gejala disfagia, atau gastrointestinal lainnya

gangguan motilitas, potensi jalan nafas sulit, dan gangguan metabolik

(misalnya, diabetesmellitus) yang dapat meningkatkan risiko regurgitasi dan

aspirasi paru. Pasien harus diberitahu tentang persyaratan puasa, persyaratan

puasa harus dinilai pada saat kunjungan preoperativ.


5. Membuat surat perserujuan tindakan medic

2.3 Menentukan prognosis pasien pra-operatif


Klasifikasi American Society of Anesthesiologists (ASA) untuk pasien pra-

operatif :
1. ASA 1 Tidak ada gangguan fungsi organis, fisiologis, biokimia, atau

psikiatri
2. ASA 2 Gangguan sistemik ringan hingga sedang, bisa/tidak berpengaruh

terhadap alasan dilakukannya operasi. Contoh : Penyakit jantung yang

membatasi aktivitas fisik sedikit saja, hipertensi esensial, DM, anemia,

usia ekstrim, obesitas morbid, bronkitis kronis.

7
3. ASA 3 Gangguan sistemik berat yang bisa/tidak berpengaruh terhadap

alasan dilakukannya operasi. Contoh : Penyakit jantung yang membatasi

aktivitas fisik, hipertensi essenial yang tidak terkontrol, DM dengan

komplikasi vaskular, penyakit paru kronis yang membatasi aktivitas,

angina pektoris, riwayat infark miokardium akut


4. ASA 4 Gangguan Sistemik berat yang membahayakan nyawa,

dengan/tanpa operasi. Contoh : Gagal jantung kongestif, angina pektoris

persisten, disfungsi paru, ginjal, atau hati yang lanjut.


5. ASA 5 Pasien dengan kemungkinan hidup yang kecil namun tetap

dioperasi sebagai upaya terakhir (usaha resusitasi). Contoh : Perdarahan

tak terkontrol pada aneurisma yang robek, trauma serebral, emboli paru.
6. ASA 6 Pasien yang sudah dinyatakan mati batang otak dan organnya akan

digunakan unutk tujuan donor.

2.4 Stadium Anastesi 7

Stadium Anestesi

Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium

(stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:

Stadium I

Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya

kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat

analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan

gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.

8
Stadium II

Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya

kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur. Pada

stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak,

pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan tidak teratur, kadang-

kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka meningkat, inkontinensia urin dan

alvi, muntah, midriasis, hipertensi serta takikardia. stadium ini harus cepat

dilewati karena dapat menyebabkan kematian.

StadiumIII

Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai

pernapasan spontan hilang. StadiumIII dibagi menjadi 4 plana yaitu:

Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan

bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada,

lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai

relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun).

Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,

frekuensi meningkat, bola mata tidak cbergerak, terfiksasi di tengah, pupil

midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring

hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.

9
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,

lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum

tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).

Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total,

pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan kelenjar air

mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).

Stadium lV

Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya

pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan

darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhimya terjadi

kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan

pernapasan buatan.

2.5 Premedikasi Anestesi 8


Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum tindakan operasi yang

pada umumnya dilakukan pada satu atau lebih obat-obatan. Premedikasi

dilakukan dengan maksud : 4


a. Meniadakan kegelisahan : Sering digunakan morfin atau petidin, juga

sedatif seperti klorpromazin, diazepam, atau thiopental.


b. Menghentikan sekresi ludah dan dahak yang dapat mengakibatkan kejang-

kejang berbahaya di tenggorok. Yang banyak digunakan adalah

skopolamin bersama morfin

10
c. Memperkuat efek anastetik, sehingga anestetikum bekerja lebih dalam dan

atau dosisnya dapat diturunkan


d. Memperkuat relaksasi otot selama narkosa, hal ini dapat dicapai dengan

pemberian relaksansia otot, seperti tuokurarin dan gelamin.


Setelah penilaian prabedah selesai dengan menghasilkan antara lain penentuan

status fisik pasien, langkah berikutnya ialah menentukan macam obat

premedikasi yang akan digunakan. Untuk penentuan ini ada beberapa hal yang

harus dipertimbangkan yaitu :


- Macam operasi
- Posisi pasien waktu dilakukan operasi
- Perkiraan lama operasi dan sebagainya

Tujuan utama dari pemberian obat premedikasi ialah untuk memberikan

sedasi psikis, mengurangi rasa cemas dan melindungi keadaan basal fisiologis

dalam melawan bahaya stress mental atau faktor-faktor yang tidak ada

hubungannya dengan anestesi yang spesifik. Hasil akhir yang diharapkan dari

pemberian premedikasi yaitu induksi anestesi yang lancar.

Sehingga dapat disimpulkan secara singkat, bahwa tujuan dari premedikasi

dan anestesi ialah untuk melindungi pasien terhadap akibat segera dari trauma

pembedahan (misalnya rasa takut, sakit, aktivitas saraf simpatis, ketegangan

otot).Oleh karena itu premedikasi ini harus memenuhi kebutuhan masing-masing

pasien yang untuk setiap pasien dapat berbeda-beda.

Mengapa masalah takut dan nyeri ini harus diperhatikan betul pada prabedah,

dapat dijelaskan sebagai berikut :

11
Reaksi fisiologis terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas 2 bagian :

- Somatik (voluntary)
- Simpatetik (involuntary)
Efek somatik ini timbul dalam kecerdasan dan menumbuhkan

dorongan untuk bertahan atau menghindari kejadian tsb. Kebanyakan pasien

akan melakukan modifikasi terhadap menifestasi efek somatik tersebut dan

menerima keadaan yaitu dengan tampak tenang.


Reaksi saraf simpatis terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat

disembunyikan oleh pasien. Rasa takut dan nyeri mengaktifkan saraf simpatis

untuk menimbulkan perubahan dalam berbagai derajat yang mengenai setiap

sistem dalam tubuh. Banyak dari perubahan ini yang disebabkan oleh suplai

darah ke jaringan, sebagian karena stimulasi eferen simpatis yang ke

pembuluh darah, dan sebagian karena naiknya katekolamin dalam sirkulasi.


Impuls adrenergik dari rasa takut timbul di korteks serebri dan dapat

ditekan dengan tidur atau dengan sedatif yang mencegah kemampuan untuk

menjadi takut bila ada penyebab takut yang sesuai.


Reaksi kardiovaskuler terhadap nyeri secara neurologis berbeda

dengan rasa takut, karena arkus refleks yang tersangkut seluruhnya ada di

batang otak di bawah level sensoris thalamus. Ini berarti bahwa pendekatan

klinis untuk menghilangkan kedua hal tersebut harus berbeda.


Tanda akhir dari reaksi adrenergik terhadap rasa takut ialah

meningkatnya detak jantung dan tekanan darah. Maka tujuan pemberian obat

premedikasi dapat disimpulkan sebagai berikut :


1. Menghilangkan kecemasan
2. Mendapatkan sedasi
3. Mendapatkan analgesi

12
4. Mendapatkan amnesi
5. Mendapatkan efek antisialogoque

Disamping itu pada keadaan tertentu juga :

1. Menaikkan pH cairan lambung


2. Mengurangi volume cairan lambung
3. Mencegah terjadinya reaksi alergi

Premedikasi ini tidak boleh diberikan secara otomatis/rutin, tetapi

harus berdasar pada keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan

setelah kunjungan prabedah dilakukan. Dengan demikian maka pemilihan

obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan

memperhitungkan :

1. Umur pasien
2. Berat badan
3. Status fisik
4. Derajat kecemasan
5. Riwayat hospitalisasi sebelumnya (terutama pada anak)
6. Riwayat reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya (bila pasien

pernah diberi anestesi sebelumnya)


7. Riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang kemungkinan dapat

berpengaruh pada jalannya anestesi (misalnya MAO inhibitor,

kortikosteroid, antibiotik tertentu)


8. Perkiraan lamanya operasi
9. Macamnya operasi (misalnya terencana, darurat pasien rawat inap

atau rawat jalan) Rencana obat anestesi yang akan digunakan

13
Tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat pendahulu

yang sesuai dengan tujuannya obat-obatan yang sering digunakan sebagai

premedikasi adalah obat-obat golongan antikholinergik, sedative, dan

analgetik.
1. Obat golongan antikholinergik
Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang berkhasiat

menekan atau menghambat aktivitas khilonergik atau parasimpatis.


Tujuan utama pemberian obat golongan antikholinergik untuk

pramedikasi adalah :
- Mengurangi sekresi kelenjar : saliva, saluran cerna dan saluran

nafas.
- Mencegah spasme laring dan bronkus.
- Mencegah bradikardi.
- Mengurangi motilitas usus
- Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas.

Obat golongan antikholinergik yang digunakan dalam praktik

anestesia adalah preparat alkaloid belladonna yang turunannya adalah

sulfas atropine dan skopolamin.

Mekanisme kerja. Menghambat kerja asetil kolin pada organ yang

diinervasi oleh serabut saraf otonom parasimpatis atau serabut saraf

yang mempunyai neurotransmitter asetil kolin. Alkaloid belladonna

menghambat muskarinik secara kompetitif yang ditimbulkan oleh

asetil kolin pada sel efektor organ terutama pada kelenjar eksokrin,

otot polos dan jantung. Khaisat sulfas atropine lebih dominan pada

14
otot jantung, usus dan bronkus, sedangkan skopolamin lebih dominan

pada iris, korpus siliare dan kelenjar.

Efek terhadap sususan saraf pusat. Sulfas atropine tidak

menimbulkan depresi susunan saraf pusat, sedangkan skopolamin

mempunyai efek depresi sehingga menimbulkan rasa ngantuk,

euphoria, amnesia dan rasa lelah.

Efek terhadap respirasi. Menghambat sekresi kelenjar pada hidung,

mulut, faring, trakea, dan bronkus menyebabkan mukosa jalan nafas

kekeringan, menyebabkan relaksasi otot polos bronkus dan bronkhioli,

sehingga diameter lumennya melebar akan menyebabkan volume

ruang rugi bertambah.

Efek tehadap kardiovaskular. Menghambat aktivitas vagus pada

jantung, sehingga denyut janutng meningkat, tetapi tidak berpengaruh

langsung pada tekanan darah. Pada hipotensi karena refleks vagal,

pemberian obat ini akan meningkatkan tekanan darah.

Efek terhadap saluran cerna. Menghambat sekresi kelenjar liur

sehingga mulut terasa kering dan sulit menelan, mengurangi sekresi

getah lambung sehingga, keasaman lambung bisa dikurangi.

Mengurangi tonus otot polos sehingga motilitas usus menurun.

15
Efek terhadap kelenjar keringat. Menghambat sekresi keringat

sehingga menyebabkan kulit kering dan badan terasa panas akibat

pelepasan panas tubuh terhalang melalui proses evaporasi.

Cara pemberian dan dosis.

a. Intamuskular, dosis 0,01 mg/kg BB diberikan 30-45

menit sebelum induksi.


b. Intravena, dengan dosis 0,005 mg/kg BB diberikan 5-

10 menit sebelum induksi.

Kontra indikasi. Alkaloid belladonna ini tidak diberikan pada

pasien yang menderita demam, takikardi, glukoma, dan tirotoksikosi.

Kemasan dan sifat fisik. Dikemas dalam bentuk ampul iml

mengandung 0,25 dan 0,50 mg tidak berwarna dan larut dalam air.

2. Obat golongan sedative 6


Obat golongan sedative adalah obat-obat yang berkhasiat anti

cemas dan menimbulkan rasa kantuk.


Tujuan pemberian obat golongan ini adalah untuk memberikan

suasana nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut,

sehingga pasien menjadi tidak peduli dengan lingkungannya.


Untuk keperluan ini, obat golongan sedative yang sering digunakan

adalah :
a. Derivate fenothiazin

16
Derivate fenothiasin yang banyak digunakan untuk

premedikasi adalah prometazin. Obat ini pada mulanya

digunakan sebagai antihistamin.


Khasiat farmakologi, terhadap saraf pusat. Menimbulkan

depresi saraf pusat, bekerjapada formasio retikularis dan

hipotalamus menekan pusat muntah dan mengatur suhu obat ini

berpotensi dengan sedative lainnya.


Terhadap respirasi. Menyebabkan dilatasi otot polos saluran

nafas dan menghambat sekresi kelenjar.


Terhadap saluran cerna efek lain. Menurunkan pristaltik usus,

mencegah spasme dan mengurangi sekresi kelenjar. Efek

lainnya adalah menekan sekresi katekolamin dan sebagi

antikolinergik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa khasiat

prometazin sebagai obat premedikasi adalah sebagai sedative,

antiemetic, antikolinergik, antihistamin, bronkodilator, dan anti

pretika.
Cara pemberian dan dosis
-. Intramuscular dosis 1 mg/kg BB dan diberikan 30-45

menit sebelum induksi.


- intravena, dengan dosis 0,5 mg/kg BB diberikan 5-10

menit sebelum induksi.


Kemasan dan sifat fisik. Dikemas dalam bentuk ampul

2ml mengandung 50mg. tidak berwarna dan larut dalam air.

b. Derivate benzodiazepin

17
Derivate benzodiazepin yang banyak digunakan untuk

premedikasi adalah diazepam dan midazolam.


Khasiat farmakologi, terhadap saraf pusat dan medulla

spinalis. Mempunyai khasiat sedasi dan anti cemas yang

bekerja pada sistem limbic dan pada ARAS serta bisa

menimbulkan amnesia antero grad. Sebagai obat anti kejang

yang bekerja pada kornu anterior medulla spinalis dan

berhubungan saraf otot. Pada dosis kecil bersifat sedative.

Sedangkan dosis tinggi sebagai hipnotik.


Khasiat respirasi. Pada dosis kecil 0,2 mg/kg bb yang

diberikan secara intravena , menimbulkan depresi ringan yang

tidak serius. Bila dikombinasikan dengan narkotik

menimbulkan depresi nafas yang lebih berat.


Terhadap kardiovaskular. Pada dosis kecil, pengaruhnya

kecil sekali pada kontraksi mauoun denyut jantung akan tetapi

pada dosis besar menimbulkan hipotensi yang disebabkan oleh

efek dilatasi pembuluh darah.


Terhadap saraf-otot. Menimbulkan penurunan tonus otot

rangka yang bekerja di tingkat supra spinal dan spinal,

sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita

kekakuan otot rangka seperti pada tetanus.


Penggunaan klinis. Premedikasi, diberikan intramuscular

dengan dosis 0,2 mg/kg BB atau peroral dengan dosis 5-10 mg.

induksi, diberikan intravena dengan dosis 0,2-0,6 mg/kg BB.

18
Sedasi, pada analgesik regional diberikan intravena.

Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamine.


Pada pemberian intramuscular atau intravena obat ini tidak

bisa dicampur dengan obat lain karena bisa terjadi presipitasi.

Jalur vena yang dipilih sebaiknya melalui vena-vena besar

untuk mencegah flebitis. Pemberian intramuscular kurang

disenangi oleh karena menimbulkan rasa nyeri pada daerah

suntikan.
Kemasan. Kemasan injeksi berbentuk larutan emulsi dalam

ampul 2ml yang mengandung 10mg, berwarna kuning sukar

larut dalam air dan bersifat asam.


c. Derivate butirofenon
Derivate ini disebut juga sebagai obat golongan neroleptika

karena sering digunakan sebagai neroleptik. Derivate

butirofenon yang sering digunakan sebagai obat premedikasi

adalah dehidrobenzperidol atau popular disebut DHBP.


Efek farmakologi, Terhadap saraf pusat. Berkhasiat sebagai

sedative. Disamping itu mempunyai khasiat khusus sebagai

anti muntah yang bekerja pada pusat muntah di

chemoreceptor trigger zone. Efek samping yang tidak

dikehendaki adalah timbulnya rangsangan ekstrapiramidal

sehingga menimbulkan gerakan tak terkendali (parkinsonism)

yang bosa diatasi dengan pemberian obat antiparkinson.


Terhadap respirasi. Menimbulkan sumbatan jalan nafas akibat

dilatasi pembuluh darah rongga hidung. Juga menimbulkan

19
dilatasi pembukuh darah paru sehingga kontra indikasi pada

pasien asma.
Terhadap sirkulasi. Menimbulkan vasodilatasi pembuluh

darah perifer, sehingga sering digunakan sebagai anti syok.

Tekanan darah akan turun tetapi perfusi dapat dipertahankan

selama volume sirkulasi adekuat.


Penggunaan klinis. Premedikasi, diberikan intramuscular

dosis 0,1 mg/kg BB. Sedasi untuk tindakan endoskopi dan

analgesia regional. Antihipertensi, antimual, suplemen anestesi.


Kemasan. Dalam bentuk ampul 2ml dan 10ml mengandung

2,5 mg/ml tidak berwarna dan bisa dicampur dengan obat lain.
d. Derivate barbiturat
Derivate barbiturat yang sering digunakan sebagai obat

premedikasi adalah pentobarbital dan sekobarbital. Digunakan

sebagai sedasi dan penenang prabedah terutama pada anak-anak.


Pada posisi lazim, menimbulkan depresi ringan pada

respirasi dan sirkulasi.


Sebagai premedikasi diberikan intramuskular dengan dosis

2mg/kg BB atau peroral.


e. Antihistamin
Obat golongan ini yang sering digunakan sebagai

premedikasi adalah derivate difenhidramin.


Khasiat yang diiharapkan adalah sedative, antimuntah

ringan dan antipiretik sedangkan efek sampingnya adalah

hipotensi yang sifatnya ringan.


3. Golongan analgetik narkotik atau opioid
Berdasarkan struktur kimia, analgetik atau opioid dibedakan 3

kelompok :

20
a. Alkaloid opium (natural) : morfin dan kodein
b. Derivate semisintesis : diasetilmorfin (heroin), hidromorfin,

oksimorfon, hidrokodon, oksikodon.


c. Derivate sintetik :
- fenilpiperidine : petidin, fentanyl, sulfentanil, dan alfentanil.
- Benzmorfans : pentazosin, fenazosin, dan siklazosin.
- Morfinans : lavorvanol
- Propionanilides : metadon
- Tramadol
Sebagai analgesic opioid bekerja secara sentral pada reseptor-

reseptor opioid yang diketahui ada 4 reseptor , yaitu :


- Reseptor Mu
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. Stimulasi pada

reseptor ini akan menimbulkan analgesia, rasa segar, euphoria dan

depresi nafas.

- Reseptor kappa
Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi, dan

anestesia. Morfin bekerja pada reseptor ini.


- Reseptor signa
Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi,

pupil midriasis, dan stimulasi respirasi.


- Reseptor delta
Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui dengan jelas,

diduga memperkuat reseptor Mu.


Golongan narkotik yang sering digunakan sebagai obat

premedikasi adalah: petidin, morfin. Sedangkan fentanyl

digunakan sebagai suplemen anestesia.


Efek farmakologi, terhadap susunan saraf pusat. Sebagai

analgesik, obat ini bekerja pada thalamus dan substansia gelatinosa

21
medulla spinalis, disamping itu narkotik juga mempunyai efek

sedasi.
Terhadap respirasi. Menimbulkan depresi pusat nafas terutama

pada bayi dan orang tua. Efek ini semakin manifes pada keadaan

umum pasien yang buruk sehingga perlu pertimbangan seksama

dalam penggunaannya. Namun demikian efek ini dapat dipulihkan

dengan nalorpin atau nalokson. Terhadap bronkus, petidin

menyebabkan dilatasi bronkus sedangkan morfin menimbulkan

konstruksi akibat pengaruh pelepasan histamine.


Terhadap sirkulasi. Tidak menimbulkan depresi sistem

sirkulasi, sehingga cukup aman diberikan pada semua pasien

kecuali bayi dan orang tua. Pada kehamilan, narkotik dapat

melewati barrier plasenta sehingga bisa menimbulkan depresi

napas pada bayi baru lahir.


Terhadap sistim lain. Merangsang pusat muntah, menimbulkan

spasme spinter kandung empedu sehingga menimbulkan kolik

abdomen. Morfin merangsang pelepasan histamin sehingga bisa

menimbulkan rasa gatal seluruh tubuh atau minimal pada daerah

hidung, sedangkan petidin pelasan histaminnya bersifat lokal

ditempat suntikan.
Penggunaan klinik. Morfin mempunyai kekuatan 10 kali

dibandingkan dengan petidin, ini berarti bahwa dosis morfin

sepersepuluh dari petidin sedangkan fentanyl 100 kali dari petidin.


Analgetik narkotik digunakan sebagai :

22
- Premedikasi : petidin diberikan intramuskular dengan dosis

1mg/kg BB atau intravena 0,5 mg/kg BB


- Analgetik untuk pasien yang menderita nyeri akut/ kronis

diberikan sistemik atau atau regional intrarektal/epidural.


- Suplemen sedasi dan analgesic di unit terapi intensif.
Kontra indikasi. Pemberian harus hati-hati pada pasien orang

tua atau bayi dan keadaan umum yang buruk. Tidak boleh

diberikan pada pasien yang mendapatkan preparat penghambat

monoamine oksidase, pasien asma dan penderita penyakit hati.


Kemasan. Petidin dalam bentuk ampul 2 ml yang mengandung

50 mg/ml tidak berwarna. Fentanyl dikemas steril dalam bentuk

ampul 2 dan 10ml tiap ml mengandung 50mikrogram. Morfin

dalam bentuk ampul 1ml yang mengandung 10 atau 20 mg, tidak

berwarna dan bisa dicampur dengan obat lain.


Dalam aplikasinya, ketiga jenis obat-obat an premedikasi ini

dicampur dalam satu spuit kecuali diazepam, dan disuntikkan

secara intramuskular. Pemberian dengan cara ini dimaksudkan

untuk mengurangi suntikan berulang. Apabila diberikan terpisah

pasien akan disuntik sebanyak tiga kali keadaan ini tidak

mengenakkan pasien.

23
BAB III
KESIMPULAN

Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum tindakan operasi yang

pada umumnya dilakukan pada satu atau lebih obat-obatan. Beberapa macam obat

dapat diberikan sebelum dimulainya operasi (premedikasi). Obat-obatan tersebut

disesuaikan pada setiap pasien Premedikasi ini tidak boleh diberikan secara

otomatis/rutin, tetapi harus berdasar pada keadaan psikis dan fisiologis pasien yang

ditetapkan setelah kunjungan prabedah dilakukan. Dengan demikian maka pemilihan

obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan memperhitungkan

beberapa faktor yang telah dicantumkan dalam referat ini. Sebab hal tersebut akan

berpengaruh pada obat-obatan preanestesi, tehnik yang digunakan, dan keahlian

seorang ahlianestesi. Persiapan yang buruk akan berakibat pada berbagai

permasalahan dan ketidak sesuaian setelah operasi. Kebutuhan premedikasi bagi

masing-masing pasien dapat berbeda. Rasa takut dan nyeri harus diperhatikan betul

pada kunjungan pra-anestasi. Dengan memberikan rasa simpati dan pengertian

kepada pasien tentang masalah yang dihadapi, maka pasien dapat dibantu dalam

menghadapi rasa sakit dan khawatir menghadapi operasi.


Sebelum dilakukannya premedikasi, pentingnya untuk mengetahui mengenai

riwayat penyakit pasien melalui anamnesa, kondisi pasien saat ini melalui

pemeriksaan fisik dan penunjang. Beberapa hal juga diperhatikan seperti penentuan

prognosis pra-operatif menggunakan Klasifikasi American Society of

24
Anesthesiologists (ASA) dan mengetahui stadium anasthesi yang akan dilakukan,

sehingga operasi dapat berjalan dengan lancar dan dapat meminimalisir

kegawatdaruratan yang bisa terjadi ditengah operasi.


Tujuan dari premedikasi adalah menimbulkan suasana nyaman bagi pasien,

yaitu menghilangkan rasa cemas, memberi ketenangan, membuat amnesia, bebas

nyeri, dan mencegah mual atau muntah, memudahkan dan memperlancar induksi,

mengurangi dosis obat anestesi, menekan reflex-refleks yang tidak diinginkan,

menekan dan mengurangi sekresi kelenjar.


Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan fisiologis pasien

yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah.obat- obat yang sering

digunakan sebagai premedikasi adalah obat antikholinergik (sulfas atropine) obat

sedative (diazepam, midazolam), obat analgesik narkotik (fentanyl). Menentukan

dosis obat premedikasi yang tepat merupakan permulaan dari keamanan tindakan

anestesia . pemberian obat premedikasi harus tepat indikasi, tepat waktu, tepat cara

pemberian dan tepat dosis untuk menghindari efek yang tidak diinginkan sehingga

pengetahuan tentang indikasi, kontraindikasi, keuntungan dan kerugian pemilihan

obat ini sangat bermanfaat bagi penderita.

DAFTAR PUSTAKA

25
1. Nugroho Agung. 2011. Perbandingan Perubahan Hemodinamik antara

Fentanil Diazepam dan Fentanil-Mildazolam Sebagai Premedikasi Anastesi

Umum di RSUD Dr Moewardi Surakarta. Fakultas Kedokteran. Universitas

Sebelas Maret.
2. Utama Dian Yuanita. 2010. Anastesi Lokal dan Regional untuk Biopsi Kulit.

Fakultas Kedokteran Diponegoro. Rumah Sakit Dokter Kariadi, Semarang.


3. Mangku Gde dan Tjokoda Gde Agung Senapathi. 2010. Buku Ajar Ilmu

Anestesia dan Reanimasi. Indeks Jakarta : Jakarta.


4. Nugroho Agung. 2011. Perbandingan Perubahan Hemodinamik antara

Fentanil-Diazepam dan Fentanil-Mildazolam sebagai premedikasi Anastesi

Umum di RSUD Moewardi Surakarta. Surakarta. Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret.


5. Tanto Chris et all. 2014. Kapita Selekta Ed.4 : Anastessiologi Manajemen

Pra-Operasi. Jakarta : Media Aesculapius


6. Clemens barends, Anthony Absalom. 2016. Anxiolytics, sedatives and

hypnotics vol 17. Anaesthesia and Intensive Care Medicine.


7. Jong, Wim de, dan Syamsuhidayat R. 2015. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3.

EGC : Jakarta.
8. Practice Guidelines for Preoperative Fasting and the Use of Pharmacologic

Agents to Reduce the Risk ofPulmonary Aspiration: Application to Healthy

PatientsUndergoing Elective Procedures Vol 5 no.3 . 2011. American Society

of Anesthesiologists Committee on Standards and Practice Parameters.

26
27

Anda mungkin juga menyukai