Anda di halaman 1dari 102

BAB 1

PENDAHULUAN

Kemajuan ilmu kedokteran khususnya nidang pembedahan tidak terlepas dari peran
dan dukungan bidang anastesiologi. Namun selama ini peran pesialis anastesi belum dikenal
karena tindakan anastesi pada umumnya tidak bersifat terapeutik dan tidak langsung
berhubungan dengan pembedahan sehingga lepas dari perhatian pasien.
Seorang dokter anastesi melakukan peran yang sangat penting di kamar operasi, tidak
semata-mata membuat passiennya “tidur” , tetapi dokter anastesi juga harus membuat
keputusan untuk melindungi dan menjaga fungsi-fungsi vita; dari system organ pasien
sehingga dapat berjalan dengan baik dan mempertahankan “kehidupan” pasien.
Anastesi di dalam kamar operasi adalah tindakan pelayanan anastesi dan terapi
intensif yang dilakukan oleh dokter spesialis anastesiologi dan terapi intensif pada pasien
yang akan menjalani pembedahan di kamar operasi.
Suatu pengelolaam anastesi sebaiknya direncanakan secara optimal. Persiapan
praoperasi yang tidak memadai dan kesalahan dalam pengelolaan pada masa praoperasi
merupakan penyebab yang paling umum bagi terjadinya komplikasi pelayanan anatesi. Padua
anastesi dalam kamar operasi dibuat bertujuan untuk:
 Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien pra, intra dan paskaoperasi.
 Memberikan keamanan dan kenyamanan pada pasien yang sedang menjalani
pembedahan.
 Memfasilitasi dokter bedah dalam melakukan tindakan pembedahan.
 Mengembalikan fungsi fisiologis pasien setelah menjalani pembedahan seperti saat
sebekum menjalani tindakan anastesi dan pembedahan.
Pelayanan anastesi dalam kamar operasi dimulai dari praoperatif, intraoperatif,
sampai paskaoperatif. Adapaun ruang lingkup anastesi dalam kamar operasi meliputi :
 Bedah elektif
 Bedah emergensi
 Bedah rawat jalan (ambulatori)
 Teknik anastesi yang digunakan

1
BAB II
BEDAH ELEKTIF

Bedah elektif (elektif yang berasal dari kata eligere, bahasa latin, berarti untuk
memilih) adalah operasi yang dijadwalkan beberapa hari sebelum tindakan karena bukan
merupakan keadaan darurat medis dan dapat ditunda dengan tujuan optimalisasi pasien.
Bedah elektif dikerjakan apabila kondisi pasien dan persiapan tim yang terlibat dalam
operasi sudah optimal. Dokter akan menjelaskan operasi yang dimaksud secara rinci
mengenai manfaat dan risiko operasi. Eksplorasi dan penilaian masalah-masalah medis
diatasi pada tahap ini, termasuk rujukan ke dokter ahli atau spesialis yang relevan.
Penjadwalan pasien yang menjalani operasi bedah elektif bervariasi menurut rumah sakit atau
dokter bedahnya. Nedah elektif pada pasien dengan penyakit menahun sebaiknya hanya
dikerjakan bila kondisi medis telah optimal dan risiko minimal.

II. 1 PREOPERATIF
Persiapan preoperative elektif yang meliputi konsultasi dan pemeriksaan oleh dokter
spesialis anatesiologi dan terapi intesif atau dokter lain yang mempunyai kompetensi harus
dilakukan sebelum tindakan anastesi dengan tujuan untuk memastikan bahwa pasien berada
dalam kondisi yang layak untuk prosedur anatesi berdasarkan keilmuan yang multidisiplin.
Untuk membantu merumuskan rencana anastesi, dilakukan suatu penilaian
menyeluruh dan sistematis sebelum operasi yang meliputi riwayat perjalanan penyakit
(termasuk catatan medis). Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium yang ditunjukkan.
Penilaian tersebut dilengkapi dengan klasifikasi status fisik pasien berdasarkan ASA.
Persiapan pra-anastesi elektif dilakukan bertujuan untuk:
1. Menilai kondisi medis pasien yang dapat menyebabkan morbiditas bahkan mortalitas
selama pelayanan anastesi.
2. Mengatur dan memanajemen komordifitas yang mungkin berdampak selama
pelayanan anastesi.
3. Menilai risiko tindakan anastesi dan pembedahan
4. Mengoptimalkan kondisi pasien
5. Mengidentifikasi pasien yang mungkin memerlukan teknik anastesi khusus atau
pelayanan paskaoperasi
6. Membuat keputusan manajemen anastesi perioperatif

2
7. Mengedukasi pasien dan keluarganya tentang anastesi dan kejadian yang mungkin
terjadi paskaoperasi
8. Memberikan informed consent (persetujuan tindakan medic)
9. Memfasilitasi pelayanan secara optimal dan menghindari penundaan jadwal operasi
10. Memotivasi pasien pada tindakan pencegahan penyakit (misalnya berhenti merokok,
mengurangi berat badan atau patuh pada rencana pengobatan
11. Mengembangkan dan melaksanakan evidence based practices
12. Melatih seseorang memberikan penilaian praoperasi untuk mengoptimalkan kondisi
pasien

Tindakan anastesi sebaiknya tidak dilakukan sampai kondisi pasien optimal. Penilaian
praoperasi menunjukkan bahwa risiko perioperasi akan semakin besar apabila didapatkan
kondisi pasien tidak optimal dan sebaliknya risiko tersebut akan berkurang jika pasien berada
dalam kondisi yang optimal. Dalam penilaian pasien, mungkin diperlukan konsultasi dengan
dokter ahli atau spesialis yang lain untuk membantu mengoptimalkan kondisi pasien. Adapun
hal-hal yang perlu dievaluasi pada saat penilaian praanastesi adalah sebagai berikut :
I. Riwayat praoperasi
1. Masalah saat ini
2. Masalah lain yang diketahui
3. Riwayat pengobatan
4. Alergi
5. Ketidaktoleran terhadap obat
6. Terapi saat ini: resep dan bukan resep
7. Non terapi: alcohol, tembakau, dan obat terlarang
8. Anastesi terdahulu, operasi dan bila perlu, riwayat kebidanan dan riwayat nyeri
9. Riwayat keluarga
10. Tinjauan tentang system organ
a. Pernapasan
b. Kardiovaskuler
c. Ginjal
d. Usus
e. Hematologi
f. Neurologi
g. Endokrin
3
h. Psikiatrik
i. Ortopedik
j. Rangka otot
k. Dematologi
II. Pemeriksaan fisik
1. Tanda-tada vital
2. Jalan napas
3. Jantung
4. Paru-paru
5. Abdomen (hepar, ginjal, traktus gastrointestinal, traktus genitourinarius)
6. Ekstremitas
7. Pemeriksaan neurologi
III. Evaluasi laboraturium (sesuai indikasi)
IV. Klasifikasi ASA

Riwayat praoperasi
Anamnesis praoperasi seharusnya dengan jelas menetapkan masalh pasien serta
prosedur pembedahan. Masalah medis, perawatan sebelumnya atau saat ini juga harus
dievaluasi. Selain itu, karena terdapat potensi terjadinya interaksi obat dengan anestesi, maka
riwayat pengobatan yang lengkap sebaikny adiperoleh dari setiap pasien. Anamnesis riwayat
tersebut meliputi konsumsi tembakau dan alcohol serta obat-obatan terlarang. Kemudian,
diupayakan untuk membedakan antara alergi obat yang sebenarnya (yang sering kali terjadi
dalam bentuk dispnea atau ruam kulit) dan intoleransi obat (biasanya gangguan usu halus).
Anamnesis terperinci mengenai operasi dan riwayat anastesi terdahulu termasuk komplikasi
terdahulu juga harus dieksplorasi. Riwayat keluarga mengenai kejadian hipertemia maligna
harus dicari. Tinjauan umum tentang system organ penting dalam mengidentifikasi masalah
kesehatan yang belum didiagnosa. Anamnesis juga diarahkan pada fungsi kardiovaskular,
endokrin, hati, ginjal dan neurologi.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik ini ditujukan untuk mendeteksi kelainan dari system organ.
Pemeriksaan meliputi pengukuran tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut jantung, denyut
pernapasan, dan suhu) dan pemeriksaan jalan napas, jantung, paru-paru, dan palpasi, perkusi,
dan auskultasi. Pemeriksaan neurologi penting pada saat anastesi regional. Anatomi pasien
4
dinilai seharusnya dievaluasi secara lengkap apabila terdapat tanda-tanda sumbatan jalan
napas, anastesi regional atau direncanakan pemantauan invasif.
Pemeriksaan jalan napas sangat penting. Kondisi gigi geligi juga sebaiknya diperiksa
melalui gigi ompong, patah, atau tumbuh tidak teratur. Pertimbangan ukuran masker
disesuaikan dengan anatomi pasien misalnya pada pasien yang ompong atau bentuk wajah
yang tidak normal. Mikrognatia, protudentia, lidah yang besar, gerakan sendi
temporomandibular yang terbatas, atau leher yang pendek menunjukkkan kemungkinan
kesulitan intubasi.
Setiap riwayat anesthesia sebelumnya harus dieksplorasi mengenai kemungkinan
permasalahan manajemen jalan napas. Jika deformitas wajah sangat parah maka tidak bisa
dilakukan ventilasi tekanan positif. Selain itu, pasien-pasien dengan kelainan hipofaring lebih
tergantung pada tonus otot selama sadar sehingga sangat penting untuk mempertahankan
patensi jalan napas. Kelompok pasien diatassebaiknya tidak dibuat menjadi apneu karena
alasan apapun termasu induksi anastesi, pemberian pbat penenang atau kelumpuhan otot
sampai jalan nafas sudah dijamin aman.
Selain itu, keterbatasan pergerakan persendian temporomandibular juga harus dicari.
Tanda-tanda kesulitan laringoskopi dan intubasi lain meliputi ekstensi leher yang terbatas
(<35° ), jarak antara mandibula dan hirod dari kurang dari 7 cm, jarak sternomental kurang
dari 12,5 cm, dan visualisasi uvula selama protusi lidah kurang baik. Harus ditekankan bahwa
tidak ada teknik penilaian yang pasti mengenai kesulitan jalan napas sehingga dokter spesialis
anestesiologi dan terapi intensif atau dokter lain yang mempunyai kompetensi harus
mengantisipasi kemungkinan tersebut.

Evaluasi laboratorium
Pemeriksaan laboratorium paada pasien sehat tanpa gejala tidak dianjurkan, kecuali
jika terdapat riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik tidak dapat diandalkan untuk mendeteksi
abnormalitas. Uji praoperasi yang abnormal dikaitkan dengan bertambahnya risiko anastesi
dan risiko tersebut akan berkurang apabila abnormalis tersebut diperbaiki. Pemeriksaan
laboratorium sebaiknya dilakukan berdasarkan riwayat penyakit pasien atau sesuai dengan
indikasi. Jenis prosedur atau operasi yang akan dilakukan juga dapat dijadikan panduan
pemeriksaan laboratorium. Tersebut sebaiknya dipertimbangkan.
Pemeriksaan penunjang berkaitan dengan uji kehamilan pada pasien usia subur dapat
dilakukan apablia ada indikasi dengan bertujuan untuk memastikan kehamilan yang tak
terdiagnosa sehingga kemungkinan efek teratogenik dari agen anestetik terhadap janin dapat
5
dihindari. Pengujian rutin untuk AIDS (pendeteksian antibody HIV) sangat controversial.
Pemeriksaan koagulasi rutin dan urinalisis tidak rutin dilakukan pada pasien yang sehat dan
tidak memiliki gejala.

Penilaian risiko preoperative


System risiko klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiologists) pada awalnya
dikembangkan pada tahun 1941 oleh Meyer Saklad dengan tujuan untuk mengukur risiko
yang terkait dengan anestesi dan pembedahan. Sampai sekarang alat ukut tersebut masih
belum bisa dibuat secara sempurna sehingga ASA mengadopsi system klasifikasi status fisik
menjadi lima kategori untuk menilai pasien praoperasi. Status fisik ini berkaitan dengan
angka mortalitas perioperatif meskipun korelasinya tiak sempurna karena satu-satunya factor
yang dinilai ialah penyakit penyerta (underlying disease) pasien padahal banyak factor-faktor
yang berkaitan degan komplikasi perioperatif. Meskipun demikian klasifikasi status fisik
ASA masih tetap bermanfaat dalam perencanaan manajemen anastesi khusus dalam
pemantauan (monitoring).

Tabel 1. Klasifikasi status Fisik ASA


ASA I Pasien sehat tanpa kelalaian organic, biokmia, atau psikiatri
ASA II Pasien dengan penyakit sitemik ringan misalnya asma bronkiale ringan atau
hipertensi terkontrol. Tidak ditemukan keterbatasan aktivitas rutin. Kondisi ini
hampir tidak memperngaruhi tindakan anastesi dan operasi.
ASA III Pasien dengan penyait sitemik berat yang dapat menghambat aktivitas rutinnya.
Misalnya gagal ginjal on dialysis atau gagal jantung kongesif kelas II. Kondisi
ini dapat mempengaruhi tindakan anestesi dan operasi.
ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik yang berat secara konstan dapat mengancam
kehidupan (dapat menyebabkan kematian) atau memrlukan terapi intensif.
Mialnya infark miokrad akut, kegagalan respirasi yang memerlukan bantuan
ventilasi mekanik. Pasien sangat mengalami keterbatasan aktivitas rutinnya
(daily activity).
ASA V Pasien yang diperkirakan tidak bertahan hidup atau meninggal dunia dalam 24
jam dengan atau tanpa operasi.
ASA VI Pasien yang telah dinyatakan mati batang otak yang akan menjalani operasi
untuk donor organ

6
E Jika operasi yang dilakukan adalah emergensi, status fisik diikuti dengan “E”
(misalnya ASA IIE)

Persetujuan tertulis
Penilaian praoperasi diakhiri dengan pemberian penjelasan kepada pasien mengenai
pilihan-pilihan teknik anestesi yang dapat dilakukan meliputi umum, regional, lokal, anestesi
topical, sedasi intravena atau kombinasi diantaranya. Tanpa melihat teknik yang dipilih,
persetujuan untuk anestesi umum harus selalu dilakukan apabila teknikanestesi lainnya tiak
berjalan lancer. Persetujuan juga harus meliputi informasi risiko yang mungkin terjadi
berkaitan dengan teknik anestesi.
Ketika pasien belum dianggap dewasa, maka persetujuan harus diperoleh dari
seseorang yang memiliki wewenang hukum untuk memberikan persetujuan tersebut,
misalnya orang tua, wali, atau kerabat dekat. Walaupun persetujuan secara lisan mungkin
cukup, namun persetujuan tertulis biasanya disarankan untuk tujuan medikolegal.
Selain meminta persetujuan tertulis, dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif
atau dokter lain yang mempunyai kompetensi juga dapat membangun hubungan yang
harmonis antara dokter dengan pasien.

II. 2 INTRAOPERATIF
Teknik anestesi
Teknik anestesi yang dilakukan meliputi anestesi umum, anestesi regional atau kombinasinya
(akan dijelaskan dalam bab lain dalam buku panduan ini).

Monitoring selama anestesi


Salah satu tugas utama dari seseorang anestesiologi adalah memonitor pasien yang
sedang dianestesi selama operasi. Kewaspadaan yang merupakan semboyan dari Americam
Society of Anesthesiologists (ASA) memrlukan pemahaman mengenai teknologi dan cara
kerja alat-alat monitoring.
1. Standar 1:
Ada tenaga ahli anestesi yang mempunyai kompetensi berada di kamar operasi.
2. Standar 2:
a. Oksigenisasi

7
Pemantauan oksigenisasi jaringan dilakukan secara kontinyu. Monitoring
oksigenasi ini bertujuan untuk memastikan kadar oksigen yang adekuat dalam
darah selama pemberian anestesi monitoring ini dapat dilakukan dengan metode:
1) Pengamatan visual dengan menilai warna dengan pencahayaan pasien yang
adekuat
2) Pulse oxymetry
Pulse oxymetry wajib digunakan untuk mempnitor semua pasien yang
dianestesi. Pulse oxymetry juga berguna khususnya ketika oksigenasi pasien
harus diukur terus menerus karena penyakit paru, komplikasi prosedur bedah
(cth repair hiatal hernia), teknik anesthesia khusus (one lung ventilation).
Tidak ada kontradikasi untuk Pulse oxymetry.
Selama monitoring anestesi saturasi dengan dipertahankan diatas 94% (denga
udara bebas) untuk mendapatkan PaO2 lebih dari 65 mmHg. Probe saturnasi
dipasang pada ujung jari pasien dengan sinar infra merah pada bagian kuku
jari pasien. Hindari pemaparan cahaya pada probe saturnasi untuk
menghindari gangguan iluminasi sinar infra merah.
b. Ventilasi
Pemantauan jalan napas da ventilasi dilakukan secara kontinyu bertujuan untuk
memastikan jalan napas dan ventilasi pasien yang adekuat selama tindakan
anestesi. Monitoring ventilasi dilakukan dengan cara:
1) Tanda-tanda klinis kecukupan ventilasi, anmtara lain: pengembangan dada
yang adekuat, pengamatan gerakan kembang kempis kantung pernafasan .
2) Stetoskop precordial dan ESOFAGEAL
Pada awalnya semua pasien yang dianestesi dimonitor dengan
menggunakan stetoskop prekordial dan esophageal. Namun secara perlahan
digantikan oleh kapnografi dan Pulse oxymetry untuk memonitor fungsi
pulmoner.
Instrument esophagus harus dihindarkan pada pasien dengan varises
dan striker esophagus. Monitoring dengan stetoskop prekordial masih dipakai
pada pasien pediatric untuk konfirmasi ventilasi, kualitas suara nafas (stridor,
wheezing), regularitas denyut jantung, kualitas bunyi jantung. konfirmasi
suara nafas bilateral paska intubasi dilakukan menggunakan stetoskop
binaural.

8
3) Secara kuantitatif: kebutuhan volume tidal (Bcc/kgbb), laju respirasi 12-
14x/menit untuk mencapai volume semenit 100cc/kgbb.
c. Sirkulasi
Pemantulan fungsi peredaran darah yang kontinyu bertujuan untuk
memastikan kecukupan fungsi peredaran darah pasien selama anestesi.
Monitoring ini dilakukan dengan cara:
1. Mengukur tekanan darah arteri
Kontraksi ritmis ventrikel kiri menghasilkan curah jantung menuju system
pembuluh darah. Tekanan tertinggi yang dihasilkan selama kontraksi
sistolik disebut dengan tekanan darah arteri sistolik sedangkan selama
relakssasi diastolic disebut dengan tekanan darah arteri diastolic. Tekanan
nadi (pulse pressure) merupakan perbedaan antara tekanan darah sistolik
dan tekanan diastolic. Tekanan darah arteri rata-rata selama satu siklum
pulsatil dengan rumus berikut ;
Gambar 2. MAP
( SBP )+ 2(DBP)
MAP=
3
Pengukuran tekanan darah arteri sangat tergantung dari tempat
pengukuran. Semakin ke perifer maka terjadi peningkatan dari tekanan
darah sistolik dan diastolic misalnya tekanan sistolik arteri radialis
biasanya lebih tinggi daripada tekanan darah sistolik aorta, karena letak
dari arteri radialis lebih perifer (distal). Perbedaan ketinggian (letak)
tempat pengukuran dari jantung juga mempengaruhi hasil pengukuran
oleh karena factor gravitasi. Pada beberapa pasien dengan kelainan
pembuluh darah yang berat dapat terjadi perbedaan yang mencolok antara
tekanan darah di lengan kanan dan kiri.
Karena pengukuran secara non-invasif (palpai, Doppler, auskultasi,
oscillometri, plethismografi0 dan invasive (kanulasi arteri) menghasilkan
perbedaan yang cukup besar, maka kedua metode tersebut akan dibahas
secara terpisah. Pemantauan tekana darah arteri dapat dilakukan dengan
cara:
1). Pemantauan tekanan darah arteri non-invasif
 Indikasi

9
Anestesi umum maupun regional merupakan indikasi absolute untuk
pengukuran tekanan darah arteri. Cara dan frekuensi pengukuran
tekanan darah sangat tergantung kepada kondisi pasien dan jenis
operasi yang dilakukan. Pengukuran dengan cara auskulasi setiap 3-5
menit biasanya cukup untuk sebagian besar kasus. Obesitas dapat
menyebabkan hasil pengukuran dengan cara auskulasi kurang akurat
sehingga metode osilometri atau Doppler lebih dapat diandalkan.
 Kontraindikasi
Walaupun pengukuran tekana darah sangat penting, metode-metode
yang menggunakan manset sebaiknya dihindari pada ekstremitas yang
mengalami kelainan pembuluh darah atau ekstremitas yang terdapat
jalur infuse.

2). Pemantulan tekanan darah arteri invasive


 Indikasi
Indikasi pemngukuran tekana darah dengan cara kateterisasi arteri
adalah hipotensi, antisipasi perubahan tekanan darah intraoperatif yang
cepat, gangguan organ yang memerlukan pengukuran tekanan darah
secara tepat dn cepat, serta dan keadaan-keadaan yang memerlukan
pengukuran analisa gas darah berulang.
 Kontraindikasi
Kateterisasi sebaiknya dihindarkan pada arteri-arteri yang tidak
memiliki aliran koleteral atau pada ekstremitas yang dicurigai adanya
kelainan insufisiensi pembuluh darah (contoh: fenomena Raynaud).
 Penggunaan klinis
Oleh karena kanulasi intra arteri dapat memberikan hasil pengukuran
secara kontinyu maka teknik ini dianggap sebagai gold standard.
Kesalahan membaca hasil pengukuran dapat menyebabkan tatalaksana
yang tidak adekuat. Untuk pengukuran yang tepat kateter, tubing, dan
transducer harus dapat menghasilkan gelombang arteri tertinggi atau
frekuensi alat (system) melebihi frekuensi pulsasi arteri (kurang lebih
16-24 Hz).

10
2. Elektrokardiografi
Semua pasien hendaknya dilakukan pemeriksaan EKG intraoperatif.
Penentuan lead menentukan sensitifitas dari EKG. Aksis lead II parallel terhadap
atrium, menghasilkan gelombang P besar. Monitoring ini ditujukan untuk
mendiagnosi distrima dan iskema dinding inferior. Lead V5 terletak di ICS 5
pada garis aksila anterior dapat digunakan untuk mendeteksi iskema dinding
anterior dan lateral. Lead V5yang benar hanya memungkinkan denga EKG yang
menggunakan 5 lead, tetapi V5 modifikasi dapat diperoleh dengan cara mengatur
letak lead three-limb. Idelanya, karena setiap lead memberikan informasi yang
berbeda, lead II dan V5 harus dipantau secara bersamaan. Bila hanya terdapat
satu pemantauan EKG maka penetuan lead tergantung terhadap lokasi infark atau
iskemi sebelummhya. Lead esophagus lebih baik dibandingkan dengan lead II
untuk mendeteksi distrima, tetapi penggunaanna dikamar operasi belum
sepenuhnya diterima.
EKG bekerja dengan cara merekam potensial elektrik yang dihasilkan oleh
sel-sel miokard. Penghunaannya secara rutin dapat mendeteksi distrima, iskemi
miokard, abnormalitas konduksi, gangguan pacemaker, dan gangguan elektrolit.
Pergeseran lead atau pasien, kauterisasi, dan keslahan electrode dapat menyerupai
distrima. Alat penyaring dapat mengurangi artefak akan tetapi dapat
menyebabkan distorsi pada segmen ST sehingga mengaburkan diagnosis dari
iskema. Secara umum kriteria untuk mendiagnosis iskemi miokard adalah
pendataran atau penurunan segmen ST melebihi 1 mm, 60 atau 80 milidetik
setelah titik J (akhir dari komplek QRS). Elevasi segmen ST dengan T yang
tinggi juga menunjukkan adanya iskema. Sindroma wolf-parkinson-white, bundle
branch block, dan terapi digoxin dapat menghalangi pemeriksaan segmen ST.
suara beep yang dihasilkan dari setiap kompleks QRS harus dibuat cukup keras
untuk mendeteksi perubahan ritme dan rate.
3. Kateterisasi vena sentral
Kateterisasi vena sentral ditujukan untuk pemantauan tekanan vena sentral pada
manajemen cairan pada hipovolemi dan syok, aspirasi emboli udara, insersi lead
transkutan dan sebagai akses vena pada pasien dengan vena perifer yang
kwcil/tidak vaik kondisinya. Kontarindikasi katetersasi vena sentral antara lain
tumor ginjal yang metastasis ke atrium kanan atau vegetasi katup tricuspid
termasuk kontraindikasi relative terhadap lokasi kateterisasi. Contoh, kanulasi
11
vena jugular interna relative dikontraindikasikan pada pasien-pasien denga terapu
aktikoagulan atau yang telah menjalani karotis endarterektomi ipsilateral, karena
dapat menimbulkan kemungkinan terjadinya punktur arteri karotis.

4. Diuresis
Keadaan status volume cairan tubuh dan fungsi ginjal yang baik dapat dinilai
dengan dieresis lebih dari 1cc/kgBB/jam dengan warna kuning jernih. Hal-hal
yang perlu diperhatikan dlam monitoring adalah sebagai berikut:
a) Dilakukan pemasangan kateter urin pada pasien yang menjalani operasi
lebih ari 2 jam dalam anstesi umum.
b) Dilakukan pemasangan kateter urin pada semua pasien yang mendapatkan
anestesi regional (spinal, epidural, kombinasi spinal epidural,dan caudal)
tanpa mempertimbangkan lama operasi.
c) Jumlah urin inisial jumlahnya dan dinilai warnanya
d) Selama operasi berlangsung urin pasien dikumpulkan dalam kantung
pengumpul urin dan dinilai jumlah serta warna
d. Suhu tubuh
Pengukuran suhu tubuh bertujuan untuk membantu mempertahankan suhu tubuh
yang normotemi selama anestesi. Monitoring ini dilakukan secara kontinyu dengan
menggunakan thermometer. Suhu tubuh pasien dipertahankan normotemi (35°−37,5 °
C) kecuali pada teknik khusus anestesi (teknik anestesi hipotermi (suhu <35 ° C)). Hal-
hal yang sebaiknya diperhatikan pada monitoring suhu tubuh adalah:
 Probe temperature dipasang pada nasofaring pasien yang menjalani anestesi
umum dan pada aksila pada pasien yang dilakukan anestesi regional.
 Probe dimasukkan ke nasofaring melalui mulut agar menghindari trauma pada
salurang hidung
 Bila didapatkan suhu tubuh kurang dari 35° C (terancam hipotermi), berikan
rumatan cairan denga kritaloid yang sudah dihangatkan. Selain itu, dapat juga
diberikan penghangatan pada bagian dalam kain penutup pasien.

12
II. 3 POSTOPERATIF
Postoperatif merupakan periode yang kritis setelah pembedahan dan anestesi diakhiri
sampai pasien pulih dari pengaruh anestesi. Pemulihan rutin yang dilakukan:
1. Pemulihan dari anestesi umum
Patensi jalan napas, tanda-tanda vital, dan oksigenasi harus diperiksa segera
pada saat pasien masuk ruang pemulihan. Telanan darah, denyut nadi, dam
pernapasan secara rutin diperiksa setiap 5 menit selama 15 menit atau sampai stabil,
dan setiap 15 menit sesudahnya. Pulse oximetry harus dipantau terus menerus pada
semua pasien pulih dari anestesi umum, setidaknya sampau mereka sadar. Terjadinya
hipoksemia tidak selalu berkorelasi dengan tingkat kesadaran. Fungsi neuromuscular
juga sebaiknya dinilai secara klinis, misalnya angkat kepala. Monitoring tambahan
termasuk penilaian nyeri (misalnya, skala angka atau deskriptif), ada atau tidak
adanya mual atau muntah, status volume pasien meliputi urine output, drainase, dan
pendarahan. Setelah tanda-tanda vital awal telah dicatat, sokter anestesiologi dan
terapi intensif atau dokter lain yang mempunyai kompetensi memberikan catatan
singkat kepada perawat PACU yang mencakup sejarah pra-anestesu (misalnya, status
mentas, dam masalah komunikasi seperti hambatan bahasa, ketulian, kebutaan, atau
retardasi mental), peristiwa intra-anestesi yang bersangkutan (jenis anestesi, proedur
bedah, kehilangan darag, pengggantian cairan, dan komplikasi yang terjadi), masalah
paska-anestesi, dan instruksi paska-anestesia (misalnya perawatan kateter epidural,
trannsfusi, ventilasi, pasca operasi dan lain- lain ).
2. Pemulihan dari spinal anestesi
Pasien yang mendapatkan obat sedasi atau hemodinamik tidak stabil setelah
anestesi regional harus mendapatkan terapi oksigen tambahan di PACU. Tingkat
sensorik dan motorik sebaiknya dicatat secara berkala setelah anestesi regional dan
kemudian didokumentasikan. Tekanan darah juga harus dimonitor. Kateter urin
diperlukan pada pasien yang menjalani anestesi spinal atau epidural selamam lebih
dari 4 jam.
3. Kontrol nyeri
Control nyeri dilakukan dengan mengikuti panduan manajemen nyeri RS.
Fadhilah. Pemberian obat NSAID atau denga parasetamol secara signifikan dapat
mengurangi pemberian opiod paskaopersi untuk beberapa prosedur. Penggunaaan
selektif siklooksigenase-2 inhibitor (misalnya, rofecoxib dan parecoxib) mengurangi
efek samping potensial pada fungsi trombosit dan komplikasi gastrointestinal.
13
Demikian pula, intraoperastif infiltrasi luka dan blok saraf. (misalnya, ilioinguinal dan
caudal) untuk prosedur tertentu juga dapat mengurangi kebutuhan analgesik operasi.
Nyeri ringan sampai sednag dapat diobati secara oral dengan parasetamol
ditambah codeine, hydrocodone, atau oxycodone, atau opioid agonis-antagonis
9butotphanol, 1-2 mg, atau nalbuphine, 5-10 mg) atau ketorolak tromethamine 30 mg
secara intravena.
Untk nyeri paska operasi yang berat di PACI dapat dikelola dengan opioid
parental atau intraepidural, anestesi regional, atau blok saraf tertentu. Pemberian
intramuscular opioid memiliki kelemahan onset yang tertunda (10-20 menit) dan
depresi pernapasan tertunda (sampai 1 jam ).
4. Agitasi
Sebelum pasien sadar penuh, nyeri dapat dimanifestasikan sebagai kegelisahan
paskaoperasi. Gangguan sistemik yang serius (seperti hipoksemia, asidosis, atau
hipotensi), distensi kandung kemih, atau komplikasi bedah (seperti perdarahan
intraabnomminal) juga sebaiknya dipertimbangkan pada pasien yang mengalami
agitasi. Pada kondisi agitasi, sebaiknya diperhatikan kemungkinan cedera pada pasien
terutama pada anak-anak. Karena pengaruh psikologis pada anak-anak dukungan dan
keberadaan orang tua juga diperlukan. Factor penyebab lainnya termasuk kecemasan
dan ketakutan pra-anestesi serta efek samping obat (dosis besar obat antikolinergik,
fenotiazin, atau ketamin).. fisostigmin dengan dosis 1-2 mg intravena (0,05 mg / kg
pada anak-anak), adalah yang palinng efektif dalam mencegah delirium dibandingkan
atropine dan skopolamin. Setelah gangguan sistemik yang serius dan nyeri dapat
disingkirkan, agitasi persisten mungkin memerlukan sedasi dengan dosis intravena
intermiten midazolam 0,5 -1 mg (0,005 mg / kg pada anak-anak).
5. Mual dan muntah
Mual dan muntah pasca operasi (PONV) adalah masalh umum setelah anestesi
umum dengan angka kejadian sebanyak 20-30%. Etilogi PONV multifaktorial,
melibatkan agen anestesi, jenis prosedur, dan factor pasien. Selain itu, penting untuk
diperhatikan bahwa mual adalah keluhan umum yang dilaporkan pada awal hipotensi
terutama setelah anestesi spinal atau epidural.
6. Menggigil dan hipotermi
Hipotermia harus dikelola dengan penghangatan, lampu penghangat, selimut
dengan tujuan untuk menaikkan suhu tubuh normal. Mengigil menyebatkan
peningkatan konsumsi oksigen, produksi CO2 dan curah jantung. efek fisiologis dapat
14
kurang bisa ditoleransi pada pasien penyakit jantung atau paru yang sudah ada
sebelumnya. Hipotermia dikaitkan dengan peningkatan insiden iskemia miokard,
aritmia, peningkatan kebutuhan transfusi, dan memperlama efek relaksasi otot. Dosis
intravena kecil meperidine (petidin), 10-50 mg, secara dramatis dapat mengurangi
atau bahkan menghentikan menggigil.

Kriteria pasien yang boleh dipindahkan ke ruangan ialah berdasarkan skor


aldrete. Penilaian dilakukan saat pasien masuk ruang pemulihan. Selanjutnya
dikakukan penilaian setiap 5 menit sampai tercapai nilai total 10. Nilai untuk
pemindahan pasien dari ruang pemulihan adalah 10.
Tabel 2. Skor Aldrete paska anestesu di ruang pulih
Objek Kriteria nilai
Mampu menggerakkan keempat ektrmitas 2
Aktifitas Mampu menggerakkan kedua ektremitas 1
Tidak mampu menggerakkan kedua ektremitas 0
Mampu napas dalam dan batuk 2
Respirasi Sesak atau pernapasan terbatas 1
Henti napas 0
Tekanan darah Berubah sampai 20% dari pra bedah 2
Berubah 20-50% dari pra bedah 1
Berubah .50% dari pra bedah 0
Sadar baik dan orientasi baik 2
Kesadaran Sadar setelah dipanggil 1
Tidak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
Kemerahan 2
Warna kulit Pucat agak suram 1
Sianosis 0

15
BAB III
BEDAH DARURAT

Pasien bedah emergensi berbeda dari mereka yang dijadwalkan untuk bedah elektif.
Diagnosis yang mendasari mungkin tidak diketahui dan operasi yang direncanakan tidak
pasti. Waktu untuk mempersiapkan kondisi medos pasien biasanya terbatas, dan sering ada
nyeri, kecemasan dan distress yang harus diatasi. Banyak prosedur emergensi terhjadi pada
pasien usia lanjut yang biasanya memiliki kegagalan fungsi organ akibat penyakit bedahnya
maupun oleh penyakit lain yang sudah ada.
Pasien emergensi memiliki mortalitas dan morbiditas lebih tinggi, terutama jika
disertai hipovolemia, penyakit jantung, masalah pernapasan atau kegaga;an fungsi ginjal.
Dengan waktu yang tersedia sebelum operasi, setiap kelainan kardiovaskular dan respiratorik
harus didiagnosis dan diobati segera. Kontak dini dengan spesialis anestesi akan
menghasilkan rencana tindakan untuk periode pra bedah. Operasi kadang-kadang dianjurkan
untuk ditunda memungkinkan pengobatan medis memperbaiki keadaan umum pasien. Pada
situasi tertentu, dibutuhkan operasi segera.
Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter anestesi pada kasus emergensi
antara lain : keterbatasan waktu untuk mengevaluasi pra anesthesia yang lengkap, pasien
sering dalam keadaan takut dan gelisah, lambung sering berisi cairan dan makanan, system
hemodinamik terganggu, keadaan umum sering buruk, menderita cedera ganda/multiple,
kelainan yang harus dibedah kadang-kadang belum diketahui dengan jelas (diagnosa belum
tegak), riwayat sebelum sakit tidak dapat diketahui, komplikasi yang ada kadang-kadang
tidak dapat diobati dengan baik sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang sering
menyebabkan mortalitas pasien bedah darurat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan
bedah elektif.
Bedah darurat merupakan pembedahan yang dilakukan dalam keadaan sangat
mendadak untuk menghindar komplikasi lanjut dari proses penyakit atau untuk
menyelamatkan jiwa pasien. Banyak bedah gawat darurat yang masih dapat ditangguhkan
pembedahannya selama 1 jam atau lebih untuk persiapan yang lebih baik/optomalisasi
keadaan umum, kecuali pada keadaan-keadaan ini :
1. Kegawatan janin
2. Perdarahan yang tidak dapat dikendalikan
3. Gangguan pernapasan yang sangat berat
4. Cardiac arrest
16
5. Emboli arterial
Factor utama agar pengelolaann anestesi bedah darurat dapat berjalan sukses adalah
kesiapan dalam menangani kejadian akut dan berat. Perencanaan anestesi yang baik,
optimalisasi kondisi dan resusitasi yang sesuai diperlukan untuk kondisi intra dan
pascaoperasi yang memuaskan. Perbedaan-perbedaan pokok dari anestesi untuk pembedahan
elektif (terencana) dengan anestesi untuk pembedahan darurat adalah:
 Bahaya aspirasi dari lambung yang berisi:
 Gangguan pernapasan
 Hemodinamik dan kesadaran yang tidak selalu dapat diperbaiki sampai optimal
 Terbatasnya waktu persiapan untuk mencari data dan perbaikan fungsi tubuh.
Penundaan pembedahan akan membahayakan jiwa atau menyebabkan kehilangan
anggota badan. Seorang dokter anestesi harus memeriksa sendiri penderita dan
berusaha memperoleh sebanyak mungkin informasi tentang keadaan penderita dalam
waktu pendek yang tersedia.

III. 1 PREOPERATIF
Tindakan dokter untuk mengurangi rasa takut dan gelisah pasien adalah sangat
penting tetapi seringkali dilupakan pada situasi darurat. Padahal hal tersebut sering kali
ditemukan pada bedah darurat. Penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan sedikit
banyak mampu membuat pasien menjadi lebih tenang. Pengobatan terhadap kelaianan medis
yang menyertai seringkali perlu dilakukan, karena terkadang pasien juga menderita penyakit
lain yang belum terkontrol dengan baik seperti asma, hipertensi, penyakit jantung, maupun
diabetes.
Kesiapan untuk operasi bedah darurat juga meliputi persiapan kamar bedah dan alat-
alat anestesi yang siap pakai misalnya mesin anestesi dan alat untuk ventilasi, oksigenasi,
intubasi, dan pelengkap lainnya, monitor, untuk infuse dan transfuse serta cairan, obat-obatan
baik obat resusitasi maupun anestesi, serta defibrillator.
Evaluasi praanestesi dilakukan segera sebelum pembedahan dan kadang-kadang saat
pasien didorong ke meja operasi. Penilaian harus mengikuti prinsip triage yaitu airway
control and cervical spine control, oksigenasi dan ventilasi, pertahankan stabilitas
hemodinamik termasuk pengendalian aritmatika jantung dan perdarahan, evaluasi problem
medis dan cedera lain, serta harus dilakukan observasi dan monitoring terus menerus sampai
menjelang operasi.

17
Tindakan sedini mungkin memperbaiki ventilasi/oksigenasi (kalau perlu dengan
intubasi dan ventilasi kendali) dan gangguan sirkulasi pasien bedah darurat sangat vital
karena tindakan ini akan menentukan prognosa pasien. Trauma sering menyebabkan
hipoksemia yang tidak langsung berhubungan dengan kelainan yang harus dibedah secara
darurat misalnya trauma kepala, dada, muka, leher, syok, spesies dan sebagainya. Resusitasi
pada trauma meliputi 2 fase, yaitu control perdarahan perawatan luka. Resusitasi segera
dilakukan waktu penderita datang (primary survey) dalam waktu 2-5 menit, yaitu menilai :
A : Airway = jalan nafas
B : Breathing = pernafasan
C : Circulation Sirkulasi
D : disability = Kecacatan
E : Exposure = paparan

Atau ada juga pembagian primary survey yang lain, yaitu:


B-1 : Breath = pernafasan
B-2 : Blood = hemodinamik
B-3 :Brain = otak dan kesadaran
Peran dokter anestesi dalam fase ini jelas tidak dapat dielakkan lagi, karena
keterampilannya dalam bidang support nafas dan sirkulasi menjadi tumpuan keselamatan
penderita.
 Stabilisasi fungsi pernafasan meliputi : terapi oksigen, nafas buatan, fungsi
pneumotoraks, intubasi endotrakeal atau krikotirotomi. Sedangkan indikasi
mutlak untuk dilakukannya intubasi segera antara lain GCS kurang dari 9,
ancaman syok, obstruksi jalan napas, pasien yang gelisah dan membutuhkan
sedasi, trauma dada dengan hipoventilasi, hipoksia, dan henti jantung. life
support diberikan tanpa menunggu pemeriksaan tambahan yang lain.
Bila dalam penilaian awal ternyata pasien stabil, lalu kita dapat masuk pada
penilaian berikutnya terhadap pasien tersebut melalui penilain lanjutan
(secondary survey):
1) anamnesis
riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anesthesia sebelumnya
sangat penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya: alergi, mual muntah, gatal-gatal atau sesak

18
nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merenanakan anestesi berikutnya
dengan baik,
2) pemeriksaan fisik
pemeriksaan keadaan gigi-geligi , tindakan buka mulut, lida relative besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan lain secara sistemik tentang keadaan
umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua system organ tubuh pasien. Termasuk didalamnya
pemeriksaan terhadap tempat untuk regional anestesi (bila digunakan
regional anestesi).
3) Pemeriksaan penunjang (sesuai indikasi)
a. pemeriksaan EKG
selain untuk mengetahui tentang keadaan / penyakit jantung dapat pula
mengetahui adanya pengaruh fungsi paru terhadap jantung, maupun
kelainan elektrolit.
b. pemeriksaan radiologis
meliputi foto rontgen, USG danCT-scan (bila perlu). Pemeriksaan
tersebut selain dapat digunakan untuk menegakkan diagnose juga dapat
sebagai pertimbangan adakah kemungkinan penyulit intubasi ataupun
penyulit anestesi
c. pemeriksaan laboraturium
meliputu pemeriksaan dara rutin, gula darah, serta pemeriksaan
laboraturium lain sesuai indikasi.
Evaluasi meliputi system kardiovaskuler dengan memantau frekuensi
nadi,irama, dan kualitas isi nadi, tekanan darah, pengisian vena sentran dan perifer, pengisian
kapiler. Bila mungkin, lakukan pemasangan kateter vena sentral (vena cava superior) untuk
mengikuti perubahan tekanan darah dengan terapi pemberian cairan infuse. Rekam EKG
untuk menilai adanya aritmia jantung.
System neurologis yang dinilai pertama adalah kesadaran. Bila pasien berada
dalam koma sebaiknya segera di intubasi agar jalan nafasnya bebas dan sekaligus untuk
mencegah aspirasi isi lambung kedalam paru. Gangguan pernafasan segera dapat ditolong
dengan mengendalikan jalan nafas. Cairan secret dalam trakea juga segera dapat dihisap.
Bila ada dugaan fraktur tulang harus berhati-hati pada tindakan transport,
mengangkat pasien agar tidak menjadi lebih parah dan menekan medulia spinalis sehingga
19
gangguan neurologis menjadi lebih berat. Kita harus menggunakan teknik jaw untuk
mengamankan airway, sedangkan ekstensi maupun manipulasi leher lainnya sebaiknya
dihindari. Teknik stabilisasi pada cedera leher dengan teknik in line stabilization.
Untuk kasus-kasus yang tidak memenuhi criteria true emergency (kasus yang apabila
ditunda untuk dilakukan tindakan akan menyebabkan terjadinya mortalitas/morbiditas, seperti
syok karena perdarahan yang tidak tertangani, gawat janin. Penurunan kesadaran akibat
EDH/SDH/ICH harus dilakukan optimalisasi terlebih dahulu terhadap masalah yang masih
mungkin diperbaiki dalam waktu cepat dan mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien.
Saran untuk perbaikan keadaan harus ditulis secara rinci dan jelas denga target yang
diharapkan.

20
Gambar 3. Skema tatalaksana pasien emergensi

Penderita

Sadar Tidak sadar

Buka jalan nafas


Tripel airway maneuver

Nafas Tidak nasfas

Beri nasafas raba n.


Normal Tidak normal
carotis

Terapi oksigen
n. carotis(+) n. carotid (-)
Atau nafas bantuan

CPR
Beri nafas terus
menerus

Ad vance life support

1. evaluasi hemodinamik
2.Evaluasi trauma

21
Mengurangi rasa takut dan gelisah sangat penting dan sering dilupakan pada situasi
darurat. Walaupun hanya sebentar tapi penjelasan tentang apa yang akan dilakukan kadang
banyak menolong untuk membuat pasien menjadi lebih tenang. Masalah pada kasus
emergensi:
1. Lambung perih
Aspirasi isi lambung ketika induksi anestesi atau ketika akan sadar kembali
harus dicegah. Waktu pengosongan akan memanjang oleh makanan berlemak
tinggi (8-10 jam ), gangguan emosional dan obat narkotik. Interval waktu
antara makan terakhir dengan mulainya sakit tersebut timbul sangat penting
sebab lambung akan berhenti bekerja disaat timbbul nyeri.
Hiperventilasi atau gangguan pernaoasan,menyebabkan pasien menelan udara
sehingga perut menjadi kembung, hal tersebut memudahkan terjadinya
regurgitasi atau muntah. Sekalipun telah dipasang nasogastic tube,
pengosongan lambung secara sempurna melalui NGT tidak terjamin.
Wanita dalam proses partus harus dianggap mengalami lambung enuh. Partus,
rasa nyeri dan takut memperpanjag waktu pengosongan lambung. Partus yang
lama menyebabkan jumlah cairan lambung bertambah. Isi perut terdorong
kearah kepala, menekan sfingter kardia dan menyebabkan regurgitasi atau
muntah.
Pasien dalam keadaan koma atau setengah sadar, mudah mengalami aspirasi.
Bila akan melakukan tindakan menguras lambung, maka jalan pernafasan
harus diamankan terlebih dahulu dengan endotrakel tube yang ber-cuff.
Sekalipun ada reflek batuk, hal ini tidak mampu menjamin perlindungan
terhadap aspirasi. Posisi kepala juga tidak boleh dinaikkan (head up) karena
dapat menyebabkan gravitasi gradient dari faring ke paru.
Tatalaksanakan aspirasi isi lambung:
1. Pengosongan lambung denga tube gastric no. 20 atau lebih besar, dihisap berkala,
terakhir isap sebelum oksigen preoperasi. Dengan pemberian nasal dekongestan,
lidokain spray ke hidung dan lubrikan (KY) jelly yang water base, maka
pemasangan tube nasogastrik lebih nyaman bagi penderita.
2. Antacid magnesium trisilikat 15 cc akan berguna menetralisir sisa-sisa cairan
asam lambung. Diberikan minimal 30 menit sebelum induksi. Pemberian rutin
dilakukan pada kasus-kasus obstetric. Antasida tidak akan menetralisir semua
penderita sebab tergantung factor-faktor mixing, volume cairan lambung, pH isi
22
lambung. Antasida sendiri bisa menyebabkan pneumonitis jika teraspirasi.
Simetidin tidak berguna karena ibat ini hanya mengurangi produksi dan
keamanan cairan lambung yang akan keluar.
3. Posisi head down selama trachea tidak di intubasi. Posisi head down juga setelah
trachea di intubasi, kecuali bila ada trauma kapitis atau kenaikan tekanan
intracranial.
4. Tube nasogastrik dihisap bersih

II. HIPOTENSI
Sebagian besar penderita bedah darurat mengalami gangguan hemodinamik berupa
perdarahan atau fluid loss misalnya pada: peritonitis, ileus, dan kombusio.
Secara umum kehilangan darah 10% dari estimated blood volume dapat ditolelir tanpa
perubahan-perubahan yang serius (EBV dewasa 70 cc/kg BB, anak-anak ,2 th 80 cc/kg BB).
Kehilangan .10% memerlukan penggantian berupa ringer laktat. Batas penggantian darah
dengan ringer laktat adalah sampai kehilangan 20% EBV atau hematokrit 28% atau
hemoglobin +- 8 gr%. Jumlah cairan masuk harus 2-4 x jumlah perdarahan. Cara hemodilusi
begini bukan untuk menggantikan tempat transfusi darah, tetapi untuk :
 Tindakan sementara, sebelum darah datang
 Mengurangi jumlah transfuse darah sejauh transport oksigen masih memadai.
 Menunda pemberian transfuse darah sampai saat yang lebih baik (mialnya:
pemberian transfuse perlahan-lahan / postoperative setelah penderita saadar,
agar observasi lebih baik kalau-kalau terjadi reaksi tranfusi).
 Cairan ringer laktat mengembalikan sequentrasi/third space loss yang terjadi
pada waktu perdarahan/syok. Jumlah darah yang hilang tidak selalu dapat
diukur namun dengan melihat akibatnya pada tubuh penderita, jumlah darah
yang hilang dapat diperkirakan sbb:
 Preshock : kehilangan s/d 10%
 Shock ringan : kehilangan 10-20 %.tekanan darah turun, nadi naik,
fungsi dingin, basah, pucat.
 Shock sedang : kehilangan 20-30%. Tekanan darah turun sampai 70
mmHg. Nadi naik sampai diatas 140. Perfusi buruk, urine berhenti.
 Shock berat : kehilangan lebih dari 355 : tekanan darah sampai tak
terukur, nadi sampai tidak teraba.

23
Berkurangnya volume cairan intersisial menyebabkan terjadinya tanda-tanda
intersisial yaitu : turgor kulit jelek, mata cekung, ubun-ubun cekung, selaput lender kering.
Berkurangnya volume plasma menyebabkan terjadinya “tanda-tanda plasma” yaitu :
takhikarda, oliguria, hipotensi, shock. Berdasarkan tanda-tanda itu maka perkiraan besarnya
defisit adalah sebagai berikut:
 Tanda-tanda intersisial minimal : defisit 4% dari berat badan.
 Tanda-tanda intersisial dan tanda plasma sedang : defisit 7 % dari berat badan.
 Tanda-tanda intersisial dan plasma berat : defisit 10% dari berat badan.
 Syok : defisit 15% dari berat badan.
Sedangkan kehilangan darah pada patah tulang tertutup dapat diestimasi sebagai
berikut:
1) Fraktur dari telapak kaki dengan sedikit bengkak 250-500 ml.
2) Fraktur baguan bawah dari kaki dengan sedikit bengkak 500-1000 mL.
3) Fraktur tungkai femur 500-2000 mL
4) Fraktur persediaan patella sampai 2000 mL
5) Fraktur antebrakhi 500-750 ml
6) Fraktur humerus dan bahu sampai 2000 ml
Hipotensi adalah penurunan 30 – 35 % dari MAP normal. Sebab-sebab hipotensi:
hipovolemia, syok kardiogenik, syok neurogenik, sepsis, hipofungsi atau
kegagalan adrenal, kelainan metabolic (misalnya koma diabetikum). Untuk
mengatasi syok dapat dilakukan :
 Apabila defisit berat berikan 20 ml/kg Ringer laktat atau 0,9 % NaCl
cepat. Jika setelah itu syok belum dapat diatasi, ulangi lagi. Tujuan
tindakan pertama ini adalah memulihkan volume darah/plasma dan
mengatasi syok.
 Berikutnya dalam 8 jam pertama 50% dari defisit yang diperhitungkan
diberikan. 16 jam berikutnya diberikan sisa 50% dari defisit. Setelah syok
dapat diatasi, vairan maintenance dapat diberikan bersama-sama dengan
terapi defisit. Cairan maintenance: dewasa 50 cc/kg BB dengan natrium 2-
4 mEq/kg BB; sisanya sebagai lautan dextrose.
 Jika produksi urine sudah ada, kalau perlu dapat diberikan kalum 1-2
mEq/kg dalam 24-36 jam.
 Evaluasi keadaan penderita secara berkala tiap 4-6 jam.

24
 Sebagai tanda bahwa sirkulasi dan perfusi sudah baik adalah telapak
tangan atau kaku hangat, merah dan kering (sebagai kebalikannya pada
waktu defisit dingin, kelabu dan lembab).
 Bila dapat dipasang CVP kateter, maka dilakukan “5-2 fluid challenge
sampai hemodinamik terbaik denga CVP yang optimal. Cara ini sangat
bermanfaat pada kasus-kasus sulit(tua, sakit jantung dan sebagainya).
Untuk mengetahui perkembangan terapi perlu dilakukan monitoring, antara
lain: tekanan darah dengan cuff biasa atau lebih tepat dengan arterial line,
CVC, EKG, suhu tubuh, kateter urin (produksi urine normal 0,5 – 1 ml/kg
BB)

III. 2 INTRAOPERATIF
Teknik anestesi
Teknik anestesi yang dilakukan dapat dilakukan dalam anestesi umum ataupun
anestesi regional (mengenai teknik anestesi dijelaskan dalam bab lain dalam buku panduan
ini). Anestesi umum pada pasien bedah darurat pada umumnya dilakukan dengan keadaan
pasien dengan lambung penuh untuk dapat dengan teknik rapid sequence induction (RSI):
a. Pasien selalu dilakukan preoksigensi sebelum dilakukan induksi. 4 kali tarikan nafas
maksimal dari oksigenasi sudah cukup untuk denitrogenasi paru normal. Pasienn
dengan penyakit paru memerlukan 3-5 menit preoksigenasi
b. Prekurarisasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi mungkin mencegah
peningkatan tekanan intra abdomen yang berhubungan dengan fasikulasi yang
disebabkan oleh suksinilikolin. Tahap ini sering ditinggalkan, meski tahap ini dapat
menurunkan tonus otot spingter esophagus bagian bawah. Jika rocuronium dipilih
untuk relaksasi, dosisi priming kecil (0,1 mg/kgBB) diberikan 2-3 menit sebelum
induksi mungkin mempercepat onset obat.
c. Blade yang besar ETT disiapkan sebelumnya. Sebaiknya menggunakan ETT setengah
nomor dari biasanya, untuk memaksimalkan kemudahan melakukan intubasi.
d. Asisten melakukan penekanan ringan diatas kartilago krikoid sesaat setelah induksi
(sellick’s maneuver). Karena kartilago krikoid terbentuk cincin yang tidak putus dan
tidak kemps, tekanan diatas menekan jaringan dibawahnya. Esophagus menjadi
kolaps, dan secara pasif regurgitasi cairan lambung tidak dapat mencapai hipofaring.

25
Tekanan pada kiroid yang berlebihan (lebih eras daripada yang ditoleransi orang pada
umunya ) dapat menyebabkan rupture dinding esophagus posterior.
e. Tidak ada pemberian tes dosis dari thiopental. Dosis induksi diberikan secara bolus.
Seharusnya dosis ini dimodifikasi bila ada indikasi bahwwa system kardiovaskular
pasien tida stabil. Agen RSI lain dapat menggantikan thiopental (propofol, ketamin).
f. Suksinilkolin (1,5 mg/kg BB) atau rocuronium (0,9 – 1,2 mg/kg BB) dapat diberikan
segera setelah thiopental, walaupun pasien belum hilang kesadarannya.
g. Pasien tidak dilakukan ventilasi positif, untuk menghindari pengisian udara perut
dimana hal ini dapat meningkatkan risiko regurgitasi. Setelah reflek sponttan pasien
berhenti atau respon otot terhadap rangsang hilang, pasien segera mulai di intubasi.
Penekanan pada cricoids dipertahankan sampai cuff tube ETT sudah dikembangkan
dan posisi tube sudah pasti. Modifikasi dari RSI klasik memperbolehkan ventilasi
yang gentle selama tekanan krikoid dipertahankan.
h. Bila intubasi mengalami kesulitan, tekanan pada krikoid dipertahnkan sampai dan
pasien diventilasi secara gentle dengan oksigen sampai usaha intubasi berikutnya
dapat dilakukan. Tekanan yang diberikan tidak lebih dari 25 cm H2O. bila intubasi
tetap tidak berhasil, ventilasi pasien harus dispontankan kembali dan dilakukan
intubasi sadar.
i. Setelah selesai pembedahan, pasien harus diekstubasi setelah reflek-reflek jalan nafas
kembali dan kesadaran sudah pulih.

Monitoring selama anestesi


Salah satu tugas utama dari seorang anestesiologi adalah bertindak sebagai pelindung
(penjaga) pasien yang sedang dianestesi selama operasi. Sesungguhnya, kewaspadaan
merupakan semboyan dari American Society o Anesthediologist (ASA). Kewaspadaan yang
maksimal membutuhkan pemahaman mengenai teknologi alat-alat pemantauan.
1. Oksigenasi
Pemantauan oksigenasi jarinngan dilakukan secara kontinyu. Monitoring oksigenasi
ini bertujuan untuk memastikan kadar oksigen yang adekuat dalam darah selama
pemberian anestesi. Monitoring ini dapat dilakukan denga metode:
 Pengamatan visual denga menilai warna dengan pencahayaan pasien yang
adekuat
 Pulse oxymertry

26
Pulse oxymetry wajib digunakan untuk memonitor semua pasien yang
dianestesi. Pulse oxymetry juga berguna khususnya ketika oksigenasi pasien
harus diukur terus menerus karena penyakit paru, komplikasi prosedur bedah
(cth repair hiatal hernia), teknik anestesi khusus (one lung ventilation). Tidak
ada kontraindikasi untuk pulse oxymetri.
Selama monitoring anestesi saturasi oksigen dipertahankan di atas 94%
(denga udara bebas) untuk mendapatkan PaO2 lebih dari 65 mmHg. Probe
saturasi dipasang pada ujung jari pasien denga sinar infra merah pada bgaian
kuku jari pasien. Hindari pemaparan cahaya pada probe saturasi untuk
menghindari gangguan iluminasi sinar infra merah.
2. ventilasi
Pemantauana jalan nafas dan ventilasi dilakukan secara kontiyu bertujuan untuk
memastikan jalan nafas da ventilasi pasien yang adekuat selama pemberian anestesi.
Monitoring ventilasi dilakukan dengan cara:
1. Tanda-tanda klinis kecukupan ventilasi, antara lain: pengembangan dada yang
adekuat, pengamatan gerakkan kembang kempis kantung pernafasan.
2. Stetoskop precordial dan esophageal
Banyak anestesiologi percaya bahwa semua pasien yang dianestesi harus
dimonitor dengan stetoskop prekordial dan esophageal, meskipun cara ini secara
perlahan digantikan oleh capnografi dan pulse oxymetri untuk memonitor fungsi
pulmoner.
Instrument esophagus harus dihindarkan pada pasien dengan varies dan stritur
esophagus. Informasi yang diberikan stetoskop prekordial dan esophagus meliputi
konfirmasi ventilasi, kualitas suara nafas (stridor, wheezing), regularitas denyut
jantung, kualitas bunyi jantung. konfirmasi suara nafas bilateral pasca intubasi,
bagaimanapun juga menggunakan stetoskop binaural.
3. Secara kuantitatif: kebutuhan volume tidal (8cc/kg bb).

3. sirkulasi
Pemantuan fungsi peredaran darah yang kontiyu bertujuan untuk memastikan
kecukupan fungsi peredaran darah pasien selama anestesi. Monitoring ini dilakukan dengan
cara:
1. Mengukur tekanan darah erteri

27
Kontraksi ritmis ventikel kiri, mengakibatkan pengeluaran darah menuju system
pembuluh darah, yang menyebabkan terjadinya tekanan arteri yang berdennyut.
Tekanan tertinggi yang dihasilkan selama kontraksi sistolik disebut dengan tekanan
darah arteri sistolik; sedangkan tekanan selama relaksasi diastolic disebut dengan
tekanan darah diastolic. Tekanan pulssatil (pulse pressure) merupakan perbedaan
antara tekanan sistolik dan tekanan diastolic. Tekanan darah asteri rata-rata selama
satu siklus pulsatil dikenal dengan nama Mean Arterial Pressure (MAP). MAP dapat
dihitung dengan rumus berikut:
( SBP )+ 2(dDBP)
MAP=
3

Pengukuran tekanan darah arteri dangat tergantung dari tempat pengukuran. Ketika
pulsasi bergerak menuju perifer melalui cabang-cabang arteri, terjadi peningkatan
dari tekanan darah sistolik dan diastolic. Sebagai contoh, tekanan sistolik arteri
radialis biasanya lebih tinggi daripada tekanan darah sistolik aorta, karena letak dari
arteri radialis lebih perifer (distal). Sebaliknya, tekanan darah sistolik arteri radialis
lebih kecil dibandingkan tekanan aorta pada prosedur hipotermi bypass
kardiopulmoner, karena penurunan dari tekanan vascular tangan. Perbedaan
ketinggian (letak) tempat pengukuran dari jantung juga mempengaruhi hasil
pengukuran oleh karena factor grafitasi. Beberapa pasien dengan gangguan
pembuluh darah yang berat dapat terjadi perbedaan yang mencolok antara tekanan
darah tangan kanan dan kiri. Hasil pengukuran yang lebih tinggi sebaiknya
digunakan pada keadaan seperti ini. Karena pengukuran secara non-infasif (palpasi,
Doppler, auskultasi, oscillometri, plethismografi) dan infaasif (kanulasi arteri)
menghasilkan perbedaan yang cukup besar, maka kedua metode tersebut akan
dibahas secara terpisah. Pemantauan tekanan darah arteri dapat dilakukan dengan
cara:
2. pemantauan tekanan darah aretri non-infasif
Indikasi
Anestesi umum maupun regional merupakan indikasi absolute untuk
pengukuran tekanan darah arteri. Cara dan frekuensi pengukuran tekanan darah sangat
tergantung kepada kondisi pasien dan jenis operasi yang dilakukan. Pengukuran
dengan cara auskultasi setiap 3-5 menit biasanya cukup untuk sebagian besar kasus.

28
Obesitas dapat menyebabkan hasil pengukuran dengan cara auskultasi kurang akurat.
Pada keadaan ini metode osilometri atau Doppler lebih dapat diandalkan.
Kontradikasi
Walaupun pengukuran tekanan darah sangat penting, metode-metode yang
menggunakan manset sebaiknya dihindarkan pada ekstremitas yang mengalami
abnormalitas pembuluh darah atau ekstremitas yang terdapat jalur infuse.

3. pemantauan tekanan darah arteri infasif


Indikasi
Indikasi pengukuran tekanan darah dengan cara kateterisasi artei adalah
hipotensi, mengantisipasi perubahan tekanan darah intraoperatif yang cukup besar,
gangguian organ yang memerlukan pengukuran tekanan analisa gas darah multiple.
Kontraindikasi
Kateterisasi sebaiknya dihindarkan pada arteri-aretri yang tidak memiliki aliran
kolateral atau pada ekstremitas yang dicurigai adanya kelainan insufisiensi pembuluh
darah (contoh: fenomena Raynaud).
Penggunaan klinis
Oleh karena kanulasi intra arteri dapat memberikan hasil pengukuran yang terus
menerus maka teknik ini dianggap sebagai teknik yang memenuhi gold standard.
Kesalahan membaca hasil pengukuran dapat menyebabkan terapi yang tidak adekuat.
Untuk pengukuran yang tepat kateter-tubing-transducer harus dapat memberikan
respon yang adekuat terhadap gelombang arteri tertinggi dengan kata lain frekuensi
alat (system) harus melebihi frekuensi pulsasi arteri kurang lebih 16-24 Hz).
4. elektrokardigrafi
Semua pasien hendaknya dilakukan pemeriksaan EKG intraoperatif
tidak terdapat kontraindikasi pemasangan EKG.
Penetuan lead menentukan sensitifitas dari EKG. Aksis lead II parallel
terhadap atrium, menghasilkan gelombang P besar. Cara ini meningkatkan
diagnosis terhadap distrimia dan iskemia dinding inferior. Lead V5 terletak di
ICS 5 pada garis aksila anterior: posisi iini baik untuk mendeteksi iskemia
dinding anterior dan lateral. Lead V5 yang benar hanya memungkinkan dengan
EKG yang menggunakan minimal 5 lead, tetapi V5 modifikasi dapat diperoleh
dengan cara mengatur letak lead three limb. Idealnya karena setiap lead
memberikan informasi yang berbeda, lead III dan V5 harus dipantau bersamaan
29
dengan EKG dua saluran. Bila hanya terdapat EKG satu saluran, penentuan lead
tergantung terhadap lokasi infark atau iskemi sebelumnya. Lead esophagus lebih
baik dibandingkan dengan lead II untuk mendeteksi distrimia, tetapi
penggunaannya di ruang opersi belum sepenuhnya diterima.
Elektroda perak klorida ditempatkan pada tubuh pasien untuk memantau EKG.
Electrode jarum, jarang digunakan. Penggunaannya terbatas bila cakram perak
klorida tidak dapat digunakan (contohnya pada pasien dengan luka bakar luas).
EKG bekerja dengan cara merekam potensial elektrik yang dihasilkan oleh
sel-sel miokard. Penggunaannya secara rutin dapat mendeteksi distrimia, iskemi
miokard, abnormalitas konduksi, gangguan pacemaker dan gangguan elektrolit.
Pergerakan lead atau pasien, kauter dan kesalaham electrode dapat menyerupai
distrimia. Alat penyaring dapat mengurangi artifak, tetapi dapat menyebabkan
distorsi pada segmen ST dan mengaburkan diagnosis iskemi miokard adalah
pendataran atau penurunan segmen ST melebihi 1 mm, 60, atau 80 mili sekon
setelah titik j (akhir dari kompleks QRS). Elevasi segmen ST dengan T yang
tinggi juga mencerminkan iskemia. Sindroma-wolff-parkinson-white, bundle
branch block, dan terapi digoxin dapat menghalangi pemeriksaan segmen ST.
suara beep yang dihasilkan dari setiap kompleks QRS harus dibuat cukup keras
untuk mendeteksi perubahan ritme dan rate.
5. kateterisasi vena sentral
Kateterisasi vena sentral ditujukan untuk pemantauan tekanan vena sentral
pada manajemen cairan pada hipovolemi dan syok, aspirasi emboli udara, insersi transakutan
lead dan memperoleh akses vena pada pasien dengan vena perifer yang kecil/buruk.
Kontraindikasi kateterisasi vena sentral antara lain sel tumor ginjal berekstensi menuju atrium
kana n atau vegetasi katup tricuspid. Kontaindikasi lain relative terhadap lokasi kateterisasi.
Contoh, kanulasi vena jugular interna relatif dikontraindikasikan pada pasien-pasien dengan
terapi aktikoagulan atau yang telah menjalani karotis endarterektomi ipsilateral, karena dapat
menimbulkan kemungkinan terjadinya punktur arteri karotis.
4. suhu tubuh
Pengukuran suhu tubuh bertujuan untuk membantu mempertahankan suhu tubuh yang
normotermi selama anestesi. Hal ini dilakukan secara kontiyu dengan thermometer.
 Pertahankan temperature tubuh pasien normotermi (36°−37,5 ° C). hindari keadaan
hipotermi (suhu <35° C)

30
 Probe temperature dipasang pada nasopharyng pasien yang menjalani anestesi umum
dan pada aksila pada pasien yang dilakukan anestesi regional.
 Probe dimasukkan ke nasofaring melalui mulut agar menghindari trauma pada saluran
hidung.
 Bila didapatkan suhu tubuh kurang dari 36° C (terancam hipotermi), berikan
maintance cairan kristaloid yang sudah dihangatkan di lemari penghangat kemudian
berikan penghangat pada bagian dalam kain penutup pasien.

5. dieresis
Keadaan status volume cairan tubuh dan fungsi ginjal yang baik dinilai dengan
dieresis lebih dari 1cc/kgBB/jam dengan warna kuning jernih.
Dilakukan pemasangan kateter urin pada pasien yang menjalani operasi lebih dari 2
jam dalam anestesi umum.
Dilakukan pemasangan kateter urin pada semua pasien yang mendapatkan anestesi
regional (spinal, epidural, kombinasi spinal epidural, dan caudal) tanpa mempertimbangkan
lama operasi.
Jumlah urin inisial dicatat jumlah dan nilai warnanya
Selama operasi berlangsung urin pasien dikumpulkan dalam karung pengumpul urin dan
dinilai jumlah serta warna

III.3 POSTOPERATIF
Postoperative merupakan periode kritis, yang segera dimulai setelah pembedahan dan
anestesi diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh anestesi. Pemulihan rutin yang dilakukan:
1. Pemulihan dari anestesi umum
Patensi jalan nafas, tanda-tanda vital, dan oksigen harus diperiksa segera pada
saat pasien masuk ruang pemulihan. Tekanan darah, denyut nadi, dan
pernapasan secara rutin diperiksa setiap 5 menit selama 15 menit atau sampai
stabil, dan setiap 15 menit sesudahnya. Pulse oximetry harus dipantau terus
menerus pada semua pasien pulih dari anestesi umum, setidaknya sampai
mereka sadar. Terjadinya hipoksemia tidak selalu berkorelasi dengan tingkat
kesadaran. Fungsi neuromuscular harus dinilai secara klinis, misalnya angkat
kepala. Monitoring tambahan termasuk penilaian nyeri (misalnya skala angka
atau deskriptif), ada atau tidak adanya mual atau muntah, cairan termasuk alira
urine, drainase dan pendarahan. Setela tanda-tanda vital awal telah dicatat, ahli
31
anestesi harus memberikan laporan singkat kepada perawat PACU yang
mencakup sejarah pra operasi (termasuk status mental dan masalah
komunikasi seperti hambatan bahasa, ketulian, kebutaan, atau retardasi
mental), peristiwa intraoperatif yang bersangkutan (jenis anestesi, prosedur
bedah, kehilangan darah, penggantian cairan, dan komplikasi), masalah pasca
operasi, dan perintah postanestesia (perawatan kateter epidural, transfuse,
ventilasi pasca operasi dll)
2. Pemulihan dari spinal anestesi
Pasien yang mendapatkan obat sedasi atau hemodinamik tidak stabil setelah
anestesi regional juga harus menerima oksigen tambahan di PACU. Tingkat
sensorik dan motorik harus dicatat secara berkala mengikuti anestesi regional
untuk didkumentasikan. Tekanan darah harus dimonitor. Kateter urin
diperlukan pada pasien yang sudah dilakukan anestesi spinal atau epidural
selama lebih dari 4 jam.
3. Control nyeri
Pemberian obat NSAID atau dengan paracetamol secara signifikan dapat
mengurangi pemberian opioid pasca operasi untuk beberapa prosedur.
Penggunaan selektif siklooksigenase-2 inhibitor (misalnya, rofecoxib dan
parecoxib) mengurangi efek samping potensial pada fungsi trombosit dan
komplikasi gastrointestinal. Demikian pula, intraoperatif infiltrasi luka dan
blok saraf (misalnya, ilioinguinal dan caudal) untuk prosedur tertentu juga
dapat mengurangi kebutuhan analgesic operasi.
Nyeri ringan sampai sedang dapat diobati secara oral dengan paracetamol
ditambah codeine, hydrocodone atau oxycodone atau opioid agonis-antagonis
(butorphanol, 1-2 mg, atau nalbuphine, 5-10 mg) atau ketorolac tromethamine
30 mg dapat digunakan secara intravena. Yang terakhir ini sangat berguna
pada prosedur ortopedi dan ginekologi.
Sedangkan untuk nyeri pasca operasi yang berat di PACU dapat dikelola
dengan parenteral atau intra spinal opioid, anestesi regional atau blok saraf
tertentu. Opioid intavena digunakan dengan dosis kecil titrasi. Meskipun
variabilitas yang cukup besar mungkin ditemui, sebagian besar pasien sangat
sensitive terhadap opioid dalam satu jam pertama setelah anestesi umum.
Analgesia yang memadai harus seimbang terhadap sedasi berlebihan. Opioid
memiliki durasi dari menengah sampai panjang, seperti meperidine, 10-20 mg
32
(0,25-0,5 mg / kg pada anak-anak), hydromorphone 0,25-0,5 mg ( 0,015-0,02
mg / kg pada anak-anak) atau morfin 2-4 mg (0,025-0,05 mg/kg pada anak-
anak), yang paling sering digunakan. Efek analgesic puncak dalam waktu 4-5
menit. Depresi pernafasan maksimal, terutama dengan morfin dan
hydromorphone, mungkin tidak terlihat sampai 20-30 menit kemudian. Ketika
pasien sadar penuh, pasien-controlled analgesic (PCA) dapat diberikan untuk
pasien yang tertunda (10-20 menit) dan depresi pernafasan tertunda (sampai 1
jam ).

4. Agitasi
Sebelum pasien sepenuhnya responsive, nyeri sering dimanifestasikan sebagai
kegelisahan pasca operasi. Gangguan sistemik yang serius (seperti hipoksemia,
asidosis, atau hipotensi), distensi kandung kemih, atau komplikasi bedah (seperti
perdarahan intraabnominal) harus selalu dipertimbangkan. Agitasi mungkin
memerlukan pengamanan untuk menghindari cedera diri, terutama pada anak-anak.
Ketika gangguan fisiologis yang serius telah dikeluarkan pada anak-anak, memeluk
dan simpatik atau orang tua diperlukan. (jika mereka diizinkan dalam PACU ) untuk
menenangkan pasien pediatric. Factor penyebab lainnya termasuk kecemasan pra
operasi dan ketakutan serta efek samping obat ( dosis besar obat antikolinergik,
fenotiazin, atau ketamin). Physostigmine, 1-2 mg intavena (0,05 mg/ kg pada anak-
anak) , adalah yang paling efektif dalam mengobati delirium karena atropine dan
skopolamin, tetapi juga mungkin berguna dalam kasus lain. Jika gangguan sistemik
yang serius dan nyeri dapat disingkirkan, agitasi persisten mungkin memerlukan
sedasi dengan dosis intravena intermiten midazolam , 0,5-1mmg (0,05 mg/kg pada
anak-anak).
5. Mual dan muntah
Mual dan muntah pasca operasi (PONV) adalah masalah umum setelah anestesi
umum, terjadi pada 20-30% dari semua pasien. Etiologi PONV biasanya
multifaktorial, melibatkan agen anestesi jenis prosedur, an factor pasien. Penting
untuk mengenali bahwa mual adalah keluhan umum yang dilaporkan pada awal
hipotensi, terutama setelah anestesi spinal atau epidural.
6. Menggigil dan hipotermi
Hipotermi harus dikelola dengan perangkat pemanas, atau (kurang
memuaskan) dengan lampu pemanasan atau pemanansan selimut, untuk
33
menaikkan suhu tubuh normal. Menggigil menyebabkan kenaikan tajam
dalam konsumsi oksigen, produksi CO2 dan cardiac output. Efek fisiologis ini
sering kurang dilorensi oleh pasien dengan gangguan yang sudah ada
sebelumnya, seperti jantung atau paru. Hipotermia telah dikaitkan dengan
peningkatan insiden iskemia miokard, aritmia, peningkatan kebutuhan
transfuse dan peningkatan durasi efek relaksasi otot. Dosis intravena kecil
meperidine, 10-50 mg, secara dramatis dapat mengurangi atau bahkan
menghentikan menggigil.

Kriteria pasien yang boleh dipindahkan ke ruangan berdasarkan aldrete score.


Penilaian dilakukan saat pasien masuk ruang pemulihan. Selanjutnya
dilakukan penilaian setiap 5 menit sampai tercapai nilai total 10. Nilai untuk
pemindahan pasien dari ruang pemulihan adalah 10.

Tabel 3. Skor aldrete pasca anestesi di ruang pulih


Objek Kriteria nilai
Aktifitas Mampu menggerakkan keempat ektremitas 2
Mampu menggerakkan kedua extremitas 1
Tidak Mampu menggerakkan kedua extremitas 0
Respirasi Mampu nafas dalam dan batuk 2
Sesak atau pernafasan terbatas 1
Henti nafas 0
Tekanan Berubah sampai 20% dari pra bedah 2
darah Berubah 20-50% dari pra bedah 1
Berubah > 50% dari pra bedah 0
kesadaran Sadar baik dan orientasi baik 2
Sadar setelah dipanggil 1
Tak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
Warna kulit Kemerahan 2
Pucat agak suram 1
Sianolosis 0

34
BAB IV
ANESTESI BEDAH RAWAT JALAN (AMBULATOR)

Anestesi pada pasien bedah rawat jalan adalah anestesi yang dilakukan pada pasien
yang berobat jalan ke rumah sakit untuk pemeriksaan dan pengobatan, tetapi tidak
memerlukan rawat inap (boleh pulang). Syarat-syarat anestesi pada pasien bedah rawat jalan
antara lain:
 Induksi cepat dan lancer
 Analgesia dan amnesia cukup baik
 Cukup dalam untuk pembedahan
 Masa pulih sadar cepat
 Komplikasi anesthesia pasca bedah minimal (mual, muntah sakit kepala hipoksia).
Anestesi pada bedah rawat jalan tidak dapat dilakukan pada semua pasien. Tindakan anestesi
ini dapat dilakukan pada pasien:
 Pasien yang dapat dilakukan tindakan bedah rawat jalan adalah pasien dengan ASA I
dan ASA II
 Calon yang tidak dipilih untuk bedah rawat jalan:
1) Bayi dengan risiko lahir premature dan kurang dari 50 minggu, ada episode
apnue, respiratory distress syndrome pada saat lahir yang memerlukan bantuan
nafas, dysplasia bronkopulmoner.
2) Riwayat keluarga dengan kematian bayi yang mendaal dan kematian anak
kurang dari 12 bulan.
3) Ada kemungkinan hipertermi maligna
4) Ada aktivitas kejang/epilepsy yang tidak terkendali
5) Penyakit yang tidak stabil dengan obat-obatan
6) Obesitas morbid dan penyakit sistemik lainnya
7) Ketagihan obat-obatan
8) Adanya infeksi
9) Pasien yang tidak kooperatif /retardasi mental
10) Masalah logistic missal tidak ada yang bertanggung jawab dirumah/tempat
tinggalnya (hidup sendirian) serta jauh dari rumah sakit
11) Pasien yang memerlukan monitoring pasca bedah, misalnya pasien dengan
aritmia

35
IV. 1 PREOPERATIF
Semua pasien yang dijadwalkan untuk dilakukan tindakan pembedahan rawat jalan
dengan anestesi darus melalui konsul H-2 sebelum operasi. Saat menerima konsul pada hari
H-2, dokter anestesi harus mempelajari rekam medis pasien terlebih dahulu dan melihat hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan. Kunjungan pre-operatif dimulai dengan memperkenalkan
diri pemeriksa pada pasien. Evaluasi rutin pada saat kunjungan pre-operatif adalah sebagai
berikut :
1. Identifikasi penderita
2. Konfirmasi tindakan bedah yang akan dilakukan
3. Anamnesa
 Masalah medis saat ini
 Penyakit penyerta lainnya
 Riwayat pengobat: obat-obatan yang diminum saat ini, intoleransi / alergi obat
 Kebiasaan/habituasi, seperti merokok/minum alcohol
 Riwaayat operasi dan anestesi sebelumnya
 Riwayat penyakit dalam keluarga
 Tinjauan system organ
 Keseluruhan (termasuk level aktifitas fisik)
 System respirasi
 Kardiovaskular
 Gastrointestinal
 Renal
 Hematologi
 Endokrin
 Muskulosketeal
 Psikiatrik
 Dermatologi
4. Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum
o Tanda vital : tekanan darah, laju nadi, laju nafas, SpO2, suhu
o Jalan nafa (look, listen, fell)
o Kardiovaskular (inspeksi, palpasi, perkusi auskutasi)

36
o Paru-paru (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi)
o System digesif ((inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi)
o Ekstremitas
o Pemeriksaan neurologis
o Pemeriksaan laboraturium/penunjang
o Mempelajari hasil-hasil pemeriksaan dan konsultasi dari bagian lain
yang diperlukan untuk melakukan tindakan anestesi
 Melakukan penilaian terhadap keadaan pasien secara menyeluruh termasuk
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
mendukunng.
 Melakukan identifikasi factor-faktor anestesi dan bila bermakna maka pasien
harus diberitahukan
o Klasifikasi ASA
o Apabila dari hasil pemeriksaan hari H didapatkan keadaan pasien yang
belum optimal atau pemeriksaan laboraturium/ penunjang yang belum
lengkap yang akan mempengaruhi tindakan anestesi yang akan
dilakukan, maka pemeriksaan pelengkap lainnya dan kalau diperlukan
dilakukan konsultasi ke bagian lain untuk mengoptimalkan keadaan
pasien.
 Tindakan anestesi tidak dapat disetujui apabila pasien memerlukan waktu lebih
dari 1 hari untuk optimalisasi atau pemeriksaan lainnya. Oleh karenanya
pasien disarankan untuk konsul ulang H-2 kembali.
 Setibanya pasien dirumah sakit, pasien diperiksa ulang oleh dokter spesialis
anestesi dan atau dokter yang berkmpeten (PPDS). Apakah ada perubahan-
perubahan yang mendadak yang membuat pasien tidak optimal untuk
dilakukannya tindakan anestesi bedah rawat jalan, seperti ISPA, puasa yang
tidak cukup.

IV. 2 INTRAOPERATIF
 Dilakukan pemasangan kanul intravena untuk pemberian obat anestesi serta
pemberian cairan jika diperlukan
 Pasien bedah rawat jalan juga tetap diberikan obat-obat premedikasi untuk
mengurangi kecemasan, sebagai anti mual muntah serta untuk menurunkan risiko

37
aspirasi pneumonitis bila terjadi aspirasi isi lambung selama pembedahan. (lihat
panduan mengenai premedikasi)
 Dilakukan tindakan anestesi. Banyak pertimbangan dalam pemilihan teknik anestesi,
apakah akan dilakukan anestesi umum, anestesi regional maupun blok perifer dengan
sedasi (lihat panduan mengenai tekhnik anestesi).
Pertimbangan yang mempengaruhi pemilihan tekhnik anestesi adalah a.l:
o Biaya
o Waktu pemulihan
o Kejadian mual muntah post operatif
o Efek pada kardiopulmoner
o Kemungkinan terjadinya mialgia, backhache , headache, sore throat
 Selama anesthesia berlangsung hrus selalu diawasi /di monitoring:
1) Pernafasan : tanda-tanda sumbatan jalan nafas: nafas berbunyi, retraksi otot
dada nafas paradoksal. Tanda-tanda depresi pernafasan : nafas yang dangkal
kali
2) Kardiovaskular : hipertensi, hipotensi syok, aritmia, takikardia, tanda-tanda
henti jantung
3) Warna : sianosis, pucat
4) Suhu : hiptermia,

IV. 3 POSOPERATIF
Kalau perlu penderita-penderita dirawat sementara ruang pulih sampai bangun betul
sehingga bebas dari bahaya-bahaya. Ruangan ini harus lengkap dengan alat-alat resusitasi dan
dengan personil yang cukup berpengalaman, terutama untuk resusitasi pernafasan dan
kardiovaskular.
Perlengkapan ruang pulih sadar untuk bedah rawat jalan sama dengan yang ada untuk
bedah efektif seperti alat penghisap, obat-obat, alat-alat, untuk pasien darurat dan perawat
yang terlatih untuk resusitasi jantung paru. Pasien dapat dikeluarkan dari ruang pulih bila :
sadar penuh, kooperatif, tanda-tanda vital baik, reflex proteksi baik dan komplikasi-
komplikasi lain tidak ada, begitu pula dengan perdarahan ulang, rasa sakit yang hebat mual
dan muntah tidak ada.
Khusus untuk pasien dengan pipa endotrakea pada waktu anesthesia, perlu diawasi
minimal 2 jam , karena ada kemungkinan terjadi edema laring. Keluarga pasien kalau perlu

38
boleh menunggu di RS fadhilah untuk membantu mengawasi, terutama untuk anak-anak yang
akan merasa aman /tenang bila orang tua keluarga hadir. Pada saat pasien dikeluarkan dari
RS Fadhilah hendaknya diberi instruksi tertulis, mialnya siapakah yan harus dihubungi dan
bagaimanakah cara menghubunginya bila ada komplikasi.
Syarat keluar dari ruang pemulihan dapat digunakan modified PADSS untuk
menentukan kesiapan pasien dipulangkan kerumah.
Modified PADSS untuk menentukan kesiapan pasien dipulangkan ke rumah
1. Vital Signs
2 = within 20% of preoperative value
1 = 20% to 40% preoperative value
0 = 40% of preoperative value
2. Ambulation
2 = stedy gait/ no dizziness
1 = with assistance
0 = nonw/dizziness
3. Nausea/vomiting
2 = minimal
1 = moderate
0 = severe
4. Pain
2 = minimal
1 = moderate
0 = severe
5. Surgical bleeding
2 = minimal
1 = moderate
0 = severe
The total score is 10. Patients scoring .-> 9 are condisidered fit for dischange

39
BAB V
TEKNIK ANESTESI

V.1 ANESTESI UMUM


Anestesi umum merupakan suatu teknik atau tindakan pemberian obat anestesi yang
menyebabkan perubahan fisiologi yang reversible melliputi hypnosis (hilang kesadaran),
analgesia (hilang rasa nyeri), dan relaksasi otot yang dikondisikan untuk memungkinkan
pasien menjalani berbagai prosedur medis. Anestesi umum memiliki beberapa keuntungan
yaitu:
 Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis berlangsung
 Efek emnesia dan menghilangkan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas
dan berbagai kejadian intaoperatif yang mungkin memberikan trauma psikologis
 Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama
 Memudahkan control penuh ventilasi pasien
Adapun kerugian anestesi umum adalah :
 Sangat mempengaruhi fisiologi tubuh karena hampir semua peraturan atau regulasi
menjadi tumpul
 Memerlukan monitoring
 Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP secara dini misalnya perubahan kesadaran
 Risiko komplikasi pasca bedah lebih besar

Pada teknik anestesi umum akan dibahas mengenai inhalasi dengan respirasi spontan,
inhalasi dengan respirasi kendali, Total intravenous anesthesia (TIVA):
1. Inhalasi dengan respirasi spontan, meliputi :
 Sungkup wajah
 Intubasi endotrakeal
 Laryngeal mask airway (LMA)
2. Inhalasi dengan respirasi kendali
 Intubasi endotrakeal
 Laryngeal mask airway
3. Total intravenous anesthesia (TIVA)
 Tanpa intubasi endotrakeal
 Dengan intubasi endotrakeal

40
Sebelum melakukan tindakan anestesi, maka persiapan yang harus dilakukan adalah
sebagai berikut:
A. Teknik anestesi dengan respirasi spontan
 Menggunakan sungkup wajah
Teknik anestesi ini biasanya digunakan pada pembedahan
singkat ½ -1 jam tanpa membuka peritoneum, bukan operasi daerah
kepala atau leher lambung kosong, dan ASA 1-2. Jika diluar dari
kriteria diatas, sebaiknya digunakan intubasi endotrakeal. Teknik
induksi anestesi umum respirasi spontan dengan menggunakan
sungkup wajah dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut;
1) Berikan O2 100% 5 L/menit selama 3-5 menit
2) Induksi dengan menggunakan obat golongan sedative-hipnotik
3) Setelah pasien tertidur (reflex bulu mata menghilang), sungkup
wajah ditempelkan rapat-rapat menutupi mulut dan hidung pasien.
4) Buka jalan napas pasien dan ekstensikan leher
5) Putar dial agent inhalasi dan N2O
6) N2O diberikan 50%-70% dari volume semenit dan oksigen
diberikan 30%-50%
7) Halotan/enfluran/isofluran/sevofluran diberikan dengan
konsentrasi kecil, kemudian tiap lima kali inspirasi, kosentrasinya
tingkatkan secara bertahap sampai diperoleh kedalaman anestesi
yang diinginkan.
8) Konsentrasi diturunkan jika anestesi terlalu dalam
9) Lakukan rumatan anestesi
10) Halotan/enfluran/isofluram/sevofluram dihentikan beberapa menit
sebelum operasi
11) N2O dihentikan ketika akhir penjahitan kulit
12) Berikan O2 saja sampai pasien terbangun
 Menggunakan intubasi endotrakeal
Teknik ini diindikasikan untuk pembedahan lama (>1 jam),
pembedahan daerah kepala dan leher, jika kesulitan
mempertahankan jalan napas karena berbagai sebab. Teknik

41
anestesi umum, respirasi spontan dengan intubasi endotrakeal
dapat dikerjakan langkah sebagai berikut:
1) Lakukan langkah-langkah 1-7 seperti diatas
2) Berikan pelemas otot sesuai dosis
3) Lakukan laringoskopi dan pemasangan pipa
endotrakeal (intubasi endotrakeal)
4) Lakukan rumatan anestesi
5) Halotan/enfluran/isofluran/sevofluran dihentikan
beberapa menit sebelum operasi
6) N2O dihentikan ketika akhir penjahitan kulit
7) Berikan O2 saja sampai pasien terbangun
 LMA hanya dianjurkan pada pasien yang puasanya cukup (lambing
kosong). Teknik ini dianjurkan untuk operasi yang singkat.

B. Teknik anestesi dengan respirasi kendali


Teknik anestesi meliputi intubasi endotrakeal dan laryngeal mask
airway. Ventilasi pasien dikendalikan dengan menggunakan pelumpuh
otot kontinyu atau intermiten.
C. Anestesi umum dengan TIVA
Teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obatan
anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena tanpa penggunaan
anestesi inhalasi. Indikasi TIVA meliputi obat induksi anestesi umum,
obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat, tambahan untuk obat
inhalasi yang kurang kuat, obat tambahan anestesi regional, dan
menghilangkan keadaan patologis akibat rangsang SSP. Keuntungan
dari TIVA antara lain:
1) Kombinasi obat-obat intravena secaraterpisah dapat di titrasi
dalam dosis yang lebih akurat sesuai dengan yang dibutuhkan
2) Tidak menggganggu jalan napas dan pernapasan pasien
terutama pada operasi sekitar jalan napas atau paru-paru
3) Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau
mesin yang khusus.

42
Sebelum memberikan tindakan anestesi, dokter anestesi harus melakukan pemeriksaan
terhadap sarana yang dibutuhkan dan memastikannya berfungsi dengan baik, yaitu sebagai
berikut:
1. Mesin anestesi
Berkaitan dengan mesin anestesi, maka langkah-langkah yang harus diperhatikan
ialah:
 Memastikan sumber listrik terpasang pada peralatan elektronik
 Lampu ruangan, mesin anestesi, berbagai alat monitoring, mesin penghangat tempat tidur
/ blanket roll, infusion pump, syringe pump, defrilator dan sebagainya adalah elektronik
yang harus dipastikan berfungsi.
 Untuk setiap kamar operasi, minimal harus ada satu unit mesin anestesi yang dapat
digunakan, untuk pemberian oksigen dan juga gas anestesi.
 Vaporizer yang tersedia harus terkalibrasi dan terisi dengan gas anestesi yang dibutuhkan
sesuai dengan kondisi pasien.
 Siapkan sirkuit pernapasan dan reservoir bag dengan ukuran yang sesuai dengan pasien.
 Pastikan mesin sudah terhubung dengan gas medis yang sesuai (O2, N2O, air ) dan
pastikan gas yang tersedia cukup dan dapat mengalir dengan baik ke dalam mesin.
 Pastikan CO2 absorber masih dalam kondisi baik.
 Lakukan pengecekan terhadap fungsi mesin, pastikan tidak ada kebocoran pada sirkuit
pernapasan, periksa kerja flow meter, katup inspirasi dan ekspirasi apakah berfungsi
dengan baik, katup APL (adjustable pressure limit), reservoir bag, CO2 absorber canister
harus dipastikan sudah terpasang dan berfungsi dengan baik.
 Periksa apakah ada kebocoran gas atau uap dalam sirkuit mesin.
2. Peralatan anestesi yang harus tersedia di setiap kamar operasi
Selain mesin anestesi, peralatan lain yang harus tersedia adalah sebagai berikut :
 Alat penghisap lender (suction unit) khusus untuk anestesi dengan kateter yang
berukuran sesuai, pastikan alat penghisap berfungsi dengan baik.
 Alat monitoring:
1. Stetoskop
2. Alat ukur tekanan darah non invasive
3. EKG
4. Pulse oksimetri
5. Thermometer

43
6. Kapnograf
7. Alat pemantau tekanan darah invasive (untuk operasi tertentu)
 Alat untuk manajemen jalan nafas dan kelengkapannya.
1. Sungkup muka dengan beberapa ukuran
2. Pipa orofaringg/nasofaring, LMA/ETT dengan berbagai ukuran dan alat bantu jalan
nafas lainnya
3. Laringoskop dengan bilah berbagai ukuran
4. Stilet / introducer
5. Spuite balon
6. Forsep magil
7. Plester
8. Lubrikan untuk ETT
9. Stetoskop
10. Konektor pipa ETT dengan mesin
11. Alat untuk akses intra vena
 Tourniquet
 Kanul intra vena dengan ukuran yang sesuai, transfuse set dan cairan yang
dibutuhkan
12. Peralatan yang harus tersedia bila dibutuhkan sewaktu-waktu :
 Peralatan untuk menanggulangi kesulitan intubasi yang telah diperkirakan
sebelumnya (missal: bougie, LMA, fober optic)
 Defibrillator jantung
 Penghangatan pasien
13. Obat-obat anestesi
 Obat-obatan untuk trias anestesi yang dibutuhkan sesuai dengan keadaan pasien
 Obat-obat untuk menanggulangi keadaan emergensi:
a. Anafilaksis
b. Aritmia jantung
c. Henti jantung
d. Oedem paru
e. Hipotensi
f. Hipertensi
g. Bronkospasme

44
h. Depresi nafas
i. Hipo/hiperglikemi
 Obat-obatan emergensi yang harus tersedia:
Obat-obatan tersebut meliputi: adrenalin, sulfas atropine, efedrin, aminofilin,
antiritmia (lidokain, amiodaron), diuretic, inotropik, vasopresor (norepineferin),
obat hipotensif (nitrigliserin/nitriprusid), antikonvulsan (seperti diazepam,
thiopental), antidotum (nalokson, antikolinesterase, dan bila ada flumezenil,
dantrolene)
 Cairan kristaloid dan koloid (sesuai yang dibutuhkan).

FARMAKOLOGI ANESTESI UMUM


Obat sedative-Hipnotik
a. Agen inhalasi
Agen anestetik inhalasi diberikan bersamaan dengan oksigen sehingga
menghasilkan efek sedasi. Nitrous oxida chloroform dan efer adalah anestetik umum
pertama kali digunakan. Agen anestetik inhalasi erus berkembang dari kloroid etil,
etilena, siklopropana, trokloroetilen, sampai agen terhalogensasi seperti halotan,
metoksifuran, enfluran, isofluran, sevofluran dan desfluran. Namun, karena efek
samping yang tidak diinginkan, banyak agen anestetik inhalasi yang ditinggalkan.
Lima agen inhalasi yang masih digunakan dalam anestesiologi klinis diantaranya nitro
oxida, halotan, isofluran, desfluran dan sevofluran.
Tujuan pemberian anestetik inhalasi adalah untuk menghasilkan keadaan
anestetik dengan menghasilkan kondentrasi spesifik molekul anestetik di system saraf
pusat. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan tekanan parsial spesifik ages
anestetik pada paru-paru yang akhirnya mencapai keadaan keseimbangan di otak.
Keadaan keseimbangan dihasilkan dari 3 faktor:
a) Anestetik inhalasi adalah gas yang secara cepat ditransfer dua arah melalui paru
keadaan dari aliran darah dan seterusnya kedaan dari jaringan SSP sampai
terbentuk keseimbangan tekanan parsial.
b) Plasma dan jaringan memiliki kapasitas yang rendah untuk menyerap anestetik
inhalasi, sehingga dengan cepat terbentuk konsentrasi anestetik di aliran darah
dan SSP.

45
c) Metabolism, eksresi, dan redistribusi anestetik inhalasi relative minimal. Hal ini
memudahkan pemeliharaan konsentrasi agen anestetik di darah dan SSP>
Minimum alveolar consentration (MAC) anestetik inhalasi adalah konsentrasi
alveolar yang mencegah timbulnya gerakkan pada 50% pasien terhadap stimulus
standar (misalnya insisi pembedahan). MAC bermanfaat karena menggambarkan
tekanan parsial di otak, dapat membandingkan potensi antar agen anestetik, dan
memberikan standar untuk evaluasi eksperimen.

Tabel 3. Farmakologi Anestetik Inhalasi


Nitrooksida halotan isofluran desfluran Sevofluran
MAC % 105 0,75 1,2 6,0 2,0
Kardiovaskular
Tekanan darah -
Laju nadi - -/ -

Systemic vascular -
-
resistance
- - -/
Cardiac output
Respirasi
Vlume tidal
Laju respirasi -

PaCO2 -/

Serebral
Aliran darah
Tekanan intracranial
Laju metabolic
serebral
Kejang
Neuromuscular
Blok non depolarisasi

Renal

46
Aliran darah renal
Laju filtrasi
glomerulus
Urine output
Hepar
Aliran darah
Metabolisme 0,004 % 15-20 % 0,2% <0,1% 5%
Sumber: inhalation anesthetic. Dalam: morgan’s clinical anesthesiology; 2006
2. agen non volatile
 Barbiturat
Barbiturate merupakan derivate dari asam barbiturik. Substitusi pada kartoon 5
(C5) menentukan potensi hipnotik dan aktivitas antikonvulsan. Dengan mengganti
oksigem pada C2 (oksibartiturat) dengan atom sulfur (tiobarbiturat) meningkatkan
kelarutan dalam lemak. Hasilnya thiopental dan tiamilal mempunyai potensi yang
lebih besar, onset yang lebih cepat, dan durasi yang lebih singkat dibandingkan
pentobarbital dan sekobarbital.
a. Mekanisme kerja
Barbiturate menekan reticular activating system (RAS) jaringan neuron poli
sinaptik kompleks dan pusat regulasi yang berada di batang otak yang
mengontrol beberapa fungsi vital, termasuk kesadaran. Barbiturate menekan
transmisi neurotransmitter inhibisi (seperti GABA)
b. Thiopental
Onset cepat karena kelarutan sangat larut lemak dan fraksi non ionisasi yang
tinggi menyebabkan ambilan maksimal ke otak dalam waktu 30 detik. Pasien
mengalami kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik dan bangun dalam
waktu 20 menit.
c. Efek terhadap system organ
Kardiovaskuler: dilatasi pembuluh darah perifer sehingga terjadi penurunan
tekanan darah dan peningkatan laju nadi.
Respirasi: mendepresi respon ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia,
dapat menyebabkan bronkospasme atau laringospasme.
Serebral: konstriksi pembuluh darah otak menyebabkan penurunan aliran
darah otak dan tekanan intracranial.

47
Renal: penurunan aliran darah renal dan laju filtrasi glomerulus sebanding
dengan penurunan tekanan darah.
Hepar : berkurangnya alirah darah ke hepar
Imunologis: tiobarbiturat (thiopental, tiamilal) menyebabkan pelepasan
histamine. Reaksi alergi anafilaktik dan anafilatoid jarang terjadi.
d. Dosis
- thiopental, tiamilal 2,5% intravena 0,5-1,5 mg/kg
-metohexital 1% intravena 0,2-0,4 mg/kg, intramuscular 4-6 mg/kg
-pentobarbital intravena 2-4 mg/kg, intramuscular 4-6 mg/kg
Fenobarbital peroral 2 mg/kg /hari dibagi dalam 3 dosis.
- sekobarbital per oral 100-200 mg/hari dibagi dalam 3 dosis, 4-6 mg/kg/hari
dibagi dalam 3 dosis.
 Benzodiazepine
Struktur kimia benzodiazepine terdiri dari cincin benzene dan cincin diazepin.
Subtitusi cincin ini pada posisi tertentu mempengaruhi potensi dan biotransformasi.
Cincin imidazolam menyebabkan sifatnya mudah larut air pada pH rendah. Diazepam
dan lorazepam yang tidak larut dalam air memerlukan praparat parental mengandung
propilen glikol, yang berhubungan dengan iritasi vena.
Golongan benzodiazepine diantaranya diazepam, clozepam, clobazam, alprazolam,
midazolam, lorazepam. Semua obat benzodiazepine larut dalam lipid dimetabolisme
di hati dan diekskresikan di urin.
a. mekanisme kerja
benzodiazepine berinteraksi dengan reseptor spesifik di system saraf pusat
terutaa di korteks serebri. Ikatan reseptor benzodiazepine meningkatkan efek inhibisi
beberapa neurotransmitter seperti reseptor GABA.
b. efek terhadap system organ
kardiovaskuler: benzodiazepine memiliki efek depresi minimal terhadap
jantung. tekanan darah, curah jantung dan resistensi vaskuler perifer sedikit
menurun.
Respirasi: menekan respon ventilasi terhadap CO2. Depresi ini tidak
signifikan bila obat tidak diberikan secara intravena atau bersamaan dengan depresan
lain.

48
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran darah otak, dan tekanan
intracranial. Benzodiazepine sangat efektif dalam mencegah dan mengontrol kejang
grand mal. Mempunyai efek amnesia.
c. dosis
-midazolam peroral 0,5 mg/kg, maksimal 15 mg
- clobazam peroral 5-15 mg/hari, maksimal 60 mg/hari
- diazepam peroral 5 mg, 2x sehari
- alprazolam peroral 0,25-0,5 mg, 2=3x sehari
- loraze[am peroral 1-2 mg, 1-2x sehari

Tabel 4. Benzodiazepin intavena


Midazolam Lorazepam Diazepam
Loading dose (IV) 0,02-0,1 mg/kg 0,02-0,06 mg/kg 0,05-0,2 mg/kg
Onset 1-5 menit 5-20 menit 2-5 menit
Durasi (setelah bolus) 1-2 jam 2-6 jam 2-4 jam
Infuse pemeliharaan 0,04-0,2 0,01-0,1 Jarang
mg/kg/jam mg/kg/jam digunakan
Potemsi 3x 6x X
Solubilitas lipid 1,5 x 0,5 x X
Metabolit + - +
Penyesuaian dosis untuk Menurun 0- 50% - -
GFR <10 ml/menit
Sumber: analgesia dan sedation. Dalam : The ICU Book, 2007

d. flumazenil
flumazenil merupakan antagonis spesifik reseptor-benzodiazepin yang efektif
untuk reversal efek system saraf pusat benzodiazepine (sedasi) dan terapi untuk
overdosis benzodiazepine. Flumazenil mempunyai kerja singkat 9onset < 1 menit)
dengan waktu paruh eliminasi 1 jam. Dosis 0,01 mg/kg diberikan secara intravena,
maksimal 1 mg.
 Ketamin
a. mekanisme kerja

49
ketamin memiliki banyak efek terhadap system saraf pusat, diantaranya
memblok reflex polisinaptik pada corda spinalis dan menghambat efek neurotranmiter
eksitasi pada daerah tertentu di otak. Ketamin mendisosiasi thalamus ( yang
menghantarkan impuls sensorik dari reticular activating system ke korteks serebri)
dari korteks limbic (termasuk sensorik).
b. efek terhadap system organ
kardiovaskuler: stimulasi sentral terhadap system saraf simpatis,
meningkatkan tekanan darah, laju nadi, dan curah jantung. respirasi: sedikit
mempengaruhi respirasi, bronkodilator poten.
Serebral: meningkatkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral dan tekanan
intrakrenial.
c. ketamin mempunyai onset 45-60 detik dan durasi 10-20 menit.
d. dosis subanestetik : 0,1 – 0,5 mg/kg iv
 Etomidat
a. mekanisme kerja
etomidat mendepresi reticular activating system dan mempunyai efek inhibisi
GABA.
b. efek terhadap system organ
kardiovaskuler k efek minimal terhadap system kardiovaskuler, sedikit
penurunan resistensi vaskuler perifer menyebabkan sedikit penurunan tekanan darah. Curah
jantung kontraktilitas biasanya tidak berubah.
Respirasi: etomidat sedikit menyebabkan perubahan pada ventilasi bahkan pada dosis
induksi, etomidat biasanya tidak menyebabkan apnu.
Serebral; menurunkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan tekanan darah
intracranial.
Endokrin: menghambat system kortisol dan aldosteron. Infuse jangka panjang menyebabkan
supresi adrenokortikal.
c. onset: 15-45 detik, durasi: 3-12 menit
d. dosis etomidat bolus 0,1 – 0,2 mg iv
 Profol
Profol merupakan obat sedasi kerja cepat (< 1 menit) yang digunakan untuk induksi
dan pemeliharaan anestesi serta sedasi kerja singkat (10-15) menit). Profol sangat
larut pada lipid dengan sediaan emulsi lipid 10%.

50
a. mekanisme kerja
profol bekerja pada neurotransmisi inhibisi yang dimediasi oleh GABA.
b. efek terhadap system organ
kardiovaskuler: hipotensi akibat penurunan resistensi vaskuler perifer (inhibisi
aktivitas vasokonstriksi simpatis), kontraktilitas jantung dan preload. Perubahan
terhadap laju nadi dan curah jantung biasanya transien dan tidak signifikan.
Respirasi: pada dosis induksi biasanya menyebabkan apnu. Bahkan pada dosis
subanestetik, infuse profol menghambat hypoxic ventilator drive dan mendepresi
respon terhadap hiperkarbi.
Serebral: menurunkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan tekanan
intracranial. Mempunyai efek antiemetic.
c. dosis profol bolus: 0,25-1 mg/kg iv, infuse 25-75 ug/kg/menit.

 Dexmedetomidin
a. mekanisme kerja
dexmedetomidin merupakan α 2 adrenergik agonis selektif yang bekerja secara
setral yang mempunyai onset yang cepat (1-3 menit) dan waktu penuh terminal 2 jam.
Obat ini dimetabolisme di hati dan dieliminasi di urin. Dapat digunakan untuk sedasi
jangka pendek (<24 jam)
b. efek terhadap system orgamn
kardiovaskuler : oradikardi, hipotensi
respirasi: tidak signifikasn mendepresi ventilator drive
serebral: sedasi, amnesia
c. dosis dexmedetomidin bolus 1 μg/kg iv dalam 10 menit, infus 0,2 -0,7 μg/ kg /jam

tabel 5. Propofol dan dexmedetomidin


Propofol Dexmedetomidin
Loading dosis 0,25-1 mg/kg 1 ug/kg dalam 10 menit
Onset <1 menit 1-3 menit
Waktu untuk 10-15 menit 6-10 menit
bangun
Imfus 25-75 ug/kg/menit 0,2-0,7 mg/kg/jam
pemeliharaan

51
Metabolit aktif - -
Depresi + -
respirasi
Efek samping Hipotensi Hipotensi
Hiperlipidemia Brikardi
Kontaminasi / sepsis Sympathetic
Rhabdomiolisis profol infusion Rebound pada infus 24
Syndrome jam
Sumber: analgesia dan sedation. Dalam : The ICU Book; 2007
Tabel 6. Agen sedative-hipnotik dan opioid
Agen Dosis Rute Keterangan
Barbiturat
Thiopental,tiamilal 0,5 – 1,5 mg/kg IV
2-4 mg/kg
pentobarbital 2 mg/kg/hari IV
Dibagi 3 dosis
Fenobarbital 4-6 mg/kg/hari IM
dibagi 3 dosis
Sekobarbital PO

PO
Benzodiazepine
Midazolam 0,02 – 0,1 mg/kg IV
Lorazepam 0,02 – 0,06 mg/kg IV
1-2 mg PO Maksimal 15 mg/h2

Diazepam 0,05-0,2 mg/kg IV Maskimal 60 mg/h2

Midazolam 0,5 mg/kg PO


Clobazam 5-15 mg* PO
Diazepam 5 mg * PO
Alprazolam 0,25-0,5 mg* PO
Maksimal 1 mg
Flumazenil 0.01 mg/kg IV

Opioid IV
Morfin 0,01-0,2 mg/kg IV

52
Meperidin 10-50 µg/kg/jam IV
Fentanil 0,01-0,2 mg/kg IV
IV
alfentanil IV
Bolus 1-3 mg kg IV
0,01-0,05

µg/kg/menit
10-20 µg/kg

Suferntanil 0,25-0,75 IV Maksimal 360 mg/hari


µg/kg/menit IV Maksimal 400 mg/hari
Remifentanil 0.1-0,3 µ/kg/menit IV Vial 0,4 mg/ml diencerkan
0,0015 – 0,01 IV menjadi 0,04 mg/ml, dapat di
Kodein µg/kg/menit PO ulang setiap 5 menit, maksimal
Tramadol 0,5-1 µg/kg PO 4 gr
naloxon 0,05-0,25 IV
µ/kg/menit
15-16 mg*
25-100 mg*
0,5-1 µg/kg

ketamin IV
Etomidat IV
propofol IV
IV
Dexmedetomidin IV
IV
*dosis dewasa

 Analgetik opioid
a. Klasifiksi

53
Berdasarkan kerja obat, opioid dibagi menjadi:
- agonis, obat berikatan dan menstimulasi reseptor hingga batas maksimal.
Contoh: morfin, kodein, hidromorfin, heroin, meperidin, metadon, fentanil.
- antagonis, obat yang berikatan dengan reseptor namun gagal menstimulasinya.
Contoh: nalokson, naltrekson.
- agonis parsial: obat yang berikatan dengan reseptor namun tidak dapat
menstimulasi receptor hingga ambang maksimal. Contoh: buprenorfin,
pentazosin.
- campuran agonis antagonis: obat yang berikatan dengan berbagai subtype
reseptor dan menghasilkan stimulasi subtype reseptor yang berbeda-beda (bisa
agonis atau antagonis). Contoh: nalbufin.
b. Mekanisme kerja
Opioid berikatan dengan reseptor spesifik (mu, kspps, delta, sigma) yang terletak
di sepanjang system saraf pusat dan jaringan lain. Aktivitasi reseptor opioid
menghambat pelepasan presinaptik dan respon postsinaptik terhadap
neurotransmitter eksitasi (misalnya aselitikolin, substansi P) dari neuron
nosiseptif. Mekanisme seluler dari neuromodulasi ini melibatkan perubahan
konduksi ion potassium dan kalsium. Walaupun memiliki efek sedasi, opioid
sangat efektif dalam menghasilkan analgesia.
c. Efek terhadap system organ
Kardiovaskuler: opioid tidak banyak mempengaruhi fungsi kardiovaskuler, vagus
mediated bradicardia, penurunan tekanan darah.
Respirasi: depresi ventilasi, terutama laju respirasi, hypoxic drive menurun.
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan
tekanan intracranial.
Gastrointestinal: memperlambat pengosongan lambung dengan mengurangi
peristatik, spasma bilier, mual dan muntah
Morfin dan meperidin fapat menyebabkan pelepasann histamine dan
menghasilkan metabolit yang aktif.
d. Dosis
Efek sedasi timbul pada dosis analgetik untuk manajemen nyeri sedang sampai
berat. Morfin memiliki onset yang lebih lambat dan durasi yang lebih panjang (4-
5 jam).
Morfin: bolus 0,01-0,2 mg/kg iv, infuse 10-50 ug/kg/jam
54
Meperidin: bolus 0,1-1 mg/kg iv
Fentanil: bolus 1-3 mg/kg iv, infuse 0,01-0,05 ug/kg/menit
Alfentanil: bolus 10-20 ug /kg, infus 0,25-0,75 ug/kg/menit
Sufentanil: bolus 0,5 – 1 ug/kg iv, 0,05- 0,25 ug/kg/menit
Kodein peroral: 15-60 mg dapat diulang setiap 4 jam, maksimal 360 mg/hari
Tramadol peroral 25-100 mg setiap 4-6 jam, maksimal 400 mg/hari.
e. Naloxon
Naloxon merupakan antagonis opioid murni, naloxon berikatan dengan reseptor
opioi namun tidak mengaktivasi reseptor tersebut. Dosis intravena (vial 0,4
mg/ml diencerkan menjadi 0,04 mg/ml) dititrasi 0,5-1 ug/kg setiap 3-5 menit
sampai tercapai ventilasi yang adekuat dan sadar penuh.

 Obat pelumpuh otot


Obat pelumpuh otot dibedakan menjadi dua berdasarkan mekanisme kerjanya
yaitu depolarisasi dan nondepolarisasi. Selain itu dapat juga dibedakan berdasarkan
lama kerjanya: singkat, intermediet, dan lama. Berikut adalah obat pelumpuh otot:
1. Suksinikolin
Suksinikolin merupakan satu-satunya pelumpuh otot depolarisasi yang digunakan
sekarang ini. Obat ini juga dikenal dengan diasetilkolin atau suksametonium,
terdiri dari dua molekul Ach. Popularitasnya berkaitan dengan onset kerja ini
yang cepat (30-60 detik) dan masa kerja yang cepat (kurang dari 10 menit). Onset
kerjanya yang cepat berkaitan dengan solubilitas lemak yang rendah dan dosis
obat yang lebih besar dari yang biasanya diberikan. Setelah suksinikolin masuk
ke sirkulasi maka sebagian besar obat akan dimetabolisme menjadi
suksinimonokolin oleh enzim pseudokolinesterase.
2. Atrakurium
Obat ini memiliki struktur benzilisoluinolin yang berperan terhadap degradasinya
yang unik. Atrakurium sangat mudah dimetabolisme karena farmakokinetiknya
yang tidak dipengaruhi oleh fungsi ginjal dan hepar dan kurang dari 10 %
diekskresikan dalam bentuk aslinya melalui ginjal dan bilier. Metabolismenya
etrjadi melalui dua proses yang berbeda yaitu hidrolisis ester (dikatalisasi oleh
enzim esterase nonspesifik bukan oleh asetilkolinesterasi atau
pseudokolinesterase) dan eliminasi hofmann ( penghancuran kimiawi

55
nonenzimatik yang terjadi pada pH dan suhu tubuh fisiologis). Meskipun dosis
tidak berbeda bermakna berdasarkanumur, obat ini memiliki kerja yang lebih
singkat pada bayi dan anak-anak, selain itu, atrakurium dapat memicu pelepasa
histamine (bermakna pada dosis >0,5 mg/kg). efek yang mungkin dapat
ditimbulkan berupa hipotensi tarikardi , bronkospasme, toksisitas laudanosin.
3. Cisatrakurium
Cisatrakurium merupakan streoisomer dan akrakurium yang memiliki potensi
sebanyak empat kali. Atrakurium mengandung sekitar 15% cisatrakurium. Obat
ini juga mengalami degradasi di plasma pada pH dan suhu tubuh fisiologis
melalui eliminasi Hofmann yang tidak tergantung organ. Metabolitnya tidak
memiliki efek relaksasi otot intrinsic. Esterase nonspesifik tidak terjadi pada
metabolism cisatrakurium. Sedikit variasi pola farmakokinetik berkaitan dengan
usia tidak berpengaruh secara klinis pada durasu kerjanya. Tidak seperti
atrakurium, cisatrakurium tidak menghasilkan pelepasan histamine (yang
berkaitan dengan jumlah dosis) dan tidak dikaitkan dengan perubahan denyut
jantung atau tekanan darah serta efek autonomic. Efek sampingnya (serupa
dengan atrakurium)) diakitkan dengan toksisitas laudanosin (meskipun kadarnya
lebih sedikit), sensitivitas terhadap pH dan suhu dan inkompatibilitas kimia.
4. Mivakurium
Mivakurium merupakan dierivat benzilisokuinolin. Obat ini, sama halnya dengan
suksinikolin, dimetabolisme dengan pesudokolinesterasi dan sedikit oleh
kolinesterase. Meskipun metabolism mivakurium dan ekskresinya tidak
tergantung pada ginjal atau hati, masa kerjanya dapat memanjang pada pasien
dengan gagal ginjal atau hati atau pasien hamil atau paskapersalinan karena
menurunkannya enzim kolibesterase plasma. Mivakurium dapat memicu
pelepasan histamine ( sama dengan histamine). Efek samping kardiovaskulernya
diminimalisasi dengan injeksi perlahan selama 1 menit.
5. Doksakurium
Doksakurium merupakan senyawa benzilisokuinolin (serupa dengan mivakurium
dan atrakurium). Obat ini mengalami sedikit hidrolisis lambat oleh kolinesterase
plasma dan rute utama eliminasinya ialah ginjal. Ekskresi hepatobilier
memainkan sedikit peranan pada eksresi doksakurium. Doksakurium sedikit
mempengaruhi kardiovaskular dan pelepasan histamine. Karena potensi kerja

56
obat ini lebih besar, onset kerjanya sedikit lebih lama (4-6 menit) dengan masa
kerja yang lebih panjang (60-90 menit).
6. Pankuronium
Pankuronium memiliki cincin steroid pada dua molekul Ach yang telah
dimodifikasi. Obat ini dimetabolisme oleh hati dengan kecepatann yang lambat
dan metabolitnya juga memiliki efek relaksasi otot. Eksresinya terutama ginjal
(40%), beberapa melalui empedu (10%). Anak-anak mungkin memerlukan dosis
yang sedikit lebih besar. Efek samping yang mungkin terjadi berupa hipertensi
dan takikardi (stimulasi simpatis), aritmia (peningkatan konduksi atrioventrikular
dan pelepasan katekolamin), dan reaksi alergoi.

7. Pipekuronium
Pipekuronium memiliki struktur stroid (sangat serupa dengan pankuronium).
Metabolisme hanya memainkan sedikit peranan dan eliminasinya tergantung pada
eksresi (terutama melalui ginjal 700%) dan sedikit melalui bilier (20%).
Pipekuronium sedikit lebih poten dibandingkan dengan pankuronium.
Keuntungan utamanya ialah sedikit efek kardiovaskular karena sedikit ikatan paa
reseptor muskarinik jantung. sama halnya dengan relaksan steroidal lain, obat ini
tidak melepaskan histamine.
8. Vekuronium
Vekuronium adalah pankuronium tanpa quaternary methyi group
(monoquaternary relaxant) sehingga mengurangi efek samping tanpa mengubah
potensi obat. Obat ini sedikit dimetabolisme oleh hati dan terutama janttung pada
eksresi bilier dan sedikit (25%) melalui ginjal.
9. Rokuronium
Analog monoquaternary steroid vekuronium ini dibuat untuk menghasilkan onset
yang cepat. Obat ini tidak dimetabolisme dan dieliminasi terutama oleh hati dan
sedikit oleh ginjal. Durasinya tidak dipengaruhi secara bermakna oleh ginjal akan
tetapi diperpanjang oleh penyakit hati yang aktif, obat ini lebih dipilih
dibandingkan vekuronium untuk infuse kontinyu. Pasien dengan usia lanjut juga
dapat mengalami durasi yang lebih panjang karena masa hati yang berkurang.
Tabel 7 klasifikasi pelumpuh otot
Depolarisasi Nondepolarisasi

57
Kerja singkat Mivakurium
Suksinikolin Atrakurium
Cisatrakurium
Kerja intermediet Vekuronium
rokuronium
Doksakurium
Kerja panjang Pankuronium
pipekuronium

Tabel 8 pelumpuh otot


Obat ED95 Onset Durasi Dosis Dosis
untuk kerja dosisi rumatran rumatan
educato untuk intubasi bolus kontinyu
r Dosisi dosis (menit ) (mg/kg) (ug/kg/menit)
pollicis intubasi intubas
selama (mg/kg) i
anesthe (menit)
sia
N2/O2
(mg/kg)
Suksinilkolin 0,5 1,0 0,5 5-10 0,15 2-15 mg/menit
Rokuronium 0,3 0,8 1,5 35-75 0,15 9-12
Mivakurium 0,08 0,2 2,5-3 15-20 0,05 4-15
Atrakurium 0,2 0,5 2,5-3 30-45 0,1 5-12
Cisatrakutiu O,05 0,2 2-3 40-75 0,02 1-2
m
Vekuronium 0,05 0,12 2-3 45-90 0,01 1-2
Pankuronium 0,07 0,12 2-3 60-120 0,01 -
Pipekuroniu 0,05 0,1 2-3 80-120 0,01 -
m
Doksakurium 0,025 0,17 4-5 90-150 0,05 -

V.2 ANESTESI REGIONAL

58
Anestesi regional adalah suatu teknik anestesi yang dilakukan dengan pemberian obat
anestesi lokal ( dan obat opiod) ke dalam ruang subaranoid dan atau epidual. Yang termasuk
indikasi anestesi regional adalah anestesi pada opersi daerah abdomen bagian bawah,
inguinal, rektal, dan ekstremitas bagian bawah. Yang termasuk kontraindikasi dari anestesi
regional ialah:
1. Absolut:
 Infeksi pada daerah tempat tusukan
 Pasien menolak
 Koagulopati atau gangguan perdarahan
 Hipovolemia berat
 Peningkatan tekanan intracranial
 Severe aortic / mitral stenosis
2. Relative
 Sepsis
 Pasien tidak kooperatif
 Defisit neurologis sebelumnya
 Severe spinal deformity
3. Kontroversi:
 Bekas operasi pada tempat tusukan
 Pasien yang tidak bisa berkomunikasi
 Prosedur operasi yang kompleks (durasi lama, perdarahan banyak)

ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal adalah suatu teknik regional anestesi dengan melakukan blockade
neuroaksial melalui penyuntikan obat anestetika lokal (dan atau opiod) ke dalam ruang
subarahnoid.

Obat anestesi spinal


Banyak obat anestesi lokal yang digunakan untuk anestesi spinal dimasa lalu, akan
tetapi hanya beberapa yang masih digunakan. Perhatikan obat lama disebabkan juga karena
laporan terjadinya transient neurological symptoms dengan lidokain 5%. Hanya obat anestesi
lokal yang tidak mengandung zat pengawet yang digunakan. Penambahan vasokonstriktor
(agonis reseptor alpha adrenergic) dan opioid dapat meningkatkan kualitas dan atau

59
memperpanjang lamanya anestesi spinal. Vasokonstriktor termasuk epinerifrin (0,1-0,2 mg)
dan fenilefrin (1-2 mg). kedua obat ini menurunkan uptake dan bersihkan obat anestesi lokal
dari CSF dan mempunyai analgesi lemah. Klonidin dan neostigmin juga mempunyai efek
analgesia tapi pengalaman pemakaian sebagai adiktif untuk anestesi spinal terbatas.

Tabel 9 dosis dan kerja obat anestesi spinal yang sering digunakan
Dosis Durasi
Perineum, Abd. Abd. Atas
Obat Sediaan anggota Bawah Polos epinefrin
gerak
bawah
Prokain Cairan 75 125 200 45 60
10%
Bupivakai 0,75% 4-10 12- 14 12-18 90-120 100-150
n dalam
8,25%
dekstrosa
Tetrakain Cairan 1 % 4-8 10-12 10-16 90-120 120-140
dalam
glukosa
10%
Lidokain 5% dalam 25-50 50-75 75-100 60-75 60-90
glukosa
7,5 %
Ropivakai Cairan 8-12 12-16 16-18 90-120 90-120
n 0,2%
Tidak direkomendasikan lagi. Dosis diturunkan menjadi 2,5% atau kurang

Bupivakain hiperbarik dan tetrakain adalah dua dari banyak obat anestesi lokal yang
sering digunakan untuk anestesi spinal. Keduanya mempunyai mula kerja yang relative
lambat (5-10 menit) dan mempunyai lama kerja yang panjang (90-120 menit). Walaupun
kedua obat ini mempunyai blockade sensoris yang serupa, spinal tetrakain menimbulkan
blockade motoris yang lebih kuat dari pada dosis yang ekuivalen dengan bupivakain.

60
Penambahan efinefrin pada bupivakain spinal memperpanjang lama kerja. Sebaiknya
epinefrin pada bupivakain spinal memperpanjang efek anestesi tetrakain lebih dari 50%.
Fenilefrin juga memperpanjang blockade anestesi tetrakain tapi tidak mempunyai efek pada
anestesi bupibakain. Ropivakain juga digunakan untuk anestesi spinal tapi penelitian
mengenai penggunaanya masih terbatas. Dosis intratekal 2 mg ropivakain secara kasar sama
dengan 8 mg bupivakain, tapi tidak menunjukkan keuntungan untuk anestesi spinal. Lidokain
dan prokain mempunyai onset yang cepat (3-5 menit) dan lama kerja yang singkat (60-90
menit). Ada data kontradiktif bahwa lama kerja analgesia memanjang dengan
vasokonstriktor. Walaupun lidokain untuk spinal telah digunakan diseluruh dunia, tetap harus
diperhatikan adanya transient neurological symptom (TNS) dan sindroma kauda equine.
Beberapa pakar merekomendasikan lidokain hanya aman digunakan sebagai anestesi spinal
bila dosis total hanya 60 mg dan dilarutkan menjadi 2,5 % atau kurang dengan opiod dan atau
CSF sebelum disuntikkan. Pengulangan dosis setelah suatu kegagalan blockade harus
dihindari.
Anestesi spinal hiperbarik lebih sering digunakan dari padanisobarik atau hipobarik.
Level anestesi bergantung pada posisi pasien selama penyuntikkan atau segera setelah
penyuntikkan. Pada posisi duduk, saddle block dapat dicapai bila pasien tetap duduk selama
3-5 menit setelah penyuntikkan sehingga hanya saraf lumbai dan sacral yang diblok. Kalau
pasien berubah posisi dari duduk ke terlentang segera setelah penyuntikan obat anestesi lokal
akan bergerak ke sefalad sesuai dengan kurvatura torakolumba karena pengikatan oleh
protein belum lengkap. Obat anestesi hiperbarik yang disuntikan intratekal dengan posisi
pasien lateral dekubitus digunakan untuk operasi anggota gerak bawah. Unilateral. Pasien
diposisikan lateral denga daerah yang akan dioperasi disebelah bawah. Kalau pasien
dibiarkan pada posisi ini selama 5 menit setelah penyuntikan, blok akan bertedensi kearah
lebih dalam dan dengan level lebih tinggi pada daerah yang sebelah bawah.
Bila anestesi regional dipilih untuk prosedur pembedahan termasuk operasi panggul
dan anggota gerak bawah dapat digunakan obat anestesi lokal hipobarik karena pasien tidak
dapat berbaring pada daerah yang akan dioperasi.
Persiapan alat dan obat:
 Sumber oksigen
 Peralatan manajemen jalan nafas (lihat pedoman persiapan pra-bedah)
 Obat-obatan emergensi / resusitasi monitor tekanan darah, pulse oximetry, EKG
 Regional set steril, betadine, alcohol

61
 Jarum spinal no. 25/27/29
 Spote 3 cc / 5 cc
 Obat anestesi lokal untuk spinal (hiperbarik atau isobaric)

Persiapan pasien:
 Pada prosedur pembedahan elektif pasien tetap harus dipuaskan 6-8 jam sebelumnya
 Dilakukan informed consent tentang prosedur tindakan yang dilakukan
 Sebaliknya diberikan sedasi untuk memfasilitasi kooperasi pasien pada tingkatan
sedasi yang membuat pasien nyaman tetapi tetap kooperatif dan komunikatif

Teknik pelaksanaan L
 Dilakukan terlebih dahulu pengukuran tekanan darah, laju nadi dan saturasi oksigen
perifer
 Pemasangan jalur intravena kateter vena no. 18
 Preloading cairan RL sebanyak 10-20 cc/kgbb 15 menit sebelum penyuntikan spinal

Posisi pasien
Lateral decubitus
Pasien diposisikan tidur miring ke salah satu sisi badan dengan punggung yang parallel
dengan meja operasi. Sendi panggul dan lutut di refleksikan maksimal sehingga lutut pasien
berada dekat dengan abdomen dan dada bagian bawah. Leher berada pada posisi fleksi. Bahu
dan panggul harus berada dalam satu garis lurus sehingga tidak terjadi rotasi pada tulang
punggung. Posisi kelengkungan pada tulang belakang harus dipertahankan oleh seorang
asisten.
Posisi duduk
Pasien diposisikan duduk dengan tungkai menggantung disisi meja operasi dan kaki di topang
dengan kursi/footrest. Bantal diletakkan dipangkuan pasien dengan kedua lengan atas berada
pada posisi merangkul bantal. Kemudian pasien diperintahkan untuk menunduk dan
melengkungkan ke depan tulang belakangnya sambil memeluk bantal. Posisi dan
kelengkungan tulang belakang ini harus dipertahankan oleh seorang asisten.
 Dilakukan identifikasi ruang intervertebral L2-3, L3-4, L4-5 dengan panduan Tuffier
Line

62
 Untuk mengurangi resiko infeksi maka dokter anestesi harus mencuci tangan terlebih
dahulu dengan prosedur cuci tangan yang telah ditetapkan. Kemudian mengenakkan
sarung tangan steril.
 Dilakukan tindakan desinfiksi kulit pada daerah tusukan dengan menggunakan
povidon lodine dan biarkan mongering. Kemudian dibersihkan dengan kassa
sehingga daerah tusukan bersih dari zat antiseptic
 Daerah tusukan ditutupi dengan kain/handuk bolong steril.
Penusukan jarum spinal:
Midline approach:
 Jarum spinal ditusukkan pada garis tangan celah intervertabtebral yang telah
ditentukan dengan arah angulasi sedikit sefalad dan sumbu jarum searah dengan
sumbu tulang belakang pasien.
 Jarum spinal akan menembus kulit, sub kutis, ligamentum supra spinosus,
ligamentum interspinosus, dan ligamentum flavum.
 Bila tusukan berada pada arah yang tepat, maka kita akan merasakan dua perubahan
tambahan.
 Tahanan pertama terjadi saat kita menembus ligamentum flavum dan tahanan kedua
saat menembus permukaan membrane dura-arachnoid
 Setelah tahanan yang kedua (terasa seperti loss of resistance atau pop”, tusukan jarum
dihentikan. Pada saat ini ujung telah berada di ruang sub arachnoid.
 Tarik stylet dari jarum spinal sehingga LCS mengalir bebas. Apabila LCS tidak keluar
maka dicoba untuk mendorong jarum spinal.
 Urutan tindakan diatas diulangi sampai didapatkan LCS
Paramedian Approach
 Biasanya dilakukan pada pasien yang telah mengalami klassikasi pada ligamentum
interspinous atau kesulitan untuk memposisikan pasien pada posisi fleksi.
 Tentukan daerah tusukan dengan menarik garis 2 cm ke lateral dari aspek inferior
dari prosesus spinosus superiordari daerah yang diinginkan
 Jarum spinal ditusukan dengan membentuk sudut 10-25 derajat kearah garis tengah
 Identifikasi ligamentum flavum pada paremedian tidak begitu dalam, maka biasanya
jarum membentur bagian medial dari lumina bagian bawah. Untuk itu jarum harus
diarahkan kembali sedikit ke atas dan lebih ke lateral

63
 Sebaliknya bila jarum membentur tulang setelah jarum dimasukkan begitu dalam
maka biasanya jarum membentur lateral dari lamina bawah. Jarus harus diarahkan
kembali sedikit lebih keatas dan medial dari garis tengah.
 Sebelum menghubungkan spuit dengan hub dari jarum spinal, pastikan terlebih
dahulu tidak ada darah pada aliran LCS. Tunggu sampai aliran LCS benar-benar
bening.
 Lakukan barbotase dan kemudian masukkan obat lokal anestesi.
 Posisikan pasien sesuai dengan kebutuhan procedural operasi yang akan dilakukan
 Pengukuran tekanan darah dan laju nadi sesegera mungkin dilakukan setelah obat
disuntikan. Pengukuran dilakukan tiap menit pada 15 menit pertama kemudian tipa 3
menit setelahnya
 Bila terjadi hipotensi berikan vasopresor (efredrin 5-10 mg) dan /cairan
 Sensasi suhu diperiksa dengan menggunakan kapas alcohol dan distribusi blok
sensoris dinilai dengan tes pimrick
 Selama operasi berikan suplemen oksigen nasal kanul 2-3 L/menit.
Tabel 10. Dosis anestesi lokal yang dibutuhkan
Obat ( hiperbarik) Dosis (mg)
Perineum, Abdomen Abdomen
Lower limbs bawah Atas
Procaine 75 125 200
Bipivacaine 4-10 12-14 12-18
Tetracaine 4-8 10-12 10-16
Lidocaine 25-50 50-75 75-100
Ropivacaine 8-12 12-16 16-18

Anestesi edipiudual merupakan suatu teknik regional anestesi dengan melakukan blockade
neuroaksial melalui penyuntikan obat anestesi ke dalam ruang epidural.
Sebagai keuntungan epidula anestesi adalah anestesi dapat diberikan secara kntonyu
setelah penempatan catataer epidural, oleh karena itu teknik ini cocok untuk pembedahan
yang lama dan analgesia setelah pembedahan.

Indikasi khusus

64
1. Pembedahan sendi panggul dan lutut
Dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi epidural untuk pembedahan
panggul dan lutut dapat mengurangi insidens thrombosis vena. Penyebab
kematian pasien yang menjalani pembedahan sendi yang total adalah emboli
paru. Lagi pula kehilangan darah selama pembedahan sendi panggul lebih kecil
pada pemakaian teknik anestesi epidural.
2. Revaskularisasi ektremitas bawah
Penelitian menunjukkan bahwa anesthesia epidural pada pasien dengan penyakit
pembuluh darah perifer, aliran darah kedistal selama rekonstruksi pembuluh
darah anggota gerak bagian bawah adalah baik dan penyumbatan cangkokan
pembuluh darah setelah operasi adalah kecil dibandingkan dengan anestesi umum
3. Persalin
Pasien-pasien obsterik yang takut nyeri melahirkan dapat ditangai denganepidural
anestesi dan memperoleh bayi dengan riwayat biokemis yang baik dari pada bayi
dilahirkan pada ibu yang diberikan opioid atau anestestetik lainnya secara
intravena
4. Penanganan nyeri post operasi
Anestesi lokal konsetrasi rendah dan opioid atau kombinasi obat ini dengan
analgesic lain adalah manjur pada control nyeri post opersi. Analgesia post
operasi ini memudahkan ambulatory dini dan kerja sama yang baik dengan
fisioterapi
Prosedur
1. Persiapan peralatan dan jarum epidural
Seperti pada anestesi umum, obat-obatan serta mesin anesthesia disiapkan sebelum
penderita masuk ruangan; begitu pula dengan montor standar. Persiapan termasuk
vasopressor untuk mencegah hipotensi, oksigen suplemen melalui nasal kanula atau
masker untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedative atau anestetik.
Pada umumnya jarum weiss atau tpuhy ukuran 17 yang digunakan untuk identifikasi
ruang epidural. Jarum ini mempunyai stylet dan ujungnya tumpul dengan lubang pada
sis lateral dan mempunyai dinding tipis yang dapat dilalui kateter ukuran 20. Jarum
ukuran 22 sering digunakan untuk teknik dosis tunggal.
2. Menentukan posisi pasien
Pasien dapat diposisikan pada posisi duduk, posisi lateral atau posisi prone dengan
pertimbangan yang sama dengan anestesi spinal.
65
3. Melakukan identifikasi ruang epidural
Ruang epidural teridentifikasi setelah ujung jarum melewati ligamentum flavum dan
menimbulkan tekanan negative pada ruang epidural. Metode untuk identifikasi ini
dibagi dalam dua kategori: teknik loss of resistance dan teknik hanging drop.
 Loss of resistence
Teknik ini adalah cara yang umum dipakai untuk identifikasi ruang epidural.
Cara ini dengan mengarahkan jarum melewati kulit masuk kedalam
ligamentum interspinosus, dimana dibuktikan oleh adanya tahanan. Pada saat
ini intraduser dikeluarkan dan jarum dihubungkan dengan spoit yang diisi
dengan udara atau Nacl 0,9%, kemudian tusukan dilanjutkan sampai ke ruang
epidural.
Ada dua cara mengendalikan kemajuan penempatan jarum. Pertama
menempatkan dua jari menggenggam spoit dan jarum dengan tekanan tetap
pada pangkalnya sehingga jarum bergerak kedepan ampai jarum masuk ke
dalam ruang epidural. Pendekatan lain dengan menempatkan jarum beberapa
millimeter dan saat itu dihentikan dan dikendalikan dengan hati-hati. Dorsum
tangan non dominan menyokong belakang pasien dengan ibu jari dan jari
tengah memegang poros jarum. Tangan non dominan mengontrol masuknya
jarum epidural dan setelah itu ibu jari tangan dominan menekan fluger dari
spoit. Ketika ujung jarum berada dalam ligamentum flugger tidak bisa ditekan
dan dipantulkan kembali, tetapi ketika jarum masuk ruang epidural terasa
kehilangan tahanan dan fluger mudah ditekan dan tidak dipantulkan kembali.
Cara yang kedua lebih cepat dan lebih praktis tetapi memerlukan pengalaman
sebelumnya untuk menghindari penempatan jarum epidural pada lokasi yang
salah.
Apakah suntikan dengan Nacl 0,9 % atau udara yang dipakai pada loss of
resistens teknik tergantung pada pilihan praktisi. Ada beberapa laporan
gelembung udara menyebabkan inkomplet atau blok tidak sempurna;
betapapun ini terjadi hanya dengan udara dalam jumlah yang banyak.
 Hanging drop
Dengan teknik ini jarum ditempatkan pada ligamentum intraspinosus, pangkal
jarum diisi dengan cairan NaCl 0,9% sampai tetesan menggantung dari
pangkal jarum. Selama jarum melewati struktur ligamen tetesan tidak

66
bergerak; akan tetapi waktu ujung jarum melewati ligamentum flavum dan
masuk dalam ruang epidural, tetesan cairan ini terisap masuk oleh karena
adanya tekanan negatif dari ruang epidural. Jika jarum menjadi tersumbat, atau
tetesan cairan tidak akan terisap masuk maka jarum telah melewati ruang
epidural yang ditandai dengan cairan serebrospinal pada punsi dural.
4. Pilihan tingkat block
Anestesi epidural dapat dilakukan pada salah satu dari empat segmen dari tulang
belakag (cervical, thoracic, lumbar, sacral). Anesthesia epidural pada segmen sakralis
biasanya disebut sebagai anesthesia kaudal.
1. Lumbar epidural anesthesia
a. Middline approach
Pasien diposisi, dipersiapkan dan ditutup kain steril dan diidentifikasi
interspace L4-5 sejajar Krista iliaka. Interspace dipilih dengan palpasi apakah
level L3-4 atau L-4-5. Jarum ukuran 25 digunakan untuk anestesi local dengan
ilfiltrasi dari suferfisial sampai kedalam ligenmentum interspinosa dan
supraspinosa. Jarum ukuran 18 G dibuat tusukkan kulit untuk dapat dilalui
jarum epidural. Jarum epidural dimasukkan terus pada tusukkan kulit dalm
dilanjutkan kearah sedikit ke cephalad untuk memperkirakan lokasi ruang
interlaminar dan sebagai dasar adalah pada perocesus spinosus superior.
Setelah jarum masuk pada struktur ligamentum, spoit dihubungkan dengan
jarum dan tahanan diidentifikasi. Poin utama disini bahwa adanya perasaan
jarum masuk pada struktur liganmentun. Apabila perasaan kurang jelas adalah
akibat tahanan pada otot paraspinosus atau lapisan lemak mengakibatkan
injeksi local anestesi kedalam ruang lain dari pada ruang epidural dan terjadi
gagal block. Apabila ini terjadi penempatan jarum pada ligamentum diperbaiki
gagal blok. Apabila ini terjadi penempatan jarum pada ligament, diperbaiki,
kemudian jarum dilanjutkan masuk keruang epidural dan loss of resistensi
diidentifikasi dengan hati-hati.
b. Paramedian approach
Biasanya dipilih pada kasus diaman operasi atau penyakit ini digeneratif
semuanya ada kontraindikasi dengan median approach. Teknik ini lebih
mudah bagi pemula, karena saat jarum bergerak kedalam ligament dan
perubahan tahanan tidak terjadi maka jarum masuk ke otot paraspinosus dan
tahanan hanya dirasakan bila jarum sampai pada ligamentum flavum. Pasien
67
diposisikan, dipersiapkan dan ditutupi kai steril seperti pasa middline
approach. Jarum ditusuk kira-kira 2-4 m. kelateral / garis tengah. Pada bagian
bawah procesus spinosus superior. Tusukkan kulit dibuat dan jarum epidural
langsung diarahkan ke cephalat seperti pada median approach dan ditembusi
spoit dihubungkan dengan jarum dan selanjutnya jarum masuk masa otot
psraspinosus akan terasa tekanan minimal dan kemudian sampai ada
openingkatan tahanan tiba-tiba ketika jarum sampai pada ligamentum flavum.
Jika jarum telah melewati ligamentum flavum dan setelah loss of resiten
teridentifikasi maka jarum telah masuk kedalam ruang epidural.
2. Thoracic epidural anesthesia
Thoracic epidural anesthesia adalah teknik yang lebih sulit dari pada lumbar epidural
anesthesia, dan kemungkinan untuk trauma pada medulla spinalis adalah besar. Oleh
karena itu yang penting bahwa praktisi sepenuhnya familiar dengan lumbar epidural
anesthesia sebelumnya mencoba thoracic epidural block.
a. Middline approach
Interspase lebih sering diidentifikasi dengan pasien pada posisi duduk. Pada
segmen atas thoracic, sudut processus spinosus lebih miring dan curam kearah
kepala. Jarum dimasukkan melewati jarak yang relatif pendek mencapai
ligamentum flavum diidentifikasi biasanya tidak lebih dari 3-4 cm dibawah
kulit. Kehilangan tahanan yang tiba-tiba adalah tanda masuk dalam ruang
epidural. Semua teknik epidural anatsesia diatas region lumbal kemungkinan
kontak langsung dengan medulla spinalis harus dipertimbangan selama
mengidentifikasi ruang epidural. Jika didapatkan nyeri yang membakar
kemingkinan bahwa jarum epidural kontak langsung dengan medulla spinalis
harus dipertimbangkan dan jarum harus dengan segera dipindahkan. Kontak
berulang dengan tulang dan tidak didapatkan ligamentum atau ruang epidural
adalah indikasi untuk merubah pada pendekatan paramedian.
3. Cervical epidural anatesia
Teknik ini khusus dilakukan dengan pasien pada posisi duduk dan leher difleksikan.
Jarum epidural dimasukkan pada middline khususnya pada interspase C5-C6 atau C6-
C7 dan ditusukkan secara relative datar kedalam ruang epidural dengan memakai
teknik loss of resistence dan lebih sering dengan hanging drop.
Penempatan kateter

68
Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi lokal pada operasi yang lama dan
pemberian analgesia post operasi.
 Kateter radioopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural, katika bevel
diposisikan kearah cephalad. Jika kateter berisi stylet kawat, harus ditarik kembali 1-2
cm untuk menurunkan insiden parastesia dan fungsi dural atau vena.
 Kateter dimasukkan 2-5 cm kedalam ruang epidural. Pasien dapat mengalami
parathesia yang tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Jika kateter
tertahan, kateter harus direposisikan. Jika kateter harus ditarik kembali, maka kateter
dan jarum dikeluarkan bersama-sama.
 Jarak dari permukaan belakang pasien diberu tanda pada pengukuran kateter.
 Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari bagian belakang
pasien yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika kateter telah masuk, kateter
ditarik kembali 2-3 cm dari ruang epidural.
 Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi dapat
dilakukan untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal, dan kemudian
kateter diplaster dengan kuat pada bagian belakang pasien dengan ukuran yang besar
bersih dan diperkuat dengan pembalutan.
Obat-obatan untuk anestesi epidural obat anestesi epidural dipilih berdasarkan efek klinis
yang diinginkan, apakah digunakan sebagai obat anestesi primer, untuk suplemen anestesi
umum atau untuk analgesia. Untuk itu perlu antisipasi penggunaanya apakah memakai obat
anestesi kerja singkat atau panjang dosis tunggal atau memasang kateter epidural. Umumnya
digunakan obat anestesi lokal yang berefek singkat sampai sedang sebagai anestesi bedah
yaitu lidokain, kloroprokain dan merpivakain. Yang kerja lama adalah bupicakain,
levobupivakain dan ropicakain. Levobupivakain berbentuk S-enantiomer, kurang toksik
disbanding bupivakain tetapi tidak lagi tersedia di amerika.
Tabel 11 obat anestesi epidural
Obat Konsentrasi Mulai kerja Blockade Blockade
sensoris motorik
Kloroprokain 2% Cepat Analgesia Ringan sampai
sedang
3% Cepat Kuat Kuat
Lidokain <- 1 % Sedang Analgesia Minimal
1,5% Sedang Kuat Ringan sampai

69
sedang
2% Sedang Kuat Kuat
Mepivakain 1% Sedang Analgesia Minimal
2-3% sedang kuat Kuat
bupivakain <- 0,25 % lambat analgesia Minimal
0,5 % lambat kuat Ringan sampai
sedang
0,75% lambat Kuat Sedang sampai
kuat
Ropivakain 0,2% Lambat analgesia
0,5% lambat Ringan sampai
sedang
0,75% Lambat Sedang sampai
kuat

Setelh penyuntikan permulaan sebanyak 1-2 ml persegmen (dalam dosisi yang terbagi)
pengulangan dosis dilakukan melalui kateter epidural dengan interval yang sudah di tentukan,
berdasarkan pengalaman praktisi dengan obat tersebut atau bila blok menunjukkan adanya
regresi. Bila terjadi regresi ketinggian sensori dapat diberikan 1/3 dampai 1/3 dosis secara
aman. Kloroprokain, suatu ester dengan onset yang cepat, lama kerja pendek dan toksisitas
rendah dapat dipengaruhi oleh efek analgesic dari epidural opioid. Komposisi kloroprokain
dahulu dengan menambah pengawet yaitu dengan bisulfuit dan asam etilen diamin tetra asetat
(EDTA), menimbulkan masalah bila diberikan melalui suntikan intretekal dalam jumlah
besar. Bisulfuit menimbulkan neuro toksisitas sedangkan EDTA dapat menimbulkan nyeri
punggung yang berat (diperkirakan karena hipokalsemia lokal). Formulasi kloroprokain yang
sekarang adalah bebas dari pengawet dan tanpa komplikasi tadi. Beberapa pakar intratekal
dapat menimbulkan terjadinya neurotoksisitas.
Bupivakain suatu obat anestesi lokal golongan amid dengan onset yang lambat dan
lama kerja yang panjang mempunyai kemungkinan besar untuk terjadi toksisitas sistemik.
Utuk anestesi pembedahan diberikan bupivakain 0,5-0,75%. Konsentrasi 0,75% tidak
dianjurkan untuk anestesi obstetric. Dimasa lalu telah dipakai bupivakain 0,75% untuk seksio
sesaria dan dihubungkan dengan kejadian henti jantung akibat suntikan intravaskuler yang
tida disengaja. Resusitasi yang sulit dan tingginya mortabilitas akibat dari tingginya ikatan

70
dengan protein dan solubilitas bupivakain dalam lemak, menyebabkan reentant arrhythmias
yang refrakter. Konsentrasi kecil bupivakain (misalnya 0,0625%) dan umunnya
dikombinasikan dengan fentanil dan digunakan untuk analgesia persalinan dan nyeri
paskabedah. Sediaan S-enantiomer seperti bupivakain , levobupivakain bertanggung jawab
terhadap kerja otot anestesi lokal pada konduksi saraf tapi tidak pada efek toksis sistemik.
Ropivakain, suatu analog mepivakain kurang toksik dibandingkan dengan bupivakain secara
kasar sama atau sedikit kurang poten, mulai kerja, durasi dan kualitas blockade dibandingkan
bupivakain. Ropivakain menungjukkan lebih sedikit blockade motorik pada konentrasi
rendah dengan sangat baik menjaga blockade sensoris.
Epinefrin
Penambahan epinefrin (5ug/ml) kedalam anestesi lokal yang disuntikan kedalam
ruang epidural tidak hanya memperpanjang efeknya dengan cara menekan absorsi,
menurunkan konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi keracunan sistemik.
Epinefrin juga mengurangi suatu kelainan akibat penyuntikan intravaskuler, sejumlah kecil
epinefrin diabsorbsi dari ruang epidural yang akan membentuk efek beda adrenergic,
peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan denyut jantung.
Tes dosis
Karena anestesi epidural termasuk meninjeksikan sejumlah besar obat anestesi lokal,
pemasangan kateter mesti berada pada tempat yang benar. Aspirasi pluger dari spoit dapat
menarik darah atau CSS. Kateter epidural ditarik kembali dan ditempatkan pada tempat lain
apabila terdapat darah atau CSS dalam kateter. Tes dosis selalu diperlukan, hal ini terdiri dari
3 ml anestesi lokal dari konsentrasi yang sama untuk anestesi spinal dan mengandung 5 mg
epinefrin (lidokain 1,5% dan epinefrin 1 : 200.000 yang sering digunakan), bila jarum atau
kateter masuk kedalam vena epidural mengakibatkan peningkatan denyut jantung 20 denyut
permenit atau lebih besar dalam dua menit. Jika jarum atau kateter terletak diruang epidural ,
hal tersebut tidak terjadi dan tidak ada perubahan tekanan darah atau denyut jantung.
Seiring sejumlah kecil cairan ter aspirasi sebelum obat anestesi diinjeksikan. Adanya
cairan ini adalah cairan serebrospinal atau anesthesia lokal yang diinjeksikan sebelumnya.
Dipstick test membedakan adanya glukosa, dimana cairan serebrospinal mengandung glukosa
dan tidak ada pada cairan anestesi lokal.
Dosis anestesi
Penyebaran obat anestetik lokal dalam ruang epidural hanya tergantung pada volume
yang diinjeksikan. Sedang konsentrasi anestetik lokal dalam larutan hanya berpengaruh pada

71
derajat dan densitas dari blok. Onset anestesi epidural lebih lambat walaupun ditambahkan
sodium bikarbonat kedalam anestesi lokal untuk mempercepat onsetnya.
Volume larutan anestetik yang tepat untuk anesthesia epidural lumbal berkisar dari
15-25 ml. studi pada sukarelawan menunjukkan kebutuhan rata-rata adalah 1,6 ml per
segmen spinal yang dianestesi. Pada ruang epidural terokal yang sempit kurang lebih
dibutuhkan setengahnya. Pasien yang tua, pasien hamil, dan pasien dengan tekanan intra
abdominal yang meningkat diperlukan volume anestetik lokal lebih sedikit untuk mencapai
distribusi yang diberikan.
Penambahan anestetik lokal yang dibutuhkan ditentukan oleh pilihan ahli,
anestesiologi pada observasi klinik. Bila anestetik dihabiskan untuk dua dermatom,
penambahan sepertiga sampai setengah dari jumlah anestetik lokal semula akan diperoleh
anesthesia yang adekuat. Bila menggunakan anestetik epidural dan anestesi umum bersama-
sama, penambahan dosis diberikan pada interval waktu yang sesuai dengan karakteristik obat
anestesi lokal.
Opioid
Dibandingkan dengan spinal opioid, epidural opioid menghsilkan efek yang hampir sama dan
dibutuhkan perhatiann yang sama, karena diberikan jumlah yang lebih besar. Opioid
mempunyai kerja sinergis dengan anestetik lokal yaitu memepertiin.
Komplikasi
1. Intraoperatif
a. Fungsi dural
Fungsi dural yang tidak disengaja pada 1% injeksi epidural. Jika hal ini terjadi, ahli
anestesi mempunyai sejumlah pilihan tergantung pada kasusnya. Perubahan
keanestesi spinal dapat terjadi oleh injeksi sejumlah anestesi kedalam aliran cairan
serebrospinal. Kemudian anestesi spinal dapat dikerjakan dengan menyuntikkan
sejumlah anestesi lokal keruang subarachnoid melalui jarum. Jika anastesi epidural
diperlukan (misalnya untuk analgesia post operasi) kateter akan diposisikan kedalam
interspace diatas pungsi dengan demikian ujung dari kateter epidural berada jauh
dari tempat fungsi dural. Kemungkinan anestesi spinal dengan injeksi kateter
epidural dapat dipertimbangkan.
b. Komplikasi kateter
 Kegagalan pemasangan kateter epidural adalah kesulitan yang lazim. Hal ini
lebih sering ditemukan apabila jarum epidural diinsersikan pada bagian
lateral dibandingkan apabila jarum diinsersikan pada median atau katika
72
level dari jarum secara cepat ditusukkan kedalam ruang epidural. Hal
tersebut dapat juga terjadi apabila bevel dari jarum hanya sebagian yang
melewati ligamentum flavum sewaktu penurunan resistensi terjadi. Pada
kasus terakhir, pergerakkan yang hati-hati dari jarum sejauh 1 mm kedalam
ruang epidural dapat memudahkan insersi kateter. Kateter dan jarum
sebaiknya ditarik dan direposisikan bersama-sama jika terjadi tahanan.
 Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah epidural sehingga
darah teraspirasi oleh kateter atau takikardia ditemukan dengan dosis test.
Kateter seharusnya ditarik secara perlahan-lahan sampai darah tidak
ditemukan pada aspirasi dari pengetesan. Penarikan penting agar dapat
segera dipindahkan dan diinsersikan kembali.
 Kateter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang epidural. Jika tidak
terjadi infeksi, tetap memakai kateter tidak lebih banyak memberikan reaksi
dibandingkan dengan pembedahan. Pasien seharusnya diinformasikan dan
diterangkan mengenai masalah yang terjadi. Komplikasi dari eksplorasi
bedah serta pengeluaran kateter lebih besar dibandingkan dengan komplikasi
bedah serta penanganan secara konservatif.
c. Injeksi subarachnoid yang tidak disengaja
Injeksi dengan sejumlah besar volume anestesi lokal kedalam ruang
subarachnoid dapat menghasilkan anestesi spinal yang total.
d. Injeksi intravaskuler
Injeksi anestesi lokal kedalam vena epidural menyebabkan toksisitas pada
system saraf pusat dan kardiovaskuler yang menyebabkan konvulsi dan
kardiopulmonary errest.
e. Overdosis anestesi lokal
Toksisitas anestesi lokal secara sistemik kemungkinan disebabkan oleh adanya
penggunaan obat yang jumlahnya relative besar pada anesthesia epidural.
f. Kerusakkan spinal cord
Dapat terjadi jika injeksi epidural diatas lumbal 2. Onset parestesia unilateral
menandakan insersi jarum secara lateral masuk kedalam ruang epidural.
Selanjutnya injeksi atau insersi kateeter pada bagian ini dapat menyebabkan trauma
pada serabut saraf. Saluran kecil arteri pada arteri spinal anterior juga masuk
kedalam area ini dimana melewati celah pada foramen intervetebral. Trauma pada

73
arteri tersebut dapat menyebabkan iskemia spinal cord anterior atau hematoma
epidural.
g. Perdarahan
Perforasi pada vena oleh jarum dapat menyebabkan suatu perdarahan yang
emergensi dan mematikan jarum seharusnya dipindahkan dan direposisikan. Lebih
lagi mereposisikan jarum pada ruang yang berbeda, dimana jika terdapat perdarahan
pada tempat itu maka dapat menyebabkan kesulitan dalam penempatan jarum secara
tepat.

2. Post operasi
a. Sakit kepala post punsi dural
Jika dural dipunsi dengan jarum epidural ukuran 17, menyebabkan sebanyak 75%
dari pasien muda untuk menderita sakit kepala otot punksidural.
b. Infeksi
Abses epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat anestesu
epidural. Suber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari penyebaran secara
hematogen pada ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain. Infeksi
dapat juga timbul dari kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi kateter yang
dipergunakan untuk pertolongan nyeri post operasi atau melalui suatu infeksi kulit
pada tempat insersi. Pasien akan mengalami demam, nyeri punggung yang hebat dan
lemah punggung secara lokal. Selanjutnya dapat terjadi nyeri serabut saraf dan
paralisis. Pada awalnya pemeriksaan labraturium ditemukan suatu lekosit dari
lumbal pungsi. Diagnose pasti diteggakkan dengan pemeriksaan Myelography atau
magnetic resonance imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting adalah
dekompresi laminektomi dan pemberian antibiotic. Penyembuhan neurologic yang
baik adalah hubungan dengan cepatnya penegakkan diagnosis dan penanganan.
c. Hematoma epidural
Hematoma epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi
epidural. Trauma pada vena epidural menimbulkan koagulophati yang dapat
menyebabkan suatu hematoma epidural yang besar. Pasien akan merasakan nyeri
punggung yang hebat dan defisit neurologi yang persisten setelah anestesi epidural.
Diagnosis dapat segera ditegakkan dengan computers temographi atau MRI.
Decompresi laminektomy penting dilakukan untuk memelihara fungsi neurologi.
Anestesi kaudal
74
Anestesi epidural kaudal adalah salah satu anestesi regional yang paling umum
digunakan pada pasien pediatric. Selain itu, dapat juga digunakan pada operasi anorektal
pada dewasa. Ruangan kaudal adalah bagian sacral dari ruangan epidural. Anesthesia kaudal
memerlukan penetrasi jarum dan kateter melalui ligament sacrococcygeal yang menutupi
hiatus sakralis. Hiatus diraba sebagai cekungan atau tonjolan diatas coccygeus dan diantara
dua tulang yang menonjol, kornu sakralis. Anatomi ini lebih mudah ditentukan pada bayi dan
anak=anak. Spina iliaka superior posterior dan hiatus sakralis membentuk suatu segitiga
equilateral. Pada pasien dewasa karena adanya klasifikasi ligamentum sacrococcygeal
menyebabkan anestesi kaudal menjadi sulit atau tidak mungkin dilakukan dalam kanalis
sakralis. Bungkus dura meluas ke vertebrata SI pada dewasa dan S3 pada bayi, menyebabkan
tusukkan intratekal yang tidak disengaja sering terjadi pada bayi.
Pada anak-anak, anestesi kaudal sering dikombinasikan dengan anetesi umum untuk
tambahan analgesia intraoperatif dan pascabedah. Teknik ini umumnya digunakan untuk
prosedur dibawah diapraghma, termasuk operasi urogenital, rectal. Inguinal dan anggota
gerak bawah. Blok kaudal pada pediatric paling sering dilakukan setelah induksi anestesi
umum.
Teknik anestesi kaudal
 Pasien ditempatkan dalam posisi lateral atau prone dengan satu atau kedua lutut
fleksi, kemudian hiatus sakralis diidentifikasi.
 Setelah kulit di sterilkan, sebuah jarum atau kateter intravena ditusukkan dengan
sudut 45 derajat kearah sefalad sampai dirasakan pop ketika jarum menembus
membrane sacrococcygeal.
 Sudut jarum kemudian didartarkan dan didorong masuk lebih jauh.
 Lakukan aspirasi untuk melihat adanya darah atau CSF, bila negative dapat dilakukan
pemberian obat anestesi lokalnya.
Beberapa klinis menganjurkan tetap melakukan tes dosis seperti tindakan epidural
lainnya, walaupun banyak secara sederhana dilakukan dengan melakukan aspirasi
berulang-ulang/sering. Tarikardia (bila digunakan epinefrin) atau adanya peningkatan
ukuran gelombang T pada EKG menunjukkan adanya suntikan intravaskuler. Data
klinis telah menunjukkan bahwa komplikasi kiddie caudals (anestesi kaudal yang
dilakukan pada anak-anak) sangat rendah. Komplikasi termasuk total spinal atau
suntikan intravascular yang menyebabkan terjadinya kejang-kejang atau henti
jantung. suntikan intraosseous dilaporkan dapat menimbulkan toksisitas sistemik.

75
Obat pada anestesi kaudal
Obat yang digunakan pada anestesi kaudal adalah 0,5-1,0 cc/kgbb larutan
0,125-0,25% bupivakain (ropivakain) dengan atau tanpa epinefrin. Selain itu, dapat
ditambahkan opioid (misalnya 50-70 ug/kgbb morfin), walau tidak dianjurkan untuk
pasien bedah rawat jalan disebabkan resiko depresi nafas yang terjadi secara lambat.
Efek analgesia memanjang sampai beberapa jam pada periode pasca bedah.
Pasien bedah rawat jalan pediatric dengan aman dapat dipulangkan dari rumah sakit
walaupun masih ada blockade motoris ringan dan belum bisa kencing, kebanyakan
anak bisa mulai kencing setelah 8 jam.
Suntikan ulangan dapat dilakukan dengan mengulangi suntikan jarum atau
melalui kateter yang ditutp dengan plester dan disambungkan ke pipa tambahan.
Anestesi epidural yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan mendorong kateter ke arah
ruang epidural lumbal atau tarokal dari tusukkan di kaudal pada pasien bayi dan anak-
anak (berbeda dengan dewasa dimana kateter didorong 2-6 cm untuk menghindari
komplikasi). Teknik lain dengan memakai stimulator syaraf atau fluoroskopi untuk
menentukan sampai sejauh mana kateter akan ditempatkan. Semakin kecil ukuran
kateter dapat didorong ke ruang epidural torakal untuk mencapai level blockade T2-
T4 pada bayi premature yang dilakukan operasi hernia. Hal ini dilakukan dengan
menggunakan kloroptokain 1 ml/kg sebagai dosis awal secara bollus dan dosis
tambahan 0,3 ml/kg sampai ketinggian blockade yang diinginkan tercapai.
Untuk dewasa yang direncanakan operasi anorektal, anestesi kaudal dapat
memberikan blockade sensoris sacral yang dalam dengan sedikit penyebaran kea rah
sefalad. Lebih jauh, suntikan dapat dilakukan dengan pasien pada posisi telungkup
jack knife, dimana posisi tersebut digunakan untuk pembedahan. Dosis lidokain 1,5-
2% sebanyak 15-20 ml dengan atau tanpa epinefrin pada umumnya efektif. Dapat
ditambahkan fentani 50-100 ug. Teknik ini harus dihindari pada pasien dengan kista
pilonidal karena jarum dapat memasukkan kista dan menyebabkan bakteri ke ruang
epidural. Walau tidak banyak digunakan pada analgesia obstetric, blockade kaudal
dapat digunakan pada persalinan kala 2 dalam situasi dimana blockade epidural tidak
mencapai saraf sacral, atau bila suntikan ulangan pada epidural tidak berhasil.
V.3 BLOK SYARAF PERIFER
Anestesi blok syaraf perifer termasuk pada anestesu regional yang digunakan
sebagai tambahan pada anestesi umum dan membantu menghilangkan nyeri setelah

76
operasi. Selain itu, blok saraf perifer juga dapat digunakan untuk diagnosis dan terapi
sindrom nyeri kronik.
Anestesi regional dengan menggunakan blok saraf perifer mempunyai
keuntungan dan kerugian, keuntungannya antara lain adalah hanya bagian tubuh yang
akan dioperasi yang mengalami anestesi maka gangguan fisiologi yang terjadipun
akan minimal. Selain itu, pasien akan tetap sadar dengan jalan nafas yang intak.
Tetapi kurangnya adalah kesulitan teknik dan waktu yang lebih lama dalam
penggunaan teknik anestesi blok saraf perifer.

Persiapan pasien
Evaluasi pra-operatif sebelum dilakukannya anestesi blok sara perifer sama
dengan persiapan pre-operatif sebelum anestesi umum. Pemeriksaan fisik juga
melingkupi pemeriksaan neurologi pada bagian tempat lokasi blok saraf perifer
dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya defek pada saraf bagian tersebut.
Pemilihan anestesi blok saraf untuk mengganti ataupun tambahan pada
anestesi umum sama dengan penjelasan pemilihan anestesi spinal atau epidural.
Kontraindikasi regional anestesi adalah penolakan pasien, infeksi lokal di tempat
penusukan jarum, dan koagulopati. Selain itu kontraindikasi lain adalah penyakit
neurologi seperti multiple sklerosis atau pun polio. Jika dibandingkan dengan anestesi
spinal, anestesi blok saraf perifer mempunyai kemungkinan merusak saraf lebih buruk
menurut beberapa sumber. Pasien juga harus diberitahu bahwa selama operasi akan
disiapkan obat sedasi, pasien diminta untuk tidak memperhatikan operasi, dan anestesi
umum tersedia jika dibutuhkan.
Peralatan
Peralatan yang dibutuhkan antara lain jarum, syringe, nerve stimulator, dan USG
Doppler. Jarum yang digunakan berdiameter lebih kecil dari 22G dan harus cukup
panjang untuk sampai ke organ target. Jarum yang dihubungkan dengan nerve
stimulator juga harus dilapisi dengan plastic kecuali pada bagian ujungnya untuk
mencegah aliran listrik yang menyebar ke organ yang tidak diinginkan. Nerve
stimulator akan mengalirkan listrik melalui jarum ke bagian saraf perifer termasuk
serabut motorik, sehingga kita dapat memonitor blockade neuromuscular dari 0,1
sampai 0,3 mA.
Lokasi

77
Keberhasilan blok saraf perifer bergantung pada ketetapan dalam menusukkan jarum
kebagian saraf target dan mempertahankannya selama injeksi obat anestesi lokal serta
mencegah terkenanya struktur vital disekitar saraf seperti pembuluh darah.
Pada ekstremitas atas dapat digunakan blok pleksus brachialis. Blok pleksus
brachialis dapat dilakukan pada supraklavikula, interskalarus, infraklavikula. Kita
juga dapat melakukan blok pada pleksus axillaris dan untuk bagian distal bisa
dilakukan blok saraf intercostals dan inguinal. Sedangkan untuk ekstremitas bawah
dapat dilakukan blok pleksus lumbalis, blok saraf femoralis lateralis, blok saraf
obturator, blok saraf sciatic dan blok saraf pergelangan kaki.
A. Blokade Somatik pada Ekstremitas Atas
Anatomi
Anesthesia pembedahan dari ekstremitas dan bahu bagian atas dpat diperoleh dengan
blockade neural dari plexus brakhialis (C5-T1) atau cabang terminalnya pada
beberapa lokasi. Ekstremitas atas diinervasi oleh plexus brachialis kecuali pada kulit
pada bagian bahu dan medial lengan plexus brachialis berasal dari cabang anterior
medulla spinalis C5-C8 dan T1 dan kontribusi dari C4 dan T2.
Setiap trunkus akan bercabang membentuk 2 divisi, yaitu divisi anterior dan divisi
posterior. Enam divisi yang ada akan kembali menyatu dan membentuk fasikulus.
Tiap fasikulus diberi nama sesuai letaknya terhadap arteri axilaris.
 Fasciculus posterior terbentuk dari tiga divisi posterior tiap trunkus
 Fasikulus lateralis terbentuk dari divisi anterior trunkus anterior dan medialis
 Fasikulus medialis adalah kelanjutan dari trunkus inferior
Indikasi
 Blok interskalenus akan memblok pleksus srvikal selain dari pleksus
brachialis. Blok saraf ini berguna untuk operasi di daerah bahu tetapi kurang
efektif untuk operasi pada bagian folar lengan dan tangan
 Blok supraklavikula akan menyebabkan anestesi pada semua pleksus
 Blok axial merupakan blok yang paling sering dilakukan karena mudah dan
aman. Blok ini tidak menganestesi pleksus muskulokuteneus dan kuteneus
median sehingga tidak bisa digunakan untuk operasi siku atau pergelangan
tanga
Teknik
Teknik blok interskaleneus

78
 Pendekatan interscalene adalah paling optimal untuk prosedur-prosedur di
bahu, lengan tangan, dan lengan bawah. Suntikan di tingkatan interscalene
menghasilkan suatu blok yang paling kuat di dermatm-dermatom C5-C7 dan
paling sedikit yang kuat di dalam dermatom-dermato C8-T1

 Metode dan posisi pasien


 Pasien berbaring terlentang menoleh ke kontralateral dan agak mengangkat
kepala. Saat terlihat tapi lateral m. sternokleidomastoid tampak interscalenus
groove diantara M. scalenus anterior dan medial. Setinggi Thyroid notch yakni
kira-kira 2 cm diatas tulang krikoid, pada tepi posterior M.
sternocleidomastoid. Insersi menyusuri area interscalenus dengan arah kaudal
dan lateral, pada sudut 30 derajat terhadap kulit. Respon stimulus dapat dilihat
dari M. deltoid dan M. biseps. Injeksi anestesi lokal saat respon stuimulus
adekuat tercapai pada 0,3-0,1 mA. Sebaagai arah insersi yaitu sepertiga
setengah klavukula. Arteri subklavia merupakan penanda tepi kaudal
cekungan interscalenus. Ini dapat di identifikasi dengan palpasi atau dengan
bantuan Doppler vaskuler.
Teknik blok infraklavikula
 Pasien berbaring, tanda processus akromion ventralis dan jugular notch. Tarik
garis lurus diantara keduanya, tandai pada pertengahannya. Insersi harus tepat
dibawah klavikula, benar-benar pada bidang sagital kearah vertical. Pleksus
dapat tercapai pada kedalaman 3 cm, maksimal 5 cm. respon stimulus berupa
fleksi jari diharapkan tetap tercapai pada 0,3-0,1 mA. Blok ini berisiko
terjadinya pneuumothoraks, sehingga pastikan untuk menghindari;
1. Tusukan terlalu jauh ke medial
2. Melenceng dari bidang sagital
3. Menggunakan jarum >6cm
4. Saat telunjuk menempel prosesus korakoid disisi lain lateral dan klavikula di sisi
cranial, tepi medial telunjuk sebagai marker tempat injeksi.
5. Teknik ini harus selalu menggunakan nerve stimulator
Teknk blok supraklavikula

79
 Blok supraklavikula adalah suatu teknik yang dapat digunakan untuk memberikan
anestesi untuk setiap operasi ekstremitas atas yang tidak melibatkan bahu. Ini adalah
pilihan yang sangat baik untuk siku tangan dan pembedahan.
 Teknik ini dilakukan pada pasien dengan posisi duduk atau dalam posisi terlentang
dengan bantal antara bahu jika pasien tidak bisa dengan posisi duduk. Operator duduk
di bangku di sisi pasien. Jarum disuntikkan di atas titik teengah klavikula dimana
denyutan dari arteri bisa dirasakan dan diarahkan medial terhadap proses spinosus dari
T2 atau T3. Tekniknya juga sederhana semua cabang pleksus bisa dibius melalui satu
suntukan.
 Komplikasi yang umum yang terkait dengan teknik ini meliputi blok saraf frenikus
dengan kelumpuhan difargma dan blok saraf simpatis dengan perkembangan sindrom
horner. Blok saraf frenikus dilaporkan terjadi pada sekitar 50% dan tidak terkait dengan
disfungsi pernafassan pada sukarelawan sehat. Komplikasi mirip dengan blok perifer
lainnya, seperti injeksi intravaskuler dengan perkembangan anestesi toksisitas sistemik,
lokal serta pembentukan hematoma dapat terjadi. Neuropraksia dan cedera neurologis
sama-sama mungkin, tapi jarang dilaporkan. Komplikasi yang paling ditakuti dari
sebuah blok supraklavikula adalah pneumotoraks.
Teknik blok pleksus servikal superficial
 Blok pleksus servikal superfisi dilakukan untuk prosedur unilateral pada leher. Seperti
Endarterectomy carotid. Blok ini juga bisa digunakan sebagai tambahan pada blok
interscalene yang digunakan untuk pembedahan bahu, terutama dengan syarat yang
mengarah sangat ke anterior.
 Plexus servikal terdiri dari rami anterior C1-4 yang muncul dari platysma otot
posterior menuju ke otot sternocleidomastoideus.
 Pasien di posisikan pada posisi terlentang dengan leher sedikit dimiringkan, sehingga
batas dari otot sternocleidomastoideus dapat di identifikasi. Jarum spinal yang dipilih
adalah jarum spinal no. 22 lalu sternocleidomastoideus dibagi menjadi tiga bagian.
Dipersimpangan sepertiga atas dan tengah, kemudian dilapisan kulit diperlihatkan.
Jarum spinal diarahkan ke arah Cephalad mastoid melalui batas posterior dari lapisan
subkutan sternocleidormastoideus dan disuntikan dengan 2-3cc obat lokal anestesi
selagi jarum belum ditarik. Kehati-hatian sangat diperlukan untuk menghindari masuk
ke vena jugular eksterna. Ketika jarum mencapai selubung, diputar 180’ dan
sternocleidomastoideus diarahkan langsung kea rah caudad melalui clavicula selama

80
dalam batas posterior dari sternocleidomastodeus. Nilai yang sama dari anestesi lokal
yang disuntikkan selama jarum belum ditarik.
B. BLOKADE SOMATIK Pada Trunkus
Blokade Interkostal
Blok interkostal jarang digunakan sebagai teknik anestesi tunggal untuk
pembedahan. Teknik ini lebih sering digunakan sebagai tambahan pada anestesi umum, untuk
analgesia post operatif setelah proses pembedahan dada dan perut bagian atas, dan untuk
menghilangkan nyeri yang berhubungan dengan fraktur iga, herpes zoster dan kanker.
Teknik blok interkostal
 Paien dalam posisi lateral dekubitus atau posisi terlentang, tingkatan dari tiap rusuk
diraba dan ditanndai pada bagian tengah dan posterior dari garis axillary.
 Tusukkan kulit ditentukan pada batas dari rusuk yang dipilih.
 Dan jarum no 22 dan no 25 dimasukkan kebawah dari sisi inferior rusuk dan berjalan
beberapa langkah dari tulang rusuk inferior.
 Jarum maju sekitar 0,5 cm dibawah tulang rusuk, dan kemudian mengikuti aspirasi
negative (baik darah maupun udara), 3-5cc dari anestetik lokal di suntikan di setiap
level rusuk.
Blok saraf paravertebral
Blok saraf paravertebral sering digunakan sebagai teknik yang efektif untuk tindakan
mastektomi, repar hernia inguinal dan beberapa prosedur yang melibatkan dada dan dinding
tubuh.

Teknik blok saraf paravertebral


 Blok saraf paravertebral pertama sekali dilakukan dengan menempatkan pasien pada
posisi duduk dana dengan posisi pada epidural.
 Lalu prosesus spinosus di identifikasi dimulai dari vertebrata servikal terbawah dari
leher C7 atau vertebra prominens.
 Setiap prosesus ditandai sepanjang aspek superior.
 Dari titik tengah aspek superior di setiap prosesus spinosus, diukur 2,5 cm kearah
lateral dan kemudian dibuat titik-titik sebagai penanda.
 Disinilah poin-poin penyisipan untuk blok dan karena disebut dengan angulasi
inferior dari prosesus throak yang ditandai secara umum melalui prosesus transverses

81
dibawah vertebra yang berikutnya, sebuah tanda melintas melalui prosesus spinosus
T4 melewati prosesus transverses T5.
 Disetiap titik penusukkan dari jarum Tuohy no 22 awalnya dimajukan secara tegak
lurus sekitar 3 cm, diusahakan untuk mencapai prosesus transverses, jika tulang
diteukan (prosesus transverses), jarum ditarik kemudian diarahkan ke caudad dan
dimajukan sekitar 1 cm, sensasi pop dapat dirasakan setelah jarum melewati
ligamentum costotransversus.
 Setelah aspirasi negative 4 cc anestetik lokal disuntikan.
Langkah ini diulangi setiap tingkat yang ingin di blok. Jika tulang tidak
ditemui dengan inisial awal jarum ditarik lalu diarahkan kekaudal dan
dimasukkan kembali dengan jarak yang sama (3 cm). lalu ulangi mencari
kotak dengan prosesus tranversus. Kegagalan untuk menemui tulang dengan
cara ini membutuhkan pengulangan kembali arah jarum pada angulasi kaudal.
Ulangi memasukkan jarum dengan kedalaman yang sama seiring mencari
kotak dengan tulang.

Blok saraf inguinal


Persarafan ilioinguinal awalnya muncul dari L1 tetapi bisa juga berasal dari serabut-
serabut T12. Saraf iliohypogastrik berpisah menjadi dua cabang sebelum mencapai kulit.
Cabang sensorik lateral membawahi wilayah punggung (pantat) dan pinggul. Cabang anterior
yang mengarah ke superficial hanyalah bagian medial spina iliaka anterior superior. Dimana
ia akan mengirimkan jaringan-jaringan dari cabang yang menginervasi perut bagian bawah.
Saraf ilioinguinal akan mengikuti jalur yang sama dan keluar dari peritonim untuk memasuki
kanalis inguinalis. Dimana ia akan memberikan sensasi ke skrotum, penis, dan pada medial
pada pria. Atau area yang setara dengan labia dan mons pubis pada wanita. Kedua cabang
saraf ini menembus abdominis transversal dan otot obliq internal sekitar 2 cm dari medial
menuju spina iliaka anterior superior. Saraf genitofemoralis berasal dari L1 dan L2. Cabang
femoral berjalan bersamaan dengan arteri femoral untuk memberikan sensasi pada kulit tepat
dibawah ligamentum inguinal. Sedangkan cabang genital yang berjalan didalam kanalis
inguinalis berguna untuk memberikan sensasi ke skrotum pada pria dan labia mayor wanita.
Teknik blok saraf inguinal

 Kulit ditandai 2 cm medial dari aspek spina iliaka anterior superior.

82
 Jarum no 22 jarum spinal 3,5 inci dimasukkan secara perpendiuklar kedalam kulit
sampai dibawah fasia, dan 8-10 cc dari obat anestetik disuntikan perlahan untuk
memblok saraf ilioinguinal dan iliohypogastrik.
 Cabang genital dari saraf genitofemoral di blok dengan 2-3 cc obat anestetik lokal
yang disuntikkan di daerah lateral dari tubekel pubis, cabang femoralis dapat dibius
dengan 3-5 cc anestesi lokal yang disuntikan secara subkutan tepat dibawah
ligamentum inguinal.

Blok penis
Persarafan penis berasal dari pudendal, yang juga memberikan persarafan ke dorsal
penis bilateral. Masuk ke dalam bagian penis yaitu fasia buck yang terbagi menjadi cabamg
dorsal dan cabang ventral. Saraf ilioinguinal dan genitofemoral melalui cabang subkutan
dapat memberikan sensasi tambahan ke pangkal penis.
Teknik blok pada penis
 Spuit yang diisi 10-15 cc anestesi lokal disuntikan didassar penis dan 2-4 cm didasar
lateral dari kedua sisi penis sehingga dapat memblok saraf sensorik tanpa risiko
cedera vascular.
 Jika blok yang lebih mendalam diperlukan, atau adanya rencana operasi yang luas,
saraf bagian dorsal hanya diblokir pada bagian lateral pangkal penis secara bilateral
dengan jarum no 22, lalu jarum menembus fasia buck diposisi arah jam 10.30 dan
1:30 cc anestesi lokal disuntikan disetiap sisinya dan harus diperhatikan untuk
menghindari tekanan.
 Epinefrin atau vasokonstriktor lainnya harus dihindari untuk mencegah kejang pada
arteri dan cedera iskemik.
C. blockade somatic pada skstremitas bawah
Pengetahuan tentang anatomi pleksus lumbosakral dan saraf perifer ekstremitas
bahwa kemungkinan ahli anestesi untuk memberikan perawatan lebih komprehensif anestesi.
Blok ini aman dan memiliki keunggulan tertentu, seperti nyeri pasca operasi dan kurangnya
simpatektomi lengkap, yang membuat mereka ideal untuk pasien tertentu.
Bertujuan untuk menimbulkan analgesia pada paha anterior, termasuk otot-otot flexor
pinggul dan otot extensor lutut. Blok ini juga dikenal sebagai blok femoralis “3 in 1” karena
kombinasi saraf femoralis, saraf lateral femoral kutaneus, dan saraf obturar bisa di blok dari
satu injeksi di lipatan femoralis paravskular.

83
1. Blok saraf femoralis
Anatomi saraf femoralis
 Cabang terbesar dari pleksus lumbalis yang muncul dari rami ventral
saraf lumba kedua, ketiga dan keempat.
 Saraf ini turun melalui substansi otot psoas mayar di bagian dalam
fasia iliaka dan mucul dari otot di sisi lateralnya.
 Saraf ini terus berjalan kearah kaudal menuju paha melalui alur yang
terbentuk antara otot iliopsoas dan otot iliacus dan lewat dibawah
ligamentum inguinalis untuk bagian bawah ligamentum inguinale,
saraf femoralis terbagi menjadi cabang anterior (suoerficial) dan
posterior (dalam).
 Cabang posterior memberikan invarsi motorik untuk otot kuadriseps
dan inervasi sensoris melalui saraf saphena.
 Cabang anterior memberikan inervasi motorik ke otot Sartorius dan
pactineus dan inervasi sensorik ke permukaan artikular dari
acetabulum dan kulit paha anterior dan medial.
Indikasi blok femoralis
 Blok saraf femoralis dapat dilakukan untuk memberikan analgesia perioperatif
untuk fraktur leher/batang femur atau analgesia pasca operasi setelah operasi
lutut.
 Blok ini juga dapat digunakan untuk memberikan anestesi bedah esxremitas
bawah biasanya dikombinasi dengan blok saraf sciatic.
 Teknik ini mungkin menguntungkan dalam situasi dimana akan lebih baik
untuk menghindari anestesi umum atau anestesi neuraxial.
Teknik blok saraf femoralis
 Posisi pasien berbaring terlentang
 Landmark anatomi permukaan digunakan untuk menentukan titik tusukan jarum dan
ditandai.
 Pulsasi arteri femoralis di lipatan inguinal ditemukan dengan pulsasi.
 Membersihkan sekitar tempat tusuk dengan antiseptic
 Dibius lokal secara subcutaneous
 Stimulator syaraf diatur untuk mengantarkan arus 1,0 mA, pada frekuensi 1 Hz dan
durasi denyutan 0,1 msec (100microsec)

84
 Jarum dimasukkan 1-2 cm disebelah lateral dari denyut arteri femoralis dengan
orientasi kepala 30-45 derajat cephalad (kearah kepala)
 Jarum ditusukkan maju sejajar dengan garis tengah kea rah kepala
 Jarum ditusukkan maju sejajar dengan garis tengah kearah ligamentum inguinalis
 Sebuah kedutan yang terlihat atau teraba dari otot paha pada saat arus 0,2-0,5 mA
merupakan respon balik.
 Arusnya diturunkan dan dengan kedutan otot masih terlihat pada arus 0,5 mA
suntikan lambat dimulai.
2. Blok saraf psoas
Indikasi blok saraf psoas
 Blok saraf psoas dapat dilakukan untuk pembedahan panggul,tungkai atas
bagian anterior dan pembedahan lutut.
Teknik blok saraf psoas
 Landmark yang dipakai Krista iliaka, processus soinosus (midline)
 Sebagai penanda stimulasi syaraf : terjadi twitch oto quadriceps pd 0,2-0,5 mA
 Lateral decubitus, sedikit jatuh kedepam, bagian yang akan dianestesia terletak
diatas
 Kontraksi otot quadriceps dapat dilihat dengan jelas
3. blok saraf sciatic
Indikasi blok saraf sciatic dapat dilakukan untuk pembedahan lutut, tibia, tumit dan kaki.
 Landmark pada blok saraf sciatic trichanter mayor, spina iliaka post superior hiatus
sacralis.
 Sebagai penanda simulasi syaraf: terjadi twitch dari hamstrings, betis, tungkai atau
jari kaki pada 0,2-0,5 mA
 Aplikasi tinggi sering digunakan dalam praktek
 Keberhasilan tinggi
 Anesthesia yang komplit pada tungkai bawah, kecuali kulit bagian medial yang
diinervasi n. saphenous
 Bersama dengan n. femoralis atau blok pleksus lumbal didapat anesthesia
keseluruhan tungkai bawah
Teknik blok saraf sciatic
 Trochanter mayor dan SIPS diberi tanda
 Pada midpoint keduanya dibuat garis tegak lurus.

85
 Tempat insersi pada perpotongan garis tersebut dengan garis yang menghubungkan
trokkhanter mayor dan hiatus sacralis.

4. blok saraf poplitea


Anatomi
Otot-otot paha adalah femoris bisep yang semimembranous, semitendinosus, dan bagian
posterior magnus adductor. Seperti otot distal ditelusuri dari asal mereka di tuberositas iskia,
mereka terpisah menjadi medial (semimembranous, semitendinosus) dan lateral (bisep) otot,
dan mereka membentuk batas atas forsa poplitea. Batas bawah fossa poplitea didefinisikan
oleh dua kepala gastrocnemius. Pada bagian atas fosa poplitea, saraf siatik terletak
posterolateral ke pembuluh popliteal. Vena popliteal adalah medial ke saraf, dan arteri
popliteal paling arterior, berbaring di permukaan popliteal femur. Dekat perbatasan atas fossa
popliteal, dua komponen dari saraf siatik terpisah. Saraf peroneal menyimpang lateral dan
cabang tibialis vesar turun hampir lurus ke bawah melalui fosa. Saraf tibialis dan pembuluh
popliteal kemudian menghilang mendalam kepada kepala konvergen dari otot gastrocnemius.
Indikasi blok saraf popliteal
Indikasi blok saraf sciatic pada level fessa popliteal adalah pembedahan pada
pergelangan kaki dan kaki (pembedahan koreksi pada kaki, debridement kaki, repair tendon
achilies. Blok juga telah berhasil digunakan dalam populasi anak. Blok fosa politeal adalah
lebih baik untuk blok pergelangan kaki untuk prosedur bedah yang memerlukan penggunaan
tourniquet betis. Komponen saraf siatik dapat diblokir pada tingkat fossa popliteal melaui
pendekatan posterior atau lateral. Tambahan blok ari saraf saphena diperlukan untuk prosedur
bedah untuk aspek medial kaki atau ketika tourniquet betis atau teknik:
Pendekatan posterior
Pendekatan klasik untuk fossa popliteal adalah posterior dengan pasien
diposisikan rawan. Namun, akses juga dapat terjadi dengan pasien pada posisi lateral (yaitu
sisi operasi nondependent) atau posisi terlentang (yaitu, dengan kaki terlekuk dipinggul dan
lutut).
Perbatasan fossa popliteal diidentifikasi dengan meregangkan sendi lutut.
Sebuah segitiga dibangun, dengan dasar yang terdiri dari lipatan kulit dibelakang lutut dan
kedua belah pihak terdiri dari semimembranosus ( medial) dan bisep (lateral). Sebuah garis
yang membagi dua diambil dari puncak ke dasar segitiga dan jarum 5 cm dimasukkan di situs
5 sampai 10 cm diatas lipatan kulit dan 0,5 sampai 1 cm lateral garis membagi dua. Jarum
maju pada sudut 45 derajat sampai respon stimulator parestesia atau saraf menimbulkan
86
kedutan. Dengan teknik perangsangan saraf inervasi adalah respon motor yang paling baik
memprediksi blok saraf I kaki. Injeksi sekitar 30 mL. larutan anestesi lokal cukup memadai.
Teknik pendekatan lateral
Pada teknik ini, waktu blok agak lama, onse dan kualitas blok yang mirip dengan
pendekatan posterior. Pendekatan lateral yang memungkinkan pasien untuk diposisika
terlentang dan menghilangkan kebutuhan untuk reposisi. Kaki pasien diperpanjang, dengan
sumbu panjang kaki pada sudut 90 derajat ke meja. Situs penyisipan adalah persimpangan
garis vertical ditarik dari tepi atas patella dan alur antara 10 cm maju pada sudut 30 derajat
posterior bidang horizontal. Karena saraf peroneal umum terletak lateral saraf tibialis, jarum
merangsang saraf peroneal. Jika respon terkait dengan stimulasi saraf peroneal umum
( misalnya eversi) yang ditimbulkan, jarum diarahkan lebih posterior.

5. blok saraf ankle


Blok saraf ankle digunakan untuk melakukan dan menawarkan anetesi yang memadai untuk
prosedur bedah kaki yang tidak memerlukan tourniquet diatas pergelangan kaki.
Teknik:
Safar tibialis posterior
Saraf tibialis poeterior dapat diblok pada pasien dengan posisi terlentang.
Tibialis posterior diraba, dan 25-gauge, 3 cm-jarum dimasukkan ke posterolateral arteri pada
tingkat medial meleolus.
Jika parestesi diperoleh 3 sampai 5 ml anestesi lokal harus disuntikkan. Jika
tidak 7 sampai 10 mL larutan harus disuntikan seperti jarum perlahan-lahan ditarik kembali
dari aspek posterior tibia. Blockade saraf tibialis posterior memberikan anestesi dari bagian
tumit plantar, jari-jari kaki, dan telapak kaki serta beberapa motor cabang di daerah yang
sama.
Saraf sural
Saraf sural terletak dangkal antara maleloslus lateral dan tendon achilies.
Sebuah 25-gauge, 3 cm jarum dimasukkan lateral tendon dan diarahkan perlahan-lahan
maleolus sebagai 5 sampai 10 mL larutan disuntikkan subkutan. Blok ini memberikan
anestesi dari kaki lateral dan aspek lateral telapak proksimal kaki.
Peroneal deep, peroneal superficial dan saraf saphena
Saraf peroneal deep, peroneal superfisialis dan saraf saphena dapat diblokir
melalui situs entri jarum tunggal.

87
Sebuah garis ditarik di dorsum kaki menghubungkan malleoli. Tendon
ekstendor longus halusis diidentifikasi dengan melakukan dorsofleksi pasien jempol kaki, A.
tibialis anterior terletak antara struktur dan tendon dari otot ekstendor digitorum longus dan
teraba ditingkat ini. Sebuah wheal kulit dinaikkan hanya lateral pulsasi antara dua tendon
pada baris intermalleolar. Sebuah 25-gauge, 3 cm jarum, tegak lurus terhadap kulit masuk
situs, dan 3 dampai 5 mL anestesi lokal disuntikkan mendalam untuk retinakulum ekstendor
untuk memblokir saraf peroneal yang mendalam.
Jarum diarahkan lateral melalui wheal kulit yang sama sementara
menyuntikkan 3 sampai 5 mL larutan subkutan, memblokir saraf peroneal dangkal dan
mengakibatkan anestesi dari dorsum kaki, tidak termasuk interdigital pertama celah.
Maneuver yang sama dapat dilakukan dalam arah medial, sehingga anesthetizing saraf
saphena, cabang terminal dari saraf femoralis yang memasok strip sepanjang aspek medial
kaki.

88
BAB VI
MANAJEMEN ANESTESI PADA KASUS KHUSUS

VI.1 ANESTESI PADA PASIEN PEDIATRIK


1. PYLORIC STENOSIS
Stenosis pylorus terjadi akibat hipertropi otot-otot pada saluran keluar
lambung sehingga menyebabkan terjadinya obstruksi. Kelainan ini merupakan salah satu
kelainan pada gastrointestinal tersering yang terjadi pada 3 bulan pertama setelah lahir.
Stenosis pylorus merupakan keadaan emergensi medical akut dan bukan keadaan emergensi
surgical oleh karena itu harus dilakukan persiapan optimalisasi keadaan pasien terlebih
dahulu untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Insiden dan etiologi


Stenosis pylorus lebih sering terjadi pada bayi laki-laki disbanding perempuan dengan
idennsi 4:1 yang terjadi pada usia 3 bulan pertama setelah lahir
Etiologi: penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun dari beberapa teori
menyatakan bahwa etiologi stenosis pylorus adalah sebagai berikut:
Hipoganglionosis
Infeksi H pylori
Hipergastrenemia dengan pilorospasme

Patofisiologi
Pasien dengan stenosis pylorus akan mengalami berbagai gangguan elektrolit dan
metabolic. Gangguan elektrolit yang sering didapat adalah: hipokloremik, hipokalemia,
hipovolemia, hipokalsemia, dan alkalosis metabolic hiponatremik.
Dalam keadaan normal setiap mEq HCCO3 dari pancreas sehingga terjadi penetralan
asam lambung yang melewati duodenum oleh hcO3 yang disekresikan oleh pancreas.
Hilangnya asam lambung pada keadaan stenosis pylorus terjadi melalui vomitus atau
aspirasi isi gastric, sedangkan sekresi HCO3 tetap terjadi sehingga kadarnya dalam plasma
akan terus meningkat. Peningkatan ini lama kelamaan dapat membuat tubulus proksimal
ginjal tidak mampu lagi mengatasi kelebihan HCO3 dan akan meningkatkan kadar NaHCO3
yang diteruskan ke tubulus distal yang juga tidak mampu mengabsorbsinya lagi. Akibatnya
ginjal akan mengeksresikan urin dengan ph>7,0.

89
Terjadinya hal diatas mengakibatkan depresi cairan ekstra seluler akibat usaha ginjal
untuk melakukan konservasi Na+ melalui stimulasi sekresi aldosteron.
Hipokalemia terjadi akibat hilangnya kalium melalui vornitus dan melalui urin akibat
pertukarannya dengan H+ dalam usahanya untuk melakukan konservasi terhadap Na+.
hipokalemia juga terjadi akibat perpindahan K+ keintrasel akibat pH yang bertambah alkali.
Hipokloremia terjadi akibat hilangnya CT melalui sekresi lambung.

Gambaran Klinis:
Stenosis pylorus terjadi antara umur 3-5 minggu. Terdapat riwayat muntah-muntah
nonbilious yang progresif dan kemudian menjadi proyektil.
Konstipasi
Jaundice: terjadi akibat defisiensi glukoronil transferase karena keadaan starvasi.
Bayi akan tampak dehidrasi dengan gerakan peristatis lambung yang dapat terlihat.
Pada palpasi pada daerah epigastrium atau hipokondrium kanan teraba massa tumor
(olive tumor)
Pada pemeriksaan laboraturium didapatkan:
Hemoglobin: hemokonsentrasi
Elektrolit: hipokalemia, hiponatremia, hipokalsemia
AGD: pada keadaan awal didapat alkalosis metabolic sedangkan pada keadaan lanjut akan
didapat asidosis metabolic.
Diagnose dikonfirmasi melalui pemeriksaan radiologii: USG abdomen.

Manajemen praanestesi
Manaejemen inisial yangharus dilakukan bersifat medical untuk melakukan stabilitasi pasien
sebelum dilakukan prosedur koreksi. Manajemen yang dilakukan adalah:
Pasang jalur intravena, kemudian ambil sampel darah untuk melakukan pemeriksaan Hb dan
elektrolit.
Pasang NGT dan melakukan suctioning secara kontinyu
Lakukan rehidrasi sesuai dengan derajat dehidrasi dan koreksi gangguan elektrolit.
Pada dehidrasi berat ( kehilangan cairan >15%) berikan bolus normal salin, RL dan dapat
pula diberikan koloid 20 ml.kg. pemberian cairan selanjutnya adalah sesuai dengan dehidrasi
sedang dengan memberikan defisit cairan dalam 6-8 jam.
Dehidrasi ringan-sedang ; berikan cairan glukossa dalam salin (D5 ½ NS dengan 10 mEq
KCL/500 ml) sebanyak 6-8 ml/kg/jam. Penambahan KCL hanya dilakukan apabila telah
90
terjadi dieresis yang cukup. Aspirasi isi lambung juga harus diganti dengan jumlah yang sama
dengan NS. Apabila target sudah tercapai berikat rumatan dengan D5 ½ NS sebanyak 4
ml/kg/jam. Target resusitasi :
 Cr serum > 106 mmol/L
 Na+ serum > 135 mmol/L
 HC)3 serum < 26 mmol/L
 Cl urin > 20 mmol/L
 Dieresis >1 ml/Kg
Manajemen Intraanestesi
 Pastikan abnormalitas asam basa dan dehidrasi sudah terkoreksi sebelum memulai
induksi.
 Lakukan aspirasi kembali pada NGT sebelum induksi dengan poisisi bayi miring kiri,
kanan dan terlentang
 Lakukan preoksigenasi sebelum induksi
 Induksi dilakukan dengan RSI, tetapi apabila diperkirakan terdapat kesulitan pada
jalan nafas maka sebaiknya lakukan intubasi dalam keadaan awake.
 Rumatan anestesi dapat diberikan dengan ventilasi IPPV (intermitten positif pressure
ventilation) dan jaga agar temperature tetap normotemi.
 Monitoring: EKG, pulse oximetry, NIBP, EtCO2 , temperature, stetoskop prekordial.
 Ekstubasi harus dilakukan dalam keadaan benar-benar bangun dengan keadaan
lambung yang telah dikosongkan.
 Saat akhir operasi dapat diberikan bupivakain 0,25% secara infiltrasi pada daerah luka
operasi sebagai analgesia pascaoperasi.

Manajemen pascaanestesi
 Berikan oksigen suplemen jika pulse oximetry , 95%
 Pada bayi premature atau riwayat kelahiran premature harus dilakukan monitoring
pernafasan terhadap kemungkinan apnu selama 6-12 jam pasca operasi. Hal ini
dikarenakan terdapat kemungkinan terjadinya apnoe akibat perubahan pH pada LCS
sebagai akibat sekunder dari hiperventilasi dan alkalosis.
 Monitor terhadap kemungkinan hipoglikemia pascaoperasi

91
 Analgesia pascaoperasi dapat diberikan parasetamol per-rektal dengan loading dose
30-40 mg/kg diikuti dengan dosis 15-20 mg/kg setiap 6 jam. Hindari opioid karena
dapat menambah resiko apnu pascaoperatif.

2. OBSTRUKSI INTESTINAL
Manajemen praanestesi
 Lakukan penilaian defisit cairan berdasarkan tanda dan gejala klinis.
 Pada saat pemeriksaan fisik lakukan pemeriksaan temperature, laju nadi, tekanan
darah, perfusi perifer, turgor kulit, fontanela, tekanan ocular, derajat enophalmus,
mukosa bibir, status mental dan dieresis.
 Tentukan besarnya defisit cairan dan lakukan rehidrasi berdasarkan derajat dehidrasi
 Pada keadaan hipovolemia berat berikan cairan secara cepat untuk segera melakukan
restorasi sirkulasi dan fungsi ginjal. Untuk resusitasi awal dapat berikan bolus RL 20
ml/kg. koreksi defisit cairan ekstra dan intrasel dan juga elektrolit diperbaiki
berikutnya dalam 25-72 jam.
 Restorasi volume harus dipantau dengan pemasangan kateter urin untuk menilai
dieresis.
 Lakukan penilaian ulang secara lebih sering terhadap status cairan dan elektrolit.
 Pasang NGT dan lakukan suctioning
 Pemeriksaan laboraturium yang dilakukan : kreanitin serum dan BUN (meningkat
pada keadaan dehidrasi), leukosit (meningkat pada keadaan infeksi ) elektrolit
lengkap (biasanya abnormal), hemoglobin.
 Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah foto polos abdomen : air/fluid level.

Manajemen intraanestesi
 Pasien dengan obstruksi intestinal harus dikelola sebagai pasien dengan lambung
penuh
 Lakukan induksi dengan RSI dengan penekanan pada krikoid atau dengan intubasi
awake
 Sebelum dilakukan induksi berikan preoksigenasi dengan sungkup muka selama 3-5
menit.

92
 Induksi hanya dilakukan pada pasien dengan status hidrasi yang baik. Induksi inhalasi
dilakukan dengan memakai sevofluran atau holotan.
 Hindari pemakaian N2O karena akan semakin menyebabkan distensi. Pilihan gas
yang lebih baik adalah campuran air dan oksigen.
 Berikan tambahan analgetika ( missal fentanil) tetapi hindari memberikan dosis besar
pada keadaan hemodinamik yang tidak stabil dan pada bayi premature yang berisiko
besar terjadinya apnu pascaoperatif
 Lakukan control ventilasi untuk mengatasi tekanan intraabdominal yang tinggi akibat
obstruksi dan monitoring EtCO2 secara ketat.
 Pemberian cairan intervena tergantung dari jumlah kebutuhan rumatan, defisitcairan
sebelumnya, dan kehilangan cairan ke ruang ketiga/perdarahan yang terjadi selama
operasi.
 Cairan rumatan diberikan D5 ½ ns sedangkan cairan pengganti diberikan balance salt
solution (RL)
 Kehilangan darah actual diganti dengan 3 ml cairan kristaloid untuk setiap 1 ml darah
yang hilang sampai dicapai maximum allowable blood lose.
 Lakukan pemeriksaan factor koagulasi apabila actual blood lose melebihi estimated
blood volume.
Manajemen pascaanestesi
 Pada akhir operasi ETT tetap dipertahankan sampai pasien benar-benar bangun,
ventilasi spontan adekuat, temperature inti normal, efek pelemas otot dan obat-obatan
lainnya benar-benar hilang.
 Bantuan ventilasi dan kardiovaskular dipertimbangkan pada pasien dengan insisi lebih
besar, sapsis, kardiovaskular yang tidak stabil, dan depresi pada sistim saraf pusat.
 Berikan oksigen suplemen jika pulse oximetry <95%.
 Pada bayi premature atau riwayat kelahiran premature harus dilakukan monitoring
pernafasan terhadap kemungkinan hipoglikemia pascaoperasi.
 Transportasi pasien dilakukan dengan posisi lateral.

93
3. TRACEOESOPHAGEAL FISTULA (TEF)
Ada beberapa kemungkinan jenis kelahiran congenital yang berhubungan dengan TEF, yaitu:
VARTER SYNDROME
 Vertebral anomelies atau ventricular septal defect
 Analgesia
 Tracheosofageal fistula
 Esophageal afresia
 Radial aplasia dan renal animalies
VACTERL:
 Cardiac dan limbs anomalies

Manajemen praanestesi
 Lakukan usaha untuk mencegah terjadinya aspirasi pneumonia, yaitu engan
memposisikan pasien dalam keadaan head-up, hindari pemberian makan/minum
kantung esophageal harus selalu bersih dari secret dengan memasang oral-esofageal
tube.
 Lakukan chest physiotherapy
 Gastrotomi untuk dekompresi lambung dan pemberian nutrisi apabila operasi masih
ditunda. Gastrostomi dapat dilakukan dalam anestesi lokal.
 Pasien ini mempunyai kemungkinan besar untuk terjadinya dehidrasi karena aupan
oral yang tidak cukup, oleh karena itu segera lakukan rehidrasi dengan pemberian
carian intravena.

Manajemen intraanestesi
 Tindakan pembedahan definitive ditunda sampai pnurmonia teratasi aku telah
mengalami perbaikan dengan antibiotic
 Lakukan suctioning secret faring pada kantung esophageal secara berkala sebelum
dan selama pembedahan karena pada pasien ini bertendensi untuk terjadi sekresi yang
banyak
 Pencegahan pneumonia aspirasi juga dilakukan dengan melakukan suctioning pada
tube gastrostommi.
 Pastikan pasien sudah dalam keadaan normovolume

94
 Sebelum operasi dimulai pastikan sudah terdapat persedian darah apabila sewaktu-
waktu dibutuhkan transfuse segera.
 Hindari memberikan ventilasi tekanan positif sebelum dilakukan intubasi karena akan
menyebabkan distensi lambung yang akan mengganggu perkembangan paru.
 Intubasi dilakukan secara awake dan tanpa pelumpuh otot atau dengan sedasi dan
tetap mempertahankan napas spontan untuk menghindari yang distensi berlebihan
pada lambung sehingga meningkatkan resiko terjadinya aspirasi dan gangguan
respirasi.
 Penggunaan pelumpuh otot untuk intubasi dapat diberikan hanya setelah dilakukan
penilaian bahwa ventilasi yang kita berikan secara hati-hati dapat menghasilkan
pergerakkan dada adekuat tanpa terjadinya distensi lambung.
 Apabila terjadi distensi lambung pada pasien yang telah terpasang gastrostomi maka
udara dari lambung harus dikeluarkan dengan mengalirkan melalui tube gastrostomi.
 Kunci sukses manajemen pasien TEF adalah penempatan yang tepat posisi ETT.
 Idealnya ujung ETT harus berada diantara fistula dan karina sehingga gas anestesi
dapat masuk ke dalam paru dan tidak ke lambung. Untuk itu dapat dilakukan dengan
memasukkan ujung ETT ke dalam salah satu bronkus, kemudian sambil dilakukan
auskultasi dilakukan penarikan ETT dihentikan apabila bunyi suara kedua paru telah
sama yang menandakan ujung ETT telah berada diatas karina atau dengan fiber optic.
 Lakukan pemasangan stetoskop prekordial
 Penurunan saturasi oksigen dapat merupakan indikasi bahwa terjadi retraksi pada
bagian paru dan memerlukan tindakan untuk re-ekspansi.
 Ekstraksi selama pembedahan juga dapat menimbulkan penekanan pada pembuluh
darah besar, trake jantung dan nerces vagus yang ditandai dengan hipotensi dan
bradikardia. Lakukan moroting tekanan darah secara kontinyu dengan arterial line.
 Pada saat menentukan fraksi oksigen yang akan diberikan harus dipertimbangkan
adanya resiko terjadinya retinopathy of prematurity (ROP).

Manajemen pascaanestesi
 Pertimbangkan untuk dilakukan ventilasi pascaoperasi pada pasien dengan pneumoni
aspirasi sebelumnya, atau apabila pada anastomosis yang dilakukan terjadi tension.
 Berkurangnya kartilago takea dapat menyebabkan kolaps pada trakea setelah
dilakukan ekstubasi

95
 Hindari ekstensi pada leher dan tindakan instrumentasi esophagus (missal: suctioning)
karena dapat menimbulkan kerusakan daerah operasi.

4. GASTROSCHISIS DAN OMPHALOCELE


Omphalocele timbul pada tengah umbilicus, mempunyai kantung dan sering
berhubungan dengan kelainan congenital lainnya, seperti” trisomi 21, henia diafragmatika,
malformasi jantung dan blader. Sedangkan gastroschisis terjadi di daerah lateral umbilicus,
yidak berkantung dan biasanya merupakan kelainan tunggal. Gastroschisis mempunyai resiko
lebih besar untuk terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara massif.

Manajemen praanestesi
 Manajemen perioperatif difokuskan pada pencegahan terjadinya hipotermia infeksi
dan dehidrasi.
 Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT.
 Lakukan penilaian terhadap status hidrasi dan elektrolit dan segera lakukan koreksi
bila belum optimal
 Terapi apabila terjadi infeksi, terutama pada gasthroshisis yang mempunyai resiko
infeksi yang lebih besar.
 Cegah terjadinya hipotermia dengan memberikan penghangat. Pasien dengan
gastroschisis dan omphalocele mempunyai tensi untuk kehilangan panas tubuh
melalui evaporasi.

Manajemen intaanestesi
 Lakukan dekompresi melaui NGT sebelum induksi.
 Intubasi dapat dilakukan dengan pasien dalam keadaan awake atau tidau, baik dengan
pelumpuh otot atau tanpa pelumpuh otot.
 Hindari penggunaan N2O untuk mencegah distensi lebih lanjut pada usus. Pemberian
pelemasan otot diperlukan saat memasukkan usus ke dalam ongga abdomen.
 Penutupan satu tahap (perbaikan primer) tidak selalu dianjurkan karena dapat
menyebabkan sindrom kompartemen abdominal, sehingga dilakukan pemasangan
silastic silo untuk meregang kulit dinding abdomen selama beberapa hari kemudian
dilakukan penutupan secara komplit.

96
 Penutupan primer yang menyebabkan dinding abdomen menjadi tegang akan
menimbulkan kompresi aortokaval, hipotensi berat mengganggu aliran balik vena dan
menyebabkan edema pada tubuh bagian bawah.
 Apabila terjasi sindrom kompartemen abdomen harus dilakukan pembukaan kembali
dinding abdomen yang telah ditutup, kemudian berikan hidrasi yang agresif dan
inotropik.
 Kriteria untuk menilai tekanan abdomen yang aman untuk dilakukan penutupan
adalah sebagai berikut:
Tekanan intragaster, 20 cm H2O
Tekanan intraveika < 20 cm H2O
End tidal CO2 < 50 mmHg
Peak inspiratory pressure <35 cm H2O

Manajemen pascaanestesi
 Pascaoperasi pasien dipertahankan tetap dalam keadaan terintubasi
 Penyapihan dari ventilator dilakukan 1-2 hari berikutnya
 Cegah terjadinya hipotermi, dehidrasi dan infeksi.

Hernia diafragma congenital


Hernia diagfargma congenital terjadi karena kegaga;an penutupan diafragma pada
masa perkembangan fetus yang mengakibatkan herniasi isi abdomen ke dalam toraks. Usus
yang mengalami herniasi kedalam rongga torak akan memberikan efek seperti space
occupying lesion dan menghambat perkembangan normal dari paru.

Lokasi defek
Defek diafragma dapat terjadi pada 3 tempat:
 Posterolateral kanan dari foramen bochdalek
 Posterolateral kiri dari foramen bochdalek
 Anterior dari foramen morgagni
Sebagian besar herniasi (90%) terjadi pada sisi kiri, terutama pada bagian posterolateral
foramen bochdalek.

97
Patofisiologi
 Tanda utama hernia diafragma adalah: hipoteksia, abdomen berbentuk scaphoid serta
didapatkan bukti adanya usus di dalam toraks baik melalui pemeriksaan auskultasi
atau radiologi.
 Hipoplasia paru biasanya ipsilateral tetapi dapat pula bilateral akibat pergeseran
mediastinum yang akan mengkompresi paru kontralateral. Hipoplasi ini terjadi karena
efek kompresi usus yang mengalami herniasi sehingga terjadi reduksi alveolus dan
bronkiolus.
 Paru yang hipoplastik memberikan gambaran broonki yang lebih kecil, cabang brokus
lebih sedikit dan gambaran vascular abnormal.
 Otot polos pada pembuluh darah arteriol akan menebal dan meluas kedalam kapiler
alveolus sehingga terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonal dan terjadilah shunting
dari kanan ke kiri.
 Derajat hipoplasi paru dan hipertensi pulmonal ditentukan oleh masa gestasi saat
hernia tersebut terjadi.
 Penurunan preload dan cardiac output terjadi apabila terdapat penekanan heniasi pada
vena cava sehingga terjadi obstruksi.
 Hernia diafragmatika kadang disertai dengan kelainan dan malrotasi jantung.
 Gangguan kardiopulmonal yang terjadi terutama disebabkan oleh hipoplasi patu dan
hipertensi pulmonal dibandingkan akibat efek massa dari viscera yang mengalami
herniasi.

Gambaran klinis
 Severe respiratoty distress: dispnoe/takupnoe, sianosis dan reaksi berat.
 Peningkatan diameter entereposterior dari data dengan abdomen yang berbentuk
relatife scaphoid
 Pada saat akultrasi sedikit sekali terdengan adanya aliran darah paru dan terdengar
adanya bising usus
 Hipoksia
 Asidosis

98
Manajemen praanestesi
Manajemen inisial yang harus dilakukan stabilisasi pasien sebelum melakukan prosedur
koreksi, manajemen yang dilakukan adalah:
 Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT
 Posisiskan pasien semi-recumbent dengan bagian yang mengalami hernia pada posisi
bawah.
 Amankan jalan nafas untuk menjaga keadaan tetao normokarbia. Lakukan intubasi
apabila dapat depresi pernafasan berat.
 Jangan lakukan ventilasi dengan masker, hal ini akan menyebabkan lambung menjadi
distensi dan semakin mengganggu jalan nafas. Lakukan intubasi dalam keadaan
awake.
 Lakukan stabilisasi segera dengan sedasi, paralis dan hiperventilasi moderat.
 Apabila keadaan bayi memburuk dengan PaCO2 yang tinggi, maka usahakan untuk
menurunkan PaCO2 < 40 mmHg. Hal ini akan menurunkan PVR dan meningkatkan
oksigensi.
 Saat memberikan ventilasi harus selalu diperhatikan untuk menghindari tekanan
inspirasi yang tinggi karena dapat menyebabkan barotraumas.
 Ventilasi dan oksigenasi dapat dilakukan dengan high frequency Oscillatory
ventilation (HFOV) dengan risiko barotraumas yang lebih kecil.
 Nitric oxide dapat diberikan untuk menurunkan tekanan arteri pulmonal.
 Jaga suhu pasien tetap normotemi.
 Lakukan monitoring dan koreksi terhadap AGD dan elektrolit. Hindari keadaan
asidosis dan hiperkarbia. Keadaan alkalosis dapat memperbaiki aliran darah paru.
 Tindakan pembedahan ini dapat dilakukan apabila hipertensi pulmonal stabil dan
shunting dari kanan kiri hanya sedikit.
 Jika pasien gagal untuk distabilkan maka stabilisasi dilakukan dengan extracorporeal
membrane oxygenation (ECMO).

Manajemen intraanestesi
 Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT.
 Posisikan pasien semi-recumbent dengan bagian yang mengalami hernia pada sisi
bawah.
 Lakukan intubasi secara awake atau tanpa bantuan pelemas otot

99
 Rumatan anestesi diberikan dengan volatile konsentrasi rendah atau opioid pelemas
otot, dan oir sesuai dengan toleransi pasien.
 Analgesia harus meminimalkan peningkatan PVR yang mendadak dengan akibat
shunting kanan ke kiri.
 Jangan gunakan N2O karena dapat membuat distensi usus dan membuat pasien
semakin hipoksia.
 Ventilasi tekanan positif yang diberikan harus membatasi peak inspiratory pressure <
30 cmH2
 Lakukan monitoring terhadap tahanan jalan nafas, peningkatan yang tiba-tiba tahanan
jalan nafas/ penurunan compliance paru, penurunan oksigenasi yang tiba-tiba dapat
merupakan indikasi terjadinya pneumotoraks (barotraumas). Apabila terjadi
pneumotoraks maka harus dilakukan pemasangan CTT.
 Tekanan yang positif yang berlebih untuk mengembangkan paru yang hipoplasia
dapat menyebabkan kerusakan pada paru normal.

Manajemen pascaanestesi
 Lakukan pemantauan ventilasi, oksigenasi, temperature dan keseimbangan elektrolit.
 Berikan FiO2 untuk menjaga PaO2 > 150 mmHg
 Penyapihan terhadap oksigen harus dilakukan secara perlahan dalam 48-72 untuk
menghindari terjadinya vasokonstiksi pulmoner yang tiba-tiba dapat menyebabkan
pulmonal hipertensi (honeymoon phenomenon).

6. pediatric premature
Prematuritas didefinisikan sebagai kelahiran pada usia kehamilan <37 minggu.
Keadaan ini harus dibedakan dengan “small for gestational age” dimana berat badan bayi
(cukup bulan atau premature) yang kurang dari fifth percentile.

Masalah prematuritas
 Problem medis pada neonatus premature bersifat multiple yang diakibatkan
immaturitas dari system organ mayor atau asfiksia intrauterine.
 Komplikasi pulmonal dapat berupa: hyaline membrane disease, apneic spell, dan
bronkopulmonari dysplasia. Pemberian surfaktan eksogen telah terbukti efektif untuk
mengatasi respiratory distress syndrome pada neonatus tersebut.

100
 Patent duscus arteriosus: keadaan ini dapat menimbulkan shunting, edema paru dan
gagal jantung kongesif.
 Hipoksia persisten atau syok dapat mengakibatkan istemik pada usus dan necrotizing
enterocolitis.
 Prematuritas meningkatkan resiko terjadinya infeksi, hipotermi, pendarahan
intracranial dan kern ikterus.
 Prematuritas biasanya berhubungan dengan peningkatan insidens anormali congenital.
Konsiderasi anestesi
 Perhatian khusus pengelolaan infrant premature dititikberatkan terhadap control jalan
nafas, manajemen cairan dan regulasi suhu tubuh.
 Resiko terjadinya retinophaty of prematurity (ROP) akibat keadaan hiperoksia yang
dapat menyebabkan kebutaan.
 Hindari pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi karena dapat menyebabkan
kebutaan. Hal ini dapat dihindari dengan memakai campuran oksigen dengan udara
atau N2O.
 ROP diduga lebih diakibatkan oleh pemberian oksigen dengan kadar yang fluktuatif
dibandingkan dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi.
 Oksigenasi harus terus dimonitor secara kontinyu dengan pulse oximetry terutama
pada bayi dengan usia < 44 minggu postkonsepsi.
 PaO2 normal pada neonates adalah 60-80 mmHg.
 Kebutuhan anatestik pada neonates oremature akan berkurang.
 Pemberian opioid agonis lebih disukai disbanding dengan volatile anestesi
dikarenakan efeknya bertendensi untuk menimbulkan depresi miokardial.
 Lakukan control ventilasi dengan pelemasan otot.
 Monitoring dilakukan dengan pulse oximetry, EKG, NIBP, temperatur kapnograf dan
stetoskop pekordial
 Bayi premature dengan usia < 50 minggu pascakonsepsi mempunyai resiko yang
sangat besar untuk terjadinya apnu yang bersifat obstruktif maupun sentral selama 24
jam.
 Resiko lain untuk terjadinya apnu pascaanestesi adalah: anemia (Ht<30%) hipotermi,
sepsis, dan kelainan neurologis.
 Resiko apnu pascaanestesi dapat dikurangi dengan memberikan kafein 10 mg/kg atau
aminofilin.

101
 Operasi elektif atau ODS harus ditunda sampai usia infrant minimal mencapai 50
minggu pascakonsepsi
 Infrant dengan usia 50-60 minggu pascakonsepsi yang menjalani operasi di monitor
di PACU paling tidak selama 2 jam.

7. TETRALOGY OF FALLOT (TOF) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK


Tetralogy of fallot merupakan kelainan kongengital pada jantung yang terdiri atas
ventricular septal defect (VSD) yang berukuran besar, obstruksi aliran darah ventikel kanan
(subvalvular, supravalvular, cabang arteri pulmonalis), overriding aorta (kelainan posisi aorta
sehingga aorta menerima darah dari kedua ventrikel ) dan hipertropi ventrikel kanan.

Patofisiologi TOF:
 Karakteristik utama dari TOF adalah sianosis
 Sianosis pada TOF disebabkan oleh terjadinya shunt dari kanan ke kiri pada ventrikel
disertai aliran darah pulmoner yang tidak adekuat.
 Obstruksi aliran darah pada ventrikel kanan akan menyebabkan darah yang
dipompakan ventrikel kanan mengalir melalui VSD yang ada kemudian masuk ke
dalam overriding aorta.

102

Anda mungkin juga menyukai