Anda di halaman 1dari 22

Kunjungan Pre-Anestesi

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
• Kunjungan pra-anestesi  kunjungan yang dilakukan sebelum dilakukan
tindakan sedasi dan pembedahan
• Tujuan  mendeteksi dan menilai kondisi kesehatan pasien dan
mengoptimalkan kondisi pasien sebelum dilakukan tindakan pembedahan
• Hal yang perlu diperhatikan sebelum kunjungan anestesi:
- Memastikan kelengkapan dokumentasi, pemeriksaan fisik dan
laboratorium, persiapan pasien secara fisik dan mental
- Mengevaluasi masalah-masalah yang mungkin muncul saat dilakukan
anestesi, menilai risiko, persiapan operasi dengan rencana teknik anestesi
yang akan dilakukan dan rencana perawatan pasca operatif yang akan
diberikan
• American Society of Anestheologists pada tahun 2020  sistem
klasfikasi terhadap status fisik pasien sebelum dilakukan anestesi 
membantu memprediksi risiko dalam perioperatif
• Selain itu, kunjungan praanestesi dapat menurunkan ansietas pasien
maupun keluarga pasien sebelum operasi dibantu dengan pemberian
premedikasi seperti midazolam terhadap pasien-pasien yang
mengalami ansietas tinggi dan pemberian analgesic kombinasi pada
pasien yang diperkirakan mengalami nyeri hebat pascaoperasi.
BATASAN MASALAH TUJUAN PENULISAN METODE PENULISAN
Makalah ini Tujuan pembuatan Referat ini
membahas mengenai makalah ini adalah merupakan tinjauan
definisi, tujuan, mempelajari dan kepustakaan yang
evaluasi, klasifikasi memahami merujuk kepada
ASA persiapan, dan mengenai definisi, berbagai literatur.
medikasi pra- tujuan, evaluasi,
anestesi. klasifikasi ASA,
persiapan dan
medikasi pra-anestesi
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Kunjungan pra-anestesi adalah kunjungan yang dilakukan sebelum
dilakukan tindakan sedasi dan pembedahan yang memiliki tujuan
mendeteksi dan menilai kondisi kesehatan pasien dan mengoptimalkan
kondisi pasien sebelum dilakukan tindakan pembedahan.1 Penting
diketahui melakukan kunjungan anestesi bukan untuk melihat apakah
seorang diperbolehkan dilakukan operasi atau bukan namun untuk
menilai kondisi pasien dan bila perlu menerapkan langkah-langkah
untuk mempersiapkan pasien-pasien dengan risiko tinggi untuk
dilakukan operasi.
TUJUAN
Beberapa tujuan dari evaluasi preoperative adalah sebagai berikut :4,5
1. Mengidentifikasi pasien yang hasilnya lebih baik apabila pengobatan
lain yang spesifik dilakukan lebih dahulu.
2. Mengidentifikasi pasien yang kondisinya buruk yang mana apabila
dilakukan tidakan operasi yang direncanakan akan mempercepat
kematian tanpa memperbaiki quality of life.
3. Menentukan rencana anestesi yang akan diberikan.
4. Untuk menilai pasien dalam perkiraan risiko anestesi seperti
komplikasi kardiovaskular dan pulmonal.
5. Mengurangi ansietas pasien dan keluarga melalui edukasi
TUJUAN
6. Menentukan pemeriksaan lebih lanjut dan memberikan intervensi
untuk mengurangi risiko komplikasi.
7. Mendiskusikan kepada pasien mengenai perawatan perioperative
(risiko yang diantisipasi, pedoman puasa)
8. menentukan perawatan post operative (HCU atau ICU) apabila pasien
diperkirakan memberikan hasil buruk perioperative.
9. Memberikang peluang untuk dokter anestesi untuk menjelaskan
rencana anestesi secara menyeluruh dari rencana bedah hingga pasca
operasi, memberikan dukungan psikologis kepada pasien, dan
mendapatkan persetujuan berdasarkan informasi untuk rencana
anestesi yang diberikan.
PEMERIKSAAN KLINIS
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
EVALUASI
Pasien yang direncakan operasi dan anestesi elektif biasanya
membutuhkan data mengenai riwayat medis pasien terutama
mengenai kelainan pada status nutrisi dan fungsional, fungsi jantung,
paru, endokrin, ginjal atau hati, fungsi elektrolit dan metabolisme, serta
gangguan anatomi yang bersangkutan denan manajemen jalan napas
atau anestesi regional.
GANGGUAN KARDIOVASKULAR
Pedoman untuk penilaian preoperative secara rutin diperbarui oleh
American College of Cardiology/American Heart Association dan dari
European Society of Cardiology. Fokus penting saat mengevaluasi
kondisi kardiovaskular pasien sebelum operasi adalah menilai apakah
pasien mendapatkan keuntungan lebih apabila dilakukan pemeriksaan
jantung lebih lanjut atau mendapatkan intervensi yang diberikan
sebelum operasi yang direncakan.
GANGGUAN PULMONAL
• Komplikasi paru di perioperatif paling sering adalah depresi napas pasca operasi dan gagal napas,
terutama pada orang yang dengan obesitas dan obstructive sleep apnea. Panduan dari American
Colleg of Physicians menyatakan pasien dengan usia diatas 60 tahun, dengan penyakit paru
obstruktif kronis, tolerasi olahraga sangat kurang, dengan ketergantungan fungsional, atau
dengan gagal jantung memiliki potensi untuk intervesi pra dan pasca operasi untuk menghindari
komplikasi pernapasan.
• Selain faktor-faktor tersebut pasien dengan ASA 3 dan 4, merokok, operasi yang berlangsung lebih
dari 4 jam, jenis operasi tertentu (abdominal, toraks, aneurisma aorta, kepala dan leher, dan
operasi emergensi) serta anestesi umum dapat meningkatkan kompilkasi pernapasan pasca
operasi. Pada pasien asma, terutama yang menerima pengobatan suboptimal memiliki risiko lebih
besar untuk bronkospasme selama manipulasi jalan napas.
• Prevensi yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi jumlah rokok dikonsumsi beberapa
minggu sebelum operasi dan teknik ekspansi paru (spirometry insentif) setelah operasi.
Penggunaan analgesi dan pemantauan yang tepat adalah strategi utama untuk menghindari
depresi napas terutama pada pasien dengan sleep apnea.
GANGGUAN ENDOKRIN DAN
METABOLIK
Praktis yang biasa dilakukan pada pasien diabetes adalah dengan
memeriksakan kadar gula darah di pagi hari sebelum dilakukan operasi
elektifnya. Sayangnya, banyak pasien diabetes tidak memiliki kadar gula
pada rentang yang diharapkan. Pasien lain juga banyak yang tidak
mengetahui bahwa mereka mengidap diabetes tipe 2 juga muncul
dengan kadar gula yang tinggi. Operasi elektif hendaknya diundur
apabila pasien dengan hiperglikemia.
GANGGUAN KOAGULASI
• Gangguan koagulasi yang penting diperhatikan ; (1) bagaimana menatalaksana
pasien yang menggunakan warfarin atau antikoagulan lain dalam jangka waktu
panjang, (2) bagaimana mentalaksana pasien dengan penyakit arteri coroner yang
menggunakan clopidogrel atau agen terkait, (3) apakah seseorang dapat
memberikan anestesi neuraxial kepada pasien dengan terapi antikoagulan jangka
panjang atau menerima antikoagulan sebelum operasi.
• Pada kasus pertama, pada pasien dengan tindakan operasi major perlu
penghentian penggunaan antikoagulan untuk menghindari kehilangan darah
massif. Perlu didiskusikan berapa lama oba harus dihentikan dan apakah pasien
memerlukan terapi “bridging” dengan agen rentang pendek lain. Pasien dengan
risio tinggi thrombosis perlu dikonsultasikan ulang mengenai penghentian obat
namun pasien dengan risiko rendah dapat menghentikan antikoagulan sebelum
operasi dan dilanjutkan kembali setelah operasi berhasil.
GANGGUAN KOAGULASI
• Clopidogrel dan agen serupa sering diberikan dengan aspirin (disebut terapi
antiplatelet ganda) kepada pasien dengan penyakit arteri koroner yang telah menerima
stenting intrakoroner. Langsung setelah stenting, pasien tersebut berada pada
peningkatan risiko infark miokard akut jika clopidogrel dan aspirin tiba-tiba dihentikan.
Oleh karena itu, pedoman saat ini merekomendasikan menunda semua kecuali operasi
wajib sampai pukul setidaknya 1 bulan setelah intervensi koroner dan menyarankan
bahwa pilihan pengobatan selain drugeluting stent (yang akan membutuhkan dual
terapi antiplatelet) digunakan pada pasien diharapkan menjalani prosedur
pembedahan dalam waktu 12 bulan setelahnya intervensi (misalnya, pasien dengan
penyakit coroner yang juga menderita kanker usus besar yang dapat dioperasi).
• Untuk kasus terakhir apakah aman memberikan anesthesia regional terhadap pasien
dalam terapi antikoagulan masih dalam perdebatan. American Society of Regional
Anesthesia and Pain Medicine masih terus memperbarui panduan mengenai topik ini.
GANGGUAN GASTROINTESTINAL
Aspirasi isi lambung sudah dikenal sebagai komplikasi paru yang berat saat
memberikan anestesi. Risiko akan meningkat pada: wanita hamil trisemester
kedua dan ketiga, orang yang tidak berpuasa sebelumnya dan pasien dengan
gastroesophageal reflux disease (GERD) yang berat. Pada wanita hamil dan pasien
yang makan terakhir kurang dari 6 jam harus diperlakukan seolah mereka
memiliki perut “penuh” dimana saat ini masih banyak perdebatan mengenai
topik ini. Untuk saat ini disarankan berpuasa 8 jam setelah makan besar, 6 jam
setelah makan makanan biasa, 2 jam setelah minum air putih. Pasien dengan
riwayat GERD disarankan untuk memberikan terapi pada pasien yang menunjkan
gejala GERD beberapa kali dalam seminggu dengan obat-obatan seperti antacid
tidak berpartikel seperti sodium sitrat dan teknik intubasi menggunakan intubasi
trakea dibandingkan dengan laryngeal mask airway (LMA).
KLASIFIKASI ASA
Klasifikasi status fisik oleh ASA (American Society of Anestheologysts)
telah digunakan selama lebih dari 60 tahun. Tujuannya adalah untuk
menilai dan mengkomunikasikan kondisi komorbid pasien sebelum di
anestesi. Hanya dengan sistem kalsifikasi ini bukanlah untuk
memprediksi risiko perioperatif, tapi dapat membantu untuk
memprediksi risiko perioperative.
KLASIFKASI ASA
ASA Definisi Contoh Dewasa : Contoh pediatrik : Contoh obstetrik :
ASA I Pasien sehat normal Sehat, tidak merokok, tidak atau Sehat (tidak ada penyakit akut atau kronik),
minimal konsumsi alkohol persentil BMI to age normal
ASA II Pasien dengan penyakit Penyakit ringan tanpa ada Penyakit jantung kongenital asimptomatis, Kehamilan normal, hipertensi gestasional
sistemik ringan keterbatasan fungsi. Perokok aktif, dysrhitimia terkontrol, asma tanpa terkontrol tanpa gambaran yang berat, DM
peminum alkohol, hamil, obesitas eksaserbasi, epilepsi terkontrol, DM tanpa gestasional terkontrol dengan diet.
(30<BMI<40), DM dan Hipertensi insulin, persentil BMI for age abnormal,
terkontrol, penyakit paru ringan. ringan/sedang OSA, status remisi onkologi,
autisme dengan keterbatasan minimal.
ASA III Pasien dengan penyakit Keterbatasan fungsional yang Kelainan jantung kongenital stabil yang Preeklampsia dengan gambaran berat,
sistemik berat substansial; Satu atau lebih tidak dikoreksi, asma dengan eksaserbasi, DM gestasional dengan komplikasi atau
penyakit sedang hingga berat. DM epilepsi yang tidak terkontrol dengan kebutuhan insulin tinggi, penyakit
atau HTN yang tidak terkontrol baik, diabetes mellitus yang bergantung trombofilik yang membutuhkan
dengan baik, PPOK, obesitas pada insulin, obesitas yang tidak wajar, antikoagulan.
morbid (BMI ≥40), hepatitis aktif, malnutrisi, OSA berat, keadaan onkologis,
ketergantungan atau gagal ginjal, distrofi otot, fibrosis kistik,
penyalahgunaan alkohol, alat riwayat transplantasi organ, malformasi
pacu jantung implan, otak/sumsum tulang belakang,
pengurangan fraksi ejeksi sedang, hidrosefalus simtomatik, PCA bayi
ESRD menjalani dialisis terjadwal prematur <60 minggu, autisme dengan
secara teratur, riwayat (>3 bulan) keterbatasan berat, penyakit metabolik,
MI, CVA, TIA, atau CAD/stent. kesulitan jalan napas, nutrisi parenteral
jangka panjang. Bayi cukup bulan <6
minggu.
KLASIFIKASI ASA
ASA Definisi Contoh Dewasa : Contoh pediatrik : Contoh obstetrik :
ASA IV Pasien dengan penyakit Baru-baru ini (<3 bulan) MI, CVA, Kelainan jantung kongenital simtomatik, Preeklampsia dengan gambaran berat yang
sistemik berat yang TIA atau CAD/stent, iskemia jantung gagal jantung kongestif, gejala sisa aktif dipersulit oleh HELLP atau efek samping
menyebabkan ancaman yang sedang berlangsung atau prematuritas, ensefalopati hipoksikiskemik lainnya, kardiomiopati peripartum dengan
nyawa konstan disfungsi katup yang parah, akut, syok, sepsis, koagulasi intravaskular EF <40, penyakit jantung yang tidak
penurunan fraksi ejeksi yang parah, diseminata, cardioverterdefibrillator implan terkoreksi/dekompensasi, didapat atau
syok, sepsis, DIC, ARD atau ESRD otomatis, ketergantungan ventilator, bawaan.
yang tidak menjalani dialisis endokrinopati, trauma berat, gangguan
terjadwal secara teratur pernapasan berat, keadaan onkologi lanjut.
ASA V Pasien sekarat yang tidak Pecahnya aneurisma perut/toraks, Trauma masif, perdarahan intrakranial Ruptur urterin
diharapkan hidup tanpa trauma masif, perdarahan dengan efek massa, pasien yang
dilakukan operasi intrakranial dengan efek massa, membutuhkan ECMO, kegagalan atau henti
usus iskemik saat menghadapi napas, hipertensi maligna, gagal jantung
patologi jantung yang signifikan kongestif dekompensasi, ensefalopati
atau disfungsi banyak organ/sistem hepatik, usus iskemik atau disfungsi
organ/sistem multipel.
ASA VI Pasien yang sudah
dinyatakan mati batang
otak dan organnya
diambil untuk donor.
PREMEDIKASI
Studi menunjukan dengan kunjungan pranestesi dari ahli anestesi menunjukan hasil besar
dalam menurunkan ansietas pasien dibandingkan pemberian obat-obatan preoperative.
Namun, kadang obat-obatan dapat menolong dalam menurunkan ansietas pasien, seperti
pemberian midazolam oral atau intravena atau dexmedotomidine nasal yang umum
diberikan. Pada dewasa, sering diberikan midazolam 2-5 mg intravena setelah IV kateter
terpasang, pada prosedur yang lebih nyeri (regional blok atau central venous line)
dilakukan pada pasien yang sadar, pemberian opioid dosis rendah (biasanya fentanyl)
dapat diberikan. Pada pasien yang akan melakukan operasi pada jalan napas atau dengan
manipulasi jalan napas yang banyak dapat diberikan agen antikholinergik (glycopyrrolate
atau atropine) untuk mengurangi sekresi jalan napas sebelum dan saat operasi. Pada
pasien yang diperkirakan akan mengalami nyeri hebat setelah operasi dapat diberikan
analgesic multimodalitas dengan mengkobinasikan NSAID, acetaminophen,
gabapentineoid dan obat anti-emetik di area preoperative. Penting diperhatikan obat
premedikasi diberikan sesuai kebutuhan dan bukan hanya sebagai rutinitas

Anda mungkin juga menyukai