Anda di halaman 1dari 48

Kunjungan Pre-

Anestesi
PENDAHULUAN
 Kunjungan pra-anestesi  kunjungan yang dilakukan sebelum
dilakukan tindakan sedasi dan pembedahan
 Tujuan  mendeteksi dan menilai kondisi kesehatan pasien dan
mengoptimalkan kondisi pasien sebelum dilakukan tindakan
pembedahan
LATAR  Hal yang perlu diperhatikan sebelum kunjungan anestesi:
BELAKANG - Memastikan kelengkapan dokumentasi, pemeriksaan fisik
dan laboratorium, persiapan pasien secara fisik dan mental
- Mengevaluasi masalah-masalah yang mungkin muncul saat
dilakukan anestesi, menilai risiko, persiapan operasi dengan
rencana teknik anestesi yang akan dilakukan dan rencana
perawatan pasca operatif yang akan diberikan
 American Society of Anestheologists pada tahun 2020  sistem
klasfikasi terhadap status fisik pasien sebelum dilakukan anestesi
 membantu memprediksi risiko dalam perioperatif
 Selain itu, kunjungan praanestesi dapat menurunkan ansietas
pasien maupun keluarga pasien sebelum operasi dibantu dengan
pemberian premedikasi seperti midazolam terhadap pasien-
pasien yang mengalami ansietas tinggi dan pemberian analgesic
kombinasi pada pasien yang diperkirakan mengalami nyeri hebat
pascaoperasi.
BATASAN Makalah ini membahas mengenai
MASALAH definisi, tujuan, evaluasi, klasifikasi ASA
persiapan, dan medikasi pra-anestesi.

Tujuan pembuatan makalah ini adalah


TUJUAN mempelajari dan memahami mengenai
PENULISAN definisi, tujuan, evaluasi, klasifikasi ASA,
persiapan dan medikasi pra-anestesi

METODE Referat ini merupakan tinjauan


PENULISAN kepustakaan yang merujuk kepada
berbagai literatur.
TINJAUAN PUSTAKA
Kunjungan pra-anestesi adalah kunjungan yang dilakukan sebelum
dilakukan tindakan sedasi dan pembedahan yang memiliki tujuan
mendeteksi dan menilai kondisi kesehatan pasien dan
mengoptimalkan kondisi pasien sebelum dilakukan tindakan
DEFINISI pembedahan.1 Penting diketahui melakukan kunjungan anestesi
bukan untuk melihat apakah seorang diperbolehkan dilakukan
operasi atau bukan namun untuk menilai kondisi pasien dan bila
perlu menerapkan langkah-langkah untuk mempersiapkan pasien-
pasien dengan risiko tinggi untuk dilakukan operasi.
Beberapa tujuan dari evaluasi preoperative adalah sebagai
berikut :4,5
1. Mengidentifikasi pasien yang hasilnya lebih baik apabila
pengobatan lain yang spesifik dilakukan lebih dahulu.
2. Mengidentifikasi pasien yang kondisinya buruk yang mana
TUJUAN apabila dilakukan tidakan operasi yang direncanakan akan
mempercepat kematian tanpa memperbaiki quality of life.
3. Menentukan rencana anestesi yang akan diberikan.
4. Untuk menilai pasien dalam perkiraan risiko anestesi seperti
komplikasi kardiovaskular dan pulmonal.
5. Mengurangi ansietas pasien dan keluarga melalui edukasi
6. Menentukan pemeriksaan lebih lanjut dan memberikan
intervensi untuk mengurangi risiko komplikasi.
7. Mendiskusikan kepada pasien mengenai perawatan
perioperative (risiko yang diantisipasi, pedoman puasa)
8. menentukan perawatan post operative (HCU atau ICU) apabila
pasien diperkirakan memberikan hasil buruk perioperative.
TUJUAN 9. Memberikang peluang untuk dokter anestesi untuk
menjelaskan rencana anestesi secara menyeluruh dari rencana
bedah hingga pasca operasi, memberikan dukungan psikologis
kepada pasien, dan mendapatkan persetujuan berdasarkan
informasi untuk rencana anestesi yang diberikan.
a. Anamnesis
Pemeriksaan b. Pemeriksaan fisik

Klinis c. Pemeriksaan penunjang


 Dimulai dari identitas pasien sendiri, rencana operasi yang akan dilakukan
dan indikasinya.
 Terapi-terapi yang telah didapat.
 Riwayat penyakit lain, riwayat operasi, tipe anestesi yang didapat serta
ANAMNESIS komplikasi anestesi yang terjadi pada tindakan sebelumnya.
 Menanyakan penyakit-penyakit yang dialami seperti hipertensi, diabetes
melitus, penyakit jantung iskemik, sesak napas, dan nyeri dada tidak
cukup sehingga perlu ditanyakan seberapa berat, seberapa stabil, apakah
ada keterbatasan aktivitas, yang memperburuk, terapi yang sudah
didapat, dan intervensi yang direncanakan perlu dicatat jelas.
 Tinjauan ringkas tentang sistem organ perlu ditanyakan, seperti apakah
pasien memiliki masalah pada jantung, paru, ginjal, atau sarafnya.
 Terakhir, rekam medis dari dokter layanan primer, spesialis atau saat rawat
ANAMNESIS inap perlu didapatkan untuk melihat apakah ada masalah-masalah yang
pasien tidak ingat.

 TANDA VITAL
 Tekanan darah
 Denyut nadi
Pemeriksaan  Frekuensi napas

Fisik  Saturasi oksigen


 Tinggi badan
 Berat badan
 BMI
 Inspeksi wajah dan leher
Penilaian jalan  Asessmen pembukaan mulut

napas  Evaluasi anatomis orofaringeal dan gigi


 Submandibular
 Klasifikasi Mallampati :
 Mallampati 1 : Palatum mole, uvula,
dinding posterior oropharing, pilar tonsil
 Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian
uvula, dinding posterior uvula
 Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
 Mallampati 4 : Palatum durum saja
Skor mallapati  Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II
saluran napas umumnya diperkirakan
mudah intubasi, sedangkan kelas III dan
IV terkadang sulit.
 L : Look externally for abnormal anatomy/body habitus/facies
 E : Evaluate using the 3-3-2 rule
 3 → pembukaan mulut antara gigi insisivus superior dan interior lebih
dari 3 jari
 3 → 3 jari dibawah mandibula (ujung rahang) untuk menilai jarak
submandibular sampai permulaan leher
 2 → 2 jari antara penonjolan tiroid sampai bawah mandibula (permulaan
leher)

LEMON  M : Mallampati
 Terdapat 4 kelas, sesuai penjelasan diatas.
 O : Obstruction
 Apakah terdapat sumbata, baik seperti benda asing, ataupun tumor,
abses, dan lainlain
 N : Neck
 Apakah ada gangguan pada gerak leher pasien, baik kekakuan atau
setelah trauma servikal.
 Suatu penelitian di Prancis pada tahun 2000 menyatakan predictor sulitnya
ventilasi adalah pasien usia diatas 55 tahun, BMI besar dari 26 kg/m 2, gigi
yang hilang, dan riwayat mendengkur.

 Penelitian di Amerika yang menyatakan pasien dengan usia diatas 57


tahun, BMI 30 kg/m2, skor mallapati III atau IV, protusi mandibular sangat
terbatas, dan riwayat mendengkur.
Faktor lain  pasien dengan lingkar leher meningkat,

yang mungkin  deformitas wajah dan leher (setelah operasi, radiasi, trauma atau
kongenital),
meningkatkan  rheumatoid arthritis,
risiko sulit  down syndrome,

ventilasi  penyakit servikal dan riwayat operasi servikal sebelumnya.


PEMERIKSAAN
LABORATORIUM
 National Institute for Health and Care Excellence (NICE)
mengeluarkan pedoman pada tahun 2016 mengenai pemeriksaan
rutin pra operatif untuk operasi elektif dimana memperhatikan
NICE 2016 status medis pasien preoperatif dan seberapa ekstensif suatu
operasi yang direncakan untuk menentukan kapan pemeriksaan
pra operasi dibutuhkan
 Prosedur operasi dibagi menjadi : Minor, Intermediet dan Major
 Bisanya indikasinya adalah riwayat berdarah banyak, penyakit hematologi,
Hitung jenis CKD, penyakit hati kronis, riwayat kemoterapi dan radioterapi, terapi
kortikosteroid, terapi koagulan, dan status nutrisi yang buruk.
darah, hb dan  Pedoman NICE merekomendasikan pemeriksaan hanya pada pasien
ht dengan ASA 3 dan 4 yang melakukan operasi intermediet dan semua pasien
yang akan melakukan tindakan operasi mayor.
 Pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai fungsi tubular renal dan filtrasi
glomerulus.
 Indikasinya meliputi : diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung,
kemungkinan dehidrasi (muntah, diare), anoreksia, bulimia, kondisi cairan
overload (asites), penyakit ginjal yang sudah ada, penyakit hati, riwayat
kemoterapi dan transplantasi ginjal.
 Pedoman NICE merekomendasikan pemeriksaan rutin fungsi renal pada
Fungsi renal pasien dengan ASA 3 dan 4 yang melakukan operasi intermediet dan pasien
ASA 2, 3 dan 4 yang akan melakukan tindakan operasi mayor.
 Jika pasien memiliki risiko mengalami AKI perioperatif makan dipikirkan
pemeriksaan pada pasien dengan ASA 3 dan 4 yang akan melakukan
prosedur minur dan pasien ASA 2 yang melakukan prosedur intermediet.
 Pemeriksaan fungsi hati harus berdasarkan riwayat kerusakan ginjal dan
penemuan dari pemeriksaan fisik.
 Indikasi primer termasuk adanya riwayat hepatitis (viral, alkohol, obat-
Fungsi hati obatan, autoimun), jaundice, sirosis, hipertensi porta, penyakit billier,
penyakit empedu, eksposur obat-obatan hepatotoksik, tumor hati dan
kelainan pendarahan.
 tidak diindikasikan kecuali seorang pasien diketahui atau dicurigai dengan
koagulopati.
 Indikasi primer untuk pemeriksaan adalah telah diketahui adanya gangguan
Pemeriksaan pendarahan, penyakit hati, dan penggunaan antikoagulan.
 NICE guidelines 2016 menyatakan pemeriksaan koagulasi dilakukan pada
koagulasi pasien dengan ASA 3 dan 4, akan melakukan tindakan intermediet, mayor
atau prosedur medis yang kompleks, dan diketahui menggunakan obat-
obatan antikoagulan atau memiliki penyakit hati kronis.
 Tidak ada indikasi untuk pemeriksaan urianalisis pra operasi.
 Indikasi untuk dilakukan apabila seseorang dicurigai mengalami infeksi
urianalisis saluran kemih dan mengalami demam atau meriang yang tidak diketahui
penyebabnya.
 Tes kehamilan biasanya tergantung protokol rumah sakit masing-masing.
 NICE guideline merekomendasikan untuk menayakan semua wanita usia

Tes kehamilan subur apakah ada kemungkinan mereka sedang hamil dan semua wanita
yang hamil diberikan penjelasan mengenai risiko anestesi dan operasi
terhadap fetusnya.
 NICE 2026 merekomendasikan untuk tidak melakukan pemeriksaan sickle
cell secara rutin preopertif.
 Secara umum dilakukan pemeriksaan pada orang yang sebelumnya tidak
Tes sickle cell pernah dites namun memiliki risiko etnik dan memiliki indikasi klinis, baik
terkait dengan pasien sendiri atau pun terkait dengan tindakan operasi
sendiri.
 EKG sebelum operasi tidak memberikan informasi lebih mengenai
prognosis dari pasien dengan risiko komplikasi kardiak post operatif.
 Indikasi primer untuk pemeriksaan EKG preoperatif biasanya adanya
riwayat IHD, hipertensi, diabetes melitus, gagal jantung, nyeri dada,
elekTROKARD palpitasi, murmur, edema perifer, syncope, dan CVD.
 NICE guidelines merekomendasikan pemeriksaan rutin ECG dilakukan
IOGRAM pada pasien dengan ASA3 dan 4 yang akan melakukan prosedur
(EKG) intermediet,
 dengan ASA 2, 3, dan 4 pada pasien yang melakukan tindakan mayor.
 Jika pasien tesebut memiliki penyakit kardiovaskular, CKD, atau diabetes
melitus pemeriksaan dilakukan pada pasien ASA 2 yang akan melakukan
tindakan intermediet.
 Pemeriksaan foto polos tidak memberikan informasi risiko perioperatif
pada pasien sehingga tidak perlu dilakukan secara rutin.
X-RAY  Indikasi dikerjakan apabila ditemukan kelainan-kelainan seperti COPD,
THORAX bullous lung disease, dicurigai edema paru, pneumonia, massa
mediastinum dan ditemukan temuan-temuan saat pemeriksaan fisik
(contoh: deviasi trakea)
EVALUASI
Pedoman untuk penilaian preoperative secara rutin diperbarui oleh
American College of Cardiology/American Heart Association dan
GANGGUAN dari European Society of Cardiology. Fokus penting saat
mengevaluasi kondisi kardiovaskular pasien sebelum operasi adalah
KARDIOVASK menilai apakah pasien mendapatkan keuntungan lebih apabila
dilakukan pemeriksaan jantung lebih lanjut atau mendapatkan
ULAR intervensi yang diberikan sebelum operasi yang direncakan.
 Komplikasi paru di perioperatif paling sering adalah depresi napas pasca
operasi dan gagal napas, terutama pada orang yang dengan obesitas dan
obstructive sleep apnea. Panduan dari American Colleg of Physicians
menyatakan pasien dengan usia diatas 60 tahun, dengan penyakit paru
obstruktif kronis, tolerasi olahraga sangat kurang, dengan
ketergantungan fungsional, atau dengan gagal jantung memiliki potensi
untuk intervesi pra dan pasca operasi untuk menghindari komplikasi
pernapasan.

GANGGUAN  Selain faktor-faktor tersebut pasien dengan ASA 3 dan 4, merokok,


operasi yang berlangsung lebih dari 4 jam, jenis operasi tertentu
PULMONAL (abdominal, toraks, aneurisma aorta, kepala dan leher, dan operasi
emergensi) serta anestesi umum dapat meningkatkan kompilkasi
pernapasan pasca operasi. Pada pasien asma, terutama yang menerima
pengobatan suboptimal memiliki risiko lebih besar untuk bronkospasme
selama manipulasi jalan napas.
 Prevensi yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi jumlah rokok
dikonsumsi beberapa minggu sebelum operasi dan teknik ekspansi paru
(spirometry insentif) setelah operasi. Penggunaan analgesi dan
pemantauan yang tepat adalah strategi utama untuk menghindari depresi
napas terutama pada pasien dengan sleep apnea.
Praktis yang biasa dilakukan pada pasien diabetes adalah dengan
GANGGUAN memeriksakan kadar gula darah di pagi hari sebelum dilakukan
operasi elektifnya. Sayangnya, banyak pasien diabetes tidak
ENDOKRIN memiliki kadar gula pada rentang yang diharapkan. Pasien lain juga
banyak yang tidak mengetahui bahwa mereka mengidap diabetes
DAN tipe 2 juga muncul dengan kadar gula yang tinggi. Operasi elektif
hendaknya diundur apabila pasien dengan hiperglikemia.
METABOLIK
 Gangguan koagulasi yang penting diperhatikan ; (1) bagaimana
menatalaksana pasien yang menggunakan warfarin atau
antikoagulan lain dalam jangka waktu panjang, (2) bagaimana
mentalaksana pasien dengan penyakit arteri coroner yang
menggunakan clopidogrel atau agen terkait, (3) apakah seseorang
dapat memberikan anestesi neuraxial kepada pasien dengan
terapi antikoagulan jangka panjang atau menerima antikoagulan
GANGGUAN sebelum operasi.
 Pada kasus pertama, pada pasien dengan tindakan operasi major
KOAGULASI perlu penghentian penggunaan antikoagulan untuk menghindari
kehilangan darah massif. Perlu didiskusikan berapa lama oba
harus dihentikan dan apakah pasien memerlukan terapi “bridging”
dengan agen rentang pendek lain. Pasien dengan risio tinggi
thrombosis perlu dikonsultasikan ulang mengenai penghentian
obat namun pasien dengan risiko rendah dapat menghentikan
antikoagulan sebelum operasi dan dilanjutkan kembali setelah
operasi berhasil.
 Clopidogrel dan agen serupa sering diberikan dengan aspirin
(disebut terapi antiplatelet ganda) kepada pasien dengan penyakit
arteri koroner yang telah menerima stenting intrakoroner.
Langsung setelah stenting, pasien tersebut berada pada
peningkatan risiko infark miokard akut jika clopidogrel dan aspirin
tiba-tiba dihentikan. Oleh karena itu, pedoman saat ini
merekomendasikan menunda semua kecuali operasi wajib sampai
pukul setidaknya 1 bulan setelah intervensi koroner dan
GANGGUAN menyarankan bahwa pilihan pengobatan selain drugeluting stent
(yang akan membutuhkan dual terapi antiplatelet) digunakan
KOAGULASI pada pasien diharapkan menjalani prosedur pembedahan dalam
waktu 12 bulan setelahnya intervensi (misalnya, pasien dengan
penyakit coroner yang juga menderita kanker usus besar yang
dapat dioperasi).
 Untuk kasus terakhir apakah aman memberikan anesthesia
regional terhadap pasien dalam terapi antikoagulan masih dalam
perdebatan. American Society of Regional Anesthesia and Pain
Medicine masih terus memperbarui panduan mengenai topik ini.
Aspirasi isi lambung sudah dikenal sebagai komplikasi paru yang
berat saat memberikan anestesi. Risiko akan meningkat pada:
wanita hamil trisemester kedua dan ketiga, orang yang tidak
berpuasa sebelumnya dan pasien dengan gastroesophageal reflux
disease (GERD) yang berat. Pada wanita hamil dan pasien yang
GANGGUAN makan terakhir kurang dari 6 jam harus diperlakukan seolah mereka
memiliki perut “penuh” dimana saat ini masih banyak perdebatan
GASTROINTE mengenai topik ini. Untuk saat ini disarankan berpuasa 8 jam
setelah makan besar, 6 jam setelah makan makanan biasa, 2 jam
STINAL setelah minum air putih. Pasien dengan riwayat GERD disarankan
untuk memberikan terapi pada pasien yang menunjkan gejala GERD
beberapa kali dalam seminggu dengan obat-obatan seperti antacid
tidak berpartikel seperti sodium sitrat dan teknik intubasi
menggunakan intubasi trakea dibandingkan dengan laryngeal mask
airway (LMA).
KLASIFIKASI
ASA
Klasifikasi status fisik oleh ASA (American Society of
Anestheologysts) telah digunakan selama lebih dari 60 tahun.
KLASIFIKASI Tujuannya adalah untuk menilai dan mengkomunikasikan kondisi
ASA komorbid pasien sebelum di anestesi. Hanya dengan sistem
kalsifikasi ini bukanlah untuk memprediksi risiko perioperatif, tapi
dapat membantu untuk memprediksi risiko perioperative.
ASA Definisi Contoh Dewasa : Contoh pediatrik : Contoh obstetrik :
ASA I Pasien sehat Sehat, tidak merokok, Sehat (tidak ada penyakit
normal tidak atau minimal akut atau kronik), persentil
konsumsi alkohol BMI to age normal
ASA II Pasien dengan Penyakit ringan tanpa Penyakit jantung Kehamilan normal,
penyakit ada keterbatasan kongenital asimptomatis, hipertensi gestasional
sistemik ringan fungsi. Perokok aktif, dysrhitimia terkontrol, terkontrol tanpa gambaran
peminum alkohol, asma tanpa eksaserbasi, yang berat, DM gestasional
hamil, obesitas epilepsi terkontrol, DM terkontrol dengan diet.
(30<BMI<40), DM dan tanpa insulin, persentil BMI
Hipertensi terkontrol, for age abnormal,
penyakit paru ringan. ringan/sedang OSA, status
remisi onkologi, autisme
dengan keterbatasan
minimal.
ASA Definisi Contoh Dewasa : Contoh pediatrik : Contoh obstetrik :
ASA III Pasien dengan Keterbatasan fungsional yang Kelainan jantung kongenital stabil Preeklampsia dengan gambaran
penyakit sistemik substansial; Satu atau lebih yang tidak dikoreksi, asma dengan berat, DM gestasional dengan
berat penyakit sedang hingga berat. eksaserbasi, epilepsi yang tidak komplikasi atau kebutuhan insulin
DM atau HTN yang tidak terkontrol dengan baik, diabetes tinggi, penyakit trombofilik yang
terkontrol dengan baik, mellitus yang bergantung pada membutuhkan antikoagulan.
PPOK, obesitas morbid (BMI insulin, obesitas yang tidak wajar,
≥40), hepatitis aktif, malnutrisi, OSA berat, keadaan
ketergantungan atau onkologis, gagal ginjal, distrofi otot,
penyalahgunaan alkohol, alat fibrosis kistik, riwayat transplantasi
pacu jantung implan, organ, malformasi otak/sumsum
pengurangan fraksi ejeksi tulang belakang, hidrosefalus
sedang, ESRD menjalani simtomatik, PCA bayi prematur <60
dialisis terjadwal secara minggu, autisme dengan
teratur, riwayat (>3 bulan) MI, keterbatasan berat, penyakit
CVA, TIA, atau CAD/stent. metabolik, kesulitan jalan napas,
nutrisi parenteral jangka panjang.
Bayi cukup bulan <6 minggu.
ASA Definisi Contoh Dewasa : Contoh pediatrik : Contoh obstetrik :
ASA IV Pasien dengan Baru-baru ini (<3 bulan) Kelainan jantung kongenital Preeklampsia dengan
penyakit sistemik MI, CVA, TIA atau simtomatik, gagal jantung gambaran berat yang dipersulit
berat yang CAD/stent, iskemia kongestif, gejala sisa aktif oleh HELLP atau efek samping
menyebabkan jantung yang sedang prematuritas, ensefalopati lainnya, kardiomiopati
ancaman nyawa berlangsung atau hipoksikiskemik akut, syok, peripartum dengan EF <40,
konstan disfungsi katup yang sepsis, koagulasi intravaskular penyakit jantung yang tidak
parah, penurunan fraksi diseminata, terkoreksi/dekompensasi,
ejeksi yang parah, syok, cardioverterdefibrillator implan didapat atau bawaan.
sepsis, DIC, ARD atau otomatis, ketergantungan
ESRD yang tidak ventilator, endokrinopati,
menjalani dialisis trauma berat, gangguan
terjadwal secara teratur pernapasan berat, keadaan
onkologi lanjut.
ASA Definisi Contoh Dewasa : Contoh pediatrik : Contoh obstetrik :

ASA V Pasien sekarat Pecahnya aneurisma Trauma masif, perdarahan Ruptur urterin
yang tidak perut/toraks, trauma intrakranial dengan efek massa,
diharapkan hidup masif, perdarahan pasien yang membutuhkan
tanpa dilakukan intrakranial dengan efek ECMO, kegagalan atau henti
operasi massa, usus iskemik saat napas, hipertensi maligna,
menghadapi patologi gagal jantung kongestif
jantung yang signifikan dekompensasi, ensefalopati
atau disfungsi banyak hepatik, usus iskemik atau
organ/sistem disfungsi organ/sistem
multipel.
ASA VI Pasien yang
sudah dinyatakan
mati batang otak
dan organnya
diambil untuk
donor.
Studi menunjukan dengan kunjungan pranestesi dari ahli anestesi
menunjukan hasil besar dalam menurunkan ansietas pasien
dibandingkan pemberian obat-obatan preoperative. Namun,
kadang obat-obatan dapat menolong dalam menurunkan ansietas
pasien, seperti pemberian midazolam oral atau intravena atau
dexmedotomidine nasal yang umum diberikan. Pada dewasa, sering
diberikan midazolam 2-5 mg intravena setelah IV kateter terpasang,
pada prosedur yang lebih nyeri (regional blok atau central venous
line) dilakukan pada pasien yang sadar, pemberian opioid dosis
PREMEDIKASI rendah (biasanya fentanyl) dapat diberikan. Pada pasien yang akan
melakukan operasi pada jalan napas atau dengan manipulasi jalan
napas yang banyak dapat diberikan agen antikholinergik
(glycopyrrolate atau atropine) untuk mengurangi sekresi jalan napas
sebelum dan saat operasi. Pada pasien yang diperkirakan akan
mengalami nyeri hebat setelah operasi dapat diberikan analgesic
multimodalitas dengan mengkobinasikan NSAID, acetaminophen,
gabapentineoid dan obat anti-emetik di area preoperative. Penting
diperhatikan obat premedikasi diberikan sesuai kebutuhan dan
bukan hanya sebagai rutinitas
KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai