Anda di halaman 1dari 34

Case Report Session

Kejahatan Seksual

Oleh:
Nadia Fathika Alyssa Rachman 1940312098
Wulandari Taradita 1840312463
Yesti Hanifah 1940312097
Rahmatul Firdausty 1940312096
Ririn Putrinaldi 1940312094
Qarirah Summayah Indrapati 1840312607
Fakhriyyatur Rahmi M 1940312036
Adis Novilia 1940312004

Preseptor :
Dr. dr. Rika Susanti, Sp. F

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


RSUP DR M.DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah


SWT dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas case report dengan judul “Kejahatan
Seksual” yang merupakan salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Dalam usaha penyelesaian tugas case report ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Dr. dr. Rika Susanti, Sp.F selaku
pembimbing dalam penyusunan tugas ini.
Kami menyadari bahwa di dalam penulisan ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua saran dan
kritik yang membangun guna penyempurnaan tugas case report ini. Akhir kata,
semoga case report ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Padang, 16 Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................4
1.2 Batasan Masalah....................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................................5
1.4 Metode Penulisan...................................................................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................6
2.1 Definisi Kejahatan Seksual..........................................................................................6
2.2 Epidemiologi.................................................................................................................6
2.3 Klasifikasi.....................................................................................................................9
2.4 Pemeriksaan Korban Kejahatan Seksual.................................................................16
2.4.1 Anamnesis............................................................................................................16
2.4.2 Pemeriksaan Luar...............................................................................................17
2.4.3 Barang Bukti........................................................................................................19
2.4.4 Pemeriksaan Laboratorium 12............................................................................19
2.5 Aspek Medikolegal.....................................................................................................21
2.5.1 Sodomi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).................21
2.5.2 Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak (UUPA)........................................................................................22
BAB 3 LAPORAN KASUS..................................................................................................24
BAB 4 DISKUSI DAN PEMBAHASAN............................................................................27
4.1 Diskusi.........................................................................................................................27
4.1.1 Hasil Pemeriksaan...............................................................................................27
4.2 Kesimpulan.................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................31
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kekerasan atau pelecehan seksual merupakan perilaku terkait dengan seksualitas
yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lainnya
yang baik secara verbal maupun fisik merujuk pada seks. Kejahatan seksual adalah perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang menimbulkan kepuasan seksual bagi
dirinya dan mengganggu kehormatan orang lain.1
Pada setiap berita di media elektronik maupun media cetak selalu terdapat kasus
mengenai kekerasan seksual terhadap anak maupun prang dewasa dengan motif kejahatan
yang dilakukan dengan berbagai macam cara. Terhadap gejala kekerasan seksual yang terjadi
di masyarakat, Ratna Megawati dalam bukunya yang berjudul “Budaya kekerasan dalam
Perspektif keseimbangan Kualitas Gender” menjelaskan bahwa didalam sebuah masyarakat
modern terdapat berbagai macam permasalahan sosial, yaitu mulai longgarnya ikatan
kekeluargaan, persaingan tidak sehat, rusaknya lingkungan hidup, menurunnya solidaritas
sosial dan meningkatnya kriminalitas.2
Menurut Cacatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan pada tahun 2016 bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan dalam ranah
personal menduduki peringkat kedua (30%) pada kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sedangkan pada tahun 2015 dan 2014 kekerasan seksual ini berada pada peringkat ketiga
(26%). Bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah perkosaan (72%) dan pencabulan (18%),
kemudian disusul pelecehan seksual (5%) dan kekerasan seksual lain (3,5%), dan lain lain.
Dalam ranah komunitas, kekerasan seksual terhadap perempuan menguat pada tahun 2015
sebesar 61% dari 56% pada tahun 2014.3
Kejahatan seksual sering kali menimbulkan dampak yang menyebabkan korban
mengalami trauma psikologis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Akan tetapi kasus
kejahatan seksual sering tidak terungkap karena biasanya terdapat penyangkalan sehingga
susah terdeteksi. Apabila kasus ini ditemukan pada anak-anak akan lebih sulit, karena anak-
anak sebagai korban tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban. Kemudian setelah itu
korban akan menjadi sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa
pelecehan seksualnya.4
Di Indonesia perkara yang berkaitan dengan kriminal dan kejahatan asusila
diputuskan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP yang diadopsi dari
hukum Belanda. Meskipun demikian, berkaitan dengan perkara pelecehan seksual dengan
ketentuan sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP dinilai belum memadai, bahkan istilah
pelecehan seksual tidak ditemukan dalam KUHP. Dalam KUHP hanya mengenal istilah
perbuatan cabul yang diatur dalam pasal 289 sampai pasal 296 KUHP, yang dijelaskan
sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya
masuk ke dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.5
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas dan
melaporkan kasus kejahatan seksual sebagai dasar dalam menerapkan ilmu kedokteran
forensik kedepannya.

1.2 Batasan Masalah


Batasan masalah dalam makalah ini antara lain membahas ilustrasi kasus,
definisi, klasifikasi, aspek hukum kejahatan seksual, pemeriksaan luar, dan
pemeriksaan dalam.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang
ilustrasi kasus, definisi, klasifikasi, aspek hukum kejahatan seksual, pemeriksaan luar,
dan pemeriksaan dalam.

1.4 Metode Penulisan


Makalah ini disusun berdasarkan studi kepustakaan yang merujuk pada berbagai
literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kejahatan Seksual


Kejahatan seksual merupakan semua tindakan seksual, percobaan tindakan seksual,
komentar yang tidak diinginkan, perdagangan seks, dengan menggunakan paksaan hubungan
seksual, secara tidak wajar dan atau tidak disukai, untuk tujuan komersial dan atau tujuan
tertentu yang menimbulkan kepuasan seksual bagi dirinya dan mengganggu kehormatan
orang lain tanpa memandang hubungan dengan korban, dalam situasi apapun, tidak terbatas
pada rumah dan pekerjaan.6,7

2.2 Epidemiologi
Angka kekerasan seksual pada anak dan perempuan meningkat setiap tahun.
Catatan tahunan komnas perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan dalam
tiga ranah yaitu ranah personal/privat, ranah publik/komunitas, dan ranah negara. Di
ranah personal atau privat, catatan tahunan 2019 komnas perempuan mencatat bahwa
persentase kekerasan seksual yang terjadi sebesar 31% (2.988 kasus), dimana incest
(pelaku orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga) paling banyak
dilaporkan yaitu 1.071 kasus, kedua adalah kasus perkosaan sebanyak 818 kasus,
kemudian pencabulan sebanyak 321 kasus.8
Gambar 2.2.1 Bentuk kekerasan seksual di ranah privat1

Pelaku kekerasan seksual di ranah privat/pesonal tertinggi adalah pacar sebanyak


1.670 orang, diikuti oleh ayah kandung sebanyak 365 orang, kemudian di peringkat
ketiga dalah paman sebanyak 306 orang. Banyaknya pelaku ayah kandung dan
paman selaras dengan meningkatnya kasus incest.8
Gambar 2.2.2 Pelaku kekerasan seksual ranah privat/personal8

Pada ranah publik/ komunitas kasus kekerasan seksual menempati peringkat


pertama diantara kekerasan yang terjadi yaitu sebanyak 2.521 kasus (64%), dimana
kekerasan seksual yang banyak terjadi adalah pencabulan 1.136 kasus, perkosaan 765
kasus, dan pelecehan seksual 394 kasus.8

Gambar 2.2.3 Kekerasan seksual di ranah publik/komunitas8

Pelaku kekerasan seksual diranah komunitas paling banyak dilakukan oleh tetangga,
teman dan orang lain (orang yang bukan keluarga atau bukan yang terdekat tetapi
masih bertemu dalam sebuah lingkungan). Pada ranah negara dari sebanyak 16 kasus
kekerasan , 8 diantaranya kasus pelecehan seksual oleh satpol PP 8

Gambar 2.2.3 pelaku kekerasan seksual ranah komunitas8

Menurut data KPAI tahun 2018, kasus Anak Berhadapan dengan Hukum
(ABH) masih menduduki urutan pertama, yaitu mencapai 1.434 kasus, didominasi
kasus kekerasan seksual yang mana laki-laki mendominasi sebagai pelaku
dibandingkan dengan anak perempuan, pelaku laki-laki berjumlah 103, sedangkan
pelaku berjenis kelamin perempuan berjumlah 58 anak. ABH sebagai korban juga
masih didominasi oleh kasus kekerasan seksual. Korban didominasi berjenis kelamin
perempuan yaitu berjumlah 107 korban dan laki-laki berjulah 75 korban.9

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi kejahatan seksual didalam KUHP, terdiri atas :

1. Perzinahan
Laki-laki bersetubuh dengan wanita (suka sama suka), dimana salah satu
atau keduanya memiliki ikatan perkawinan.10
2. Perkosaan
Laki-laki menyetubuhi perempuan bukan istrinya, dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan.10
3. Persetubuhan dengan perempuan tidak berdaya
Laki- laki menyetubuhi perempuan bukan istrinya yang diketahui dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya.10
4. Persetubuhan dengan anak
Laki-laki yang menyetubuhi wanita dibawah umur. 10
5. Persetubuhan dalam perkawinan
Laki-laki yang menyetubuhi perempuan yang merupakan istrinya yang
belum pantas di kawin. 10
6. Pencabulan
Semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan
seksual sekaligus menganggu kehormatan kesusilaan. 10

Klasifikasi kejahatan seksual berdasarkan komnas perempuan dari hasil


pemantauannya selama 15 tahun (1998-2013) :

1. Perkosaan;

Perkosaan merupakan pemaksaan hubungan seksual dengan


memasukkan penis ke vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga
menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan
dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis,
penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari
lingkungan yang penuh paksaan. 11

Pencabulan adalah istilah lain dari perkosaan yang dikenal dalam


sistem hukum Indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan dilakukan
diluar pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan
seksual pada orang yang belum mampu memberikan persetujuan secara utuh,
misalnya terhadap anak atau seseorang di bawah 18 tahun. 11

2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan

Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut


atau penderitaan psikis pada korban. Intimidasi seksual bisa disampaikan
secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-
lain. Ancaman atau percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual.
11

3. Pelecehan Seksual

Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan


sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Termasuk menggunakan
siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi
pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh,
gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak
nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai
menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. 11
4. Eksploitasi Seksual

Tindakan penyalahgunaan kekuasan yang timpang, atau


penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk
memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya.
Praktik eksploitasi seksual yang sering ditemui adalah menggunakan
kemiskinan sehingga ia masuk dalam prostitusi atau pornografi. Praktik
lainnya adalah tindakan mengimingimingi perkawinan untuk memperoleh
layanan seksual dari perempuan, lalu ditelantarkankan. Situasi ini kerap
disebut juga sebagai kasus “ingkar janji”. Imingiming ini menggunakan cara
pikir dalam masyarakat, yang mengaitkan posisi perempuan dengan status
perkawinannya. Perempuan menjadi merasa tak memiliki daya tawar, kecuali
dengan mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi. 11

5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual

Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim,


memindahkan, atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan, penjeratan hutang atau
pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara langsung maupun
orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi
seksual lainnya. Perdagangan perempuan dapat terjadi di dalam negeri
maupun antar negeri. 11
6. Prostitusi Paksa

Situasi di mana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun


kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa
rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk
melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan
utang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa memiliki beberapa
kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual atau dengan
perdagangan orang untuk tujuan seksual. 11
7. Perbudakan Seksual

Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban


sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan
seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan
ini mencakup situasi dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa
menikah, melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, serta
berhubungan seksual dengan penyekapnya. 11
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung

Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual


karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari
perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut. Ada beberapa
praktik di mana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri.
Pertama, ketika perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali
mengikuti kehendak orang tuanya agar dia menikah, sekalipun bukan dengan
orang yang dia inginkan atau bahkan dengan orang yang tidak dia kenali.
Situasi ini kerap disebut kawin paksa. Kedua, praktik memaksa korban
perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan itu dianggap mengurangi aib akibat
perkosaan yang terjadi. Ketiga, praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan
dipaksa untuk terus berada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin
bercerai. Namun, gugatan cerainya ditolak atau tidak diproses dengan
berbagai alasan baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Keempat,
praktik “Kawin Cinta Buta”, yaitu memaksakan perempuan untuk menikah
dengan orang lain untuk satu malam dengan tujuan rujuk dengan mantan
suaminya setelah talak tiga (cerai untuk ketiga kalinya dalam hukum Islam).
Praktik ini dilarang oleh ajaran agama, namun masih ditemukan di berbagai
daerah. 11
9. Pemaksaan Kehamilan

Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun


ancaman kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki.
Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak
diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya. Juga, ketika suami
menghalangi istrinya untuk menggunakan kontrasepsi sehingga perempuan
itu tidak dapat mengatur jarak kehamilannya. Pemaksaan kehamilan ini
berbeda dimensi dengan kehamilan paksa dalam konteks kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam Statuta Roma, yaitu situasi pembatasan secara melawan
hukum terhadap seorang perempuan untuk hamil secara paksa, dengan
maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu populasi atau untuk
melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya. 11

10. Pemaksaan Aborsi

Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan,


ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. 11
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;

Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau


pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak
mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak mengerti hukum
untuk dapat memberikan persetujuan. Pada masa Orde Baru, tindakan ini
dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, sebagai salah satu
indikator keberhasilan pembangunan. Sekarang, kasus pemaksaan
pemaksaan kontrasepsi/ sterilisasi biasa terjadi pada perempuan dengan
HIV/AIDS dengan alasan mencegah kelahiran anak dengan HIV/AIDS.
Pemaksaan ini juga dialami perempuan penyandang disabilitas, utamanya
tuna grahita, yang dianggap tidak mampu membuat keputusan bagi dirinya
sendiri, rentan perkosaan, dan karenanya mengurangi beban keluarga untuk
mengurus kehamilannya. 11
12. Penyiksaan Seksual

Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang

dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan


hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual. Ini dilakukan untuk memperoleh
pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ketiga, atau untuk
menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan
olehnya ataupun oleh orang ketiga. Penyiksaan seksual juga bisa dilakukan
untuk mengancam atau memaksanya, atau orang ketiga, berdasarkan pada
diskriminasi atas alasan apapun. Termasuk bentuk ini apabila rasa sakit dan
penderitaan tersebut ditimbulkan oleh hasutan, persetujuan, atau
sepengetahuan pejabat publik atau aparat penegak hukum. 11
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual

Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan,


ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk
dalam penyiksaan. Ia termasuk hukuman cambuk dan hukuman-hukuman
yang mempermalukan atau untuk merendahkan martabat manusia karena
dituduh melanggar norma- norma kesusilaan. 11

14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau


mendiskriminasi perempuan

Kebiasaan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama


dan/atau budaya, yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera
secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat
pula dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif
yang merendahkan perempuan. Sunat perempuan adalah salah satu
contohnya. 11

15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas


dan agama.

Kontrol seksual mencakup berbagai tindak kekerasan maupun


ancaman kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, untuk
mengancam atau memaksakan perempuan untuk menginternalisasi simbol-
simbol tertentu yang dianggap pantas bagi “perempuan baik-baik’.
Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual yang paling
sering ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang memuat
kewajiban busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam
tertentu, larangan berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan
kerabat atau perkawinan, serta aturan tentang pornografi yang melandaskan
diri lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. Aturan yang
diskriminatif ini ada di tingkat nasional maupun daerah dan dikokohkan
dengan alasan moralitas dan agama. Pelanggar aturan ini dikenai hukuman

16
dalam bentuk peringatan, denda, penjara maupun hukuman badan lainnya. 11

2.4 Pemeriksaan Korban Kejahatan Seksual


Hal yang perlu diperhatikan Sebelum Pemeriksaan12
1. Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan
tertulis dari penyidik yang berwenang
2. Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda
bukti. Kalau korban dating sendiri dengan membawa surat permintaan
dari polisi, jangan diperiksa, suruh korban kembali kepada polisi
3. Setiap visum et repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang
didapatlan pda tubuh lorban pada waktu permintaan Visum et Repertum
4. Izin tertulis untuk pemeriksaan ini dapat diminta pada korban sendiri atau
jika korban adalah seorang anak, dan orang tua atau walinya, jelaskan
terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan pada korban dan hasil
pemeriksaan akan disampaikan ke pengadilan.
5. Seorang perawat atau bidan harus mendampingi dokter pada waktu
memeriksa korban
6. Pemeriksaan dilakukan secepat mungkin jangan ditunda terlampau lama
7. Visum et Repertum diselesaikan secepatr mungkin. Dengan adanya Visum
et Repertum perkara cepat dapat diselesaikan 12

2.4.1 Anamnesis
Data yang perlu dicantumkan dalam bagian pendahuluan Visum et Repertum
delik kesusilaan adalah instalasi polisi yang meminta pemeriksaan, nama dan pangkat
polisi yang mengantar korban, nama, umur, alamat dan pekerjaan korban seperti
tertulis dalam surat permintaan, nama dokter yang memeriksa, tempat, tanggal dan
jam pemeriksaan dilakukan serta nama perawat yang menyaksikan pemeriksaan.12
Anamnesis meliputi pengumpulan data tentang umur, tanggal dan tempat
lahir, status perkawinan, siklus haid, untuk anak yang tidak diketahui umurnya,
penyakit kelamin dan penyakit kandungan serta adanya penyakit lain seperti epilepsy,
katalepsi, syncope. Cari tahu pula apakah pernah bersetubuh? Persetubuhan yang
terakhir? Apakah menggunakan kondom?
Hal khusus yang perlu diketahui dalah waktu kejadian, tanggal dan jam/ bila
waktu antara kejadian dan pelaporan kepada yang berwajib berselang beberapa hari
atau minggu, dapat diperkirakan bahwa peristiwa itu bukan peristiwa perkosaan,
tetapi persetubuhan yang pada dasarnya tidak disetujui oleh wanita yang
bersangkutan. Tetapi pada saat telatnya pelaporan bisa disebabkan karena korban
diancam. Tanyakan pula dimana tempat terjadinya, sebagai petunjuk trace evidence
yang berasal dari tempat kejadian, misalnya rumput, tanah dan sebagainya.12
Perlu diketauhi apakah korban melawan. Jika korban melawan maka pada
pakaian mungkin ditemukan robekan, pada tubuh korban mungkin ditemukan tanda-
tanda bekas kekerasan dan pada alat kelamin mungkin didapat bekas perlawanan.
Kerokan kuku mungkin menunjukkan adanya sel-sel epitel kulit dan darah yang
berasal dari pemerkosa atau penyerang.12

2.4.2 Pemeriksaan Luar


Tanda-tanda maturasi saat ini menjadi sangat penting oleh karena adanya
Undang Undang perlindungan anak, perlakuan kejahatan seksual pada anak-anak
akan mendapatkan sanksi yang berat. Pemerikaan sendiri dapat berupa pemerikaan
tanda- tanda seks sekunder, pertumbuhan gigi geligi, rontgen foto dari jari jari tangan
dan kaki.13, 14
Tanda-tanda kekerasan adalah perlukaan ang dialami korban berupa
pemukulan , gigitan ataupun pemaksaan pemaksaan lain yang bisanya berupa memar
dan lecet. 13, 14
Perlu diingat bahwa tidak ada-nya tanda tanda kekerasan bukan berarti bahwa
korban tiak diperkosa, oleh karena penggunaan obat-obatan menyebabkan korban
tidak apat melawan atau adanya ancaman yang luar biasa sehingga korban tidak
dapat melawan. 13, 14
Tanda-tanda persetubuhan ditujukan untuk memeriksa alat kelamin yaitu
berupa adanya tanda-tanda kekerasan akibat masuknya alat kelamin pelaku kedalam
alat kelamin korban, tanda-tanda tersebut adalah :
1. Ada tidak memar dan lecet pada bagian luar dan dalam alat kelamin
Pada kasus kekajahatan seksual pada anak anak balita tidak jarang terjadi
robekan sampai ke anus.
2. Robekan selaput dara , adanya robekan selaput dara harus ditentukan hal
hal sebagai berikut :
 Lokasi robekan – ditentukan sesuai dengan arah jam
 Robekan yang ditemukan baru atau lama
 Robekan sampai dasar atau tidak sampai dasar
Hal diatas penting untuk memperkirakan apakah robekan tersebut karena
alat kelamin pelaku atau oleh karena benda lain, interpretasi robekan selaput dara
harus dilakukan secara berhati –hati. Pada kasus sodomi, pemeriksaan ditujukan
pada daerah anus, hampir sama dengan perkosaan ditentukan ada tidaknya luka lecet,
jaringan parut (sering mengalami sodomi) dan tonus otot lingkar anus. 13, 14
Adapun tanda-tanda persetubuhan lainnya adalah :
1. Tanda-Tanda Penetrasi
a. Robekan selaput dara
b. Perlukaan pada mulut vagina atau liang vagina
2. Tanda-Tanda Ejakulasi
a. Adanya sel sperma
b. Ada cairan sperma
3. Tanda-Tanda Akibat Persetubuhan .
a. Kehamilan
b. Penyakit menular seksual
2.4.3 Barang Bukti 12
Cari tahu apakah korban pingsan, untuk mengetahui penggunaan obat bius
atau obat tidur dan lakukan pemeriksaan urin dan darah untuk pemeriksaan
toksikologi. Pemeriksaan pakaian dilakukan dengan teliti, robekan atau kancing yang
copot, bercak darah, air mani, lumpur dsb. Pemeriksaan tubuh korban meliputi
pemeriksaan umu, penampilan, tanda bekas kekerasan, memar, luka lecet, dilihat
perkembangan alat kelamin sekunder.12
Lakukan pula pemeriksaan genitalia seperti rambut kemaluan yang
menumpuk, air mani mengering, pada vulva periksa tanda bekas kekerasan seperti
hiperemia, edema, luka memar. Periksa jenis selaput dara apakah ada ruptur atau
tidak, jika ada periksa rupture baru atau lama.12
Pengumpulan barang bukti menjadi sangat penting karena selain dapat
membuktikan adanya perkosaan dan membantu memastikan pelakunya, barang bukti
yang dikumpulkan ada berupa :
1. Swab dan bilas vagina
2. Urine
3. Darah
Barang bukti yang lain adalah :
1. Swab dan foto bekas gigitan
2. Pengambilan jaringa bawah kuku ( bila ada riwayat korban mencakar )
3. Sisiran rambut kemaluan
4. Celana dalam korban
5. Pakain korban dan lain – lain yan ada pada tubuh dan pakaian korban

2.4.4 Pemeriksaan Laboratorium 12


2.4.4.1 Pemeriksaan untuk menentukan adanya sperma dan cairan mani :
Untuk menentukan adanya cairan mani dalam vagina guna membuktikan
adanya suatu persetubuhan, perlu diambil bahan dari forniks posterior vagina dan
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut
a) Tanpa pewarnaan .
 Menurut Voight, sperma masih bergerak kira-kira 4 jam pasca persetubuhan.
 Menurut Gonzales, sperma masih bergerak 30-60 menit pasca persetubuhan.
 Menurut Ponzold, kurang dari 5 jam pasca persetubuhan, tetapi kadang-
kadang bila ovulasi atau terdapat sekret serviks, dapat bertahan sampai 20
jam.
 Menurut Nickols, sperma masih dapat ditemukan 5-6 hari pascapersetubuhan
walaupun setelah 3 hari hanya tinggal beberapa saja. Menurut Voight, 66 jam
pascapersetubuhan, sedangkan menurut Davies dan Wilson 30 jam.
 Pada orang yang mati setelah persetubuhan, sperma masih dapat ditemukan
sampai 2 minggu pascapersetubuhan, bahkan mungkin lebih lama. 12

Kesimpulan dari pendapat-pendapat tersebut yaitu bahwa spermatozoa masih


dapat ditemukan sampai 3 hari (72 jam) pasca persetubuhan, kadang-kadang sampai 6
hari pasca persetubuhan. Bila sperma tidak ditemukan, belum tentu dalam vagina
tidak ada ejakulat mengingat kemungkinan azoospermia atau pascavasektomi
sehingga perlu dilakukan penentuan cairan mani dalam cairan vagina. 12
b) Dengan pewarnaan
Cara pewarnaan yang mudah dan baik untuk kepentingan forensik adalah
dengan pulasan Malachite green. Keuntungan pulasan ini adalah inti sel epitel dan
leukosit tidak terdiferensiasi, sel epitel berwarna merah muda merata dan leukosit
tidak terwarnai. Kepala sperma tampak merah dan lehernya merah muda, ekornya
bewarna hijau.
c) Reaksi fosfatase asam
Cara pemeriksaan : bahan yang dicurigai ditempelkan pada kertas saring yang
telah terlebih dahulu dibasahi dengan akuades selama beberapa menit. Kemudian
kertas saring diangkat dan disemprot dengan reagens. Ditentukan waktu reaksi dari
saat penyemprotan sampai timbul warna ungu.
b) Cara elektro-imunodifusi (baxter)
Cara ini adalah satu-satunya cara untuk menentukan dengan pasti adanya
mani manusia pada keadaan azoospermia. Dengan cara ini, Baxter dapat menentukan
adanya semen di dalam vagina sampai 4 hari pasca persetubuhan. 12,14
c) Elektroforetik (Adam & Wraxall)
Cara ini menggunakan lempeng akrilamid dan dikembangkan dengan bufer
(pH3), dilihat di bawah sinar ultra violet. Hasil : fosfatase asam seminal bergerak
sejauh 4 cm, sedangkan fosfatase asam vaginal bergerak sejauh 3 cm. 12,14
d) Reaksi florence
Reaksi ini dilakukan bila terdapat azoospermi dan cara lain untuk menentukan
semen tidak dapat dilakukan. Bila terdapat mani, tampak kristal kholin-peryodida
berwarna coklat, berbentuk jarum dengan ujung sering terbelah. 12,14
e) Reaksi Berberio
Dasar reaksi adalah untuk menentukan adanya spermin dalam semen. Reagen
adalah larutan asam pikrat jenuh. Cara pemeriksaan reaksi ini sama seperti reaksi
Florence. Hasil positif memperlihatkan adanya kristal spermin pikrat yang kekuning-
kuningan berbentuk jarum dengan ujung tumpul, dan kadang-kadang terdapat garis
refraksi yang terletak longitudinal. Kristal mungkin pula berbentuk ovoid. Reaksi
tersebut mempunyai arti bila mikroskopik tidak ditemukan spermatozoa. 12,14

2.4.4.2 Pemeriksaan Golongan Darah ABO


Penentuan golongan darah ABO pada semen golongan sekretor dilakukan
dengan cara absorpsi inhibisi. Hanya untuk golongan sekretor saja dapat ditentukan
golongan darah dalam semen. 12,14
2.4.4.3 Pemeriksaan bercak mani pada pakaian
a. Visual
b. Perabaan
c. Pewarnaan Baechii
2.5 Aspek Medikolegal
2.5.1 Sodomi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal-pasal yang
mengatur tentang hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah
umur terdapat dalam Pasal 285, 289 dan 292 KUHP:15,16,17

a. Pasal 289 disebutkan barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seseorang melakukan atau membiarkan melakukan pada dirinya
perbuatan cabul, dihukum karena merusakan kesopanan dengan hukuman penjara
selama-lamanya Sembilan tahun.

b. Pasal 292 KUHP berbunyi: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul
dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun.

2.5.2 Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang


Perlindungan Anak (UUPA)
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada dua
pasal yang mengatur tentang ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual
terhadap anak di bawah umur yaitu Pasal 81 dan Pasal 82. 15,16,17

Pasal 81 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:

“(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). 15,16,17

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.”

Pasal 82 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” 15,16,17

Dari rumusan Pasal 82 di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk
dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap anak
merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Oleh karena pencabulan tersebut
merupakan delik biasa, bukan delik aduan, maka seharusnya perkara pencabulan
tersebut tetap diproses, walaupun sudah ada pencabutan laporan dari keluarga korban
BAB 3
LAPORAN KASUS

PRO JUSTITIA Padang, 4


Desember 2019

VISUM ET REPERTUM SEMENTARA

No. _________________

Yang bertanda tangan di bawah ini, Citra Manela, dokter spesialis forensik pada
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang, berdasarkan Surat Permintaan
Visum et Repertum dari Kepala Kepolisian Resor Kota Padang sektor Kuranji,
dengan surat nomor R / 66 / VER / XII / 2019/ Sektor tertanggal 4 Desember 2019,
maka dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal empat Desember dua ribu
sembilan belas, pukul sebelas titik nol nol Waktu Indonesia bagian Barat, bertempat
di Bagian Forensik Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang, telah dilakukan
pemeriksaan korban yang menurut Surat Permintaan Visum et Repertum tersebut
adalah:---------------------

Nama : Dafa Habibi------------------------------------------------------------

Jenis Kelamin : Laki-


laki----------------------------------------------------------------

Tempat/ Tgl. Lahir: Padang / 25 Desember 2008----------------------------------------

Pekerjaan : Pelajar------------------------------------------------------------------
Kewarganegaraan :
WNI---------------------------------------------------------------------

Agama : Islam--------------------------------------------------------------------

Alamat :Aru Rt 06 Rw 03 Kelurahan Gunung Sarik Kecamatan


Kuranji Kota
Padang-------------------------------------------------------------

HASIL PEMERIKSAAN------------------------------------------------------------------------

1. Korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum baik, emosi stabil, sikap
selama pemeriksaan cukup
membantu-------------------------------------------------
2. Penampilan bersih, pakaian sudah diganti--------------------------------------------
3. Korban mengaku awalnya mengenal pelaku melalui teman korban, pelaku
tersebut merupakan saudara laki-laki dari teman korban. Korban sudah
mengenal pelaku sejak satu tahun yang lalu. Setiap pulang sekolah korban
bermain ke rumah temannya dan bertemu dengan pelaku. Kemudian pelaku
mengajak korban ke kamar dan meminta korban untuk membuka celananya.
Pelaku meminta korban menungging diatas kasur dan pelaku berada diatas
korban. Selanjutnya pelaku memasukkan alat kelaminnya ke dalam lubang
pelepasan korban. Pelaku juga memasukan alat kelaminnya ke dalam mulut
korban. Kejadian tersebut sudah sering dilakukan yaitu lebih dari sepuluh kali
dan terakhir dilakukan pada hari Kamis pada tanggal dua puluh satu
Desember dua ribu sembilan belas, berlokasi disebelah mobil rusak yang
berada di bengkel depan rumah
pelaku.-----------------------------------------------------------
4. Perkembangan seks sekunder : sesuai dengan umur, rambut pubis belum
tumbuh dan rambut aksila belum
tumbuh---------------------------------------------
5. Pada korban ditemukan : tidak terdapat luka-luka pada bagian tubuh lain-------
6. Pada pemeriksaan anus (posisi
menungging)-----------------------------------------
a. Tidak ditemukan luka dan tidak ditemukan jaringan parut--------------------
b. Lipatan anus tampak menghilang arah jam sebelas sampai jam satu serta
arah jam lima sampai jam tujuh---------------------------------------------------
c. Kekuatan otot anus : baik----------------------------------------------------------

KESIMPULAN------------------------------------------------------------------------------------

Pada pemeriksaan seorang korban laki-laki yang menurut surat permintaan visum et
repertum yang berusia sebelas tahun, ditemukan hilangnya lipatan pada anus dan
kekuatan otot anus masih baik akibat kekerasan tumpul. Selanjutnya tidak ditemukan
luka-luka pada bagian tubuh
lainnya------------------------------------------------------------

Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan


keilmuan sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.--------------------------------------------------------------------------

Padang, 4 Desember 2019

Dokter yang memeriksa,


dr. Citra Manela, Sp.F

NIP: 198403112010122006
BAB 4
DISKUSI DAN KESIMPULAN

4.1 Diskusi
pada tanggal empat Desember dua ribu sembilan belas, pukul sebelas titik nol nol
Waktu Indonesia bagian Barat, bertempat di Bagian Forensik Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. M. Djamil Padang, telah dilakukan pemeriksaan korban berumur 11
tahun. Dasar dilakukan pemeriksaan adalah surat permintaan visum et repertum
dari Kepolisian Resor Kota Padang sektor Kuranji, dengan surat nomor R / 66 /
VER / XII / 2019/ Sektor tertanggal 4 Desember 2019.

Korban mengaku awalnya mengenal pelaku melalui teman korban, pelaku


tersebut merupakan saudara laki-laki dari teman korban. Korban sudah mengenal
pelaku sejak satu tahun yang lalu. Setiap pulang sekolah korban bermain ke
rumah temannya dan bertemu dengan pelaku. Kemudian pelaku mengajak korban
ke kamar dan meminta korban untuk membuka celananya. Pelaku meminta
korban menungging diatas kasur dan pelaku berada diatas korban. Selanjutnya
pelaku memasukkan alat kelaminnya ke dalam lubang pelepasan korban. Pelaku
juga memasukan alat kelaminnya ke dalam mulut korban. Kejadian tersebut sudah
sering dilakukan yaitu lebih dari sepuluh kali dan terakhir dilakukan pada hari
Kamis pada tanggal dua puluh satu Desember dua ribu sembilan belas, berlokasi
disebelah mobil rusak yang berada di bengkel depan rumah pelaku

4.1.1 Hasil Pemeriksaan


Pada korban usia 11 tahun datang dalam keadaan sadar, keadaan umum baik,
emosi stabil, sikap selama pemeriksaan cukup membantu. Penampilan bersih serta
pakaian sudah diganti. Perkembangan seks sekunder korban sesuai dengan umur,
rambut pubis belum tumbuh dan rambut aksila belum tumbuh. Pada korban tidak
ditemukan luka-luka pada bagian tubuh lain.
Pada pemeriksaan anus (posisi menungging) Tidak ditemukan luka dan tidak
ditemukan jaringan parut. Lipatan anus korban tampak menghilang arah jam
sebelas sampai jam satu serta arah jam lima sampai jam tujuh. Kekuatan otot anus
korban baik.

29
4.2 Kesimpulan

Dasar Hukum pembuatan Visum et Repertum


Dasar hukum pembuatan visum et repertum tertuang dalam pasal 133
KUHAP, yaitu bila yang diperiksa adalah manusia sebagai korban atau diduga
sebagai korban suatu tindak pidana, baik masih hidup ataupun sudah mati.
Pasal 133 KUHAP : 1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupum mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidanan, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan
atau ahli lainnya. 2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah
mayat. 3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan
terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak
dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain
badan mayat. Dasar hukum pemeriksaan kedua korban telah memenuhi pasal 133
KUHAP ayat 1 dan 2 dengan adanya surat permintaan visum dari Kepolisian
Resor Padangpanjang.

2. Temuan pada Korban


Pada kedua korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum baik, emosi
stabil, sikap, penampilan bersih, pakaian sudah diganti. Hal ini penting dinilai
untuk mengetahui apakah anak mengalami gangguan psikologis. Anak korban
kejahatan seksual biasanya akan mengalami stress, depresi, goncangan jiwa,
adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan
dengan orang lain, bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual,
mimpi buruk, insomia, ketakutan dengan hal yang berhubungan dengan
penyalahgunaan termasuk benda, bau, tempat, disfungsi seksual, sakit kronis,
kecanduan dan keinginan bunuh diri.

30
Gangguan-gangguan psikologis seperti pasca trauma seringkali muncul seperti
stress disorder, kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan identitas dissosiatif,
kecenderungan untuk reviktimisasi dimasa dewasa, bulimia nervosa bahkan
adanya cedera fisik pada anak.18,19 Dampak pelecehan seksual yang terjadi ditandai
dengan adanya powerlessness, dimana korban merasa tidak berdaya dan tersiksa
ketika mengungkap peristiwa pelecehan seksual tersebut.18 Dalam penanganan
terhadap korban anak yang mengalami gangguan psikologis harus bersifat
multidisiplin ilmu seperti psikolog, dokter anak dan dokter forensik.
Perkembangan seks sekunder sesuai dengan umur
Pada Korban tidak terdapat luka luka pada bagian tubuh lain. Hal ini penting
ditanyakan untuk mencari adanya tanda-tanda kekerasan. Kekerasan tidak
selamanya meninggalkan bekas/luka, tergantung dari penampang benda, daerah
yang terkena kekerasan, serta kekuatan dari kekerasan itu sendiri. Tindakan
membius juga termasuk kekerasan, maka perlu dicari juga adanya racun dan
gejala akibat obat bius/racun pada korban. Adanya luka berarti adanya kekerasan,
namun tidak ada luka bukan berarti tidak ada kekerasan. Faktor waktu sangat
berperan. Dengan berlalunya waktu, luka dapat sembuh atau tidak ditemukan,
racun/obat bius telah dikeluarkan dari tubuh. faktor waktu penting dalam
menemukan sperma.
Pada pemeriksaan bagian luar anus korban tepatnya pada lubang dubur tidak
terdapat jaringan parut. Jaringan parut menunjukan adanya proses penyembuhan
trauma fisik yang terjadi disana yang mana pada kasus baru saat inspeksi akan
didapatkan vulnus laceratum pada anusnya. Pada kasus kejahatan seksual, tanda
dan bekas itu tidak selamanya ada. Pelaku sering menggnakan sedikit kekuatan
fisik, banyak luka yang dihasilkan sehingga cenderung luka menjadi dangkal dan
sembuh lebih cepat. Sebagian besar tanda atau bekas ini sembuh dalam 2 sampai 3
hari setelah trauma. Untuk kerusakan superfisial akan sembuh sepenuhnya dalam
5 sampai 7 hari dengan regenerasi tanpa menghasilkan jaringan parut. Dengan
demikian, jenis tekanan sangat bervariasi dengan sifat pelecehan, ini melibatkan
objek, tingkat kekuatan yang digunakan pelaku, usia pada anak dan frekuensi
pelecehan.

31
Lipatan kulit disekitar dubur baik dan kontraksi otot disekitar lubang dubur
baik. Penampang dubur pada orang normal akan didapatkan lipatan anus akan
tertutup rapat oleh sfingter ani dan jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka
pemeriksa akan merasakan adanya cengkraman yang kuat dari sfingter ani
tersebut. Sedangkan penampang dubur pada orang yang mengalami kejahatan
seksual anogenital, maka akan didapatkan cela pada anus karena sfingter ani tidak
menutup dengan rapat dan jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka
pemeriksa tidak akan merasakan adanya cengkraman yang kuat dari sfingter ani
karena sfingter ani telah berdilatasi dan penurunan kemampuan untuk
mencengkram dengan kuat. (Sign of Sodomy; 1962)
Reflek dilatasi anal merupakan salah satu respon pada kasus kekerasan
seksual terhadap anak. Akan tetapi pemeriksaan dilatasi anal pada kekerasan
seksual ini masih kontroversial, karena tidak spesifik karena refleks dilatasi anal
juga dapat ditemukan pada pasien dengan lesi spinal.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence. Geneva:
World Health Organization; 2003.
2. Megawati Ratna. Budaya Kekerasan dalam Perspektif Keseimbangan Kualitas
Gender. Bandung: Kanisius. 1982.
3. (CATAHU). Kekerasan terhadap Perempuan meluas: Negara Urgen Hadir
Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Domestik, Komunitas, dan
Negara. 2016.
4. Noviana, I. Pelecehan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya.
Jakarta: Sosio Informa. 2015. p13-23.
5. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. 1st ed. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1997. p215-41.
6. WHO. Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence. Geneva:
World Health Organization; 2003.
7. Triwijati NKE. Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis; 2007.
8. Komnas Perempuan. Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun
2018. https://www.komnasperempuan.go.id/file/Catatan%20Tahunan
%20Kekerasan%20Terhadap%20Perempuan%202019.pdf- diakses 15
Desember 2019
9. KPAI. KPAI Sebut Pelanggaran Hak Anak Terus Meningkat.
https://www.kpai.go.id/berita/kpai-sebut-pelanggaran-hak-anak-terus-
meningkat- diakses 15 Desember 2019.
10. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
https://www.tribunais.tl/files/Codigo_
Penal_Indonesio_(Bahasa_Indonesia).pdf– Diakses Desember 2019.
11. Komnas Perempuan. Bentuk Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani;
2013.
12. Bagian Kedokteran Forensik FKUI.Ilmu Kedokteran
Forensik.Jakarta:Forensik FKUI.

13. WHO. Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence.
Geneva: World Health Organization; 2003.

33
14. Sumera M. Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual terhadap Perempuan.
Lex Et Societatis. 2013;1(2):39-49
15. M.Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT.Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, h.116.

16. R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi


Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006, h.175.
17. Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Asa Mandiri, Jakarta, 2002, h. 23.
18. WHO. Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence.
Geneva: World Health Organization; 2003.
19. Triwijati NKE. Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis; 2007.

34

Anda mungkin juga menyukai