Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Kasus Gender “Jurnalis Perempuan Rentan Pelecehan dan Diskriminasi”

Disusun oleh :

Akademi Kebidanan Permata Husada Samarinda

2022
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " Kasus Gender “Jurnalis Perempuan
Rentan Pelecehan dan Diskriminasi" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kesehatan Perempuan Dan
Keluarga Berencana. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang isu
gender bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Hamdiah M.TR.Keb selaku dosen Mata
Kuliah. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Samarinda, 3 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

Kata pengantar ................................................................................................................... i

Daftar isi ............................................................................................................................. ii

Bab 1 : Pendahuluan

A. Latar belakang masalah .................................................................................... 1

B. Rumusan masalah ............................................................................................ 3

C. Tujuan .............................................................................................................. 3

Bab 2 : Masalah Gender

A. Cerita Kronologi ............................................................................................... 4

B. Gambar ............................................................................................................. 8

Bab 3 : Pembahasan .......................................................................................................... 9

Penutup

A. Kesimpulan ............................................................................................................ 10

B. Saran ...................................................................................................................... 10

Daftar Pustaka .................................................................................................................... 11

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Gender adalah sesuatu yang telah melekat pada diri seseorang sesuai
dengan jenis kelaminnya. Selama ini, banyak orang yang terkecoh mengenai
gender dan jenis kelamin. Perlu diketahui bahwa gender berbeda dengan
jenis kelamin. Gender adalah peranan yang muncul dari konstruksi sosial
yang dijalankan oleh masing-masing individu sesuai dengan jenis
kelaminnya. Seperti contohnya kaum laki-laki yang memiliki peranan
sebagai pencari nafkah, sedangkan kaum perempuan memiliki peranan
dalam mengurus rumah tangga. Atas dasar perbedaan gender tersebut, tak
jarang banyak orang yang membandingkan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan.
Laki-laki yang identik dengan sosok pemimpin, pencari nafkah, kuat,
dan tangguh membuat posisi mereka berada di atas perempuan. Sementara
itu, kaum perempuan yang selalu berurusan dengan pekerjaan rumah tangga
membuatnya berada pada posisi nomor dua. Hal itulah yang membuat
anggapan banyak orang bahwa kaum perempuan tidak bisa berbuat apa-apa
kecuali mengerjakan pekerjaan rumah dan banyak orang yang menyepelekan
keberadaannya. Kondisi tersebut menyebabkan timbulnya permasalahan dan
kecemburuan sosial. Permasalahan yang jelas mereka alami adalah
perbedaan hak. Laki-laki yang berada di posisi nomor satu bebas melakukan
apa saja sedangkan perempuan memiliki batasan. Jika laki-laki dibolehkan
untuk bekerja, memperoleh pendidikan, dan meninggalkan rumah untuk
beraktivitas, maka sebaliknya dengan kaum perempuan.
Mereka tidak mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, ruang
lingkupnya pun hanya sebatas keluarga dan masyarakat setempat, bahkan
mereka juga tidak memiliki kemampuan apa-apa karena tidak memperoleh

1
pendidikan yang dapatSelain itu, akibat yang ditimbulkan dari ketidakadilan
gender adalah maraknya perbudakan bahkan aksi penjualan perempuan yang
dilakukan oleh kaum laki-laki.
Posisi perempuan yang berada di bawah kekuasaan laki-laki
memaksa mereka untuk tunduk terhadap apapun yang diperintahkan, mereka
diperlakukan semena-mena yang tak jarang dengan kekerasan dan pelecehan
seksual. Aksi kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan
merupakan masalah global yang secara serius harus diselesaikan. Dikutip
dari laman Deutsche Welle at a Glance (2015), lebih dari 35% perempuan
pernah mengalami kekerasan baik fisik maupun seksual, bahkan berdasarkan
hasil statistik yang dilansir PBB di sejumlah negara lain bisa mencapai
hingga angka 70%. Selanjutnya, dikutip dari artikel pada laman BBC
Indonesia (2013), hampir di seluruh dunia kaum perempuanlah yang banyak
menjadi korban dari permasalahan gender seperti yang dialami oleh para
perempuan di negara-negara Arab dan Afrika.
Negara-negara di kawasan tersebut tercatat sebagai negara dengan
kesenjangan gender yang terbesar. Hal itu terbukti dari sebanyak 28 negara
di dunia yang membuat 10 bahkan lebih perbedaan hukum mengenai hak-
hak perempuan dan laki-laki diantaranya berada di kawasan Afrika dan
Timur Tengah. Bahkan, berdasarkan hasil survei, sebanyak 25% dari negara-
negara di dunia yang tidak memiliki aturan mengenai 3 kekerasan dalam
rumah tangga termasuk diantaranya adalah kawasan Timur Tengah dan
Afrika. (Dawson, 2013).
Kondisi itu sungguh sangat memprihatinkan, kaum perempuan
seakan tidak memiliki perlindungan yang kuat di negaranya sendiri sehingga
mereka dapat dengan mudah dikuasai oleh budaya patriarki bahkan tradisi.
Kuatnya pengaruh tradisi yang terus mengakar dan turun menurun seakan
menjadi sebuah belenggu bagi kaum perempuan di sejumlah negara seperti
negara-negara Arab dan Afrika.

2
Fenomena tersebut tentu menjadi sorotan bagi masyarakat dunia
untuk turut serta mengakhiri tindak kekerasan, pemiskinan ekonomi,
diskriminasi dan lain-lain sebagai bentuk dari ketidakadilan gender yang
banyak dialami oleh kaum perempuan di berbagai negara. Fenomena tersebut
juga tak lepas dari perhatian badan urusan pemberdayaan dan kesetaraan
gender perempuan PBB (UN Women) yang terus berupaya untuk
meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dengan
tercapainya Konvensi Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women), yang disingkat CEDAW, dan terbentuknya UN Women
tahun 2010 lalu. (Dikutip dari laman www.voaindonesia.com, 2014)
Permasalahan gender pun terjadi pada mereka, yang pada dasarnya hal
tersebut akan membuat pergerakan mereka menjadi terbatas, tidak dapat
melakukan segala aktivitas sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Mereka
teraniaya dan tertindas baik dalam faktor ekonomi, lingkungan, sosial, dan
budaya yang membuatnya terkekang dan tidak bisa berkembang, akibatnya
perempuan kehilangan hak dalam kebebasan hidupnya.

2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut
:
1. Apakah pengertian dari gender?
2. Apa saja kasus gender yang terjadi diindonesia?
3. Bagaimana Kronologinya?

3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian gender
2. mengetahui kasus gender yang terjadi diindonesia
3. mengetahui kronologi terjadinya kasus gender diindonesia

3
BAB 2

KASUS GENDER

A. Cerita Kronologi
Lanskap media di Indonesia hingga kini masih dianggap penuh
dominasi maskulinitas dan tidak sensitif gender. Jurnalis perempuan
rentan mengalami pelecehan dan diskriminasi.

Hari Pers Nasional (HPN), yang diperingati setiap tanggal 9 Februari,


tahun ini dipusatkan di Kendari, Sulawesi Tenggara dengan mengusung tema
lingkungan. Meski tidak ikut merayakan HPN, Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Indonesia berharap momen ini bisa jadi pematik bagi pekerja dan
perusahaan media untuk lebih memerhatikan kondisi jurnalis perempuan.
Mulai dari sisi keamanan saat menjalankan liputan, kesejahteraan, hingga
kesempatan karir di redaksi atau newsroom.

Lanskap media di Indonesia hingga saat ini masih dianggap sangat


didominasi oleh maskulitas. akibatnya, jurnalis perempuan rentan mengalami
pelecehan dan diskriminasi. Demikian menurut Ketua Bidang Gender, Anak
dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Nani Afrida.

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2021 AJI Indonesia, angka


kekerasan terhadap jurnalis mencapai 43 kasus. Jumlah tersebut menurun
dibandingkan tahun sebelumnya yakni mencapa 84 kasus. Kemudian tahun
2019 sebanyak 58 kasus.

Secara spesifik Nani mengatakan AJI Indonesia belum melakukan


pendataan khusus tentang jumlah angka kekerasan yang menimpa jurnalis

4
perempuan. Namun beberapa AJI Kota sudah melakukan survei terhadap
keamanan jurnalis perempuan.
Riset: Perlunya tingkatkan kesadaran jurnalis perempuan

Menurut data AJI Jakarta, kurun tahun 2020 dari 34 responden


jurnalis perempuan, 25 orang pernah mengalami kekerasan seksual.
Pelakunya bervariasi, mulai dari rekan kerja di redaksi, rekan dari unit kerja
lain, hingga sesama jurnalis. Termasuk narasumber seperti pejabat publik
dan nonpublik.

AJI Bengkulu pada Desember 2021 juga merilis hasil survei sampel.
Diketahui dari 29 responden jurnalis perempuan ada 15 jurnalis perempuan
yang menyatakan pernah mendapatkan pelecehan secara verbal dan sentuhan
fisik. Menariknya, 2 jurnalis perempuan mengaku tidak tahu apakah pernah
dilecehkan baik secara verbal maupun sentuhan fisik selama menjalankan
tugas jurnalistik.

Riset oleh lembaga Pemantau Regulasi dan Regulator Media


(PR2Media) yang berbasis di Jakarta bersama USAID dan Internews
mengungkap bahwa kurun Agustus-Oktober 2021, sekitar 85% dari 1.256
jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual saat menjalankan
tugas.

Hanya 179 responden (14,3%) yang tidak pernah mengalami


kekerasan sama sekali. Riset ini menyasar responden dari 191 kota dan
kabupaten dari 33 provinsi di Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.

"Ini sebagai gambarannya, profesi jurnalis perempuan itu rentan.


Bukan hanya karena sistem, banyak pengetahuan jurnalis perempuan yang
masih perlu ditingkatkan. Masih ada jurnalis perempuan yang tidak tahu jika

5
sudah dilecehkan, bahkan ada yang ikut melecehkan," ujar Nani Afrida
kepada DW Indonesia.
Rentan kekerasan dan diskriminasi gender

Nani juga menyoroti kasus terbaru yang sempat viral di medai sosial,
seorang jurnalis perempuan yang mengungkapkan kekerasan seksual yang
dia alami ketika masih menjadi jurnalis di sebuah media. Alih-alih
mendapatkan dukungan, media tersebut malah memuat profil lengkap
korban.

"Ini 'kan namanya tidak sensitif gender, bukannya mengadvokasi


korban malah mengeksplore korban. Lebih suka menjadikan kekerasan
seksual sebagai hiburan. Kita prihatin ini. Harusnya jurnalisme advokasi
untuk kekerasan seksual bukan menjadikan korban sebagai korban berlapis.
Ini juga yang membuat jurnalis perempuan takut-takut untuk melaporkan,"
kata Nani.

Untuk memastikan perlindungan bagi jurnalis perempuan dan


penanganan laporan kekerasan seksual, AJI Indonesia menyediakan laman
khusus untuk pengaduan. Laman web ini tidak hanya terbatas bagi anggota
AJI, jurnalis yang bukan anggota juga dapat membuat laporan secara online.
Saat ini AJI juga sudah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP)
khusus yang berlaku untuk 1.800 anggota AJI se-Indonesia.

"Meliputi advokasi sesuai dengan SOP, pemulihan korban dan sanksi


pemecatan sebagai anggota AJI jika terbukti menjadi pelaku.
AJI zero toleransi untuk kekerasan seksual dan pelecehan. SOP ini kita buat
untuk melindungi jurnalis perempuan di AJI," lanjutnya.

6
Selain kekerasan seksual, jurnalis perempuan sering mengalami
diskriminasi. Contohnya, saat pembagian tugas liputan jurnalis perempuan
lebih sering diberikan porsi liputan di bidang hiburan dan gaya hidup.
Akibatnya, kesempatan berkembang bagi jurnalis perempuan pun terbatas
dan karir mereka cenderung sulit berkembang.

"Gender harus menjadi maskulin untuk bisa bertahan. Diskriminasi


itu nyata di newsroom, misalnya saja kalau liputan berat itu biasanya
diberikan pada jurnalis laki-laki. Padahal seharusnya tidak begitu, yang
membedakan laki-laki dan perempuan hanya kodrat. Untuk kompetensi dan
kemampuan bisa sama," papar Nani.

Mendorong lewat Dewan Pers

Ancaman kekerasan terhadap jurnalis perempuan, menurut Nani


adalah ancaman bagi kebebasan pers dan jurnalisme itu sendiri. Karenanya,
perlu bagi redaksi dan perusahaan media untuk membuat perlindungan bagi
jurnalis perempuan. AJI Indonesia juga mendesak Dewan Pers untuk
mendorong regulasi perlindungan bagi jurnalis perempuan wajib ada di
setiap perusahaan media.

"Dewan Pers harus mewajibkan ada peraturan khususnya. Sehingga


jurnalis perempuan dapat bekerja dengan baik, tanpa takut akan mengalami
pelecehan. Termasuk jika menjadi korban, (perempuan) memiliki ruang yang
aman untuk melaporkan dan pemulihan," kata Nani.

Selain itu, perlu juga dilakukan edukasi kepada narasumber dan awak
redaksi tentang pentingnya sensitif gender, sehingga tidak ada lagi yang
menjadikan jurnalis perempuan sebagai objek

7
Tiap redaksi punya kebijakan berbeda
Pemimpin redaksi Liputan6, Irna Gustiawati, mengatakan sejak
November 2021, redaksi yang ia pimpin sudah memiliki protokol
antikekerasan seksual. Peraturan tersebut dibuat untuk mencegah terjadinya
kekerasan seksual terhadap jurnalis.

"Ada aturan khususnya, dan ini tidak hanya berlaku untuk


perempuan, namun juga untuk laki-laki," kata Irna singkat.

Sementara Content Manager TribunBengkulu.com, Prawira Maulana,


mengatakan hingga saat ini perusahaannya tidak punya aturan khusus untuk
melindungi jurnalis perempuan. Hanya saja, perusahaan memberikan
penekanan bahwa tidak boleh ada diskriminasi, ataupelecehan terhadap
jurnalis perempuan. Jika jurnalis perempuan mengalami persoalan di
lapangan, redaksi harus langsung merespon.

"Pimpinan dari pusat sudah tegas mengatakan tidak boleh ada body
shaming ataupun bullying, newsroom harus menjadi ruang yang aman dan
nyaman bagi jurnalis perempuan. Termasuk dalam jenjang karir, tidak boleh
ada diskriminasi, namun kita lihat kompetensinya," ujar Prawira Maulana.
(ae)

B. Gambar

Nani Afrida, Ketua Bidang Gender, Anak dan KelompokMarjinal AJIIndonesia

8
BAB 3

PEMBAHASAN
Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. Hal ini berbeda dengan
sex yang secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada
aspek biologis seseorang yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon
dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sementara
itu, gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan
aspek-aspek non-

Hukum Indonesia pun memiliki pasal-pasal yang mengatur kekerasan


seksual. Sebagai konstitusi, UUD 1945 mengatur masalah ini secara tersirat dalam
Pasal 28G dan Pasal 28I. Dalam Pasal 28 G, setiap orang berhak atas perlindungan
diri, kehormatan dan martabat, serta rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Sementara dalam Pasal 28I
menyebut setiap orang memiliki hak untuk tidak disiksa dan mendapat perlakuan
diskriminatif.

UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur perihal
hak warga negara untuk bebas dari kekerasan seksual. Dalam Pasal 4 menyebut
adanya hak setiap orang untuk hidup, tidak disiksa dan tidak diperbudak. Selama ini,
penanganan kasus tindak kekerasan seksual mengacu pada Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam
KUHP, ada banyak pasal yang mengatur kekerasan seksual. Pasal-pasal tersebut
mengatur tentang merusak kesusilaan dan kesopanan (Pasal 281, 282, 283, 283 bis),
pemerkosaan (Pasal 285, 286, 287, 288), pencabulan (Pasal 289, 290, 292, 293, 294,
295), memperdagangkan orang (Pasal 296, 297, 506), serta pemaksaan aborsi (Pasal
299).

9
Sementara itu, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
mengatur tentang kekerasan seksual dalam konteks pemerkosaan atau pemaksaan
hubungan seksual terhadap istri atau orang yang tinggal serumah. Aturan ini
tertuang dalam Pasal 8. Kekerasan seksual terhadap anak juga diatur dalam UU
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.

Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 76D dan 76E tentang pemerkosaan dan
pencabulan. Undang-undang khusus Namun, peraturan-peraturan yang ada dinilai
belum mengatur mengatur secara khusus tentang penghapusan segala bentuk
kekerasan seksual.

Komnas Perempuan kemudian mengusulkan Rancangan Undang-Undang


(RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). RUU PKS ini mengandung elemen
penting, yaitu adanya sembilan bentuk kekerasan seksual, pengakuan terhadap hak-
hak korban, hukum acara yang terpadu dengan pengaturan alat buktinya, ketentuan
pemidanaan, pencegahan, dan pemantauan terhadap tindakan kekerasan seksual.
Dalam prosesnya, RUU PKS berubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan
Seksual (TPKS) dan ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR. Hingga saat ini, proses
pembahasan masih berlangsung di DPR.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Permasalahan gender masih sering terjadi disekitar kita, oleh karena
itu kita harus lebih waspada. Kita sebagai perempuan harus bisa melawan
hal-hal yang dirasa tidak benar. Sehingga kita terhindar dari permasalahan
permasalahan gender.
B. Saran
Perlunya keimanan dan akhlak yag baik serta berpegang teguh pada ajaran
agama agar terhindar dari perbuatan yang tercela
2. Didalam organisasi harus ada komunikasi yang baik antara rekan kerja
yang satu dengan yang lainnya.

10
3. Bagi korban kesetaraan gender dapat berbagi dengan rekan kerja atau
teman yang diianggap mampu menjaga dan membantu memecahkan masalah
yang dialaminya.
4. Permasalahan gender akan teus terjadi apabila kita tidak melawan. Maka,
jangan takut untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib yaitu kepolisian

DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Rancangan Undang-Undang
tentang Penghapusan Kekerasan Seksual diakses pada 20 Februari 2022.

UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah


Tangga (PKDRT)

UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun


2002 tentang Perlindungan Anak.

DW Live TV. 2021. https://amp.dw.com/id/media-didominasi-maskulinitas-jurnalis-


perempuan-rentan-didiskriminasi/a-60700162 (Online)diakses pada 03 April
2022

11

Anda mungkin juga menyukai