Anda di halaman 1dari 41

GENDER DAN GERAKAN PEREMPUAN

DISUSUN OLEH:
NAMA: INDAH MAULIDYA IRIANTI

PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA


KOMISARIAT MEGA REZKY
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karna berkat dan rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul ‘’Gender Dan
Gerakan Perempuan’’
Terima kasih sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada setiap pihak yang telah
memberikan arahan, bimbingan, dukungan, serta saran-saran, sehingga
penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Sekiranya hanya ini yang dapat saya sampaikan, saya menyadari bahwa makalah
ini masih banyak kekurangan. Kritik dan saran saya harapkan guna perbaikan
makalah ini sehingga dapat bermanfaat untuk ke depannya.

Makassar, 7 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

GENDER DAN GERAKAN PEREMPUAN


KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
A. Alas Pikir.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.......................................................................................5
C. Tujuan penulisan........................................................................................5
BAB II TINJAUAN TEORI .................................................................................6
BAB III PEMBAHASAN .....................................................................................9
A. Gender..........................................................................................................9
1. Definisi Gender.........................................................................................9
2. Sejarah Gender........................................................................................10
3. Maskulin dan Feminism..........................................................................10
4. Bias Gender.............................................................................................12
B. Feminisme..................................................................................................15
1. Definisi Feminisme.................................................................................15
2. Sejarah Gerakan Feminisme....................................................................17
3. Teologi Feminisme..................................................................................19
4. Aliran -aliran Dalam Feminisme.............................................................21
C. Gerwani......................................................................................................28
1. Definisi Gerwani.....................................................................................28
2. Sejarah Munculnya Gerwani...................................................................29
BAB IV PENUTUP .............................................................................................37
A. KESIMPULAN..........................................................................................37
B. SARAN.......................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................39
BAB I

PENDAHULUAN
A. Alas Pikir
Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. Hal ini berbeda dengan sex yang
secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi anatomi biologis. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi
pada aspek biologis seseorang yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan
hormone didalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis
lainnya. Sementara itu gender lebih banyak berkosentrasi pada aspek sosial,
budaya, psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya, Studi gender lebih
menekankan perkembangan maskulinitas (masculinity/rujuliyah ) atau feminitas
(feminity/nisa’iyyah) seseorang. Sedangkan studi sex lebih menekankan
perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki dan
perempuan. Untuk proses pertumbuhan anak seorang laki-laki dan seorang
perempuan, lebih banyak digunakan istilah gender daripada istilah seks. Istilah
seks umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan
aktivitas seksual, selebihnya digunakan istilah gender. (Janu Arbain,dkk, 2015)

Gerakan perempuan pertama kali dilakukan pada abad-18 di negara Barat


seperti Prancis, Amerika dan Afrika. Dan pola dari gerakan ini hampir mirip
dengan pola pergerakan perempuan yang ada di Indonesia saat ini. Gerakan
perempuan di Indonesia sudah muncul pada zaman penjajahan Kolonial Belanda
sekitar tahun 1900-an yang pada masa itu Negara kita masih memakai nama
Hindia Belanda. Kedatangan Belanda yang melakukan eksploitasi besar-besaran
terhadap rakyat dan lahirnya kelompok cerdik akibat diterapkannya politik etis
telah melahirkan hasrat untuk merdeka dan kesadaran berorganisasi sebagai alat
perjuangan. Pergerakan perempuan di mulai dari perjuangan individu yang
berawal dari dalam keluarga. Adanya ketertindasan dan ketidakadilan yang di
alami kaum perempuan pertama kali di dalam keluarga, sehingga mereka merasa
ingin melawan sistem yang menindas diri mereka sebagai seorang perempuan. (J.
Simbolon, 2016)

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana sejarah gender?
b. Bagaiman sejarah Gerakan perempuan?
c. Apa saja tipe-tipe feminisme?
d. Ketimpangan apa saja yang telah terjadi?

C. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui sejarah dari gender dan Gerakan perempuan serta
ketimpangan yang telah terjadi dikalangan perempuan.
BAB II

TINJAUAN TEORI
Kata “Gender” berasal dari bahasa inggris, gender yang berarti “jenis kelamin”.
Dalam Webster’s New World Dictionary, jender diartikan sebagai perbedaan yang
tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Didalam Webster’s Studies Encylopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu
konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran,
prilaku, mentalitas dan karakterstik emosional antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam memahami konsep gender, Mansour Fakih membedakannya antara gender


dan seks (jenis kelamin). Pengertian seks lebih condong pada pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia berdasarkan ciri biologis yang melekat,
tidak berubah dan tidak dapat dipertukarkan. Dalam hal ini sering dikatakan
sebagai ketentuan Tuhan atau 'kodrat'. Sedangkan konsep gender adalah sifat yang
melekat pada laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural dan dapat dipertukarkan. Sehingga semua hal yang dapat dipertukarkan
antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu,
dariempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain,
itulah yang disebut dengan gender. Jadi gender diartikan sebagai jenis kelamin
sosial, sedangkan sex adalah jenis kelamin biologis. Maksudnya adalah dalam
gender ada perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan sebagai hasil konstruksi sosial.

Refleksi sejarah diperlihatkan pula bahwa dari awal gerakan perempuan (first
wave feminism) di dunia pada tahun 1800-an. Ketika itu para perempuan
menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan perempuan
masih buta huruf, miskin dan tidak memiliki keahlian. Diikuti setelahnya
perempuan-perempuan kelas menengah abad industrialisasi mulai menyadari
kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka mulai keluar rumah dan
mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan korban para perempuan.
Sampai kemudian muncul Simone de Beauvoir, seorang filsuf Perancis yang
menghasilkan karya pertama berjudul The Second Sex yang berisi rancang teori
feminis. Dari buku tersebut bermunculan pergerakan perempuan Barat (Second
Wave feminism) yang menggugat persoalan ketidakadilan seperti upah yang tidak
adil, cuti haid, aborsi hingga kekerasan mulai didiskusikan secara terbuka. Tokoh
yang terkenal Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan Marry
Wollstonecraft yang berjuang mengedepankan perubahan sistem sosial dimana
perempuan bisa ikut dalam pemilu (D.W.Rossides, 1978: 130). Dalam
perkembangan hingga kini, aktifitas feminisme maupun penggiat gender berbeda
antar negara dengan setting budaya masing-masing dan sebuah isme dalam
perjuangan gerakan feminis juga mengalami interpretasi dan penekanan yang
berbeda di beberapa tempat. Feminis di Italia lebih mengarahkan kesamaan peran
dalam menyupayakan pelayanan-pelayanan sosial, dan hak-hak perempuan
sebagai ibu, istri dan pekerja. Hal yang sama digiatkan oleh feminist di Indonesia
yang ditauladani dari gerakan RA. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nya’ Dien. Kaum
penggiat gender maupun feminist di Prancis menolak dijuluki sebagai feminis,
namun lebih memilih Mouvment de liberation des femmes yang berbasis
psikoanalisa dan kritik sosial. (Heri Junaidi, dkk. 2010)

Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang


menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme
tidak seperti pandangan atau pemahaman lainnya. Feminisme tidak berasal dari
sebuah teori atau konsep yang didasarkan atas formula teori tunggal. Itu sebabnya,
tidak ada abstraksi pengertian secara spesifik atas pengaplikasian feminisme bagi
seluruh perempuan disepanjang masa. Pengertian feminisme itu sendiri menurut
Najmah dan Khatimah Sai’dah dalam bukunya yag berjudul Revisi Politik
Perempuan (2003:34) menyebutan bahwa feminisme adalah suatu kesadaran akan
penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan yang terjadi bik dalam keluarga,
di tempat kerja, maupun di masyarakat serta adanya tindakan sadar akan laki-laki
maupun perempua untuk mengubah keadaan tersebut secara leksikal. Feminisme
adalah gerakan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum
perempuan dan laki-laki. Pengertian feminisme dapat berubah dikarenakan oleh
pemahaman atau pandangan para feminis yang didasarkan atas realita secara
historis dan budaya, serta tingkat kesadaran persepsi dan perilaku. Bahkan
diantara perempuan dengan jenis-jenis yang hampir mirip terdapat perbedaan
pendapat dan perdebatan mengenai pemikiran feminis, sebagian didasarkan atas
alasan (misalnya akar kebudayaan) patriarkhi dan dominasi laki-laki, dan sampai
resolusi final atas perjuangan perempuan akan non-eksploitasi lingkungan,
kebebasan kelas, latar belakang, ras, dan gender. (Aditya Teguh Pambudi, 2018)

Pergerakan perempuan yang ada di Indonesia dengan dipelopori RA. Kartini


menjadi awal dimana perempuan mulai berani belajar melakukan suatu kegiatan
yang bersifat pengetahuan. Kegiatan-kegiatan pergerakan perempuan mulai
bermunculan. Gerakan Gerwani masih pada tataran gerakan perempuan burjuis.
Orientasi gerakan lebih pada untuk memperjuangkan hak suara dan hak-hak
perempuan. Dengan kata lain, gerakan yang berkembang hingga kini belum
mampu menyentuh pada tataran untuk memperjuangkan dan meringankan beban
perempuan pekerja. Kepeloporan RA. Kartini masih sebatas untuk menghilangkan
dominasi adat patriarki, memperjuangkan pendidikan dan hak-hak perempuan
belum sepenuhnya, serta perjuangan untuk membebaskan kaum perempuan
tertindas secara ekonomi. Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan jelas
telihat di Indonesia. Dapat dikatakan mungkin sejarah bangsa ini pernah
mengalami suatu masa dimana perempuan dipaksa tidak boleh memasuki wilayah
politik. Kenyataan antara makna dan realitas dan klaim tentang kebenaran
terhadap suatu pemaknaan merupakan realitas yang sangat mempengaruhi
bagaimana Gerwani ditafsirkan.

Gerwani merupakan akronim dari Gerakan Wanita Indonesia yang merupakan


nama baru dari Gerakan Wanita Sedar (Gerwis). Ideologi utama Gerwani adalah
feminisme dengan fokus utama memperjuangkan hak wanita dan anak. Gerwani
dituduh terlibat langsung dalam peristiwa PKI dan G30S 1965.
BAB III

PEMBAHASAN
A. Gender

1. Definisi Gender
Gender menurut Muhtar (2002), bahwa gender dapat diartikan sebagai
jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran
sosial berdasarkan jenis kelamin. Sementara Fakih (2008:8)
mendefinisikan gender sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-
laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural.
Istilah gender dibedakan dari istilah seks. Oakley, ahli sosiologi Inggris,
merupakan orang yang mula-mula memberikan pembedaan dua istilah itu.

Istilah gender merujuk kepada perbedaan karakter laki-laki dan


perempuan berdasarkan kontruksi sosial budaya, yang berkaitan dengan
sifat, status, posisi, dan perannya dalam masyarakat. Istilah Seks merujuk
kepada perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara biologis
terutama yang berkaitan dengan prokreasi dan reproduksi. Laki-laki
dicirikan dengan adanya sperma dan penis serta perempuan dicirikan
dengan adanya sel telur, rahim, vagina, dan payudara. Ciri jenis kelamin
secara biologis tersebut bersifat bawaan, permanen, dan tidak dapat
dipertukarkan. Selanjutnya, yang dimaksud dengan gender adalah cara
pandang atau persepsi manusia terhadap perempuan atau laki-laki yang
bukan didasarkan pada perbedaan jenis kelamin secara kodrati biologis.

Gender dalam segala aspek kehidupan manusia mengkreasikan


perbedaan antara perempuan dan laki-laki termasuk kreasi sosial
kedudukan perempuan yang lebih rendah dari pada laki-laki. Misalnya,
bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau
keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri
dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara
juga ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Dari berbagai
pendapat di atas peneliti menyimpuilkan bahwa istilah gender merujuk
pada nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat berdasarkan jenis
kelamin. Nilai-nilai tersebut dapat berubah sesuai dengan perkembangan
zaman dan dapat dipertukarkan. Itu terjadi karena gender tidak melekat
pada jenis kelamin tetapi pada pelabelan masyarakat.

2. Sejarah Gender
Sejarah gender bermula di abad 17 tepatnya di Inggris, setelah revolusi
industri, dimana pada saat manusia turun derajatnya sebagai mesin
produksi dan banyak terjadi diskriminasi berbasis seksual dalam bidang
industri. Kata itu menjadi kesepakatan sebagai pembeda antar kaum laki-
laki dan perempuan berdasarkan kontruksi sosial. Gender sebagai bagian
dari pranata sosial dimaknai sebagai pembagian tanggung jawab berdasar
pada kontruksi sosial. (Abdul jalil, dkk. 2020)

3. Maskulin dan Feminism


Berkaitan dengan gender yang lebih umum terdapat pada laki-laki, atau
suatu peran atau trait maskulin yang dibentuk oleh budaya. Dengan
demikian maskulin adalah sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya.
Feminisme merupakan kepercayaan bahwa perempuan dan laki- laki
adalah sama dan bahwa mereka harus dihargai secara sama dan memiliki
hak yang sama; dianut oleh banyak pria maupun wanita. Ini sama dengan
studi pria yang berpandangan bahwa gender adalah konsep yang dibangun
secara sosial yang memiliki konsekuensi penting dalam kehidupan semua
orang yang ianggap sebagai maskulin.
Feminisme adalah kepercayaan bahwa perempuan dan laki-laki
adalah sama dan bahwa mereka harus dihargai secara sama dan memiliki
hak yang sama, dianut oleh banyak pria maupun wanita. Itu sama dengan
studi pria pandangan bahwa gender adalah konsep yang dibangun secara
sosial yang memiliki konsekuensi penting dalam kehidupan semua orang.
Feminim menegaskan bahwa kehidupan perempuan itu penting, penamaan
itu kuat, dan pribadi itu politis. Pernyataan ini bersifat transformatif untuk
kebijakan dan praktik pembangunan. Bahkan pada permulaan minat
analisis gender pembangunan, sudah ada pendekatan berbeda untuk
analisis dan pengembangan kebijakan. Pendekatan positif dari badan-
badan pembangunan internasional tahun 1970 sebagian besar ditujukan
untuk mengintegrasikan perempuan ke dalam pembangunan, terutama
dipengaruhi oleh buku pemecahan jalan Boserup yang diterbitkan pada
tahun 1970 yang mengutarakan kekhawatiran bahwa perempuan telah
ditinggalkan dari pembangunan. didefinisikan dalam istilah program untuk
pembangunan setelah rekonstruksi pasca perang.
Feminisme adalah komitmen intelektual dan gerakan politik yang
mencari keadilan bagi perempuan dan akhir dari seksisme dalam segala
bentuk. Namun, ada banyak jenis feminisme. Kaum feminis tidak setuju
tentang apa itu seksisme, dan apa tepatnya yang harus dilakukan tentang
seksisme itu; mereka tidak setuju tentang apa artinya menjadi wanita atau
pria dan apa implikasi sosial dan politik yang dimiliki atau seharusnya
dimiliki gender Meskipun demikian, dimotivasi oleh pencarian keadilan
sosial, penyelidikan feminis memberikan berbagai perspektif tentang
sosial, budaya, ekonomi, dan feminisme ringkas sebuah sejarah dan
fenomena politik.
Topik-topik penting untuk teori dan politik feminis meliputi:
tubuh, kelas dan pekerjaan, kecacatan, keluarga, globalisasi, hak asasi
manusia, budaya populer, ras dan rasisme, reproduksi, sains, diri,
pekerjaan seks, perdagangan manusia, dan ketidaksetaraan gender.
Feminisme membawa banyak hal pada filsafat termasuk tidak hanya
berbagai tuntutan moral dan politik tertentu, tetapi juga cara mengajukan
dan menjawab pertanyaan, dialog yang konstruktif dan kritis dengan
pandangan dan metode filosofis utama, dan topik penyelidikan baru.
(Dewi Lia Septiani, 2021)

4. Bias Gender
Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan dengan pembedaan
peran dan posisi sebagaimana realita yang ada pada dunia dewasa ini tidak
akan menjadi masalah selama itu adil. Namun dalam kenyataan yang ada
perbedaan peran tersebut membatasi gerak keduanya sehingga melahirkan
ketidakadilan. Terlebih kepada perempuan, dalam realita yang ada, penulis
banyak sekali menyaksikan kejadian-kejadian yang merujuk pada
ketidakadilan terhadap perempuan. Seorang anak perempuan diasumsikan
tidak perlu sekolah tinggi, tidak perlu pendidikan lanjut karena pada
ujungnya hanya berkutat pada pekerjaan domestik saja.
Dari kisah yang hanya beberapa dari banyak kisah ketidakadilan
gender seringkali perempuanlah yang menjadi korban ketidakadilan
gender bermula dari adanya kesenjangan gender dalam berbagai aspek
kehidupan terutama dalam akses terhadap pendidikan dan ekonomi,
pendapat ini didukung dengan adanya pengertian. Menurut Fikih (1998),
bias gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki
maupun perempuan sebagai korban dari sistem tersebut. Mosse (1996) dan
Irohmi (1990), mengatakan bahwa bias gender terutama dialami
perempuan. Sebagai gambaran laki-laki diakui dan dikukuhkan untuk
menguasai perempuan. Kemudian hubungan perempuan dan laki-laki yang
hirarkis, dianggap sudah benar dan diterima sebagai hal yang normal.
Ketidakadilan gender tersebut terdapat dalam berbagai wilayah kehidupan,
yaitu dalam wilayah negara, masyarakat, organisasi atau tempat kerja,
keluarga dan diri sendiri.
Dalam pengertian positif yang ingin dicapai adalah keadilan
gender. Keadilan gender adalah proses yang adil bagi perempuan dan laki-
laki. Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud
diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara
sosial dan menurut sejarah telah menghambat perempuan dan laki-laki
secara berbeda. Oleh karena itu, keadilan gender tidak berfokus pada
perlakuan yang sama tetapi lebih mementingkan sebagai hasilnya pada
kesetaraan sebagai hasilnya. Menurut Fakih (2008) bias gender tersebut
dapat berbentuk subordinasi, marginalisasi, stereotip, kekerasan terhadap
perempuan, dan beban kerja ganda. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender
tersebut saling terkait dan berpengaruh satu dengan lainya, diantaranya
bentuk-bentuk ketidakadilan gender sebagai berikut.
1) Subordinasi
Subordinasi artinya suatu penilaian atau anggapan bahwa peran
yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih utama atau lebih
penting dari yang lain. Dengan kata lain sebuah posisi atau peran
yang merendahkan nilai peran yang lain. Salah satu jenis kelamin
dianggap lebih penting, utama, dan tinggi dibandingkan jenis
kelamin lainnya. Misalnya, laki-laki sebagai pemimpin.
2) Marjinalisasi (Peminggiran)
Marjinalisai artinya suatu proses peminggiran atau menggeserkan
kepinggiran, teliti maka anak perempuan diarahkan sekolah guru,
perawat, sekretaris. Ironis pekerjaan-pekerjaan tersebut dinilai
lebih rendah dibandingkan dengan pekerjaan lain yang bersifat
maskulin.
3) Beban Ganda
Beban ganda artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis
kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya.
Masuknya perempuan di sektor publik tidak senantiasa diiringi
dengan berkurangnya beban mereka di dalam rumah tangga. Peran
ganda yang tetap harus dijalankan baik didomain publik maupun
domestik. Akibat dari perbedaan sifat dan peran, maka semua
pekerjaan domestik dibebankan kepada perempuan, tuntutan
ekonomi keluarga selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga,
perempuan juga harus bekerja di kebun, ke pasar mencari nafkah
bagi keluarga. Perempuan masuk ke dunia politik akan tetapi beban
domestiknya tidak berkurang. Akibatnya perempuan memiliki
beban kerja ganda, bahkan sering dituduh mengabaikan tanggung
jawab di dalam rumah tangga dan juga tidak berprestasi di dunia
publik. Ketidakadilan tampak ketika sekalipun curahan tenaga
kerja dan waktu cukup panjang ternyata dihargai rendah
dibandingkan pekerjaan publik.
4) Stereotipe
Stereotip artinya pemberian lebel atau cap yang dikenakan kepada
seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan
yang salah atau sesat. Pelabelan atau pandangan terhadap suatu
kelompok/seks tertentu yang sering kali bersifat negatif dan secara
umum melahirkan ketidakadilan. Pelabelan juga menunjukan
adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang
bertujuan untuk menaklukan atau menguasai pihak lain. Pelabelan
yang sering dijumpai adalah pelabelan negatif yang ditujukan
kepada perempuan. Misalnya, perempuan suka berdandan,
dianggap untuk menarik perhatian laki-laki. Dengan demikian
cocok diberi tugas sebagai penerima tamu. Perempuan sebagai
pendamping suami sehingga tidak perlu dipromosi menjadi ketua
atau kepala, sebab dianggap bukan pencari nafkah utama yang
akan menopang ekonomi keluarga. Perempuan dianggap cengeng
suka menggoda, sehingga tidak dapat dipercayakan menduduki
jabatan penting/strategis.
5) Kekerasan
Kekerasan Artinya bentuk perilaku baik verbal maupun nonverbal
yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang sehingga
menyebabkan efek negative secara fisik, emosional dan psikologis
terhadap orang yang menjadi sasarannya. Indikasi bahwa
perempuan mengalami kekerasan dapat dilihat dari contoh
pemukulan terhadap istri, pelecehan seksual, eksploitasi seks
terhadap perempuan masih tetap tinggi baik di dalam maupun luar
rumah.

B. Feminisme

1. Definisi Feminisme
Dalam buku Encyclopedia of Feminism, yang ditulis Lisa Tuttle pada
tahun 1986, feminisme dalam bahasa Inggrisnya feminism, yang berasal
dari bahasa Latin femina (woman), secara harfiah artinya “having the
qualities of females”. Istilah ini awalnya digunakan merujuk pada teori
tentang persamaan seksual dan gerakan hak-hak asasi perempuan,
menggantikan womanism pada tahun 1980-an. Adalah Alice Rossi yang
menelusuri penggunaan pertama kali istilah ini tertulis, yaitu dalam buku
“The Athenaeum”, pada 27 April 19895.
Feminisme yang memiliki artian dari femina tersebut, memiliki
arti sifat keperempuan, sehingga feminisme diawali oleh presepsi tentang
ketimpangan posisi perempuan dibanding laki-laki di masyarakat. Akibat
presepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan
tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak
perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi
mereka sebagai manusia (human being).
Maggie Humm dalam bukunya “Dictionary of Feminist Theories”
menyebutkan feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan
karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan hwa
perempuan mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang
dimilikinya. Bagi Bahsin dan Night dalam bukunya “Some Question of
Feminism and its Relevance in South Asia” pada tahun 1986
mendefinisikan feminisme sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan
pemerasan terhadap perempuan di masyarakat, tempat kerja, dan keluarga,
serta tindakan sadar oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah
kesadaran tersebut. Maka hakikat dari feminisme masa kini adalah
perjuangan untuk mencapai kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan
untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam
maupun di luar rumah tangga. Pemikiran Kamla Bashin dan Nighat Said
Khan terhadap feminisme tersebut tentunya memiliki alasan kuat, sebab
keduanya menyaksikan banyak perempuan tertindas dalam berbagai hal
dalam masyarakatnya sejak beabad-abad. Sebagian dari perempuan
mengalami langsung penindasan terhadap dirinya, mungkin oleh tradisi
yang mengutamakan laki-laki, mungkin sikap egois dan sikap macho laki-
laki, mungkin oleh pandangan bahwa perempuan adalah objek seks.
Sehingga dari kesemua kemungkinan tersebut telah melahirkan
penindasan terhadap perempuan. Seiring berjalannya waktu, feminisme
bukanlah sekedar sebuah wacana melainkan sebuah idelogi yang
hakikatnya perlawanan, anti, dan bebas dari penindasan, dominasi,
hegemoni, ketidakadilan, dan kekerasan yang dialami perempuan.
Dengan dipahami dari ideologi tentang perlawanan, ini
mengindikasikan bahwa dalam feminisme harus ada aksi untuk
membebaskan perempuan dari semua ketidakadilan, sehingga feminisme
juga memiliki artian gerakan-gerakan intelektual yang muncul dan tumbuh
secara akademis maupun bentuk upaya-upaya politik dan sosial
perempuan untuk mengakhiri penindasan yang dialami. Mansour Fakih
juga menjelaskan bahwa feminisme merupakan gerakan yang berangkat
dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas
dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi
tersebut.
Dengan beragamnya arti feminisme, maka akan sulit mendapatkan
definisi feminisme dalam semua ruang dan waktu. Hal ini terjadi karena
feminisme tidak mengusung teori tunggal, akan tetapi menyesuaikan
kondisi sosiokultural yang melatarbelakangi munculnya paham itu serta
adanya perbedaan tingkat kesadaran, presepsi, dan tindakan yang
dilakukan oleh para feminis. Contohnya di Amerika, gerakan feminisme
pada mulanya lebih dipandang sebagai suatu sudut pandangan yang
mencoba membantu melihat adanya ketimpangan-ketimpangan perilaku
terhadap tindakan kaum perempuan, baik yang bersifat struktual maupun
kultural maka pada perekembangannya yang lebih lanjut nilai yang
diperjuangkan gerakan ini dikonsektualisasi sesuai dengan kepentingan
sejarah dan tempat gerakan itu mucul. Yakni dari penolakan perilaku
menjadi upaya pembebasan hak-hak perempuan yang cenderung radikal.
Dengan demikian feminisme kini bukan lagi sekedar idelogi dan
kepercayaan semata, melainkan suatu ajakan untuk bertindak atau gerakan
pembebasan. Dengan tindakan maka feminisme akan menjadi gerakan
pembebasan perempuan yang nyata dan dapat mengangkat derajat
perempuan pada posisi yang sepantasannya. Jika tidak, maka feminisme
hanya akan menjadi retorika saja bahkan keberadaan akan ditelan waktu.

2. Sejarah Gerakan Feminisme


Sejarah feminisme terbagai menjadi dua fase, feminisme lahir bersamaan
dengan era pencerahan Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Worlky
Montagu dan Marquis de Condarcet yang keduanya adalah anggota
perkumpulan perempuan ilmiah. Dari Eropa gerakan ini berpindah ke
Amerika dan berkembang pesat setelah Jhon Stuart Mill menerbitkan buku
The Subjection of Women. Kemudian gelombang kedua lahir setelah
terjadinya perang dunia kedua, di mana lahir negara-negara baru yang
terbebas dari jajahan Eropa dan memberikan perempuan hak pemilihan di
parlemen. Sebagai sebuah gerakan yang telah lama muncul, dalam
Ensiklopedia Islam dikatakan bahwa gerakan feminisme telah hadir sejak
abad ke 14. Meskipun secara historis feminisme merupakan gerakan yang
sudah tua, namun baru pada tahun 1960-an dianggap sebagai tahun
lahirnya gerakan feminisme. Karena di tahun-tahun inilah gerakan
feminisme dianggap menguat dengan ditandainya kemunculan gerakan
feminisme liberal di Amerika. Pada saat itu di Amerika muncul gerakan
yang meletakkan feminisme sebagai bagian dari hak-hak sipil (civil right)
dan sexual liberation (kebebasan seksual). Selain itu, dengan kemunculan
buku Friedan yang berjudul Feminist Mystique pada tahun 1963 telah
membangkitkan kelompok feminis untuk memperjuangkan hak-hak
perempuan dalam segala bidang. Gerakan ini kemudian berkembang pesat,
dimulai dari Eropa, Kanada, Australia, dan selanjutnya berkembang
hampir di seluruh penjuru dunia. Menurut Mansour Fakih gerakan
feminisme muncul karena anggapan bahwa dalam suatu masyarakat
terdapat kesalahan dalam memperlakukan perempuan sebagai perwujudan
dari ketidakadilan gender. Sejalan dengan konsep feminisme yang lahir
dari perdebatan makna gender yang berhubungan dengan jenis kelamin,
Anne Okley adalah orang pertama mencetuskan pemakaian kata gender
dalam istilah feminisme. Okley mengajak warga dunia agar dapat
memahami kata seks dan gender, yakni dua kata yang serupa tapi tidak
sama.13 Seks merupakan jenis kelamin yang berkenaan dengan biologis
dan fisiologis antara pria dan wanita yang dilihat dari anatomis dan
reproduksi. Sedangkan gender lebih mengacu pada perbedaan peranan pria
dan wanita dalam suatu tingkah laku sosial yang terstruktur. Perbedaan
pemahaman berdasarkan gender ini menyebabkan perempuan berada
dalam bayang-bayang dan genggaman dominasi lakilaki. Gerak dan
langkah perempuan ditentukan aturan main yang sangat diskriminatif,
yang sangat menguntungkan laki-laki. Hal ini diperkuat keyakinan bahwa
perbedaan gender dengan segala konsekuensi, baik budaya, ekonomi,
sosial, politik maupun pada ranah sosial lainnya, dipahami dengan kodrat
dari Tuhan yang sudah given dan tak terganggu gugat. Contohnya di
Amerika, angka Biro Sensus Amerika menunjukkan rata-rata perempuan
yang bekerja penuh waktu hanya mendapat 77 sen untuk setiap satu dolar
yang diperoleh laki-laki di Amerika.16 Perempuan mendapat lebih sedikit
gaji dibanding laki-laki karena alasan laki-laki dengan tenaga yang lebih
besar akan lebih maksimal bekerja. Kemudian di Pakistan, seorang
perempuan yang bernama Farzana (20 tahun) dirajam sepihak oleh
keluarganya karena menolak menikah dengan laki-laki yang dipilihkan
keluarganya. Farzana malah memilih untuk menikahi Iqbal, laki-laki
pilihannya sendiri. Farzana hanya segelintir kisah kekejaman yang terjadi
kepada perempuan, hanya karena jenis kelaminnya perempuan. Menurut
surat kabar di Pakistan, perempuan dimutilasi dan dibunuh hanya karena
mengenakan jeans, melihat ke jendela, menyanyi, melihat ke luar jendela,
dan melahirkan bayi perempuan. Ketimpangan gender yang berupa
marginalisasi perempuan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga,
pekerjaan, dan masyarakat, dan juga berbagai kekerasan terhadap
perempuan, baik secara fisik maupun mental yang disebabkan adanya
anggapan bahwa perempuan itu lemah. Domestikasi perempuan dalam
pekerjaan rumah tangga sebagai akibat adanya anggapan bahwa
perempuan bersifat rajin, pemelihara, dan sebagainya. Dari ketidakadilan
gender tersebutlah maka para feminis berusaha untuk menganalisis sebab-
sebab terjadinya penindasan terhadap perempuan. Dalam
perkembangannya, feminisme terbagi menjadi beberapa aliran besar
dengan teori yang dimunculkan sebagai landasan bagi upaya
pembongkaran dominasi laki-laki terhadap perempuan. Sebab dominasi
laki-laki terhadap perempuan tidak hanya berupa penindasan secara fisik,
melainkan telah menjadi bagian kesadaran sosial.

3. Teologi Feminisme
Teologi yaitu sebuah cabang ilmu yang membahas tentang ajaranajaran
dasar dari suatu agama. Jika seseorang ingin mendalami agama yang
dianutnya, maka mempelajari teologi merupakan suatu keharusan karena
akan memberikan kepada seseorang, suatu keyakinan-keyakinan yang
berdasarkan pada landasan kuat, sehingga ia bisa mengikuti zaman dan
tetap semangat memperjuangkan agamanya.Dalam perkembangannya, dari
teologi klasik sampai kepada teologi modern, menurut In’am Esha, ketika
memahami teologi dapat menggunakan tiga paradigma, yaitu:
a. Teologi sebagai kebijaksanaan hidup, yaitu teologi
dipahami sebagai sesuatu yang didalamnya mengandung
nilai-nilai yang dapat digunakan seseorang yang bertindak
dan berprilaku, serta memberikan rasionalisasi (penafsiran)
terhadap doktrin-doktrin keagamaan.
b. Teologi sebagai sebuah metodologi, yaitu digunakan
sebagai metode pendekatan dalam memahami agama
maupun seseorang yang beragama, seperti pendekatan
psikologis dan pendekatan sosiologis.
c. Teologi sebagai ilmu pengetahuan. Teologi merupakan
produk pemikiran manusia dan muncul dari realitas sejarah
manusia. Teologi selalu bergerak dinamis, karena pada
setiap zaman, pemikiran manusia selalu berkembang
mengikuti zamannya, sehingga dalam pembahasan ini
sudah, peneliti menggunakan teologi yang modern.

Karena teologi manusia yang terus berkembang, maka pemahaman


manusia ketika menyelesaikan persoalan dalam kehidupan sosial pun juga
ikut berkembang pula. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti
menghubungkan teologi dengan feminisme, yakni mereinterpretasi
kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Secara historis, diskriminasi
terhadap perempuan muncul sebagai akibat adanya doktrin ketidaksetaraan
antara laki-laki dan perempuan yang telah membudaya dalam sejarah
kehidupan umat manusia, kalaupun ada masyarakat matriarkal jumlahnya
hanya sedikit.

Dari sini muncul doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan


perempuan. Adanya anggapananggapan bahwa perempuan tidak cocok
memegang kekuasaan karena perempuan dianggap tidak memiliki
kemampuan seperti laki-laki, laki-laki harus memiliki dan mendominasi
perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya,
dengan bertindak sebagai ayah, saudara lakilaki ataupun suami. Aktifitas
perempuan hanya terbatas di dapur, kasur dan sumur saja karena dianggap
tidak mampu mengambil keputusan di luar wilayah kekuasaannya
merupakan perfoma penundukan perempuan di bawah struktur kekuasaan
laki-laki.

Gerakan feminisme pada pra tahun 1960-an atau sebelum


munculnya teologi pembebasan hanya sebatas sebuah gerakan yang
memperjuangkan kaum perempuan untuk mendapatkan kesempatan
pendidikan, hak pilih, kemandirian dalam ekonomi tanpa bergantung pada
laki-laki dan untuk mendapatkan kesempatan kerja. Manifestasi
ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat sudah mendarah daging
menjadi sosial-budaya seperti; marginalisasi (pemiskinan ekonomi),
subordinasi (second sex), stereotype (pelabelan negatif), violence
(kekerasan) dan double burden (peran ganda). Gerakan feminisme pada
saat itu tanpa menyertakan background agama. Gerakan feminisme
dimulai pada tahun 1963 di Amerika Serikat dengan fokus gerakan pada
satu isu yaitu untuk mendapatkan hak memilih.

Gerakan feminisme ditandai dengan terbitnya buku Betty Frieddan,


The Feminine Mystique, yang isinya mempersoalkan praktikpraktik
ketidakadilan yang menjadikan perempuan sebagai korban.48 Hal inilah
yang kemudian ikut merambah keranah pemikiran Islam. Sebut saja
beberapa nama seperti Amina Wadud Muhsin, Laela Ahmed, Fatimah
Mernisi, Riffat Hassan, Asghar Ali Engineer, dan Nasaruddin Umar,
adalah para pemikir yang konsen dalam permasalahan ini. Mereka
menganggab al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam di dalamnya
terdapat ayat-ayat yang telah ditafsirkan hanya demi kepentingan
kekuasaan laki-laki, dan bahayanya hal tersebut telah membudaya dalam
masyarakat, sehingga perlu adanya penafsiran dan penjelasan ulang.
Teologi Feminisme berasal dari teologi pembebasan (liberation
theologi) yang dikembangkan oleh James Cone pada akhir tahun 1960-an,
di mana perempuan dianggap sebagai kelas tertindas. Namun, tidak seperti
paradigma marxisme murni, faham teologi feminis tetap menyertakan
agama. Hanya saja, bukan agama yang melegitimasi penguasa, tetapi
agama sebagai alat untuk membebaskan golongan yang tertindas, yaitu
perempuan. Hal yang ingin dicapai dalam teologi feminisme adalah
tercapainya perubahan struktur agar keadilan jender dan keadilan sosial
dapat tercipta.

4. Aliran -aliran Dalam Feminisme


Meskipun para feminis memiliki kesadaran yang sama tentang
ketidakadilan terhadap kaum perempuan di dalam keluarga maupun
masyarakat, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menganalisis
sebabsebab terjadinya ketidakadilan serta target dan bentuk perjuangan
mereka. Perbedaan tersebut mengakibatkan lahirnya beberapa ideologi
atau aliran dalam pemikiran di kalangan feminis, hal tersebut
mengakibatkan lahirnya beberapa ideologi atau aliran feminis. Dalam
membahas ideologi feminisme ini peneliti akan menguraikan tentang
beberapa aliran-aliran yang terdapat dalam feminisme seperti feminisme
liberal, feminisme radikal, feminisme marxis, feminisme sosialis dan yang
lainnya.

a. Feminisme Liberal

Feminisme Liberal Alison Jaggar dalam tulisannya yang berjudul


On Sexual Equality (dalam Arivia, 2003: 93-109) menyatakan
bahwa kaum liberalis mendefinisikan rasionalitas ke dalam berbagai
aspek termasuk moralitas dan kearifan. Apabila penalaran
diterjemahkan sebagai sebuah kemampuan untuk memilih cara yang
terbaik untuk mencapai tujuan yang diinginkan, maka pemenuhan
diri hadir.
Dengan demikian, sebagai konsekuensinya, liberalisme
menekankan bahwa setiap individu dapat mempraktekkan
otonominya. Kaum liberalis dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu
liberalis klasik dan liberalis egaliterian. Liberalis klasik
mengharapkan perlindungan negara dalam hal kebebasan sipil,
seperti hak kepemilikan, hak untuk memilih, hak untuk
mengemukakan pendapat, hak untuk memeluk suatu agama, dan
hak untuk berorganisasi. Sedangkan mengenai isu pasar bebas,
liberalis klasik menghendaki agar setiap individu diberi kesempatan
yang sama untuk mencari keuntungan.

Di pihak lain, kaum liberalis egaliterian mengusulkan


bahwa idealnya negara seharusnya hanya berfokus pada keadilan
ekonomi dan bukan pada kebebasan sipil. Menurut paham ini, setiap
individu memasuki pasar dengan terlebih dahulu memiliki modal,
misalnya materi ataupun koneksi, talenta dan juga keberuntungan.
Feminisme liberal melandaskan idealisme fundamentalnya pada
pemikiran bahwa manusia bersifat otonomi dan diarahkan oleh
penalaran yang menjadikan manusia mengerti akan prinsip-prinsip
moralitas dan kebebasan individu. Feminisme liberal mengangkat
isu-isu yang berkaitan dengan akses pada pendidikan, kebijakan
yang bias gender, hak-hak politis dan sipil (2005 : 88-152).
Rochelle Gatlin (1987 : 121) menerangkan korelasi antara
feminisme liberal dan perubahannya menjadi feminisme radikal. Ia
mendefinisikan feminis liberal adalah kaum liberal yang potensial.
Akan tetapi banyak liberalis yang tidak menyadari hal ini dan
menyangkal bahwa liberalisme yang mereka dukung adalah sebuah
ideologi politis seperti lainnya. Mereka sering tidak sadar bahwa
nilai-nilai liberal dari hak-hak individual dan kesetaraan kesempatan
sesungguhnya berkontradiksi dengan pengakuan feminis mereka
bahwa perempuan adalah sebuah kelas seks yang kondisi umumnya
ditentukan secara sosial dan bukan secara individual.
b. Feminisme Radikal
Menurut Arivia (2005: 100-102), inti gerakan feminis radikal adalah
isu mengenai penindasan perempuan. Mereka mencurigai bahwa
penindasan tersebut disebabkan oleh adanya pemisahan antara
lingkup privat dan lingkup publik, yang berarti bahwa lingkup
privat dinilai lebih rendah daripada lingkup publik, dimana kondisi
ini memungkinkan tumbuh suburnya patriarki. Dalam konsep
feminisme radikal, tubuh dan seksualitas memegang esensi yang
sangat penting.
Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa penindasan
diawali melalui dominasi atas seksualitas perempuan dalam lingkup
privat. Kaum feminis radikal meneriakkan slogan bahwa “yang
pribadi adalah politis”, yang berarti penindasan dalam lingkup
privat adalah merupakan penindasan dalam lingkup publik. Feminis
radikal memberikan prioritas pada upaya untuk memenangkan isu-
isu tentang kesehatan, misalnya perdebatan mengenai aborsi dan
penggunaan alat kontrasepsi yang aman.
Mereka ingin menyadarkan perempuan bahwa “perempuan
adalah pemilik atas tubuh mereka sendiri”, mereka memiliki hak
untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh
mereka, termasuk dalam hal kesehatan dan reproduksi. Para feminis
radikal juga memberi perhatian khusus pada isu tentang kekerasan
laki-laki terhadap perempuan. Dominasi laki-laki dalam sistem
patriarki membuat kekerasan yang menimpa perempuan, seperti
pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pornografi, pelecehan
seksual, menjadi tampak alami dan “layak”. Sejalan dengan
pemahaman ini, tercipta pula dikotomi mengenai good girls dan bad
girls. Apabila seorang perempuan berperilaku baik, terhormat, dan
patuh, maka ia tidak akan dicelakai (2005: 103).
Mengingat bahwa dalam sistem patriarkhi laki-lakilah yang
memegang kendali kekuasaan dan dominasi, maka adalah juga laki-
laki yang berhak memberikan definisi mengenai perilaku yang
“dapat diterima” dan “pantas”, atau dengan kata lain, seorang
perempuan harus bertindak tanduk dalam suatu pola perilaku untuk
memenuhi cita rasa laki-laki dan untuk menyenangkan mereka agar
memperoleh posisi yang aman dan nyaman.
Dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang demikian,
terdapat suatu pola superordinat - subordinat, pengampu-diampu,
suatu target yang sangat ingin dihapuskan oleh feminis radikal.
Selanjutnya, terdapat perpecahan dalam feminis radikal, yaitu
radikal libertarian dan radikal kultural. Feminisme radikal
libertarian memberikan perhatian lebih pada konsep isu-isu feminin,
pada hak-hak reproduksi dan peran seksual. Menurut kelompok ini,
solusi atas masalah ini adalah dengan mengembangkan ide
androgini, yaitu sebuah model yang mempromosikan pembentukan
manusia seutuhnya dengan karateristik maskulin - feminin (2005:
108).
Di lain pihak, feminis radikal kultural bersikeras pada
proposisi yang menyatakan bahwa perempuan seharusnya tidak
seperti laki-laki, dan tidak perlu bagi perempuan untuk berperilaku
seperti laki-laki. Kaum feminis radikal kultural mencegah
penerapan nilai-nilai maskulin yang secara kultural dikenakan pada
pria, misalnya kebebasan, otonomi, intelektual, kehendak, kirarki,
dominasi, budaya, transendensi, perang dan kematian. Perbedaan
antara feminisme radikal libertarian dengan feminisme radikal
kultural mengungkapkan adanya perbedaan sudut pandang yang
tajam antara keduanya mengenai reproduksi. Dimana
pertentangannya memperdebatkan apakah reproduksi merupakan
sumber “penindasan perempuan atau “kekuatan perempuan” (2005:
109). Meskipun demikian, terdapat satu hal yang mengikat ide
radikal feminisme, yaitu pada pemahaman dasar bahwa sistem
gender adalah basis dari penindasan perempuan.
Feminis mengangkat isu-isu tentang seksisme, patriarkhi,
hak-hak reproduksi, kekuatan hubungan laki-laki dan perempuan,
dikotomi antara ranah privat dan ranah publik. Arivia (2005: 152)
menyatakan bahwa terdapat berbagai kritik terhadap feminisme
radikal bahwa ide telah terperangkap pada anggapan bahwa pada
dasarnya perempuan lebih baik daripada laki-laki, dan bahwa
ideologi juga tereduksi menjadi dikotomi antara laki-laki dan
perempuan.

c. Feminisme Marxis dan Sosialis

Meskipun terdapat sejumlah persamaan antara feminisme Marxis


dan sosialis, akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan yang
tegas. Feminis sosialis menekankan bahwa penindasan gender
disamping penindasan kelas adalah merupakan sumber penindasan
perempuan. Sebaliknya, feminis Marxis berargumentasi bahwa
sistem kelas bertanggungjawab terhadap diskriminasi fungsi dan
status.
Feminis Marxis percaya bahwa perempuan borjuis tidak
mengalami penindasan seperti yang dialami perempuan proletar.
Penindasan perempuan juga terlihat melalui produk-produk politik,
struktur sosiologis dan ekonomis yang secara erat bergandengan
tangan dengan sistem kapitalisme. Sperti halnya Marxisme, feminis
Marxis memperdebatkan bahwa eksistensi sosial menentukan
kesadaran diri. Perempuan tidak dapat mengembangkan dirinya
apabila secara sosial dan ekonomi tergantung pada laki-laki. Untuk
mengerti tentang penindasan perempuan, relasi antara status kerja
perempuan dan citra diri mereka dianalisa. Feminis Marxis ataupun
sosialis mencuatkan isu pada kesenjangan ekonomi, hak milik
properti, kehidupan keluarga dan domestik di bawah sistem
kapitalisme dan kampanye tentang pemberian upah bagi pekerjaan-
pekerjaan domestik. Gerakan ini dikritik karena hanya melihat relasi
kekeluargaan yang semata-mata eksploitasi kapitalisme, dimana
perempuan memberikan tenaganya secara gratis.
Feminis Marxis dan sosialis mengabaikan unsurunsur cinta,
rasa aman dan rasa nyaman, yang padahal juga berperan penting
dalam pembentukan sebuah keluarga. Ideologi ini hanya
menekankan focus. pada eksploitasi dalam kapitalisme dan
ekonomi. Bukan memberi perhatian lebih pada masalah gender,
justru berkonsentrasi pada analisis kelas (2005: 152). Menurut
Rosemary Hennesy dan Chrys Ingraham (1997: 4), feminisme
Marxis dan sosialis melihat budaya sebagai suatu arena produksi
sosial, arena dimana feminis berjuang daripada melihat budaya
sebagai suatu kehidupan sosial secara keseluruhan.

d. Feminisme Posmodern
Dalam feminisme posmodern perempuan juga dianggap sebagai
“yang lain”. Seorang perempuan teralienisasi karena cara
berpikirnya, cara keberadaannya, dan bahasa perempuan yang
menghalangi terciptanya keterbukaan, pluralitas, diversifikasi dan
perbedaan.
Dengan memandang pada bahasa sebagai sebuah sistem,
feminis posmodern mencoba untuk menguak teralienisasinya
perempuan dalam seksualitas, psikologi dan sastra (Arivis, 2003:
128). acgues Lacan menjelaskan bahwa the Symbolic Order, yaitu
seperangkat peraturan simbolis, atau juga disebutnya sebagai the
Law of Father memegang peranan penting dalam konstruksi
masyarakat. Menurutnya, peraturan simbolis yang sangat maskulin
ini adalah sumber kesulitan perempuan mengingat bahwa secara
anatomi seorang perempuan berbeda dengan ayahnya. Dengan
demikian, perempuan mengalami kesulitan dalam
pengidentifikasian diri terhadap ayahnya yang laki-laki dan
maskulin. Penindasan perempuan diawali pada saat perturan
simbolis yang diekspresikan melalui bahasa dan cara berpikir yang
maskulin (2003 :129).

e. Ekofeminisme

Mary Daly (1978: 8) mengingatkan perempuan untuk waspada


terhadap metode-metode mistifikasi laki-laki. Ia mengklasifikasikan
mistifikasi ini ke dalam empat cara, yaitu penghapusan (erasure),
pembalikan (resersal), polarisasi yang salah (false polarization) serta
memecah belah dan menaklukkan (divide and conquer).
Metode penghapusan terlihat dari adanya penghapusan
fakta pembunuhan jutaan perempuan yang disangka sebagai tukang
sihir dalam pengetahuan patriarkhi. Metode pembalikan tercermin
dalam mitos-mitos yang patriarkhi,misalnya Adam-Hawa, Zeus-
Athena. Metode polarisasi yang salah terimplikasi dalam feminisme
menurut definisi laki-laki yang dipertentangkan dengan seksisme
menurut definisi laki-laki dalam media patriarkhi.
Sedangkan metode memecah belah dan menaklukkan
terimplementasi dalam bentuk adanya perempuan rendah yang
dilatih untuk „membunuh” feminis dalam profesi yang patriarkhis.
Selanjutnya Daly menegaskan bahwa budaya maskulin membawa
degradasi bagi kemanusiaan, dalam pemahaman bahwa sistem
patriarkhi yang mengagungkan kekuasaan, eksploratif, destruktif
dan menguasai.
Apabila sistem patriarkhi dipertentangkan dengan sistem
matriarkhi yang lembut, kebersamaan dan menyayangi, maka alam
akan terjaga dan lestari dalam sistem matriarkhi. Menurut Susan
Grifin (dalam Arivia, 2003 :146), perempuan mempunyai
kemampuan terhadap pelestarian alam karena pada dasarnya
perempuan mencintai kelangsungan hidup dan bukannya kematian.
Perempuanlah yang melahirkan anak, maka ia mengenal betul arti
kehidupan.

C. Gerwani
1. Definisi Gerwani
Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani adalah organisasi Wanita yang
aktif diindonesia pada tahun 1950 dan 1960. Organisasi terlarang ini
didirikan pada tahun 1950 dan memiliki lebih dari 650.00 anggtoa pada
tahun 1957. Kelompok ini memiliki hubungan yang kuat dengan partai
komunis Indonesia dengan partai komunis Indonesia (PKI), tetapi
sebenarnya merupakan organisasi independent yang memperhatikan
masalah-masalah sosialisme dan fefminisme, termasuk reformasi hukum
perkawinan, hak-hak buruh dan nasionalisme indonesia.Setelah kudeta 30
September 1965, Gerwani dilarang, dan di bawah Presiden Suharto
organisasi ini menjadi contoh yang sering dikutip dari tindakan amoralitas
dan gangguan selama era pra-1965.
2. Sejarah Munculnya Gerwani
Gerwani merupakan kelanjutan dari Gerakan Wanita Indonesia Sedar
(Gerwis) yang berdiri pada tanggal 4 Juli 1950 di Semarang (Diniah,
2007). Gerwani merupakan organisasi perempuan yang menginginkan
agar perempuan bisa mandiri, berdikari, berdaya, dan bekerja keras
daripada bergaya hidup santai dan memiliki orientasi hidup untuk
kekayaan, namun tetap terkungkung. Gerwani juga sangat menentang
perempuan yang menjadi pengikut suami dalam tindakannya atau hanya
sebagai embel-embel suami. Pada tahun 1955, Gerwani ingin melakukan
serangkaian kegiatan yang berbeda, yakni Gerwani mulai menitikberatkan
perhatiannya pada pemilu 1955. Ketika kampanye pemilu dimulai,
Gerwani memutuskan untuk ambil bagian dan mendukung kampanye
untuk para calon PKI, namun tidak mengajukan nama-nama calonnya
sendiri, walaupun Gerwani mendapat kebebasan politik tertentu. Hampir
sebanyak 23.480 orang anggota Gerwani ikut di dalam kegiatan kampanye
pemilu 1955 ini. (Silvi Mei Pradita, 2020)
Gerwani terafiliasi dengan PKI. Oleh karena itu, pergerakan yang
mereka lakukan sangat keras dan terkesan radikal. Gerwani kerap
melakukan protes berupa tuntutan dan desakan kepada pemerintah dengan
melakukan aksi-aksi massa. Sejumlah aksi demonstrasi dan advokasi
dilakukan Gerwani ketika terdapat hal-hal yang membuat rakyat kecil
terjepit. Walaupun begitu, pergerakan yang pro rakyat dan keadilan
membuat Gerwani menjadi organisasi perempuan yang besar di Indonesia.
Gerwani menjadi bukti sejarah bahwa demokrasi Indonesia yang masih
tertatih memberikan ruang kebebasan bagi perempuan untuk berekspresi
dan mengeksplorasikan dirinya. (Silvi Mei Pradita, 2020)
Pada tahun 1964, Gerwani mulai mencanangkan program-program
kerja guna mengembangkan dirinya dalam suasana politik yang semakin
memanas. Program- program itu meliputi: hak-hak wanita; hak-hak anak;
hak-hak demokrasi; kemerdekaan nasional yang penuh; dan perdamaian.
a. Hak-hak Wanita
Program kerja pertama dan utama dalam Gerwani adalah mengenai
masalah hak-hak wanita. Hak-hak wanita yang menjadi program kerja
Gerwani meliputi persamaan hak dengan laki-laki dalam politik, hak
perlindungan perkawinan, hak memilih kewarganegaraan dalam
perkawinan campuran, hak wanita jika menjadi janda, hak wanita kaum
buruh, hak wanita dalam tata pemerintahan, hak kesehatan, hak untuk turut
melaksanakan land reform. Paling tidak terdapat 22 program Gerwani
yang memperhatikan masalah hak-hak wanita.
b. Hak-hak Anak
Titik perhatian kedua dalam program kerja Gerwani adalah mengenai hak-
hak anak. Kehidupan anak sangat erat dalam angkaian peran wanita dan
dalam hal ini adalah ibu. Gerwani memandang hak-hak anak tidak dapat
dilepaskan dari hak-hak wanita. Hak-hak anak dalam program Gerwani
misalnya hak anak untuk bebas dari buta huruf, hak anak untuk mendapat
pendidikan, hak anak untuk mendapatkan hiburan yang tidak bersifat cabul
dan propaganda perang.
c. Hak Demokrasi, Kemerdekaan Nasional yang Penuh, dan Perdamaian
Gerwani memperhatikan hak-hak wanita dalam demokrasi, perdamaian,
dan kemerdekaan. Misalnya hak untuk turut serta dalam usaha
pembebasan Irian Barat.
Gerwani hidup pada tahun 1950-1965. Setelah Gerakan 30 September
1965 meletus, Gerwani musnah. Peran Gerwani berakhir seiring dengan
penghancuran terhadap PKI dan tumbangnya pemerintahan Sokarno
setelah peristiwa pada malam 30 September 1965. Sejarah organisasi
perempuan yang berhasil membentuk pandangan politik perempuan
sebagai “ibu militan” berakhir tragis. Kelompok militer dan kaum
konservatif yang tidak menyukai sepak terjang Gerwani di ranah politik
dan terancam oleh militansinya melakukan rekayasa yang sangat keji
dengan membalikkan posisi moral Gerwani untuk menciptakan imaji-imaji
mengenai Gerwani sebagai “organisasi yang bejat moral”.
Simbol- simbol mengenai seks liar dan kastrasi digunakan untuk
memberangus keberanian perempuan, kemandirian sosial politik, dan
otonominya; menyisakan bencana panjang sejarah perempuan di
Indonesia. Pemerintah militer Orde Baru yang pro-modal berhasil
menghilangkan Gerwani dari sejarah gerakan perempuan Agenda-agenda
yang dimiliki dan telah dilakukan Gerwani memberikan pesan pendidikan
sosial-politik yang penting bagi kaum perempuan.
Bahwa perempuan bisa melibatkan dirinya secara langsung dalam
ranah pengambilan kebijakan. Setidak- tidaknya pendapatnya di ruang
publik didengar dan mendapatkan tempat, tidak ditutup mulut dan
dijadikan „peliharaan‟ di rumah seperti zaman sebelumnya. Asumsi bahwa
perempuan jauh lebih emosional sehingga tidak cocok apabila berkarya di
ranah pemerintahan tertolak, karena terbukti perjuangan, advokasi, dan
serangkaian aktivitas aktivisme yang sarat akan nalar kritis ternyata
berhasil dilakukan oleh perempuan, dan hal itu dicontohkan oleh Gerwani.
(Silvi Mei Pradita, 2020)
3. Tujuan tebentuknya GERWANI
Tujuan terbentuknya Gerwani Perhatian umum organisasi perempuan
ingin mencapai kesamaan dengan laki-laki, demikian juga dengan
Gerwani. Namun demikian, Gerwani tidak hanya memusatkan
perjuangannya demi kesamaan dengan laki-laki pada refom perkawinan
saja," tetapi pada masalah-masakah kesamaan hak. Didasari pandangan
kerakyatan inikah kemudian Gerwani ingin agar buruh, dan tani
perempuan juga aktif dalam kegiatan politik. Seluruh kegiatan Gerwani
bertujuan untuk mendidik anggotanya menjadi perempuan yang sadar
politik.
Perempuan-perempuan ini kemudian didorong untuk merawat dan
mendidik rakyat. Pendidikan berlangsung mekakui kegiatan yang
programatik, misalnya kegiatan yang sudah diprogramkan seperti dengan
membuka TK dan ewat pemberian kursus-kursus dan kegiatan-kegiatan
informal misahnya: arisan, ceramah, serta mengikuti rapat RT/RK yang
berlangsung dalam pergaulan keseharian antar anggota atau dakam
pergaukan Gerwani dengan masyarakat, serta terlibat didakam perjuangan
pembebasan kaum tertindas Gerwani telah membuktikan militansinya
dalam menuntut penurunan harga kebutuhan hidup sehari-hari dan dalam
kegiatan-kegiatan hin untuk meringankan kesulitan-kesulitan rumah
tangga. Militansi kegiatan Gerwani, misalnya; mengorganisasi bekanja
bersama, dan ambil bagian dalam koperasi rakyat pekerja, serta ambil
bagian dalam gerakan 1001.
Kegiatan-kegiatan ini mempunyai pengaruh pada gerakan
perempuan pada umumnya. Misalnya di desa kaum perempuan harus
secara aktif ditarik kedakam gerakan enam baik, karena tanpa ini tidak ada
gerakan massa yang has di desa-desa. Pada tahun 1962 Gerwani telah
mencapai kemajuan yang penting. Di pusat mereka membentuk front
persatuan perempuan anti imperialisme yang has, di daerah mereka
menjalin kerja sama dengan organisasi-organisasi seperti Barisan Tani
Indonesia dan organisasi perempuan. Kerja sama di daerah sudah kbih
maju dari pada di pusat.
Tujuan dibentuknya Gerwani pertama-tama, untuk pemberdayaan
perempuan agar perempuan mampu berproduksi, agar dapat kehar dari
bekenggu penindasan; kedua, ingin mengangkat derajat kaum perempuan
schingga kedudukan kaum perempuan seimbang dengan kaum kaki-kaki;
ketiga, agar perempuan mendapatkan pekerjaan dan upah yang sama
dengan aki-laki; keempat, agar perempuan sadar politik, untuk
mewujudkan tujuan ini maka pertama-tama perempuan diberi pendidikan,
karena pendidikan merupakan kunci utama bagi peningkatan kesadaran
perempuan.
Tujuan dan tugas Gerwani, adalah mekakukan aksi-aksi kecil
misalnya arisan, koperasi, untuk mencukup kebutuhan sehari-hari kaum
perempuan dan hak-hak mereka, bersama-sama dengan organisasi-
organisasi buruh, tani, dan organisasi demokratis kainnya, untuk
meneruskan semangat Kartini. Tujuan Gerwani dapat disimpulkan
perjuangan kaum perempuan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan
seluruh Rakyat Indonesia, untuk Indonesia yang demokratis, makmur dan
maju.
(Magdelena Nimat, 2009)
4. Gerwani dan Organisasi Perempuan Lain
Sejak akhir dasawarsa 1950-an, dua organisasi perempuan kiri mulai
memperoleh kedudukan penting: Secara genealogis, Gerwani berasal dari
Gerakan Wanita Isteri Sedar (Gerwis) yang didirikan tahun 1950 dengan
anggota hanya 500 orang perempuan. Para anggota ini pada umumnya
berpendidikan tinggi dan berkesadaran politik. Dari segi ideologi,
organisasi ini merupakan kelanjutan dari organisasi Isteri Sedar. Kaum
perempuan dalam Gerwis umumnya dari generasi yang lebih muda, tetapi
mereka punya hubungan dengan perempuan yang bergabung dalam Isteri
Sedar. Sementara itu, sekitar tahun 1961, anggota organisasi Gerwani
mencapai lebih dari satu juta orang. Warung-warung koperasi dan koperasi
simpan-pinjam kecilkecilan didirikan. Perempuan tani dan buruh disokong
dalam sengketa mereka dengan tuan tanah atau majikan pabrik tempat
mereka bekerja. Taman kanak-kanak diselenggarakan di pasar-pasar,
perkebunan-perkebunan, kampung-kampung. Kaum perempuan dididik
untuk menjadi guru pada sekolah-sekolah ini. Dibuka pula badanbadan
penyuluh perkawinan untuk membantu kaum perempuan yang
menghadapi masalah perkawinan. Kursus-kursus kader dibuka pada
berbagai tingkat organisasi dan dalam kursus-kursus ini digunakan buku-
buku tulisan Friedrich Engels, August Bebel, Clara Zetkin, dan Soekarno.
Pada kesempatan ini juga diajarkan keterampilan teknis misalnya tata buku
dan manajemen. Hal penting lain yang diajarkan adalah sejarah gerakan
perempuan Indonesia. Gerwani menerbitkan dua majalah, Api Kartini dan
Berita Gerwani. Api Kartini ditujukan bagi pembaca lapisan tengah yang
sedang tumbuh dan memuat tulisantulisan tentang masak-memasak,
pengasuhan anak, mode, dan lain-lain, tetapi juga soal-soal yang lebih
feminis dan kiri, seperti kebutuhan akan taman kanak-kanak, kejahatan
imperialisme. Di sinilah, Saskia mencatat Api Kartini sebagai majalah
pertama di Indonesia yang menunjukkan pengaruh buruk film-film
Amerika yang bermutu rendah yang saat itu banyak beredar Kemudian,
Berita Gerwani adalah majalah internal organisasi, dengan berita-berita
tentang kegiatan organisasi, seperti konferensi, laporan kunjungan ke
organisasiorganisasi perempuan di negeri-negeri sosialis, dan lain-lain.
Apabila Api Kartini terutama terbit untuk menarik perempuan golongan
tengah, dan meyakinkan mereka bahwa Gerwani pun memberikan
perhatian pada masalah-masalah tradisional perempuan, Berita Gerwani
yang lebih radikal bermaksud memberikan dukungan kepada kader-kader
daerah dan membantu mereka dalam menghadapi tugas-tugas mereka.
Menurut penelitian Saskia, Gerwani adalah organisasi perempuan yang
paling pesat perkembangannya, saat itu. Sekaligus juga paling
berpengaruh dan paling kontroversial. Ketika itu organisasi-organisasi
perempuan yang lain juga sangat aktif sehingga bisa dikatakan bahwa
gerakan perempuan sedang berkembang. Seperti disebutkan di atas,
hubungan Gerwani dengan golongan perempuan Islam agak mengalami
kerenggangan. Demikian halnya, hubungan dengan organisasi perempuan
nasionalis yang terbesar, Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari).
Persoalan dengan Perwari ini agaknya bisa dibagi menjadi dua masalah
pokok. Pertama, ada perbedaan yang sangat besar dalam hal keanggotaan.
Sebagian besar anggota Perwari berasal dari kalangan borjuasi, terutama
isteri-isteri intelektual dan birokrat yang merupakan inti pengikut Presiden
Soekarno. Banyak intelektual perempuan yang menjadi anggota, tetapi
pada umumnya organisasi ini agak bersuasana borjuasitradisional Barat.
Sedang anggota Gerwani lebih banyak berasal dari perempuan miskin dari
lapisan menengah bawah dan kelas buruh, walaupun seperti sudah
disebutkan di atas melalui Api Kartini mereka berusaha menarik lebih
banyak kaum perempuan borjuis. Kedua, Perwari, khususnya pada diri
ketuanya, Sujatin Kartowijono, mengambil sikap keras mengenai masalah
poligini (poligami), juga pada saat perkawinan Presiden Soekarno yang
kedua tahun 1954. Gerwani sebegitu jauh tidak terlalu keras menentang
Presiden Soekarno. Untuk keberaniannya itu Perwari harus membayar
mahal; banyak fasilitas yang dulu diperolehnya menjadi hilang. Sungguh
berat tugas KWI (Kongres Wanita Indonesia), yang saat itu menjadi badan
koordinasi bagi semua organisasi perempuan, untuk menggabungkan
kepentingankepentingan yang saling berlawanan tersebut. Pada tahun
1958, anggota-anggota Gerwani mendorong kerjasama yang lebih erat
antara berbagai golongan kiri yang ada dalam KWI dengan maksud agar
KWI menjadi lebih peka dan aktif dalam masalahmasalah yang relevan
bagi kaum perempuan miskin. Langkah selanjutnya, sebagaimana dikutip
dalam buku Saskia dibentuk Gerakan Massa di dalam KWI. Golongan kiri,
termasuk sejumlah organisasi perempuan Islam, berusaha mendorong
KWI memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret dengan
menegaskan hubungan antara emansipasi perempuan dengan gerakan
sosialisme. Beberapa orang pengurus KWI yang lain seperti Maria Ulfah
dengan sengit menentang usaha yang disebutnya in ltrasi Gerwani ini,
dan Gerakan Massa pun dibubarkan. Tetapi KWI tidak bisa menghindar
berada sekereta dengan golongan kiri. Pada kongresnya tahun 1961,
wewenang eksekutif sekretariat diperluas dan diputuskan bahwa KWI
adalah alat revolusi sesuai dengan semboyan pada masa itu. Maka
kegiatan-kegiatan demi kaum perempuan miskin lebih banyak
diselenggarakan. Perkembangan ini mengakibatkan timbulnya polarisasi di
dalam organisasi. Golongan kanan, terutama golongan Islam, menolak
gerakan kiri ini. Pada tahun 1962, KWI menjadi anggota Front Nasional
yang membolehkan anggota-anggotanya, terutama dari Gerwani, untuk
mengikuti latihan sukarelawan untuk perjuangan nasional yang lebih
besar, yaitu pembebasan Irian Barat dan menentang pembentukan Federasi
Malaysia. Pada kongres tahun 1964, namanya yang lama, Kowani
digunakan lagi, dan Nyonya Subandrio, seorang tokoh perempuan
nasionalis kiri, menjadi ketuanya. Kowani terus bergeser ke kiri dan
tanggal 8 Maret 1965 dirayakan sebagai peristiwa nasional. Perebutan
kekuasaan Oktober 1965 mengakhiri proses ini.`
BAB IV

KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Arbain Janu, dkk. 2015.’’ Pemikiran Gender Menurut Parah Ahli’’. Universitas
Islam Negeri Walisongo Semarang: Jawa Tengah

Simbolon J. 2016. ‘’ Gerakan Perempuan’’ Universitas Negeri Medan: Sumatra


Utara

Junaidi Heri,dkk. 2010. ‘’Gender Dan Feminisme Dalam Islam’’ Jakarta

Pambudi Teguh Aditya. 2018. ‘’ Feminisme Liberal Dalam Film Kartini’’


Universitas Semarang: Jawa Tengah

Jalil Abdul,dkk. 2020 ‘’Gender Dalam Persfektif Budaya Dan Bahasa’’ Sekolah
Tinggi Agama Islam: Pangkep.

Septiani Lia Dewi, 2021’’ Analisis K Onstruksi Gender Dalam Buku Pendidikan
Agama Islam Dan Budi Pekerti Pada Tingkat Sma Kelas Xi’’ Institut Agama
Islam Negeri: Bengkulu

Prdita mei silvi. 2020, ‘’ Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia Abad 19-20:
Tinjaun Historis Peran Perempuan Dalam Pendidikan Bangsa’’ Universitas
Muhammadiyah Prof DR. HAMKA: Jakarta

Nimat Magdelena. 2009. ‘’Gerakan Perempuan Indonesia 1950-1965 Studi


Kasus Gerwani’’ Universitas Sanata Dharma: Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai